Anda di halaman 1dari 16

Penanganan Permasalahan Rumah Tinggal yang

Kurang melibatkan end user dan Stakeholder


Studi Kasus Rusunawa Pasar Rumput

Ahmad Luthfi Kurniadi | 2206104576

Kebutuhan terhadap rumah tinggal terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk
maupun migrasi penduduk. Menurut, (Poston,2010) migrasi menjadi salah satu proses yang
menentukan perubahan jumlah penduduk, selain demografi yaitu kelahiran dan kematian. Jika dilihat
secara umum hal ini akan menjadikan keseragaman karakter dari komposisi demografi suatu kota atau
negara, namun (Poston,2010) menambahkan komposisi demografi dipengaruhi oleh lima faktor yaitu
Komposisis Usia & Jenis ,kelamin, Status Perkawinan, Ras, Pendidikan, dan Distribusi Penduduk.
Faktor-faktor tersebut yang secara tidak sengaja mengakibatkan jumlah dan komposisi penduduk antar
wilayah menjadi tidak merata.

Perbedaan pendapatan di wilayah perdesaan dan perkotaan pada umumnya, merupakan


faktor dominan yang menyebabkan penduduk desa melakukan mobilitas ke perkotaan (Gilbert &
Giggler 1996 .Beberapa penelitian, seperti dikutip Hendrizal (2004) dalam (Noverina,2017) menemukan
bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan –walau pekerjaan kasar dan dianggap
rendah sekali pun tetap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan penghasilan yang
diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan di desa. Kesempatan kerja, terutama di sektor informal, yang
terbuka luas di perkotaan menjadi penyebab arus migrasi dari desa ke kota, sejalan dengan asumsi
yang menyatakan bahwa “orang akan mengikuti pekerjaan”. Pekerjaan sebagai pedagang makanan
kaki lima dan pedagang keliling, misalnya, menjadi daya tarik bagi penduduk desa untuk pindah ke
kota-kota yang dekat dengan daerah asal. Kerukunan yang terjalin kuat di antara sesama pedagang,
apalagi mereka berasal dari daerah yang sama, memudahkan penduduk desa yang pindah ke
perkotaan dengan tujuan untuk berdagang makanan .(Noverina,2017). Secara ringkas dapat dikatakan
bahwa migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu strategi bagi individu dan keluarga untuk
meningkatkan kualitas hidup.(Noverina,2017)

Berdasarkan data BPS, DKI Jakarta mengalami pertambahan jumlah penduduk setidaknya
75.000 penduduk secara rata-rata setiap tahun, data ini merupakan data tahun 2014 hingga 2022.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Tahun 2017 dengan angka pertumbuhan 146.607 jiwa. Sedangkan
pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2020 yang disinyalir karena pandemi covid-19 yaitu sebesar
4.207 jiwa dan mulai menunjukkan tren naik setelah pandemic covid-19 berangsur berubah menjadi
endemi.
Gambar 1.1 Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta
Sumber : BPS

hal ini menyebabkan timbulnya berbagai macam permukiman informal akibat ketidakmampuan
kota dalam menampung seluruh warganya. Permukiman informal menurut (Angel,200), menjadi salah
satu dampak dari adanya migrasi, terutama akibat masuknya penduduk yang berpenghasilan rendah
yang mencari pekerjaan yang lebih layak di perkotaan. Mereka cenderung mencari lahan untuk
bertinggal pada lahan-lahan yang memang belum atau bahkan tidak didukung oleh infrastruktur terlebih
lagi lahan yang tidak direncanakan untuk zona permukiman dengan alasan untuk menghindari biaya
servis atau pajak yang mahal atau bahkan sama sekali tidak membayar apapun. Mereka rela untuk
tinggal di bantaran sungai atau di bawah jembatan untuk menaikkan derajat mereka agar tetap
mendapat pekerjaan yang mereka anggap layak, karena menurut (Angel,2000) ketiadaan tempat
tinggal berakibat pada hilangnya harapan untuk menentukan masa depan yang baik, tempat tinggal
diibaratkan sebuah harga diri yang jika kita kehilangan, maka hilang pula harga diri kita. Meskipun
berpindah ke kota dapat meningkatkan kualitas hidup namun tantangan yang dihadapi para pendatang
adalah biaya hidup yang tidak murah, yang membuat mereka harus memilih untuk tetap tinggal di kota
yang mau tidak mau harus mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk kebutuhan hidup atau kembali
ke daerah asal.

Seperti yang terjadi di Jakarta di bantaran sungai Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta sudah
menjadi fenomena umum area tersebut dimanfaatkan beberapa kelompok untuk dijadikan tempat
tinggal, yang dimana hal ini sudah menjadi agenda rutin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai
program kerja yang disebut normalisasi bantaran Sungai Ciliwung. Menurut media massa detik.com
pada tahun 2019, perkara warga enggan meninggalkan rumahnya yang berada di bantaran sungai
ciliwung dengan dalih ganti rugi yang mereka dapat tidak sesuai yang diharapkan warga. Karena
menurut (King,2017) Kebijakan dan peraturan pertanahan yang tidak tepat, yang dapat mendorong
masyarakat miskin ke pinggiran kota.

Memang secara teori kurangnya perumahan dapat menghalangi migrasi masuk ke suatu
wilayah (Mulder,2006) namun ia Mulder menambahkan bahwa perumahan pun dapat menarik atau
mencegah migrasi keluar dari suatu wilayah. Seperti yang terjadi di Jakarta adalah mereka menempati
lahan-lahan yang sifatnya informal atau bahkan area yg sebenarnya dilarang untuk didirikan bangunan
seperti halnya bantaran sungai akibat ganti rugi yang mereka dapatkan tidak sesaui dengan yang
diharapkannya. Hal ini dimungkinkan karena pelaksanaan kebijakan yang kurang tegas dan
berbenturan dengan perintah konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam
pembukaannya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 1.2 Permukiman liar di bantaran sungai Ciliwung


Sumber : Detik.com

Dalam ideologi sosialis (Heywood.2015) menyebutkan negara sebagai perwujudan kebaikan


bersama, dan menyoroti kapasitas negara dalam memperbaiki ketidakadilan sistem kelas. Tindakan
penggusuran secara paksa meskipun dalam tujuan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih
layak, namun tetap saja hal tersebut bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila yang terdapat dalam
konstitusi. Sehingga hal ini menjadi tantangan bagi pemangku kekuasaan untuk menetapkan kebijakan
serta pelaksanaanya yang tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia baik dari golongan apapun.
Memang terlihat begitu sempurna dan sulit namun hal ini pernah dilakukan di Cina pada Tahun 1955
yang menempatkan negara sebagai satu-satunya Lembaga yang diperbolehkan untuk menyediakan
perumahan bagi rakyatnya dengan tidak memperdulikan harga pasar yang sedang berkembang
sehingga negara lebih mudah menentukan harga rumah yang akan dipasarkan pada rakyatnya, Hal ini
tentunya membutuhkan pendanaan dan pembiayaan yang sangat besar hingga pada akhirnya negara
mengalami beban keuangan yang sangat besar yang mengharuskan mereka untuk memberikan izin
kepada pihak swasta untuk membangun perumahan-perumahan rakyat (Sari,2021).

Studi Kasus - Rusunawa Pasar Rumput

Dalam hal ini saya akan membahas salah satu studi kasus. Pertama – tama studi kasus ini
merupakan sebuah bangunan yang merupakan rusunawa dengan area pasar dibawahnya, yang
terletak di Jl.Lingkar Pasar Rumput Ps. Manggis kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Rusunawa ini
dibangun pada tahun 2016 dengan maksud dan tujuan sebagai area untuk rumah tinggal imbas dari
program normalisasi Sungai Ciliwung. Proyek ini merupakan inisiasi pemerintahan Provinsi DKI Jakarta
dalam program “1 Juta Rumah”, mendukung normalisasi Sungai Ciliwung, dan revitalisasi Pasar
Tradisional. Area Pasar Rumput dipilih karena letaknya sangat dekat dengan Sungai Ciliwung
(Arif,2023). Proyek ini didirikan pada lahan milik BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) DKI Jakarta
dikerjakan oleh Kementerian PUPR dan didanai oleh APBN. Rusunawa Pasar Rumput selesai
dibangun pada Tahun 2019, dan diresmikan oleh Presiden RI Ke-7 Pada Tahun 2021 yang dimana
saat itu sedang pandemi Covid-19 menjadikan rusunawa tersebut dijadikan sebagai tepat karantina
bagi para pendatang dari luar negeri yang dimana sampai saat ini rusunawa tersebut belum beroperasi.
(Arif,2023). Secara teori menurut (Yoshino,2015) kebijakan ini termasuk ke dalam orientasi penawaran
karena dengan menyediakan “public Housing” dan para penghuni tidak mendapatkan subsidi atas unit
yang mereka sewa nantinya.

Studi Kasus - Rusunawa Pasar Rumput (Kegub Nomor 715 Tahun 2017)

Surat Keputusan Gubernur Nomor 715 Tahun 2017 merupakan surat keputusan yang
menjadikan BUMD DKI yaitu PD. Pasar Jaya menjadi pengelola Rusunawa Pasar Rumput yang dimana
dalam surat tersebut PD.Pasar Jaya diharuskan pula untuk membiayai seluruh operasional Gedung
yang dananya berasal dari kegiatan persewaan unit rusun dan unit pasar. Hal ini menjadikan tantangan
bagi PD. Pasar Jaya karena harus menjalankan sebuah bisnis yang dikonsep tidak untuk tujuan profit
menjadi harus berprofit karena tujuan dari BUMD yang bersifat “profit Oriented” dan mengharuskan
memberikan setoran rutin kepada Pemerintah Provinsi DKI, serta disisi lain Rusunawa Pasar Rumput
tidak mendapat subsidi dari pihak Pemerintah Provinsi DKI dalam hal menjalankan operasional maupun
biaya sewa masyarakat yang terdampak dari program normalisasi Sungai Ciliwung.

Gambar 1.3 Rusunawa Pasar Rumput


Sumber : Detik.com

Maka dari itu setelah peresmian Rusunawa Pasar Rumput pada tahun 2021 oleh presiden RI ke-7,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang pada saat itu telah berganti kepemimpinan sejak surat keputusan Kegub.
Nomor 715 Tahun 2017, mengeluarkan Instruksi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 158 Tahun 2021
yang dimana salah satu dari isi instruksi tersebut memperbolehkan PD. Pasar Jaya sebagai pengelola untuk
mengatur komposisi penghuni yang diperbolehkan untuk menghuni di rusunawa tersebut, yang dimana
sebelumnya rusunawa tersebut diperuntukan seluruhnya untuk masyarakat yang terdampak program Normalisasi
sungai Ciliwung menjadi maksimal 40% masyarakat terprogram dalam artian yang terdampak program normalisasi
Sungai Ciliwung dan minimal 60% untuk masyarakat umum yang bertujuan untuk komersialisasi, namun sejauh
ini pengertian masyarakat umum masih dalam kajian lebih lanjut (Arif,2023). Unit yang diperuntukkan untuk
masyarakat terprogram dan umum disinyalir memiliki fasilitas yang sama namun hanya dibedakan dari penawaran
terhadap view dari unit.

Gambar 1.4 Denah Rusunawa Pasar Rumput


Sumber : Dokumentasi Pribadi

Terlihat pada gambar denah, area massa bangunan yang di tengah merupakan unit-unit yang
diperuntukkan untuk masyarakat terprogram dan massa yang berada disisi terluarnya diperuntukkan untuk umum
dengan pertimbangan mempunyai kesempatan pemandangan ke arah Monas untuk massa yang berada di utara
dan pemandangan ke arah Gunung Salak untuk massa yang berada di sisi selatan.

Pandangan Secara Teori Ideologi

Menurut (Heywood,2015) penggunaan definisi ideologi yang lebih luas dalam ilmu sosial berarti bahwa
istilah tersebut tidak lagi membawa beban politik dan dapat diterapkan pada semua 'isme' atau filosofi
politik yang berorientasi pada tindakan. Hal ini pun terlihat dalam penerapan yang terjadi pada Rusunawa Pasar
Rumput yang semula ia bersifat sosialis karena hanya diperuntukkan hanya untuk yang terkena dampak
normalisasi Sungai Ciliwung dan beralih pada sosialis-demokrat dengan komposisi yang lebih heterogen dengan
terkait penghuni rusun tersebut karena suatu alasan kapasitas Lembaga daerah dalam menjalankan operasional
rusun tersebut, Heywood,2015 menjelaskan ideologi sosialis-demokrat menganggap negara sebagai perwujudan
kebaikan bersama, dan menyoroti kapasitas negara dalam memperbaiki ketidakadilan sistem kelas, dalam
hal ini jelas ditunjukkan bahwa ideologi lebih melekat pada bentuk tindakan dari sebuah kebijakan bukan sebuah
beban politik dengan adanya peralihan kebijakan yang bersifat sosialis menuju ke sosialis-demokrat.

Strategi Pasar Jaya dalam menjalankan ke-Pengelolaan Rusunawa


Perlu diingat bahwa PD. Pasar Jaya merupakan Lembaga yang ditunjukan oleh Pemerintah Provinsi DKI
untuk menjalankan pengelolaan pasar dan rusunawa ini, yang dimana konsep awal dari tujuan adanya rusunawa
ini cukup bertentangan dengan “Core Value” dari PD. Pasar Jaya yang bersifat orientasi profit sedangkan
Rusunawa dikonsepkan untuk non-profit untuk masyarakat terdampak proyek normalisasi Sungai Ciliwung.
Menurut Arnstein, (1969). Dalam hal pendekatan perancangan secara participatory ia membagi menjadi tujuh
tingkatan yang semakin tinggi tingkatannya maka partisipasi masyarakat maupun pemangku kepentingan lain
semakin terlibat bahkan bukan hanya sebagai responded melainkan ikut serta dalam pembuatan keputusan. Jika
dikaitkan dengan studi kasus ini sepertinya terlihat bahwa dalam perancangan Pemerintah Provinsi DKI berada
pada tahap tingkatan ketiga atau yang disebut oleh (Arnstein,1969) sebagai “informing” dimana pada tingkatan ini
informasi hanya bersifat satu arah dari atas ke bawah “Top Down” dan tidak ada umpan balik. Karena dalam hal
ini PD. Pasar Jaya sebelumnya diminta hanya untuk menyediakan lahan untuk proyek tersebut dengan konsep
awal yang dicanangkan yang tidak bersifat orientasi profit, dan ternyata setelah proyek ini selesai Pemerintah
Provinsi DKI membuat kebijakan agar PD. Pasar Jaya menjalankan pengelolaan Rusunawa Pasar Rumput ini
seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Karena jika PD. Pasar Jaya ikut serta dalam perencanaan proyek tersebut seharusnya terdapat
perbedaan yang signifikan khususnya pada unit-unit yang diperuntukan untuk masyarakat terprogram dan yang
bukan, namun yang terjadi adalah sebaliknya yang dimana ini adalah bukti PD.Pasar Jaya tidak dilibatkan dalam
hal perancangan serta fitur-fitur seperti halnya pengolahan air limbah secara mandiri yang ada di Rusunawa
tersebut membuat biaya operasional semakin membengkak (Arif,2023). Saat ini yang terjadi adalah bagaimana
PD.Pasar Jaya setidaknya dapat menyiasati unit-unit yang diperuntukkan untuk umum dapat mensubsidi unit untuk
masyarakat terprogram, pembiayaan operasional, serta mendapatkan laba sebagai “Core Value” dari BUMD.
Saat ini PD. Pasar Jaya masih melakukan survei kemampuan pasar khususnya masyarakat
terprogram dan mengkaji biaya sewa yang akan ditetapkan untuk mereka sehingga bisa memunculkan
kemungkinan biaya sewa unit yang akan dikomersialisasikan (Arif,2023). Arif pun menyebutkan harga
sewa unit untuk yang dikomersilkan akan bervariasi tergantung ketinggian lantai dan pemandangan
yang didapat dari unit tersebut, Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh (Yu et al.,2007)
yang menyebutkan dalam penelitiannya tentang pengaruh pemandangan terhadap harga unit property
apartment bahwa semakin besar pemandangan laut yang dimiliki unit apartment dapat menaikkan
harga sebesar 15%, serta semakin tinggi lantai unit apartment maka harga akan semakin mahal
(Anastasia,2014).

Kesimpulan dan Diskusi

Meskipun saat ini PD. Pasar Jaya melibatkan masyarakat dalam penentuan harga sewa unit
rusunawa khususnya unit untuk masyarakat terprogram namun tetap hal ini tidak akan seoptimal jika
hal tersebut dilakukan sebelum rusunawa ini direncanakan, perlunya melibatkan masyarakat dalam
pengambilan keputusan sangatlah penting. Dalam pendekatan “Participatory Design” yang dijelaskan
oleh (Arnstein,1969) kasta tertinggi dalam “Participatory Design” adalah “Citizen Control” dimana user
atau warga khususnya masyarakat yang terkena dampak normalisasi Sungai Ciliwung dalam hal ini
dapat menegosiasikan kondisi-kondisi yang memungkinkan pihak-pihak lain dapat mengubahnya
seperti halnya pemegang kekuasaan . Serta, Preferensi unit antara yang jadikan “Public Housing” dan
yang dikomersilkan dapat lebih direncanakan secara matang sebagaimana mestinya jika yang
diharuskan untuk mengelola ada BUMD yang secara ”core Value” berorientasi profit tidak seperti saat
ini dimana kedua jenis unit rusunawa tidak memiliki perbedaan sama sekali selain posisi unit terhadap
lokasi tower dan visualisasi pemandangan. Menurut Durkheim Dalam (Jones,2009) , seorang sosiolog
Prancis, mengembangkan teori strata sosial yang berfokus pada integrasi sosial. Durkheim
berpendapat bahwa masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang saling tergantung satu sama lain.
Integrasi sosial adalah kunci untuk memahami struktur sosial, dan ketidakseimbangan integrasi dapat
menyebabkan ketegangan dan konflik. (Jones,2009). Dalam hal ini dampak pada studi kasus yang
dibahas adalah seorang dengan strata sosial yang lebih tinggi cenderung akan menimbulkan
ketegangan dan ketidaknyamanan jika mereka ditempatkan dengan strata sosial yang lebih rendah.

Perlunya Tindakan preventif agar mengurangi potensi terjadinya ketegangan tersebut adalah
membuat perbedaan yang signifikan yang mungkin dapat dilakukan pada unit-unit rusunawa seperti
halnya membedakan tidak mempertemukan sirkulasi kedua jenis unit kecuali hanya pada ruang public
seperti plaza, atau akses yang lebih eksklusif bagi unit yang bersifat komersial baik dari kendaraan
umum atau pribadi dan hal lain seperti speksifikasi perabot/furniture yang ditawarkan pada unit yang
bersifat komersial dan yang non-komersil yang dimana secara pasar ini akan lebih menjual.
Referensi :

Anastasia, N., & Tandono, S. C. (2014). Penilaian Apartemen di Surabaya. Competence:


Journal of Management Studies, 8(1).

Angel, S. (2000). Housing policy matters: A global analysis. Oxford University Press.

Arnstein, S. R. (1969). A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American Institute of


Planners, 35(4), 216–224

Gilbert, Alan & Giggler, Josef. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. Yogya: PT
Tiara Wacana.

Heywood, A. (2015). Ideology,Political Economy, Politics, Power, & State. In Key concepts in
politics and international relations. Macmillan International Higher Education.

Jones, P. (2009). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme.


Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

King, P. (2016). The Principle of Housing. Routledge. Bagian yang dibaca: chapter Social
Justice, Need, Rights, Responsibility, dan Desire

King, R., Orloff, M., Virsilas, T., & Pande, T. (2017). Confronting the Urban Housing Crisis in
the Global South: Adequate, Secure, and Affordable Housing. World Resources Institute Working
Paper. Bagian yang dibaca: Meeting Current and Future Housing Needs: Framing The Challenge.

Mulder, C. H. (2006). Population and housing: a two-sided relationship. Demographic


Research, 15, 401-412.

Noverina, M. (2017). Fenomena urbanisasi dan kebijakan penyediaan perumahan dan


permukiman di perkotaan Indonesia. Masyarakat Indonesia, 36(2), 103-124.

Poston Bouvier (2010) Population and Society An Introduction to Demography.

Sari, W. L. (2021). Analisis Latar Belakang Reformasi Sistem Hukou Di Masa Xi Jinping
(Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Yoshino, N., Helble, M., & Aizawa, T. (2015). Housing policies for Asia: A theoretical analysis
by use of a demand and supply model

Yu, S.-M., Han, S.-S. & Chai, C.-H., 2007. Modeling the value of view in high-rise apartments:
a 3D GIS approach. Environment and Planning B: Planning and Design, Volume 34, pp. 139-153.

Website:

https://jakarta.bps.go.id/indicator/12/1270/1/jumlah-penduduk-menurut-kabupaten-kota-di-
provinsi-dki-jakarta-.html. Diakses. Senin 23 Oktober 2023.
https://mediaindonesia.com/humaniora/417577/rusun-pasar-rumput-jadi-tempat-isolasi-
pasien-covid-19-simak-fakta-penting-rusun-ini. Diakses. Senin 23 Oktober 2023.

Pambudhy Agung. 2019. Potret Permukiman Kumuh di Bantaran Sungai Ciliwung. Melalui :
https://news.detik.com/foto-news/d-4426770/potret-pemukiman-kumuh-di-bantaran-sungai-ciliwung.
Diakses Senin 23 Oktober 2023.
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2023-10-26

10% 90% Words 928


Plagiarised Unique

Characters 7206

Content Checked For Plagiarism

Kebutuhan terhadap rumah tinggal terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk mauapun migrasi penduduk.
Menurut, (Poston,2010) migrasi menjadi salah satu proses yang menentukan perubahan jumlah penduduk, selain
demografi yaitu kelahiran dan kematian. Jika dilihat secara umum hal ini akan menjadikan keseragaman karakter dari
komposisi demografi suatu kota atau negara, namun (Poston,2010) menambahkan komposisi demografi dipengaruhi oleh
lima faktor yaitu Komposisis Usia & Jenis ,kelamin, Status Perkawinan, Ras, Pendidikan, dan Distribusi Penduduk. Faktor-
faktor tersebut yang secara tidak sengaja mengakibatkan jumlah dan komposisi penduduk antar wilayah menjadi tidak
merata.
Perbedaan pendapatan di wilayah perdesaan dan perkotaan pada umumnya, merupakan faktor dominan yang
menyebabkan penduduk desa melakukan mobilitas ke perkotaan (Gilbert & Giggler 1996 .Beberapa penelitian, seperti
dikutip Hendrizal (2004)
dalam (Noverina,2017) menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan –walau pekerjaan
kasar dan dianggap rendah sekali pun tetap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan penghasilan
yang diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan di desa.
Kesempatan kerja, terutama di sektor informal, yang terbuka luas di perkotaan menjadi penyebab arus migrasi dari
desa ke kota, sejalan dengan asumsi yang menyatakan bahwa “orang akan mengikuti pekerjaan”.
Pekerjaan sebagai pedagang makanan kaki lima dan pedagang keliling, misalnya, menjadi daya tarik bagi penduduk
desa untuk pindah ke kota-kota yang dekat dengan daerah asal.
Kerukunan yang terjalin kuat di antara sesama pedagang, apalagi mereka berasal dari daerah yang sama, memudahkan
penduduk desa yang pindah ke perkotaan dengan tujuan untuk berdagang makanan. (Noverina,2017)
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu strategi bagi individu dan keluarga
untuk meningkatkan kualitas hidup.(Noverina,2017)
Berdasarkan data BPS, DKI Jakarta mengalami pertambahan jumlah penduduk setidaknya 75.000 penduduk secara rata-
rata setiap tahun, data ini merupakan data tahun 2014 hingga 2022. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Tahun 2017
dengan angka pertumbuhan 146.607 jiwa. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2020 yang disinyalir
karena pandemi covid-19 yaitu sebesar 4.207 jiwa dan mulai menunjukkan tren naik setelah pandemic covid-19 berangsur
berubah menjadi endemi.

Gambar 1.1 Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta


Sumber : BPS

hal ini menyebabkan timbulnnya berbagai macam perkukiman informal akibat ketidakmampuan kota dalam menampung
seluruh warganya. Permukiman informal menurut SIINI, menjadi salah satu dampak dari adanya migrasi, terutama akibat
masuknya penduduk yang berpenghasilan rendah yang mencari pekerjaan yang lebih layak di perkotaan. Mereka
cenderung mencari lahan untuk bertinggal pada lahan-lahan yang memang belum atau bahkan tidak di dukung oleh
infrastrktur terlebih lagi lahan yang tidak di rencanakan untuk zona permukiman dengan alasan untuk menghindari biaya
servis atau pajak yang mahal atau bahkan sama sekali tidak membayar apapun. Mereka rela untuk tinggal di bantaran
sungai atau di bawah jembatan untuk menaikkan derajat mereka agar tetap mendapat pekerjaan yang mereka anggap

Page1of3
layak, karena menurut (Angel,2000) ketiadaan tempat tinggal berakibat pada hilangnya harapan untuk menentukan masa
depan yang baik, tempat tinggal diibaratkan sebuah harga diri yang jika kita kehilangan, maka hilang pula harga diri kita.
Meskipun berpindah ke kota dapat meningkatkan kualitas hidup namun tantangan yang dihadapi para pendatang adalah
biaya hidup yang tidak murah, yang membuat mereka harus memilih untuk tetap tinggal di kota yang mau tidak mau
harus mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk kebutuhan hidup atau kembali ke daerah asal.
Seperti yang terjadi di Jakarta di bantaran sungai Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta sudah menjadi fenomena umum area
tersebut dimanfaatkan beberapa kelompok untuk dijadikan tempat tinggal, yang dimana hal ini sudah menjadi agenda
rutin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai program kerja yang disebut normalisasi bantaran Sungai Ciliwung. Menurut
media massa detik.com pada tahun 2019, perkara warga enggan meninggalkan rumahnya yang berada di bantaran sungai
ciliwung dengan dalih ganti rugi yang mereka dapat tidak sesuai yang diharapakan warga. Karena menurut (King,2017)
Kebijakan dan peraturan pertanahan yang tidak tepat, yang dapat mendorong masyarakat miskin ke pinggiran kota.
Memang secara teori kurangnya perumahan dapat menghalangi migrasi masuk ke suatu wilayah (Mulder,2006) namun ia
Mulder menambahkan bahwa perumahan pun dapat menarik atau mencegah migrasi keluar dari suatu wilayah. Seperti
yang terjadi di Jakarta adalah mereka menempati lahan-lahan yang sifatnya informal atau bahkan area yg sebenernya
dilarang untuk didirakan bangunan seperti halnya bantaran sungai akibat ganti rugi yang mereka dapatkan tidak sesaui
dengan yang diharapkannya. Hal ini dimungkinkan karena pelakasanaan kebijakan yang kurang tegas dan berbenturan
dengan perintah konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam pembukaannya keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 1.2 Permukiman liar di bantaran sungai Ciliwung


Sumber : Detik.com

Dalam ideologi sosialis (Heywood.2015) menyebutkan negara sebagai perwujudan kebaikan bersama, dan menyoroti
kapasitas negara dalam memperbaiki ketidakadilan sistem kelas. Tindakan penggusuran secara paksa meskipun dalam
tujuan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih layak, namun tetap saja hal tersebut bertentangan dengan sila
ke-5 Pancasila yang terdapat dalam konstitusi. Sehingga hal ini menjadi tantangan bagi pemangku kekuasaan untuk
menciptakan kebijakan beserta pelaksanaanya yang tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia baik dari golongan apapun.
Memang terlihat begitu sempurna dan sulit namun hal ini pernah dilakukan di Cina pada Tahun 1955 yang menempatkan
negara sebagai satu-satunya Lembaga yang diperbolehkan untuk menyediakan perumahan bagi rakyatnya dengan tidak
memperdulikan harga pasar yang sedang berkembang sehingga negara lebih mudah menentukan harga rumah yang akan
di pasarkan pada rakyatnya, Hal ini tentunya membutuhkan pendanaan dan pembiayaan yang sangat besar hingga pada
akhirnya negara mengalami beban keuangan yang sangat besar yang mengharuskan mereka untuk memberikan izin
kepada pihak swasta untuk membangun perumahan-perumahan rakyat (Sari,2021).
Studi Kasus - Rusunawa Pasar Rumput
Dalam hal ini saya akan membahas salah satu studi kasus. Pertama – tama studi kasus ini merupakan sebuah bangunan
yang merupakan rusunawa dengan area pasar dibawahnya, yang terletak di Jl.Lingkar Pasar Rumput Ps. Manggis
kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Rusunawa ini dibangun pada tahun 2016 dengan maksud dan tujuan sebagai area
untuk rumah tinggal imbas dari

Matched Source

Similarity 17%
Title:www.pasundanekspres.co › persentasi-penduduk-yangPersentasi Penduduk yang Tinggal di Wilayah Perkotaan
Jul 27, 2020 · Perbedaan pendapatan di wilayah perdesaan dan perkotaan pada umumnya, merupakan faktor dominan yang
menyebabkan penduduk desa melakukan mobilitas ke perkotaan (Gilbert & Giggler 1996). Beberapa penelitian, seperti
dikutip Hendrizal (2004) menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan walau pekerjaan kasar
dan dianggap ...
https://www.pasundanekspres.co/persentasi-penduduk-yang-tinggal-di-wilayah-perkotaan/

Similarity 17%
Title:
123dok.com › document › qv79960q-fenomena-urbanisasiFENOMENA URBANISASI DAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN
PERUMAHAN DAN ...

Page2of3
Kesempatan kerja, terutama di sektor informal, yang terbuka luas di perkotaan menjadi penyebab arus migrasi dari desa ke
kota, sejalan dengan asumsi yang menyatakan bahwa “orang akan mengikuti pekerjaan”.
https://123dok.com/document/qv79960q-fenomena-urbanisasi-kebijakan-penyediaan-perumahan-permukiman-perkotaan-
indonesia.html/

Similarity 12%
Title:2. jika kalian tinggal dipedasaan , coba kalian amati ...

https://brainly.co.id/tugas/32972416

Similarity 12%
Title:mengapa penduduk desa banyak mencari pekerjaan ke ...

https://brainly.co.id/tugas/33588406

Page3of3
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2023-10-26

13% 87%
Words 930
Plagiarised Unique

Characters 7249

Content Checked For Plagiarism

Kebutuhan terhadap rumah tinggal terus bertambah seiring dengan pertumbuhan penduduk mauapun migrasi penduduk.
Menurut, Poston (2010) migrasi menjadi salah satu proses yang menentukan perubahan jumlah penduduk, selain
demografi yaitu kelahiran dan kematian. Jika dilihat secara umum hal ini akan menjadikan keseragaman karakter dari
komposisi demografi suatu kota atau negara, namun Poston (2010) menambahkan komposisi demografi dipengaruhi oleh
lima faktor yaitu Komposisis Usia & Jenis ,kelamin, Status Perkawinan, Ras, Pendidikan, dan Distribusi Penduduk. Faktor-
faktor tersebut yang secara tidak sengaja mengakibatkan jumlah dan komposisi penduduk antar wilayah menjadi tidak
merata.
Perbedaan pendapatan di wilayah perdesaan dan perkotaan pada umumnya, merupakan faktor dominan yang
menyebabkan penduduk desa melakukan mobilitas ke perkotaan (Gilbert & Giggler 1996 .Beberapa penelitian, seperti
dikutip Hendrizal (2004)
dalam (Noverina,2017) menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan –walau pekerjaan
kasar dan dianggap rendah sekali pun tetap dapat memberikan penghasilan yang lebih baik dibandingkan penghasilan
yang diperoleh dari pekerjaan-pekerjaan di desa.
Kesempatan kerja, terutama di sektor informal, yang terbuka luas di perkotaan menjadi penyebab arus migrasi dari
desa ke kota, sejalan dengan asumsi yang menyatakan bahwa “orang akan mengikuti pekerjaan”.
Pekerjaan sebagai pedagang makanan kaki lima dan pedagang keliling, misalnya, menjadi daya tarik bagi penduduk
desa untuk pindah ke kota-kota yang dekat dengan daerah asal.
Kerukunan yang terjalin kuat di antara sesama pedagang, apalagi mereka berasal dari daerah yang sama, memudahkan
penduduk desa yang pindah ke perkotaan dengan tujuan untuk berdagang makanan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa migrasi dari desa ke kota merupakan salah satu strategi bagi individu dan
keluarga untuk meningkatkan kualitas hidup.
Berdasarkan data BPS, DKI Jakarta mengalami pertambahan jumlah penduduk setidaknya 75.000 penduduk secara rata-
rata setiap tahun, data ini merupakan data tahun 2014 hingga 2022. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Tahun 2017
dengan angka pertumbuhan 146.607 jiwa. Sedangkan pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2020 yang disinyalir
karena pandemi covid-19 yaitu sebesar 4.207 jiwa dan mulai menunjukkan tren naik setelah pandemic covid-19 berangsur
berubah menjadi endemi.

Gambar 1.1 Pertumbuhan Penduduk DKI Jakarta


Sumber : BPS

hal ini menyebabkan timbulnnya berbagai macam perkukiman informal akibat ketidakmampuan kota dalam menampung
seluruh warganya. Permukiman informal menurut SIINI, menjadi salah satu dampak dari adanya migrasi, terutama akibat
masuknya penduduk yang berpenghasilan rendah yang mencari pekerjaan yang lebih layak di perkotaan. Mereka
cenderung mencari lahan untuk bertinggal pada lahan-lahan yang memang belum atau bahkan tidak di dukung oleh
infrastrktur terlebih lagi lahan yang tidak di rencanakan untuk zona permukiman dengan alasan untuk menghindari biaya
servis atau pajak yang mahal atau bahkan sama sekali tidak membayar apapun. Mereka rela untuk tinggal di bantaran
sungai atau di bawah jembatan untuk menaikkan derajat mereka agar tetap mendapat pekerjaan yang mereka anggap

Page 1 of 3
layak, karena menurut (Angel,2000) ketiadaan tempat tinggal berakibat pada hilangnya harapan untuk menentukan masa
depan yang baik, tempat tinggal diibaratkan sebuah harga diri yang jika kita kehilangan, maka hilang pula harga diri kita.
Meskipun berpindah ke kota dapat meningkatkan kualitas hidup namun tantangan yang dihadapi para pendatang adalah
biaya hidup yang tidak murah, yang membuat mereka harus memilih untuk tetap tinggal di kota yang mau tidak mau
harus mengeluarkan biaya yang tidak murah untuk kebutuhan hidup atau kembali ke daerah asal.
Seperti yang terjadi di Jakarta di bantaran sungai Ciliwung di Provinsi DKI Jakarta sudah menjadi fenomena umum area
tersebut dimanfaatkan beberapa kelompok untuk dijadikan tempat tinggal, yang dimana hal ini sudah menjadi agenda
rutin Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai program kerja yang disebut normalisasi bantaran Sungai Ciliwung. Menurut
media massa detik.com pada tahun 2019, perkara warga enggan meninggalkan rumahnya yang berada di bantaran sungai
ciliwung dengan dalih ganti rugi yang mereka dapat tidak sesuai yang diharapakan warga. Karena menurut (King,2017)
Kebijakan dan peraturan pertanahan yang tidak tepat, yang dapat mendorong masyarakat miskin ke pinggiran kota.
Memang secara teori kurangnya perumahan dapat menghalangi migrasi masuk ke suatu wilayah (Mulder.2006) namun ia
Mulder menambahkan bahwa perumahan pun dapat menarik atau mencegah migrasi keluar dari suatu wilayah. Seperti
yang terjadi di Jakarta adalah mereka menempati lahan-lahan yang sifatnya informal atau bahkan area yg sebenernya
dilarang untuk didirakan bangunan seperti halnya bantaran sungai akibat ganti rugi yang mereka dapatkan tidak sesaui
dengan yang diharapkannya. Hal ini dimungkinkan karena pelakasanaan kebijakan yang kurang tegas dan berbenturan
dengan perintah konstitusi Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan dalam pembukaannya keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia.

Gambar 1.2 Permukiman liar di bantaran sungai Ciliwung


Sumber : Detik.com

Dalam ideologi sosialis (Heywood.2015) menyebutkan negara sebagai perwujudan kebaikan bersama, dan menyoroti
kapasitas negara dalam memperbaiki ketidakadilan sistem kelas. Tindakan penggusuran secara paksa meskipun dalam
tujuan untuk memindahkan mereka ke tempat yang lebih layak, namun tetap saja hal tersebut bertentangan dengan sila
ke-5 Pancasila yang terdapat dalam konstitusi. Sehingga hal ini menjadi tantangan bagi pemangku kekuasaan untuk
menciptakan kebijakan beserta pelaksanaanya yang tidak boleh melanggar Hak Asasi Manusia baik dari golongan apapun.
Memang terlihat begitu sempurna dan sulit namun hal ini pernah dilakukan di Cina pada Tahun 1955 yang menempatkan
negara sebagai satu-satunya Lembaga yang diperbolehkan untuk menyediakan perumahan bagi rakyatnya dengan tidak
memperdulikan harga pasar yang sedang berkembang sehingga negara lebih mudah menentukan harga rumah yang akan
di pasarkan pada rakyatnya, Hal ini tentunya membutuhkan pendanaan dan pembiayaan yang sangat besar hingga pada
akhirnya negara mengalami beban keuangan yang sangat besar yang mengharuskan mereka untuk memberikan izin
kepada pihak swasta untuk membangun perumahan-perumahan rakyat (Sari,2021).
Studi Kasus - Rusunawa Pasar Rumput
Dalam hal ini saya akan membahas salah satu studi kasus. Pertama – tama studi kasus ini merupakan sebuah bangunan
yang merupakan rusunawa dengan area pasar dibawahnya, yang terletak di Jl.Lingkar Pasar Rumput Ps. Manggis
kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Rusunawa ini dibangun pada tahun 2016 dengan maksud dan tujuan sebagai area
untuk rumah tinggal imbas dari

Matched Source

Similarity 17%
Title:www.pasundanekspres.co › persentasi-penduduk-yangPersentasi Penduduk yang Tinggal di Wilayah Perkotaan
Jul 27, 2020 · Perbedaan pendapatan di wilayah perdesaan dan perkotaan pada umumnya, merupakan faktor dominan yang
menyebabkan penduduk desa melakukan mobilitas ke perkotaan (Gilbert & Giggler 1996). Beberapa penelitian, seperti
dikutip Hendrizal (2004) menemukan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan migran di perkotaan walau pekerjaan kasar
dan dianggap ...
https://www.pasundanekspres.co/persentasi-penduduk-yang-tinggal-di-wilayah-perkotaan/

Similarity 10%
Title:2. jika kalian tinggal dipedasaan , coba kalian amati ...

https://brainly.co.id/tugas/32972416

Page 2 of 3
Similarity 10%
Title:mengapa penduduk desa banyak mencari pekerjaan ke ...

https://brainly.co.id/tugas/33588406

Similarity 10%
Title:FENOMENA URBANISASI DAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN ...

https://123dok.com/id/docs/fenomena-urbanisasi-kebijakan-penyediaan-perumahan-permukiman-perkotaan-
indonesia.10204330

Similarity 4%
Title:
123dok.com › document › qv79960q-fenomena-urbanisasiFENOMENA URBANISASI DAN KEBIJAKAN PENYEDIAAN
PERUMAHAN DAN ...
Kesempatan kerja, terutama di sektor informal, yang terbuka luas di perkotaan menjadi penyebab arus migrasi dari desa ke
kota, sejalan dengan asumsi yang menyatakan bahwa “orang akan mengikuti pekerjaan”.
https://123dok.com/document/qv79960q-fenomena-urbanisasi-kebijakan-penyediaan-perumahan-permukiman-perkotaan-
indonesia.html/

Page 3 of 3
PLAGIARISM SCAN REPORT

Date 2023-10-26

0% 100%
Words 405
Plagiarised Unique

Characters 3159

Content Checked For Plagiarism

Saat ini PD. Pasar Jaya masih melakukan survei kemampuan pasar khususnya masyarakat terpogram dan mengakaji biaya
sewa yang akan ditetapkan untuk mereka sehingga bisa memunculkan kemungkinan biaya sewa unit yang akan di
komersilisasikan (Arif,2023). Arif pun menyebutkan harga sewa unit untuk yang dikomersilkan akan bervariasi tergantung
ketinggian lantai dan pemandangan yang didapat dari unit tersebut, Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
(Yu et al.,2007) yang menyebutkan dalam penelitiannya tentang pengaruh pemandangan terhadap harga unit property
apartment bahwa semakin besar pemandangan laut yang dimiliki unit apartment dapat menaikkan harga sebesar 15%,
serta semakin tinggi lantai unit apartment maka harga akan semakin mahal (Anastasia,2014).

Kesimpulan dan Diskusi

Meskipun saat ini PD. Pasar Jaya melibatkan masyarakat dalam penentuan harga sewa unit rusunawa khususnya unit
untuk masyarakat terprogram namun tetap hal ini tidak akan seoptimal jika hal tersebut dilakukan sebelum rusunawa ini
direncanakan, perlunya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan sangatlah penting. Dalam pendekatan
“Participatory Design” yang dijelaskan oleh (Arnstein,1969) kasta tertinggi dalam “Participatory Design” adalah “Citizen
Control” dimana user atau warga khususnya masyarakat yang terkena dampak normalisasi Sungai Ciliwung dalam hal ini
dapat menegosiasikan kondisi-kondisi yang memungkinkan pihak-pihak lain dapat mengubahnya seperti halnya
pemegang kekuasaan . Serta, Preferensi unit antara yang jadikan “Public Housing” dan yang dikomersilkan dapat lebih
direncanakan secara matang sebagaimana mestinya jika yang diharuskan untuk mengelola ada BUMD yang secara ”core
Value” berorientasi profit tidak seperti saat ini dimana kedua jenis unit rusunawa tidak memiliki perbedaan sama sekali
selain posisi unit terhadap lokasi tower dan visualisasi pemandangan. Menurut Durkheim Dalam (Jones,2009) , seorang
sosiolog Prancis, mengembangkan teori strata sosial yang berfokus pada integrasi sosial. Durkheim berpendapat bahwa
masyarakat terdiri dari berbagai kelompok yang saling tergantung satu sama lain. Integrasi sosial adalah kunci untuk
memahami struktur sosial, dan ketidakseimbangan integrasi dapat menyebabkan ketegangan dan konflik. (Jones,2009).
Dalam hal ini dampak pada studi kasus yang dibahas adalah seorang dengan strata social yang lebih tinggi cenderung
akan menimbulkan ketegangan dan ketidaknyamanan jika mereka ditempatkan dengan strata sosial yang lebih rendah.
Perlunya Tindakan preventif agar mengurangi potensi terjadinya ketegangan tersebut adalah membuat perbedaan
yang signifikan yang mungkin dapat dilakukan pada unit-unit rusunawa seperti halnya membedakan tidak
mempertemukan sirkulasi kedua jenis unit kecuali hanya pada ruang public seperti plaza, atau akses yang lebih eksklusif
bagi unit yang bersifat komersil baik dari kendaraan umum atau pribadi dan hal lain seperti speksifikasi perabot/furniture
yang ditawarkan pada unit yang bersifat komersil dan yang non-komersil yang dimana secara pasar ini akan lebih menjual.

Matched Source

No plagiarism found

Page 1 of 1

Anda mungkin juga menyukai