Anda di halaman 1dari 4

SENGKETA RUMAH DERET DI RW 11 TAMANSARI

Oleh: Ghefra R.G.

Dengan direncanakannya kawasan Tamansari yang awalnya merupakan permukiman penduduk menjadi
RUDET atau semacam rusunawa dengan tujuan untuk merevitalisasi kawasan tersebut agaknya menurut
saya kurang tepat sasaran. Bagi warga RW 11 Tamansari, Bandung, atas proyek tenurial-predatoristik
pemkot bernama Rumah Deret (RUDET). Defini ‘rudet’ menurut penulis memiliki arti dalam Bahasa Sunda,
yakni pusing; memusingkan; rumit. Warga benar-benar direpotkan oleh proyek ganjil ini. Perjuangan
diawali pada 20 Juni 2017, dan hingga kini perjuangan masih berlangsung. Warga bahu-membahu dengan
elemen perjuangan lain seperti kaum miskin kota, warga terdampak-terancam penggusuran di lingkup
regional pun nasional; dengan para buruh dan tani; para seniman yang amanah, sastrawan yang waras
dan segenap musisi yang jujur dengan suara kemanusiaan di sekitarnya.

Kehidupan warga rentan perkotaan nyatanya malah semakin rentan. Setelah selalu diposisikan sebagai
warga tidak teratur dan kumuh, warga tidak beridentitas asli kota atau daerah tersebut, hingga diberi
stigma sebagai warga ilegal yang berimplikasi secara fisik, sosial-ekonomi, dan secara tak langsung
“menghukum” mereka untuk berada dalam lingkaran setan kemiskinan. Salah satu hal yang bisa dibaca
dari lingkaran setan ini, adalah peran terkait kepastian tenurial bagi warga rentan (kota). Penekanan
terhadap formalisasi penggunaan lahan untuk tujuan pembangunan dalam kerangka pertumbuhan
ekonomi, penanggulangan kemiskinan hingga skema perbaikan kondisi hidup di daerah kumuh, menjadi
sangat fungsional dalam tata kelola pemerintahan kota. Akan tetapi, upaya registrasi dan re-distribusi
lahan yang termasuk di dalamnya terkait perumahan yang mengarah kepada kepastian hukum,
seyogyanya juga dapat diberikan kepada warga rentan kota, yang tidak hanya melihatnya sebagai tekanan
fungsional semata lalu dianggap tidak berhak dan bahkan diusir dengan beragam skema pengusiran, baik
secara halus dengan bumbu narasi relokasi; dengan janji manis perubahan nasib, maupun dengan yang
menggunakan kekerasan.

Warga Tamansari telah berada di area ini sejak tahun 50an dan terus berupaya untuk melakukan legalitas
lahan yang tidak kunjung disetujui oleh negara melalui BPN hingga sekarang. Lalu, bagaimana pemerintah
kota bisa klaim ini sebagai lahannya? Lahan yang diperuntukkan untuk Rumah Deret ini seluas 8000m2
dengan warga terdampak sebanyak 197 KK, tapi yang diakui pemkot hanya 104 KK, karena mereka hanya
berhitung berdasar jumlah bangunan/rumah itu satu KK sedang biasanya dalam sebuah rumah di
kampung kota terdapat beberapa KK yang tinggal bersama. Lantas, pengosongan dengan cara
pencaplokan lahan ini untuk apa dan siapa? Terlalu naif jika hanya dilihat sebagai penyediaan warga atas
hunian layak huni versi pemerintah, jika tidak melihat eskalasi politik dan distribusi anggaran kementrian,
donor hingga APBD kota yang ditopang kepentingan strategis atas lahan yang sangat bernilai strategis ini.

KRONOLOGIS RENCANA RUMAH DERET (RUDET) TAMANSARI

Berawal dari program nasional yang telah di launching oleh Kementrian PUPR yaitu KOTAKU (Kota Tanpa
Kumuh) yaitu Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) adalah satu dari sejumlah upaya strategis Direktorat
Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat
penanganan permukiman kumuh di Indonesia dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100 persen
akses universal air minum, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Arah
kebijakan pembangunan Dirjen Cipta Karya adalah membangun sistem, memfasilitasi pemerintah daerah,
dan memfasilitasi komunitas (berbasis komunitas). Program Kotaku akan menangani kumuh dengan
membangun platform kolaborasi melalui peningkatan peran pemerintah daerah dan partisipasi
masyarakat.

Program Kotaku dilaksanakan di 34 provinsi, yang tersebar di 269 kabupaten/kota, pada 11.067
desa/kelurahan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Kumuh yang ditetapkan oleh kepala daerah masing-
masing kabupaten/kota, permukiman kumuh yang berada di lokasi sasaran Program Kotaku adalah seluas
23.656 Hektar. Sebagai implementasi percepatan penanganan kumuh, Program Kotaku akan melakukan
peningkatan kualitas, pengelolaan serta pencegahan timbulnya permukiman kumuh baru, dengan
kegiatan-kegiatan pada entitas desa/kelurahan, serta kawasan dan kabupaten/kota. Kegiatan
penanganan kumuh ini meliputi pembangunan infrastruktur serta pendampingan sosial dan ekonomi
untuk keberlanjutan penghidupan masyarakat yang lebih baik di lokasi permukiman kumuh.

Tahapan pelaksanaan Program Kotaku adalah pendataan. Lembaga masyarakat di desa/kelurahan yang
bernama Badan/Lembaga Keswadayaan Masyarakat (BKM/LKM) sudah melakukan pendataan kondisi
awal (baseline) 7 Indikator Kumuh di desa/kelurahan masing-masing. Data tersebut diintergrasikan antara
dokumen perencanaan masyarakat dan dokumen perencanaan kabupaten/kota untuk menentukan
kegiatan prioritas mengurangi permukiman kumuh dan mencegah timbulnya permukiman kumuh baru.
Yang nantinya akan dilaksanakan, baik oleh masyarakat atau oleh pihak lain yang memiliki keahlian dalam
pembangunan infrastruktur pada entitas kawasan dan kota. Monitoring dan evaluasi akan dilakukan
secara berkala guna memastikan ketepatan kualitas dan sasaran kegiatan, sehingga dapat membantu
percepatan penanganan permukiman kumuh. Kegiatan-kegiatan pengembangan kapasitas untuk
pemerintah daerah dan masyarakat akan dilakukan bersama tahapan kegiatan. Termasuk mendorong
perubahan perilaku dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sarana prasarana dasar permukiman.

Hal ini berlaku juga di Kota Bandung yang mengimplementasikan program KOTAKU di beberapa kawasan
yang memiliki kriteria permukiman kumuh di perkotaan. Sejak digulirkannya program tersebut tahun 2016
maka Pemerintah Kota Bandung juga mengimplementasikan beberapa kawasan yang dijadikan proyek
seperti di Cicaheum dan kawasan yang lain. Berbicara mengenai Tamansari, jika dilihat dari kondisi
kawasan lingkungannya, permukiman di sana tidaklah begitu kumuh, maka kurang tepat jika dilaksanakan
proyek KOTAKU di kawasan tersebut. Pada tahun 2017, Pemerintah Kota melalui Dinas Perumahan dan
Kawasan Permukiman Pertanahan dan Pertamanan Kota Bandung melalui Program P3KP menginisiasi
proyek Rumah Deret (RUDET) Di RW 11 Kelurahan Tamansari. Program Penataan dan Pelestarian Kota
Pusaka (P3KP) merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah dalam menjalankan amanat ketiga
undang-undang tersebut. P3KP telah dirintis sejak tahun 2012 berkolaborasi dengan Badan Pelestarian
Pusaka Indonesia (BPPI). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Direktorat
Jenderal Cipta Karya Direktorat Bina Penataan Bangunan selain memberikan pendampingan dan fasilitasi
dalam bentuk dana stimulan penataan kawasan pusaka, juga dilakukan pendampingan penguatan
kelembagaan terhadap para pihak terkait, khususnya kepada Tim Kota Pusaka Daerah (TKPD). Tahun 2017
melalui Program P3KP Pemerintah Kota Bandung melakukan pelelangan di Lembangan Pengadaan Secara
Elektronik (LPSE). Ada 3 kegiatan yaitu yang dilelangkan yaitu manajemen konstruksi pembangunan
rumah deret, penyusunan AMDAL rumah deret dan pembangunan pondasi struktural dan arsitektural
rumah deret.
Dari 3 kegiatan yang dilelangkan tersebut menghasilkan 3 perusahaan pemenang yaitu PT. Sartonia Agung
untuk kegiatan pembangunan pondasi, struktural, arsitektural dan MEP Blok I Rumah Deret, sedangkan
PT. Citrawees Salawasna menjadi pemenang untuk kegiatan penyusunan AMDAL Rumah Deret Tamansari
dan yang terakhir adalah PT. Daya Cipta Dianrancana sebagai pemenang dalam kegiatan manajemen
konstruksi rancang bangun pembangunan Rumah Deret. Dengan HPS dan harga penawaran yang
berbeda-beda. Proyek ini akan berjalan di atas lahan seluas 7700 meter persegi tepatnya di seluaruh RW
11 Kelurahan Tamansari.

Polemik menganai ketidaksetujuan warga RW 11 Tamansari terhadap penggusuran dan peralihan dari
rumah konvensial menjadi RUDET semakin lama semakin berdegung di banyak media. Mereka secara
tegas menolak pembangunan RUDET tersebut karena mereka merasa telah tinggal selama puluhan tahun
di sana. Pada tahun 50an sebagian besar warga sudah mendiami di RW 11 tersebut. Mereka juga punya
bukti kuat berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah dari masing-masing KK. Dari wawancara yang telah
dilakukan oleh penulis kepada warga yang menjadi narasumber, mereka mengemukakan bahwa tanah
tersebut awalnya adalah tanah milik negara jadi tidak ada penguasaan kepada pihak Pemerintah Kota
dalam hal ini Pemkot Bandung. Selain itu jika dilihat dari kondisi lingkungan, penulis berpendapat bahwa
permukiman tersebut jauh dari kata kumuh dan juga memiliki jarak aman dari sempadan sungai.

Gambar: Kondisi RW 11 Tamansari yang sebagian telah Digusur

Menariknya lagi adalah, ada salah satu klaimisasi oknum dari PT. Sartonia Agung yang menyatakan bahwa
perusahannya telah menanggung 50-75 % uang kerohanian warga RW 11 Kelurahan Tamansari. Uang
kerohanian berdasarkan hasil wawancara penulis merupakan uang ganti rugi dari pihak developer
terhadap warga yang terdampak penggusuran. Nah, 50-70% merupakan besaran bagi warga yang mau
pindah dan rela rumahnya digusur. Bagi yang masih kekeuh tinggal di rumahnya PT. Sartonia Agung hanya
memberikan kompensasi sebesar 15-20%. Namun masih ada yang janggal juga mengani riwayat PT.
Sartonia Agung selaku developer tunggal atau biasa disebut main con. Di dalam informasi pemenang
lelang disebutkan bahwa PT ini berlokasi di Jakarta dan dikategorikan sebagai perusahan kecil. Padahal
jika dilihat dari nominal proyeknya yang mencapai angka 900 milyar seharusnya klasifikasi perusahaan ini
minimal adalah perusahaan sedang hingga besar. Selain itu progress pembangunan seakan-akan tidak
transparan kepada publik. Untuk itulah sudah selayaknya harus dilakukan investigasi yang lebih mendalam
akan jalan proyek konstruksi ini. Terlepas lagi bahwa undang-undang yang menjadi dasar pembangunan
RUDET ini tidak relevan yaitu bukan UU No. 2 Tahun 2012 tetapi UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya.

Gambar: Mapping RW 11 Keluarahan Tamansari tahun 2015-2018

Jika dilihat dalam periode 2015-2018 pada lokasi RW 11 ini sudah ada beberapa unit rumah yang
mengalami penggusuran. Di sini warga RW 11 yang notabene merupakan warga sipil biasa tidak memiliki
kekuatan hukum untuk menghentikan aktivitas penggusuran tersebut. Di sisi lain Pemerintah Kota
Bandung malah cenderung angkat tangan dalam persoalan ini. Dan menyerahkan sepenuhnya kepada
Dinas Perumahan tersebut. Jelas sekali di RDTR Kota Bandung bahwa RW 11 ini memang diperuntukkan
sebagai kawasan permukiman dan RTH. Jika nantinya diubah menjadi RUDET dan dikomersialkan maka
pihak mana yang banyak dirugikan? Akan lebih baik jika semua pihak didudukkan bersama dalam
persoalan ini. Bagaimana kita merumuskan kebijakan tanpa ada salah satu pihak yang dirugikan.

Anda mungkin juga menyukai