Anda di halaman 1dari 7

Kampung Kumuh Kerap Dicap Ilegal, Apa Masih Bisa Ditata?

Ilustrasi Kampung Kota Jakarta. tirto.id/Lugas Oleh: Reja Hidayat - 8


Oktober 2021 Dibaca Normal 5 menit Penggusuran selalu jadi solusi
penataan kampung kumuh. Pemprov DKI Jakarta punya cara:
kolaborasi antar warga, swasta dan pemerintah. Bisakah
berkelanjutan? tirto.id - Jika ingin melihat wajah Jakarta, tengoklah
Kampung-kampung kumuh yang terhampar di seantero ibu kota.
Salah satunya Kampung Akuarium. Letaknya di Kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara. Cuma sepelemparan batu dari deretan
mall dan apartemen megah. Tapi Kampung Akuarium tak
mencerminkan sedikit pun kemegahan. Ia adalah wajah dari Jakarta
yang salah asuh. Kampung Akuarium adalah kontroversi. Mantan
gubernur Basuki Tjahaja Purnama melihatnya sebagai biang banjir
yang kumuh, tak elok, dan ‘ilegal’. Maka Ahok, panggilan akrab
Basuki, menggusurnya atas nama kemajuan dan pembangunan.
Kampung seluas kira-kira satu hektar itu pun rata dengan tanah.
Memicu kemarahan warga. Waktu bergulir dan gubernur pun berganti.
Di masa Gubernur Anies Baswedan, Kampung Akuarium yang telah
rata dengan tanah, akan diubah menjadi kampung susun, yang terdiri
dari lima lantai. Jika semua blok rampung digarap, bakal ada 241 unit
hunian bertipe 36. Pembangunan Kampung Susun Akuarium dimulai
dengan peletakan batu pertama pada 17 Agustus 2020 oleh Gubernur
DKI Anies Baswedan. Pada 17 Agustus lalu, Gubernur Anies
Baswedan secara simbolis meresmikan Kampung Susun Akuarium.
Suksesnya pembangunan dua tower dari total 5 tower Kampung
Susun Akuarium. Anies bilang kampung susun tersebut merupakan
bentuk kolaborasi antar pemerintah, warga, swasta, dan LSM, serta
akan dilakukan terus untuk menata Jakarta. Cara kerja kolaborasi ini
mudah, warga kampung Akuarium masuk dalam program Community
Action Plan (CAP) tahun 2018. Di sini, warga dilibatkan dalam
pembahasan konsep rumah, desain hingga kebutuhan mereka dalam
hunian baru. Proses ini dibantu oleh Pemprov untuk memenuhi
kebutuhan warga, termasuk pembiayaan. Tapi, di kasus Kampung
Akuarium, aset rusun tetap dimiliki Pemprov. Warga hanya mengelola
dalam bentuk koperasi. Kolaborasi ini, dalam keinginan Anies,
menjadi solusi permasalahan hunian kumuh di Jakarta, yang selama
ini hanya melibatkan pemerintah dalam menanganinya (baca:
penggusuran). Darma Diani, Ketua Koperasi Akuarium Bangkit
menuturkan, pembangunan Kampung Susun Akuarium membutuhkan
waktu tiga tahun, dimulai dari mengembalikan identitas warga yang
sempat dibekukan oleh Ahok, membangun shelter, sampai pelibatan
desain hunian dan pengawasan. Sementara itu, Anggota Tim
Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta,
Angga Putra Fidrian mengatakan, tidak ada hambatan berarti dalam
kolaborasi pembangunan Kampung Akuarium. Akan tetapi ia
mengakui persoalan utama yang harus dilewati adalah komunikasi
antara pemerintah dan warga. "Di awal, Komunikasi mungkin jadi
yang utama, dari pihak pemerintah belum terbiasa bekerja bersama
masyarakat dan dari masyarakat juga belum terbiasa berkomunikasi
secara birokratis sehingga perlu ada saling pengertian," ucap Angga.
Baca juga: Wakil Gubernur DKI Akan Segera Tata 16 Kampung
Kumuh Jakarta Pengusiran dan Penggusuran Sudah Tidak Relevan
Stigma kampung kumuh; ilegal, tanah negara, miskin, tidak punya hak
tinggal di Jakarta sering digunakan pemerintah untuk mengusir warga
dengan dalih ruang terbuka hijau, melanggar undang-undang dan
penyebab banjir. Padahal, stigma itu tak perlu lagi digunakan karena
sudah kewajiban negara untuk memastikan warganya memiliki tempat
tinggal yang layak. Stigma ini juga muncul saat proses kolaborasi
Kampung Akuarium. "Masalah di kota besar, (ASN) masih punya
mental blok, dalam pengertian bahwa mereka memposisikan kawasan
kumuh ilegal itu sebagai bukan warganya karena datang dari daerah
urbanisasi. Sebenarnya itu sudah tidak relevan lagi," kata Pengamat
Kebijakan Publik dari Prakarsa, Ah Maftuchan kepada Tirto (23/9).
Mental blok, menurutnya, membuat para abdi negara setengah-
setengah dalam mengurus warga negara yang tinggal di
perkampungan kumuh. Di sisi lain, warga yang tinggal di
perkampungan kumuh juga memberikan kontribusi pada
perekonomian kota dan pendapatan kota. "Itu yang tidak fair. Jadi
orang yang tinggal di tempat kumuh jangan dinilai sebagai bukan
warga," ujarnya. Misalnya, Kampung Manggarai yang berada di RW
04, lokasi yang berdekatan dengan pintu air Manggarai itu dianggap
kawasan kumuh yang berada di bantaran sungai Ciliwung. Ada 8.783
penduduk di kampung seluas 4,5 hektare. Meskipun wilayah kampung
kumuh, penduduk menggerakan perekonomian kota seperti dagangan
warga mendatangkan retribusi, pemasangan listrik resmi dan air
bersih Elisa Sutanudjaja, Direktur Rujak Center for Urban Studies
menilai ada keengganan pemerintah untuk menguasakan penuh
tanah milik negara kepada masyarakat sipil seperti orang miskin.
Akan tetapi kondisi berubah 180 derajat bila berhadapan dengan
kepentingan bisnis dan pemodal. Ucapan Elisa benar adanya, pada
24 Agustus 2017, Kantor Pertanahan Jakarta Utara menerbitkan
sertifikat HGB untuk PT Kapuk Naga Indah. Sertifikat terbit setelah
Badan Pertanahan Nasional mengeluarkan sertifikat hak pengelolaan
lahan (HPL) Pulau C seluas 276 hektare, dan Pulau D 312 hektare
untuk pemerintah DKI Jakarta. Penerbitan sertifikat HGB hanya
berselang satu hari setelah pengukuran lahan. "Kita dengan mudah
lihat (sertifikat) HGB Pulau C dan D reklamasi satu hari doang
(selesai). Cepat sekali," ungkap Elisa. Keberpihakan pemerintah
terhadap kepentingan bisnis atau pemodal bukan pertama kali terjadi
di pulau reklamasi, melainkan jauh sebelumnya. Lihat saja kawasan
Kelapa Gading yang awalnya diperuntukkan untuk daerah resapan air
dan persawahan berubah menjadi mall. Kemudian, Pantai Kapuk
yang semula kawasan hutan lindung beralih fungsi menjadi kawasan
pemukiman elit dan lapangan golf. Hal serupa dituturkan Darma Diani,
Ketua Koperasi Akuarium Bangkit. Ia bilang ketika pemerintah
berhadapan dengan perusahaan besar, pemerintah dapat dengan
mudahnya mengubah zonasi sesuai kebutuhan. Peruntukan
kawasannya juga bisa berubah dan peraturannya daerahnya dibuat
untuk mengakomodir kepentingan bisnis atau pemodal. Bandingkan
ketika berhadapan dengan orang miskin, pembahasan pemerintah
hanya berkutat pada ilegal dan legal. Harusnya, kata Diani, jika tanah
perkampungan kumuh ilegal, pemerintah bisa membantu melegalkan
tanah tersebut. Bahkan pemerintah bisa menata warga kampung
kumuh untuk hidup lebih layak, bermartabat dan diberdayakan.
"Kenapa untuk warga sendiri tidak boleh, apakah kami miskin," kata
Diani. Menurutnya, selama ini pemerintah hanya mengandalkan cara
instan yang telah menjadi kebiasaan. Misalnya, saat terjadi
penggusuran solusi pemerintah hanya memindahkan orang ke rumah
susun sewa (rusunawa). Padahal, solusi itu tak menyelesaikan
masalah. Mirisnya, menyengsarakan rakyat dengan hilangnya sumber
pendapatan warga. Kondisi di atas bisa diatasi jika pemerintah punya
keberpihakan kepada warga miskin kota. Bila ditelisik lebih lanjut,
sambung Diani, ada peraturan yang bisa digunakan untuk menata
perkampungan kumuh. "Persoalannya tinggal mau atau tidak, mau
repot dikit atau enggak," ungkapnya. Perda yang Memihak Kampung
Kumuh 21 Mei 2018, Pemerintah DKI Jakarta telah menetapkan 21
kampung menjadi pilot project dalam penataan perkampungan kumuh
di ibu kota. Sayangnya, kebijakan ini hanya berlandas pada
keputusan gubernur (kepgub) nomor 878/2018 sehingga berpotensi
tidak ditindaklanjuti oleh pimpinan periode selanjutnya. "Jangan
sampai kebijakan yang sifatnya sementara dan tergantung siapa
gubernurnya. Ini mesti jangka panjang, siapapun gubernurnya
program itu harus berjalan," kata Gugun Muhammad, Koordinator
Advokasi Urban Poor Consortium (UPC) kepada Tirto pekan ketiga
September 2021. 21 kampung yang menjadi pilot project diantaranya
Kampung Akuarium, Lodan, Tongkol, Krapu, Muka, Walang, Marlina,
Elektro, Gedong Pompa, Blok Empang, Kerang Ijo, Baru Tembok
Bolong, Tanah Merah, Prumpung, Rawa Barat, Rawa Timur, Guji
Baru, Kunir, Kali Apuran, Sekretaris dan Baru. Dari 21 kampung, baru
Kampung Akuarium yang sudah ditata dan dibangun dua tower dari
total 5 tower rusun di lokasi gusuran. Gugun menilai 21 kampung
yang menjadi pilot project merupakan salah satu terobosan bagus
dibandingkan gubernur periode sebelumnya. Penataan ini, lanjutnya,
akan dilakukan pada 445 RW kumuh se-Jakarta yang tertuang pada
Pergub 90/2018. Pada lampiran disebutkan, ada 15 RW kumuh
kondisi berat, 99 RW sedang, 205 RW ringan dan 126 sangat ringan.
"Kepgub itu pilot project, yang besar itu ada Pergub 90/2018,"
ucapnya. Untuk melanjutkan kebijakan penataan kampung, kata
Gugun, perlu dibentuk sebuah lembaga khusus. Pasalnya, selama ini
tidak ada instansi pemerintah DKI Jakarta yang menangani penataan
kampung. Misalnya, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan
Permukiman (DPRKP) DKI Jakarta tupoksinya tidak mengurusi
perkampungan. "Bahkan kampung tidak tersentuh, malah (DPRKP)
lebih banyak ngurusin rusunawa karena dianggap aset pemprov
sehingga menjadi tanggungjawab pengelolaan di DPRKP. Memang
betul, tapi sebenarnya tidak sebatas rusunawa yang diurus sama
DPRKP," tegas Gugun. Sementara itu, Elisa dari Rujak Center for
Urban Studies menuturkan penataan kampung kumuh harus diperkuat
dengan pembentukan peraturan daerah (perda) DKI Jakarta agar
kebijakan itu berlanjut untuk perkampungan lainnya. Jika tidak ada
perda, pihaknya tidak meninggalkan warisan dan tidak meninggalkan
praktik baik untuk kampung berikutnya. Menurutnya, bila diterbitkan
perda maka ada satu lembaga yang ditunjuk untuk mengurusi
penataan kampung berbasis masyarakat, lalu ada standar baku, dan
mekanisme pembiayaan. Saat ini, penataan kampung hanya
berdasarkan kasus per kasus sehingga tak ada standar baku dalam
proses penyelesaiannya. Hal itu terlihat pada Kampung Akuarium dan
Kampung Bayam. Rujak selaku pendamping Warga Kampung
Akuarium mendorong pemerintah DKI membentuk suatu lembaga
seperti The Community Organizations Development Institute (CODI)
dari Thailand. CODI merupakan lembaga pemerintah yang berfokus
pada penataan permukiman kumuh berbasis masyarakat di Thailand
selama 20 tahun terakhir. Sumber dana CODI berasal dari pemerintah
dan sekaligus memfasilitasi dana bergulir. CODI memberikan
pinjaman kepada koperasi masyarakat dan jaringan komunitas untuk
melakukan berbagai inisiatif pembangunan yang mereka rencanakan
dan implementasikan sendiri. Inisiatif-inisiatif ini termasuk perumahan,
pembelian tanah, mata pencaharian, usaha masyarakat dan banyak
lainnya. Elisa mengatakan Pemprov DKI Jakarta memiliki sumber
pendanaan yang besar dibandingkan provinsi lain, diantaranya APBD,
Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L), Surat
Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dan kompensasi
koefisien lantai bangunan (KLB). Kondisi itu memungkinkan Jakarta
membentuk lembaga khusus terkait penataan kampung. Akan tetapi,
ia hanya mengusulkan dan keputusan ditangan pemerintah DKI
maupun pemerintah pusat. "Kami bukan pemerintah, hanya beri usul
itu. Kita ingin Indonesia punya program serupa (CODI)," kata Elisa
berharap. Gugun menambahkan pihaknya pernah mengusulkan
lembaga khusus yang mengelola perkampungan kumuh dalam bentuk
badan layanan umum daerah (BLUD) kepada Biro Organisasi dan
Reformasi Birokrasi DKI Jakarta, akan tetapi belum disetujui. “Saya
enggak tahu persis alasannya apa, yang jelas belum disetujui,” kata
Gugun. Menanggapi rencana membangun pondasi yang lebih kuat
terkait kolaborasi pemerintah dengan warga, Anggota Tim Gubernur
untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta, Angga Putra
Fidrian mengatakan, sebelum pandemi COVID-19 pihaknya pernah
mengusulkan perda perumahan dan permukiman sebagai turunan
dari Undang-Undang 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman. Akan tetapi, proses berhenti begitu pandemi datang di
awal 2020. "Nah sekarang kita lagi bikin pergub peta jalan penataan
kampung, sebagai jembatan menuju perda kalau situasi lebih
kondusif," klaimnya. Baca juga artikel terkait PENATAAN KOTA atau
tulisan menarik lainnya Reja Hidayat (tirto.id - Indepth) Reporter: Reja
Hidayat Penulis: Reja Hidayat Editor: Adi Renaldi 21 kampung kumuh
di Jakarta akan ditata dengan sistem kolaborasi. Apa mungkin bisa?

Baca selengkapnya di artikel "Kampung Kumuh Kerap Dicap Ilegal,


Apa Masih Bisa Ditata?", https://tirto.id/gkdZ

Anda mungkin juga menyukai