Anda di halaman 1dari 13

DISASTER MANAGEMENT

LITERATURE REVIEW
Kesiapsiagaan Kota Semarang dalam Menghadapi Bencana Perubahan Iklim

1. Area vulnerability to climate-related hazards


Perubahan iklim menjadi salah satu pengaruh terjadinya longsor, musim kemarau menjadi
lebih panjang daripada musim hujan menyebabkan kekeringan di daerah cadangan air tanah yang
minimum. Berdasarkan peta kerentanan longsor di Kota Semarang tahun 2019 diatas, terdapat
beberapa kawasan yang rentan terhadap bencana longsor, yaitu Kecamatan Banyumanik, Kecamatan
Gajah Mungkur dan Kecamatan Candisari.
Perubahan iklim secara langsung berdampak pada Kota Semarang. Sebagai kota pesisir, Kota
Semarang rentan terhadap rob. Kenaikan muka air laut dan amblesan tanah menjadikan Kota
Semarang sering dilanda rob. Berdasarkan peta kerenanan rob Kota Semarang tahun 2019 diatas,
bencana rob rentan terjadi di beberapa wilayah seperti Kecamatan Tugu, Kecamatan Semarang
Barat, Kecamatan Semarang Utara dan Kecamatan Genuk.
Sudah menghadapi banjir, erosi pantai, kekeringan, dan tanah longsor, kota Semarang,
Indonesia, Ibukota Jam Bumi Nasional 2014, menjadi pelopor Asia dalam adaptasi dan ketahanan
perubahan iklim. Sebagai salah satu dari sepuluh kota inti di Jaringan Ketahanan Perubahan Iklim
Kota Asia, Semarang telah menyelesaikan penilaian kerentanan dan meluncurkan sejumlah proyek,
termasuk sistem peringatan banjir, pemanenan air hujan, dan penanaman bakau. Semarang juga telah
berinvestasi dalam pengadaan ramah lingkungan, bus rapid transit, dan peralihan ke lampu LED
untuk penerangan jalan umum.

2. URBAN MORFOLOGI

Morfologi kota terbentuk melalui proses yang panjang, setiap perubahan bentuk kawasan
secara morfologis dapat memberikan arti serta manfaat yang sangat berharga bagi penanganan
perkembangan suatu kota. Perubahan morfologi kota tidak terjadi secara alamiah karena bersifat
artefak (buatan manusia). Kota sebagai produk budaya selalu mengalami perubahan baik fisik
maupun non fisik seiring berjalannya waktu (Mehmood, 2011). Menurut Kropf (2002), salah satu
karakteristik dari bentuk perkotaan adalah struktur perkotaan terbagi menjadi tingkat yang berbeda
seperti jalan/blok, plot-plot, dan bangunan yang mana akan terus mengalami perubahan di masa yang
akan datang sehingga morfologi kota pada dasarnya setara dengan sejarah perkotaan.
Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu
analisis bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
bentuk kota yaitu faktor bentang alam atau geografis, transportasi, sosial, ekonomi dan regulasi
(Tallo et al., 2014). Morfologi merupakan beberapa pengaturan dari bagian-bagian objek yang
diamati, yang menampilkan kemiripan dan perbedaan sehingga dapat ditemukan alasan-alasan yang
dapat dibuktikan secara ilmiah. Morfologi juga menunjukkan bagaimana proses terbentuknya ruang
yang dimulai dari sel terkecil kemudian muncul sel-sel baru yang saling berhubungan hingga
membentuk organisasi ruang.
2.1 Pertumbuhan, Perubahan dan Perkembangan Kota Semarang
a. Perkembangan Kota Semarang Secara Horizontal
Perkembangan Kota Semarang menyebar secara horizontal kearah pinggaran kota (Pigawati et al.,
2017). Perkembangan Kota Semarang dengan berbagai sektor memberikan dampak yang besar
terhadap fisik spasial, dimana secara teknis setiap perkembangan kota berkaitan langsung dengan
guna lahan. Faktor penggunaan lahan dan jaringan jalan menjadi pemicu setiap perkembangan yang
ada. Pertumbuhan kawasan juga disertai dengan perubahan spasial, seperti dari lahan pertanian ke
perumahan. Kebutuhan akan perumahan yang semakin besar didukung oleh nilai strategis kawasan,
memicu penggunaan lahan perumahan yang semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan citra
time series Kota Semarang pada tahun 1990, 2000, 2010 dan 2020.

Pada perbandingan citra Kota Semarang tahun 1990, 2000, 2010 dan 2020 terlihat sangat jelas
perbedaan serta perubahan bentuk di Kota Semarang. Pada tahun 1990, Kota Semarang mengalami
perkembangan kota satelit di bagian barat (BSB City) dan pengembangan permukiman di bagian
selatan dan timur (Handayani & Rudiarto, 2014). Pada tahun 2000, terlihat bahwa Kota Semarang
masih terdapat banyak lahan kosong hijau yang mendominasi, tetapi permukiman sudah mulai
memadat di bagian tengah Kota Semarang. Pada tahun 2010, terlihat bahwa lahan kosong yang
dulunya mendominasi sekarang sudah mulai dipenuhi oleh permukiman dan bangunan-bangunan.
Pemukiman sudah tidak berpusat lagi di semarang bagian tengah, tetapi sudah mulai menyebar ke
daerah lainnya. Dan pada tahun 2020, terlihat dengan jelas perubahan bentuk kota dari tahun-tahun
sebelumnya. Permukiman sudah mulai menyebar kearah Kecamatan Mijen dan memadat di bagian
tengah, utara dan timur Kota Semarang. Hal ini juga dapat dilihat bahwa permukiman sudah mulai
berkembang di pinggiran kota. Hampir seluruh wilayah kecamatan diKota Semarang padat akan
permukiman, tetapi masih terdapat beberapa kecamatan yang tingkat kepadatan penduduk nya
rendah sehingga jumlah permukiman pun rendah, seperti Kecamatan Tugu dan Kecamatan Mijen.

b. Struktur dan Pola Ruang Kota Semarang

Tingginya jumlah penduduk yang melakukan perpindahan menuju pusat Kota Semarang
menyebabkan terjadinya perubahan struktur ruang kota. Struktur Ruang kota terbagi menjadi 2, yaitu
pusat kota dan sub pusat kota. Pada pusat kota memilki kepadatan aktivitas tinggi, selain dominasi
kegiatan industri, pusat perbelanjaan, perdagangan dan jasa. Kepadatan penduduk dan jalur lalu
lintas yang terkonsentrasi di pusat Kota Semarang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
lingkungan di pusat perkotaan yang berpengaruh pada munculnya pembangunan di daerah pinggiran
kota yang umumnya masih memiliki lingkungan untuk tempat tinggal yang lebih nyaman daripada
pusat kota.
Pada pusat pelayanan kota, kegiatan berskala kota atau regional atau nasional yang didukung dengan
fasilitas dan infrastruktur perkotaan. Pada sub pusat pelayanan kota, kegiatan berskala sebagian
wilayah kota atau BWK yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan. Dan jaringan
infrastruktur sebagai penunjang kegiatan yang ada di pusat maupun sub pusat pelayanan kota.

Gambar 4. Pembagian Wilayah Pelayanan Kota Semarang

Berdasarkan peta struktur ruang Kota Semarang diatas, pusat Kota Semarang meliputi
Kecamatan Candisari, Gajah Mungkur, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara,
Semarang Selatan dan Semarang Timur. Hal ini dipengaruhi oleh letaknya yang strategis serta
keberadaan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi mendorong semakin padatnya aktivitas
di pusat kota. Keberadaan beberapa objek vital seperti Bandar Udara Ahmad Yani, Kantor
Pemerintahan di Jalan Pemuda dan Jalan Pahlawan, berbagai pusat perbelanjaan dan hotel juga
berlokasi di daerah tersebut. Wilayah yang berada di luar pusat kota atau sub pusat kota mencakup
Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Pedurungan, Genuk, Gayamsari, dan Ngaliyan. Bila
dibandingkan dengan pusat kota, wilayah ini memiliki fasilitas pelayanan yang kurang lengkap atau
jumlahnya lebih rendah dari wilayah pusat kota. Wilayah sub pusat kota ini umumnya memiliki
fungsi membantu dan mengurangi beban fungsi yang dimiliki oleh pusat kota. Sementara bagian
terluat Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Tugu, Mijen dan Gunungpati memiliki jumlah
fasilitas yang lebih sedikit dibandingkan pusat kota dan sub pusat kota. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor jumlah penduduk di kecamatankecamatan tersebut yang tergolong tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan Teori oleh Harris dan Ullman (1945), Kota Semarang memiliki Pola Inti Ganda
(Multiple Nuclei) yang mana tidak hanya memiliki satu CBD, tetapi terdapat beberapa CBD. Salah
satu pusat kota di Kota Semarang, yaitu Simpang Lima. Pola ini terus berkembang sesuai dengan
penggunaan lahan fungsional serta membentuk struktur kota yang mempunyai sel-sel pertumbuhan.
Terbentuknya inti ganda ini didasari oleh keuntungan ekonomi sehingga menjadi bahan
pertimbangan dalam penggunaan lahan serta oleh banyaknya jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk di suatu wilayah yang mengakibatkan muncul nya kawasan-kawasan CBD lainnya dalam
satu kota, seperti Banyumanik dan BSB City.

c.Pengaruh Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Semarang


Perkembangan Kota Semarang masuk dalam kategori perkembangan kota secara Interstisial.
Perkembangan Interstisial merupakan bentuk perkembangan kota yang ditandai dengan
bertambahnya kuantitas lahan terbangun tetapi tidak menambah ketinggian lantai bangunan dan luas
wilayahnya. Sesuai dengan pengertian tersebut, perkembangan Kota Semarang tidak dengan
penambahan luas wilayah tetapi terlihat dari peningkatan kuantitas lahan terbangun. Banyaknya
pusat kegiatan serta perekonomian di tengah kota menyebabkan permukiman yang meluas ke
arahpinggiran kota. Fenomena ini disebut sebagai Urban Sprawl. Kota dengan model bentuk kota
kipas(fan shapes cities) seperti Semarang memiliki keunggulan seperti kemudahan dalam
penyediaanfasilitas pelayanan pada kawasan pinggiran. Dengan demikian, permukiman yang berada
di pinggirakota tetap terlayani dengan fasilitas yang lengkap dan memadai.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan Kota Semarang, yaitu
peningkatan jumlah penduduk, kondisi fisik alamiah, penggunaan lahan, Aksesibilitas dan kebijakan
pemerintah setempat.
a) Jumlah Penduduk
Adanya peningkatan jumlah pada suatu kota dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
meningkatnya angka kelahiran pada suatu kota, adanya migrasi penduduk ke Kota, faktor ekonomi
yaitu tingkat pendapatan di wilayah kota lebih besar. Adanya migrasi ke Kota Semarang menyebabkan
adanya pengaruh akulturasi budaya sehingga berpengaruh terhadap perkembangan Kota Semarang,
seperti Kampung Pecinan dan Kampung Kauman.
b) Kondisi Fisik Alamiah
Kondisi fisik alamiah seperti topografi, klimatologi, hidrologi dan sumber daya alam berpengaruh
terhadap adanya perubahan serta perkembangan Kota Semarang. Kota Semarang memiliki dataran
lebih rendah serta berada di pesisir pantai di bagian utara sehingga menjadikan penduduk sekitar
cenderung bermata pencaharian sebagai nelayan, sedangkan di bagian selatan, Kota Semarang memiliki
dataran yang lebih tinggi sehingga menjadi penduduk setempat cenderung bermata pencaharian di
sektor perdagangan dan jasa.
c) Penggunaan Lahan
Persebaran lahan terbangun banyak tedapat di bagian timur yang merupakan pusat Kota Semarang,
terutama di sebelah utara yang terletak dekat dengan laut. Daerah ini memiliki topografi yang datar
sehingga memungkinkan untuk dijadikan daerah terbangun yang berfungsi sebagai kawasan
perdagangan dan jasa, perkantoran, permukiman, dan lain-lain. Sementara di sebelah selatan, mulai
meningkat kuantitas lahan terbangun yang sebagian besar difungsikan sebagai kawasan permukiman.
Lahan terbangun ini bergantung pada kemudahan aksesibilitas yang mana mengikuti pola jalan yang
ada, yaitu Jalur Pantura Pulau Jawa. Lahan terbangun yang ada diantaranya difungsikan sebagai
kawasan industri hingga perdagangan dan jasa.
d) Aksesibilitas

Perkembangan aksesibilitas seperti jaringan jalan di Kota Semarang memiliki peranan yang sangat
penting dimana lokasi Kota Semarang dilalui oleh Jalur Pantura. Kota Semarang memiliki bentuk
jaringan jalan lingkar dan jari-jari dimana berpusat di pusat kota, yaitu Kawasan Simpang Lima dan
Tugu Muda. Jaringan jalan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kota
karena dengan adanya aksesibilitas jalan maka akan sangat memungkinkan untuk dibangunnya sebuah
bangunan yang setiap waktu kebutuhan akan lahan terbangun akan diperlukan. Sehingga
perkembangan kota juga bergantung pada adanya aksesibilitas jalan yang ada.

e) Kebijakan Pemerintah
Adanya kebijakan dan aturan baru yang dikeluarkan terkait tata kelola dan rencana pembangunan tata
ruang tentu menjadi salah satu faktor adanya perkembangan serta perubahan pada suatu kota. Seperti
halnya di Kota Semarang terdapat aturan Rencana Tata Ruang Wilayah yang merencanakan penataan
serta tata kelola yang ada di Kota Semarang dalam jangka waktu 20 tahun.
Apabila dilihat dari faktor yang mempengaruhi perkembangannya, Kota Semarang mengalami
perkembangan secara interstisial dan memiliki pola yang memusat pada beberapa titik atau inti ganda
(multiple nuclei) sehingga membentuk pula pola yang merumpun di beberapa tempat (clustered
pattern).
VERSI RINGKAS
The morphology of the city is formed through a long process, every morphological change in
the shape of the area can provide meaning and very valuable benefits for handling the development
of a city. Changes in the morphology of cities do not occur naturally because they are artifacts (man-
made). The city as a cultural product always undergoes changes both physical and non-physical over
time (Mehmood, 2011). According to Kropf (2002), one of the characteristics of urban form is that
urban structures are divided into different levels such as roads / blocks, plots, and buildings which
will continue to change in the future so that the morphology of the city is basically equivalent to
urban history.
Semarang City as the capital of Central Java Province located in the central part of Java
Island, is located in a strategic location because it indirectly connects the western and eastern parts of
Java Island. This is what makes Semarang City experience development and changes in the
morphology of the city. Semarang City experiences interstitial urban development where there is an
increase in the quantity of land built without increasing its area. In its development, the Semarang
City service center is concentrated in one place in clusters, namely in the North-East Part of
Semarang City. The rapid development has made Semarang City have a Double Core Pattern with a
grid road network pattern that dominates in several districts and a cul de sac pattern in a small
number of districts.

In the comparison of the image of Semarang City in 1990, 2000, 2010 and 2020, it is very clear that
the differences and changes in the shape of Semarang City are very clear. In 1990, Semarang City
experienced urban development in the west (BSB City) and settlement development in the south and
east. In 2000, it was seen that Semarang City still had a lot of green vacant land that dominated, but
settlements had begun to solidify in the central part of Semarang City. In 2010, it was seen that the
vacant land that once dominated has now begun to be filled with settlements and buildings. The
settlement is no longer centered in central Semarang, but has begun to spread to other areas. And in
2020, it is clearly visible the change in the shape of the city from previous years. Settlements have
begun to spread towards Mijen District and compact in the central, northern and eastern parts of
Semarang City. It can also be seen that settlements have begun to develop in the suburbs. Almost all
sub-districts in Semarang City are densely populated with settlements, but there are still several sub-
districts with low population density so that the number of settlements is low, such as Tugu District
and Mijen District.

Semarang City, which is classified as a planned city, has a development that is influenced by
several factors, namely population, natural physical conditions, land use, accessibility, and
government policies. These factors make changes and developments so that new areas and cities
appear in Semarang City, such as BSB City. The highest land use change is used for settlement,
industry, trade and services. The higher the needs of the population in the industrial and trade
sectors, the more land will be needed. This is what causes the high demand for land in Semarang
City. Not only that, there is also a widening of roads in Semarang City, namely Jalan Sriwijaya. The
number of new developments is also expected to keep paying attention to existing important areas so
that they can continue to be preserved, such as the Kota Lama area, Simpang Lima, Tugu Muda, and
other important areas.
The center of activity that is concentrated in the middle of the city causes settlements to
expand to the suburbs, this phenomenon is called urban sprawl. However, Semarang City has a
model of fan shapes cities so that it has advantages such as ease in providing service facilities in
peripheral areas. In addition to the many developments, the maintenance of the city center and
important areas is also a focus for the government and the people of Semarang City. The
construction, maintenance and management of the city are planned by the government in the
Semarang City RTRW so that later there will be no significant morphological defects.

3. Settlements on hazardous ground


The development of settlements in the city of Semarang is in line with the population growth. In 2020, the
land use for settlement areas in Semarang City was 16,670 hectares or 44.8% of the total land in Semarang
City. Land use for settlement areas has occurred in several locations including in disaster-prone areas. There
are at least three disaster-prone sectors, namely areas prone to flooding, landslides, and ground movement,
with low to high levels of vulnerability. The level of vulnerability to natural hazards is influenced by several
factors, including population density, the occurrence of disasters in recent years, arable land, density of
housing buildings and land use in protected areas. Most of the disaster-prone areas in Semarang City have a
random pattern of settlement distribution. Settlements with random patterns are generally characterized by
the irregular distance between one settlement location and another. Settlements with random patterns are
possible because settlements develop Disaster-prone 102 sporadically following the needs of the population
for housing. This kind of pattern tends to exist in subdistricts with moderate to high levels of disaster
vulnerability.
Disaster-prone Areas in Semarang City
There are three areas with vulnerability to natural hazards, namely flood, landslide, and geological fault.
Semarang City is dominated by areas with vulnerability to flooding, documented as 2.940,82 Ha (46,91%)
[19]. The total areas with vulnerability to landside are 2.065,21 Ha (32.94%) and total areas with vulnerability
to geological fault are 1.262 Ha or 20.15%. Table 3 presents the areas with vulnerability to natural hazards in
Semarang City in 2020.
Table 2.
Pedurungan District is the area which is dominated by flood-prone areas, covering a total area of 491,35 Ha
or 23,7%, while other districts in northern Semarang with flood-prone areas are Genuk, Gayamsari,
Semarang Utara, Semarang Barat, and Tugu. The condition is related to the relatively low topography and is
directly adjacent to the Java Sea. Areas with vulnerability to landslides are mostly located in the suburbs of
Semarang City. The suburbs of Semarang City are hilly areas with uneven surfaces. While the districts in the
downtown area of Semarang City which are prone to landslides are Gajahmungkur District, Candisari District,
and Semarang Barat District. Disaster-prone areas in Semarang City are categorized into three levels of
hazards, namely high risk to natural hazards, the moderate risk to natural hazards, and low risk to natural
hazards. The categorization is based on five (5) criteria, namely, population density, numbers of natural
hazards in recent years, arable land, housing density, and land use in the protected area. The levels of
vulnerability to natural hazards were determined based on the scores and indices as shown in Table 1. The 3
types of disaster-prone that occur in the city of Semarang can be explained as follows.
A. Flood, most of the districts in Semarang City are categorized as the moderate risk to hazard. Those
districts have various scores in every criterion of vulnerability to natural hazards. Semarang Utara District is
categorized as high risk to hazard. The district has a relatively high score in every criterion of vulnerability to
natural hazards (population density, numbers of natural hazards in recent years, arable land, housing
density, and land use in protected areas).
B. Landslide, districts that are categorized in moderate risk to landslide have various scores which
range from moderate to high in every criterion of vulnerability to natural hazards. Those districts are
categorized by 2-6 occurrences of natural hazards in the recent year, moderate area of arable land (2.400 –
4.800 ha), the moderate density of house building, and moderate land use in protected areas (660 – 1.320
ha). Those districts are Tugu, Tembalang, Semarang Selatan, Candisari, Banyumanik, Gajahmungkur and
Gunungpati.
C. Ground Movements, besides land and coastal areas with various topography conditions,
Semarang City also has unique geomorphological conditions. Ground movement in Semarang City only
occurs in a few districts. There are 7 districts that are included in the moderate landslide-prone area,
including Tugu, Candisari, Banyumanik, Tembalang, South Semarang, Gajahmungkur and Gunungpati
districts. Districts with moderate landslide susceptibility levels are characterized by a history of 2-6 disasters
within 1 year, medium productive land area (2,400-4,800 ha), moderate building density (880 – 1,760 ha),
and moderate protected area land use (660 ha). – 1,320 ha).
Land use for settlement in Semarang City is prone to natural hazards namely, flood, landslide, and
ground movement. The total settlement area in the disaster-prone area in Semarang City is 5.577 Ha or
33.5% of the total settlement area in Semarang City. Most of the land use for settlement areas in
disasterprone areas is observed in Gunungpati District (636 Ha) and Banyumanik District (617 Ha). Semarang
Utara District and Ngaliyan Districts are the areas exposed to high risk of natural hazards. Semarang Utara
District has a high risk to flood while Ngaliyan District has a high index (68.9%) for the risk of landslide and
ground movement.
Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Natural Hazards in Semarang City
Settlement patterns show constant interdependence between physical elements and humans. The nearest
neighborhood analysis is used to determine the spatial pattern of distribution of settlement with
vulnerability to natural hazards.
A. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Flood in Semarang City
Most settlements in flood-prone areas are distributed dispersed patterns. The dispersed pattern is
usually observed in settlements with moderate vulnerability to flooding. The characteristics of settlement in
flood-prone areas can be defined as follows:
1. Most of the settlements are located in northern Semarang (Northern Coastal Area)
2. Spatial distribution of settlements shows regular patterns of settlement centers with a consistent
distance between centers and those centers are evenly located in all areas.
3. Settlements pattern in coastal areas are more suitable to linear and tends to follow the road
network [4], [20].
Distribution patterns of settlements with all levels of vulnerability to flood are presented in Figure 2.

FIGURE 2. Map of Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Flood in Semarang City

B. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Landslide in Semarang City Distribution patterns
of settlements with vulnerability to flooding consist of three patterns, namely, random, clustered, and
uniform. Table 4 shows the patterns in settlements with vulnerability to landslides in Semarang City
Settlements with vulnerability to landslides are generally in random patterns. Based on the pattern, the
settlements with vulnerability to landslide are characterized by: 1. Settlements with vulnerability to
landslides are located randomly in the center of southern Semarang 2. The centers of the settlements are
randomly located and tend to be sporadic. 3. The settlements are randomly distributed in hilly areas because
the residents tend to settle in areas that are not steep, flat, and relatively safe [20].

C. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Ground movement in Semarang City Most
settlements with vulnerability to ground movement are in a cluster pattern. The pattern is characterized by
groups of settlements that are relatively concentrated or clustered. This pattern is caused by the factors of
social class and access to facilities. Residents tend to decide on the residential area which is accessible to
various supporting facilities, thus forming clustered settlements. Settlements with high accessibility as well
as a good topography will facilitate mobilization, so it's on the area can develop the potential in meeting
needs independent, especially in the economic aspect [21]. The pattern is observed in southern Semarang
which is a hilly area. Figure 3 shows spatial point patterns in settlement with vulnerability to ground
movement.
FIGURE 3. Map of Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Ground movement in Semarang
City

D. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Natural Hazard in Semarang City From the
observation, three variations of the distribution pattern of the settlement were formed in disaster-prone
settlement areas, namely cluster pattern, random pattern, and dispersed pattern. Figure 4 shows spatial
statistics of distribution patterns observed in disaster-prone settlement areas in Semarang.
Most districts that are vulnerable to natural hazards were observed as districts with scattered settlement
patterns. A scattered settlement pattern is characterized by irregular locations of settlements. The irregular
pattern is determined by the needs of the residents (looking for an area that is not steep, morphology flat,
and relatively safe area) which resulted in sporadic development of settlements [22]. A scattered settlement
pattern was observed in districts with a moderate to high risk of vulnerability to natural hazards. Those
districts are Gunungpati, Banyumanik, Gajah Mungkur, Semarang Selatan, Tembalang, Genuk, Semarang
Utara, Semarang Barat and Ngaliyan.

4. Amount of Urban Green Space (UGS)


Tata Ruang Hijau / Ruang Terbuka Hijau mengacu pada ketentuan sebagaimana telah diatur dalam
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan Tata Ruang Hijau di
Wilayah Perkotaan menerangkan bahwa Tata Ruang Hijau adalah bagian dari Ruang Terbuka, yaitu
ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas baik dalam bentuk areal/kawasan maupun
bentuk areal memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada
dasarnya tanpa bangunan.
Berdasarkan data RTRW Kota Semarang tahun 2011-2031, ruang terbuka hijau direncanakan dengan
luas kurang lebih 11.211 Ha yang meliputi : 1) ruang terbuka hijau privat yang dikembangkan seluas
10% dari luas wilayah kota dengan luas kurang lebih 3.737 hektar, dan 2) ruang terbuka hijau publik
dikembangkan 20% dari luas kota dengan luas kurang lebih 7.474 hektar.
Perhitungan Luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang dihitung berdasarkan ketentuan Undang-
Undang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007, maka Luas RTH minimal 30% dari Luas Wilayah
Kawasan Perkotaan adalah = 11.211,117 Ha. Dari hasil penelusuran, dari 16 wilayah kecamatan di
Kota Semarang, terdapat 8 wilayah yang prosentase luasan RTH nya kurang dari 30%, yaitu
Kecamatan Gajahmungkur, Candisari, Pedurungan, Gayamsari, Semarang Timur, Semarang Utara,
Semarang Tengah dan Semarang Barat.

Secara Kuantitas dan Kualitas, Sebaran dan Besaran Ruang Terbuka Hijau di wilayah Kota
Semarang masih perlu ditingkatkan lagi. Masih sangat sulit untuk menyediakan luasan lahan yang
cukup yang dapat dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau baru. Upaya untuk memanfaatkan
lahan kosong, lahan kritis, sempadan sungai dan lahan bekas bongkaran bangunan publik merupakan
salah satu upaya untuk menambah luasan RTH di Kawasan Perkotaan. Kegiatan yang sudah
dilaksanakan Pemerintah Kota Semarang dengan membangun RTH Taman Kota / Taman Kawasan
dengan konsep Kota Hijau di atas lahan bekas Pasar Rejomulyo (Tahun 2012) dan lahan bekas Pasar
Sampangan (Tahun 2013) akan menjadi contoh pembangunan taman-taman lain di wilayah Kota
Semarang.

5. Loss of UGS
Kota Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan kota metropolitan
terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Sebagai salah satu
kawasan kota (urban), salah satu kecamatan di Kota Semarang tepatnya Kecamatan Semarang
Barat memiliki permasalahan terutama dalam perancangan ruang kota salah satunya yaitu ruang
terbuka hijau. Berdasarkan permasalahan tersebut pemerintahan Kota Semarang membuat
regulasi atau kebijakan yaitu mengeluarkan Peraturan Daerah No 7 Tahun 2010 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Namun Kota Semarang nampak belum
optimal dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah tersebut. Dalam praktek lapangan, RTH
yang terdapat di Kota Semarang masih terus berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya alih
fungsi lahan yang berpotensi menimbulkan bencana alam salah satunya yakni bencana
banjir saat musim penghujan tiba, serta udara Kota Semarang yang semakin panas karena
berkurangnya RTH. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kota Semarang, ruang terbuka hijau (RTH) pada tahun 1994 sebesar 65,008 persen berkurang
menjadi 61,74 persen (2002), dan turun lagi menjadi 52,29 persen (2006).
Hal tersebut kemudian diperparah dengan berkurangnya luasan RTH di wilayah
penyangga, seperti di Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Gunungpati, dan Mijen. RTH di
keempat kecamatan tersebut telah banyak berubah menjadi permukiman, pusat perbelanjaan,
dan kawasan industri.
Luas eksisting RTH publik di Semarang dari olah data spasial yang
diperbaharui dengan survey primer untuk pemenuhan RTH Publik secara umum, terdapat 2
kecamatan (Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Semarang Utara) yang sudah
melampaui standar minimal 20% dari luas perkotaannya, sementara 14 kecamatan
lainnya angka capaian masih jauh dari standar minimal luasan RTH publik. Satu-satunya
kecamatan yang sudah memiliki angka capaian luasan RTH publik taman kota adalah
Kecamatan Candisari. Hal ini dikarenakan kecamatan ini sejak jaman penjajahan Belanda
sudah merencanakan kebutuhan RTH dengan baik.
Kota Semarang memiliki minimal presentase RTH yang sudah tercapai. Namun Kecamatan
Semarang Barat merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang yang belum terpenuhi
kesesuaian persentase RTH kotanya. Beberapa penyebabnya adalah adanya alih fungsi lahan
yang tidak berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan bencana alam dan kelebihan
RTH sendiri belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat, kekurangnnya partisipasi
masyarakat untuk medukung pemenuhan RTH, kurangnya sumber daya manusia sebagai
pelaksana, dana yang tidak mencukupi dan kurangnya kontrol dari pemerintah. Dari
penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil penelitian bahwa RTH Kecamatan
Semarang Barat masih kurang, salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut yakni dengan memanfaatkan Banjir Kanal Barat sebagai lokasi pembangunan floating
park dalam fungsi sebagai lahan penyediaan ruang terbuka hijau, ekonomi, sosial dengan konsep
water front sebagai solusi dalam meminimalisir kurangnya RTH di Kecamatan Semarang Barat.
Dipilihnya Banjir Kanal Barat sebagai lokasi untuk pembangunan floating park yakni karena di
lokasi ini terdapat 2 bagian tanah yang dapat dikembangkan agar lebih fungsional.Meskipun jika
dilihat dari luasan kedua lahan belum dapat memenuhi kekurangan persentase yang dibutuhkan
untuk kesesuian persentase RTH kota namun dengan pemanfaatan kedua lokasi ini dapat menambah
persentase kebutuhan RTH kota Kecamatan Semarang Barat dan dapat menjadi referensi untuk
pemanfaatan lokasi-lokasi lain yang masih belum optimal secara fungsional karena di
kecamatan ini masih banyak lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal.

KESIMPULAN
Pada tahun 2020, pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman di Kota Semarang sebanyak
16.670 hektar atau 44,8% dari total lahan di Kota Semarang. Penggunaan lahan untuk kawasan
permukiman telah terjadi di beberapa lokasi termasuk di daerah rawan bencana. Setidaknya ada tiga
sektor rawan bencana, yaitu daerah rawan banjir, tanah longsor, dan tanah longsor, dengan tingkat
kerawanan rendah hingga tinggi.
Tabel 3. The Distribution of UGS in the Districts of Semarang City
N DISTRICT Area (Ha) Total Area of % Green Space Requirement of UGS
O Green Space (Ha) toward Area 30% toward the Area

1 Mijen 6215.25 5145.39 82.79 Fulfil

2 Gunungpati 5399.09 3291.39 60.96 Fulfil

3 Banyumanik 2513.06 2048.06 81.50 Fulfil

4 Gajahmungkur 764.98 57.24 7.48 Unfulfilled

5 Semarang Selatan 848.05 373.66 44.06 Fulfil

6 Candisari 555.51 34.87 6.28 Unfulfilled

7 Tembalang 4420.00 1684.60 38.11 Fulfil

8 Pedurungan 2072.00 501.00 24.18 Unfulfilled

9 Genuk 2738.44 1368.36 49.97 Fulfil

10 Gayamsari 549.47 105.58 19.21 Unfulfilled

11 Semarang Timur 770.25 73.45 9.54 Unfulfilled

12 Semarang Utara 1133.28 107.34 9.47 Unfulfilled

13 Semarang Tengah 604.99 72.01 11.90 Unfulfilled

14 Semarang Barat 2386.71 667.78 27.98 Unfulfilled

15 Tugu 3129.34 1911.25 61.08 Fulfil

16 Ngaliyan 3269.97 264.97 80.79 Fulfil

Total 37370.39 20083.95 38.46 Fulfil

In 2020, land utilization for residential areas in Semarang City was 16,670 hectares or 44.8% of the
total land in Semarang City. Land use for residential areas has occurred in several locations including
disaster-prone areas. There are at least three disaster-prone sectors, namely areas prone to floods,
landslides, and landslides, with low to high levels of vulnerability

In terms of Quantity and Quality, the Distribution and Quantity of Urban Green Space in the Semarang City
area still needs to be improved. It is still very difficult to provide enough land area that can be utilised as new
Urban Green Space..

Anda mungkin juga menyukai