Anda di halaman 1dari 36

PENETAPAN BIAYA PERSIAPAN PTSL DALAM PERATURAN

BUPATI MADIUN NOMOR 2A TAHUN 2019


DITINJAU DARI TEORI KEADILAN
(Kajian dalam Perspektif Teori Hukum)

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


TEORI HUKUM

Oleh:
NANING NUR CAHYANI
NPM: XXXXXXXXX

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURAKARTA
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan makalah tentang: PENETAPAN BIAYA PERSIAPAN PTSL
DALAM PERATURAN BUPATI MADIUN NOMOR 2A TAHUN 2019
DITINJAU DARI TEORI KEADILAN (Kajian dalam Perspektif Teori
Hukum).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Teori Hukum di Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Surakarta (UNSA)
Surakarta. Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat
bagi kita semua, dalam hal menambah pengetahuan dan wawasan
tentang Teori Keadilan dalam Perspektif Teori Hukum. Penulis
mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Mata Kuliah Teori
Hukum di Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Universitas Surakarta (UNSA) Surakarta yang telah memberikan
kesempatan dan dukungan kepada penulis, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, segala kritik dan saran yang membangun selalu peneliti
harapkan. Selanjutnya, peneliti berharap makalah ini mampu memberikan
manfaat kepada semua pihak.

Surakarta, Februari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
A. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
B. POKOK MASALAH.............................................................................. 5
C. LANDASAN PEMIKIRAN YANG DIGUNAKAN.................................. 6
1. PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)............................ 6
2. Teori Hukum.................................................................................... 8
3. Teori Tujuan Hukum........................................................................ 10
D. ANALISIS PERMASALAHAN.............................................................. 26
E. DISKUSI HASIL ANALISA/PEMBAHASAN........................................ 26
F. PENUTUP............................................................................................ 31
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 32

iii
A. PENDAHULUAN
Tanah merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam
kehidupan suatu masyarakat, terutama di lingkungan masyarakat
Indonesia yang sebagian besar penduduknya menggantungkan
kehidupan dari tanah. Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia,
sejak lahir manusia membutuhkan tanah untuk berbagai kebutuhan
baik untuk keperluan tempat tinggal, usaha pertanian, dan lain-lain.
Berkaitan dengan masalah pertanahan atau hak atas kepemilikan tanah
di dalam masyarakat, sungguh merupakan suatu persoalan yang
sangat sensitif di mana tidak jarang terjadinya sengketa dan perkara
tanah. Jika direnungkan secara mendalam, sebenarnya kerawanan
sengketa tanah wajar kalau sampai terjadi, karena akibat kepemilikan
hak milik paten yang tidak didaftarkan ke pihak yang berwenang atas
tanah tersebut. Masalahnya, penduduk yang memerlukan lahan, baik
sebagai garapan maupun sebagai pemukiman terus menerus
bertambah, sementara untuk lahan itu sendiri luasnya amatlah terbatas
dan tidak pernah bertambah. Apalagi, luas lahan yang semakin hari
semakin meningkat untuk nilai ekonomisnya sehingga lahan menjadi
komoditas langka yang amat sangat dicari dan dibutuhkan orang
banyak. Seandainya seluruh warga masyarakat memahami betapa
pentingnya memiliki sertifikat tanah resmi yang diakui pemerintah,
mungkin sebagian akan meminimalisir terjadinya persengketaan tanah.
Memandang pentingnya sertifikat tanah sebagai tanda bukti atas
hak kepemilikan atas tanah, maka pemerintah berkewajiban untuk
mengatur permasalahan tentang hak kepemilikan atas tanah. Hadirnya
UUPA yang mengatur pendaftaran tanah dan bertujuan untuk
memberikan jaminan kepastian hukum atas hak milik masyarakat pada
tanahnya perlu ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya aturan-aturan
hukum yang akan menjamin kepastian hukum bagi para pemegang hak
atas tanah melalui pendaftaran tanah yang bertujuan memberikan
jaminan kepastian hukum atau yang dikenal dengan sebutan Rechts

1
Cadaster/Legal Cadaster, dan menghasilkan sertifikat sebagai tanda
bukti haknya.
Berkaitan dengan kepemilikan atas tanah, pemerintah
memberikan suatu program pendaftaran tanah kepada masyarakat
yang didasarkan pada sembilan program yang dikenal dengan Nawa
Cita. Program ini digagas untuk menunjukkan prioritas jalan perubahan
menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam
bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Dari 9 butir
nawacita tersebut, terdapat salah satu butir yang paling populer di
masyarakat yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia
melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program
“Indonesia pintar” serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan
program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan
mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9
hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang
disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat ditahun 2019. Sebagai
wujud dari salah satu butir Nawa Cita tersebut, maka pemerintah
menuangkan program tersebut dengan memberikan program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) merupakan
program pendaftaran tanah bidang demi bidang dalam satu hamparan
desa/kelurahan. Program ini diatur dalam Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 35 Tahun
2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis
Lengkap (PTSL), Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL), Peraturan Menteri
Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 12
Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis

2
Lengkap (PTSL), dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Tanah Secara Lengkap (Waskito dan Arnowo, 2019:51).
Salah satu ketentuan dalam program PTSL adalah tentang biaya
persiapan dan pelaksanaan PTSL. Mengacu pada Keputusan Bersama
Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembagunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3 (tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 tentang Pembiayaan Persiapan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, besaran biaya untuk persiapan
pelaksanaan PTSL terbagi atas beberapa kategori, dimana untuk
wilayah Jawa dan Bali atau Kategori V, biayanya adalah sebesar Rp
150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Pembiayaan tersebut tidak
termasuk biaya pembuatan akta, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh).
Kabupaten Madiun, seperti halnya kabupaten-kabupaten lain di
Indonesia, merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur yang
telah menerapkan program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(PTSL). Berkaitan dengan penetapan biaya persiapan PTSL,
Pemerintah Kabupaten Madiun telah mengeluarkan Peraturan Bupati
No. 2A Tahun 2019 tentang Biaya Persiapan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap, yang di dalam Pasal 8 ayat (1) disebutkan bahwa
besaran biaya yang diperlukan untuk persiapan PTSL, yang meliputi
kegiatan penyiapan dokumen, kegiatan pengadaan patok dan materai,
dan kegiatan operasional petugas desa atau kelurahan adalah sebesar
Rp.150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) setiap pemohon. Secara
lebih lengkap, pada Pasal 8 dan 9 Peraturan Bupati No. 2A Tahun 2019
disebutkan bahwa:
Pasal 8
(1) Besaran biaya yang diperlukan untuk persiapan PTSL
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, sebesar Rp.150.000,00
(seratus lima puluh ribu rupiah) setiap pemohon.

3
(2) Besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
ditambah apabila:
a. jumlah patok batas tanah atau materai yang dibutuhkan melebihi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6; atau
b. terdapat kebutuhan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
dan pasal 7.
(3) Penambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah kelompok masyarakat
pemohon PTSL.
(4) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikelola
sendiri oleh kelompok masyarakat dan bukan merupakan retribusi
dan atau pungutan dari Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa/
Kelurahan.
(5) Penambahan biaya sebagaimana dimaksud ayat (2) pada huruf b
dipergunakan untuk:
a. belanja alat tulis kantor (ATK);
b. makan dan minum selama pelaksanaan program PTSL;
c. honorarium saksi-saksi dari masyarakat desa/perangkat desa;
d. transportasi dari desa ke lokasi obyek PTSL dan sebaliknya; dan
e. upah lembur selama pelaksanaan program PTSL.
(6) Penambahan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
didasarkan pada standar biaya umum dan/atau standar satuan
hàrga barang dan jasa kebutuhan yang berlaku atau ditentukan
berdasarkan kesepakatan warga masyarakat yang tidak melebihi
standar biaya umum dan/atau standar satuan harga barang dan
jasa kebutuhan, yang dituangkan dalam Rencana Anggaran Biaya
(RAB).
Pasal 9
Kesepakatan tambahan biaya dituangkan dalam berita acara
kesepakatan dan diusulkan menjadi peraturan Desa/Kelurahan.

Penetapan biaya pelaksanaan PTSL sebenarnya gratis, karena


dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Namun,
untuk pembiayaan persiapan PTSL dibebankan pada masyarakat
pemohon PTSL. Berkaitan dengan adanya penetapan biaya persiapan
PTSL yang besarnya ditetapkan berdasarkan hasil kesepakatan
musyawarah kelompok masyarakat pemohon PTSL, maka berpotensi
memunculkan permasalahan yang berkaitan dengan kesenjangan
kemampuan para pemohon PTSL dalam membiayai persiapan PTSL
yang diajukannya. Selain itu, penetapan biaya sesuai kesepakatan
tersebut juga rawan terjadi penyelewengan. Hal ini seperti yang terjadi

4
di Desa Gunung Sari, Kecamatan Nglames Kabupaten Madiun. Warga
dibebani biaya Rp 400 ribu. Besarnya biaya tersebut menurut
Sekretaris Pokmas Desa Gunung Sari meliputi biaya untuk membeli 4
patok dengan harga per patok Rp 15 ribu, materai 7, diberikan ke 
kasun Rp 50 ribu setiap hari, serta uang makan anggota BPN  (Badan
Pertanahan Nasional) 6 orang Rp 25 ribu per orang per hari.
Penambahan biaya dari Rp 150 ribu hingga mencapai Rp 400 ribu juga
dikarenakan pelaksanaan di lapangan membutuhkan biaya operasional.
Misalnya pengadaan kertas HVS dan ATK (alat tulis kantor) lainnya.
Pembengkakan biaya persiapan PTSL yang sebelumnya telah
ditetapkan sebesar Rp 150.000,00 tersebut besarnya tidak sama. Ada
juga desa-desa lain yang jumlahnya berbeda dengan yang ada di Desa
Gunung Sari.

B. POKOK MASALAH
Adanya permasalahan yang berkaitan dengan pembengkakan
biaya persiapan PTSL yang besarnya sesuai dengan kesepakatan
musyawarah kelompok masyarakat pemohon PTSL tersebut perlu
disikapi apakah penetapan besar biaya persiapan PTSL tersebut sudah
memenuhi prinsip keadilan di dalam hukum atau belum. Hal ini
mengingat bahwa kemampuan ekonomi masing-masing pemohon
PTSL berbeda-beda. Sebenarnya, hal ini tidak akan terjadi apabila
biaya persiapan PTSL tetap menggunakan ketentuan pada Pasal 8
ayat (1) Peraturan Bupati No. 2A Tahun 2019, yaitu sebesar
Rp.150.000,00 setiap pemohon. Jika hal ini dipenuhi, maka tidak akan
terjadi kecemburuan sosial diantara para pemohon PTSL akibat
besarnya penetapan biaya persiapan PTSL yang bervariasi dan
dikhawatirkan kurang memperhatikan kemampuan masing-masing
pemohon. Berkaitan dengan adanya pokok permasalahan seperti
disebutkan di atas, maka penulis akan mengkaji masalah penetapan
biaya persiapan PTSL seperti yang telah disampaikan dalam Peraturan

5
Bupati Madiun Nomor 2a Tahun 2019, khususnya dalam Pasal 8 dan 9
ditinjau dari Teori Keadilan dalam perspektif Teori Hukum.

C. LANDASAN PEMIKIRAN YANG DIGUNAKAN


1. PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap)
Pengertian Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)
menurut Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah
Secara Lengkap adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali yang dilakukan secara serentak bagi semua obyek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau
nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan
data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek
Pendaftaran Tanah untuk keperluan pendaftarannya. Program PTSL
merupakan program pendaftaran tanah untuk pertama kali secara
sistematis yang baru dilaksanakan setelah sebelumnya terdapat
program pendaftaran tanah secara sistematis yang dikenal dengan
Program Nasional Agraria (PRONA). Adanya program PTSL ini
diharapkan dapat meningkatkan penerbitan sertifikat untuk setiap
tahunnya.
Mengacu pada Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri
Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3 (tiga) Menteri No.
25/SKB/V/2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap, besaran biaya untuk persiapan pelaksanaan
PTSL terbagi atas beberapa kategori.
a. Kategori I (Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku,
Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur)
sebesar sebesar Rp. 450.000,00.
b. Kategori II (Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung,
Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi

6
Sulawesi Tenggara, Provinsi Nusa Tenggara Barat) sebesar
Rp. 350.000,00.
c. Kategori III (Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi
Sulawesi Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi
Kalimantan Barat, Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Aceh,
Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Kalimantan Timur) sebesar
Rp. 250.000,00.
d. Kategori IV (Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera
Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Bengkulu, Provinsi
Kalimantan Selatan) sebesar Rp. 200.000,00.
e. Kategori V (Jawa dan Bali) sebesar Rp 150.000.
Rinciannya untuk pembiayaan penggandaan dokumen, pengang-
kutan dan pemasangan patok, transportasi petugas kelurahan/desa
dari kantor kelurahan/desa ke kantor pertanahan dalam perbaikan
dokumen yang diperlukan.
Menurut Pasal 3 ayat (4) Peraturan Menteri Agraria dan Tata
Ruang/Kepala BPN Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017
tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (dalam
Martati dan Karjoko, 2017:37) tahapan pelaksanaan PTSL meliputi:
a. Perencanaan dan persiapan;
b. Penetapan lokasi kegiatan PTSL;
c. Pembentukan dan penetapan Panitia Ajudikasi PTSL;
d. Penyuluhan;
e. Pengumpulan Data Fisik dan Data Yuridis bidang tanah;
f. Pemeriksaan tanah;
g. Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis bidang tanah serta
pembuktian hak;
h. Penerbitan keputusan pemberian atau pengakuan Hak atas
Tanah;
i. Pembukuan dan penerbitan Sertifikat Hak atas Tanah; dan
j. Penyerahan Sertifikat Hak atas Tanah.

7
2. Teori Hukum
Teori hukum adalah teori bidang hukum yakni berfungsi
memberikan argumentasi yang meyakinkan bahwa hal-hal yang
dijelaskan itu adalah ilmiah, atau hal-hal yang dijelaskan itu
memenuhi standar teoritis (Praja, 2014:53). Menurut Kelsen
(2011:38), teori Hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum
yang berlaku bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum
yang dimaksud adalah teori hukum murni, yang disebut teori hukum
positif. Sedangkan menurut Friedman (1990:1), teori hukum adalah
ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum yang berkaitan
antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain. Disiplin
teori ilmu hukum tidak mendapat tempat sebagai ilmu yang mandiri,
untuk itu teori hukum harus disandingan dengan ilmu hukum yang
lainnya.
Teori hukum berbeda dengan hukum posistif. Hal ini perlu
dipahami supaya terhindar dari kesalah pahaman, karena seolah-
olah tidak dapat dibedakan antara teori hukum dan hukum positif,
padahal keduanya dapat dikaji menurut pandangan filosofis. Tugas
teori hukum adalah menjelaskan nilai-nilai, postulat-postulat hukum
hingga pada landasan filosofisnya yang tertinggal. Dengan demikian,
perbedaannya dengan filsafat hukum sangat tipis karena toeri hukum
juga mempersoalkan hal berikut: a) mengapa hukum berlaku? b) apa
dasar kekuatan pengikatnya?, c) apa yang menjadi tujuan hukum?,
d) bagaimana seharusnya hukum dipahami?, e) apa hubungannya
dengan individu dan masyarakat? f) apa yang seharusnya dilakukan
oleh hukum? g) apakah keadilan itu dan bagaimana hukum yang
adil?
Dalam teori hukum memberikan pembagian secara tegas agar
dapat dipahami secara utuh dan komprehensip. Teori hukum tidak
dapat dilepaskan dari lingkungan zaman yang senantiasa
berkembang, karena teori hukum biasanya hadir sebagai suatu

8
jawaban atas permasalahan hukum. Oleh karena, itu meskipun
hukum miliki pandangan yang umum (universal), tetapi dalam
perkembangannya teori hukum sangat bijaksana. Terdapat dua
karakteristik teori hukum yang saling bertentangan antara satu
dengan yang lain, atau bertolak belakang yakni:
a. Pandangan yang menyatakan bahwa hukum merupakan suatu
sistem yang dapat diprediksi dengan pengetahuan yang akurat
tentang bagaimana kondisi hukum saat ini. Teori hukum mampu
memberikan penjelasan mengenai persoalan hukum sebagaimana
yang ada tanpa melibatkan orang atau pengamat, hal ini
memberikan kita gambaran yang jelas bahwa hukum itu bersifat,
deterministik, reduksi, dan realistik. Teori ini selanjutnya dikenal
dengan teori sistem.
b. Hukum bukanlah suatu sistem yang teratur untuk itu tidak dapat
diprediksi, melainkan suatu yang berkaitan dalam sebuah
ketidakteraturan, dan tidak dapat pula diprediksi bahwa hukum
sangatlah dipengaruhi oleh pandangan pengamat. Pandangan ini
sebenarnya banyak dipengaruhi oleh para sosiolog, terutama
pada masa post modrenisme.
Mengacu pada beberapa uraian di atas, penulis sependapat
dengan pembagian teori hukum yang pertama, karena pada
hakekatnya hukum memang dapat diprediksi dengan teori sistem
hukum. Teori sistem hukum sendiri menurut bahasa adalah satu
kesatuan hukum yang tersusun dari tiga unsur yakni: a. Struktur
adalah semua lembaga atau institusi penegak hukum, beserta
semua aparat yang meliputi, kepolisian dengan para polisinya,
kejaksaan dengan para jaksanya, dan semua profesi dengan
orangnya. b. Subtansi adalah seluruh asas hukum, norma hukum,
dan aturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis,
termasuk yurisprudensi. c. Kultur hukum adalah kebiasaan, opini,

9
dari para penegak hukum, dari warga masyarakat yang hidup dan
tumbuh menjadi suatu kebiasaan (Friedman dalam Ali, 2002:26).
3. Teori Tujuan Hukum
Dalam perkembangan hukum terdapat beberapa teori tentang
tujuan hukum. Dari banyaknya teori yang ada, namun yang paling
sering disebutkan hanyalah teori keadilan (Etis), teori kemanfatan
(Utilitas) dan teori kepastian hukum, sedangkan teori lainnya
merupakan kombinasi dari ketiga teori tersebut (teori campuran).
a. Teori Keadilan Hukum
Istilah keadilan berasal dari kata “adil” yang berarti: tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar,
sepatutnya, tidak sewenang-wenang. ”Adil dapat diterima secara
objektif” (Algra, dkk., 1983:7). Keadilan adalah kondisi kebenaran
ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda
atau orang. “Keadilan disini adalah ius suum cuique tribuere yang
artinya memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
bagian atau haknya” (Basah, 1986:8). Teori-teori Hukum Alam
sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan
keadilan sebagai mahkota hukum. “Teori hukum alam
mengutamakan the search for justice” (Huijbers, 1995:196).
Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan dan
masyarakat yang adil Berbagai macam teori mengenai keadilan
dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan
kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran.
Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan Aristoteles
dalam bukunya nicomachean ethics, teori keadilan sosial John
Rawl dalam bukunya A Theory of Justice dan teori hukum dan
keadilan Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and
State serta teori keadilan dan hukum Plato dalam bukunya The
Laws.

10
1) Teori Keadilan Aristoteles
Aristoteles adalah seorang filosof pertama kali yang
merumuskan arti keadilan. Ia mengatakan bahwa “Keadilan
adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi
haknya, fiat jutitia bereat mundus” (Rato, 2011:64). Pandangan
Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya
Nichomachean Ethics, Politics, dan Rethoric. “Spesifik dilihat
dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat hukum
Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya
karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan
keadilan” (Friedrich, 2004: 24).
Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat
bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan.
“Selanjutnya Aristoteles mengajarkan dua macam keadilan
yaitu keadilan distributif (distributief) dan keadilan komutatif
(commutatief)” (Machmudin, 2013:24). Dari pembagian macam
keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak kontroversi dan
perdebatan.
“Keadilan distributif (keadilan yang bersifat menyalurkan)
yaitu adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang
menurut jasa (according to merit)” (Rumokoy, 2014:30).
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi,
honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama
bisa didapatkan dalam masyarakat. “Dengan mengesam-
pingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada
di benak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang
berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang
sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi
masyarakat” (Friedrich, 2004:25).

11
“Keadilan komutatif (commutatief) yaitu memberikan sama
banyaknya kepada setiap orang tanpa membeda-bedakan
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar
menukar barang dan jasa” (Apeldoorn, 1996:11-12). “Keadilan
ini berlaku untuk hubungan antar individu, dimana hubungan itu
ada yang bersifat sukarela (voluntary), seperti dalam jual beli
dan sewa menyewa, dan ada yang bersifat tidak sukarela
(involuntary) seperti pencurian dan pembunuhan. Keadilan
komutatif terutama menguasai hubungan antarindividu”
(Rumokoy, 2014:32).
“Dalam membangun argumennya, Aristoteles
menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang
mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan
pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang
berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum
tertentu” (Friedrich, 2004:25). “Pembedaan ini jangan dicampur-
adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang
ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat” (Friedrich,
2004:25). “Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua
penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan
yang hanya mengacu pada komunitas tertentu sedangkan
keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk
perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia” (Friedrich, 2004:25).
2) Teori Keadilan John Rawls
“Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf
Amerika di akhir abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of
justice, Politcal Liberalism, dan The Law of Peoples, yang
memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap
diskursus nilai-nilai keadilan” (Faiz, 2009:135). Menurut John
Rawls bahwa:

12
“Konsep keadilan ialah suatu upaya untuk mentesiskan
paham liberalisme dan sosialisme”. Sehingga secara
konseptual keadilan sebagai fairness, yang mengandung
asas-asas, bahwa orang-orang yang merdeka dan
rasional yang berkehendak untuk mengembangkan
kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh
suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya
dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka
untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki”
(Manullang, 2007:20).

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-


egalitarian of social justice”, berpendapat bahwa “keadilan
adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial
(social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh
masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa
keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan”
(Faiz, 2009:139).
“Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan
mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan
sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan “posisi
asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of
ignorance)” (Faiz, 2009:140).
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang
sama dan sederajat antara tiap-tiap individu di dalam
masyarakat. Tidak ada pembedaan status, kedudukan atau
memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan
kesepakatan yang seimbang, itulah pandangan Rawls sebagai
suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada pengertian ekulibrium
reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),
kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna
mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).

13
Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan
oleh John Rawls bahwa:
Setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta
dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap
posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan
adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang
tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls
menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip
persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai
“Justice as fairness” (Faiz, 2009:140).

Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi


asasli” terdapat prinsip-prinsip keadilan yang utama,
diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap orang sama atas
kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan
ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri
masing-masing individu. Prinsip pertama yang dinyatakan
sebagai prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle),
seperti kebebasan beragama (freedom of religion),
kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan
berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech
and expression), sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai
prinsip perbedaan (difference principle), yang menghipotesakan
pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity
principle). Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya
terhadap keadilan bahwa:
Program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan
haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu,
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang
sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat
memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (Rawls,
2006:113).

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya


struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga

14
kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan,
pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial
harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan
koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang
dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi
sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,
setiap aturan harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk
mengembangkan kebijakankebijakan untuk mengoreksi
ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
3) Teori Keadilan Hans Kelsen
“Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and
State, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial
yang dapat dinyatakan adil apabila dapat mengatur perbuatan
manusia dengan cara yang memuaskan sehingga dapat
menemukan kebahagian di dalamnya” (Kelsen, 2011:7).
Menurut Hans Kelsen:
Nilai keadilan bersifat subjektif, sedangkan eksistensi dari
nilai-nilai hukum dikondisikan oleh fakta-fakta yang dapat
diuji secara objektif. Keadilan dalam arti legalitas adalah
suatu kualitas yang tidak berhubungan dengan isi tata
aturan positif, tetapi dengan penerapannya. Keadilan
adalah penerapan hukum yang sesuai dengan yang
ditetapkan oleh suatu tata hukum. Dengan demikian
keadilan berarti mempertahankan tata hukum secara
sadar dalam penerapannya. Inilah keadilan berdasarkan
hukum (Atmadja, 2013:80).

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat


positifisme, nilai-nilai keadilan individu dapat diketahui dengan
aturan-aturan hukum yang mengakomodir nilai-nilai umum,
namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan kebahagian
diperuntukan tiap individu.
Sebagai aliran positivisme Hans Kelsen mengakui juga
bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari

15
hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran
manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut diesensikan
sebagai doktrin yang disebut hukum alam. “Doktrin hukum alam
beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-
hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang lebih
tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari
alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan” (Kelsen,
2011:7). Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan
menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.
Dua konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yaitu sebagai berikut:
Pertama tentang keadilan dan perdamaian. Keadilan yang
bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan
melalui pengetahuan yang dapat berwujud suatu
kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya
menimbulkan suatu konflik kepentingan. “Penyelesaian
atas konflik kepentingan tersebut dapat dicapai melalui
suatu tatatanan yang memuaskan salah satu kepentingan
dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau
dengan berusaha mencapai suatu kompromi menuju
suatu perdamaian bagi semua kepentingan. Kedua,
konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas
dasar suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu,
menurut Hans Kelsen pengertian “Keadilan” bermaknakan
legalitas. Suatu peraturan umum adalah “adil” jika ia bena-
benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum
adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa (Kelsen,
2011:16).

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan


dalam hukum nasional bangsa Indonesia, yaitu dalam Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan menerangkan
yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat
dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan
peraturan hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya

16
dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat terhadap materi-
materi yang dimuat (materi muatan) dalam peraturan hukum
tersebut.
4) Teori Keadilan Plato
Menurut pandangan Plato, keadilan ialah di luar
kemampuan manusia biasa yang mana keadilan tersebut
hanya ada di dalam suatu hukum dan juga perundang-
undangan yang dibuat oleh para ahli. Dalam bukunya The
Laws, Plato tidak hanya membentangkan pikirannya tentang
hukum secara khusus, tetapi juga tentang keadilan, sedangkan
hukum secara khusus ditemukan dalam bukunya yang lain, The
Republic. Keadilan dan hukum memiliki ikatan yang sangat
kuat. Keadilan diperoleh melalui penegakan hukum (Praja,
2014:56).
Hukum menurut Plato adalah hukum positif yang dibuat
oleh si pembuat undang-undang yang maha tahu yaitu negara.
Baginya negara adalah satu-satunya sumber hukum. Dengan
mengatakan bahwa keadilan hanya ada di dalam hukum yang
dibuat oleh negara, maka ia diklasifikasinya sebagai penganut
monisme hukum dan memang dari Plato lah monisme hukum
itu lahir. Monisme berasal dari kata ‘mono’ yang berarti tunggal
atau satu-satunya. Dengan demikian, filsafat hukum Plato
mengingatkan kita pada filsafat negara totaliter modern yang
menempatkan segala aspek kehidupan perorangan di bawah
pengawasan hukum dan administrasi negara.
“Menurut Plato, hukum adalah suatu aliran emas,
penjelmaan dari ‘the right reasoning’ (cara berpikir benar)”
(Rato, 2011:58-59). “Akan tetapi isi dan sumber pikiran-pikiran
itu oleh Plato tidak diberi penjelasan. Dalam kaitannya dengan
itu, Plato membuat criteria keadilan adalah ‘kebaikan’ dalam arti
harmoni dan pertimbangan dari dalam, yang tidak dapat

17
diketahui atau diterangkan dengan argumentasi ‘rasional’”
(Rato, 2011:58-59). “Plato memandang keadilan sebagai
hubungan harmonis dengan berbagai organisme sosial. Setiap
warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi
dan sifat alamiahnya” (Juni, 2012:398).
b. Teori Kepastian Hukum
Menurut Utrecht,
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh negara terhadap individ (Syahrani, 1999:23).

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-


Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di
dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu
yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini,
hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini,
tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya
kepastian hukum. “Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum
dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan
keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk
kepastian” (Ali, 2002: 82-83).
“Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A.
Hart mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang”
(Hart, 2010:230). Beliau berpendapat bahwa kadang-kadang kata-
kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang diperintahkan
undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa jadi jelas
sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan

18
penerapannya. “Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan
melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah salah
satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum” (Hart,
2010:230).
Menurut Tan Kamello:
Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty)
meliputi dua hal pertama, kepastian hukum dalam
perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak
bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari
pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun
kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar
undang-undang tersebut. Kedua, kepastian hukum juga
berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-
prinsip hukum undang-undang tersebut (Kamelo, 2004:117).

Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki


kepastian hukum tetapi hanya berlaku secara yuridis saja dalam
arti hanya demi undang-undang semata-mata, menurut Kamelo
(2004:117) “Kepastian hukum seperti ini tidak akan dan tidak
pernah menyentuh kepada masyarakatnya. Pendapat ini mungkin
peraturan hukum yang demikian disebut dengan norma hukum
yang mati (doodregel) atau hanya sebagai penghias yuridis dalam
kehidupan manusia”.
Faisal (2012:162) dalam pandangan lain melihat dari segi
putusan-putusan para hakim pengadilan, dalam sarannya
mengatakan “hakim harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu,
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat ini
muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan
terjadi pertentangan antara nilai yang satu dan nilai yang lainnya.
“Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan kepastian
hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang
harus didahulukan” (Faisal, 2012:162). Masalah kepastian hukum
masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara

19
tertentu, terutama di kalangan para hakim yang mempertimbang-
kan dalam putusannya secara berbeda-beda.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam
sistem Eropa Kontinental (civil law) positif hukum merupakan
prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun
setidaknya menimbulkan kepastian hukum dalam arti law in the
books. Apakah kepastian hukum dalam arti law in the books
tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif, maka dalam
hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri.
Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian
hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak
menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum
yang berlaku, tetap saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.
Misalnya dalam hal memutus suatu perkara perdata, hakim
harus memperhatikan asas-asas, norma-norma, dan ketentuan-
ketentuan hukum perdata maupun asas-asas hukum dalam
hukum acara perdata sehingga tidak mengeluarkan putusan yang
tidak menjamin keadilan dan kepastian hukum. Kadang-kadang
dalam suatu perkara tertentu hakim menjatuhkan putusan yang
berbeda dasar pertimbangannya dengan perkara yang lain
padahal kualifikasi perkara hampir menyerupai.
Disparitas pendapat (disenting opinion) salah satu
contohnya, misalnya pertimbangan antara majelis hakim
pengadilan negeri tidak sama dengan pertimbangan majelis hakim
pada pengadilan tinggi, maupun Mahkamah Agung. Bahkan
dalam satu forum majelis hakim sekalipun perbedaan pendapat itu
pasti terjadi dalam menafsirkan hukum dan peristiwa hukum.
Ketika perbedaan pendapat ini terjadi, maka perbedaan ini juga
termasuk sebagai suatu ketidakpastian hukum dalam
persidangan.

20
Antara kepastian substansi hukum dan kepastian penegakan
hukum seharusnya harus sejalan, tidak boleh hanya kepastian
hukum bergantung pada law in the books tetapi kepastian hukum
yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in the books
tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan
prinsip-prinsip dan norma-norma hukum dalam menegakkan
keadilan hukum.
Cicut Sutiarso (2011:106) menyarankan “kepastian hukum
yang berdasarkan keadilan menurutnya harus selalu ditanamkan
untuk menciptakan budaya hukum yang tepat waktu.” Mungkin
dari pendapat ini kepastian hukum akan lebih ampuh bila para
penegak hukum membiasakan diri untuk membudidayakan
penegakan hukum (rule of law) secara pasti, tidak pandang bulu,
sesuai dengan prinisp equality before the law terhadap semua
orang. Inilah gambaran suatu kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan
hukum, di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan,
karena kepastian hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum
tidak berpihak kepada orang yang butuh perlindungan hukum.
Munculnya hukum moral (morality law) sebagai bukti bahwa
kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru bilamana
harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim
pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya
bersandar pada apa yang dituliskan di dalam undang-undang
belaka, tanpa mampu menggali nilai-nilai keadilan di dalam
undang-undang. Hakim dalam melihat undang-undang bukanlah
seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat ke depan
tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum
berdasarkan hati nurani.

21
c. Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme)
Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi
Bentham (1748-1831). Jeremy Bentham sebagai penemunya
menunjuk banyak dari karyanya pada kecaman-kecaman yang
hebat atas seluruh konsepsi hukum alam. Bentham tidak puas
dengan kekaburan dan ketidaktetapan teori-teori tentang hukum
alam, dimana Utilitarianisme mengetengahkan salah satu dari
gerakan-gerakan periodik dari yang abstrak hingga yang konkret,
dari yang idealitis hingga yang materialistis, dari yang apriori
hingga yang berdasarkan pengalaman.
“Gerakan aliran ini merupakan ungkapan-ungkapan/tuntutan-
tuntutan dengan ciri khas dari abad kesembilan belas” (Friedman,
1990:111). “Menurut aliran ini, tujuan hukum adalah memberikan
kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak-banyaknya kepada
warga masyarakat yang didasari oleh falsafah sosial yang
mengungkapkan bahwa setiap warga negara mendambakan
kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alatnya”
(Darmodihardjo dalam Rhiti, 2011:159).
Aliran Utilitarianisme adalah aliran yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Adapun ukuran
kemanfaatan hukum yaitu kebahagian yang sebesar-besarnya
bagi orang-orang. “Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum
tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian
kepada manusia atau tidak” (Rasyidi dalam Ali, 2010:59).
“Utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan
utama dari hukum, kemanfaatan di sini diartikan sebagai
kebahagiaan (happines), yang tidak mempermasalahkan baik atau
tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung kepada
pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan
kebahagian kepada manusia atau tidak” (Erwin, 2011:179).
Penganut aliran Utilitarianisme mempunyai prinsip bahwa manusia

22
akan melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan
kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaan.
d. Teori Campuran
Atas kelemahan ketiga teori di atas, muncullah teori
gabungan yaitu teori yang mengkombinasikan teori tujuan hukum
yang terdahulu. Teori gabungan ini dianut oleh beberapa pakar
hukum diantaranya yaitu L.J. van Apeldoorn, van Kan dan
Bellefroid.
“Prof. Van Kan di dalam buku Inleiding Tot de
Rechtwetenschap menguraikan tentang tujuan hukum yang
kesimpulannya bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat” (Mertokusumo,
1991:27). Selain itu dapat pula disebutkan bahwa hukum menjaga
dan mencegah agar setiap orang tidak menjadi hakim atas dirinya
sendiri (eigenrichting is vorbiden), tidak mengadili dan
menjatuhkan hukuman terhadap setiap pelanggaran hukum
terhadap dirinya, namun tiap perkara, harus diselesaikan melalui
proses pengadilan dengan perantaraan hakim berdasarkan
ketentuan hukum yang berlaku. Sedangkan Mr. J.H.P. Bellefroid
menggabungkan dua pandangan ekstrem antara teori etis dan
teori utilitis. Ia menyatakan dalam bukunya “Inleiding tot de
Rechtswetenshap in Nederland bahwa isi hukum harus ditentukan
menurut dua asas adalah asas keadilan dan faedah. Pendapat
L.J. van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de Studie van het
Nederlandsche Recht menegaskan bahwa tujuan hukum adalah
pengaturan kehidupan masyarkat secara adil dan damai dengan
mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan
yang dilindungi sehingga tiap-tiap orang mendapat apa yang
menjadi haknya masing-masing sebagaimana mestinya.
Perdamaian di antara masyarakat dipertahankan oleh hukum

23
dengan melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia
tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa dan harta benda dari
pihak yang merugikan. Kepentingan perseorangan seringkali
bertentangan dengan kepentingan golongan manusia.
Pertentangan tersebut dapat menjadi pertikaian seandainya
hukum tidak berperan sebagai perantara untuk mempertahankan
kedamaian.
Dalam sebuah literatur mengatakan, pada dasarnya tujuan
hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif
maupun secara pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya
untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang
manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar.
Sedangkan yang dimaksud secara pasif, adalah mengupayakan
pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan hak. “Usaha mewujudkan pengayoman tersebut
termasuk didalamnya adalah: 1) Mewujudkan ketertiban dan
keteraturan. ; 2) Mewujudkan kedamaian sejati; 3) Mewujudkan
keadilan; 4) Mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial”
(Machmudin, 2013:28).
Dari uraian tersebut, kedamaian sejati dapat terwujud
apabila warga masyarakat telah merasakan suatu ketentraman
lahir maupun batin. Dan ketentraman dianggap sudah ada apabila
masyarakat merasa bahwa kelangsungan hidup dan pelaksanaan
hak tidak bergantung pada kekuatan fisik dan non fisik saja.
Selama tidak melanggar hak dan merugikan orang lain,
masyarakat akan secara bebas melakukan apa yang dianggapnya
benar, mengembangkan minat dan bakatnya dan merasa selalu
memperoleh perlakuan yang wajar, begitu pula ketika melakukan
kesalahan.
Demikian pula dengan Gustav Radbruch (1878-1949)
seorang filsuf Jerman yang sangat berpengaruh di dunia hukum

24
“mengajarkan tiga ide dasar hukum yang diidentikkan dengan
tujuan hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian” (Ali,
2009:288). Dalam ajarannya, kita harus menggunakan asas
prioritas, dengan prioritas pertama adalah keadilan, kedua adalah
kemanfaatan baru kemudian kepastian sehingga kemanfaatan
dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan,
demikian pula dengan kepastian hukum tidak boleh bertentangan
dengan kemanfaatan. Ajaran ini dikenal dengan ajaran prioritas
baku.
Tujuan hukum menurut hukum positif di Indonesia tercantum
dalam alenia ke-4 pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang
berbunyi: Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan
Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah
Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Jadi, tujuan hukum positif Indonesia adalah untuk
membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

25
D. ANALISIS PERMASALAHAN
Pembengkakan biaya persiapan PTSL yang besarnya sesuai
dengan kesepakatan musyawarah kelompok masyarakat pemohon
PTSL di Kabupaten Madiun perlu disikapi apakah penetapan besar
biaya persiapan PTSL tersebut sudah memenuhi prinsip keadilan di
dalam hukum atau belum. Hal ini dapat dikaji menurut Teori Hukum,
salah satunya menurut tujuan teori hukum yang berkaitan dengan Teori
Keadilan.
Adapun pertimbangan yang digunakan peneliti adalah bahwa
kemampuan ekonomi masing-masing pemohon PTSL berbeda-beda.
Sebenarnya, hal ini tidak akan terjadi apabila biaya persiapan PTSL
tetap menggunakan ketentuan pada Pasal 8 ayat (1) Peraturan Bupati
No. 2A Tahun 2019, yaitu sebesar Rp.150.000,00 setiap pemohon. Jika
hal ini dipenuhi, maka tidak akan terjadi kecemburuan sosial diantara
para pemohon PTSL akibat besarnya penetapan biaya persiapan PTSL
yang bervariasi dan dikhawatirkan kurang memperhatikan kemampuan
masing-masing pemohon. Berkaitan dengan hal di atas, maka
penetapan biaya persiapan PTSL seperti yang telah disampaikan
dalam Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri,
Menteri Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang
dikenal dengan SKB 3 (tiga) Menteri No. 25/SKB/V/2017 tentang
Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan
Peraturan Bupati Madiun Nomor 2A Tahun 2019, khususnya dalam
Pasal 8 dan 9 perlu ditinjau dari Teori Keadilan dalam perspektif Teori
Hukum.

E. DISKUSI HASIL ANALISA/PEMBAHASAN


Pendaftaran tanah sangat diperlukan tidak hanya untuk menjamin
kepastian hukum sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan, melainkan jauh lebih luas yakni mencapai aspek keadilan
melalui jaminan rakyat akan memperoleh sertifikat tanah dengan

26
layanan yang murah dan cepat. Di samping itu, pendaftaran dilakukan
secara terus-menerus dan bekesinambungan hal ini penting untuk
mendata sejarah tanah tersebut.
Idealnya, pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik
melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) adalah
dilakukan dengan tanpa dipungut biaya. Pemerintah menanggung biaya
pelaksanaan pendaftaran tanah melalui Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).
Saat ini, pelaksanaan pendaftaran tanah secara gratis dilakukan
oleh pemerintah dengan memberikan pelayanan pendaftaran secara
gratis. Hal ini seperti yang disampaikan Kementerian Agraria Tata
Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bahwa program
Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) merupakan program
pembuatan sertifikat tanah tanpa dipungut biaya. Tujuan utamanya
adalah memproses pensertifikatan tanah secara masal sebagai
perwujudan dari pada program catur tertib di bidang pertanahan yang
pelaksanaannya dilakukan secara terpadu dan ditujukan bagi segenap
lapisan masyarakat terutama bagi golongan ekonomi lemah, serta
menyelesaikan secara tuntas terhadap sengketa-sengketa tanah yang
bersifat strategis.
Namun dalam pelaksanaannya, program bersifat mempercepat
pelaksanaan pendaftaran tanah dengan cara pendaftaran tanah secara
sistematik. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali
yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek pendaftaran
tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan. Pendaftaran secara sistematik diselenggarakan atas
prakarsa pemerintah berdasarkan suatu rencana kerja yang panjang
dan tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah tertentu yang
ditetapkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional. Hal ini yang
menjadi kelemahan dalam pelaksanaan pelayanan pendaftaran tanah

27
secara sistematik, sehingga perlu adanya konsep jasa pelayanan
pendaftaran tanah yang berkeadilan sosial.
Selain itu proyek tersebut merupakan proyek yang diusulkan oleh
pemerintah dengan tujuan memberikan pelayanan pendaftaran tanah
pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah,
tetapi kendalanya adalah tidak dilaksanakan secara terus-menerus.
Sedangkan kebutuhan akan sertifikat hak atas tanah selalu ada setiap
harinya dan sangat tidak efektif jika harus menunggu waktu tertentu.
Hal ini merupakan bentuk penyimpangan dari amanat peraturan
perundang-undangan Pasal 19 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria,
dan menyimpang pula dari Pasal 46 ayat (4), Peraturan Menteri Negara
Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa:
“Pendaftaran tanah secara sistematik dibiayai dengan anggaran
Pemerintah Pusat atau Daerah, atau secara swadaya oleh masyarakat
dengan persetujuan Menteri”.
Melihat dari fakta tersebut diatas bahwa pelayanan pelaksanaan
pendaftaran tanah sebenarnya telah menjadi fokus pemerintah sejak
dahulu, namun hingga saat ini pelaksanaannya masih jauh dari
harapan dan dibutuhkan kebijakan yang tegas untuk menertibkan
pelaksanaan jasa pelayanan pendaftaran tanah yang berkeadilan
Indonesia yang akan datang harus mengkaji ulang ketetapan dan
langkah-langkah pembangunan nasional sebelumnya. Artinya,
peraturan yang akan dibuat dimasa mendatang dapat mengakomodir
kepentingan masyarakat yang mungkin belum terakomodasikan pada
peraturan sebelumnya. Khususnya dalam hal ini adalah pelaksanaan
pendaftaran tanah yang merupakan kebijakan Badan Pertanahan
Nasional harus menjadi prioritas agar pelaksanaan pendaftaran tanah
sesuai dengan citacita dan amanat Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar Negara Indonesia Tahun 1945.

28
Penulis melihat masih terdapat alternatif lain yang dapat dilakukan
oleh pemerintah terkait pelaksanaan pendaftaran tanah berkeadilan
sosial, yaitu dengan mengoptimalkan peran serta pihakpihak yang
terlibat dalam pelaksanaan pendaftaran tanah salah satunya adalah
PPAT. Hal ini dapat diusulkan melalui penelitian ini, karena secara
yuridis PPAT memiliki tanggung jawab sebagai pejabat khusus yang
diberikan wewenang untuk membantu Kepala Kantor Pertanahan
dalam pelaksanaan pendaftaran tanah. Selain itu memiliki kewajiban
untuk memberikan pelayanan dari jasanya tanpa memungut biaya bagi
masyarakat yang kurang mampu, sebagaimana tercantum dalam Pasal
32 ayat (2) Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berbunyi: “PPAT dan PPAT
Sementara wajib memberikan jasa tanpa memungut biaya kepada
seseorang yang tidak mampu”.
Permasalahan yang muncul adalah dalam Pasal 32 ayat (1)
Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah dinyatakan bahwa honorarium yang
dapat diperoleh seorang PPAT adalah 1% dari harga yang tercantum
dalam akta yang dibuat oleh PPAT (Das Sollen). Hal ini memberikan
penjelasan bahwa pada satu sisi seorang PPAT berhak untuk
memperoleh biaya atas jasa pelayanan yang diberikannya kepada
masyarakat dalam hal pembuatan akta-akta terkait pendaftaran hak
atas tanah. Di sisi lain bagi masyarakat kurang mampu, biaya
pengurusan sertifikat yang ada saat ini termasuk biaya untuk
administrasi di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) cukup mahal
dan sulit terjangkau.
Sebenarnya, sulit untuk memberikan definisi khusus terhadap
makna kata “kurang mampu”, dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia terdapat suatu penegasan terhadap tanggungjawab

29
negara dalam melindungi hak dari fakir miskin dan anak-anak terlantar
dalam Pasal 34 ayat (1). Salah satu acuan yang dapat dilakukan untuk
memberikan batasan terhadap “masyarakat kurang mampu” adalah
dengan mengklasifikasikannya yang didasarkan pada suatu standar
tertentu yaitu dengan membandingkan tingkat pendapatan orang atau
keluarga dengan tingkat pendapatan yang diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan pokok minimum. Pada penerapannya hal ini secara
langsung berdampak pada terhambatnya pelaksanaan pendaftaran Hak
Atas Tanah di Indonesia (Das Sein) yang menjadi tujuan dalam
pendaftaran tanah untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga
pemilik tanah.
Program pendaftaran tanah secara gratis melalui program PTSL
yang sudah dilaksanakan pemerintah sampai saat ini masih memiliki
kelemahan dalam pelaksanaannya. Penetapan biaya pelaksanaan
PTSL sebenarnya gratis, karena dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Namun, untuk pembiayaan persiapan
PTSL dibebankan pada masyarakat pemohon PTSL. Berkaitan dengan
adanya penetapan biaya persiapan PTSL yang besarnya ditetapkan
berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah kelompok masyarakat
pemohon PTSL, maka berpotensi memunculkan permasalahan yang
berkaitan dengan kesenjangan kemampuan para pemohon PTSL
dalam membiayai persiapan PTSL yang diajukannya.
Mengingat adanya kepentingan yang sama atas sertifikat sebagai
bukti sah kepemilikan tanah, baik pada masyarakat “mampu” maupun
“kurang mampu”, maka sudah saatnya penetapan biaya persiapan
PTSL untuk dikaji ulang. Untuk itu sangat diperlukan kebijakan baru
yang dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia dengan
mengoptimalkan peran PPAT dalam memberikan jasa secara
berkeadilan bagi masyarakat yang tidak mampu. Kebijakan tersebut
diharapkan akan memberikan kemudahan bagi masyarakat dalam
pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia demi terwujudnya

30
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pemerintah, termasuk
Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Desa sebagai panitia
persiapan PTSL perlu mengkaji ulang kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi apabila ada tambahan biaya persiapan PTSL di luar ketentuan.
Hal ini dapat menimbulkan hambatan bagi pengurusan bukti
kepemilikan atas tanah (pembuatan sertifikat tanah) bagi masyarakat
kurang mampu maupun rawan terjadinya penyelewengan. Untuk itu,
berkaitan dengan Teori Keadilan seperti yang disampaikan dalam Teori
Hukum, maka alangkah baiknya pemerintah menghapus semua biaya
pembuatan sertifikat tanah melalui program PTSL atau bila diperlukan,
menetapkan besar biaya persiapan PTSL dengan besaran yang sama.

F. PENUTUP
Pendaftaran tanah yang berkeadilan sosial melalui program PTSL
sangat ditentukan oleh keberadaan para pihak terkait, diantaranya
adalah Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan musyawarah
kelompok masyarakat pemohon PTSL. Berkaitan dengan penetapan
besaran biaya pengurusan dan persiapan PTSL, maka diperlukan
ketegasan pada pihak-pihak di atas. Jika memang menggunakan
ketentuan seperti yang disampaikan dalam Keputusan Bersama
Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa, Pembagunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi yang dikenal dengan SKB 3 (tiga)
Menteri No. 25/SKB/V/2017 tentang Pembiayaan Persiapan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Peraturan Bupati Madiun
Nomor 2A Tahun 2019, maka besaran biaya diperlukan harus
diseragamkan. Dalam hal ini, musyawarah kelompok masyarakat
pemohon PTSL tidak berhak menetapkan besarnya biaya, namun
hanya berkaitan dengan kelancaran proses persiapan PTSL.

31
DAFTAR PUSTAKA

Algra, dkk. 1983. Mula Hukum. Jakarta: Binacipta.


Ali, Achmad. 2002. Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis. Jakarta: Gunung Agung.
____. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence) termasuk Interpretasi UU (Legisprudence).
Jakarta: Kencana.
Ali, Zainuddin. 2010. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Apeldoorn, L. J. Van. 1996. Pengantar Ilmu Hukum. Cetakan Keduapuluh
enam. Jakarta: Pradnya Paramita.
Atmadja, I Dewa Gede. 2013. Filsafat Hukum. Malang: Setara Press.
Basah, Sjachran. 1986. Tiga Tulisan tentang Hukum. Bandung: Armico.
Cicut Sutiarso. 2011. Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa
Bisnis. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Erwin, Muh. 2011. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum.
Jakarta: Rajawali Press.
Faisal. 2012. Menerobos Positivisme Hukum. Bekasi: Gramata Publishing.
Faiz, Pan Mohamad. 2009. Teori Keadilan John Rawls dalam Jurnal
Konstitusi. Vol. 6. No. 1. hal. 135.
Friedman, W. 1990. Legal Theory. Terjemahan Muhammad Arifin. Jakarta:
Rajawali.
Friedrich, Carl Joachim. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis.
Bandung: Nusamedia.
Hart, H. L. A. 2010. The Concept of Law. Terjemahan M. Khozim.
Bandung: Nusamedia.
Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah. Cetakan VIII.
Yogyakarta: Kanisius.
Juni, Efran Helmi. 2012. Filsafat Hukum. Bandung: Pustaka Setia.
Kamelo, Tan. 2004. Hukum Jaminan Fidusia. Bandung: Alumni.
Kelsen, Hans. 2011. General Theory of Law and State. Terjemahan
Rasisul Muttaqien. Bandung: Nusa Media.
Keputusan Bersama Menteri ATR/BPN, Menteri Dalam Negeri, Menteri
Desa, Pembagunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No.
25/SKB/V/2017 tentang Pembiayaan Persiapan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap.
Machmudin, Dudu Duswara. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung:
Refika Aditama.
Manullang, E. Fernando M. 2007. Menanggapi Hukum Berkeadilan.
Jakarta: Kompas.
Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).
Yogyakarta: Liberty.
Peraturan Bupati Madiun Nomor 2A Tahun 2019 tentang Biaya Persiapan
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
Praja, Juhaya S. 2014.Teori Hukum dan Aplikasinya. Bandung: Pustaka
Setia.

32
Rato, Dominikus. 2011. Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, dan
Memahami Hukum. Surabaya: LaksBang Yustisia.
Rawls, John. 2006. A Theory of Justice. Terjemahan Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum: Edisi Lengkap dari Klasik sampai
Postmodernisme. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
Rumokoy, Donald Albert. 2014. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Syahrani, Rinduan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Waskito dan Arnowo. 2019. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di
Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Kencana.

33

Anda mungkin juga menyukai