Anda di halaman 1dari 6

1.

Pembangunan di daerah sekitar aliran sungai

Peraturan mentri pekerja umum dan perumahan rakyat Republik


Indonesia No 28/PRT/M/2015 pada bab 1 pasal 1 menyatakan sungai
adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara,
dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan. Dapat disimpulkan
bahwa sungai adalah bagian dari daratan yang menjadi tempat tempat
aliran air yang berasal dari mata air atau curah hujan. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 dalam pasal 5 ayat 2
menyatakan bahwa sungai adalah kawasan lindung
Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang
dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan
mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya
bermuara ke danau/laut (Manan, 1979)1. Daerah Aliran Sungai (DAS)
merupakan ekosistem yang terdiri dari unsur utama vegetasi, tanah, air
dan manusia dengan segala upaya yang dilakukan di dalamnya
(Soeryono, 1979). Peraturan Mentri Pekerja umum dan perumahan
rakyat republic Indonesia NO 28/PRT/M/2015 pada bab 1 pasal 1 no 6
mendefinisikan daerah aliran sungai adalah suatu wilayah daratan yang
merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang
berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal
dari curah hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan
pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sedangkan daerah sempadan sungai adalah daerah sepanjang kiri
kanan sungai dihitung dari tepi sungai sampai garis sempadan sungai
termasuk sungai buatan yg mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan pelestarian fungsi sungai, baik yg telah dibebaskan
maupun yang tidak dibebaskan. Pengelolaan kawasan sempadan sungai

1
Manan, S., 1979, Pengaruh Hutan dan Managemen Daerah Aliran Sungai, Fakultas
Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor
diarahkan untuk melindungi sungai dari kegiatan yang dapat
mengganggu dan merusak kualitas air sungai dan kondisi fisik tepi dan
dasar sungai2. Peraturan Mentri Pekerja umum dan perumahan rakyat
republic Indonesia No 28/PRT/M/2015 pasal 3 ayat 1 penetapan garis
sempadan sungai sebagai upaya agar kegiatan perlindungan,
penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai
dan danau dapat dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Sedagkan pada
ayat 2 menjelaskan penetapan garis sempadan sungai bertujuan agar
fungsi sungai tidak terganggu oleh aktifitas yang berkembang di
sekitarnya, menjaga kelestarian fungsi sungai, dan daya rusak air sungai
dapat dibatasi. Sedangkan pasal 5 menyatakan
 Ayat 1
Garis sempadan pada sungai tidak bertanggul di dalam kawasan
perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a,
ditentukan:

 Paling sedikit berjarak 10 (sepuluh) meter dari tepi kiri dan


kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman
sungai kurang dari atau sama dengan 3 (tiga) meter;
 Paling sedikit berjarak 15 (lima belas) meter dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (dua puluh)
meter; dan
 Paling sedikit berjarak 30 (tiga puluh) meter dari tepi kiri dan
kanan palung sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman
sungai lebih dari 20 (dua puluh) meter.

 Pasal 6 Ayat 1

Sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, terdiri atas
2
http://eprints.umm.ac.id/36252/3/jiptummpp-gdl-adamfadili-48207-3-babii.pdf
diaksespada 28 April 2019 pukul 03.22 PM
 Sungai besar dengan luas daerah aliran sungai lebih besar dari

500 (lima ratus) Km2; dan

 sungai kecil dengan luas daerah aliran sungai kurang dari atau

sama dengan 500 (lima ratus) Km2

 Pasal 6 ayat 2

Garis sempadan sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan


perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditentukan
paling sedikit berjarak 100 (seratus) meter dari tepi kiri dan kanan
palung sungai sepanjang alur sungai.

 Pasal 6 ayat 3

Garis sempadan sungai kecil tidak bertanggul di luar kawasan


perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ditentukan
paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai.

 Pasal 7

Garis sempadan sungai bertanggul di dalam kawasan perkotaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, ditentukan
paling sedikit berjarak 3 (tiga) meter dari tepi luar kaki tanggul
sepanjang alur sungai.

 Pasal 8

Garis sempadan sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf d, ditentukan
paling sedikit berjarak 5 (lima) meter dari tepi luar kaki tanggul
sepanjang alur sungai.

 Pasal 13

Penetapan garis sempadan sungai dilakukan oleh:


 Menteri, untuk danau yang berada pada wilayah sungai lintas
provinsi, wilayah sungai lintas negara, dan wilayah sungai
strategis nasional
 gubernur, danau yang berada pada wilayah sungai lintas
kabupaten/kota; dan
 bupati/walikota, danau yang berada pada wilaya sungai
dalam satu kabupaten/kota
 Pasal 15

Jika terdapat bangunan dalam sempadan sungai maka bangunan


tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus
ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai.
2. Pemungkiman Kumuh
Pemukiman sering disebut perumahan dan atau sebaliknya. Pemukiman
berasal dari kata housing dalam bahasa Inggris yang artinya adalah perumahan
dan kata human settlement yang artinya pemukiman. Perumahan memberikan
kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana
ligkungannya.
Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang sikap dan
tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan kelas
menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap
yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang
belum mapan.
Menurut kamus ilmu-ilmu sosial Slum’s diartikan sebagai suatu daerah
yang kotor yang bangunan-bangunannya sangat tidak memenuhi syarat. Jadi
daerah slum’s dapat diartikan sebagai daerah yang ditempati oleh penduduk
dengan status ekonomi rendah dan bangunan-bangunan perumahannya tidak
memenuhi syarat untuk disebut sebagai perumahan yang sehat.
Slum’s merupakan lingkungan hunian yang legal tetapi kondisinya tidak
layak huni atau tidak memnuhi persyaratan sebagai tempat permukiman
(Utomo Is Hadri, 2000). Slum’s yaitu permukiman diatas lahan yang sah yang
sudah sangat merosot (kumuh) baik perumahan maupun permukimannya
(Herlianto, 1985). Dalam kamus sosiologi Slum’s yaitu diartikan sebagai
daerah penduduk yang berstatus ekonomi rendah dengan gedung-gedung yang
tidak memenuhi syarat kesehatan. (Sukamto Soerjono, 1985).
Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana
air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang
terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya3.
Sadyohutomo (2008), yaitu tempat tinggal penduduk miskin di pusat kota
dan permukiman padat tidak teratur di pinggiran kota yang penghuninya
umumnya berasal dari para migran luar daerah. Sebagian dari permukiman ini
merupakan permukiman yang ilegal pada tanah yang bukan miliknya, tanpa
seijin pemegang hak tanah sehingga disebut sebagai permukiman liar (wild
occupation atau squatter settlement). Tanah-tanah yang diduduki secara liar ini
adalah tanah-tanah pemerintah atau negara, misalnya sempadan sungai,
sempadan pantai, dan tanah instansi yang tidak terawatt. Penyebab munculnya
permukiman kumuh adalah sebagai berikut (Sadyohutomo, 2008)4:
1. Pertumbuhan kota yang tinggi, yang tidak diimbangi oleh tingkat
pendapatan yang cukup
2. Keterlambatan pemerintah kota dalam merencanakan dan membangun
prasarana (terutama jalan) pada daerah perkembangan permukiman baru.
Seiring dengan kebutuhan perumahan yang meningkat maka masyarakat
secara swadaya memecah bidang tanah dan membangun permukiman
tanpa didasari perencanaan tapak (site plan) yang memadai. Akibatnya
bentuk dan tata letak kaveling tanah menjadi tidak teratur dan tidak
dilengkapi prasarana dasar permukiman.

Menurut Avelar et al. (2008) karakteristik permukiman kumuh mempunyai


kondisi perumahan dengan kepadatan tinggi dan ukuran unit perumahan relatif
3
https://elib.unikom.ac.id/files/disk1/543/jbptunikompp-gdl-diralazuar-27111-5-unikom_d-
i.pdf di akses pada 26- April 2019 pukul 06.00 AM
4
https://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/27368/7/Bab%20II%20Tinpus
%20A10gus-4.pdf di akses pada 26- April 2019 pukul 06.06 AM
kecil, atap rumah di daerah kumuh biasanya terbuat dari bahan yang sama
dengan dinding. Karakteristik pemukiman kumuh yang paling menonjol
adalah kualitas bangunan rumahnya yang tidak permanen, dengan kerapatan
bangunan yang tinggi dan tidak teratur, prasarana jalan yang sangat terbatas
kalaupun ada berupa gang-gang sempit yang berliku-liku, tidak adanya saluran
drainase dan tempat penampungan sampah, sehingga terlihat kotor. Tidak
jarang pula pemukiman kumuh terdapat di daerah yang secara berkala
mengalami banjir (Rebekka, 1991)

C. Membuang Sampah di sungai

Untuk pelanggar yang membuang sampah dengan sengaja ke sungai, akan


dikenai hukuman atau sanksi sebagaimana diatur pada UU Nomor 32 Tahun 2009
tersebut. Dalam undang-undang tersebut, lanjutnya, dicantumkan bahwa hukuman bagi
pelanggar berupa pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun.
Sedangkan denda paling sedikit Rp 3 Miliar dan paling banyak Rp 10 Miliar.

Anda mungkin juga menyukai