Anda di halaman 1dari 4

LEMBAGA KETAHANAN NASIONAL

REPUBLIK INDONESIA

KERANGKA ACUAN DISKUSI KELOMPOK (DK)


UNTUK PESERTA
BIDANG STUDI DEMOGRAFI
PPRA LXI TAHUN 2020

JUDUL:
“KEBIJAKAN DALAM MENGATASI PERSOALAN MOBILITAS PENDUDUK
DI DAERAH PINGGIRAN DAN PERBATASAN”

1. Pengantar

Berbicara mengenai kependudukan, maka ruang lingkup yang dibahas


adalah meliputi Kuantitas, Kualitas dan Mobilitas penduduk. Pada
kesempatan ini yang akan dibahas/didiskusikan adalah mobilitas penduduk.
Mobilitas penduduk adalah merupakan gerak keruangan penduduk dengan
melewati batas administrasi pemerintahan baik Kabupaten/Kota maupun
Kecamatan. Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain seperti yang
disebutkan di atas tentunya merupakan suatu keniscayaan yang pasti akan selalu
terjadi. Mobilitas penduduk tentunya akan memberikan dampak baik positif
maupun negatif baik terhadap individu/pribadi yang melakukannya maupun
terhadap lingkungan.

Istilah mobiltas penduduk diartikan menjadi gerak penduduk seperti yang


dinyatakan oleh Mantra (1985:15): “Mobilitas penduduk yaitu semua gerak
penduduk dalam waktu tertentu dan batas wilayah administrasi tertentu seperti
batas Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan sebagainya”. Sedangkan menurut
Sumaatmadja (1981:147), bahwa: Pergerakan penduduk dari satu tempat ke
tempat yang lainnya, baik untuk memenuhi kebutuhan ekonomi maupun untuk
memenuhi kebutuhan yang lainnya.

Daerah yang memiliki topografi berbentuk berbukit-bukit mempengaruhi


tingkat isolasi suatu wilayah. Kawasan yang terisolasi menyebabkan sulitnya
kawasan tersebut untuk dijangkau dan berakibat pada lambatnya pembangunan
daerah. Ketertinggalan pembangunan ini berdampak besar pada perekonomian
masyarakat, yakni sulitnya akses untuk menyalurkan hasil bumi ataupun distribusi
bahan pangan ataupun papan. Hal ini mengakibatkan berbagai ketimpangan
antar daerah dan mendorong masyarakat pada daerah tersebut melakukan
mobilitas ketempat yang lebih nyaman/menjanjikan.

Dengan berbedanya keadaan disetiap wilayah, maka lahirlah istilah daerah


terluar, terdepan dan tertinggal (3T), yang akan ikut mempengaruhi penduduk
2

setempat melakukan mobilitas atau tidaknya karena kebutuhan sumber daya


yang sangat mendesak dan terbatas tersebut.

Yang dimaksudkan dengan daerah pinggiran secara absoluut, wilayah


pinggiran berada diposisi pinggiran dari negara, yaitu wilayah perbatasan negara.
Secara relatif wilayah pinggiran dapat berupa wilayah yang masih cenderung
kurang diperhatikan oleh proses pembangunan/jauh dari aktivitas pembangunan
(geo ugm, ac.id). Sedang daerah perbatasan adalah garis khayal yang
memisahkan dua atau lebih wilayah politik atau yuridiksi seperti negara, propinsi
kabupaten/kota. Di beberapa wilayah Indonesia, perbatasan ditandai dengan
tapal batas berukuran besar/kecil.(wikipedia)

Dengan demikian daerah pinggiran maupun daerah perbatasan adalah suatu


daerah wilayah politik/pemerintahan ataupun yuridiksi yang masih tertinggal
dalam berbagai bidang pembangunan, seperti perekonomian masyarakat, SDM,
infrastruktur, kemampuan keuangan lokal dan aksesbilitas.

Bencana pandemi Covid-19 yang tengah melanda bangsa Indonesia telah


memasuki bulan ketiga. Dampak yang ditimbulkan meliputi berbagai aspek
kehidupan. Berbagai keterbatasan harus dipatuhi, mulai menjaga jarak interaksi
fisik antar individu sampai pembatasan sosial berskala besar di beberapa
kota/kabupaten dengan insiden penyakit dan penularan yang tinggi. Kegiatan
yang dibatasi meliputi kegiatan belajar di sekolah dan institusi pendidikan lain,
kegiatan di tempat kerja, kegiatan keagamaan, kegiatan sosial/budaya.
Pembatasan juga berkonsekuensi penutupan fasilitas umum, pusat perbelanjaan,
tempat hiburan, kegiatan keramaian, moda transportasi, dan kegiatan
perusahaan.

Kondisi pandemi membuat pola kehidupan sehari-hari berubah dengan tujuan


mencegah penyebaran penyakit. Ada pola kehidupan baru akibat berbagai
pembatasan ini. Ada pergeseran akibat pembatasan kontak fisik menjadi
kehidupan online. Pada masa pandemi ini terjadi suatu kondisi baru di mana
interaksi fisik tidak dapat dilakukan. Situasi normal sebelum kondisi pandemi
berubah menjadi tidak normal.

Oleh karenanya judul di atas “Kebijakan dalam mengatasi persoalan


Mobilitas Penduduk di daerah pinggiran dan perbatasan” akan sangat menarik
untuk dikupas dalam Diskusi Kelompok Peserta, apalagi pada saat ini sedang
berlangsung Pandemi Copid 19, sehingga para peserta dapat lebih mendalami
Kebijakan dalam mengatasi persoalan mobilitas penduduk di daerah pinggiran
dan perbatasan.

2. Latar Belakang

Sebagaimana diketahui bahwa semenjak munculnya Revolusi Industri di


Eropa pada abad ke-18 yang diikuti oleh tumbuhnya wilayah-wilayah perkotaan
3

(urban areas), arus perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi fenomena
yang abadi hingga saat ini terus bekelanjutan. Hal ini sangat wajar, mengingat
fenomena kota-kota selalu ditandai oleh berkembangnya kegiatan ekonomi
sebagai trigger utama laju mobilitas penduduk. Urbanisasi sendiri merupakan
suatu kondisi terkonsentrasinya penduduk di wilayah perkotaan, baik yang
disebabkan oleh arus migrasi desa-kota maupun karena perubahan fungsi
wilayah pedesaan menjadi wilayah yang bercorak perkotaan.

Selain faktor migrasi desa-kota, proporsi penduduk perkotaan yang lebih


besar dibanding penduduk pedesaan ini juga disebabkan oleh banyaknya
perubahan status desa menjadi kelurahan, serta munculnya kota-kota otonom
baru.

Dari data yang ada, dapat diperkirakan bahwa urbanisasi merupakan faktor
yang berkontribusi terhadap meledaknya jumlah penduduk di perkotaan.

Adanya fakta yang menunjukan tingginya jumlah penduduk, laju


pertumbuhan penduduk, serta arus urbanisasi di Kota-kota besar di Pulau Jawa,
hal ini harus benar-benar diperhatikan para pemegang kebijakan, baik di
lingkungan eksekutif maupun legislatif. Sebab, laju pertumbuhan penduduk dan
urbanisasi yang tidak terkendali akan membawa dampak yang tidak
menguntungkan baik bagi masyarakat maupun bagi proses pembangunan yang
telah berlangsung selama ini. Sementara itu, disisi lain harus diakui bahwa
kebijakan yang ada selama ini kurang efektif untuk mengendalikan laju
kependudukan (khususnya arus urbanisasi).

Pergerakan penduduk dari satu tempat ke tempat yang lainnya, baik untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi maupun untuk memenuhi kebutuhan yang
lainnya. Tingkah laku manusia dalam bentuk perpindahan tadi, erat hubungannya
dengan faktor-faktor geografi pada ruang yang bersangkutan. Faktor-faktor
tersebut meliputi faktor fisik dan non fisik. Bentuk permukaan bumi, keadaan
cuaca disuatu wilayah merupakan faktor fisik yang dapat mempengaruhi gerak
berpindah yang dilakukan manusia. Alat transportasi, kegiatan ekonomi, biaya
trasportasi, kondisi jalan, dan kondisi sosial budaya setempat merupakan faktor
non fisik yang mendorong manusia untuk pindah dari tempat asalnya.

Perbedaan keadaan yang ada ditiap wilayah yang ada di Indonesia ini
mengakibatkan adanya perbedaan lingkungan yang di butuhkan terhadap
kebutuhan makhluk hidup didalamnya. Perbedaan lingkungan yang dibutuhkan
tersebut berdampak pada perbedaan kemampuan suatu daerah dengan daerah
lainnya untuk memenuhi kebutuhan hidup, contohnya kebutuhan ekonomi
manusia dan makhluk hidup lainnya yang ada pada wilayah tersebut.

Penduduk yang tinggal pada suatu daerah yang lingkungannya rendah akan
berupaya untuk memenuhi kebutuhannya dengan bekerja di daerah lain yang
4

lebih memiliki lingkungan yang mendukung ataupun bisa pindah secara


permanen. Dapat di katakan karena keadaan suatu daerah dapat menyebabkan
adanya mobilitas penduduk atau perpindahan penduduk.

Mobilitas penduduk terjadi karena adanya berbagai faktor pendorong dan


faktor penarik. Faktor pendorong menyebabkan seseorang dapat memiliki niat
untuk pergi dari daerah asalnya, sedangkan faktor penarik menyebabkan
seseorang memiliki keinginan pergi atau pindah ke daerah tujuan dan
meninggalkan daerah asalnya.

Dari uraian latar belakang di atas yang menjadi perumusan masalah adalah
bagaimana kebijakan dalam mengatasi persoalan mobilitas penduduk di daerah
pinggiran dan perbatasan serta bagaimana upaya mengatasinya.

3. Penugasan

Para peserta agar membuat tulisan dalam bentuk Kertas Karya Ilmiah Acuan
(KKA) dengan substansi mengacu sesuai Pasal 2 di atas serta mempresentasikan
dalam Diskusi Kelompok, dengan berpedoman pada Petunjuk Teknis Penulisan
Kertas Karya Ilmiah Acuan (KKA) Lemhannas RI tahun 2020.

4. Referensi
Website dari institusi resmi, buku- buku/ artikel/ literatur para Ahli. Untuk
menjamin legalitas penulisan, Peserta harus mencantumkan footnote dalam
produk tulisan KKA-nya.

Jakarta, 17 Juli 2020


Tajar Bidang Kependudukan
Lemhannas RI,

Drs. Immanuel Larosa


Inspektur Jendral Polisi

Anda mungkin juga menyukai