Anda di halaman 1dari 3

Sekapur Sirih Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas)

The HUD Institute, Bintaro, 7 Maret 2024

Tak hanya chit-chat, saya menggaris bawahi tebal poin penting ‘BP3’ –yang terkesan skip
dari ekologi perumahaan dan kawasan permukiman-- tatkala berdiskusi by phone dengan
Ketua Umum The HUD Institute, Zulfi Syarif Koto, untuk membuat serambi: ‘Sekapur Sirih’
sebagai sambutan pembuka acara Rakortas. Serambi bagian depan rumah utama yang
selalu dijaga dengan tata krama. ‘Sekapur Sirih’, dua kata satu makna itu adalah tamsilan
menghormati tetamu yang dimuliakan. Kata ‘syarif’, dalam bahaa Arab artinya mulia. Dalam
tamadun puak Melayu, ‘Sekapur Sirih’ itu sambutan memuliakan tetamu yang datang
berkunjung, tak afdhol dan tak elok rasanya bila tak ada pantun. “Buah lakom pisang
barangan/ Dibawa masuk dalam sanggan/ Assalamualaikum kami ucapkan/ Tempat duduk
sudah disiapkan”. “Kawat direntang buat jemuran/ Ambil galah tolong tegakkan/ Selamat
datang kami ucapkan/ Alhamdulillah tak ada halangan.”
Sudah semustinya tidak ada halangan, dalam hal ikhwal perumahan sebagai hak
dasar dan hak konstitusional. Tanggungjawab atas hak bertempat tinggal adalah kontrak
sosial yang dimuliakan ke dalam konstitusi Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Perumahan yang
layak dan terjangkau itu kebutuhan dasar yang cita rasa dan standar-nya terus
berkelanjutan bukan menurun, bahkan menjadi identitas bangsa beradab di planet
manusia sehingga menjadi hak universal, tanpa interupsi.
Perkembangan pembangunan perumahan rakyat di Indonesia pun bergerak
terus seakan tanpa interupsi. Pemerintah Indonesia sudah banyak meluncurkan
kebijakan dan program perumahan rakyat, seperti Program Satu Rumah Sehat untuk Satu
Keluarga, Kampung Improvement Programme (KIP), Program Pembangunan Bertumpu
pada Kelompok (P2BK), Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (GNPPS),
Program Bantuan Kredit Lunak Bank Indonesia, Program Gerakan Nasional Pembangunan
Sejuta Rumah (GNPSR), Gerakan Nasional Pengentasan Permukiman Kumuh
(GENTAKUMUH), Program 1000 Tower dan 350.000 Rusunawa Pekerja di perkotaan,
termasuk sekarang ini dengan Program Sejuta Rumah1.
Namun, angka backlog dan rumah tidak layak huni serta kawasan kumuh masih
belum menurun. Lepas dari pencapaian yang diraih dengan program sejuta rumah (PSR),
namun belum efektif mengatasi defisit perumahan karena pada kenyatannya masih ada
backlog sebesar 12,75 juta (2020), yang justru bukan turun, alahmak malah naik 0,8 juta
jika dibandingkan angka backlog pada kurun waktu 14 tahun yang lalu. Kondisi sedemikian
seperti methapor Dirjen Pembiayaan Kementerian PUPR Harry Trisaputra Zuna bahwa
backlog bagai mengisi bak air tak penuh-penuh. Penting memeriksa faktor krusial
kesenjangan antara dokumen teknokratis dengan kinerja pencapaian.
Mengutip kilas balik perjalanan perumahan dalam dokumen “Inisiatif dan
Transformasi Menuju Zero Backlog PERUMAHAN-73 Tahun Perjalanan Perumahan
Sejak Kongres Perumahan Pertama 25 Agustus 1950”, dibuka dengan narasi periode
awal sejak kongres Perumahan di Bandung, banyak dibentuk infrastruktur kelembagaan
untuk melaksanakan pemenuhan kebutuhan dasar, diantaranya; Badan Pembantu
Perumahan Rakyat pada tahun 1951; Jawatan Perumahan Rakyat tahun 1952; Lembaga
Penyelidikan Masalah Bangunan tahun 1955, serta memberika penguatan peran
Pemerintah Daerah dalam urusan perumahan melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun
1953. Sehingga tercapai salah satu pembangunan rumah susun Deplu dan PTIK di DKI
Jakarta pada tahun 1955 – 1956. Kunyahan pertama dalam ‘Sekapur Sirih’ ini, bahwa
kelembagaan adalah jurus pertama memerdekakan bangsa Indonesia dari
kemiskinan perumahan dalam perkotaan. Selain bertanggungjawab untuk mengurus
mandatory perumahan rakyat, negara pun tidak dalam posisi mencari laba ikhwal urusan

1 Lihat Zulfi Syarif Koto, Ekonomi Politik Program Sejuta Rumah – Membangun Untuk Siapa?, (Jakarta:
The HUD Institute, 2019), hlm. 20-21. Lihat juga Sutan Eries Adlin, Sejuta Rumah Untuk Rakyat – Dari Bung
Hatta Hingga Jokowi, (Jakarta: Bank BTN, 2021).

1
membebaskan kemiskinan perumahan rakyat, yang sama tua dan kausalitasnya dengan
gagasan Indonesia Vrij yang diperjuangkan menjadi proklamasi kemerdekaan Republik
Indonesia.
Membaca situasi dan data backlog, patut menguatirkan masalah struktural difisit
perumahan itu bisa diatasi jika tanpa terobosan mendasar. Satu soal mendasar yang
diusung The HUD Institute adalah penyediaan tanah untuk perumahan rakyat-subsider-
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Kelangkaan tanah dan harganya yang terus
meningkat, perlu intervensi-affirmatif penyediaan tanah untuk perumahan rakyat dengan
pemihakan Negara utamanya pemerintah dalam aktualisasi dan transformasi Hak
Menguasasi Negara (HMN) yang diturunkan ke dalam wewenang mengatur (regulate;
bestemming), dan menyelanggarakan (execution). Mengatur ihwal peruntukan/penggunaan
(use), persediaan (reservation), pemeliharaan (maintenance), hubungan hukum orang
dengan tanah, perbuatan hukum mengenai tanah, maka transformasi tata kelola
perumahan bisa dimulai dengan transformasi kebijakan nasional pertanahan untuk
perumahan rakyat.
Kunyahan kedua ‘Sekapur Sirih’ ini, The HUD Institute mendorong dan menyokong
rencana nasional (national planning) dan strategi peruntukan tanah (land-used
strategies) untuk memenuhi konstitusi berteoat tinggal a.k.a. perumahan, termasuk
memastikan bank tanah (land bank) memberi prioritas utama tanah untuk perumahan
rakyat-subsider MBR. Merujuk PP Nomor 64 Tahun 2021 tentang Bank Tanah menentukan
bahwa bank tanah melakukan pengembangan tanah untuk perumahan dan kawasan
permukiman, juga peremajaan kota, pengembangan kawasan terpadu, konsolidasi lahan,
pembangunan infrastruktur, pembangunan sarana dan prasarana lain, pematangan tanah
untuk mempersiapkan tanah bagi tata kelola usaha bank tanah, proyek strategis nasional,
seluruhnya dimaknai sebagai mainstreaming program stretegis perumahan rakyat. Perihal
kerjasama Bank Tanah dengan Pemda ada diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PP 64 Tahun
2021, menjadi titik masuk melakukan transformasi tata kelola penyediaan tanah dengan
badan bank tanah yakni dengan Pemda, oleh karena perumahan rakyat dan kawasan
permukiman merupakan urusan konkuren wajib pelayanan dasar sebagaimana Pasal 12
ayat (1) Huruf d UU Nomor 23 Tahun 2014.
Narasi dimuka untuk mendorong dan meluangkan kebijakan baru transformasi tata
kelola penyediaan tanah dengan memerankan badan bank tanah membuat prioritas
kerjasama strategis dan utama dengan Pemda dalam melaksanakan urusan perumahan
rakyat. Terkait pula dengan kebijakan belanja daerah (APBD) yang beralasan hukum
diprioritaskan untuk urusan konkuren wajib (Pasal 298 ayat 1 UU Nomor 23 Tahun 2014),
dalam hal ini perumahan rakyat dan kawasan permukiman. Dengan transformasi tersebut
maka transformasi tata kelola penyediaan tanah untuk perumahan rakyat –yang layak,
terjangkau dan berkelanjutan-- menjadi bagian strategis rencana induk lembaga bank
tanah, mengintegrasikan lingkup tugas dan wewenang Badan Bank Tanah dengan Pemda.
Hal itu mendorong efektifitas transformasi kebijakan penyediaan tanah untuk
perumahan rakyat. Dasarnya, menghidup-hidupkan konstitusi bertempat tinggal sebagai
generator dan legitimator membebaskan kemiskinan perumahan mengikuti gagasan
konstitusi pembebasan (liberating constitution).
Setarikan nafas transformasi penyediaan tanah, akses pembiayaan perumahan
rakyat a.k.a MBR menjadi krusial di tengah daya beli dan daya cicil MBR, yang selalu
kalah dengan cost of fund dan cost of capital sehingga perlu inovasi-efisiensi
lembaga pembiayaan bank. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengguit bank
memangkas bunga KPR non subsidi --yang berimplikasi efisiensi cost of fund KPR MBR.
Walau sistem pembiayaan dinormakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2011, pemerintah perlu
menggerakkan “mesin kedua”: lembaga keuangan non bank khusus perumahan
rakyat/ MBR.
Kunyahan ke-3 dan ke-4 dalam ‘Sekapur Sirih’ ini mengharapkan adanya sokongan
kepada perumahan rakyat dalam perspektif rakyat cq. MBR, dengan menguatkan daya beli
dan daya cicil serta perlindungan konsumen yang rentan dengan sengketa konsumen

2
versus pelaku usaha, bahkan “kejahatan” dalam relasi perumahan dan properti yang
menelusup menjadi penumpang gelap seperti halnya isu mafia tanah.
Walau belum masih ke dalam skema ekologi pembangunan perumahan dan
kawasan permukiman, perlu menata kelembagaan dan urusan Badan Percepatan
Pembangunan Perumahan (BP3) yang diamanatkan UU Cipta Kerja walaupun perlu
cermat dan cerdas merumuskannya agar supportif dan tidak mendistorsi tata kelola
pembangunan perumahan.
Seperti tamsilan olesan kapur dilekatkan ke daun sirih, perumahan lekat bahkan
fusi dengan perkotaan. Pakar perumahan Tjuk Kuswartojo mendalilkan perumahan adalah
mosaik utama pembentuk kota. Oleh karena itu, sudah jalan yang benar memormulasi
kerangka housing and urban development yang terintegrasi menjadi tantangan Indonesia
masa depan yang mencakup kerangka kebijakan, kelembagaan dan urusan, serta
pembiayaan.
Untuk maksud itu, ‘Sekapur Sirih’ ini hendak menghantarkan arahan Majelis Tinggi
Orgnisasi (MTO) The HUD Instiute, dan pandangan dan analisa Ali Tranghanda, CEO
Indonesia Property Watch (IPW), yang bukan sanya sekadar angka-angka namun apa
dibalik angka dan mendapatkan feel-nya. Kritik Ali, kerap kali konsultan properti menyajikan
data dan angka, tetapi tidak tahu market dan historical-nya, kata Ali kepada Bisnis Indonesia
(1/1/2022). Ali mencemaskan perumahan MBR yang tersisihkan ke pinggir kota karena
harga lahan mahal. Dia memahami betapa MBR membidik rumah susun subsidi dalam satu
kawasan berkonsep Transit Oriented Development (TOD). Analog itu, tentu Ali yang
menulis buku ‘Hati-Hati Perangkap Properti’ mengguit pemerintah untuk serius
memahami “market” dalam hal ini rakyat a.k.a MBR penerima manfaat, bukan hanya
dalam penyediaan rumah yang layak terjangkau namun ‘abc-xyz’ perspektif MBR yang
kerap berada dalam posisi low income trap, rentan informasi asismetris dan berposisi tidak
setara dengan pengembang sehingga edukasi dan perlindungan konsumen kudu hati-hati
perangkap properti, dan bahkan suaranya tak terdengar pembuat kebijakan. Oleh karena
itu, perspektif MBR –secara etnologis-- menjadi anasir utama bahkan paramount
consideration pemerintah dalam membuat kebijakan publik perumahan rakyat. Melalui
The HUD Institute, suara yang tak terdengar itu dan perspektif MBR itu hendak digema-
gemakan dalam helat The HUD Institute ini di tengah perubahan situasi aktual dewasa ini,
termasuk mencermati kebijakan pemerintahan baru, nanti.
Seperti kapur melekat pada helai daun sirih, perumahan berada dalam ruang
perkotaan menjadi subyek kajian yang inheren dan penting, kini. Terlebih pada era
mengkota dan serbuan urbanisasi sehingga kebutuhan atas perumahan perlu disediakan,
yang kerap menjadi beban perkotaan sehingga perlu kota berkelanjutan yang tangguh dan
mengupayakan pemberdayaan waga kota sebagai tugas yang syarif selain mandatory
konstitusi. Saya nekat menyebut Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 adalah “konstitusi kota”.
Menguji itu narasumber Dr. Wicaksono Sarosa yang pakar tepat diundang mengulas
pertautan perumahan dan perkotaan yang digelutinya yag pernah menjabat Direktur
Eksekutif Partnership for Governance Reform, dan anggota Policy Unit on Urban
Governance di PBB dalam penyusunan New Urban Agenda (NUA). Pak Wicaksono yang
menulis buku ‘Kota untuk Semua’ mengedarkan pandangan bahwa kota tidak untuk
segelintir orang yang punya akses ke ruang kota, tersurat pemihakan kepada semua orang
atas kota (city for all) dan menolak penyisihan pun hanya satu warga atas kotanya, karena
kita berhak atas kota (right to the city). Mengingat kota yang tumbuh bagai organ bernyawa,
tak berlebihan menyebut kota yang bernyawa itu pun berhak atas kelangsungan hidupnya.
Patut mengusung kota memiliki kedudukan hukum (legal standing) atas hidupnya.
Kiranya hasil rekapitulasi paparan, diskusi dan masukan dalam helat ini menjadi
haluan yang jujur untuk menjaga misi yang syarif dari The HUD Institute untuk tabah dan
loyal membela hak-hak bertempat tinggal yang layak, terjangkau, untuk semua dan
berkeadilan dalam kawasan perkotaan yang inklusif: kota untuk semua. Ikhtiar menjaga tata
krama mandatory Negara kepada warga. “Jika kapal muat sarat/ Jangan berlayar di musin
barat/ Kalau salah kami berbuat/ Mohon maaf dunia akhirat”. Selamat atas Rakortas
berkualitas. Salam sehat. Tabik. (Muhammad Joni, S.H., M.H., Sekretaris Umum The HUD Institute).

Anda mungkin juga menyukai