Anda di halaman 1dari 6

Nama Kelompok 10

1. Muhammad Ilham Habibi (210413623330)


2. Nabila Febriana Yayhya (210413623366)
3. Nisbatun Nafi’ah (210413623212)

Sengketa Lahan di Balik Sirkuit Mandalika yang Diresmikan Jokowi

PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero), biasa disebut Indonesia Tourism


Development Corporation (ITDC), meneken perjanjian kerja sama dengan pemegang hak
komersial dan TV eksklusif untuk kejuaraan balap motor terkemuka, Dorna.
Penandatanganan dilakukan oleh Chief Executive Officer Dorna Carmelo Ezpeleta dan
Direktur Utama ITDC Abdulbar M. Mansoer di Madrid, Spanyol, 28 Januari 2019.

Kemudian, 7 Oktober 2021, ITDC dan PT Pertamina (Persero) menandatangani Perjanjian


Kerja Sama Sponsorship Mandalika International Street Circuit Naming Right untuk
penyelenggaraan MotoGP 2022 di Indonesia. Melalui kesepakatan ini Pertamina memeroleh
hak penyertaan nama korporasi pada Jalan Kawasan Khusus (JKK) The Mandalika dengan
jangka waktu sejak tanggal perjanjian hingga 31 Desember 2022. Secara resmi penamaan
sirkuit jalan raya sepanjang 4,31 kilometer itu menjadi ‘Pertamina Mandalika International
Street Circuit’.
Presiden Joko Widodo telah meresmikan Sirkuit Mandalika di Kabupaten Lombok Tengah,
Nusa Tenggara Barat (NTB), Jumat (12/11/2021). Jokowi mengatakan Sirkuit Mandalika
dengan panjang 4,3 kilometer bakal menjadi tuan rumah ajang balap World Superbike
(WSBK) pada 19-21 November 2021 dan MotoGP pada Maret 2022.

“Sirkuit Mandalika dengan panjang 4,3 kilometer menggunakan aspal terbaru stone mastic
asphalt siap digunakan untuk mendukung event dunia," ujar Jokowi di lintasan Sirkuit
Mandalika, Lombok Tengah.

Sirkuit itu bagian dari Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. KEK Mandalika
berkonsep mengembangkan pariwisata berwawasan lingkungan dengan pembangunan objek
dan daya tarik wisata yang selalu berorientasi kepada pelestarian nilai cum kualitas
lingkungan hidup masyarakat. Di balik ITDC bekerja sama dengan Dorna, lantas
pembangunan arena ajang balap roda dua itu menimbulkan masalah bagi warga setempat;
bahkan sempat disorot oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Olivier De Schutter, Pelapor Khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia,
para ahli menyoroti pengusiran masyarakat lokal dan perusakan rumah, ladang, sumber air,
situs budaya dan agama. Megaproyek itu dinilai “menginjak-injak hak asasi manusia”,
pembangunan tersebut memicu perampasan tanah masyarakat adat Sasak secara agresif
dengan penggusuran paksa, mengancam pembela HAM, serta mengusir para petani dan
nelayan dari tanah sendiri.

“Sumber yang dapat dipercaya telah menemukan bahwa penduduk setempat menjadi sasaran
ancaman dan intimidasi dan diusir secara paksa dari tanah mereka tanpa kompensasi.
Terlepas dari temuan ini, ITDC belum berusaha untuk membayar kompensasi atau
menyelesaikan sengketa tanah,” kata dia.

De Schutter juga menyoroti bahwa proyek Mandalika menguji ‘komitmen terpuji Indonesia
terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan kewajiban hak asasi manusia yang
mendasarinya’. Pengembangan pariwisata skala besar yang ‘menginjak-injak hak asasi
manusia’ pada dasarnya tidak sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan.

Kisruh Penduduk-Korporasi

Oktober 2016, tanah 6.000 meter milik Gema Lazuardi di Kampung Ujung, Desa Kuta,
Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, ditawar oleh ITDC senilai Rp2,8 miliar.
Lahan tersebut rencananya akan jadi bagian dari Sirkuit Mandalika, tepatnya jalur tikungan
ke-17. Gema setuju dengan penawaran tersebut, tapi belum mendapatkan duit penggantian
lahan.

Alih-alih menerima uang, pada Februari 2020 ia malah digugat atas dugaan memakai tanah
tanpa izin yang berhak. “ITDC ini alasannya ‘punya hak pengelolaan dan tanah milik
negara’,” kata Gema ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu (2/9/2020). Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Praya bahkan memvonisnya dua bulan penjara dengan masa percobaan
enam bulan. Pengadilan juga membebankan Gema membayar Rp2.500 sebagai biaya perkara.

Gema mengajukan banding, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Mataram menerima


permohonannya. Hakim membatalkan putusan Pengadilan Negeri Praya Nomor
5/PID.C/2020//PN.Pya tanggal 12 Februari 2020. Diputuskan perbuatan yang dituduhkan
terbukti, tapi tidak dikategorikan sebagai pidana; melepaskan dari segala tuntutan hukum; dan
memulihkan harkat, martabat, serta kedudukannya.

“Sampai saat ini jalur yang belum dibebaskan, ya, punya saya. Masih alami, masih banyak
pohon kelapa,” katanya, menyimpulkan status lahan. Ia mengatakan tanah yang ia dan
penduduk sekitar tempati itu telah diwariskan turun-temurun. “Para pemilik punya alasan
kuat, maka berani menempati lahan.”

Menurutnya aparat juga dikerahkan untuk menuntaskan konflik antara perusahaan dan warga.
Bedanya, tidak seperti banyak daerah sengketa lain, Gema mengaku mereka tak melakukan
intimidasi apapun terhadap warga.

Gema sebenarnya mendukung pembangunan sirkuit karena dapat mendongkrak ekonomi


wilayah. Dengan catatan, perusahaan menepati janji: membeli lahan dengan cara yang benar.
Toh warga memiliki segala dokumen pertanahan resmi. Persetujuan masyarakat setempat
terhadap proyek juga dikatakan Miftahurrahman, kuasa hukum warga. Menurutnya
masyarakat tidak menghalangi pembangunan sirkuit, tapi mempertahankan lahan yang belum
dibayar perusahaan.

“Tanah klien kami belum pernah dibayar. Kalau ITDC sudah membayar, dia salah
memberikan. Dia membayar pada penggarap dan bukan pemilik tanah,” ujar Miftahurrahman
ketika dihubungi reporter Tirto, Senin (7/9/2020).

Warga pun mencoba bertahan ketika perusahaan meminta mereka mengosongkan lahan.
Aparat dilibatkan dalam pembangunan proyek ini; 12 September, polisi dan aparat lainnya
menggeruduk tanah Amaq Masrup.
dBuldoser dikerahkan untuk meratakan kebunnya. Masrup, yang juga satu dusun dengan
Gema, harus kehilangan 1,6 hektare tanahnya. Namun ia dan keluarga mengklaim tak pernah
menjual lahannya kepada ITDC. “Serupiah pun kami ndak pernah terima uang, kami ndak
pernah menjualnya,” ujar istri Masrup, Sibrah.

Direktur Lombok Global Institut Muhammad Fihiruddin menyatakan banyak hak warga
yang belum dibayar oleh ITDC jadi pemicu konflik. “Banyak sekali. Terjadi kesalahan
pendataan dari awal. Bahkan ada warga yang punya lahan dari dahulu, bayar pajak (tanah),
tapi belum punya sporadik,” kata dia kepada Tirto, Jumat (12/11/2021).

Media 2016-2017 perangkat desa tak berani menerbitkan sporadik atau surat pernyataan
penguasaan fisik bidang tanah, sehingga banyak warga tidak bisa mengklaim lahan itu milik
mereka.

Imbasnya, ITDC mengaku tanah itu milik perusahaan dan mempunyai Hak Pengelolaan
(HPL). Padahal tanah-tanah itu belum dibebaskan. Banyak ‘tangan yang bermain’ di hal
tersebut, padahal data Badan Intelijen Negara dan Badan Kesatuan Bangsa dan Politik
lengkap. Namun ITDC abai dengan data-data tersebut. “Karena ITDC menganggap dirinya
negara di dalam negara,” tutur Fihiruddin.

Bahkan ada juga yang 6-7 warga yang memiliki sertifikat tanah resmi menggugat ITDC,
pertarungan itu hingga ke tingkat Mahkamah Agung. Warga menang, tapi mereka tak bisa
mengakses tanahnya karena berada di dalam kawasan sirkuit. Lahan dan kawasan
pembangunan itu dibatasi tembok. Seolah, kata Fihiruddin, ITDC memaksa warga menjual
lahannya dengan harga murah kepada pihak perusahaan.

Kasus warga lawan korporasi akan terus jadi polemik. Baku gugat masih berjalan. Sejak PT.
Rajawali Indonesia (BUMN yang sekarang jadi ITDC) mulai masuk di daerah Kuta, pada
1994, banyak insiden salah bayar. Di era Orde Baru, meski salah bayar itu ada, nama si
pembeli tercantum dalam HPL. Tak peduli apakah korporasi membayarkan uangnya ke
pemilik lahan resmi atau bukan.

Fihiruddin menyatakan penduduk mendukung program pemerintah yang ingin memajukan


perekonomian melalui pengembangan pariwisata Lombok, misalnya. Tapi negara pun tak
boleh gegabah mengambil keputusan. “Presiden memerintahkan Menko Perekonomian dan
instansi yang terlibat, secara proaktif turun menyelesaikan permasalahan ini secara
komprehensif, bukan parsial,” terang dia.
Jangan Korbankan Rakyat

Pegiat pariwisata Taufan Rahmadi menyatakan perkembangan pariwisata tak boleh


melupakan hak-hak rakyat. “Pembangunan pariwisata harus berujung kepada kesejahteraan
masyarakat. Paling tidak masyarakat di lingkar destinasi itu. Jika ada permasalahan lahan
yang memang hak milik penduduk, itu harus diutamakan untuk diselesaikan,” ucap dia
kepada Tirto, Jumat (12/11/2021).

Perusahaan harus segera merampungkan perkara sengketa lahan secepatnya, segera penuhi
hak warga. Sirkuit Mandalika memang menjadi magnet bagi wisatawan asing dan lokal,
apalagi jelang WSBK para pelancong mulai memesan kamar hotel-hotel. Bila tingkat
kedatangan wisatawan meninggi, artinya berdampak positif untuk pariwisata di NTB. Sebab
pariwisata itu bertautan ke hal lainnya.

Taufan berujar negara-negara yang menjadikan pariwisata sebagai sektor utama pendapatan
bisa menyesuaikan diri dengan rekomendasi dari Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perihal pandemi COVID-19 dan perpelancongan.
Berkaitan dengan dugaan pelanggaran HAM, Taufan menyarankan beberapa hal. “Pertama,

ITDC harus terbuka terkait hal ini, sampaikan sejelas-jelasnya kepada masyarakat apa yang
terjadi. Kedua, masyarakat jangan ragu dan jangan takut. Jika memiliki bukti kuat
kepemilikan tanah, sampaikan kepada lembaga hukum,” jelas Taufan.

Ia juga mengusulkan agar pemerintah bisa memverifikasi lahan-lahan warga sehingga


sengketa dapat kelar dan lembaga swadaya masyarakat dapat membantu penduduk
mendapatkan keadilannya.

ANALISIS STUDI KASUS

Kabar akan dibangunkannya sebuah sirkuit balap internasional di Mandalika awalnya sangat
didukung oleh penduduk lokal. Mereka tentu berharap dengan adanya pembangunan tersebut
dapat mendorong tingkat perekonomian jauh lebih baik lagi.

Transaksi yang dijalankan oleh kedua belah pihak antara penyelenggara pembangunan sirkuit
Mandalika (ITDC) dengan para pemilik tanah tidak berjalan baik. Pihak ITDC tidak
melakukan pembayaran yang semestinya kepada pemilik tanah alias melakukan wanprestasi.
Para pemilik tanah bahkan sampai dituntut atas pemalsuan dokumen hak milik sehingga
ITDC mampu memiliki tanah dengan gratis. Akibatnya masyarakat seolah diusir secara paksa
dari tanah mereka sendiri sebagai imbas dari pembangunan sirkuit Mandalika, pengusiran
masyarakat lokal dan perusakan rumah, ladang, sumber air, situs budaya, dan agama.
Megaproyek itu dinilai “menginjak-injak hak asasi manusia”, pembangunan tersebut memicu
perampasan tanah masyarakat adat Sasak secara agresif dengan penggusuran paksa,
mengancam pembela HAM, serta mengusir para petani dan nelayan dari tanah sendiri.

Solusi:

1. Pemerintah harus memverifikasi lahan-lahan warga dan pihak ITDC memberikan


keterangan yang sejelas-jelasnya sehingga sengketa dapat terselesaikan serta
penduduk mendapatkan keadilannya.
2. Pihak ITDC memenuhi janji untuk membayar lahan dan menyelesaikan masalah
sengketa tanah secara kekeluargaan.
3. ITDC harus terbuka terkait hal tersebut, lalu menyampaikan sejelas-jelasnya kepada
masyarakat apa yang terjadi, masyarakat juga tidak boleh ragu dan takut. Jika
memiliki bukti kuat kepemilikan tanah, sampaikan kepada lembaga hukum.

Referensi:

https://tirto.id/sengketa-lahan-di-balik-sirkuit-mandalika-yang-diresmikan-jokowi-glkz

https://www.kompasiana.com/ariyudha/61b035c375ead64dc278a162/sengketa-lahan-di-
sirkuit-mandalika

Anda mungkin juga menyukai