Disusun oleh :
M. RIZKI TRI PUTRA HIKMAWAN (2301013027)
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS KH. A. WAHAB HASBULLAH
TAMBAKBERAS JOMBANG
TAHUN 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur karna kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala Rahmat serta Hidayah-
Nya kami pun bisa menyelesaikan penulisan dari makalah dengan judul “KASUS Rempang
Eco City”.
Makalah ini telah disusun demi memenuhi tugas yang telah diberikan oleh Bapak Dr.
M. Qoyum Zuhriawan, M. Pd. Selaku dosen dari mata kuliah Konsep- konsep Dasar
Pendidikan Kewarganegaraan. Dan harapan kami, semoga makalah ini bisa menambah
pengetahuan serta pengalaman bagi seluruh pembaca, serta khususnya untuk para penerus-
penerus bangsa.
Karena adanya keterbatasan pada pengetahuan maupun juga pengalaman dari kami,
kami juga yakin bahwa masih banyak kekurangan di dalam makalah ini. Oleh sebab itu, kami
sangat mengharapkan adanya saran serta kritik dari para pembaca makalah kami ini, supaya
makalah kami ke depannya dapat menjadi lebih baik lagi.
Penyusun
DAFTAR ISI
Pembangunan kawasan industri Pulau Rempang, Kota Batam menimbulkan konflik sengketa
tanah antara masyarakat, pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha. Program pembangunan
yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura tersebut justru
berujung bentrok akibat ketidakpastian hukum atas tanah. Masyarakat menganggap, tanah
tersebut merupakan warisan leluhur yang telah ada sebelum kemerdekaan. Sedangkan di sisi
lain, adanya Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pada sebuah perusahaan, membuat tanah
tersebut dianggap tidak lagi milik masyarakat. Masyarakat menolak pengukuran tanah dan
relokasi mereka, serta menyampaikan sikap melalui perbincangan dan aksi publik. Pemerintah
Indonesia memberikan dukungan pembangunan kawasan Pulau Rempang Eco City oleh PT.
Makmur Elok Graha, yang melibatkan investor dari Singapura dan Malaysia. Konflik ini
menarik perhatian media massa dan publik secara umum.
B.RUMUSAN MASALAH
1.Bagaimana terjadinya peristiwa penggusuran tanah rempang?
2.adakah investasi asing pada kasus rempang?
3. pelanggaran HAM dalam konflik rempang
C.TUJUAN PENULISAN
1.Mengetahui konflik penggusuran tanah rempang
2.Mengetahui adanya investasi pihak asing
3.Mengkaji pelanggaran HAM yang terjadi pada saat penggusuran tanah rempang
BAB II
PEMBAHASAN
1
Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak ... https://ugm.ac.id/id/berita/menilik-konflik-
rempang-dan-pengakuan-pemerintah-atas-hak-hak-masyarakat-adat/
2
Protes warga Pulau Rempang semakin meningkat pada Maret 2023. Pada tanggal 8 Maret
2023, aparat gabungan TNI dan kepolisian memaksa masuk ke kampung adat di Pulau
Rempang. Bentrokan pun terjadi dan menyebabkan sejumlah warga terluka. Pemerintah
kemudian membentuk tim mediasi untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Namun, tim
mediasi gagal mencapai kesepakatan antara warga dan pemerintah.
Pada tanggal 20 Juli 2023, sejumlah warga Pulau Rempang mengajukan gugatan ke
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Gugatan tersebut meminta MK untuk menyatakan
UU tersebut bertentangan dengan UUD 1945. Pada tanggal 2 Agustus 2023, MK menolak
gugatan tersebut. MK menyatakan bahwa UU Nomor 2 Tahun 2012 tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Meskipun gugatan mereka ditolak MK, warga Pulau Rempang tetap
menolak pembangunan Rempang Eco City. Mereka terus melakukan aksi protes dan
menuntut agar proyek tersebut dihentikan. Pada tanggal 19 Agustus 2023, pemerintah
mengumumkan bahwa pembangunan Rempang Eco City akan ditunda hingga batas waktu
yang belum ditentukan. Pemerintah menyatakan bahwa penangguhan tersebut dilakukan
untuk menyelesaikan sengketa dengan warga Pulau Rempang. Hingga saat ini, sengketa
Rempang Eco City masih belum terselesaikan. Pemerintah dan warga Pulau Rempang masih
belum mencapai kesepakatan terkait proyek ini.
2
CNNINDONESIA.COM
3
ANTARANEWS.COM
Dalam rapat terbatas pada Senin pagi, Presiden Joko Widodo memberikan beberapa arahan
terkait permasalahan di Pulau Rempang antara lain penyelesaian masalah secara
kekeluargaan, memperhatikan aspirasi masyarakat, dan pemenuhan hak-hak warga yang
terdampak.
4
"Bapak Presiden menitikberatkan bahwa kepentingan rakyat kita yang harus kita pikirkan
dan dahulukan dalam kerangka, aturan, dan proses secara kekeluargaan," kata Bahlil pula.
Pada saat pemerintah membentuk Batam sebagai daerah industri sesuai sesuai Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 74 Tahun 1971 untuk menyaingi Singapura, menurut Bahlil juga
sudah banyak sekali gangguan di wilayah itu. Maka, ia mengaku aneh bila faktor asing
dikesampingkan saat ini.
"Saya coba untuk memakai analisis itu dalam konteks ini jadi menurut saya dan ini sudah
viral ada bule yang ngomong tentang itu agak merisaukan kita juga ngapain bule ngurus
negara kita, ini lembaga politik kajian kita tidak boleh administratif," ucapnya.
c.pelanggaran HAM
Masyarakat merasa terintimidasi
Komnas HAM, kata Saurlin, juga mendatangi masyarakat di Desa Sembulang, Desa Dapur 6
dan Pantai Melayu. Mengutip keterangan sejumlah penduduk di desa-desa itu, Saurlin
mengatakan, Menteri Investasi Bahli Lahadalia sempat datang dari rumah ke rumah dengan
membawa aparat keamanan sehingga mereka merasa terintimidasi.
5
Masyarakat yang diwawancara, kata Saurlin, juga mengaku tidak pernah menandatangani
persetujuan relokasi dan tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Yang menimbulkan
perlawanan menurut masyarakat karena terjadi pematokan lahan sepihak, imbuhnya.
Para petugas damkar berupaya memadamkan api yang dinyalakan oleh warga untuk
memprotes rencana pemerintah mengembangkan Pulau Rempang, 8 September 2023.
Rencana investasi yang didanai investor China itu akan menggusur sekitar 7.500 orang di
Tanjung Kertang. Rencana investasi yang didanai investor China itu akan menggusur sekitar
7.500 orang di Tanjung Kertang. (Foto: Andaru/AFP)
Saurlin menjelaskan bahwa di desa tersebut terdapat banyak makam kuno yang sudah sangat
tua dan menjadi bukti penting bahwa di wilayah tersebut sudah ada perkampungan jauh
sebelum proyek ini ada.
“Menurut kami memang sudah terjadi pelanggaran hak-hak masyarakat di sana, itu jelas ya.
Karena tidak ada dari sejak awal proses yang dialogis dan transparan terkait relokasi dan
penggusuran, itu tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005
tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” ungkap Saurlin.
Jika ingin melakukan penggusuran, kata Saurlin, setidaknya harus mendahulukan
musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak dan relokasi sebelum penggusuran
4
CNBCindonesia
55
EDURAnews
dilakukan atau adanya tempat baru terlebih dahulu. Sementara dalam kasus ini, lanjutnya,
penggusuran dilakukan padahal tempat baru tidak ada sehingga masyarakat kebingungan.
Beberapa hari terakhir ini, media ramai memberitakan proses penggusuran paksa warga di
Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Penggusuran itu menjadi sorotan publik setelah,
pada 7 Sept. 2023, terjadi bentrokan antara aparat Kepolisian, TNI dan Satpol PP dengan
warga setempat yang menolak digusur paksa agar meninggalkan tempat pemukimannya.
6
Akhirnya aparat menggunakan gas air mata untuk memaksanya berpindah. Bentrokan tidak
dapat lagi dihindari, dilaporkan 11 orang korban yang telah dilarikan ke rumah sakit terdekat,
10 di antaranya adalah siswa dan seorang guru. Bentrokan itu terlihat terus berlanjut hingga
hari ini dan bahkan warga terus melakukan perlawanan ke BP Batam yang mengakibatkan
bertambahnya enam orang korban luka-luka (CNNI, 11/09/2023).
Meski demikian, warga dalam wadah Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (KERAMAT)
Pulau Rempang dan Galang, yang terdampak proyek Eco-City, tetap menolak direlokasi.
Alasannya, mereka sudah berada di sana secara turun temurun sejak 1834, jauh sebelum
Indonesia merdeka.
Mereka juga meminta aparat agar menghentikan segala bentuk intimidasi kepada masyarakat,
dan juga meminta agar negara mengakui hak kepemilikan Tanah Ulayat mereka.
Dari perspektif HAM, kasus penggusuran paksa di Pulau Rempang ini dinilai sebagai bentuk
pelanggaran HAM berat dengan dasar berikut.
Pertama, merujuk pada Basic Priciples and Guidelines on Development-Based Eviction and
Displacement A/HRC/18, paragraf ke-6, oleh Dewan HAM PBB (2009) dikemukakan:
Forced evictions constitute gross violations of a range of internationally recognized human
rights, including the human rights to adequate housing, food, water, health, education, work,
security of the person, security of the home, freedom from cruel, inhuman and degrading
treatment, and freedom of movement.
Ketentuan PBB ini menyebut penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang
diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.
Penggusuran paksa adalah perlakuan tidak manusiawi dan perlakuan merendahkan martabat
seseorang yang semestinya harus dimajukan, dipenuhi dan dilindungi oleh negara.
Penggusuran harus dilakukan secara sah, hanya dalam keadaan luar biasa, dan sepenuhnya
harus sesuai dengan aturan HAM internasional dan hukum humaniter.
Kedua, pada Fact Sheet No. 25/Rev.1 yang dikeluarkan oleh PBB pada 2014 tentang
Penggusuran Paksa (Forced Evictions), dinyatakan bahwa: Forced evictions violate, directly
and indirectly, the full spectrum of civil, cultural, economic, political and social rights
enshrined in international instruments.
6
Jambi one
Kasus penggusuran paksa warga di Pulau Rempang dinilai sebagai pelanggaran HAM berat
baik secara langsung atau tidak karena menyentuh seluruh aspek hak sipil, budaya, politik
dan sosial yang dilindungi oleh hukum HAM internasional.
Ketiga, merujuk pada Undang-undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM penggusuran
paksa bagi sekitar 7500 warga Pulau Rempang, agar berpindah dari tempat pemukimannya ke
pulau lain atau ke tempat lain (population transfer), pemaksaan eksodus massal, yang
menyebabkan warga tercabut dari akar kehidupan sosial budaya dan komunitasnya.
Pemindahan dan pengusiran secara paksa anak-anak dan kelompok penduduk asli Melayu,
Orang Laut, dan suku lainnya yang mendiami 16 Kampung Tua di Pulau Rempang dapat
dikategorikan sebagai kejahatan genosida (Pasal 8 ayat e), dan kejahatan atas kemanusiaan
(Pasal 9 ayat d).
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Kasus Rempang Eco City adalah sengketa antara warga Pulau Rempang, Kepulauan Riau,
dengan pemerintah terkait pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City.
Proyek ini dirancang sebagai kawasan industri, pariwisata, dan permukiman modern seluas
5.000 hektar di Pulau Rempang. Pemerintah Kota Batam kemudian menerbitkan surat
keputusan (SK) tentang penetapan lokasi proyek Rempang Eco City pada Desember 2022.
SK tersebut menetapkan bahwa lahan seluas 3.000 hektar di Pulau Rempang akan digunakan
untuk pembangunan proyek ini. Surat keputusan tersebut memicu protes dari warga Pulau
Rempang. Warga menolak pembangunan proyek ini karena khawatir akan berdampak negatif
terhadap lingkungan dan kehidupan mereka. Warga juga menilai bahwa proses pengadaan
tanah untuk proyek ini tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat.
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyebut telah mengetahui adanya keterlibatan pihak
asing dalam konflik di Pulau Rempang.
Ketentuan PBB ini menyebut penggusuran paksa merupakan pelanggaran HAM berat yang
diakui secara internasional, karena hak atas perumahan yang layak, makanan, air, kesehatan,
pendidikan, pekerjaan, kebebasan bergerak dan keamanan adalah hak asasi setiap orang.
DAFTAR PUSTAKA
CNNINDONESIA.COM
ANTARANEWS.COM
CNBCindonesia
EDURAnews
Sinambela, F. A., Apriyana, T., Natasha, N., Katrillah, K., Pratiwi, A. A., & Herdinasari, R. E.
(2022). PENGELOLAAN PERMINTAAN DAN KAPASITAS PRODUKSI PADA UMKM
SEKTOR JASA DI KOTA BATAM (Studi Kasus pada Cv Rempang Printing). Bata Ilyas
Educational Management Review, 2(1)
https.Jambi.one