Anda di halaman 1dari 6

Makalah

GERAKAN MUNDUR, MUNGGAH MADEP KALI (M3K)


DALAM PENATAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN
DI BANTARAN SUNGAI YOGYAKARTA
(Ditinjau Dari Undang-Undang Keistimewaan DIY dan Permen Pu 28 Tahun 2015)

I. PENGANTAR

Tinggal di permukiman layak huni merupakan hak asasi bagi warga negara. Sesuai
yang tercantun dalam Undang-Undang Dasar 1954 pasal 28 A yang berbunyi, “Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Kemudian diperjelas dalam pasal 28C ayat 1 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan
dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.” Tentunya ini
menjadi kewajiban bagi negara untuk mewujudkannya, Dalam rangka menjamin hal
tersebut keluarlah undang-undang no 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Menurut UU no 1 tahun 2011 permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian
yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang memiliki prasarana, sarana, utilitas
umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. Pengertian ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sumaatmadja (1988)
sebagai berikut:
“Permukiman adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi segala sarana
dan prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan dengan tempat
tinggal yang bersangkutan”. Sedangkan menurut  Hadi Sabari Yunus
(1987) dalam Wesnawa (2015:2) dapat diartikan sebagai bentukan baik buatan manusia
ataupun alami dengan segala kelengkapannya yang digunakan manusia sebagai individu
maupun kelompok untuk bertempat tinggal baik sementara maupun menetap dalam rangka
menyelenggarakan kehidupannya. (Tasrif Landoala dalam http://jembatan4.blogspot.com)
Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas
pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan permukiman,
pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan
kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah, pendanaan dan sistem pembiayaan, serta
peran masyarakat. Kawasan permukiman dapat dilihat dari klasifikasi permukiman dan tipe
permukiman. Berikut merupakan penjelasan dari klasifikasi dan tipe permukiman.
Klasifikasi Fungsi Permukiman Menurut Lewis Mumford (The Culture Of Cities, 1938)
dalam Wesnawa, 2015:27) mengemukakan 6 jenis Kota berdasarkan tahap perkembangan
permukiman penduduk kota. Jenis tersebut diantaranya:
1. Eopolis dalah tahap perkembangan desa yang sudah teratur dan masyarakatnya
merupakan peralihan dari pola kehidupan desa ke arah kehidupan kota.
2. Tahap polis adalah suatu daerah kota yang sebagian penduduknya masih mencirikan
sifat-sifat agraris.
3. Tahap metropolis adalah suatu wilayah kota yang ditandai oleh penduduknya
sebagian kehidupan ekonomi masyarakat ke sektor industri.
4. Tahap megapolis adalah suatu wilayah perkotaan yang terdiri dari beberapa kota
metropolis yang menjadi satu sehingga membentuk jalur perkotaan.
5. Tahap tryanopolis adalah suatu kota yang ditandai dengan adanya kekacauan
pelayanan umum, kemacetan lalu-lintas, tingkat kriminalitas tinggi
6. Tahap necropolis (Kota mati) adalah kota yang mulai ditinggalkan penduduknya.
(http://repository.unpas.ac.id)
Pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak diikuti dengan prasarana dan sarana yang
mendukung, pesatnya pembangunan, munculnya pusat-pusat pertumbuhan menjadi pemicu
permukiman menjadi kumuh. Permukiman kumuh atau slum merupakan kondisi
permukiman dengan kualitas buruk dan tidak sehat, tempat perlindungan bagi kegiatan
marjinal serta sumber penyakit epidemik yang akhirnya akan menular ke wilayah perkotaan
(UN Habitat, 2010 dalam perkim.id).
Permukiman kumuh menurut Undang-undang No 1 tahun 2011 adalah permukiman
yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang
tinggi dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. Masih
menurut UU no 1 tahun 2011 lokasi permukiman kumuh ditetapkan oleh bupati/walikota.
Definisi permukiman kumun menurut UU ni 1 tahun 2011 dijelaskan dalam permen PU no
14 tahun 2018. Berdasarkan permen PU tersebut terdapat 7 indikator kumuh meliputi
bangunan gedung, jalan, drainase, persampahan, limbah, air minum dan proteksi kebakaran.
Masih menurut permen tersebut, apabila suatu wilayah berdasarkan 7 indikator tersebut
mempunyai skor 16 keatas maka masuk dalam katagori kumuh.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebaran lokasi kumuh di DIY sebagian besar
terletak di bantaran sungai. Permukiman kumuh di bantaran sungai, secara fisik bangunan
rata-rata berada sangat mepet dari bibir sungai. Bahkan di beberapa titik, bangunan yang
ada sudah berada di badan sungai. Kondisi ini jelas membahayakan bagi warga yang berada
di lokasi tersebut. Selain kondisi bangunan yang sangat mepet dari sungai, ketersediaan
lahan juga cukup sempit. Namun di sisi lain, warga yang tinggal merupakan warga asli
yang sudah turun temurun tinggal di lokasi tersebut.

II. PERMASALAHAN
Berdasarkan pengantar di atas, maka dirumusakan masalaha sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep penataan permukiman kumuh di bantaran sungai?
2. Bagaimana status penataan sungai di DIY jika dibandingkan dengan UU no 12
tahun 2013 dan permen PU no 28 tahun 2015?

III. PEMBAHASAN
Berdasarkan SK Walikota Yogyakarta, sebaran kawasan kumuh terlatak di
sepanjang bantaran sungai yaitu di Sungai Gajah wong, Sungai Code, Sungai Winongo,
Sungai Belik dan Sungai Buntung. Menurut Siswoko (2007) dalam Mulyandari (2011)
mengenai definisi dan karakteristik daerah bantaran sungai menjelaskan bahwa bantaran
sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai
dengan kaki tanggul sebelah dalam.
Permasalahan kumuh yang ada di lokasi tersebut meliputi bangunan yang terlalu
mempet di pinggir kali, kondisi bangunan yang padat dan tidak teratur, air minum yang
tidak layak konsumsi, drainase campur dengan limbah, serta tidak adanya akses jalan dan
akses untuk mobil pemadam kebakaran. (SK Walikota Yogyakarta 2016 tentang Kawasan
Tidak Layak Huni di Yogyakarta)
Selain permasalahan terkait dengan kekumuhan, berdasarkan pengamatan
permukiman di bantaran kali rata-rata status tanahnya adalah wedi kengser. Tanah Wedi
kengser adalah adalah tanah yang terletak di sepanjang aliran sungai. Tanah ini baik bentuk, sifat,
dan fungsinya selalu berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi alamnya.
(http://repository.umy.ac.id). Tanah wedi kengser menurut UU no 12 tahun 2012
merupakan tanah yang menjadi milik Kasultanan Yogyakarta ataupun Kadipaten
Pakualaman. Dengan kata lain warga yang tinggal di permukiman dengan status tanah wedi
kengser pada hakekatnya “numpang” kepada Sultan.

Di sisi lain, kalau berbicara terkait dengan bantaran sungai maka tidak akan terlepas pada
garis sempadan sungai. pengertian garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan
kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan sungai. (permen PU no 28
tahun 2015). Masih menurut permen PU garis sempadan sungai bertanggul di dalam
kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, ditentukan paling
sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai. Tanggul
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), merupakan bangunan penahan banjir
yang terbuat dari timbunan tanah

Upaya untuk menata permukiman kumuh di bantaran sungai sudah cukup massif
dilakukan. Penataan permukiman kumuh di bataran sungai dilakukan oleh pemerintah pusat
pemerintah DIY, mapun pemerintah Kota Yogyakarta. Di Jogja, konsep penanganan
permukiman kumuh di bantaran sungai disampaikan oleh Gubernur DIY melalui gerakan
M3K. Gerakan M3K adalah gerakan untuk menata permukiman kumuh di bantaran sungai
dengan konsep bangunan mundur 3 meter dari bibir sungai/membebaskan lahan dari
bangunan, Membuat rumah bertingkat agar efisien lahan, serta menghadapkan bangunan ke
arah sungai. Mundur 3 meter dimaksudkan agar permukiman di bantara sungai tersedia
akses jalan yang apabila terjadi bencan (kebakaran, orang meninggal dunia) wilayah
tersebut bisa diakses. Menghadap ke sungai dimaksudkan agar sungai sebagai halaman
depan sehingga warga tidak membuang sampah di sungai.
Kebijakan M3K yang dikeluarkan oleh gubernur apabila dilihat dari sisi
kewenangan gubenur sekaligus sebagai Sultan Ngayojokarto sah-sah saja. Hal ini didasari
bahwa berdasarkan UU no 13 tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa
Yogyakarta. Berdasarkan Undang-undang tersebut semua tanah yang tidak memiliki hak
milik (pribadi, lembaga/badan hukum maupun negara) menjadi miliknya sultan. Sultan
selaku pemilik tanah wedi kengser mengatur “kawulonya: yang tinggal di tanahnya agar
tinggal minimal 3 meter sungai. Berdasarkan pantauan di lapangan, gerakan M3K ini cukup
sukses. Hal ini ditandai dengan banyaknya permukiman warga yang sudah mundur 3 meter
dari talud sungai seperti di Jogoyudan Gowongan, Suryatmajan, Ngampilan dan lainnya.
Dilihat dari teori perundang-undangan, gerakan M3K ini cukup menarik. Dari sisi
permen PU kebijakan M3K ini tidak sesuai dengan permen PU no 28 tahun 2015. Hal ini
disebabkan semua sungai yang ada di Kota Yogyakarta belum ada yang bertanggul. Semua
sungai hanya dilindungi oleh talud. Talud adalah dinding yang terbuat dari tumpukan batu
kali yang disusun sedemikian rupa untuk penahan tanah atau bangunan. Fungsi talud adalah
untuk menjaga struktur tanah agar tidak bergeser (baca: longsor) dan tetap stabil. Di
pastikan menggunakan talud untuk menjaga kondisi tanahnya yang labil.
(https://asiancon.co.id).
Mendasarkan pada UU no 12 tahun 2011 tentang tata urutan perundangan,
kebijakan M3K tidak menyalahi peraturan perundangan. Hal ini disebabkan sultan
membuat kebijakan mendasarkan pada undang-undang. Sedangkan aturan tentang
sampadan sungai merupakan peraturan menteri yang secara heirarti perundangan di bawah
undang-undang. Menurut hemat penulis, kebijakan M3K merupakan kecerdasan sultan
dalam menata permukiman kumuh di bantaran sungai dengan melihat kondisi real di
lapangan, tanpa harus menabrak pada peraturan perundangan yang ada.

IV. PENUTUP
Undang-undang no 12 tahun 2011 mengatur bahwa peraturan perundangan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundangan di atasnya. Dalam konteks penataan
permukiman kumuh M3K, sultan menggunakan kekuasaannya berdasarkan undang-undang
no 12 tahun 2013. Meskipun M3K kurang sesuai dengan permen pu no 28 tahun 2015
tentang garis batas sempadan sungai, namun menurut UU no 12 tahun 2011 itu tidak
melanggar hukum.
Daftar Pustaka :
1. Undang-undang no 1 tahun 2011 tetang Perumahan dan Kawasan Permukiman
2. Undang-undanag no 12 tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundangan
3. Undang-undang no 12 tahun 2013 tentang Keistimewaan Yogyakarta
4. Permen PU no 14 tahun 2018 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
5. Permen PU no 28 tahun 2015 tentang Penetapan Garis Batas Sempadan Sungai
6. http://repository.umy.ac.id
7. http://repository.unpas.ac.id
8. SK Walikota Yogyakarta tahun 2016 tentang Kawasan Tidak Layak Huni Kota
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai