Anda di halaman 1dari 22

ANALISIS MIGRASI PENDUDUK DKI JAKARTA SEBAGAI AKIBAT

PERUBAHAN IKLIM GLOBAL

PROPOSAL PENELITIAN
Untuk memenuhi tugas mata kuliah
GEOGRAFI SOSIAL
Yang diampu oleh Bapak Dr. Singgih Susilo, M.S., M.Si.

Oleh
Irene Mega Mellyana 190721637666
Robby Hilmi Rachmadian 190721637636
Septian Alfa Risky Pratama 190721637709
Zaki Abdulfattah 190721637644

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
PRODI S1 PENDIDIKAN GEOGRAFI
DESEMBER 2020
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan zaman jumlah manusia dari waktu
ke waktu terus mengalami peningkatan. Peningkatan ini kemudian
menyebabkan beberapa bagian di dunia terjadi kemiskinan dan
kekurangan pangan. Manusia ini hidup dan berada pada suatu wilayah di
muka bumi serta membentuk suatu kelompok atau identitas sebagai
penduduk. Penduduk merupakan semua orang yang berdomisili di wilayah
geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan kurang dari enam
bulan akan tetapi memiliki tujuan untuk menetap. Pertumbuhan penduduk
ini diakibatkan oleh 3 faktor yaitu fertilitas, mortalitas dan migrasi.
Salah satunya adalah migrasi yang sering dilakukan oleh suatu
penduduk di dunia. Migrasi merupakan salah satu faktor dasar yang
memengaruhi pertumbuhan penduduk. Jika ditinjau dari pengertiannya
migrasi berarti bahwa perpindahan penduduk dengan tujuan untuk
menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik atau
negara atau pun batas administrasi/batas bagian dalam suatu negera.
Sehingga migrasi sering diartikan sebagai perpindahan yang relatif
permanen dari suatu daerah ke daerah lainnya. Adapun migrasi dapat
dikategorikan menjadi dua jenis yakni migrasi internal dan migrasi
internasional. Migrasi internal marupakan suatu gerakan penduduk baik
yang dilakukan oleh individu maupu kelompok yang masuk dan keluar
dari daerah asal penduduk tersebut ke daerah tujuan yang masih berada di
salam suatu negara. Sedangkan migrasi internasional marupakan migrasi
yang mengacu pada perpindahan penduduk baik yang dilakukan oleh
individu maupun kelompok yang melewati batas suatu negara.
Migrasi pada umumnya dipengaruhi berbagai faktor tergantung
pada karakteristik daerah asal, daerah tujuan dan individu yang melakukan
migrasi serta adanya perbedaan nilai kebermanfaatan antar suatu daerah
dengan lainnya. Meninggalkan daerah asal ke daerah yang ingin dituju
tentu disebabkan oleh adanya suatu hal yang menarik dan menguntungkan
bagi individu atau kelompok yang ingin melakukan migrasi, sementara di
daerah asal tidak menarik dan menguntungkan. Sebagaimana yang
diungkapkan Maryani (2002) bahwa seseorang melakukan migrasi dapat
dilihat dari segi sebagai berikut.
1. Ekonomi, faktor berupa sempitnya pemilikan lahan, rendahnya
upah dan pendapatan, terbatasnya lapangan pekerjaan diluar sektor
pertanian, keterbatasan modal dan kemiskinan.
2. Demografi, faktor berupa tingginya pertumbuhan penduduk,
banyaknya angkatan kerja dan tingginya beban ketergantungan.
3. Keamanan, faktor berupa rawannya keamanan dan tidak adanya
ketenangan hidup.
4. Sosial budaya, faktor berupa adanya kejenuhan terhadap ikatan-
ikatan terhadap adat, keterbatasan fasilitas sosial budaya seperti
pendidikan, kesehatan, hiburan dan sebagainya.
5. Fisik, faktor berupa hambatan-hambatan fisik seperti keadaan
cuaca, tata air dan topografi, lahan yang kurang subur dan
keterbatasan sumber daya alam.
Secara umum faktor penentu migrasi cenderung pada satu
kesimpulan yang hampir sama yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi.
Akan tetapi dalam fokus penelitian ini menitikberatkan pada faktor
migrasi berupa fisik yaitu cuaca atau perubahan iklim. Dimana perubahan
ini diakibatkan karena banyaknya aktivitas manusia yang memengaruhi
suatu lingkungan akibat adanya peningkatan jumlah penduduk di suatu
wilayah.
Penelitian ini mengambil lokasi yakni Daerah Khusus Ibukota
Jakarta karena kota ini selalu dijadikan pilihan untuk individu atau
kelompok dalam mempertimbangkan keinginan untuk melakukan migrasi.
Akan tetapi, semakin adanya migrasi yang terus terjadi di DKI Jakarta
membuat peningkatan jumlah penduduk yang berdampak pada kondisi
lingkungan utamanya perubahan iklim atau cuaca di daerah tersebut. Tidak
bisa dipungkiri bahwa kota memegang peranan yang cukup penting dalam
perkebangan masyarakat, kota menjadi wadah kegiatan manusia karena
memiliki fasilitas yang lengkap dalam memenuhi kebutuhan, baik
kebutuhan sosial, pendidikan dan ekonomi.
Oleh karena itu, fenomena migrasi ini yang melatarbelakangi DKI
Jakarta sebagai tempat tujuan. Dari data pada bulan Maret 2020, Dinas
Kependudukan Sipil Provinsi DKI Jakarta mencatat sebanyak 7.421 jiwa
penduduk yang datang bermigrasi ke kota ini. Dimana sebanyak 3.537 dari
penduduk laki-laki dan sebanyak 3.8840 dari penduduk perempuan.

Gambar 1. Grafik Tingkat Urbanisasi Penduduk dari Luar DKI Jakarta

Adapun dengan rincian penduduk yang datang paling banyak


bermukim di wilayah Jakarta Timur sebanyak 2.215 jiwa penduduk.
Kemudian diikuti Jakarta Barat jumlah penduduk yang masuk sebanyak
1.886 jiwa, wilayah Jakarta Selatan sebanyak 1.281 jiwa, Jakarta Utara
sebanyak 1.189 jiwa dan Jakarta Pusat sebanyak 832 jiwa serta wilayah
Kepulauan Seribu sebanyak 18 jiwa.
Namun sekarang ini, DKI Jakarta sering mengalami masalah
lingkungan karena banyak aktivitas manusia di dalamnya. Masalah
lingkungan ini seperti seringnya terjadi banjir, polusi udara yang cukup
berat karena DKI Jakarta memiliki padat kendaraan bermotor, terjadinya
penurunan muka air tanah karena adanya pembangunan gedung-gedung
besar yang menyedot air tanah, peningkatan suhu udara dan masih banyak
lagi. Dengan demikian, dari latar belakang yang telah disebutkan di atas
mendorong dilakukannya penelitian yang berjudul “Analisis Migrasi
Penduduk DKI Jakarta Sebagai Akibat Perubahan Iklim Global”
1.2 Rumusan Masalah
Masalah merupakan ketidaksesuaian antara yang seharusnya
dengan yang sebenarnya terjadi di lapangan. Meninjau uaraian yang
penulis kemukakan dalam latar belakang masalah, maka inti masalah
dalam penelitian ini adalah “Faktor iklim mempengaruhi keputusan
migrasi penduduk DKI Jakarta”. Untuk membatasi permasalahan agar
lebih spesifik maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut.
1. Bagimana iklim dapat memengaruhi migrasi suatu penduduk di
wilayah DKI Jarakrta?
2. Apakah terdapat klasifikasi jenis iklim dalam memengaruhi migrasi
suatu penduduk di wilayah DKI Jakarta?
3. Bagimana respon manusia penduduk DKI Jakarta untuk bertahan
hidup dalam kondisi iklim yang sedang terjadi?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian merupakan sasaran yang hendak dituju dalam
suatu penelitian. Tujuan penelitian sangat bergantung pada judul
penelitian dan masalah penelitian. Berdasarkan rumusan masalah di atas
maka tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Memaparkan bahwa iklim dapat memengaruhi migrasi suatu
penduduk di wilayah DKI Jakarta.
2. Menjelaskan bahwa terdapat klasifikasi jenis iklim dalam
memengaruhi migrasi suatu penduduk di wilayah DKI Jakarta.
3. Untuk mengetahui respon penduduk DKI Jakarta untuk bertahan
hidup dalam kondisi iklim yang sedang terjadi.

1.4 Hipotesis Penelitian


Hipotesis merupakan dugaan sementara terhadap suatu temuan
dalam suatu penelitian yang memiliki karakteristik yang hampir sama
dan bahkan sama dengan penelitian terdahulu. Berdasarkan latar
belakang yang sudah dikemukakan di atas maka dapat diambil hipotesis
sebagai berikut.
1. Perubahan iklim dipicu karena tingginya gas emisi karbon yang dihasilkan
oleh penduduk DKI Jakarta sehingga terjadi rencana migrasi penduduk.
2. Tingginya gas emeisi karbon berasal dari banyaknya jumlah penduduk di
DKI Jakarta yang mayoritas melakukan transmigrasi dari penduduk desa
ke kota.
3. Perubahan iklim terjadi di DKI Jakarta karena adanya penurunan daya
dukung lingkungan eksploitasi sumber daya yang ada secara berlebihan.

1.5 Kegunaan penelitian


Kegunaan penelitian merupakan hasil akhir yang ingin dicapai
dari suatu kegiatan penelitian dengan maksud memberikan solusi serta
sasaran bagi pihak yang terkait dengan suatu penelitian. Manfaat
penelitian dri penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangsih bagi pengetahuan dan kemajuan
pada bidang geografi sosial dalam konteks kependudukan, khusunya
mengenai bahwa iklim dapat memengaruhi migrasi suatu penduduk
di wilayah, mengklasifikasi jenis iklim dalam memengaruhi migrasi
suatu penduduk di wilayah dan respon penduduk di suatu wilayah
untuk bertahan hidup dalam kondisi iklim yang sedang terjadi.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat berguna
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam praktek
kehidupan sehari-hari diantaranya sebagai berikut.
a. Bagi penulis, hasil penelitian dapat dijadikan sebgai bahan ajar pada
mata pelajaran Geografi tingkat SMA pada kompetensi dasar
dinamika dan masalah kependudukan.
b. Bagi instansi pemerintah, sebagai masukan bagi pemerintah daerah
DKI Jakarta serta pihak terkait dalam mengambil kebijakan yang
berhubungan dengan kependudukan di DKI Jakarta.
c. Bagi peneliti selanjutnya, sebagai bahan referensi tentang
bagaimana iklim dapat memengaruhi migrasi suatu penduduk di
wilayah dan respon penduduk di suatu wilayah untuk bertahan
hidup dalam kondisi iklim yang sedang terjadi.

1.6 Asumsi penelitian


Asumsi merupakan anggapan dasar dalam suatu penelitian yang
diyakini kebenarannya oleh peneliti. Asumsi juga disebut sebagai
anggapan dasar yang pada suatu pernyataan tidak diragukan lagi
kebenarannya sebagai titik tolak dalam suatu penelitian. Asumsi dalam
penelitian ini adalah “Iklim mempengaruhi perpindahan penduduk DKI
Jakarta karena wilayah tersebut sudah mengalami permasalahan
lingkungan akibat adanya pertambahan penduduk yang cukup tinggi”.
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Migrasi dan Perubahan Iklim
Migrasi seperti dalam istilah aslinya didefinisikan sebagai
pergeseran yang terlihat dan simultan baik pada lokus spasial maupun
sosial. Istilah lain yang digunakan sebelumnya adalah mobilitas sosial
dan fisik yang gantikan dengan istilah mobilitas teritorial yang salah satu
bagiannya adalah migrasi. Sebagai bagian mobilitas teritorial, migrasi
didefinisikan sebagai perubahan tempat tinggal permanen atau semi
permanen atau transfer spasial dari satu unit sosial atau lingkungan ke
unit sosial yang lain, yang memecahkan ikatan sosial sebelumnya.
Karena itu definisi konvensional migrasi dapat digunakan untuk
menjelaskan totalitas mobilitas teritorial dalam tahap awal dan menengah
dari transisi mobilitas. Sebuah langkah logis dalam mengejar transisi
mobilitas akan mengkonversi ruang fisik ke dalam ruang fungsional
migran, melalui beberapa variasi peta transformasi (Zelinsky 1971).
Teori dasar ini mungkin tidak terlalu cocok jika dikaitkan dengan migrasi
yang terutama disebabkan oleh perubahan lingkungan dimana perubahan
iklim masuk di dalam kategorinya (Guzmán et al. 2009).
Migrasi memiliki memiliki tiga paradigma besar dalam ilmu
geografi, yaitu : (1) aksioma geografi yang melihat ada signifikansi pola
spasial asli dalam peristiwa fisik dan sosial di permukaan bumi; (2)
gagasan difusi inovasi spasial; dan (3) prinsip usaha minimal atau
optimasi ekonomi yang melahirkan sejumlah hipotesis mengenai
pengaturan teritorial pada kegiatan ekonomi dan aktivitas lain yang
terkait (Zelinsky 1971). Berdasarkan paradigma yang pertama analisis
hubungan migrasi dan perubahan ikim sangat dimungkinkan dimana
perubahan iklim merupakan bagian dari peristiwa fisik di permukaan
bumi. Pola spasial asli dalam konteks ini adalah mobilitas masyarakat
yang dipaksa harus pindah dari tempat asal menuju tempat baru. Dengan
arti lain, proses tersebut merupakan proses mobilitas teritorial meskipun
menurut hipotensi mengenai transisi migrasi oleh Zelinsky (1971) tidak
seluruhnya dapat dipenuhi terutama terkait pola keteraturan dalam
pertumbuhan mobilitas pribadi melalui ruang-waktu karena mobilitas
yang terjadi lebih dikarenakan keterpaksaan. Namun ketika migrasi
dianggap sebagai strategi adaptasi terhadap perubahan kondisi fisik
lingkungan di tempat asal, hipotesis Zelinsky dapat digunakan sebagai
alat analisis. Migrasi yang demikian menjadi fenomena migrasi umum
dimana arus migrasi berasal dari tempat dengan sumberdaya rendah
(pedesaan) ke tempat tujuan yang dianggap lebih makmur (kota).
Migrasi dan mobilitas dalam konteks perubahan iklim seringkali
dianggap sebagai masalah karena kegagalan populasi terutama di
pedesaan beradaptasi sehingga harus pindah/ meninggalkan rumah, aset
dan kehilangan jaringan sosial yang berharga dan ikatan keluarga. Di
tempat tujuan para migran ini yang disebut dengan istilah pengungsi
yang melarikan diri konflik dan bencana merupakan bagian yang besar
dari kaum miskin kota, dan perlu waktu yang lama untuk
mengintegrasikan ke dalam masyarakat lokal dan mencari pekerjaan serta
tempat tinggal (Guzmán et al. 2009). Salah satu kasus yang
menggambarkan hal ini terjadi di Afrika. Di Afrika migrasi dipandang
sebagai sumber penyebaran kejahatan dan HIV/AIDS, merangsang
degradasi lahan dan memberikan kontribusi terhadap kemiskinan
perkotaan dan pedesaan (Black et al. 2006 dalam Tacoli 2009). Arus
migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan dan
cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki
keterampilan, modal finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi
masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional diasumsikan dari
negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas
melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi
lebih tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek
jutaan pengungsi karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya.
Dengan persepsi migrasi sebagai masalah, arah kebijakan yang pada
umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi volume, arah
dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu
sendiri. Migrasi dalam konteks mobilitas sebagai strategi mengurangi
kerentanan dipandang sebagai masalah. Pandangan itu terjadi karena
beberapa kasus mobilitas di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah menimbulkan masalah terutama di daerah tujuan yang pada
umumnya daerah perkotaan (Tacoli 2009).
Istilah migran untuk menunjuk orang yang melakukan mobilitas
teritorial menjadi tidak tepat untuk menggambarkan kelompok orang
yang melakukan perpindahan karena perubahan iklim. Istilah yang
kemudian digunakan adalah 'environmental refugee' atau pengungsi yang
dipaksa pindah karena degradasi lingkungan salah satunya akibat
perubahan iklim. Istilah ini pertama kali secara resmi digunakan pada
tahun 1970 dan sangat dipengaruhi oleh asumsi neo-Malthusian bahwa
pertumbuhan penduduk akan menyebabkan migrasi dan konflik yang
disebabkan oleh kelangkaan sumberdaya. Istilah migrasi kemudian
jarang digunakan dan digantikan dengan istilah mobilitas dimana
mobilitas tidak hanya meningkatkan ketahanan tetapi juga
memungkinkan individu dan rumah tangga untuk mengakumulasi aset.
Hal tersebut kemudian mendorong mobilitas dan diversifikasi pendapatan
sebagai strategi penting untuk mengurangi kerentanan terhadap risiko
lingkungan (perubahan iklim) dan non-lingkungan, termasuk guncangan
ekonomi dan marjinalisasi sosial (Tacoli 2009).
Definisi konvensional migrasi membedakan dua jenis mobilitas
yaitu mobilitas permanen dan mobilitas tidak permanen yang kemudian
membedakan mobilitas teritorial sebagai migrasi dan sirkulasi (Zelinsky
1971). Pada kasus perubahan iklim yang memaksa aktivitas migrasi,
menurut Leckie (2009) jenis mobilitas dapat dikategorikan menjadi lima,
yaitu:
1. Pemindahan sementara: orang-orang yang mengungsi untuk waktu
singkat karena peristiwa iklim seperti badai, banjir, gelombang badai
atau tsunami tetapi dapat kembali ke rumahnya setelah kondisi
tersebut berhenti.
2. Pemindahan lokal tetap: orang yang mengungsi secara lokal tapi
permanen karena perubahan yang tidak dapat dihindari di lingkungan
hidupnya (kenaikan khususnya permukaan laut, genangan pesisir dan
kurangnya air bersih, dan semakin sering badai).
3. Pemindahan internal tetap: orang yang mengungsi di dalam
perbatasan negara, tetapi cukup jauh dari tempat tinggal asli yang
tidak memungkinkan untuk kembali.
4. Pemindahan regional permanen: orang tidak dapat pindah dalam
negara sendiri atau tidak dapat akses dan bermigrasi ke negara-negara
terdekat yang bersedia untuk menawarkan perlindungan permanen.
5. Pemindahan inter-continental tetap: orang yang tidak ada mendapat
solusi perpindahan nasional atau regional dapat menerima
perlindungan dari negara lain di benua lain, seperti Maladewa yang
bermigrasi ke London.
Perbedaan jenis mobilitas yang dilakukan oleh pengungsi tentu
akan membedakan penanganannya.

2.2 Perubahan Iklim di Indonesia


Perubahan iklim dipicu oleh tingginya emisi karbon akibat
aktivitas manusia. Sumber emisi karbon terbesar di dunia berasal dari
enam sektor yaitu : perubahan fungsi hutan, karbon buangan kendaraan
bermotor, kebakaran, limbah pabrik, pertanian, dan sektor industri. Pada
tahun 2012, perubahan fungsi hutan menjadi non hutan merupakan
penyumbang emisi terbesar (48 %), transportasi (21 %), kebakaran (12
%), limbah pabrik (11 %), pertanian (5 %), dan sektor industri (3 %)
(Beritasatu.com 2012). . Di Indonesia sektor pertanian menyumbang
emisi sebesar 12% (51,20 juta ton CO2e) dari total emisi sebesar 436,90
juta ton CO2e. tanpa memperhitungkan emisi dari degradasi hutan,
kebakaran gambut, dan drainase lahan gambut. Apabila emisi dari ketiga
aktivitas tersebut diperhitungkan, kontribusi sektor pertanian sekitar 8%
(Surmaini et al. 2011). Dampak perubahan iklim dapat dirasakan dengan
kenaikan suhu bumi menjadi 0,8 derjat celcius pada periode 2000-2010
sehingga sejumlah es di kutup utara mulai mencair dan menyebabkan
naiknya permukaan air laut (Beritasatu.com 2012).
Selain dari suhu, perubahan iklim dapat diamati dari perubahan
curah hujan. Wilayah Indonesia yang sangat luas memiliki berbagai
variasi pola curah hujan dan iklim sehingga tidak dapat dilihat hanya
sebagai satu pola curah hujan. Oleh karena itu, tulisan ini menggunakan
provinsi untuk membedakan satu wilayah dengan wilayah yang lain
seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan salah satu stasiun
klimatologi di masing-masing provinsi (pada umumnya terdapat di
bandar udara setiap provinsi), dalam jangka waktu dua belas tahun
(2000-2012) hampir di seluruh provinsi mengalami perubahan jumlah
curah hujan. Pada sebagian wilayah Pulau Sumatera dan Jawa, jumlah
curah hujan cenderung mengalami kenaikan. Anomali cuaca terjadi pada
tahun 2010 dimana sebagian provinsi mengalami penurunan curah hujan
dan sebagian yang lainnya mengalami kenaikan curah hujan. Hal ini
terjadi karena pada tahun 2010 anomali cuaca berupa el nino dan el nina
yang terjadi secara bergantian. El nino adalah suatu gejala penyimpangan
kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut
(sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator
(equatorial pacific) khususnya di bagian tengah dan timur (sekitar pantai
Peru). Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling
terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya
penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada
terjadinya penyimpangan iklim. Dalam kondisi iklim normal, suhu
permukaan laut di sekitar Indonesia (pasifik equator bagian barat)
umumnya hangat dan karenanya proses penguapan mudah terjadi dan
awan-awan hujan mudah terbentuk. Namun ketika fenomena el-nino
terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan
timur menghangat, justru perairan sekitar Indonesia umumnya
mengalami penurunan suhu (menyimpang dari biasanya). Akibatnya,
terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada
berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia dan musim
kering menjadi semakin panjang. La Nina adalah fenomena kebalikan
dari El Nino yaitu kondisi dimana suhu muka lautan di wilayah pantai
Amerika Selatan mendingin sementara suhu muka laut di perairan
Indonesia menghangat sehingga tersedia cukup uap air pembentuk hujan.
Pada periode ini Indonesia memasuki masa basah dikarenakan intensitas
hujan yang meningkat dibanding normalnya (Supari 2014).
Supangat (2013) menyatakan bahwa berdasarkan berbagai analisis
indikator cuaca dan iklim, perubahan iklim di Indonesia sudah terjadi dan
menjadi ancaman tersendiri. Analisis data menunjukkan gelombang
maksimum di perairan Indonesia pada periode monsun Asia berkisar
antara 1-6 meter, bahkan Laut Jawa memiliki tinggi gelombang
maksimum mencapai 3,5 meter. Tingginya gelombang menambah risiko
banjir di daerah Pantai Utara Jawa (Pantura) terlebih pada saat puncak
musim penghujan di Indonesia. Gelombang ekstrem juga berdampak
buruk terhadap distribusi barang antar pulau yang banyak menggunakan
transportasi laut. Perubahan iklim di Indonesia seperti diungkapkan
sebelumnya juga berdampak cukup besar terhadap produksi bahan
pangan dari sektor pertanian pangan maupun sektor kelautan. Indonesia
bahkan berada pada peringkat 9 dari 10 negara paling rentan dari
ancaman terhadap keamanan pangan akibat dampak perubahan iklim
pada sektor perikanan (Huelsenbeck, Oceana, 2012 dalam Supangat
2013).
Berdasarkan kasus-kasus dan hasil analisis terhadap data
perubahan iklim, dengan ancaman terhadap ketahannan pangan
menunjukkan bahwa kemampuan petani maupun nelayan dalam
memproduksi bahan pangan menurun. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa sumber nafkah petani maupun nelayan yang sangat tergantung
dengan kondisi alam telah terancam dan kemungkinan sebagai sudah
hilang. Fenomena perubahan iklim secara langsung maupun tidak
langsung memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terhadap
perubahan yang terjadi sehingga dapat mempertahankan pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
Indonesia dengan wilayah kepulauan yang sangat besar dan
memiliki keragaman cuaca dan iklim sudah seharusnya sejak dini
melakukan penelitian mengenai perubahan iklim dan dampaknya.
Indikator kerentanan yang telah dikembangkan di beberapa negara perlu
digunakan untuk memberikan peringkat kerentanan sehingga antisipasi
terhadap dampak perubahan iklim dapat segera dilakukan. Strategi
adaptasi juga perlu segera dilakukan terutama di tingkat nasional untuk
mengantisipasi startegi adaptasi yang dilakukan oleh individu atau rumah
tangga yang sudah merasakan dampak perubahan iklim dalam
kehidupannya. Antisipasi menjadi penting terutama jika individu
terpaksa harus bermigrasi sehingga tidak menjadi permasalah baru di
tempat tujuan.

2.3 Migrasi sebagai Strategi Adaptasi Perubahan Iklim


Migrasi dalam konteks perubahan iklim secara global masih
menjadi perdebatan antara migrasi sebagai sumber permasalahan atau
migrasi sebagai strategi adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim.
Berdasarkan hasil analisis Myers (2005) dan Stern Review Team (2006)
dalam Tacoli 2009, proyeksi angka populasi penduduk yang dipaksa
untuk pindah karena perubahan iklim pada tahun 2050 berkisar antara
200 juta sampai satu miliar. Prediksi tersebut mencerminkan migrasi
sebagai dampak dari kegagalan beradaptasi dengan perubahan
lingkungan fisik sehingga migran menjadi satu kelompok yang relatif
tidak dapat dibedakan karena semua membuat tanggapan darurat serupa
dan pindah ke tujuan acak termasuk tujuan internasional. Pada kondisi ini
migrasi sebagai respons adaptif untuk perubahan sosial-ekonomi, budaya
dan lingkungan relatif tidak tepat sehingga menjadi sangat penting untuk
memahami dampaknya terhadap daerah pengirim dan tujuan dan untuk
mengembangkan kebijakan yang tepat.
Arus migrasi pada umumnya dari wilayah pedesaan keperkotaan
dan cenderung didominasi oleh kelompok termiskin, tidak memiliki
keterampilan, modal finansial atau jaringan sosial sehingga menjadi
masalah baru di perkotaan. Arus migrasi internasional diasumsikan dari
negara miskin ke negara kaya, perubahan iklim mendorong mobilitas
melintasi perbatasan negara dari negara miskin ke negara kaya menjadi
lebih tinggi sehingga negara-negara kaya lebih waspada terhadap prospek
jutaan pengungsi karena perubahan iklim mendarat di tepi negaranya.
Dengan persepsi migrasi sebagai masalah, arah kebijakan yang pada
umumnya dilakukan hanya mencoba untuk mempengaruhi volume, arah
dan jenis gerakan namun kurang mengakomodasi arus dan migran itu
sendiri (Tacoli 2009).
Konteks perubahan iklim mendorong terjadinya perubahan radikal
terkait persepsi migrasi sebagai masalah. Perubahan persepsi migrasi dan
pemahaman yang lebih baik mengharapkan peran lembaga lokal dan
nasional untuk bermain dalam membuat mobilitas sebagai bagian dari
solusi bukan masalah. Persepsi baru ini merupakan kebutuhan mendesak
terkait dengan perubahan iklim yang mendorong terjadinya migrasi.
Pemahaman dan memprediksi dampak perubahan iklim terhadap manusia
sangat sulit dilakukan namun dampak jangka panjang dapat dimediasi
oleh kapasitas adaptif. Karena itulah, analog perubahan iklim sebagai
degradasi lingkungan (kekeringan, penggurunan dan degradasi lahan,
peristiwa cuaca ekstrim seperti banjir dan badai, dan kenaikan atau
penurunan permukaan batas laut) belum tentu mengakibatkan migrasi.
Prediksi yang dapat dilakukan hanya dapat melihat 50 tahun ke depan
sehingga penilaian realistis hubungan perubahan iklim dan migrasi
memang sulit dilakukan. Di luar sulitnya membuat prediksi, kebutuhan
memahami migrasi sebagai salah satu strategi yang individu dan rumah
tangga gunakan untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menjadi
penting. Migrasi sebagai strategi adaptasi ini menjadi pilihan yang
dilakukan oleh individu atau rumahtangga pada titik dimana daerah asal
sama sekali tidak mampu untuk memberikan penghidupan atau tidak ada
strategi lain yang dapat dilakukan (Tacoli 2009). Migrasi kemudian
menjadi bagian dari strategi nafkah individu atau rumah tangga.
III. METODE
3.1 Rancangan Penelitian
Setiap karya ilmiah yang dibuat disesuaikan dengan metodologi
penelitian. Dan seorang peneliti harus memahami metodologi penelitian
yang merupakan seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah
(cara) sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan
masalah-masalah tertentu.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh perubahan
iklim global terhadap migrasi penduduk DKI Jakarta. Jenis penelitian
yang dipakai oleh peneliti adalah jenis deskriptif yang mempelajari
masalah-masalah yang ada. Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk
mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku . Di dalamnya terdapat
upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan
kondisi yang sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain penelitian
deskriptif ini bertujuan untuk memperoleh informasi- informasi
mengenai keadaan yang ada. Perlu diketahui bahwa, penelitian deskriptif
dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan
nyata sekarang yang sementara berlangsung.

Reduksi Data

Display Data

Pengambilan
Keputusan

Verifikasi Data

Skema 1. Kerangka Berpikir


Pada tahap pertama reduksi data, yaitu kegiatan merangkum dan
memilih hal-hal penting atau pokok serta mencari tema dan polanya.
Data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan memudahkan untuk melakukan pengumpulan data dan mencari data-
data lain yang diperlukan. Temuan yang dipandang asing, tidak dikenal
dan belum memiliki pola, maka hal tersebut yang dijadikan perhatian
karena penelitian kualitatif bertujuan mencari pola dan makna yang
tersembunyi di balik pola dan data yang terlihat. Jika dalam penelitian
kualitatif terdapat data yang bersifat kuantitatif, yaitu dalam bentuk
angka-angka maka sebaiknya angka-angka tersebut tidak dipisahkan
dengan kata atau kalimat penjelasnya sehingga tidak mengurangi
manknya.
Selanjutnya pada tahap kedua display data, yaitu data yang telah
direduksi selanjutnya di sajikan. Penyajian data sebagai sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pengambilan keputusan. Penyajian data digunakan untuk
lebih meningkatkan pemahaman kasus dan sebagai acuan mengambil
tindakan berdasarkan pemahaman dan analisis sajian data. Data
penelitian dapat disajikan dalam bentuk uraian yang didukung dengan
matriks jaringan kerja. Display data merupakan penyajian data dalam
bentuk matriks, network, chart atau grafik dan sebagainya. Dengan
demikian, peneliti dapat menguasai data yang ada.
Tahap yang ketiga pengambilan keputusan atau penarikan
kesimpulan. Penarikan kesimpulan merupakan hasil penelitian yang
menjawab fokus penelitian berdasarkan hasil analisis data. Simpulan
disajikan dalam bentuk deskriptif pada objek penelitian dengan
berpedoman pada kajian penelitian. Awalnya kesimpulan masih dalam
bentuk hipotesis atau dugaan sementara kemudian setelah beberapa data
terkumpul maka akan diperoleh kesimpulan yang cukup kuat karena
adanya data lain sebagai pendukung.
Langkah terakhir verifikasi data, yaitu verifikasi dapat dilakukan
dengan singkat dengan mengumpulkan data baru. Berdasarkan penelitian
analisis interactive model, kegiatan pengumpulan data, reduksi data,
penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hal ini dilakukan guna
menghindari kesalahan dan berusaha untuk melihat ulang apakah
terdapat ketidak sesuain pada data awal. Jika sudah dilakukan verifikasi
maka reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan menjadi
gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai rangkaian kegiatan
analisis yang saling berkaitan.
Adapun ciri-ciri dari metode kualitatif adalah sebagai berikut.
1. Sumber data berada dalam situasi yang tidak wajar atau natural
setting, tidak dimanipulasi ataupun tidak dibuat-buat.
2. Laporannya sangat deskriptif.
3. Mengutamakan proses dan produk.
4. Peneliti sebagai instrumen penelitian atau key instrumen.
5. Mencari makna dari pandangan pikiran dan data yang ada.
6. Mementingkan data langsung atau tangan pertama.
7. Menggunakan triangulasi, yakni memeriksakan kebenaran data yang
diperoleh.
8. Menonjolkan rincian yang kontekstual, yaitu menguraikan sesuatu
secara rinci.
9. Mengadakan verifikasi melalui data dari peneliti sebelumnya.
10. Menggunakan audit trail, yaitu memeriksa data mentah, analisis dan
kesimpulan kepada pihak lain atau pembimbing.

3.2 Data Penelitian


Data-data yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini
terklasifikasi dalam sumber data sekunder yang diperoleh dari beberapa
literatur kepustakaan dan data resmi dari lembaga pemerintahan yang
berwenang. Literatur kepustakaan yang digunakan berupa buku, artikel
ilmiah, dan skripsi atau tesis, sedangkan data resmi yang digunakan
berupa data kementerian terkait, BPS Provinsi DKI Jakarta, Dinas
Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta, Dinas PUPR, dll. Adapun jenis
data yang diperoleh bervariatif, baik data yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif yaitu jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta, laju
pertumbuhan penduduk Provinsi DKI Jakarta, luas wilayah Provinsi DKI
Jakarta, Jumlah Penduduk DKI Jakarta, data pengelolaan lahan, sanitasi,
dan ketersediaan air bersih di DKI Jakarta.

3.3 Analisis Data Penelitian


Penelitian ini menggunakan analisis data dengan metode deskriptif.
Metode deskriptif merupakan metode yang menyajikan gambaran
mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan cara
mendeskripsikan sejumlah variable yang berkaitan dengan permasalahan
yang sedang dikaji. Analisis data pada metode ini memberikan gambaran
mengenai Migrasi Penduduk DKI Jakarta Sebagai Akibat Perubahan
Iklim Global, menyajikan informasi dari data yang diperoleh berupa
verbal yang beracuan pada dasar teori yang telah ditentukan, serta
memberikan deskripsi mengenai pengaruh yang terjadi dari adanya
perubahan iklim global terhadap migrasi penduduk DKI Jakarta.
Adapun mekanisme analisis data dengan metode deskriptif yaitu
sebagai berikut:
1. Memfokuskan kajian pada tujuan penelitian yang telah
dirumuskan.
2. Data sekunder berupa jumlah penduduk, sanitasi, akumulasi
sampah serta tingkat pencemaran yang telah diperoleh dari
berbagai sumber dihimpun dalam bentuk deskripsi secara detail.
3. Data yang telah terhimpun, kemudian dianalisis menggunakan
menggunakan dasar kajian teori yang ditentukan untuk
memamparkan hasil penelitian berupa keterkaitan dan pengaruh
perubahan iklim global terhadap migrasi penduduk DKI Jakarta.
Selain itu, metode analisis data ini memiliki landasan khusus untuk
digunakan pada penelitian dengan metode pengumpulan data studi
literatur, sehingga dapat dipaparkan sebagai berikut :
1. Penelitian ini mengungkapkan masalah-masalah aktual yang
teradi pada masa sekarang.
2. Dengan metode ini dapat memberikan gambaran tentang
pengaruh yang ditimbulkan adanya perubahan iklim global,
khususnya pada tingkat migrasi penduduk.
3. Selain digunakan untuk menganalisis data, metode ini dapat
digunakan untuk menyusun data, menginterpretasikan data, serta
data dapat disimpulkan.
DAFTAR PUSTAKA

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (ID). 2013. Profil


Kependudukan dan Pembangunan di Indonesia Tahun 2013. Jakarta.
Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat (ID) dan [UN WFP]
United Nations World Food Programme. 2011. Strategi dan rencana aksi
ketahanan pangan menghadapi perubahan iklim.
Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta (ID).
Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Tarigan H, Thirtawati. 2014.
Mekanisme adaptasi dan resiliensi masyarakat petani terhadap variabilitas
iklim: studi kasus masyarakat tani di Jawa Barat dan Sumatera Selatan
[laporan akhir]. Bogor. PSP3- LPPM IPB dan Balitbang Pertanian.
Dharmawan AH, Putri EIK, Mardianingsih DI, Amalia R. 2013. Krisis ekologi
hutan yang berdampak terhadap unsustainable livelihood system
rumahtangga petani (studi kasus hutan di Jawa Barat) [laporan akhir].
Bogor. PSP3-LPPM IPB dan DIKTI.
Guzmán J M. Martine G. McGranahan G. Schensul D. Tacoli C (ed). 2009.
Population dynamics and climate change. UNFPA and IIED.
Hidayah N. 2009. Studi preferensi migrasi masyarakat Kota Semarang sebagai
akibat perubahan iklim global jangka menengah [tugas akhir]. Semarang
(ID). Universitas Diponegoro.
Kementrian Lingkungan Hidup (ID). 2013. Pertemuan penanganan dampak
perubahan iklim KLH-NTT [Internet]. [diunduh Desember 2020]. Tersedia
pada: http://www.menlh.go.id/pertemuan-penanganan-dampak-perubahan-
iklim-klh-ntt.
Leckie Scott. 2009. Climate-related disasters and displacement: homes for lost
homes, lands for lost lands. in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G.
Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change.
UNFPA and IIED.
Litbang Pertanian. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian
[Internet]. [diunduh Desember 2020]. Tersedia
pada:http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/Pedum -Adaptasi-Perubahan-
Iklim/II.-dampak-perubahan.pdf.
Locatelli B. Kanninen M. Brockhaus M. Colfer C.J.P. Murdiyarso D. dan Santoso
H. 2008. Facing an uncertain future: how forests and people can adapt to
climate change. Forest Perspectives. 5. Bogor (ID). CIFOR.
Rusli Said. 1995. Pengantar ilmu kependudukan. Jakarta (ID). LP3ES.
Scoones Ian. 1998. Sustainable rural livelihoods a framework for analysis. IDS
Working Paper 72.
Supari. 2014. Sejarah dampak el nino di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni
2015]. Tersedia pada:
http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel/Sejarah_ Dampak_
El_Nino_di_Indonesia.bmkg.
Supangat A. 2013. Perubahan Iklim di Indonesia [Internet]. [diunduh Juni 2015].
Tersediapada:http://sains.kompas.com/read/2013/04/01/11290330/Perubaha
n.Iklim.di.Indonesia
Surmaini E. Runtunuwu E. Las I. 2011. Upaya sektor pertanian dalam
menghadapi perubahan iklim. Jurnal Litbang Pertanian. 30(1):1-7.
Tacoli Cecilia. 2009. Crisis or adaptation? Migration and climate change in a
context of high mobility in Guzmán J M. Martine G. McGranahan G.
Schensul D. Tacoli C (ed). 2009. Population dynamics and climate change.
UNFPA and IIED.
Zelinsky W. 1971. The hypothesis of the mobility transition. Geographical
Review. 61 (2): 219-249.

Anda mungkin juga menyukai