LITERATURE REVIEW
Kesiapsiagaan Kota Semarang dalam Menghadapi Bencana Perubahan Iklim
2. URBAN MORFOLOGI
Morfologi kota terbentuk melalui proses yang panjang, setiap perubahan bentuk kawasan
secara morfologis dapat memberikan arti serta manfaat yang sangat berharga bagi penanganan
perkembangan suatu kota. Perubahan morfologi kota tidak terjadi secara alamiah karena bersifat
artefak (buatan manusia). Kota sebagai produk budaya selalu mengalami perubahan baik fisik
maupun non fisik seiring berjalannya waktu (Mehmood, 2011). Menurut Kropf (2002), salah satu
karakteristik dari bentuk perkotaan adalah struktur perkotaan terbagi menjadi tingkat yang berbeda
seperti jalan/blok, plot-plot, dan bangunan yang mana akan terus mengalami perubahan di masa yang
akan datang sehingga morfologi kota pada dasarnya setara dengan sejarah perkotaan.
Morfologi kota pada eksistensi keruangan dari bentuk-bentuk wujud karakteristik kota yaitu
analisis bentuk kota dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
bentuk kota yaitu faktor bentang alam atau geografis, transportasi, sosial, ekonomi dan regulasi
(Tallo et al., 2014). Morfologi merupakan beberapa pengaturan dari bagian-bagian objek yang
diamati, yang menampilkan kemiripan dan perbedaan sehingga dapat ditemukan alasan-alasan yang
dapat dibuktikan secara ilmiah. Morfologi juga menunjukkan bagaimana proses terbentuknya ruang
yang dimulai dari sel terkecil kemudian muncul sel-sel baru yang saling berhubungan hingga
membentuk organisasi ruang.
2.1 Pertumbuhan, Perubahan dan Perkembangan Kota Semarang
a. Perkembangan Kota Semarang Secara Horizontal
Perkembangan Kota Semarang menyebar secara horizontal kearah pinggaran kota (Pigawati et al.,
2017). Perkembangan Kota Semarang dengan berbagai sektor memberikan dampak yang besar
terhadap fisik spasial, dimana secara teknis setiap perkembangan kota berkaitan langsung dengan
guna lahan. Faktor penggunaan lahan dan jaringan jalan menjadi pemicu setiap perkembangan yang
ada. Pertumbuhan kawasan juga disertai dengan perubahan spasial, seperti dari lahan pertanian ke
perumahan. Kebutuhan akan perumahan yang semakin besar didukung oleh nilai strategis kawasan,
memicu penggunaan lahan perumahan yang semakin meningkat. Hal ini dibuktikan dengan citra
time series Kota Semarang pada tahun 1990, 2000, 2010 dan 2020.
Pada perbandingan citra Kota Semarang tahun 1990, 2000, 2010 dan 2020 terlihat sangat jelas
perbedaan serta perubahan bentuk di Kota Semarang. Pada tahun 1990, Kota Semarang mengalami
perkembangan kota satelit di bagian barat (BSB City) dan pengembangan permukiman di bagian
selatan dan timur (Handayani & Rudiarto, 2014). Pada tahun 2000, terlihat bahwa Kota Semarang
masih terdapat banyak lahan kosong hijau yang mendominasi, tetapi permukiman sudah mulai
memadat di bagian tengah Kota Semarang. Pada tahun 2010, terlihat bahwa lahan kosong yang
dulunya mendominasi sekarang sudah mulai dipenuhi oleh permukiman dan bangunan-bangunan.
Pemukiman sudah tidak berpusat lagi di semarang bagian tengah, tetapi sudah mulai menyebar ke
daerah lainnya. Dan pada tahun 2020, terlihat dengan jelas perubahan bentuk kota dari tahun-tahun
sebelumnya. Permukiman sudah mulai menyebar kearah Kecamatan Mijen dan memadat di bagian
tengah, utara dan timur Kota Semarang. Hal ini juga dapat dilihat bahwa permukiman sudah mulai
berkembang di pinggiran kota. Hampir seluruh wilayah kecamatan diKota Semarang padat akan
permukiman, tetapi masih terdapat beberapa kecamatan yang tingkat kepadatan penduduk nya
rendah sehingga jumlah permukiman pun rendah, seperti Kecamatan Tugu dan Kecamatan Mijen.
Tingginya jumlah penduduk yang melakukan perpindahan menuju pusat Kota Semarang
menyebabkan terjadinya perubahan struktur ruang kota. Struktur Ruang kota terbagi menjadi 2, yaitu
pusat kota dan sub pusat kota. Pada pusat kota memilki kepadatan aktivitas tinggi, selain dominasi
kegiatan industri, pusat perbelanjaan, perdagangan dan jasa. Kepadatan penduduk dan jalur lalu
lintas yang terkonsentrasi di pusat Kota Semarang menyebabkan terjadinya penurunan kualitas
lingkungan di pusat perkotaan yang berpengaruh pada munculnya pembangunan di daerah pinggiran
kota yang umumnya masih memiliki lingkungan untuk tempat tinggal yang lebih nyaman daripada
pusat kota.
Pada pusat pelayanan kota, kegiatan berskala kota atau regional atau nasional yang didukung dengan
fasilitas dan infrastruktur perkotaan. Pada sub pusat pelayanan kota, kegiatan berskala sebagian
wilayah kota atau BWK yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan. Dan jaringan
infrastruktur sebagai penunjang kegiatan yang ada di pusat maupun sub pusat pelayanan kota.
Berdasarkan peta struktur ruang Kota Semarang diatas, pusat Kota Semarang meliputi
Kecamatan Candisari, Gajah Mungkur, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Utara,
Semarang Selatan dan Semarang Timur. Hal ini dipengaruhi oleh letaknya yang strategis serta
keberadaan pusat pemerintahan dan pusat kegiatan ekonomi mendorong semakin padatnya aktivitas
di pusat kota. Keberadaan beberapa objek vital seperti Bandar Udara Ahmad Yani, Kantor
Pemerintahan di Jalan Pemuda dan Jalan Pahlawan, berbagai pusat perbelanjaan dan hotel juga
berlokasi di daerah tersebut. Wilayah yang berada di luar pusat kota atau sub pusat kota mencakup
Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Pedurungan, Genuk, Gayamsari, dan Ngaliyan. Bila
dibandingkan dengan pusat kota, wilayah ini memiliki fasilitas pelayanan yang kurang lengkap atau
jumlahnya lebih rendah dari wilayah pusat kota. Wilayah sub pusat kota ini umumnya memiliki
fungsi membantu dan mengurangi beban fungsi yang dimiliki oleh pusat kota. Sementara bagian
terluat Kota Semarang yang meliputi Kecamatan Tugu, Mijen dan Gunungpati memiliki jumlah
fasilitas yang lebih sedikit dibandingkan pusat kota dan sub pusat kota. Hal ini dipengaruhi oleh
faktor jumlah penduduk di kecamatankecamatan tersebut yang tergolong tidak terlalu tinggi.
Berdasarkan Teori oleh Harris dan Ullman (1945), Kota Semarang memiliki Pola Inti Ganda
(Multiple Nuclei) yang mana tidak hanya memiliki satu CBD, tetapi terdapat beberapa CBD. Salah
satu pusat kota di Kota Semarang, yaitu Simpang Lima. Pola ini terus berkembang sesuai dengan
penggunaan lahan fungsional serta membentuk struktur kota yang mempunyai sel-sel pertumbuhan.
Terbentuknya inti ganda ini didasari oleh keuntungan ekonomi sehingga menjadi bahan
pertimbangan dalam penggunaan lahan serta oleh banyaknya jumlah penduduk dan kepadatan
penduduk di suatu wilayah yang mengakibatkan muncul nya kawasan-kawasan CBD lainnya dalam
satu kota, seperti Banyumanik dan BSB City.
Perkembangan aksesibilitas seperti jaringan jalan di Kota Semarang memiliki peranan yang sangat
penting dimana lokasi Kota Semarang dilalui oleh Jalur Pantura. Kota Semarang memiliki bentuk
jaringan jalan lingkar dan jari-jari dimana berpusat di pusat kota, yaitu Kawasan Simpang Lima dan
Tugu Muda. Jaringan jalan menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan kota
karena dengan adanya aksesibilitas jalan maka akan sangat memungkinkan untuk dibangunnya sebuah
bangunan yang setiap waktu kebutuhan akan lahan terbangun akan diperlukan. Sehingga
perkembangan kota juga bergantung pada adanya aksesibilitas jalan yang ada.
e) Kebijakan Pemerintah
Adanya kebijakan dan aturan baru yang dikeluarkan terkait tata kelola dan rencana pembangunan tata
ruang tentu menjadi salah satu faktor adanya perkembangan serta perubahan pada suatu kota. Seperti
halnya di Kota Semarang terdapat aturan Rencana Tata Ruang Wilayah yang merencanakan penataan
serta tata kelola yang ada di Kota Semarang dalam jangka waktu 20 tahun.
Apabila dilihat dari faktor yang mempengaruhi perkembangannya, Kota Semarang mengalami
perkembangan secara interstisial dan memiliki pola yang memusat pada beberapa titik atau inti ganda
(multiple nuclei) sehingga membentuk pula pola yang merumpun di beberapa tempat (clustered
pattern).
VERSI RINGKAS
The morphology of the city is formed through a long process, every morphological change in
the shape of the area can provide meaning and very valuable benefits for handling the development
of a city. Changes in the morphology of cities do not occur naturally because they are artifacts (man-
made). The city as a cultural product always undergoes changes both physical and non-physical over
time (Mehmood, 2011). According to Kropf (2002), one of the characteristics of urban form is that
urban structures are divided into different levels such as roads / blocks, plots, and buildings which
will continue to change in the future so that the morphology of the city is basically equivalent to
urban history.
Semarang City as the capital of Central Java Province located in the central part of Java
Island, is located in a strategic location because it indirectly connects the western and eastern parts of
Java Island. This is what makes Semarang City experience development and changes in the
morphology of the city. Semarang City experiences interstitial urban development where there is an
increase in the quantity of land built without increasing its area. In its development, the Semarang
City service center is concentrated in one place in clusters, namely in the North-East Part of
Semarang City. The rapid development has made Semarang City have a Double Core Pattern with a
grid road network pattern that dominates in several districts and a cul de sac pattern in a small
number of districts.
In the comparison of the image of Semarang City in 1990, 2000, 2010 and 2020, it is very clear that
the differences and changes in the shape of Semarang City are very clear. In 1990, Semarang City
experienced urban development in the west (BSB City) and settlement development in the south and
east. In 2000, it was seen that Semarang City still had a lot of green vacant land that dominated, but
settlements had begun to solidify in the central part of Semarang City. In 2010, it was seen that the
vacant land that once dominated has now begun to be filled with settlements and buildings. The
settlement is no longer centered in central Semarang, but has begun to spread to other areas. And in
2020, it is clearly visible the change in the shape of the city from previous years. Settlements have
begun to spread towards Mijen District and compact in the central, northern and eastern parts of
Semarang City. It can also be seen that settlements have begun to develop in the suburbs. Almost all
sub-districts in Semarang City are densely populated with settlements, but there are still several sub-
districts with low population density so that the number of settlements is low, such as Tugu District
and Mijen District.
Semarang City, which is classified as a planned city, has a development that is influenced by
several factors, namely population, natural physical conditions, land use, accessibility, and
government policies. These factors make changes and developments so that new areas and cities
appear in Semarang City, such as BSB City. The highest land use change is used for settlement,
industry, trade and services. The higher the needs of the population in the industrial and trade
sectors, the more land will be needed. This is what causes the high demand for land in Semarang
City. Not only that, there is also a widening of roads in Semarang City, namely Jalan Sriwijaya. The
number of new developments is also expected to keep paying attention to existing important areas so
that they can continue to be preserved, such as the Kota Lama area, Simpang Lima, Tugu Muda, and
other important areas.
The center of activity that is concentrated in the middle of the city causes settlements to
expand to the suburbs, this phenomenon is called urban sprawl. However, Semarang City has a
model of fan shapes cities so that it has advantages such as ease in providing service facilities in
peripheral areas. In addition to the many developments, the maintenance of the city center and
important areas is also a focus for the government and the people of Semarang City. The
construction, maintenance and management of the city are planned by the government in the
Semarang City RTRW so that later there will be no significant morphological defects.
FIGURE 2. Map of Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Flood in Semarang City
B. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Landslide in Semarang City Distribution patterns
of settlements with vulnerability to flooding consist of three patterns, namely, random, clustered, and
uniform. Table 4 shows the patterns in settlements with vulnerability to landslides in Semarang City
Settlements with vulnerability to landslides are generally in random patterns. Based on the pattern, the
settlements with vulnerability to landslide are characterized by: 1. Settlements with vulnerability to
landslides are located randomly in the center of southern Semarang 2. The centers of the settlements are
randomly located and tend to be sporadic. 3. The settlements are randomly distributed in hilly areas because
the residents tend to settle in areas that are not steep, flat, and relatively safe [20].
C. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Ground movement in Semarang City Most
settlements with vulnerability to ground movement are in a cluster pattern. The pattern is characterized by
groups of settlements that are relatively concentrated or clustered. This pattern is caused by the factors of
social class and access to facilities. Residents tend to decide on the residential area which is accessible to
various supporting facilities, thus forming clustered settlements. Settlements with high accessibility as well
as a good topography will facilitate mobilization, so it's on the area can develop the potential in meeting
needs independent, especially in the economic aspect [21]. The pattern is observed in southern Semarang
which is a hilly area. Figure 3 shows spatial point patterns in settlement with vulnerability to ground
movement.
FIGURE 3. Map of Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Ground movement in Semarang
City
D. Distribution Pattern of Settlements with Vulnerability to Natural Hazard in Semarang City From the
observation, three variations of the distribution pattern of the settlement were formed in disaster-prone
settlement areas, namely cluster pattern, random pattern, and dispersed pattern. Figure 4 shows spatial
statistics of distribution patterns observed in disaster-prone settlement areas in Semarang.
Most districts that are vulnerable to natural hazards were observed as districts with scattered settlement
patterns. A scattered settlement pattern is characterized by irregular locations of settlements. The irregular
pattern is determined by the needs of the residents (looking for an area that is not steep, morphology flat,
and relatively safe area) which resulted in sporadic development of settlements [22]. A scattered settlement
pattern was observed in districts with a moderate to high risk of vulnerability to natural hazards. Those
districts are Gunungpati, Banyumanik, Gajah Mungkur, Semarang Selatan, Tembalang, Genuk, Semarang
Utara, Semarang Barat and Ngaliyan.
Secara Kuantitas dan Kualitas, Sebaran dan Besaran Ruang Terbuka Hijau di wilayah Kota
Semarang masih perlu ditingkatkan lagi. Masih sangat sulit untuk menyediakan luasan lahan yang
cukup yang dapat dimanfaatkan sebagai Ruang Terbuka Hijau baru. Upaya untuk memanfaatkan
lahan kosong, lahan kritis, sempadan sungai dan lahan bekas bongkaran bangunan publik merupakan
salah satu upaya untuk menambah luasan RTH di Kawasan Perkotaan. Kegiatan yang sudah
dilaksanakan Pemerintah Kota Semarang dengan membangun RTH Taman Kota / Taman Kawasan
dengan konsep Kota Hijau di atas lahan bekas Pasar Rejomulyo (Tahun 2012) dan lahan bekas Pasar
Sampangan (Tahun 2013) akan menjadi contoh pembangunan taman-taman lain di wilayah Kota
Semarang.
5. Loss of UGS
Kota Semarang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah dan kota metropolitan
terbesar kelima di Indonesia setelah Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung. Sebagai salah satu
kawasan kota (urban), salah satu kecamatan di Kota Semarang tepatnya Kecamatan Semarang
Barat memiliki permasalahan terutama dalam perancangan ruang kota salah satunya yaitu ruang
terbuka hijau. Berdasarkan permasalahan tersebut pemerintahan Kota Semarang membuat
regulasi atau kebijakan yaitu mengeluarkan Peraturan Daerah No 7 Tahun 2010 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Namun Kota Semarang nampak belum
optimal dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah tersebut. Dalam praktek lapangan, RTH
yang terdapat di Kota Semarang masih terus berkurang. Hal ini mengindikasikan adanya alih
fungsi lahan yang berpotensi menimbulkan bencana alam salah satunya yakni bencana
banjir saat musim penghujan tiba, serta udara Kota Semarang yang semakin panas karena
berkurangnya RTH. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda)
Kota Semarang, ruang terbuka hijau (RTH) pada tahun 1994 sebesar 65,008 persen berkurang
menjadi 61,74 persen (2002), dan turun lagi menjadi 52,29 persen (2006).
Hal tersebut kemudian diperparah dengan berkurangnya luasan RTH di wilayah
penyangga, seperti di Kecamatan Banyumanik, Tembalang, Gunungpati, dan Mijen. RTH di
keempat kecamatan tersebut telah banyak berubah menjadi permukiman, pusat perbelanjaan,
dan kawasan industri.
Luas eksisting RTH publik di Semarang dari olah data spasial yang
diperbaharui dengan survey primer untuk pemenuhan RTH Publik secara umum, terdapat 2
kecamatan (Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Semarang Utara) yang sudah
melampaui standar minimal 20% dari luas perkotaannya, sementara 14 kecamatan
lainnya angka capaian masih jauh dari standar minimal luasan RTH publik. Satu-satunya
kecamatan yang sudah memiliki angka capaian luasan RTH publik taman kota adalah
Kecamatan Candisari. Hal ini dikarenakan kecamatan ini sejak jaman penjajahan Belanda
sudah merencanakan kebutuhan RTH dengan baik.
Kota Semarang memiliki minimal presentase RTH yang sudah tercapai. Namun Kecamatan
Semarang Barat merupakan salah satu kecamatan di Kota Semarang yang belum terpenuhi
kesesuaian persentase RTH kotanya. Beberapa penyebabnya adalah adanya alih fungsi lahan
yang tidak berwawasan lingkungan sehingga menimbulkan bencana alam dan kelebihan
RTH sendiri belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat, kekurangnnya partisipasi
masyarakat untuk medukung pemenuhan RTH, kurangnya sumber daya manusia sebagai
pelaksana, dana yang tidak mencukupi dan kurangnya kontrol dari pemerintah. Dari
penelitian yang telah dilaksanakan diperoleh hasil penelitian bahwa RTH Kecamatan
Semarang Barat masih kurang, salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal
tersebut yakni dengan memanfaatkan Banjir Kanal Barat sebagai lokasi pembangunan floating
park dalam fungsi sebagai lahan penyediaan ruang terbuka hijau, ekonomi, sosial dengan konsep
water front sebagai solusi dalam meminimalisir kurangnya RTH di Kecamatan Semarang Barat.
Dipilihnya Banjir Kanal Barat sebagai lokasi untuk pembangunan floating park yakni karena di
lokasi ini terdapat 2 bagian tanah yang dapat dikembangkan agar lebih fungsional.Meskipun jika
dilihat dari luasan kedua lahan belum dapat memenuhi kekurangan persentase yang dibutuhkan
untuk kesesuian persentase RTH kota namun dengan pemanfaatan kedua lokasi ini dapat menambah
persentase kebutuhan RTH kota Kecamatan Semarang Barat dan dapat menjadi referensi untuk
pemanfaatan lokasi-lokasi lain yang masih belum optimal secara fungsional karena di
kecamatan ini masih banyak lahan yang belum dimanfaatkan secara optimal.
KESIMPULAN
Pada tahun 2020, pemanfaatan lahan untuk kawasan permukiman di Kota Semarang sebanyak
16.670 hektar atau 44,8% dari total lahan di Kota Semarang. Penggunaan lahan untuk kawasan
permukiman telah terjadi di beberapa lokasi termasuk di daerah rawan bencana. Setidaknya ada tiga
sektor rawan bencana, yaitu daerah rawan banjir, tanah longsor, dan tanah longsor, dengan tingkat
kerawanan rendah hingga tinggi.
Tabel 3. The Distribution of UGS in the Districts of Semarang City
N DISTRICT Area (Ha) Total Area of % Green Space Requirement of UGS
O Green Space (Ha) toward Area 30% toward the Area
In 2020, land utilization for residential areas in Semarang City was 16,670 hectares or 44.8% of the
total land in Semarang City. Land use for residential areas has occurred in several locations including
disaster-prone areas. There are at least three disaster-prone sectors, namely areas prone to floods,
landslides, and landslides, with low to high levels of vulnerability
In terms of Quantity and Quality, the Distribution and Quantity of Urban Green Space in the Semarang City
area still needs to be improved. It is still very difficult to provide enough land area that can be utilised as new
Urban Green Space..