Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PERMUKIMAN

KELURAHAN OESAPA, RT 26

NOLPI INADELIA WUE DJO


1506090025

UNIVERSITAS NUSA CENDANA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
JURUSAN ARSITEKTUR
KUPANG
2018
TINJAUAN PUSTAKA
1 Permukiman Penduduk
1.1. Persyaratan Permukiman
Suatu bentuk permukiman yang ideal di kota merupakan pertanyaan yang menghendaki
jawaban yang bersifat komprehensif, sebab perumahan dan permukiman menyangkut
kehidupan manusia termasuk kebutuhan manusia yang terdiri dari berbagai aspek.
Sebingga dapat dirumuskan secara sederhana tentang ketentuan yang baik untuk suatu
permukiman yaitu harus memenuhi sebagai berikut:
1) Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain seperti pabrik,
yang umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran
lingkungan lainnya
2) Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan seperti pelayanan pendidikan,
kesehatan, perdagangan, dan lain-lain
3) Mempunyai fasilitas drainase, yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan
tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun
4) Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa jaringan distribusi yang siap untuk
disalurkan ke masing-masing rumah.
5) Dilengkapi dengan fasilitas air kotor/tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual
yakni tangki septik dan lapangan rembesan, ataupun tanki septik komunal.
6) Permukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar
lingkungan permukiman tetap nyaman.
7) Dilengkapi dengan fasilitas umum seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan
atau taman, tempat beribadat, pendidikan dan kesehatan sesuai dengan skala besarnya
permukiman itu.
8) Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon (Sinulingga, 2005).
II.1.2. Karakteristik Permukiman Kumuh
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, dapat
merupakan kawasan perkotaan dan perdesaan, berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal/hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Menurut UU No.1 Tahun 2011, Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah
budi daya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan
Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Menurut Silas, dkk (1991) Permukiman Kumuh dapat diartikan menjadi dua bagian, yang
pertama ialah kawasan yang proses terbentukannya karena keterbatasan kota dalam
menampung perkembangan kota sehingga timbul kompetisi dalam menggunakan lahan
perkotaan. Sedangkan kawasan permukiman berkepadatan tinggi rnerupakan embrio
permukiman kumuh. Dan yang kedua ialah kawasan yang lokasi penyebarannya secara
geografis terdesak perkembangan kota yang semula baik, lambat laun menjadi kumuh.
Perkembangan kota yang kumuh disebabkan oleh mobilitas sosial perekonomian yang
stagnan.
Karakteristik Permukiman Kumuh:
1) Keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m2
2) Permukiman ini secara fisik memberi/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara
langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan
permukiman yang ada, maka fasilitas Iingkungantersebut tak sulit mendapatkannya.
3) Manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga
rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa. Manfaat
permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan
mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi. Hampir setiap orang tanpa syarat yang bertele-
tele pada setiap saat dan tingkat kemampuan membayar apapun, selalu dapat diterima dan
berdiam di sana, termasuk masyarakat “residu” seperti residivis dan lain-lain (Silas dkk,
1991).
Kriteria Umum Permukiman Kumuh:
1) Mandiri dan produktif dalam banyak aspek, namun terletak pada tempat yang perlu
dibenahi.
2) Keadaan fisik hunian minim dan perkembangannya lambat. Meskipun terbatas, namum
masih dapat ditingkatkan.
3) Para penghuni lingkungan permukiman kumuh pada umumnya bermata pencaharian
tidak tetap dalam usaha non formal dengan tingkat pendidikan rendah.
4) Pada umumnya penghuni mengalami kemacetan mobilitas pada tingkat yang paling
bawah, meskipun tidak miskin serta tidak menunggu bantuan pemerintah, kecuali dibuka
peluang untuk mendorong mobilitas tersebut.
5) Ada kemungkinan dilayani oleh berbagai fasilitas kota dalam kesatuan program
pembangunan kota pada umumnya.
6) Kehadirannya perlu dilihat dan diperlukan sebagai bagian sistem kota yang satu, tetapi
tidak semua begitu saja dapat dianggap permanent (Anonim, 2009).
Kriteria khusus permukiman kumuh:
1) Berada di lokasi tidak legal
2) Dengan keadaan fisik yang substandar, penghasilan penghuninya amat rendah (miskin)
3) Tidak dapat dilayani berbagai fasilitas kota
4) Tidak diinginkan kehadirannya oleh umum, (kecuali yang berkepentingan)
5) Permukiman kumuh selalu menempati lahan dekat pasar kerja (non formal), ada sistem
angkutan yang memadai dan dapat dimanfaatkan secara umum walau tidak selalu murah
(Anonim, 2009).
II.1.3. Tipologi Permukiman Kumuh
Berdasarkan kondisi dan permasalahan Iingkungan permukiman yang diamati di lapangan,
kawasan permukiman kumuh dapat dibedakan dalam 7 (tujuh) tipologi. (Laporan Review
Kawasan Permukiman Kumuh Sulawesi Selatan tahun 2002) (Anonim, 2009). Masing-
masing tipologi memiliki karakter khas yang memberi corak kehidupan lingkungan
permukiman tersebut.
Beberapa tipologi permukiman kumuh tersebut adalah sebagai berikut:
1) Permukiman kumuh nelayan
Merupakan permukiman kumuh yang terletak di luar arena antara garis pasang terthiggi
dan terendah, dengan bangunan-bangunan yang langsung bertumpu pada tanah, baik itu
bangunan rumah tinggal atau bagunan lainnya. Rata-rata lokasinya ditepi pantai.
2) Permukiman kumuh dekat pusat kegiatan sosial ekonomi.
Merupakan permukiman kumuh yang terletak di sekitar pusat-pusat aktifitas sosial-
ekonomi. Seperti halnya lingkungan industri, sekitar pasar tradisional, pertokoan,
lingkungan pendidikan/kampus, sekitar obyek-obyek wisata dan pusat-pusat pelayanan
sosial-ekonomi lainnya.
3) Permukiman kumuh pusat kota
Merupakan permukiman kumuh yang terletak di tengah kota (urban core), yang sebagai
permukiman lama atau kuno atau tradisional. Permukiman yang dimaksud disini adalah
permukiman yang dahulu merupakan permukiman yang diperuntukkan bagi hunian
kalangan menengah ke bawah.
4) Permukiman kumuh pinggiran kota
Merupakan permukiman kumuh yang berada di luar pusat kota (urban fringe), yang ada
pada umumnya merupakan permukiman yang tumbuh dan berkembang di pinggiran kota
sebagai konsekuensi dari perkembangan kota, perkembangan penduduk yang sangat cepat
serta tingkat perpindahan penduduk dari desa ke kota yang sangat tinggi.
5) Permukiman kumuh daerah pasang surut
Merupakan permukiman kumuh yang terletak didaerah antara garis pasang tertinggi dan
terendah yang secara berkala selalu terendam air pasang, dengan sebagian besar tipe
bangunan yang ada baik itu bagunan rumah tinggal maupun bangunan lainnya adalah tipe
panggung. Jalan penghubung antara bangunan yang satu dengan bangunan lainnya adalah
jalan titian. Karakter lain yang cukup menonjol adalah perletakan dermaga atau tempat
menambak perahu yang
berdekatan dengan permukiman.
6) Permukiman kumuh daerah rawan bencana
7) Permukiman kumuh tepian sungai
Merupakan permukiman kumuh yang terletak didaerah rawan bencana alam, khususnya
tanah longsor, gempa bumi dan banjir.
8) Permukiman kumuh tepian sungai
Merupakan permukiman kumuh yang berada di diluar Garis Sempadan Sungai (GSS).
Permukiman kumuh tepian sungai ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) tipe. Tipe pertama
apa bila sungai yang bersangkutan mempunyai tanggul, maka dengan Peraturan
Pemerintah No. 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
lingkungan permukiman yang dimaksud terletak sekurangkurangnya 5 (lima) meter
sepanjang kaki tanggul sedangkan untuk sungai tidak bertanggul, letak permukiman yang
dimaksud berada diluar sempadan sungai yang lebarnya ditetapkan oleh pemerintah
setempat. Demikian juga permukiman untuk sungai yang bertanggul dan tidak bertanggul,
yang berada diwilayah perkotaan, letak permukiman yang dimaksud berada di luar
sempadan garis sempadan sungai yang lebamya ditetapkan oleh pemerintah setempat.
Kedua lingkungan permukiman yang kumuh yang berada dikota-kota yang secara histories
menetapkan sungai sebagai komponen prasarana yang sangat vital dan masih berlangsung
sampai saat ini. Pada umumnya letak permukiman kumuh dikota-kota seperti ini berada di
koridor tepian sungai. Karakteristik bangunan dan lingkungan ini dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) tipe, yaitu tipe rakit, panggung dan bertumpu langsung pada tanah. Unit-unit
bangunan tipe panggung pada umumnya merupakan transisi antara bangunan tipe rakit
yang bertumpu
langsung pada tanah.
Melihat karakteristik sifat dan tipologi yang diuraikan diatas dapat dikatakan bahwa
tipologi penelitian yang dilaksanakan adalah kategori penelitan permukiman kumuh pusat
kota dan permukiman kumuh nelayan.
II.2 Faktor yang Menyebabkan Terbentuknya Permukiman Kumuh
Sungai menurut Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1999 sebagai suatu tempat atau
wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi
kanan dan kirinya serta disepanjang pengalirannya oleh garis sepadan. Sungai telah
memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan peradaban dan
kebudayaan manusia. Pada awal pertumbuhannya telah ditandai dengan terbentuknya
suatu konsentrasi penduduk dengan membentuk kelompok pemukiman tertentu di lembah
sungai yang subur. Peranan sungai di dalam kehidupan sehari-hari, dengan adanya air,
manusia memanfaatkan untuk minum, mandi dan mencuci.
Kemudian peran sungai berkembang menjadi sarana transportasi, yang mendorong
pertumbuhan pennukiman seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan aktifitas sosial
ekonominya makin lama peranannya makin berkembang dan tidak terpisahkan lagi dari
keseluruhan sistem pelayan. Pesatnya pertambahan jumlah penduduk di perkotaan akibat
dari jumlah kelahiran dan perpindahan penduduk dari pedesaan ke kota, akan berpengaruh
langsung terhadap kebutuhan sarana prasarana kota dalam hal ini menyangkut kebutuhan
akan perumahan dan permukiman di perkotaan itu sendiri.
Hingga dewasa ini pembangunan perumahan dan permukiman di perkotaan, baik yang
ditangani pemerintah, swasta maupun swadaya masyarakat belum dapat mengimbangi
kebutuhan yang terus meningkat di kota. Bahkan terdapat kecenderungan bahwa
pembangunan perumahan dan permukiman di kota semakin tertinggal dari cepatnya
pertumbuhan penduduknya (Yudohusodo, 1991).
Perkembangan kota dipengaruhi kondisi topografis seperti perbukitan, lautan, sungai dan
rintangan alam lainnya yang dapat menghentikan laju perkembangan kota.
Daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang berlimpah dan ditangani dengan
baik merupakan daerah yang mempunyai daya tarik kuat untuk berkembang.Secara
historis sungai telah memiliki peranan yang cukup penting dalam perkembangan sistem
hubungan aktifitas dan struktur internal suatu kota. Untuk kotakota di kawasan tepi sungai
mempunyai ciri fisik antara lain:
1) Kondisi Fisik Lingkungan.
o Secara topografi, kawasan tersebut merupakan pertemuan antara darat dan air,
dataran rendah dan landai sehingga sering terjadi erosi dan sedimentasi yang
menimbulkan pendangkalan sungai.
o Secara hidrologis, kawasan tersebut merapakan daerah pasang surut, mempunyai
air tanah tinggi. Kawasannya sebagian besar mempunyai struktur batuan lepas,
tanah lembut serta rawan terhadap bencana alam.
o Secara klimatologis, kawasan ini mempunyai dinamika iklim, cuaca, angin, suhu
dan kelembaban tinggi.
2) Kondisi Flora dan fauna
o Kondisi flora dan fauna sangat spesifik seperti mangrove, kelapa, ikan, bangau dll.
3) Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya
o Kawasan ini mempunyai keunggulan lokasi sehingga menjadi pusat pertumbuhan
kegiatan ekonomi.
o Penduduk kawasan mempunyai kegiatan sosial ekonomi yang khas dan
berorientasi ke air.
o Terdapat peninggalan sejarah/budaya serta upacara keagamaan tertentu.
4) Kondisi Prasarana dan sarana
o Drainase kawasan memerlukan pemecahan khusus karena daerah banjir atau
genangan air.
o Air limbah dan persampahan buruk.
o Air Limbah belum tercukupi karena kondisi air tanah yang buruk (payau/asin)
o Memiliki aksessibilitas tinggi, sebab dapat dicapai dari darat maupun air (sungai,
pelabuhan menjadi titik pertumbuhan).
o Permukiman dan perumahan biasanya berkembang sekitar badan sungai, dengan
fasilitas spesifik di dalamnya seperti dermaga, pasar terapung atau tempat
pelelangan ikan.
II.3 Permasalahan yang Timbul Akibat Permukiman Kumuh
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dari segi pemerintahan,
pemerintah dianggap dan dipandang tidak cakap dan tidak peduli dalam menangani
pelayanan terhadap masyarakat, Sementara pada dampak sosial, dimana sebagian
masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan
ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan
ketidakpatuhan terhadap norma-norma sosial.
Terbentuknya pemukiman kumuh, yang sering disebut sebagai slum area.
Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak masalah perkotaan, karena
dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku menyimpang, seperti kejahatan, dan
sumber penyakit sosial lainnya.
Penduduk di permukiman kumuh tersebut memiliki persamaan, terutama dari segi latar
belakang sosial ekonomi-pendidikan yang rendah, keahlian terbatas dan kemampuan
adaptasi lingkungan (kota) yang kurang memadai. Kondisi kualitas kehidupan yang serba
mariginal ini temyata mengakibatkan semakin banyaknya penyimpangan perilaku
penduduk penghuninya.
Hal ini dapat diketahui dari tatacara kehidupan sehari-hari, seperti mengemis, berjudi,
mencopet dan melakukan berbagai jenis penipuan. Terjadinya perilaku menyimpang ini
karena sulitnya mencari atau menciptakan pekerjaan sendiri dengan keahlian dan
kemarnpuan yang terbatas, selain itu juga karena menerima kenyataan bahwa impian yang
mereka harapkan mengenai kehidupan dikota tidak sesuai dan ternyata tidak dapat
memperbaiki kehidupan mereka.
Mereka pada umumnya tidak cukup memiliki kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak, disebabkan kurangnya keterampilan, tanpa modal usaha, tempat tinggal tak
menentu, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, rendahnya daya
adaptasi sosial ekonomi dan pola kehidupan kota. Kondisi yang serba terlanjur,
kekurangan dan semakin memprihatmkan itu mendorong para pendatang tersebut untuk
hidup seadanya, termasuk tempat tinggal yang tidak memenuni syarat kesehatan.
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota,
perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di
daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial,
ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah
keija keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar
tetap bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi
pengangguran. Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan
hukum, kesehatan, solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang
diperhatikan.
Oleh karena para pemukim pada umumnya terdiri dari golongan-golongan yang tidak
berhasil mencapai kehidupan yang layak, maka tidak sedikit menjadi pengangguran,
gelandangan, pengemis, yang sangat rentan terhadap terjadinya perilaku menyimpang dan
berbagai tindak kejahatan, baik antar penghuni itu sendiri maupun terhadap masyarakat
lingkungan sekitanya.
Perilaku menyimpang pada umumnya sering dijumpai pada permukiman kumuh adalah
perilaku yang bertentangan dengan normanorma sosial, tradisi dan kelaziman yang berlaku
sebagaimana kehendak sebagian besar anggota masyarakat.
Wujud perilaku menyimpang di permukiman kumuh ini berupa perbuatan tidak disiplin
lingkungan seperti membuang sampah dan kotoran di sembarang tempat. Kecuali itu, juga
termasuk perbuatan menghindari pajak, tidak memiliki KTP dan menghindar dari
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, seperti gotong-royong dan kegiatan sosial lainnya.
Bagi kalangan remaja dan pengangguran, biasanya penyimpangan perilakunya berupa
mabuk-mabukan, minum obat terlarang, pelacuran, adu ayam, bercumbu di depan umum,
begadang dan berjoget di pinggir jalan dengan musik keras sampai pagi, mencorat-coret
dinding/bangunan fasilitas umum, dan lain-lain.
Di samping itu juga pesatnya pertumbuhan penduduk kota dan lapangan pekerjaan di
wilayah perkotaan mengakibatkan semakin banyaknya pertumbuhan permukiman-
permukiman kumuh yang menyertainya dan menghiasi areal perkotaan tanpa penataan
yang berarti.
Masalah yang terjadi akibat adanya perrnukiman kumuh ini, khususnya dikota-kota besar
diantaranya wajah perkotaan menjadi memburuk dan kotor, planologi penertiban
bangunan sukar dijalankan, banjir, penyakit menular dan kebakaran sering melanda
perrnukiman ini. Di sisi lain bahwa kehidupan penghuninya terus merosot baik
kesehatannya, maupun sosial kehidupan mereka yang terus terhimpit jauh dibawah garis
kemiskinan (Susanto, 1974).
Secara umum permasalahan yang sering terjadi di daerah permukiman kumuh adalah:
1) Ukuran bangunan yang sangat sempit, tidak memenuhi standar untuk bangunan layak
huni.
2) Rumah yang berhimpitan satu sama lain membuat wilayah permukiman rawan akan
bahaya kebakaran.
3) Sarana jalan yang sempit dan tidak memadai.
4) Tidak tersedianya jaringan drainase.
5) Kurangnya suplai air bersih.
6) Jaringan listrik yang semrawut.
7) Fasilitas MCK yang tidak memadai.
2.4 Pengaruh Permukiman Kumuh Terhadap Lingkungan
Lingkungan permukiman kumuh memberi dampak yang bersifat multi dimensi
diantaranya dalam dimensi penyelenggaraan pemerintahan, tatanan sosial budaya,
lingkungan fisik serta dimensi politis. Di bidang penyelenggaraan pemerintahan,
keberadaan lingkungan permukiman kumuh memberikan dampak citra ketidakberdayaan,
ketidakmampuan dan bahkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pengaturan pelayanan
kebutuhan-kebutuhan hidup dan penghidupan warga kota maupun pendatang dan
pelayanan untuk mendukung kegiatan sosial budaya, ekonomi, teknologi, ilmu
pengetahuan, dan sebagainya.
Dampak terhadap tatanan sosial budaya kemasyarakatan adalah bahwa komunitas yang
bermukim di lingkungan permukiman kumuh yang secara ekonomi pada umumnya
termasuk golongan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah, seringkali dianggap
sebagai penyebab terjadinya degradasi kedisiplinan dan ketidaktertiban dalam berbagai
tatanan sosial kemasyarakatan (Sri, 1988).
Di bidang lingkungan/hunian komunitas penghuni lingkungan permukiman kumuh
sebagian besar pekerjaan mereka adalah tergolong sebagai pekerjaan sektor informal yang
tidak memerlukan keahlian tertentu, misalnya sebagai buruh kasar/kuli bangunan,
sehingga pada umumnya tingkat penghasilan mereka sangat terbatas dan tidak mampu
menyisihkan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan perumahan dan permukiman
sehingga mendorong terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang pada gilirannya
memunculkan terjadinya permukiman kumuh.
Dampak negatif permukiman kumuh daerah terpinggirkan adalah: menjadi penyakit dari
keindahan kota dan pemborosan sumber daya kota; sumber berbagai jenis penyakit
epidemi; sumber penyakit psikis atau kejiwaan, seperti tidak suka tinggal di rumah dan
kerawanan sosial. Solusi penataannya membutuhkan peran semua pihak secara timbal
balik, khususnya misi dinas terkait, LSM yang paham kompleksitas permasalahan
permukiman kumuh, baik dari segi teknis-teknologis ataupun sosial-budaya, dengan
melibatkan partisipasi aktif masyarakat permukiman kumuh itu sendiri. Faktor-faktor
kendala pelaksanaan program: kendala dari pihak penentu kebijaksanaan, dipecahkan
dengan perbaikan mental dan pemahaman terhadap kebutuhan dari masyarakat miskin
kota. Kendala dari masyarakat sasaran program dan alternatif yang harus dipecahkan,
berupa: kepemilikan lahan, semangat menetap, kemiskinan, kepribadian dan sikap
fatalistik kelompok sosial ini (Sulistyawati, 2007).
Keberadaan komunitas yang bermukim di lingkungan permukiman kumuh ini akan
cenderung menjadi lahan subur bagi kepentingan politis tertentu yang dapat dijadikan
sebagai alat negosiasi berbagai kepentingan. Fenomena ini apabila tidak diantisipasi secara
lebih dini akan meningkatkan eskalasi permasalahan dan kinerja pelayanan kota. Upaya
penanganan permukiman kumuh telah diatur dalam UndangUndang No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Permukiman, yang menyatakan bahwa “untuk mendukung
terwujudnya lingkungan permukiman yang memenuhi persyarakatan keamanan,
kesehatan, kenyamanan dan keandalan bangunan, suatu lingkungan permukiman yang
tidak sesuai tata ruang, kepadatan bangunan sanggat tinggi, kualitas bangunan sangat
rendah, prasaranan lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan, yang dapat
membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dapat ditetapkan oleh
Pemerintah Kota Yogyakarta yang bersangkutan sebagai lingkungan permukiman kumuh
yang tidak layak huni dan perlu diremajakan”.
Penanganan peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang diatur dalam Inpres No. 5
Tahun 1990, tentang pedoman pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh di atas tanah
negara dinyatakan bahwa “Pertimbangan peremajaan permukirnan kumuh adalah dalam
rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutarna bagi golongan
masyarakat berpenghasilan rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh
yang berada di atas tanah Negara”. Hal ini disebabkan eksistensi permukiman kumuh tidak
dapat dilepaskan dari ekosistim kota, dan justro merupakan potensi ketenagakerjaan yang
menunjang tata perekonomian kota (Sri, 1988). Peremajaan permukiman kumuh dalam
Inpres No. 5 Tahun 1990 tersebut adalah meliputi pembongkaran sebagian atau seluruh
permukiman kumuh yang sebagian besar atau selurahnya berada di atas tanah negara dan
kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas rumah susun serta
bangunan-bangunan lain sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan
(Koestoer, 1997). Untuk mempereepat pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh
tersebut, perlu didorong keikutsertaan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, Yayasan dan Perusahaan Swasta serta masyarakat luas yang pelaksanaannya perlu
dilakukan secara terkoordinasi dengan instansi-instansi terkait.
Selanjutnya kebijakan penanganan permukiman kumuh sesuai Surat Edaran Menpera
No. 04/SE/M/I/93 Tahun 1993, dinyatakan bahwa perumahan dan permukiman kumuh adalah
lingkungan hunian dan usaha yang tidak layak huni yang keadaannya tidak memenuhi
persyaratan teknis, sosial, kesehatan, keselamatan dan kenyamanan serta tidak memenuhi
persyaratan ekologis dan legal administratif yang penanganannya dilaksanakan melalui pola
perbaikan/pemugaran, peremajaan maupun relokasi sesuai dengan tingkat/ kondisi
permasalahan yang ada.
Menurut Khomarudin (1997) permukiman kumuh dapat didefinisikan sebagai berikut
suatu lingkungan yg berpenghuni padat (melebihi 500 org per Ha) dengan kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang rendah, jumlah rumahnya sangat padat dan ukurannya dibawah
standartd, sarana prasarana tidak ada atau tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan serta
hunian dibangun diatas tanah milik negara atau orang lain dan diluar perundang-undangan
yang berlaku.
Adapun timbulnya kawasan kumuh menurut Hari Srinivas (2003) dapat dikelompokan
sebagai berikut:
 Faktor internal: Faktor budaya, agama, tempat bekerja, tempat lahir, lama tinggal,
investasi rumah, jenis bangunan rumah.
 Faktor eksternal: Kepemilikan tanah, kebijakan pemerintah

Penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh menurut Khomarudin (1997) antara lain
adalah :
 Urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat,
berpenghasilan rendah,
 Sulit mencari pekerjaan,
 Sulitnya mencicil atau menyewa rumah,
 Kurang tegasnya pelaksanaan perundang-undangan,
 Perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah serta
 Disiplin warga yang rendah.
 Kota sebagai pusat perdagangan yang menarik bagi para pengusaha,
 Semakin sempitnya lahan permukiman dan tingginya harga tanah.
Perumahan kumuh dapat mengakibatkan berbagai dampak. Dampak sosial, dimana
sebagian masyarakat kumuh adalah masyarakat berpenghasilan rendah dengan kemampuan
ekonomi menengah ke bawah dianggap sebagai sumber ketidakteraturan dan ketidakpatuhan
terhadap norma-norma sosial. Daerah ini sering dipandang potensial menimbulkan banyak
masalah perkotaan, karena dapat merupakan sumber timbulnya berbagai perilaku
menyimpang, seperti kejahatan, dan sumber penyakit sosial lainnya.
Dampak langsung dari adanya permukiman kumuh dalam hal keruangan yaitu adanya
penurunan kualitas lingkungan fisik maupun sosial permukiman yang berakibat semakin
rendahnya mutu lingkungan sebagai tempat tinggal (Yunus, 2000 dalam Gamal Rindarjono,
2010)
Permukiman kumuh umumnya di pusat-pusat perdagangan, seperti pasar kota,
perkampungan pinggir kota, dan disekitar bantaran sungai kota. Kepadatan penduduk di
daerah-daerah ini cenderung semakin meningkat dengan berbagai latar belakang sosial,
ekonomi, budaya dan asal daerah. Perhatian utama pada penghuni permukiman ini adalah
kerja keras mencari nafkah atau hanya sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari agar tetap
bertahan hidup, dan bahkan tidak sedikit warga setempat yang menjadi pengangguran.
Sehingga tanggungjawab terhadap disiplin lingkungan, norma sosial dan hukum, kesehatan,
solidaritas sosial, tolong menolong, menjadi terabaikan dan kurang diperhatikan.
HASIL SURVEI
Seperti permukiman di Kelurahan Oesapa, RT.27 khususnya. Berikut adalah penjelasan
lebih lanjut mengenai kawasan tersebut.

Propinsi : Nusa Tenggara Timur


Kabupate/Kota : Kota Kupang
Kecamatan : Kelapa Lima
Kelurahan : Oesapa
RT/RW : 27/10
Luas kawasan : 6,072 Ha
Jumlah penduduk : 401 jiwa
Jumlah KK : 118 KK
Jumlah bangunan : 85 Unit
Legalitas lokasi : Ya, tercantum dalam SK Walikota
Tipologi lokasi : Di Tepi Air
Karakteristik kawasan : Permukiman Nelayan
Kejelasan status tanah : Jelas
Kesesuaian dengan RTRW : Sesuai
Kondisi Kekumuhan
Aspek Kondisi
Bangunan gedung Kondisi bangunan tidak teratur dan tidak seragam
Pada beberapa titik masih tedapat bangunan non permanen
Halaman rumah yang minim
Jalan lingkungan Jalan lingkugan perkerasan (aspalt) dengan kualitas baik
Terdapat jalan setapak perkerasan (paving block) dengan luasan
yang sempit
Masih terdapat jalan tanpa perkerasan
Penyediaan air minum Sumber air adalah dari sumur pribadi dan PDAM

Drainase lingkungan Sudah terdapat saluran drainase namun hanya di beberapa titik
Pemeliharaan air limbah Sistem pengelolaan limbah diatur oleh masing2 bangunan
tidak tedapat pengolahan limbah yang terpusat
persampahan Tidak terdapat tempat pembuangan sampah
Pada beberapa bangunan, sampah diolah secara pribadi
(dibakar)
Masih terdapat tumpukan sampah yang dibuang sembarangan.
Proteksi kebakaran Tidak terdapat sarana proteksi kebakaran

Dari aspek aspek permukiman kumuh yang telah dibahas, dapat dilihat bahwa pada
setiap aspek terdapat permasalahan yang dihadapi. Bahkan juga di kawasan ini tidak terdpaat
sarana dan prasarana proteksi terhadap kebakaran yang kurang baik bagi lingkungan ini. Juga
jaringan drainase yang hanya tersedia dibeberapa titik sehingga mengakibatkan penurunan
kualitas lingkungan ini pada musim hujan. Masalah-masalah ini seharusnya mendapatkan
perhatian lebih dari pemerintah dan dapat di perbaiki demi keyamanan masyarakat yang
tinggal di lingkungan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai