Anda di halaman 1dari 161

DIKTAT BAHAN AJAR

PERPAJAKAN

Penulis:
Jouzar Farouq Ishak

JURUSAN AKUNTANSI
POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
2023
Halaman Pengesahan
Diktat Bahan Ajar

Judul : Perpajakan
Penyusun : Jouzar Farouq Ishak
NIP : 198703222018031001
Kode Mata Kuliah : 16KSY6062
Semester : Genap
SKS (T-P) / JAM (T-P) : 2 (1-2) / 4 (1-3)
Jurusan : Akuntansi
Sumber Dana : Mandiri

Bandung, 12 Mei 2023


Mengetahui,
Ketua Jurusan Akuntansi Penyusun,

Dr. Iwan Setiawan, SE., ME. Jouzar Farouq Ishak, SE., M.Ak.
NIP. 196703281993031001 NIP. 198703222018031001
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan
Rahmat dan Karunia-Nya Penulis bersama dengan Mahasiswa Angkatan 2020 D-4 Keuangan
Syariah dapat menyelesaikan Penulisan Diktat Bahan Ajar Mata Kuliah Perpajakan sesuai
dengan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) yang terbaru berlaku Tahun 2021. Pembuatan
Diktat Bahan Ajar Mata Kuliah ini ditujukan untuk membantu proses belajar mengajar mata
kuliah Perpajakan di Program Studi D-4 Keuangan Syariah Jurusan Akuntansi Politeknik
Negeri Bandung pada semester Genap lebih mudah dipahami, sehingga mahasiswa dapat
lebih cepat memahami mengenai materi yang berhubungan dengan Perpajakan serta sebagai
pelengkap dari buku wajib yang harus digunakan dalam proses belajar mengajar mata kuliah
Perpajakan.
Dalam penulisan Diktat Bahan Ajar Mata Kuliah ini, penulis bersama dengan tim
menyadari masih banyak kekurangan dan keterbatasan, sehingga penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun agar pembuatan Diktat Bahan Ajar Mata Kuliah
Perpajakan selanjutnya menjadi lebih baik dan dapat bermanfaat bagi pihak lain terutama
mahasiswa sebagai pengguna utama untuk diktat bahan ajar mata kuliah Perpajakan ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Jurusan Akuntansi dan pihak-pihak yang telah
membantu dalam proses Diktat Bahan Ajar ini yang semoga berguna untuk pembelajaran
mahasiswa.
Akhir kata, penulis berharap Allah SWT membalas segala kebaikan semua pihak yang
telah membantu baik secara materil maupun imateril. Semoga Diktat Bahan Ajar Mata Kuliah
Perpajakan ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca serta dapat dijadikan
referensi.

Wassalamu’alaikum warahmatullai wabarakatuh.

Bandung, 10 Mei 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I SUMBER PENDAPATAN NEGARA..................................................................1

BAB II TEORI PERPAJAKAN.......................................................................................11

BAB III PAJAK PENGHASILAN....................................................................................18

BAB IV PENGURANG PENGHASILAN........................................................................30

BAB V PAJAK PENGHASILAN FINAL.......................................................................37

BAB VI PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK...........................................................46

BAB VII PENYUSUTAN FISKAL....................................................................................53

BAB VIII PAJAK PENGHASILAN TERUTANG OPDN..................................................58

BAB IX PAJAK PENGHASILAN TERUTANG BADAN..............................................65

BAB X PAJAK PENGHASILAN PASAL 21.................................................................67

BAB XI PAJAK PENGHASILAN PASAL 22.................................................................79

BAB XII PPH PASAL 23....................................................................................................92


BAB XIII PPH PASAL 24...................................................................................................98
BAB XIV PPH PASAL 25.................................................................................................103
BAB XV PPH PASAL 26..................................................................................................106
BAB XVI PPH PASAL 28...................................................................................................109
BAB XVII PPH PASAL 29..................................................................................................112
BAB XVIII UNDANG - UNDANG PAJAK PENGHASILAN..........................................114
BAB XIX UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPN-BM) : TERMINOLOGI DALAM PPN
DAN PPN BM......................................................................................................................117
BAB XX UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPN-BM) : FAKTUR PAJAK, DASAR
PENGENAAN PAJAK, TARIF DAN CARA MENGHITUNG PPN.................................121

ii
BAB XXI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : MEKANISME PENETAPAN SPOP
PBB.......................................................................................................................................125
BAB XXII PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : OBJEK DAN SUBJEK PBB,
TAHUN PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG,
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK, PAJAK TERUTANG,
DAN SURAT KETETAPAN PAJAK..................................................................................127
BAB XXIII PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : TATA CARA PERHITUNGAN
PBB, PROSES PENGAJUAN KEBERATAN, BANDING, PENGURANGAN,
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PROSES PEMBAYARAN (SISTEP),
RESTITUSI/KOMPENSASI DAN PELAYANAN SATU TEMPAT................................131

BAB XXIV BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) 140

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
SUMBER PENDAPATAN NEGARA

Di Indonesia secara umum Pemerintah menginformasikan sumber pendapatan


negara. Masyarakat lebih familiar dengan sumber pendapatan negara yaitu pajak dan
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sumber pendapatan negara yang dipungut oleh
negara mempunyai dasar hukumnya yang jelas memuat peraturan dan ketentuan yang
harus dilakukan dalam pemungutan pajak. Berdasarkan Undang-Undang No.17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, di pasal 1 Ayat (9) telah dijelaskan bahwa penerimaan
pendapatan negara adalah uang yang masuk ke kas negara. Sedangkan pendapatan negara
adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai tambahan nilai kekayaan bersih.
Kekayaan bersih yang dimaksud ini adalah penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak
dan hibah. Di Indonesia, pendapatan negara dirancang dan dikelola dalam rancangan
APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Berikut ini adalah jenis-jenis sumber
pendapatan negara:

1.1 Sumber Daya Alam


Selain pendapatan negara dari pajak, terdapat juga sumber pendapatan negara
yang berasal bukan dari pajak atau yang lebih dikenal dengan Penerimaan Negara Bukan
Pajak (PNBP). Meski pendapatan PNBP tidak sebesar pendapatan negara dari sektor
pajak, namun tetap saja PNBP menjadi sumber penerimaan yang cukup penting bagi
keberlangsungan sebuah negara.
Indonesia termasuk salah satu negara dengan sumber daya alam (SDA) yang
cukup kaya. Melihat potensi tersebut, pemerintah negara kita berusaha mengelola SDA
dengan baik sehingga hasilnya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Inilah
mengapa sumber penerimaan negara non pajak berasal dari pemanfaatan SDA. Sumber
pemasukan ini masih digolongkan lagi menjadi 3, yaitu:

● Keuntungan dari pengelolaan ikan di laut maupun sungai.


● Keuntungan dari pengelolaan pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
● Keuntungan dari pertambangan baik emas, batu bara, perak, dan lain
sebagainya kecuali minyak bumi serta gas (Migas).

Penerimaan Pemerintah dari SDA Migas dan Nonmigas (2005-2019)

1
Bisa kita lihat dari grafik atau data tersebut, penerimaan atau pendapatan negara
dari SDA ini mengalami perubahaan dari tahun ke tahunnya. Data ini saya ambil dari
artikel yang keluar pada tahun 2019 dijelaskan bahwa berdasarkan data Kementerian
Keuangan realisasi sementara penerimaan pemerintah dari Sumber Daya Alam (SDA)
pada 2018 tumbuh 62,96% menjadi Rp 161,1 triliun dari tahun sebelumnya. Nilai tersebut
terdiri atas Rp 143,3 triliun (80%) berasal dari sektor minyak dan gas dan sisanya non
migas.

Pada tahun 2019, pemerintah menargetkan penerimaan SDA sebesar Rp 190,75


triliun naik 12,37% dari outlook 2018 atau 5,33% dari realisasi sementara 2018.
Penerimaan SDA tersebut terdiri atas penerimaan sektor migas Rp 159,79 triliun (83%)
dan sisanya dari nonmigas.

Harga minyak yang sempat naik hingga di atas US$ 80/barel dan batu bara hingga
US$ 100/ton menjadi pemicu naiknya penerimaan SDA tahun lalu.

1.2 Sumber Daya Manusia


Sumber daya manusia (SDM) merupakan salah satu faktor penting yang dapat
mempengaruhi sumber pendapatan negara. Potensi tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu
negara dapat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian dan pendapatan
negara.
Sumber daya manusia (SDM) dalam konteks sumber pendapatan negara merujuk
pada potensi tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu negara dan bagaimana potensi tersebut
bisa memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara. Dalam hal ini, SDM menjadi
salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan suatu negara dalam
menghasilkan pendapatan.
SDM yang terampil dan berkualitas dapat membantu meningkatkan produktivitas,
menghasilkan inovasi, dan memperkuat daya saing negara dalam pasar global. Dengan
adanya SDM yang berkualitas, perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa dengan
biaya yang lebih rendah dan kualitas yang lebih baik. Hal ini akan meningkatkan daya
saing negara di pasar global dan meningkatkan ekspor yang pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan negara. SDM juga dapat membantu meningkatkan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki oleh suatu negara.
Selain itu, SDM yang berkualitas juga dapat membantu meningkatkan
pengembangan sumber daya alam dan lingkungan. Mereka dapat membantu
mengembangkan teknologi dan praktik-praktik terbaik dalam mengelola sumber daya
alam dan lingkungan sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Hal ini akan
membantu meningkatkan kualitas sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki oleh
suatu negara dan meningkatkan daya tarik negara tersebut sebagai tujuan investasi.
Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk mengembangkan dan
memanfaatkan potensi SDM yang dimilikinya dengan baik. Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan akses pendidikan dan pelatihan, serta menciptakan lingkungan
bisnis yang kondusif bagi pengembangan SDM. Dengan memanfaatkan SDM secara
optimal, suatu negara dapat meningkatkan sumber pendapatannya dan memperkuat
2
perekonomiannya.

3
Dalam kesimpulannya, SDM memainkan peran yang sangat penting dalam
meningkatkan sumber pendapatan negara. Meningkatkan kualitas SDM dapat membantu
meningkatkan produktivitas, daya saing, dan kualitas sumber daya alam dan lingkungan
yang dimiliki oleh suatu negara. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan
pelatihan SDM merupakan salah satu strategi penting dalam meningkatkan sumber
pendapatan negara.

1.3 Ekspor
Kegiatan ekspor barang atau jasa adalah salah satu sumber devisa sebuah negara
karena bisa membawa keuntungan untuk suatu negara. Tiap negara pasti punya produk
unggulan yang dijual ke luar negara karena kualitas unik yang diinginkan oleh negara
lain. Makin banyak barang atau jasa yang diekspor maka penghasilan negara atau
cadangan devisa akan meningkat dan lebih stabil.
Kegiatan ekspor merupakan kegiatan penting dalam perdagangan internasional.
Ekspor dapat diartikan sebagai proses penjualan komoditas kepada negara lain sesuai
dengan peraturan dan dengan valuta asing sebagai bentuk pembayarannya. Pembayaran
dengan valuta asing inilah yang menjadi devisa. Semakin banyak kegiatan ekspor,
semakin banyak pula devisa yang diperoleh negara.
Kegiatan Ekspor atau impor juga bisa disebut bea karena dijelaskan berdasarkan
Undang-Undang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara yang dikenakan
terhadap barang-barang impor. Sedangkan bea keluar adalah pungutan negara yang
dikenakan pada setiap barang ekspor. Hampir sama dengan pajak dan cukai, bea
merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang cukup banyak menyumbang
APBN. Bea merupakan pungutan dari pemerintah untuk ekspor dan impor. Untuk
anggaran 2019, pemerintah menargetkan bea masuk (import) sebesar Rp. 38,9 Triliun,
dan bea keluar (eksport) Rp. 4,4 Triliun.
Bea masuk cukup besar karena pemerintah berusaha menekan barang luar negeri
yang akan masuk di Indonesia, dan ingin memaksimalkan potensi dalam negeri.
Sedangkan bea keluar jauh lebih kecil karena biasanya hanya dikenai untuk barang
mentah dan setengah jadi saja, seperti minyak kelapa sawit, pasir besi, rotan, dan lain-
lain. Untuk eksport produk-produk kreatif dan produk UMKM, biasanya pemerintah
membebaskannya untuk memaksimalkan potensi ekonomi dalam negeri.

1.4 Hibah Luar Negeri


Hibah merupakan sumber pendapatan negara yang diterima dari pihak lain secara
sukarela tanpa ada kewajiban apapun. Karena tidak menimbulkan kewajiban apapun,
pendapatan ini murni sebagai bantuan, bukan pinjaman maupun semacam kontrak
khusus. Hibah bisa berasal dari pihak manapun, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Tapi biasanya dari lembaga luar negeri maupun negara lain.Beberapa lembaga yang
pernah memberikan bantuan dana kepada Indonesia misalnya World Bank, Asean
Development
Bank (ADB), dan International Monetary Fund (IMF).

4
Hibah Luar Negeri bersumber dari negara asing, lembaga Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), lembaga internasional, lembaga keuangan asing, atau lembaga lainnya.
Selain itu, Hibah Luar Negeri bisa juga didapatkan dari perusahaan atau orang Indonesia
yang berdomisili dan melakukan kegiatan di luar negeri.

1.5 Bea Cukai


Bea Masuk dan Cukai merupakan salah satu dari tujuh sektor pajak yang
dikategorikan berdasarkan jenis sumber Penerimaan Perpajakan. Cukai itu sendiri setiap
tahunnya berkontribusi lebih kurang sebesar 10?ri total penerimaan pajak. Namun,
sejatinya cukai merupakan suatu instrumen fiskal yang tak hanya berfungsi sebagai
sumber pendapatan negara, melainkan terdapat fungsi lain yang secara makro
berpengaruh pada keseimbangan perekonomian dan perilaku masyarakat.
Dilihat dari sudut pandang filsafat, awal mulanya cukai dikenal dengan istilah
“Sin Tax”, dikarenakan pemungutannya ditetapkan terhadap barang-barang tertentu yang
konsumsinya dapat berdampak buruk baik bagi diri konsumen itu sendiri maupun ke
masyarakat lainnya, seperti alcohol, rokok, obat-obatan tertentu, gula, kopi, dan lain
sebagainya.
Dewasa kini, cukai tidak hanya dipandang sebagai sebatas pungutan negara, tetapi
secara makro cukai sebagai instrumen fiskal. Fungsinya selain menambah potensi sumber
pendapatan negara, cukai juga berperan sebagai suatu alat yang mengendalikan konsumsi
terhadap suatu barang.
Di Indonesia, barang yang konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu
diawasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, dan
dibebankan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan, disebut Barang Kena
Cukai (BKC), yang diatur oleh-oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang
Cukai.
Cukai memiliki dua fungsi, antara lain budgetair yaitu alat untuk mendapatkan
sebanyak-banyaknya uang ke kas negara yang pada waktunya akan digunakan untuk
membiayai pengeluaran negara, dan regulerend yaitu alat untuk mengatur, mendorong,
dan mengendalikan kegiatan ekonomi ke arah yang lebih baik dan efisien.
Menyeimbangkan kedua fungsi tersebut tidaklah mudah, karena diperlukan
kebijakan yang tepat demi mengoptimalkan keduanya. Sehingga pemerintah akan terus
memperbarui ketentuan, melalui beberapa langkah seperti simplikasi aturan dan
ekstensifikasi cukai, serta sinkronisasi antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Cukai.
Cukai merupakan pungutan yang dikenai oleh pemerintah terhadap barang
tertentu yang peredarannya perlu diawasi dan dikontrol. Cukai sebenarnya tidak sama
dengan pajak, hanya saja setiap barang yang dikenai cukai hampir pasti dikenai pajak.
Tapi barang yang dikenai pajak belum tentu dikenai cukai.
Di Indonesia dalam APBN 2019, cukai diproyeksikan menyumbang pendapatan
sebesar Rp. 165,5 Triliun. Sumber pendapatan cukai terbesar berasal dari cukai hasil
tembakau (rokok, cerutu, dll). Lalu disusul cukai minuman yang mengandung etil alkohol
(MMEA) dan konsentrat yang mengandung etil alkohol (KMEA).

5
1.6 Retribusi
Retribusi berbeda dengan pajak, Pajak adalah pungutan wajib yang dibayar rakyat
untuk negara dan akan digunakan untuk kepentingan pemerintah dan masyarakat umum.
Rakyat yang membayar pajak tidak akan merasakan manfaat dari pajak secara langsung,
karena pajak digunakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan pribadi.
Sedangkan retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau
pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.

Dasar hukum dari Retribusi dapat dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah,


Peraturan Menteri, atau Peraturan Daerah. Serta balas jasanya kepada wajib retribusi
dapat dirasakan langsung, contohnya retribusi kebersihan (sampah) manfaatnya dapat
dirasakan langsung dengan diangkutnya sampah wajib retribusi oleh petugas.
Berdasarkan objek retribusinya orang atau Badan yang menggunakan atau mendapatkan
jasa atau izin yang diberikan oleh pemerintah. Sementara sifat retribusi dapat dipaksakan
dengan sifat yang ekonomis hanya kepada orang atau badan yang menggunakan atau
mendapatkan jasa atau izin yang diberikan oleh pemerintah. Lembaga pemungut retribusi
dipungut oleh pemerintah daerah. Dan retribusi juga memiliki tujuan yaitu untuk
memberikan jasa atau ijin kepada masyarakat sehingga mereka dapat melaksanakan
kegiatan mereka serta mendapatkan pelayanan dari pemerintah.

Baik pajak maupun retribusi merupakan salah satu sumber pendapatan bagi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang sangat penting untuk membiayai
pembangunan dan melaksanakan pemerintahan.

1.7 Bantuan Luar Negeri


Bantuan dana yang berasal dari luar negeri sebagai pinjaman atau utang
pemerintah (foreign aid). Bantuan luar negeri adalah uang yang secara sukarela ditransfer
oleh satu negara ke negara lain, yang dapat berupa hadiah, hibah, atau pinjaman. Definisi
bantuan yang lebih luas termasuk uang yang dikirim lintas batas oleh organisasi
keagamaan, organisasi non-pemerintah (LSM) dan yayasan. Beberapa berpendapat
bahwa remisi harus dimasukkan, tetapi jarang dianggap sebagai bantuan.

Keuntungan dan Kerugian Bantuan Luar Negeri

Alasan ekonomi yang menguntungkan untuk memberikan bantuan luar negeri


kepada negara lain:

● Alasan kemanusiaan
● Meningkatkan citra internasional negara tersebut
● Membangun hubungan kerja yang positif dengan pemerintah lain

6
● Untuk mempromosikan kondisi untuk perdamaian dan stabilitas. Karena
banyak pemerintah yang benar-benar percaya jika negara penerima bantuan
akan lebih aman.

Argumen ekonomi yang merugikan jika memberikan bantuan asing:

● Menurut para kritikus, bantuan luar negeri tidak mendorong pertumbuhan


yang lebih cepat, tetapi dapat menahannya dengan mengganti tabungan dalam
negeri dan investasi.
● Pertumbuhan sektor modern adalah fokus bantuan. Akibatnya, hal itu
meningkatkan kesenjangan dalam standar hidup antara si kaya dan si miskin
di negara-negara Dunia Ketiga.
● Jika bantuan yang diberikan berkaitan dengan bidang yang tidak produktif
atau teknologi lama, itu akan berdampak pada peningkatan inflasi di negara
tersebut.
● Keberatan yang paling menonjol adalah bahwa negara-negara donor
mengganggu kegiatan ekonomi dan politik negara penerima.

1.8 Pajak
Di Indonesia, sumber pendapatan negara yang utama berasal dari pajak. Jika
dihitung dalam persentase, pajak menyumbang sekitar 80% dari total pendapatan negara.
Pajak sendiri diartikan sebagai suatu pungutan yang dikenakan pada barang, jasa atau aset
tertentu dengan nilai manfaat. Di Indonesia terdapat dua pihak yang berwenang untuk
melakukan pungutan pajak, yakni pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, yang
berwenang memungut pajak pusat adalah Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan untuk
pajak daerah adalah Dinas Pendapatan Daerah.
Dalam praktiknya, terdapat beberapa jenis pajak, di antaranya adalah sebagai
berikut:

a. Pendapatan PPH

Pajak Pendapatan (PPH) adalah pajak yang dikenakan pada individu atau badan
usaha atas penghasilan dalam suatu tahun pajak. Penghasilan tersebut dapat berupa
keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan yang lainnya.

b. Pendapatan PPN

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pungutan pada transaksi jual-beli barang
dan jasa oleh wajib pajak yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP)

7
c. Pendapatan Cukai

Cukai adalah pungutan negara terhadap barang-barang tertentu yang memiliki


sifat seperti di Undang-undang Cukai. Objek cukai sangat beragam, contohnya seperti
tembakau cerutu dan minuman keras.

d. Pendapatan Bea Masuk dan Keluar

Berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan, bea masuk adalah pungutan negara


yang dikenakan terhadap barang-barang impor. Sedangkan bea keluar adalah pungutan
negara yang dikenakan pada setiap barang ekspor

e. Pendapatan PBB

Pendapatan PBB adalah pungutan wajib atas kepemilikan tanah dan bangunan.
Beberapa contoh tanah yang terkena pajak di antaranya seperti sawah, tambang, kebun
dan pekarangan. Sedangkan untuk bangunan adalah mall, jalan tol dan gedung bertingkat.
Adapun beberapa contoh tanah dan bangunan yang tidak dikenai PBB adalah tempat
ibadah, kuburan dan hutang lindung.

f. Pendapatan Pajak Lainnya

Pajak ini merupakan sumber pendapatan negara yang tidak termasuk dalam salah
satu objek di atas dan memiliki persentase lebih kecil dibandingkan lainnya.

Rumus Pendapatan Nasional


Perhitungan pendapatan nasional ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh
perkembangan ekonomi suatu negara. Menurut Irma Yuliani dalam buku Pengantar Ilmu
Ekonomi (2022), pendapatan nasional adalah jumlah pendapatan yang diterima RTK
(Rumah Tangga Keluarga) di suatu negara selama periode tertentu. Sederhananya,
pendapatan nasional adalah pendapatan yang diterima penduduk suatu negara, biasanya
dalam kurun waktu satu tahun.
Dikutip dari buku Ensiklopedia Pendapatan Nasional (2019) karya Chabibah,
menghitung pendapatan nasional bisa dilakukan melalui tiga pendekatan, yakni produksi,
pendapatan, serta pengeluaran.

1. Pendekatan produksi

Rumus pendapatan nasional ini, meliputi penjumlahan semua hasil produksi


barang dan jasa selama satu tahun yang sudah dikalikan dengan harga pasar.
Rumusnya:

8
Keterangan:
 NI : national income (pendapatan nasional)
 P : harga barang dan jasa
 Q : jumlah barang dan jasa
 1, 2, 3, dan n : jenis barang dan jasa.

2. Pendekatan pendapatan

Adalah cara menghitung pendapatan nasional dengan menjumlahkan semua


pendapatan masyarakat yang ikut serta dalam kegiatan produksi selama satu tahun.
Pendapatan yang diterima, berupa sewa tanah, upah atau gaji, bunga modal, serta
keuntungan usaha (laba).
Rumusnya:

Keterangan:
 Y : Pendapatan nasional
 R : rent (sewa tanah)
 W : wage (upah atau gaji)
 I : interest (bunga modal)
 P : profit (keuntungan).

3. Pendekatan pengeluaran

Rumus pendapatan nasional ini dilakukan dengan menunjukkan seluruh


pengeluaran atau belanja barang dan jasa masyarakat dalam kurun waktu satu tahun.
Rumusnya:

Keterangan:
 Y : pendapatan nasional
 C : pengeluaran konsumsi
 I : investasi
 G : pengeluaran pemerintah
 X : ekspor
 M : impor
 X-M : ekspor bersih.

9
Contoh soal
1. Pada 2020, diketahui negara Z memiliki data sebagai berikut:
 Sewa: Rp 1.000.000
 Upah: Rp 1.200.000
 Investasi: Rp 2.000.000
 Bunga: Rp 500.000
 Konsumsi: Rp 800.000
 Ekspor: Rp 1.000.000
 Impor: Rp 700.000
 Belanja pemerintah: Rp 600.000

Besaran pendapatan nasional negara Z jika dihitung dengan pendekatan


pengeluaran adalah:

Jawaban:

Jadi, pendapatan nasional negara Z adalah Rp 3.700.000.

2. Jelaskan sumber pendapatan negara berdasarkan SDM?


Sumber daya manusia (SDM) dalam konteks sumber pendapatan negara merujuk
pada potensi tenaga kerja yang dimiliki oleh suatu negara dan bagaimana potensi tersebut
bisa memberikan kontribusi terhadap perekonomian negara. Dalam hal ini, SDM menjadi
salah satu faktor penting yang menentukan kemampuan suatu negara dalam
menghasilkan pendapatan.
SDM yang terampil dan berkualitas dapat membantu meningkatkan produktivitas,
menghasilkan inovasi, dan memperkuat daya saing negara dalam pasar global. Dengan
adanya SDM yang berkualitas, perusahaan dapat memproduksi barang dan jasa dengan
biaya yang lebih rendah dan kualitas yang lebih baik. Hal ini akan meningkatkan daya
saing negara di pasar global dan meningkatkan ekspor yang pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan negara. SDM juga dapat membantu meningkatkan kualitas
sumber daya alam dan lingkungan yang dimiliki oleh suatu negara.

10
Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk mengembangkan dan
memanfaatkan potensi SDM yang dimilikinya dengan baik. Hal ini dapat dilakukan
dengan meningkatkan akses pendidikan dan pelatihan, serta menciptakan lingkungan
bisnis yang kondusif bagi pengembangan SDM. Dengan memanfaatkan SDM secara
optimal, suatu negara dapat meningkatkan sumber pendapatannya dan memperkuat
perekonomiannya.
Dalam kesimpulannya, SDM memainkan peran yang sangat penting dalam
meningkatkan sumber pendapatan negara. Meningkatkan kualitas SDM dapat membantu
meningkatkan produktivitas, daya saing, dan kualitas sumber daya alam dan lingkungan
yang dimiliki oleh suatu negara. Oleh karena itu, investasi dalam pendidikan dan
pelatihan SDM merupakan salah satu strategi penting dalam meningkatkan sumber
pendapatan negara.

11
BAB II
TEORI PERPAJAKAN

2.1 Teori Pemungutan Pajak


1. Teori-teori Pembenaran Pemungutan Pajak
1) Teori Asuransi adalah teori yang menyamakan negara dengan perusahaan
asuransi. Untuk mendapatkan perlindungan warga negara harus
membayar pajak sebagai premi. Sebenernya teori ini sudah lama
ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan, dimana tidak ada
hubungan langsung pembayaran pajak dengan nilai perlindungan
terhadap pembayar pajak.
2) Teori Kepentingan adalah semakin banyak individu menikmati jasa dari
pekerjaan pemerintah maka semakin besar juga pajaknya, jadi teori ini
menganggap pembayaran pajak mempunyai hubungan dengan
kepentingan individu yang diperoleh dari pekerjaan negara.
3) Teori Daya Pikul atau Gaya Pikul adalah pemungutan pajak harus sesuai
dengan kemampuan si pembayaran pajak yang memperhatikan besar
penghasilannya, kekayaan dan pengeluaran belanja wajib pajak. Teori
daya pikul ini memiliki kelemahan yaitu penentuan secara tepat
seseorang yang berbeda-beda. Teori daya pikul ini diterapkan dalam
perhitungan pajak penghasilan dimana wajib pajak baru dikenakan pajak
apabila penghasilan tersebut melebihi penghasilan tidak kena pajak atau
PTKP.
4) Teori Kewajiban Mutlak atau Teori Bakti, teori ini menjelaskan bahwa
dasar hukum pajak adalah hubungan antara rakyat dan negara dimana
negara berhak memungut pajak dan rakyat berkewajiban membayar
pajak. Kelemahan teori ini negara bisa menjadi otoriter sehingga
mengabaikan aspek keadilan dalam pemungutan pajak.
5) Teori Daya Beli, teori ini merupakan teori modern yang memandang efek
baik dari pajak sebagai dasar keadilan. Teori ini menjelaskan
penyelenggaraan kepentingan masyarakat merupakan dasar keadilan
pemungutan pajak, bukan individu ataupun bukan kepentingan negara
melainkan kepentingan masyarakat.

2. Syarat-Syarat Pembuatan Undang-Undang Pajak


1) Syarat Keadilan ialah syarat pemungutan pajak pada umumnya harus adil
dan merata yaitu dikenakan kepada orang-orang pribadi sesuai dengan
kemampuannya untuk membayar pajak tersebut. Syarat keadilan ini dibagi
menjadi 2 yaitu Syarat Keadilan Horizontal dan Syarat Keadilan Vertikal.
Syarat Keadilan Horizontal adalah wajib pajak yang mempunyai
kemampuan membayar yang sama harus dikenakan pajak yang sama juga,
sedangkan Keadilan Vertikal ialah wajib pajak yang mempunyai
kemampuan membayar yang tidak sama harus dikenakan pajak yang tidak
sama.
12
2) Syarat Yuridis ialah pemungutan pajak harus sesuai dengan undang-
undang karena sifat pajak ini memaksa. Hak dan kewajiban wajib pajak
harus diatur dalam undang-undang karena dalam praktiknya terdapat
kesulitan dalam perhitungan pajak. Hal ini terutama terjadi pada wajib
pajak dengan kelompok penghasilan yang tidak tetap.
3) Syarat Ekonomis adalah pemungutan pajak harus menjaga keseimbangan
kehidupan ekonomi artinya tidak boleh sampai mengganggu kelancaran
produksi ataupun perdagangan apalagi sampai membuat pengusaha gulung
tikar. Diharapkan pemungutan pajak dapat menciptakan pemerataan
pendapatan.
4) Syarat Finansial adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemungutan pajak
hendaknya lebih kecil daripada penerimaan pajak karena pajak adalah
sumber penerimaan negara.

2.2 The Four Canons Of Tax


1. Equality (Kesetaraan atau Keseimbangan) adalah pengenaan pajak harus
seimbang sesuai dengan kemampuan wajib pajaknya.
2. Certainty (Landasan Hukum) adalah pemungutan pajak harus jelas. Kepastian
hukum mengenai subjek pajaknya, objek pajak dan tarif dan ketentuan pajak
lainnya.
3. Convenience of Payment (Tepat Waktu) adalah waktu pemungutan pajak
harus tepat, dekat penghasilan atau keuntungan yang dikenakan oleh pajak.
4. Economic of Collections (Efisiensi atau Ekonomis) adalah pemungutan pajak
harus efisiensi, biaya yang dikeluarkan harus lebih kecil dari penerimaan
pajak.

2.3 Asesmen Pajak


1. Self-Assessment System
Sistem perpajakan ini yang digunakan untuk menentukan besarnya
pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang bersangkutan. Dalam artian
lain bahwa Wajib Pajak adalah pihak yang berperan aktif dalam menghitung,
membayar dan melaporkan pajak kepada kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
sistem administrasi online yang dibentuk oleh pemerintah. Dalam hal ini
pemerintah berperan untuk mengawasi wajib pajak. Untuk contohnya adalah
dalam PPN dan PPh. Self assessment system sudah mulai masuk ke Indonesia
setelah era reformasi perpajakan pada tahun 1983 dan masih berlaku hingga
saat ini, namun sistem perpajakan tersebut memiliki konsekuensi karena
wajib pajak berhak menghitung jumlah pajak yang perlu dibayar, biasanya
wajib pajak berusaha membayar pajak sesedikit mungkin.
Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak self-assessment adalah:
● Wajib Pajak menentukan besaran pajak terutang;
● Wajib Pajak berperan aktif dalam menyelesaikan kewajiban
perpajakannya (perhitungan, pembayaran, dan pelaporan); serta
● Pemerintah tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
13
2. Official Assessment System
Sistem pemungutan pajak ini yang memungkinkan pihak berwenang
untuk dengan bebas menentukan jumlah pajak yang harus dibayarkan kepada
otoritas pajak atau pemungut pajak. Dalam sistem pemungutan pajak ini
biasanya wajib pajak bersifat pasif dan hutang pajak hanya dapat digunakan
setelah otoritas pajak mengeluarkan surat ketetapan pajaknya. Sistem
pemungutan pajak ini biasanya dapat diterapkan pada penyelesaian Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) atau jenis pajak daerah lainnya. Dalam proses
transaksi pembayaran PBB, KPP biasanya berperan sebagai pihak yang
mengeluarkan surat ketetapan pajak yang memuat sejumlah PBB terutang
setiap tahunnya, sehingga tidak perlu lagi untuk menghitung pajak yang
terutangnya, namun cukup dengan membayar PBB berdasarkan Surat
Pernyataan Terutang Pajak (SPPT) yang diterbitkan oleh KPP yang terdaftar
sebagai subjek pajak.

Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak official assessment adalah:


● Petugas pajak berwenang menghitung dan memungut besaran pajak
terutang;
● Wajib Pajak berperan pasif;
● Besaran pajak akan diketahui oleh Wajib Pajak setelah petugas pajak
melakukan perhitungan dan menerbitkan SKP; serta
● Pemerintah memiliki hak penuh pada saat menentukan besaran pajak
yang perlu dibayarkan.

3. Withholding Assessment System


Sistem pemungutan pajak ini memberikan pengertian bahwa besarnya
pajak akan dihitung oleh pihak ketiga yang bukan wajib pajak atau petugas
pajak. Contoh dari sistem ini adalah pemotongan penghasilan pegawai oleh
bendahara instansi, sehingga pegawai tidak perlu lagi ke kantor pajak untuk
membayar pajaknya. Sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar lunas dengan
menggunakan withholding assessment system pada umumnya berupa bukti
potong atau bukti pungut. Namun dalam beberapa kasus juga menggunakan
sertifikat pajak (SSP) yang kemudian sertifikat pemotongan tersebut
kemudian akan dilampirkan pada PPh / SPT PPN tahunan wajib pajak yang
bersangkutan.
Ciri-ciri dari sistem pemungutan pajak withholding assessment adalah:
● Wajib Pajak dan pemerintah tidak berperan aktif dalam menghitung
besaran pajak;
● Pihak ketiga berwenang menentukan besarnya pajak terutang; serta
● Menerbitkan bukti potong/pungut bagi Wajib Pajak yang telah melunasi
pajak terutang.

14
2.4 Stelsel Pajak

1. Stelsel Nyata atau Riil Stelsel

Stelsel nyata adalah pengenaan pajak yang didasarkan pada objek atau
penghasilan yang sungguh-sungguh diperoleh dalam setiap tahun pajak atau
periode pajak. Oleh karena itu, besarnya pajak dapat dihitung pada akhir
tahun atau periode pajak karena penghasilan riil baru dapat diketahui setelah
tahun pajak atau periode pajak berakhir. Dalam stelsel nyata, pengenaan
pajak didasarkan pada penghasilan yang sebenarnya dari wajib pajak.
Pemungutan pajak dengan sistem stelsel nyata dilakukan pada akhir tahun
pajak setelah penghasilan sesungguhnya dari wajib pajak diketahui.

Kelebihan Stelsel Nyata

Kelebihan stelsel nyata adalah besarnya pajak yang dipungut sesuai


dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang. Hal itu dikarenakan
pemungutan pajak dilakukan setelah tutup buku, sehingga penghasilan yang
sesungguhnya telah diketahui.

Kelemahan Stelsel Nyata

Kelemahan dari stelsel nyata adalah pemungutan pajak baru dapat


dilakukan pada akhir tahun pajak atau akhir periode pajak. Sementara,
pemerintah membutuhkan penerimaan pajak ini untuk membiayai
pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir tahun saja.

2. Stelsel Fiktif atau Fictive Stelsel

Stelsel fiktif adalah stelsel yang mendasarkan pemungutan pajak pada


suatu anggapan atau fiksi. Misalnya dalam kaitannya dengan pajak
penghasilan, umumnya anggapan yang digunakan adalah penghasilan tahun
sekarang atau tahun berjalan sama dengan penghasilan tahun lalu. Sehingga,
pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang
untuk tahun pajak berjalan. Dalam stelsel fiktif, besarnya pajak yang harus
ditetapkan didasarkan pada suatu anggapan yang diatur oleh undang-undang.
Penghasilan dalam satu tahun dianggap sama dengan penghasilan pada tahun
sebelumnya. Sehingga, pada awal tahun pajak sudah dapat ditetapkan
besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan.

Kelebihan Stelsel Fiktif

Kelebihan stelsel fiktif adalah pemungutan pajak sudah dapat dilakukan


pada awal tahun pajak atau awal periode pajak karena berdasarkan suatu
anggapan. Sehingga, penerimaan pajak ini oleh pemerintah dapat dipakai
untuk membiayai pengeluaran sepanjang tahun dan tidak hanya pada akhir
tahun saja.
15
Kelemahan Stelsel Fiktif

Kelemahan stelsel fiktif adalah terkadang besarnya pajak yang dibayar


tidak sesuai dengan besarnya pajak yang seharusnya dibayarkan. Dengan kata
lain, besarnya pajak belum tentu sesuai dengan besarnya pajak yang
sesungguhnya terutang karena pemungutan pajak dilakukan berdasarkan
suatu anggapan, bukan berdasarkan penghasilan yang sesungguhnya.

3. Stelsel Campuran atau Mix Stelsel

Stelsel campuran adalah kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel


fiktif. Stelsel campuran pada awal tahun ditentukan jumlah pajak berdasarkan
jumlah anggapan tertentu kemudian setelah tahun pajak berakhir diadakan
koreksi sesuai dengan stelsel nyata. Besarnya pajak dihitung sesuai dengan
anggapan seperti stelsel fiktif. Akan tetapi, pada akhir tahun besarnya pajak
disesuaikan dengan kenyataan yang harus dibayarkan. Apabila ternyata pajak
yang dibayarkan kurang, maka wajib pajak harus menambahnya. Apabila
pajak yang dibayarkan berlebih, maka wajib pajak berhak mengambil
kelebihan tersebut.

Kelebihan Stelsel Campuran

Kelebihan stelsel campuran adalah pajak sudah dapat dipungut pada awal
tahun pajak atau awal periode pajak. Besarnya pajak yang dipungut sesuai
dengan besarnya pajak yang sesungguhnya terutang karena dilakukan
penghitungan kembali pada akhir periode pajak.

Kelemahan Stelsel Campuran

Kelemahan stelsel campuran adalah karyawan bagian pajak menghitung


kembali jumlah pajak setelah tahun pajak berakhir, sehingga mengakibatkan
beban pekerjaan karyawan menjadi bertambah drastis. Akibatnya seringkali
tidak terselesaikan. Dengan kata lain, adanya tambahan pekerjaan
administrasi karena penghitungan pajak dilakukan dua kali yaitu pada awal
dan akhir tahun pajak.

2.5 The Principle of Tax Collection

1. Prinsip Keadilan (Equity)


Prinsip keadilan (equity) diartikan sebagai prinsip pajak yang
memperlakukan semua Wajib Pajak dengan perlakuan yang sama. Artinya,
negara tidak boleh bertindak diskriminatif atau seenaknya dalam melakukan
pemungutan pajak. Dalam hal perlakuan yang sama, negara perlu
menyesuaikan tarif pajak yang akan dibebankan kepada Wajib Pajak sesuai
dengan kemampuan dan penghasilan yang diperolehnya. Dengan kata lain,
semakin tinggi pendapatan dan harta yang dimiliki Wajib Pajak, maka

16
semakin

17
tinggi pula pajak yang dibebankan kepadanya. Keadilan tidaklah mutlak,
melainkan lebih kepada suatu hal yang subjektif dan abstrak. Sehingga,
pengertian keadilan di suatu negara tidak akan sama dengan di negara lain.
Semuanya bergantung pada waktu, tempat, kondisi politik pemerintahan, dan
kedewasaan masyarakat sebagai Wajib Pajak. Namun, sistem perpajakan
yang adil setidaknya harus memenuhi beberapa kriteria, seperti:

● Benefit Principle, Wajib Pajak harus membayar pajak sesuai dengan


manfaat yang dinikmatinya dari pemerintah.
● Ability to Pay Principle, setiap orang diwajibkan membayar pajaknya
sesuai dengan kemampuannya berdasarkan pendapatan yang mereka
peroleh.
● Horizontal Equality, keadilan horizontal dalam perspektif pajak
mengandung makna bahwa Wajib Pajak dengan kondisi kemampuan atau
penghasilan yang sama harus dikenakan jumlah pajak yang sama pula,
serta tanpa membedakan jenis atau sumber penghasilannya dan besaran
pengeluarannya
2. Prinsip Kepastian Hukum (Certainty)
Prinsip kepastian hukum (certainty) harus diadopsi dalam perumusan
ketentuan Undang-Undang Perpajakan dan Peraturan Perpajakan suatu
negara. Sebab, memang sudah seharusnya sistem pemungutan pajak
didasarkan pada sebuah ketentuan hukum dan dilakukan secara jelas, terang,
serta pasti. Prinsip ini akan memberi kemudahan bagi Wajib Pajak mengenai
objek pengenaan pajak, besaran pajak, dan segala tata cara dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan. Hal tersebut dimaksudkan agar mudah dimengerti oleh
Wajib Pajak dan memudahkan administrasi.

3. Prinsip Efisiensi Ekonomis (Economy)


Prinsip efisiensi ekonomis adalah prinsip pajak yang menggambarkan
bahwa pemungutan pajak harus mampu mencapai tujuan tanpa biaya yang
besar dan tidak menimbulkan permasalahan lain. Artinya, sistem pemungutan
pajak harus dapat menjamin terpenuhinya kebutuhan pengeluaran negara dan
harus pula cukup elastis dalam menghadapi berbagai tantangan, perubahan,
serta perkembangan kondisi perekonomian. Pada saat menetapkan dan
memungut pajak, pemerintah juga harus mempertimbangkan biaya
pemungutan pajak dan haruslah proporsional. Dimana salah satu tanda sistem
perpajakan yang efektif dan efisien ialah biaya pemungutan pajak yang
rendah. Jangan sampai biaya pemungutan lebih tinggi dari beban pajak yang
dikenakan.

18
4. Prinsip Ketepatan Waktu (Convenience)
Prinsip convenience merupakan prinsip sistem perpajakan suatu negara
yang digambarkan sebagai sebuah ketepatan dalam hal pemotongan,
pemungutan, dan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak. Dalam hal ini,
pemerintah dapat secara bijak menentukan kapan waktu yang tepat bagi
Wajib Pajak untuk menunaikan kewajiban pajaknya. Sebab, tidak semua
Wajib Pajak memiliki ketepatan waktu yang sama, yang tidak membebani
dan mengenakkan baginya untuk membayar pajak. Karyawan akan lebih
mudah membayar pajak saat mereka menerima gaji. Petani lebih mudah
membayar pajak setelah panen. Perusahaan lebih mudah membayar pajak
setelah mengetahui sisa lebih usaha per periode. Artinya, masing-masing
subjek pajak memang memiliki waktu tepatnya tersendiri.

Contoh Soal

1. Sebutkan 4 prinsip Pemungutan Pajak?

Prinsip Keadilan, Prinsip Kepastian Hukum, Prinsip Efisiensi Ekonomis,


Prinsip Ketepatan Waktu

2. Sebutkan jenis stelsel?

Stelsen Nyata, Stelsel Fiktif, Stelsel Campuran

19
BAB III
PAJAK PENGHASILAN

Anda tentunya sudah pernah mendengar bahkan mengenal, baik kata pajak
maupun pajak penghasilan (PPh). Ketika mendengar istilah pajak penghasilan,
masyarakat langsung mengasumsikan dengan kegiatan pembayaran uang oleh rakyat
kepada kas negara. PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak. Penghasilan yang
dimaksud dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan yang lainnya.

3.1 Subjek Pajak PPh

1. Subjek PPh Dalam Negeri


a. Orang Pribadi (OP) yang bertempat tinggal di Indonesia yang berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau Orang
Pribadi yang dalam suatu Tahun Pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Subjek Pajak
Orang Pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak (WP) apabila telah
memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP).
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia sejak saat
pertama didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

2. Subjek PPh Luar Negeri

Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, Orang Pribadi


yang memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia maupun
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

3. Subjek PPh Warisan yang belum terbagi


Merujuk pada UU PPh No. 36/2008, yang dimaksud warisan belum
terbagi sebagai subjek pajak PPh di sini agar pengenaan pajak atas
penghasilan yang berasal warisan tersebut tetap dilaksanakan.
Artinya, warisan yang ditinggalkan oleh subjek pajak dalam negeri ini
mengikuti status pewaris. Ketika warisan yang ditinggalkan oleh pewaris

20
tersebut belum dibagikan kepada ahli waris, bisa saja memberikan
penghasilan meski pewaris tersebut telah meninggal.”

Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan


tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Jika warisan itu
telah dibagi, maka kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.

Sedangkan warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang


pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, maka


tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti.

Mengapa demikian? Karena pengenaan pajak atas penghasilan yang


diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.

4. Subjek PPh Badan

Badan adalah subjek pajak yang merupakan orang dan/atau modal sebagai
satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha.

Badan bisa berupa Perseroan Terbatas (PT), perseroan komanditer (CV),


perseroan lainnya, firma, kongsi, koperasi, dan lainnya.

Subjek PPh Badan adalah sebagai subjek pajak penghasilan ini terdiri dari:
● Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
● Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

5. Subjek PPh Badan Usaha Tetap (BUT)


Subjek PPh Bentuk Usaha Tetap adalah subjek pajak penghasilan yang
perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak padan badan
dalam negeri.
BUT ini merupakan bentuk usaha yang dipergunakan oleh subjek pajak
luar negeri, baik orang pribadi maupun badan, yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.
BUT wajib mendaftarkan diri sebagai wajib pajak untuk mendapatkan
NPWP. Kemudian menyampaikan SPT sebagai sarana pelaporan besarnya
pajak terutang dalam satu tahun pajak.
Selain itu, pengenaan pajaknya dilaksanakan atas penghasilan kena pajak
dengan menggunakan tarif pajak BUT umum sebesar 25% seperti yang
berlaku pada subjek pajak badan dalam negeri.

21
3.2 Tidak termasuk Pajak PPh

1. Kantor perwakilan negara asing.

2. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat dari negara


asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan
warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan yang sama.

3. Organisasi internasional, yang memiliki syarat:

a. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut.


b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota.

4. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud


pada poin 3, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak
menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia

3.3 Objek Pajak PPh


Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi,

22
bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
● Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
● Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,
atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
● Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bentuk apa pun;
● Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang

23
menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada
hubungan
● dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-
pihak yang bersangkutan; dan
● Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;
g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
h. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.

Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi


dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau

24
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.

3.4 Tidak termasuk Objek PPh

1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di
Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang
berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial
termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha
mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari
Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib
Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang
menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit);
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau
badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang
didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: dividen
berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan bagi perseroan terbatas, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen,

25
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan
usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha
tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
12. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
13. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya,
yang

26
ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan
dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4
14. (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
dan
15. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

3.5 Contoh Soal Perhitungan Mengenai


PPh Contoh 1:
Rianti adalah karyawati pada perusahaan PT. Onix Komunika dengan
status menikah dan mempunyai tiga anak. Suami Rianti merupakan pegawai
negeri sipil di Kementerian Keuangan. Rianti menerima gaji Rp 6.000.000 per
bulan. PT. Onix Komunika mengikuti program pensiun dan BPJS
Kesehatan. Perusahaan membayarkan iuran pensiun dari BPJS
Ketenagakerjaan sebesar 1% dari perhitungan gaji, yakni senilai Rp 60.000 per
bulan.
Di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Sita membayar
iuran (JHT) setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji.
Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JK)
dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing sebesar 0,24% dan
0,3% dari
gaji. Pada bulan Juli 2016, di samping menerima pembayaran gaji, Sita juga
menerima uang lembur (overtime) senilai Rp 2.000.000.
Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

27
Gaji Pokok 6.000.000

(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) 2.000.000

(ii) JKK 0,24% 14.400

JK 0,3% 18.000

Penghasilan Bruto 8.032.400

Pengurangan:

1. (iii) Biaya jabatan 5% x 8.032.400 401.620

2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji pokok 120.000

3. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1% dari gaji pokok 60.000

(581.620)

Penghasilan neto (bersih) sebulan 7.450.780

(v) Penghasilan neto setahun 12 x 7.450.780 89.409.360

(vi) PTKP 54.000.000

(54.000.000)

28
Penghasilan Kena Pajak Setahun 35.409.360

(vii) Pembulatan ke bawah 35.409.000

PPh Terutang 5% x 35.409.000 1.770.450

PPh Pasal 21 Bulan Juli: 1.770.450/12 147.538

Ilustrasi di atas berlaku bagi wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Sementara, bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, akan
dikalikan 120%, sehingga PPh Pasal 21 Bulan Juli menjadi Rp 147.538 x 120% = Rp
177.046.
Contoh 2:
Fahri bekerja pada PT Kartika Kawashima. Status-nya belum menikah dan tidak
mempunyai tanggungan dengan gaji bersih senilai Rp 5.500.000 sebulan.
Perusahaan tempatnya bekerja memberikan tunjangan pajak penuh kepada Fahri
sejumlah Rp 35.167. Sementara, iuran pensiun yang dibayar Fahri adalah Rp 55.000
sebulan.
Jadi, Contoh Hasil Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bulan Agustus 2021
bagi Fahri yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. Kartika Kawashima selain gaji
adalah:

29
Gaji Pokok 5.500.000

(i) Tunjangan Pajak 35.167

Penghasilan bruto (kotor) sebulan 5.464.833

Pengurangan

1. (iii) Biaya Jabatan: 5% x 5.464.833,00 =


276.758,00 276.758

2. Iuran/Jaminan Pensiun, 1% dari gaji pokok 55.000

3. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1% dari gaji pokok,


jika ada 60.000

(331.758)

(v) Penghasilan neto (bersih) sebulan 5.203.408

Penghasilan neto setahun 12 x 5.203.408,00 62.440.900

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 54.000.000

(54.000.000)

(vii) Penghasilan Kena Pajak Setahun 8.440.000

30
PPh Terutang

5% x 8.440.000,00 422.000

PPh Pasal 21 Bulan September = 422.000 / 12 35.167

Jika wajib pajak tidak memiliki NPWP, maka PPh 21 perlu dikalikan 120%,
sehingga PPh 21 terutangnya menjadi Rp 35.167 x 120% = Rp 42.200

31
BAB IV
PENGURANG PENGHASILAN

4.1 Beban Pengurang Penghasilan


Deductible expense ini adalah biaya yang terjadi karena adanya kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan untuk dapat dikurangkan atas
penghasilan kena pajak atau penghasilan bruto. Deductible expense ini diatur dalam
Undang Undang Pajak Penghasilan No.36 Tahun 2008 Pasal 6.
Terdapat tiga prinsip untuk menentukan apakah biaya tersebut termasuk ke dalam
kategori deductible expense atau tidak, berikut prinsip tersebut:
● Biaya tersebut berhubungan dengan kegiatan usaha.
● Biaya tersebut diberlakukan untuk memperoleh penghasilan yang
dikenakan pajak.
● Biaya tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi seseorang.

Berikut jenis-jenis beban pengurang penghasilan:

1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain: biaya pembelian bahan; biaya berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi,
dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang; bunga, sewa, dan
royalti; biaya perjalanan; biaya pengolahan limbah; premi asuransi; biaya
promosidan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
PeraturanMenteri Keuangan; biaya administrasi; dan pajak kecuali Pajak
Penghasilan;
2. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun;
3. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;
4. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;
5. Kerugian selisih kurs mata uang asing;
6. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia;
7. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
8. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat telah
dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; Wajib Pajak
harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan telah diserahkan perkara penagihannya
kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani
piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan

32
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa hutangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu. Syarat telah dipublikasikan dalam penerbitan umum
atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa hutangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu tidak berlaku untuk penghapusan

33
piutang tak tertagih debitur kecil yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
9. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
10. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
12. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah; dan
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan Biaya tersebut diatas


didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

4.2 Beban Bukan Pengurang Pendapatan

Non deductible expense (NDE), yaitu biaya yang tidak diperbolehkan menjadi
pengurang penghasilan bruto. Biaya-biaya yang termasuk ke dalam kategori NDE ini
diatur dalam UU PPh No.36 Tahun 2008 Pasal 9 Ayat 1 sebagai berikut:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1) Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;
2) Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3) Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;
4) Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;
5) Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6) Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang
ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;
4. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang

34
pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut
dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan
makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau
imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang
berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
6. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
7. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i
sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama
yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh

35
pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah;
8. Pajak Penghasilan;
9. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib
Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;
10. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;
11. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-
undangan di bidang perpajakan.

4.3 Contoh Soal Perhitungan Pengurang Penghasilan


Contoh 1:
Pada tahun 2020, PT. ABD memiliki penghasilan bruto sebesar Rp 6,5
Miliar. Selain itu, selama tahun berjalan PT. ABD memiliki rincian beban dan
pendapatan yaitu:
● Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
● Penghasilan bruto sebesar Rp5,8 miliar.
● Mendapatkan penghasilan lainnya sebesar Rp60 juta.
● Pengeluaran biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan lainnya sebesar Rp 35 juta.
● Kompensasi kerugian fiskal dari tahun sebelumnya Rp25 juta.
● Kredit PPh Pasal 25 Rp80 juta.
● Kredit PPh Pasal 22 Rp15 juta.
● Kredit PPh Pasal 23 Rp15 juta.Bottom of Form

Penyelesaiannya:

Berapa besaran PPh terutang PT.ABD untuk dibayar dan dilaporkan pada
SPT Tahunan PPh Badan? Pertama-tama, terlebih dahulu mencari besaran
penghasilan kena pajak PT.ABD:
● Penghasilan Bruto – Biaya 3M Penghasilan Bruto = Penghasilan Neto
Rp6.500.000.000 – Rp5.800.000.000 = Rp700.000.000
● Penghasilan lainnya – Biaya 3M Penghasilan Lainnya = Penghasilan
Neto Lainnya
Rp60.000.000 – Rp35.000.000 = Rp25.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp700.000.000 + Rp25.000.000
Total Penghasilan Neto = Rp725.000.000
● Penghasilan Kena Pajak = Total Penghasilan Neto – Kompensasi
Kerugian
Penghasilan Kena Pajak = Rp725.000.000 – Rp25.000.000
Penghasilan Kena Pajak PT.ABD adalah sebesar Rp700.000.000

36
Karena omzet peredaran bruto PT.ABD di atas Rp4,8 miliar, maka
memperoleh fasilitas pengurangan tarif:
● Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang
memperoleh fasilitas
(Rp4.800.000.000 x Rp700.000.000) / Rp6.500.000.000 = Rp516.923.077
Jumlah penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak
memperoleh fasilitas:
Rp700.000.000 – Rp516.923.077 = Rp183.076.923
Maka, besaran PPh terutangnya adalah:
(50% x 22%) x Rp 516.923.077 = Rp56.861.538
22% x Rp183.076.923 = Rp 40.276.923
Total PPh terutang= Rp 56.861.538 + Rp 40.276.923
PPh terutang PT. ABD adalah sebesar Rp 97.138.461
ABD memiliki beberapa kredit pajak penghasilan yang sudah dibayar:
● PPh Pasal 22 + PPh Pasal 23 + PPh Pasal 25
Rp15.000.000 + Rp15.000.000 + Rp80.000.000
Maka, PPh terutang dikurangi dengan total kredit pajak
tersebut. Rp 97.138.461 – Rp110.000.000= (Rp12.861.539)
Dalam hal ini, PT.ABD memiliki lebih bayar pajak sebesar Rp12.861.539
Contoh 2:
Pada 2016 PT. Ananda memperoleh penjualan bruto sebesar Rp 7 Miliar,
total pengeluaran/biaya sebesar Rp 6,7 miliar (termasuk natura dan sumbangan
Rp 300 Juta). Penghasilan dari luar usaha Rp 150 Juta (termasuk penghasilan
yang PPhnya final sebesar Rp 30 Juta dan penghasilan bukan objek pajak
sebesar Rp 20 Juta). Sisa rugi tahun 2013 sebesar Rp 70 Juta belum
dikompensasikan.
Penyelesaian:
Peredaran bruto usaha Rp 7.000.000.000
Total biaya Rp 6.700.000.000
Biaya Non-Deductible (Rp 300.000.000)
Biaya Deductible Expense Rp 6.400.000.000
Penghasilan neto usaha Rp 600.000.000
Penghasilan neto dari luar usaha Rp 150.000.000
Penghasilan yang PPhnya final (Rp 30.000.000)
Penghasilan bukan objek pajak (Rp 20.000.000)
Rp 100.000.000
Total penghasilan neto (PKP) Rp 700.000.000
Kompensasi rugi tahun 2013 Rp 70.000.000
PKP Rp 630.000.000

PKP mendapat fasilitas pengurangan tarif:


(Rp 4.800.000.000 + Rp 7.000.000.000) X Rp 630.000.000 = Rp 432.000.000

37
PKP tidak mendapat fasilitas pengurangan tarif:
Rp 630.000.000 - Rp 432.000.000 = Rp 198.000.000

PPh terutang:
12,5% X Rp 432.000.000 Rp 54.000.000
25% X Rp 198.000.000 Rp 49.500.000
Rp 103.500.000

38
BAB V
PAJAK PENGHASILAN FINAL

5.1 Pengertian PPh Final


PPh atau pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi
atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Maka
dari itu pajak penghasilan melekat pada subjeknya dan dikenal dengan istilah pajak
subjektif. Berdasarkan sifat pemotongan atau pemungutan, jenis PPh ini menjadi 2 jenis
yaitu PPh final dan PPh tidak final. Pajak Penghasilan Final atau PPh Final adalah pajak
yang dikenakan dengan tarif dasar pengenaan pajak tertentu yang berbeda dengan skema
pajak secara umum atas penghasilan yang diterima atau diperoleh sepanjang tahun
berjalan atau Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan
tarif dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama tahun berjalan.
Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan Final yang
dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan merupakan pembayaran dimuka
atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan PPh terutang atas penghasilan
tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah melakukan pelunasan kewajiban pajaknya.
Pengenaan PPh secara final mengandung arti bahwa atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh akan dikenakan PPh dengan tarif tertentu dan dasar pengenaan pajak tertentu
pada saat penghasilan tersebut diterima atau diperoleh. PPh yang dikenakan, baik yang
dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri, bukan merupakan pembayaran di muka
atas PPh terutang tetapi sudah langsung melunasi PPh terutang untuk penghasilan
tersebut. Dengan demikian, penghasilan yang dikenakan PPh final ini tidak akan dihitung
lagi PPh nya di SPT Tahunan untuk dikenakan tarif umum bersama-sama dengan
penghasilan lainnya. Begitu juga, PPh yang sudah dipotong atau dibayar tersebut juga
bukan merupakan kredit pajak di SPT Tahunan.

5.2 Wajib Pajak PPh Final


Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, Undang-undang
memberikan mandat kepada Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan -
penghasilan tertentu. Berdasarkan ketentuan ini Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah untuk mengenakan PPh final atas penghasilan tertentu dengan pertimbangan
kesederhanaan, kemudahan, serta pengawasan. Pengenaan PPh Final sebagian berasal
dari ketentuan Pasal 4 ayat (2) ini. Namun demikian, ada juga pengenaan PPh final
berdasarkan Pasal lain yaitu Pasal 15, Pasal 19, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 26
Undang- undang PPh. Dengan demikian maka penghasilan yang telah dikenakan Pajak
Penghasilan Final (PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak Penghasilannya pada SPT
Tahunan dengan penghasilan lain yang non final untuk dikenakan tarif progresif (pasal 17
UU PPh).

39
Namun atas pelunasan pemotongan atau pembayaran PPh final tersebut juga bukan
merupakan kredit pajak pada SPT Tahunan.
Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penghasilan yang
dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) atau konsekuensi dari wajib pajak
yang dikenakan PPh Final yaitu :
1) Penghasilan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan lain (yang non final)
dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada SPT Tahunan.
2) Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak
dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.
3) Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final dan tidak dapat dikurangkan

Objek Pajak PPh Final


1) PPh atas Bunga Deposito dan Tabungan serta Diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
2) PPh atas Bunga Obligasi.
3) PPh atas Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
4) PPh atas Hadiah Undian.
5) PPh atas Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek.
6) PPh atas Penghasilan Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham
atau Pengalihan Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangan Usahanya.
7) PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
8) PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estate dalam Skema Kontrak Investasi.
9) PPh atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
10) PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
11) PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran Dalam Negeri.
12) PPh atas Penghasilan Perusahaan Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri.
13) PPh atas Penghasilan Wajib Pajak Luar Negeri yang Mempunyai Kantor
Perwakilan Dagang di Indonesia.
14) PPh atas Selisih Lebih Penilaian Kembali Aktiva Tetap.

Tarif PPh Final


1) Bunga deposito dan berbagai jenis tabungan, diskon jasa giro, dan sertifikat Bank
Indonesia akan dikenai tarif 20% dari jumlah bruto penghasilan bunga deposito.
2) Tarif 0% untuk penghasilan dari bunga simpanan sampai dengan Rp 240.000 per
bulan atau 10% dari jumlah bruto bunga simpanan untuk penghasilan dari bunga
simpanan lebih dari Rp 240.000 per bulan.
3) Bunga obligasi akan dikenai tarif 15% jika penerima adalah wajib pajak dalam
negeri. Sedangkan untuk wajib pajak luar negeri atau yang telah ditentukan
khusus lewat perjanjian pajak, tarif yang dikenakan sebesar 20%.
4) Pemenang hadiah undian dikenakan tarif sebesar 25%.
5) Transaksi derivatif akan dikenai tarif sebesar 2,5%.
6) Transaksi penjualan saham pendiri di Bursa Efek akan dikenai tarif 0,5% dari
nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana. Sedangkan
penjualan
40
saham bukan pendiri akan dikenai tarif sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai
transaksi penjualan saham.
7) Jasa konstruksi dikenai tarif sebesar 2% hingga 6% dari pelaksanaan konstruksi.
8) Sewa atas tanah akan dikenai tarif 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah
dan atau bangunan.
9) Dividen yang diterima orang pribadi dikenai tarif sebesar 10% dari jumlah bruto.
10) Tarif 0,5% untuk penghasilan bruto bagi UMKM.

5.3 Penghasilan Atas Bunga Deposito


A. Objek Pajak
Atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto
Sertifikat Bank Indonesia dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Termasuk dalam pengertian bunga di atas adalah bunga yang diterima atau
diperoleh dari deposito dan tabungan yang ditempatkan di luar negeri melalui
bank yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau cabang bank luar
negeri di Indonesia.Ketentuan di atas tidak berlaku terhadap orang pribadi Subjek
Pajak dalam negeri yang seluruh penghasilannya dalam 1 (satu) tahun Pajak
termasuk bunga dan diskonto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
B. Tarif
Pengenaan Pajak Penghasilan atas bunga dari deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank lndonesia adalah sebagai berikut :
1) Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto,
terhadap Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
2) Dikenakan pajak final sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto atau
dengan tarif berdasarkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang
berlaku, terhadap Wajib Pajak luar negeri.
C. Pengecualian
Pemotongan pajak atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan
serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia tidak dilakukan terhadap :
1) Bunga dari deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
sepanjang jumlah deposito dan tabungan serta Sertifikat Bank lndonesia
tersebut tidak melebihi Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah)
dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia;
3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto sertifikat Bank Indonesia yang
diterima atau diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun
1992 tentang Dana Pensiun;
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk Pemerintah dalam rangka
pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun
untuk rumah

41
sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan
ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri.
5.4 Penghasilan Atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya
A. Objek Pajak
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
dari transaksi penjualan saham di bursa efek dipungut Pajak Penghasilan yang
bersifat final.
B. Tarif
1) Besarnya Pajak Penghasilan adalah 0,1% (satu per seribu) dari jumlah bruto
nilai transaksi penjualan
2) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5%
(setengah persen) dari nilai saham perusahaan pada saat penutupan bursa
diakhir tahun 1996.
3) Dalam hal saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek setelah 1 Januari
1997, maka yang dimaksud dengan nilai saham adalah nilai saham
ditetapkan sebesar harga saham pada saat penawaran umum perdana.
C. Pemotong Pajak
Penyelenggara bursa efek wajib memungut Pajak Penghasilan setiap
transaksi penjualan saham di bursa efek.

5.5 Penghasilan Atas Bunga Obligasi


A. Objek Pajak
1) Obligasi adalah surat utang dan surat utang negara, yang berjangka
waktu lebih dari 12 (dua belas) bulan.
2) Surat Utang Negara adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan
utang baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin
pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia sesuai
dengan masa berlakunya, yang terdiri atas Surat Perbendaharaan Negara dan
Obligasi Negara.
3) Bunga Obligasi adalah imbalan yang diterima dan/atau diperoleh
pemegang Obligasi dalam bentuk bunga dan/atau diskonto.
Atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga
Obligasi dikenai pemotongan Pajak Penghasilan yang bersifat final.
B. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima
dan/atau diperoleh Wajib Pajak berupa Bunga Obligasi adalah:
1) Bunga dari Obligasi dengan kupon sebesar:
● 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap; dan
● 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar

42
negeri selain bentuk usaha tetap, dari jumlah bruto bunga sesuai
dengan masa kepemilikan Obligasi;
2) Diskonto dari Obligasi dengan kupon sebesar:
● 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap; dan
● 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar
negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau
nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi, tidak termasuk
bunga berjalan;
3) Diskonto dari Obligasi tanpa bunga sebesar:
● 15% (lima belas persen) bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap; dan
● 20% (dua puluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan
persetujuan penghindaran pajak berganda bagi Wajib Pajak luar

43
negeri selain bentuk usaha tetap, dari selisih lebih harga jual atau
nilai nominal di atas harga perolehan Obligasi; dan
4) Bunga dan/atau diskonto dari obligasi yang diterima dan/atau
diperoleh Wajib Pajak reksadana yang terdaftar pada Otoritas Jasa
Keuangan sebesar:
● 5% (lima persen) untuk tahun 2014 sampai dengan tahun 2020;
dan
● 10% (sepuluh persen) untuk tahun 2021 dan seterusnya.

C. Pemotongan Pajak
1) Penerbit Obligasi atau kustodian selaku agen pembayaran yang ditunjuk, atas
bunga dan/atau diskonto yang diterima pemegang Obligasi dengan kupon
pada
2) saat jatuh tempo Bunga Obligasi, dan diskonto yang diterima pemegang
Obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo Obligasi; dan/atau
3) Perusahaan efek, dealer, atau bank, selaku pedagang perantara dan/atau
pembeli, atas bunga dan diskonto yang diterima penjual Obligasi pada saat
transaksi.
D. Pengecualian
Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penerima penghasilan berupa
Bunga Obligasi adalah:
1) Wajib Pajak dana pensiun yang pendirian atau pembentukannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan dan memenuhi persyaratan sebagaimana
diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf h Undang-Undang PPh; dan
2) Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri
di Indonesia.
Penghasilan berupa Bunga Obligasi yang diterima dan/atau diperoleh
Wajib Pajak bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di
Indonesia, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum sesuai Undang-
Undang PPh.

5.6 Penghasilan Atas Hadiah Undian


A. Objek Pajak
Atas penghasilan berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun
dipotong atau dipungut Pajak Penghasilan yang bersifat final.
B. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan
berupa hadiah undian dengan nama dan dalam bentuk apapun adalah 25% (dua
puluh lima persen) dari jumlah bruto hadiah undian.
C. Pemotong
Penyelenggara undian wajib memotong atau memungut PPh Final atas Hadiah
Undian.

44
5.7 Penghasilan Atas Sewa Tanah dan Bangunan
A. Objek Pajak
Penghasilan berupa sewa atas tanah dan atau bangunan berupa tanah,
rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, gedung
pertokoan, atau gedung pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko,
rumah toko, gudang dan bangunan industri, dikenakan Pajak Penghasilan yang
bersifat final. Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan
atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya
perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang
perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian
persewaan yang bersangkutan.

B. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi
maupun Wajib Pajak badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari
persewaan tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas adalah 10%
(sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan atau bangunan.

C. Pemotong
Pemotongan dilakukan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan
Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk
usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan

45
orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam penyewa
adalah orang pribadi atau bukan Subjek Pajak, selain yang tersebut di atas, PPh
disetor sendiri oleh yang menyewakan. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai
pemotong Pajak Penghasilan adalah :
➢ Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT)
kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang
melakukan pekerjaan bebas;
➢ Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan
yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.

5.8 Penghasilan Dividen Oleh WPOPDN


A. Objek Pajak
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
B. Tarif
Penghasilan berupa dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
orang pribadi dalam negeri dikenai Pajak Penghasilan sebesar 10% (sepuluh
persen).
C. Pemotong
Pihak yang membayar atau pihak lain yang ditunjuk selaku pembayar
dividen.

5.9 Penghasilan Bunga Simpanan di Koperasi


A. Objek Pajak
Penghasilan berupa bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi yang
didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi orang pribadi dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final.
B. Tarif
Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan berupa bunga simpanan yang
dibayarkan oleh koperasi yang didirikan di Indonesia kepada anggota koperasi
orang pribadi adalah:
1) 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai dengan
Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) per bulan; atau
2) 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan berupa
bunga simpanan lebih dari Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu
rupiah) per bulan.
C. Pemotong
Koperasi yang melakukan pembayaran bunga simpanan kepada anggota
koperasi orang pribadi, wajib memotong Pajak Penghasilan yang bersifat final
tersebut.

46
5.10 Contoh Perhitungan Bunga Simpanan di Koperasi
Koperasi Sumber Jaya membayarkan bunga simpanan sebesar Rp350.000 untuk
bulan Juni kepada Budi. Sedangkan untuk bulan Juli, bunga simpanan yang didapat
Budi sebesar Rp235.000. Maka, besar PPh atas bunga simpanan yang harus
dipotong oleh Sumber Jaya sebesar:
Juni: 10% x Rp350.000 = Rp35.000
Juli: 0% x Rp235.000 = Rp0
Bulan Juni Budi dikenakan potongan PPh sebesar Rp35.000 dikarenakan hasil
bunga yang didapat melebihi Rp240.000 per bulan, sedangkan untuk bulan Juli
Budi tidak dikenakan potongan dikarenakan kurang dari Rp240.000 per bulan.
Demikian pembahasan mengenai aspek perpajakan yang dikenakan terhadap bunga
simpanan koperasi. Bagi pihak yang menerima penghasilan berupa bunga simpanan
koperasi, wajib melaksanakan perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sesuai dengan peraturan terbaru DJP No. PER-01/PJ/2017.
Referensi:
1) UU tentang Pajak Penghasilan
2) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun
2009 3) PMK-112/PMK.03/2010
4) DJP No. PER-01/PJ/2017
5.11 Contoh Soal Perhitungan atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya
PT. Cakrawala memiliki 10% kepemilikan saham dari PT. Mulia Utama. Seluruh
penjualan saham dari PT. Mulia Utama dilakukan di bursa efek Indonesia. Apabila
keseluruhan lembar saham PT. Mulia Utama yang beredar di publik adalah 10.000
lembar. Hitunglah berapa pajak yang harus dikenakan bila PT. Cakrawala menjual
seluruh sahamnya dengan harga Rp4.000/lembar di bursa efek Indonesia?
Jawab:
PPh Pasal 4 ayat (2) = 0,1% x Rp4.000 x 10.000

= Rp40.000

47
BAB VI
PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK (PTKP)

6.1 Pengertian PTKP


Menurut UU No 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Penghasilan Tidak
Kena Pajak (PTKP) adalah komponen pengurangan dalam menghitung besarnya pajak
penghasilan wajib pajak orang pribadi. PTKP merupakan batas minimum penghasilan
yang tidak dikenakan pajak penghasilan bagi warga negara Indonesia. Pengertian lain
dari PTKP yaitu jenis penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh) di
Indonesia. Penghasilan tersebut dapat diterima oleh individu atau badan, dan tidak
termasuk dalam penghasilan kena pajak yang dikenakan tarif pajak penghasilan. Hukum
yang mendasari pembahasan tentang PTKP ini adalah Undang-Undang Harmonisasi
Perpajakan No. 7 Tahun 2021 pada bab III pasal 7.

Jumlah PTKP ini berbeda-beda sesuai dengan status perkawinan dan jumlah
tanggungan keluarga seseorang. PTKP juga dapat berubah sesuai dengan peraturan

48
pemerintah yang berlaku. Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) ditentukan
berdasarkan status wajib pajak pada awal tahun pajak yang bersangkutan.

Contoh penghasilan yang tidak kena pajak antara lain:

a) Tunjangan kesehatan: tunjangan yang diterima oleh karyawan dari perusahaan


untuk biaya kesehatan.
b) Uang makan: uang makan yang diberikan kepada karyawan untuk biaya makan
saat bekerja.
c) THR (Tunjangan Hari Raya): tunjangan yang diberikan oleh perusahaan kepada
karyawan menjelang hari raya.
d) Asuransi jiwa: manfaat yang diberikan oleh asuransi jiwa dalam bentuk uang
tunai atau pembayaran klaim asuransi.
e) Jaminan sosial: manfaat yang diberikan oleh program jaminan sosial seperti
BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan program jaminan sosial lainnya.
f) Beasiswa: dana yang diberikan untuk biaya pendidikan dan tidak dianggap
sebagai penghasilan kena pajak.
g) Tunjangan kinerja, insentif, dan bonus yang diberikan oleh pemerintah kepada
pegawai negeri atau anggota TNI/Polri.
h) Uang pensiun atau santunan kematian yang diterima dari pemerintah atau
program asuransi sosial.
i) Penghasilan dari hibah, warisan, atau hadiah yang diatur dalam undang-undang
pajak.
j) Penghasilan yang diterima oleh lembaga sosial, keagamaan, atau amal yang
diakui oleh pemerintah dan tidak digunakan untuk kepentingan pribadi atau
komersial.
k) Bunga deposito atau tabungan yang diterima oleh Warga Negara Indonesia
(WNI) dari bank atau lembaga keuangan lain yang berdomisili di Indonesia dan
bersifat tetap.

Namun, perlu diingat bahwa meskipun penghasilan tersebut tidak kena pajak,
tetap harus dilaporkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) pajak
penghasilan. Penghasilan tersebut juga dapat dikenakan pajak jika melebihi batas
yang ditetapkan oleh peraturan perpajakan.

Adapun prinsip dari penggunaan PTKP secara umum adalah sebagai berikut:

● Apabila penghasilan tidak melebihi PTKP, wajib pajak pribadi tidak akan
dikenakan pajak penghasilan pasal 21.
● Apabila penghasilan melebihi PTKP, maka penghasilan neto setelah dikurangi
PTKP akan menjadi dasar penghitungan PPh 21.

6.2 Status PTKP

Status penghasilan tidak kena pajak adalah status khusus dari penghasilan yang
tidak dikenakan pajak penghasilan (PPh) di Indonesia. Penghasilan tersebut diterima oleh
individu atau badan, dan tidak termasuk dalam penghasilan kena pajak yang dikenakan
49
tarif pajak penghasilan. Status penghasilan tidak kena pajak diberikan berdasarkan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Jenis penghasilan yang
dapat diberikan status penghasilan tidak kena pajak antara lain tunjangan kesehatan, uang
makan, THR (Tunjangan Hari Raya), asuransi jiwa, jaminan sosial, dan beasiswa.

Penghasilan yang diberikan status penghasilan tidak kena pajak dapat dimasukkan
dalam penghasilan bruto pada saat pengajuan pajak. Meskipun penghasilan tersebut tidak
dikenakan PPh, namun tetap harus dilaporkan dalam SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan)
pajak penghasilan. Penting untuk diketahui bahwa status penghasilan tidak kena pajak
hanya berlaku untuk penghasilan yang memenuhi persyaratan dan ketentuan yang diatur

50
dalam peraturan perpajakan. Penghasilan yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan
yang diatur dalam peraturan perpajakan tetap akan dikenakan pajak penghasilan.

Di Indonesia, terdapat beberapa status penghasilan yang tidak kena pajak (PTKP)
yang diatur dalam peraturan perpajakan. Berikut adalah beberapa status penghasilan tidak
kena pajak yang umum:

1. PTKP Karyawan: diberikan kepada karyawan yang bekerja di perusahaan atau


instansi yang memberikan gaji atau upah.
2. PTKP Pensiunan: diberikan kepada pensiunan yang menerima pensiun dari
perusahaan atau instansi.
3. PTKP Wajib Pajak Lainnya: diberikan kepada individu yang tidak termasuk
dalam kategori karyawan atau pensiunan, seperti pengusaha, profesional, atau
investor.
4. PTKP Suami/Istri dan Anak: diberikan kepada suami atau istri dan anak-anak
yang menjadi tanggungan wajib pajak.
5. PTKP Orang Tua: diberikan kepada wajib pajak yang memiliki orang tua sebagai
tanggungan.
6. PTKP Tunangan: diberikan kepada wajib pajak yang memiliki tunangan sebagai
tanggungan.
7. PTKP Difabel: diberikan kepada wajib pajak yang memiliki difabel sebagai
tanggungan.
8. PTKP Lainnya: diberikan kepada wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu,
seperti wajib pajak yang memiliki anak kembar atau anak yang menderita
penyakit kritis.

Perlu diketahui bahwa besaran PTKP pada masing-masing status dapat berbeda
tergantung pada ketentuan yang berlaku. Selain itu, status penghasilan tidak kena pajak
juga dapat berubah tergantung pada perubahan kondisi dan situasi wajib pajak.

Selain itu, terdapat status PTKP yang ditulis dalam kode-kode seperti TK/0
maupun K/1. Ini penting untuk dipahami agar dapat menjalankan kewajiban pajak dengan
baik dan benar. Dimana istilah tersebut dijelaskan pada penjelasan berikut:

1) Status Lajang (TK)


PTKP bagi wajib pajak yang belum menikah, baik yang masih single atau
telah bercerai dihitung berdasarkan kategori PTKP Wajib Pajak Lainnya.
● TK/0 : tidak kawin dan tidak memiliki tanggungan.
● TK/1 : tidak kawin dan memiliki 1 tanggungan.
● TK/2 : tidak kawin dan memiliki 2 tanggungan.
● TK/3 : tidak kawin dan memiliki 3 tanggungan.

51
2) Status Menikah (K)
PTKP bagi wajib pajak yang telah menikah dihitung dua kali lipat dari
PTKP yang diberikan kepada wajib pajak yang belum menikah. Artinya, PTKP
bagi wajib
pajak yang telah menikah akan lebih besar dibandingkan PTKP bagi wajib pajak
yang belum menikah.
● K/0 : kawin dan tidak memiliki tanggungan.
● K/1 : kawin dan memiliki 1 tanggungan.
● K/2 : kawin dan memiliki 2 tanggungan.
● K/3 : kawin dan memiliki 3 tanggungan.
3) Status PTKP Digabung (K/I)
● K/I/0: penghasilan suami dan istri digabung dan tidak memiliki tanggungan.
● K/I/1: penghasilan suami dan istri digabung dan memiliki 1 tanggungan.
● K/I/2: penghasilan suami dan istri digabung dan memiliki 2 tanggungan.
● K/I/3: penghasilan suami dan istri digabung dan memiliki 3 tanggungan.
*Penting untuk diketahui, konsep tanggungan pajak hanya bisa dibebankan pada
suami dan bukan istri.

PTKP berlaku untuk seluruh wajib pajak orang pribadi yang memiliki penghasilan.
Namun, tentu setiap wajib pajak ada yang telah memiliki tanggungan. Pada dasarnya,
yang menjadi tanggungan PTKP adalah sebagai berikut:

● Keluarga yang sedarah yang meliputi orang tua kandung, saudara kandung, anak
kandung, dan anak angkat.
● Keluarga semenda yang meliputi mertua, anak tiri dan ipar.

Adapun jumlah maksimal anggota keluarga yang menjadi tanggungan PTKP


tersebut adalah 3 orang untuk setiap keluarga. Apabila lebih dari 3 orang, maka tidak
akan ada penyesuaian PTKP untuk mengurangi pajaknya.
6.3 Nominal PTKP
Penetapan tarif PTKP 2021 ini berdasarkan pada PMK No. 101/PMK.010/2016
yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan. Sedangkan untuk penetapan tarif PTKP untuk

52
pegawai yang menerima upah secara mingguan, harian, atau berstatus tidak tetap, diatur
dalam PMK No. 102/PMK.010/2016.

Dalam periode waktu tertentu, tarif PTKP PPh 21 ini bisa saja berubah. Maka dari
itu, penting bagi wajib pajak untuk tahu nilai PTKP terbaru. Berikut ini adalah besaran
tarif PTKP orang pribadi terbaru yang wajib Anda ketahui:

● Bagi wajib pajak orang pribadi sebesar Rp 54.000.000


● Bagi wajib pajak yang kawin memperoleh tambahan sebesar Rp 4.500.000
● PTKP bagi istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami,
sebesar Rp 54.000.000
● Bila ada tambahan, maksimal 3 orang untuk tanggungan keluarga sedarah dalam
satu garis keturunan, semenda, atau anak angkat, sebesar Rp 4.500.000

Adapun yang dimaksud dengan keluarga sedarah adalah orang tua kandung,
saudara kandung, dan anak. Sedangkan keluarga semenda adalah mertua, anak tiri, dan
ipar. Berikut adalah rincian besaran PTKP terbaru sesuai dengan status pajak yang
dimiliki oleh WP berdasarkan tabel:

6.4 Contoh Soal Perhitungan Mengenai


PTKP Contoh 1
a) Pada 2019, Pak Kelik adalah karyawan yang belum menikah, maka berlaku PTKP
TK/0, yaitu Rp 54.000.000.

53
b) Kemudian pada 2020, Pak Kelik menikah dan istrinya tidak bekerja. Maka
statusnya berubah menjadi K/0, PTKP yang berlaku adalah Rp 58.500.000,
dengan rincian berikut:
- Untuk Wajib Pajak : Rp 54.000.000
- Tambahan karena menikah : Rp 4.500.000
- PTKP setahun Rp 58.500.000
c) Tahun 2022 istri Pak Kelik melahirkan 3 anak kembar, sehingga status PTKP
berubah menjadi K/3, yaitu Rp72.000.000 dengan rincian sebagai berikut:
- Untuk Wajib Pajak : Rp 54.000.000
- Tambahan karena menikah : Rp 4.500.000
- Tambahan 3 orang tanggungan : Rp 13.500.000
- PTKP setahun Rp 72.000.000
d) Istrinya kemudian bekerja di perusahaan lain pada tahun 2023 untuk membantu
Pak Kelik mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sehingga PTKP yang berlaku
adalah K/I/3, yaitu Rp126.000.000.

Contoh 2
Rizal adalah pekerja di PT Jaya Makmur, dengan pendapatan Rp 6.000.000,00 per
bulan. Status Rizal saat ini adalah belum menikah yakni TK/0 (Tidak Kawin dengan
Tanpa Tanggungan).
Besaran PTKP Wajib Pajak Tidak Kawin Tanpa Tanggungan adalah Rp
54.000.000, maka tarif PTKP Rizal adalah Rp 54.000.000.
Maka perhitungannya adalah sebagai berikut:
Gaji pokok Rp 6.000.000
Pengurang:
- Biaya jabatan 5% x Rp 6.000.000 = Rp 300.000
- Biaya pensiun 1% x Rp 6.000.000 = Rp 60.000

Total pengurang = (Rp 360.000)


Penghasilan bersih per bulan: Rp 5.640.000
Penghasilan neto per tahun Rp 5.640.000 x 12 = Rp 67.680.000
PTKP (TK/0): (Rp 54.000.000)
Penghasilan kena pajak setahun: Rp 13.680.000
PPh terutang 5% x Rp 13.680.000 = Rp 684.000
PPh pasal 21 masa Rp 684.000/12 = Rp 57.000
Jadi, Rizal harus membayar PPh 21 sebesar Rp 57.000,00 setiap bulan, atau
Rp684.000,00 setahun. PPh 21 ini bisa dibayarkan sendiri ke Kantor Pelayanan
Pajak, atau dipotong langsung dari perusahaan.

54
BAB VII
PENYUSUTAN FISKAL

7.1 Pengertian Penyusutan Fiskal


Penyusutan fiskal adalah metode perhitungan penyusutan aset tetap yang
digunakan untuk tujuan perpajakan. Penyusutan ini didasarkan oleh Undang-Undang
Pajak Penghasilan (PPh). Penyusutan fiskal diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang PPh.
Metode ini digunakan untuk mengurangi nilai aset tetap dalam laporan pajak perusahaan
selama masa pemakaian atau masa manfaatnya. Dalam penyusutan fiskal, nilai aset
dikurangi dengan jumlah tetap setiap tahun sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku di suatu negara atau wilayah. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk
mengurangi beban pajak mereka selama masa penggunaan aset tetap, dan juga
memastikan bahwa aset tetap tersebut diakui secara akurat dalam laporan keuangan
perusahaan.

7.2 Metode Penyusutan Fiskal


1) Metode Garis Lurus (Straight Line Depreciation)

Metode penyusutan fiskal garis lurus diatur dalam Pasal 11 ayat 1. Metode
ini adalah metode paling sederhana dan sering digunakan dalam penyusutan
fiskal. Dalam metode ini, nilai aset dikurangi dengan jumlah yang sama setiap
tahun selama masa manfaatnya. Penyusutan bangunan menurut pajak hanya boleh
menggunakan metode garis lurus ini. Misalnya, jika sebuah mesin senilai $10.000
memiliki masa manfaat 5 tahun, maka nilai penyusutan fiskal per tahunnya adalah
$2.000.
2) Metode Saldo Menurun Tetap (Declining Balance Depreciation)

Metode penyusutan fiskal garis lurus diatur dalam Pasal 11 ayat 2. Metode
ini menghitung penyusutan berdasarkan persentase tetap dari nilai buku aset
setiap tahunnya. Dalam metode ini, persentase tetap biasanya ditentukan
berdasarkan umur aset dan tingkat penyusutan yang diinginkan. Nilai penyusutan
pada tahun pertama akan lebih besar daripada pada tahun-tahun berikutnya.

3) Metode Unit Produksi (Units of Production Depreciation)

Metode ini digunakan ketika aset tetap digunakan berdasarkan jumlah unit
produksi atau jam kerja yang dilakukan. Dalam metode ini, biaya aset dibagi
dengan jumlah total unit produksi yang diharapkan dan nilai penyusutan dihitung
berdasarkan unit produksi yang sebenarnya dicapai pada tahun tersebut.

55
4) Metode Penyusutan Ganda (Double Declining Balance Depreciation)

Metode ini serupa dengan metode saldo menurun tetap, namun persentase
tetapnya dua kali lipat. Dalam metode ini, nilai penyusutan pada tahun pertama
lebih besar dari pada tahun-tahun berikutnya, dan nilai akhirnya akan sama
dengan nilai buku aset pada akhir masa manfaatnya.
Perusahaan dapat memilih metode penyusutan yang paling sesuai dengan
kebutuhan dan persyaratan perpajakan di negara atau wilayah tempat perusahaan
berada. Namun, perlu diingat bahwa perusahaan harus tetap mengikuti aturan dan
persyaratan perpajakan yang berlaku untuk memastikan akurasi dan kepatuhan
pajak.

7.3 Klasifikasi Penyusutan Fiskal

1) Penyusutan Fiskal Tidak Langsung (Indirect Tax Depreciation)

Penyusutan fiskal tidak langsung adalah metode perhitungan penyusutan


yang digunakan dalam sistem perpajakan yang tidak memperhitungkan nilai buku
aset tetap dalam laporan pajak. Dalam metode ini, perusahaan mengalokasikan
biaya aset tetap ke biaya operasional, yang kemudian dikurangi dari pendapatan
untuk mengurangi beban pajak.

2) Penyusutan Fiskal Langsung (Direct Tax Depreciation)

Penyusutan fiskal langsung adalah metode perhitungan penyusutan yang


diakui langsung dalam laporan pajak. Dalam metode ini, nilai aset tetap dikurangi
setiap tahunnya dengan jumlah tetap sesuai dengan ketentuan perpajakan yang
berlaku di suatu negara atau wilayah.

Penyusutan fiskal langsung lebih umum digunakan, dan ada beberapa


metode penyusutan fiskal langsung yang umum digunakan seperti metode garis
lurus, metode saldo menurun tetap, metode unit produksi, dan metode penyusutan
ganda. Perusahaan harus memahami dan mematuhi persyaratan perpajakan yang
berlaku dalam penggunaan metode penyusutan fiskal yang tepat.

7.4 Tarif Penyusutan Fiskal


Berdasarkan tabel penyusutan fiskal milik Dirjen Pajak, tarif penyusutan fiskal
ditentukan berdasarkan pada kelompok harta berwujud, masa manfaat, penghitungan tarif
dengan metode saldo menurun. Berikut ini, tabel penyusutan fiskal:

56
Kelompok Harta Masa Penyusutan Penyusutan
Berwujud Manfaat Berdasarkan Ayat 1 Berdasarkan Ayat 2

Bukan Bangunan

Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%

Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%

Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%

Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%

Bangunan

Permanen 20 Tahun 5% –

Tidak Permanen 10 Tahun 10% –

Berikut adalah penjelasan tentang jenis aset yang terhitung pajak penyusutan
fiskal berasal dari aset berwujud bukan bangunan mulai dari kelompok 1 hingga
kelompok 4:
● Kelompok 1

Harta atau aset berwujud bukan bangunan kelompok 1 yang terkena


penyusutan fiskal sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang PPh dan
Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Ada setidaknya tujuh jenis usaha yang
dikategorikan dalam kelompok 1.
- Pertama, jenis usaha mikro-kecil, seperti usaha mebel, perkantoran, jasa,
dan sebagainya.
- Kedua, jenis usaha pertanian, perikanan, perkebunan, dan semua yang
berkaitan dengan agribisnis yang menggunakan alat bertenaga manusia.
- Ketiga, jenis usaha industri makanan dan minuman baik industri pabrik,
rumahan dan sejenisnya.
- Keempat, jenis usaha transportasi dan pergudangan
- Kelima, jenis usaha industri semikonduktor
- Keenam, jasa persewaan peralatan tambat air dalam.

57
- Terakhir, jenis usaha jasa telekomunikasi seluler dengan aset/harta berwujud
base station controller.
● Kelompok 2

Bentuk-bentuk perusahaan dengan aset yang tergolong ke dalam penyusutan


fiskal kelompok 2 ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.
96/PMK.03/2009 terkait dengan bentuk-bentuk aset yang masuk di dalam
kelompok aset berwujud bukan bangunan. Terdapat sebelas jenis usaha,
diantaranya:
1) Semua jenis usaha yang menggunakan aset berupa mebel, perabotan rumah
tangga termasuk alat-alat elektronik seperti kipas angin, AC, televisi, dan
lain-lain. Juga kendaraan seperti bus, truk, mobil, kontainer, atau kapal.
2) Usaha yang berkaitan dengan agribisnis yang mulai menggunakan
kecanggihan teknologi atau mesin.
3) Usaha jenis produksi makanan dan minuman. Jika dalam kelompok 1 masih
menggunakan tenaga manual, kali ini menggunakan aset dengan tenaga
mesin.
4) Industri mesin.
5) Perkayuan, kehutanan.
6) Konstruksi yang melibatkan alat-alat berat seperti buldozer dan sebagainya.

Sisanya, sama seperti dalam penyusutan fiskal kelompok 1, hanya saja lebih
lengkap dengan dukungan teknologi mesin.
● Kelompok 3

Jenis usaha pada klasifikasi kelompok 3 kali ini memiliki skala yang jauh
lebih besar.
1) Pertama, jenis usaha pertambangan yang bukan minyak dan gas. Di mana
mereka memiliki mesin-mesin besar yang digunakan untuk melakukan
aktivitas pertambangan.
2) Kedua, ada jenis usaha pemintalan, penenunan dan pencelupan yang
menggunakan banyak mesin sekaligus. Di antara aset tersebut adalah mesin
pengolah kain katun, sutra, serat hewan, buatan, wol, dan sejenisnya, juga
mesin yang digunakan untuk menjahit, bleaching, fixing, dan packing.
3) Ketiga, ada industri perkayuan yang memproduksi barang jadi, seperti mebel
dan peralatan lain-lain hingga untuk kebutuhan bisnis lainnya.
4) Keempat ada industri kimia yang memiliki aset-aset seperti laboratorium, alat
memproduksi bahan-bahan kimia untuk berbagai keperluan.
5) Kelima adalah industri mesin yang melakukan kegiatan produksi alat-alat
berat, kendaraan transportasi, kapal, dan sebagainya.

58
6) Keenam adalah industri transportasi yang memiliki jaringan luas, dan yang
terakhir adalah usaha telekomunikasi dengan aset operator, jaringan untuk
keperluan siaran swasta baik radio maupun televisi.
● Kelompok 4

Kelompok terakhir adalah kelompok yang hanya terdiri dari dua jenis
industri, yakni usaha konstruksi besar yang memiliki aset-aset besar seperti alat
berat untuk keperluan pembangunan, pembuatan jalan, fasilitas umum dan
sebagainya. Sementara jenis usaha yang kedua adalah transportasi dan
pergudangan. Mereka memiliki aset seperti kereta, kapal, feri, pesawat, dok dan
lain sebagainya.

7.5 Contoh Soal Perhitungan Mengenai Penyusutan Fiskal

1) Contoh Perhitungan Tarif Penyusutan Pajak dengan Metode Garis Lurus

PT KSB membeli sebuah mesin dengan harga Rp 500.000.000 dan masa


manfaat 2 tahun. Maka perhitungan penyusutan fiskal PT KSB dengan
menggunakan metode garis lurus adalah sebagai berikut:

Penyusutan
= Harga beli x 25% (penyusutan berdasarkan ayat 1, kelompok 1, bukan bangunan)
= Rp 500.000.000 x 25%
= Rp 125.000.000
Jadi, besarnya penyusutan fiskal PT KSB dengan menggunakan metode garis
lurus sebesar Rp 125.000.000

2) Contoh Perhitungan Tarif Penyusutan Pajak dengan Metode Saldo Menurun

Pada tahun 2020, PT KSB membeli sebuah mesin dengan harga Rp


500.000.000 dan masa manfaat 2 tahun. Maka perhitungan penyusutan fiskal PT
KSB tahun 2021 dengan menggunakan metode saldo menurun?

Penyusutan di tahun 2020


= Harga beli x 50% (penyusutan berdasarkan ayat 2, kelompok 1, bukan bangunan)
= Rp 500.000.000 x 50%
= Rp 250.000.000
Penyusutan di tahun 2021
= Nilai Sisa Buku x 50%
= (Rp 500.000.000 - Rp 250.000.000) x 50%
= Rp 125.000.000

59
BAB VIII
PPH TERUTANG OPDN

8.1 Penghasilan Bruto OPDN


8.1.1 Pengertian Penghasilan Bruto OPDN
Penghasilan bruto merupakan jumlah penghasilan kotor yang dimiliki oleh
seseorang sebagai upah atas pekerjaannya. Total akan dihitung berdasarkan
akumulasi dari pendapatan selama satu tahun. Penghasilan bruto ini penanda
bahwa penghasilan yang dihitung tidak hanya berasal dari satu sumber.
Sederhananya, penghasilan bruto adalah penghitungan setiap bentuk
pendapatan atau penghasilan dari seseorang selama satu tahun.
8.1.2 Dasar Hukum OPDN
Regulasi yang digunakan akan penghasilan bruto ini ada beberapa, yakni:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-16/PJ/2016 tentang Tarif
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

8.1.3 Elemen Yang Termasuk Dalam Penghasilan Bruto


Berikut elemen yang termasuk dalam penghasilan bruto :
1. Gaji, Uang Pensiun dan Tunjangan Hari Tua (THT)
2. Tunjangan PPh

Tunjangan PPh merupakan tunjangan Pajak penghasilan yang


diperoleh dalam Tahun Pajak yang bersangkutan

3. Tunjangan Lainnya, Uang lembur, Penggantian, dll

Ini merupakan tunjangan yang diterima dalam Tahun Pajak yang


bersangkutan yang isinya bisa berupa:
● Tunjangan istri dan/atau anak
● Tunjangan jabatan
● Tunjangan khusus
● Tunjangan transportasi
● Tunjangan pendidikan anak
● Uang imbalan prestasi
● Tunjangan lainnya dengan nama apapun
● Uang penggantian pengobatan
● Uang lembur
● Dll.
4. Honorarium dan/atau Imbalan Sejenisnya

60
Honorarium merupakan imbalan atas jasa, jabatan atau kegiatan
yang dilakukan yang bersangkutan.
5. Premi Asuransi yang dibayar pemberi kerja

Bisa berupa premi asuransi kesehatan, kecelakaan, asuransi jiwa,


asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayarkan pemberi kerja
kepada perusahaan asuransi atau penyelenggara Jamsostek dalam Tahun
Pajak yang bersangkutan.
6. Natura dan lainnya yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 21

Ini merupakan jumlah yang sebenarnya diterima dari pemberi kerja


yang tidak wajib memotong PPh Pasal 21, dan bukan Wajib Pajak namun
tidak dikecualikan untuk memotong PPh 21 sehubungan dengan
pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan lainnya dalam masa
Tahun Pajak yang bersangkutan.

7. Tantiem, Gratifikasi, Bonus, Jasa Produksi serta THR

Ini merupakan tantiem, gratifikasi, bonus, jasa produksi, THR, dan


penghasilan sejenis yang bersifat tidak tetap dan mungkin diberikan hanya
sekali dalam setahun yang diterima atau diperoleh dalam Tahun Pajak
yang bersangkutan.

8.1.4 Cara Menghitung


Berikut ini langkah penghitungan penghasilan bruto :
- Setelah seluruh total penghasilan bruto diketahui selama 1 bulan,
selanjutnya, kurangi total penghasilan dengan biaya atau kewajiban yang
perlu dibayar.
- Sisa dari pengurangan merupakan pendapatan penghasilan bersih.
Kemudian, kalikan dengan 12 bulan sehingga dapat diperoleh penghasilan
bersih selama 1 tahun.
- Tentukan status wajib pajak: TK (tidak kawin) / K (kawin)
- Selanjutnya, jumlahkan dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP).

Berikut contoh soal :


Bapak Fulan bekerja di sebuah perusahaan A dengan gaji yang
diperoleh sebesar Rp8.000.000. Ia merupakan kepala keluarga namun
belum memiliki anak. Maka status wajib pajaknya adalah K/0.
Setiap bulannya, gaji Bapak Fulan dipotong sejumlah biaya lainnya
dan tunjangan, sehingga gaji Bapak Fulan menjadi Rp7.000.000/bulan.
Maka, penghasilan bersih Bapak Fulan selama satu tahun adalah
Rp84.000.000.

61
Karena status wajib pajak Bapak Fulan adalah K/0, maka
nominalnya akan ditambahkan :
= Rp Rp4.500.000 + Rp 84.000.000
= Rp 88.500.000.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk status K/0 adalah
Rp58.500.000. Maka, penghasilan bruto Pak Kasrun adalah
=Rp88.500.000 – Rp58.500.000
= Rp30.000.000.

8.2 PTKP OPDN


Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) merupakan pengurangan penghasilan bruto.
Yang mana penghasilan tersebut diberikan kepada wajib pajak orang pribadi dalam
negeri sebelum menghitung PPh terutang yang tidak bersifat final. Besaran PTKP
tersebut telah diatur dalam Undang-Undang dan atau Peraturan Menteri Keuangan
(PMK). Ada aturan terbaru mengenai tarif PTKP yang telah ditetapkan, yaitu mengacu
pada tarif yang berlaku sejak 2016. Dimana PTKP Indonesia adalah Rp 54 juta. Dan
apabila wajib pajak sudah kawin, maka terdapat tambahan senilai Rp 4,5 juta.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkaitan erat dengan PPh pasal 21. Sesuai
dengan peraturan tarif yang ada, setiap wajib pajak memiliki kewajiban untuk membayar
pajak sesuai dengan kondisinya masing-masing. Perlu diperhatikan, dalam Penghasilan
Tidak Kena Pajak (PTKP), tidak hanya tarif yang perlu diketahui. Namun, juga perlu
diketahui status dari PTKP. Status tersebut biasanya ditulis dengan menggunakan kode-
kode PTKP yaitu:
● Untuk status lajang terdiri dari TK/0 yang artinya seorang yang belum menikah
dan tidak mempunyai tanggungan. Selanjutnya, TK/1 yang artinya seorang yang
belum menikah namun memiliki satu tanggungan. TK/2 yang artinya seorang
yang belum menikah dan mempunyai dua tanggungan. Dan TK/3 artinya seorang
yang belum menikah dan memiliki tiga tanggungan.
● Untuk status kawin terdiri dari TK/0 artinya telah menikah dan tidak mempunyai
tanggungan. Kemudian K/1 artinya telah menikah dan memiliki satu tanggungan.
K/2 yang artinya telah menikah dan memiliki dua tanggungan. Dan K/3 artinya
telah menikah dan memiliki tanggungan.
● Status PTKP Digabung, yaitu K/1/0 artinya penghasilan suami dan istri digabung
dan tidak mempunyai tanggungan. K/1/1 yang artinya penghasilan suami dan istri
digabung serta memiliki satu tanggungan. K/1/2 yang artinya penghasilan suami
dan istri digabung serta memiliki dua tanggungan. Dan K/1/3 artinya penghasilan
suami dan istri digabung serta memiliki tiga tanggungan.

62
8.3 Penghasilan Netto OPDN
Penghasilan Netto OPDN dihitung berdasarkan penjumlahan antara penerimaan
perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dikurangi dengan penerimaan
Negara yang dibagihasilkan kepada daerah dan persentase tertentu dari pendapatan
Negara yang di-earmark. Penerimaan negara yang dibagihasilkan kepada daerah meliputi:
● pendapatan PPh nonmigas;
● pendapatan PBB;
● pendapatan CHT;
● pendapatan SDA migas;
● pendapatan SDA mineral dan batubara; pendapatan SDA kehutanan;
● pendapatan SDA perikanan; dan
● pendapatan SDA panas bumi.

Pendapatan negara yang di-earmarked meliputi:


● pendapatan PNBP K/L;
● pendapatan BLU; dan
● penerimaan perpajakan ditanggung pemerintah (DTP).

Perhitungan PDN Neto pada TA 2019 diusulkan perubahan dalam perhitungan


PDN Neto. PDN Neto dihitung berdasarkan penerimaan negara yang berasal dari pajak
dan bukan pajak setelah dikurangi dengan faktor pengurang yang berbeda dengan tahun
sebelumnya. Adapun faktor pengurang, terdiri dari: pertama, Transfer ke Daerah dan
Dana Desa (dengan bobot 100 persen) meliputi:

● Dana perimbangan;
● Dana Insentif Daerah;
● Dana Otonomi Khusus Dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dan
● Dana Desa.

Kedua, pendapatan negara yang di-earmarked (dengan bobot 100 persen) meliputi:

● PNBP K/L (earmarked);


● penerimaan BLU; dan
● subsidi pajak DTP.

Berikut contoh soal Penghasilan Netto OPDN :

Pak Anton merupakan petani jagung yang menggarap sawah miliknya sendiri di
daerah Sukabumi. Adapun dalam tahun 2019, ia telah melakukan 2 kali masa panen
untuk tanaman jagungnya. Apabila tiap masa panen ia mendapatkan pendapatan
bruto Rp250.000.000. Bila Pak Anton menggunakan perhitungan dengan norma
penghitungan penghasilan neto. Hitunglah berapa besarnya penghasilan neto milik
Pak Anton?

63
Jawab:

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka penghasilan bruto dari Bapak Anton adalah 2
kali dari Rp250.000.00. Adapun tarif yang berlaku untuk penghitungan pajak
penghasilan netonya berdasarkan PER-17/2015 adalah 15%. Adapun penghitungan
penghasilan netonya adalah sebagai berikut :

Penghasilan Bruto = 2 X Rp 250.000.000

= Rp 500.000.000

Penghasilan neto = 15% X Rp 500.000.000

= Rp 75.000.000

8.4 Penghasilan Kena Pajak


Penghasilan Kena Pajak (PKP) adalah penghasilan yang menjadi dasar dalam
menghitung Pajak Penghasilan (PPh). Dimana penghasilan kena pajak dapat dihitung dari
penghasilan kotor yang dikurangi dengan upah untuk mengumpulkan dan menjaga
penghasilan. Sedangkan tarif penghasilan kena pajak umumnya didasarkan pada subjek
pajaknya. Yakni tarif penghasilan kena pajak yang dikenakan kepada wajib pajak orang
pribadi dalam negeri. Dan tarif penghasilan kena pajak yang dikenakan kepada wajib
pajak badan dalam negeri. Berikut ini tarif penghasilan kena pajak yang dibedakan
berdasarkan pada jumlah penghasilannya, yaitu:
a. Penghasilan sampai dengan Rp 60 juta maka tarifnya adalah 5%
b. Penghasilan Rp 60 juta sampai dengan Rp 250 juta maka tarifnya adalah
15%
c. Penghasilan Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta maka tarifnya adalah
25%
d. Penghasilan Rp 500 juta sampai dengan Rp 5 miliar maka tarifnya adalah
30%
e. Penghasilan di atas Rp 5 miliar maka tarifnya adalah

35% Berikut contoh soal Penghasilan Kena Pajak :


Santi merupakan karyawan swasta dengan satu anak. Ia memiliki penghasilan
kotor senilai 150 juta rupiah tiap tahunnya. Santi juga membayar iuran pensiun
sebesar 1 juta setiap bulannya. Maka cara menghitung pajak penghasilan yang
harus dibayar Wahyu tiap tahunnya adalah:
● Hitung penghasilan bersih (penghasilan bruto-iuran), 150 juta – (12x 1
juta)= 138 juta
● Hitung PTKP = Wahyu + istri + anak= 54 juta + 4.500.000 + 4.500.000=
63 juta

64
● Hitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)= Penghasilan bersih- PTKP= 138
juta- 63 juta= 75 juta
● Hitung pajak penghasilan yang harus dibayarkan Wahyu dalam setahun.
Oleh karena gajinya sebesar 75 juta, maka PKP nya dikalikan tarif PPh
sebesar 15%. Maka 75 juta x 15%= 11.250.000

Jadi, dalam satu tahun besar pajak penghasilan yang harus dibayarkan oleh
Wahyu yaitu senilai 11.250.000 rupiah.
8.5 PPh Terutang
Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
Pasal 1, dijelaskan bahwa pajak terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat,
dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Jadi, jelas adanya bahwa pajak
terutang merupakan wujud dari self assessment system dan bukan merupakan dasar dari
tindakan penagihan. Sementara, utang pajak merupakan wujud dari official assessment
system yang dilakukan sebagai dasar tindakan penagihan.

Adapun yang dimaksud dengan masa pajak adalah sama dengan satu bulan
kalender. Sementara tahun pajak, sama dengan satu tahun kalender atau tahun takwin
Tahun pajak bisa menggunakan jangka waktu Januari hingga Desember. Namun, bisa
dikecualikan jika mengajukan izin untuk menggunakan jangka waktu lain.
Perhitungan tarif pajak penghasilan terutang diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
Dimana bagi Wajib pajak Orang Pribadi yang sudah memiliki NPWP, ketentuan
perhitungannya adalah:

● 5% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan hingga Rp50 juta per tahun
● 10% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp50 juta hingga
Rp250 juta per tahun
● 25% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp250 juta hingga
Rp500 juta per tahun
● 30% dari penghasilan kena pajak untuk penghasilan di atas Rp500 juta per tahun

Sementara, untuk WP Orang Pribadi yang tidak memiliki NPWP, mereka harus
membayar tarif 20% lebih tinggi dari yang dibayarkan oleh WP Orang Pribadi yang
memiliki NPWP. Berikut adalah contoh soal PPh Pribadi Terutang :

Pak Subroto seorang karyawan perusahaan PT ABC dan masih lajang serta
memiliki NPWP. Penghasilannya sebesar Rp100.000.000 juta setahun. Berikut tahapan
penghitungannya untuk mengetahui jumlah PPh terutangnya :

Penghasilan Bruto = Rp100.000.000


PTKP (K/0) = Rp54.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp46.000.000

65
PPh Terutang:
= Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak
= 5% x Rp46.000.000
= Rp2.300.000
Adapun untuk PPh Terutang badan, perhitungannya didasarkan pada besar omzet
yang diperoleh per tahunnya. Dimana berdasarkan peraturan terakhir, untuk WP Badan
Usaha secara umum dikenakan tarif sebesar 25%. Berikut contoh soal Perhitungan PPh
Badan Terutang :

PT ABC merupakan WP Badan yang memiliki omzet atau peredaran bruto pada
2020 sebesar Rp80.000.000.000 dan tidak ada koreksi fiskal. Karena PT ABC bukan
merupakan perusahaan terbuka (Tbk), maka ia tidak memanfaatkan penurunan tarif PPh
Badan sebesar 22% tahun ini, Maka PPh Terutang PT AAA adalah sebagai berikut:

= Tarif PPh Badan x Jumlah omzet

= 25% x Rp80.000.000.000

= Rp20.000.000.000

66
BAB IX
PPH TERUTANG BADAN

9.1 Klasifikasi 1 Badan (Jika penghasilan bruto kurang dari Rp 4,8 Miliar)
Rumus : Penghasilan kotor (Peredaran bruto) x 1%
Contoh Soal :
Pada tahun 2017, PT Jaya Makmur memperoleh penghasilan kotor sebesar
Rp 3,8 Miliar. Maka besar PPh PT Jaya Makmur adalah :
= Penghasilan Kotor x 1%
= Rp 4 Miliar x 1%
= Rp 40 Juta
Selama tahun 2017 PT Jaya Makmur telah menyetor pajak penghasilan
karyawan ke kas negara sebesar Rp 8 Juta dan pajak PPh Pasal 23 sebesar Rp2
Juta, maka pajak terutang PT Dedi Jaya adalah sebagai berikut:
= Rp 40 Juta – (Rp8 Juta + Rp 2 Juta)
= Rp30 Juta.
Rp30 Juta adalah angka yang bisa dicicil oleh PT Jaya Makmu ke kas
negara atas penghasilan badan usaha di tahun 2017.

9.2 Klasifikasi 2 Badan (Jika penghasilan lebih dari Rp 4,8 Miliar sampai dengan
Rp 50 Miliar)
Rumus : 0,25 - (0,6 Miliar / Penghasilan kotor) X PKP
Contoh Soal :
PT Jaya Makmur di tahun 2017 memperoleh penghasilan kotor Rp10
Miliar dan Penghasilan Kena Pajak adalah Rp3 Miliar. Formula perhitungannya
adalah sebagai berikut:
= 0.25 – (Rp0.6 Miliar/Rp10 Miliar) x Rp3 Miliar = Rp570 Juta (19%)
Selama tahun 2017, PT Jaya Makmur telah menyetorkan pajak
penghasilan karyawan sebesar Rp250 Juta dan PPh Pasal 23 sebesar Rp10 Juta.
Maka pajak terutang PT Jaya Makmur adalah:
=Rp570 Juta – Rp250 Juta – Rp100 Juta
= Rp220 Juta.
Rp220 juta adalah sisa pajak yang harus dibayarkan oleh PT Jaya Makmur
ke kas negara atas Pajak Penghasilan Badan di tahun 2017.

67
9.3 Klasifikasi 3 Badan (Jika lebih dari Rp 50 Miliar)
Tahun 2017 PT Jaya Makmur memperoleh penghasilan kotor Rp70 Miliar, dan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp28 Miliar, maka besar pajak PT Dedi Jaya
adalah:
= 25% x Rp28 Miliar = Rp7 Miliar.
Selama 2017, PT Jaya Makmur telah menyetor pajak penghasilan karyawan
sebesar Rp3 Miliar dan PPh Pasal 23 sebesar Rp1 Miliar. Maka pajak penghasilan
terutangPT Jaya Makmur adalah:
= Rp7 Miliar – Rp3 Miliar – Rp1 Miliar
= Rp3 Miliar.
Rp3 Miliar adalah angka yang harus dibayarkan PT Jaya Makmur atas pajak
penghasilan di tahun 2017.

68
BAB X
PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

10.1 Objek Pajak PPh Pasal 21


Berikut adalah objek PPh Pasal 21, diantaranya yaitu:

● Penghasilan yang diterima atau diperoleh Pegawai tetap, baik berupa


penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur.
● Penghasilan yang diterima atau diperoleh Penerima pensiun secara teratur
berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya.
● Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan
penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus
berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau
jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis.
● Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah
harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang
dibayarkan secara bulanan.
● Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi,
fee, dan imbalan sejenisnya dengan nama dan dalam bentuk apapun
sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan.
● Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang
representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan
nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.
● Penghasilan berupa honorarium atau imbalan yang bersifat tidak teratur
yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan

69
pengawas yang tidak merangkap sebagai Pegawai Tetap pada perusahaan
yang sama;
● Penghasilan berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus atau imbalan
lain yang bersifat tidak teratur yang diterima atau diperoleh mantan
pegawai; atau
● Penghasilan berupa penarikan dana pensiun oleh peserta program pensiun
yang masih berstatus sebagai pegawai, dari dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

10.2 Bukan Objek Pajak Pasal 21


Berikut adalah bukan objek PPh Pasal 21, diantaranya yaitu:

● Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi sehubungan


dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa.
● Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun
diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, termasuk Pajak Penghasilan yang
ditanggung oleh pemberi kerja, termasuk yang ditanggung oleh Pemerintah,
merupakan penerimaan.
● Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari
tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau Badan penyelenggara
jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.

70
● Zakat yang diterima oleh Orang Pribadi yang berhak dari Badan atau lembaga
amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah, atau sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga keagamaan yang
dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah sepanjang tidak ada hubungan dengan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
● Beasiswa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf l UU PPh.

10.3 Pemotong PPh Pajak Pasal 21


Pemotong PPh Pasal 21/26 terdiri dari:
1. Pemberi kerja
2. Bendahara dan pemegang kas pemerintah
3. Dana pensiun
4. Orang pribadi pembayar honorarium
5. Penyelenggara kegiatan

Adapun penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21/26 terdiri dari:
1. Pegawai.
2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua,
atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya juga merupakan wajib pajak PPh
Pasal 21.
3. Wajib pajak PPh 21 kategori bukan pegawai yang menerima atau memperoleh
penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:
● Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,
akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris;
● Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang
sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model,
peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan
seniman lainnya;
● Olahragawan;
● Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
● Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
● Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial
serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
● Agen iklan;
● Pengawas atau pengelola proyek;
● Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi
perantara;
● Petugas penjaja barang dagangan;
● Petugas dinas luar asuransi; dan/atau

71
● Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan
kegiatan sejenis lainnya
4. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama juga merupakan Wajib Pajak PPh
Pasal
21. Selain itu, kategori di bawah ini juga termasuk Wajib Pajak PPh 21:
5. Mantan pegawai; dan/atau
6. Wajib Pajak PPh Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikutsertaannya dalam suatu
kegiatan, antara lain:
● Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah
raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan
lainnya;
● Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;
● Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai penyelenggara
kegiatan tertentu;
● Peserta pendidikan dan pelatihan; atau
● Peserta kegiatan lainnya.

Dalam hal Anda merupakan pemberi kerja yang memotong PPh Pasal 21/26, hal-hal
yang harus Anda lakukan adalah:
1. melakukan melakukan pemotongan PPh Pasal 21 sesuai dengan ketentuan tarif
PPh yang berlaku;
2. membuat bukti potong PPh Pasal 21 melalui aplikasi e-SPT PPh Pasal 21;
3. melakukan penyetoran PPh Pasal 21 yang telah dipotong tersebut menggunakan
kode billing dengan kode MAP dan kode jenis setoran 411121-100. Penyetoran
dilakukan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya: pemotongan PPh
Pasal 21 dilakukan pada bulan April 2020, maka penyetoran PPh-nya adalah
paling lambat dilakukan pada tanggal 10 Mei 2020; dan
4. menyampaikan laporan SPT Masa PPh 21 secara daring melalui saluran efiling
Direktorat Jenderal Pajak di laman pajak.go.id atau Penyedia Jasa Aplikasi
Perpajakan (PJAP) resmi yang ditunjuk.

Jika Anda adalah orang pribadi penerima penghasilan dari pemberi kerja yang
bertindak sebagai pemotong PPh Pasal 21/26, Anda perlu melakukan hal-hal sebagai
berikut:
1. Meminta dan mendapatkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 (1721-A1 dan 1721-
A2) atas penghasilan yang diterima dan dipotong PPh Pasal 21 secara berkala.
2. Apabila Anda berstatus sebagai pegawai tetap dan penerima pensiun yang PPh
Pasal 21 nya dipotong oleh pemberi kerja maupun dana pensiun, maka Anda
berhak menerima bukti pemotongan setiap awal tahun.
3. Apabila Anda berstatus sebagai penerima honorarium, bukan pegawai, dan
peserta kegiatan yang penghasilannya dipotong PPh Pasal 21-nya oleh pemberi
penghasilan, maka Anda berhak menerima bukti pemotongan PPh Pasal 21
72
setelah penghasilan dibayarkan.

73
4. Apabila Anda menerima penghasilan dari pemberi kerja, namun PPh Pasal 21-nya
tidak dipotong, maka penghasilan tersebut wajib diperhitungkan dan dilaporkan
melalui SPT Tahunan PPh Orang Pribadi serta membayar kekurangan pajaknya
menggunakan kode billing dengan kode MAP 411125 dan kode jenis setoran 200.

Seperti yang sudah disinggung di atas, tarif PPh Pribadi atau PPh 21 bertambah satu
lapis dan layer penghasilan yang dikenakan PPh Pribadi juga mengalami perubahan.
1. Penghasilan Kena Pajak (PKP)

Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015


Penghasilan Kena Pajak adalah pegawai tetap dan penerima pensiun berkala
dikenakan PKP sebesar Penghasilan Netto dikurangi Penghasilan Tidak Kena
Pajak (PTKP) terbaru. Sementara pegawai tidak tetap dikenakan PKP sebesar
Penghasilan Bruto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) terbaru.
Sedangkan untuk pegawai yang termuat dalam Peraturan Direktorat
Jenderal Pajak No. PER-32/PJ/2015 Pasal 3 huruf c, dikenakan sebesar 50% atas
PKP dari jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP dalam satu bulan.
2. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) merupakan pendapatan yang tidak


dikenai Pajak Penghasilan seperti yang termuat dalam PPh Pasal 21. Menurut
DJP, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dijelaskan sebagai pengeluaran untuk
memenuhi kebutuhan dasar Wajib Pajak beserta keluarga, dalam satu tahun. Maka
tidak termasuk dalam PPh Pasal 21. Singkatnya pph 21 yang dikenakan berapa
persen nilainya setelah dikurangi PTKP ini. Seperti diketahui, besar PTKP dapat
berubah sewaktu-waktu melalui peraturan pelaksana perundang-undangan
perpajakan.
Perubahan besar PTKP terakhir kali pada tahun 2016 yang ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK. 010/2016.Berdasarkan PMK
101/2016 tersebut, Wajib Pajak tidak akan dikenakan pajak penghasilan apabila
penghasilan Wajib Pajak sama dengan atau tidak lebih dari Rp54.000.000 dan
tambahan besar PTKP yang disesuaikan dengan status WP.

Dalam UU HPP, besar PTKP tidak berubah, yakni:


● Rp54.000.000 per tahun / Rp4,5 juta per bulan untuk diri Wajib Pajak
Orang Pribadi lajang tanpa tanggungan.
● Tambahan Rp4.500.000 untuk Wajib Pajak yang kawin.
● Rp54.000.000 untuk istri yang memiliki jumlah penghasilan tersebut telah
digabung dengan penghasilan suami.

74
● Tambahan Rp4. 500.000 untuk setiap anggota keluarga kandung serta
keluarga dalam garis keturunan serta anak angkat yang menjadi
tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga.

3. Tarif Pajak Progresif PPh Pribadi Pasal 21

Berdasarkan Pasal 17 Ayat 1 UU PPh, perhitungan tarif pajak pribadi


menggunakan tarif progresif dengan tarif pajak progresif tertinggi 30%. Dalam
RUU HPP yang di dalamnya merevisi beberapa undang-undang perpajakan salah
satunya UU PPh, maka tarif pajak progresif atau PPh 21 pribadi berapa persen
untuk mengetahui besaran PPh Terutang adalah sebagai berikut:

Sedangkan untuk Wajib Pajak yang tidak memiliki NPWP dikenakan tarif
sebesar dua kali lipat lebih tinggi daripada Wajib Pajak yang telah memiliki
NPWP.

10.4 PPh Pasal 21 Pegawai Tetap


Berdasarkan Nomor PER-16/PJ/2016 bahwa PPh 21 pegawai tetap adalah
penghasilan bagi karyawan tetap yang berupa gaji, upah, tunjangan, dan imbalan lainnya
dengan nama apapun. Baik itu oleh pemberi kerja maupun termasuk lembur.
Adapun beberapa metode perhitungan PPh 21 karyawan yaitu:

1. Gaji Kotor Tanpa Tunjangan Pajak (Metode Gross)

Untuk metode gaji kotor bagi karyawan atau penerima penghasilan ini
biasanya menanggung pajak penghasilan terutangnya sendiri. Hal ini bisa
diartikan bahwa gaji pegawai tersebut belum dipotong PPh 21 karyawan.
2. Gaji Bersih Dengan Tunjangan Pajak (Metode Gross-Up)

Selain itu pada metode gaji bersih dan tunjangan pajak yang ditanggung
sendiri oleh karyawan atau penerima penghasilan, namun tunjangan ini dibantu
oleh perusahaan. Dimana gaji pegawai dinaikan lebih dahulu lalu dipotong PPh
21 karyawan.

75
3. Gaji Bersih Dan Tunjangan Pajak Ditanggung Perusahaan (Metode Net)

Sedangkan pada metode terakhir PPh 21 karyawan atau penerima


penghasilan, dengan kebijakan menerima gaji bersih dan tunjangan yang
ditanggung oleh perusahaan sepenuhnya.

Kebijakan Bukti Potong 1721 A1/A2 Pada Pegawai Tetap


Dimana ketentuan ini melalui DJP Nomor PER-16/PJ/2016 dalam pasal 23 yaitu:
1. Pemotongan dari PPh Pasal 21/26 harus menyerahkan bukti pemotongan PPh
Pasal 21 atas penghasilan, atau yang diperoleh pegawai tetap, baik itu penerima
pensiun berkala dengan jangka waktu 1 bulan setelah tahun kalender berakhir.
2. Untuk pegawai tetap yang sudah berhenti bekerja sebelum bulan Desember, maka
bukti pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan pada ayat 1 harus diserahkan paling
lambat 1 bulan setelah berhenti bekerja.
3. Bagi pemotongan PPh Pasal 21/26 karyawan harus menyertakan pemotongan
bukti PPh Pasal 21 atas selain Pegawai Tetap maupun penerima pensiun pada ayat
(1), disertai dengan bukti pemotongan PPh Pasal 26 ketika adanya pemotongan
PPh Pasal 26.
4. Pada 1 bulan kalender, bagi pegawai menerima penghasilan dapat dilakukan lebih
dari 1 kali pembayaran penghasilan, serta bukti pemotongan PPh Pasal 21/26
sebagaimana tertera di ayat 3 dengan dibuat sekali untuk 1 bulan kalender.
5. Kebijakan bentuk formulir pemotongan PPh Pasal 21/26 sudah ditetapkan dengan
Peraturan DJP itu sendiri.

Seperti penjelasan di atas bahwa penghasilan yang diterima oleh pegawai tetap
berarti bukti potongnya harus berupa 1721 A1/A2 yang diterbitkan dengan penghasilan 1
tahun pajak. Bahkan tidak melebihi PTKP yang sesuai dengan ayat 1. Meski ketentuan
perpajakannya berbeda dengan pegawai tetap, jenis pajak yang dikenakan sama yakni
PPh Pasal 21.
Seperti sudah disebutkan di atas, PPh 21 pegawai tidak tetap punya ketentuannya
sendiri. Salah satu contoh ketentuan itu misalnya, PPh 21 hanya dikenakan pada tenaga
kerja lepas yang memiliki penghasilan senilai Rp 450.000 per hari atau lebih.
Berikut ini daftar ketentuan khusus dalam PPh 21 pegawai tidak tetap:
1. Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 jika penghasilan sehari belum
melebihi Rp 300.000.
2. Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, jika penghasilan sehari sebesar atau
melebihi Rp 450.000 merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
3. Bila pegawai tidak tetap memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 bulan
kalender melebihi Rp 4.500.000 , maka jumlah tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
4. Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan, atau
upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
76
5. PTKP sebenarnya adalah untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
6. PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah
sebesar PTKP per tahun Rp 54.000.000 dibagi 360 hari.
7. Bila pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas tersebut mengikuti program
jaminan atau tunjangan hari tua, maka iuran yang dibayar sendiri dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto.

10.5 PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap


Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima
penghasilan jika bekerja berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit pekerjaan yang
dihasilkan, atau menyelesaikan suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.
Istilah yang digunakan bagi penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas
adalah imbalan atau upah harian, mingguan, atau upah borongan.
Seperti sudah disebutkan di atas, PPh 21 pegawai tidak tetap punya ketentuannya
sendiri. Salah satu contoh ketentuan itu misalnya, PPh 21 hanya dikenakan pada tenaga
kerja lepas yang memiliki penghasilan senilai Rp 450.000 per hari atau lebih.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 102/ PMK.010/2016 tentang
Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan dari Pegawai Harian dan
Mingguan serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak
Penghasilan ada beberapa ketentuan yang harus Anda ketahui seperti:
1. PPh 21 pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang penghasilannya kurang
dari Rp 450.000 per hari tidak dikenakan pemotongan penghasilan.
2. Ketentuan penghasilan tidak kena pajak itu tidak berlaku jika:
● Penghasilan bruto dimaksud jumlahnya melebihi Rp 4.500.000 sebulan
● Penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan
● Penghasilan berupa honorarium
● Komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar
asuransi. yunn yunn bantuan yun

77
10.6 Cara Perhitungan PPh Pasal 21
Contoh Penghitungan PPh 21 untuk Karyawan atau Pegawai Tetap
Berikut ini adalah contoh penghitungan PPh 21 untuk karyawan atau pegawai
tetap dengan memperhitungkan PTKP.
Sita Rianti adalah karyawati pada perusahaan PT. Onix Komunika dengan status
menikah dan mempunyai tiga anak. Suami Sita merupakan pegawai negeri sipil di
Kementerian Komunikasi & Informatika. Sita menerima gaji Rp 6.000.000 per bulan.
PT. Onix Komunika mengikuti program pensiun dan BPJS Kesehatan. Perusahaan
membayarkan iuran pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan sebesar 1% dari perhitungan
gaji, yakni senilai Rp 60.000 per bulan.
Di samping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua (JHT)
karyawannya setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Sita membayar iuran (JHT)
setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan
Jaminan Kematian (JK) dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-masing
sebesar 0,24% dan 0,3% dari gaji.
Pada bulan Juli 2016, di samping menerima pembayaran gaji, Sita juga menerima
uang lembur (overtime) senilai Rp 2.000.000.
Maka hasil perhitungannya adalah sebagai berikut:

Gaji Pokok 6.000.000

(i) Tunjangan Lainnya (jika ada) 2.000.000

(ii) JKK 0,24% 14.400

JK 0,3% 18.000

Penghasilan Bruto 8.032.400

78
Pengurangan:

1. (iii) Biaya jabatan 5% x 8.032.400 401.620

2. Iuran Jaminan Hari Tua (JHT), 2% dari gaji


120.000
pokok

3. (iv) Jaminan Pensiun (JP), 1% dari gaji 60.000


pokok
(581.620)

Penghasilan neto (bersih) sebulan 7.450.780

(v) Penghasilan neto setahun 12 x 7.450.780 89.409.360

(vi) PTKP 54.000.000

(54.000.000)

Penghasilan Kena Pajak Setahun 35.409.360

(vii) Pembulatan ke bawah 35.409.000

PPh Terutang 5% x 35.409.000 1.770.450

PPh Pasal 21 Bulan Juli: 1.770.450/12 147.538

Ilustrasi di atas berlaku bagi wajib pajak yang memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP). Sementara, bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP, akan dikalikan
120%, sehingga PPh Pasal 21 Bulan Juli menjadi Rp 147.538 x 120% = Rp 177.046.
Penjelasan:
(i) Tunjangan lainnya seperti tunjangan transportasi, uang lembur, akomodasi,
komunikasi, dan tunjangan tidak tetap lainnya. Umumnya tunjangan tersebut dapat
diberikan oleh perusahaan atau tidak, tergantung dari kebijakan perusahaan itu sendiri.
(ii) Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) berkisar antara 0.24% – 1.74% sesuai
kelompok jenis usaha seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun

79
2007. Di OnlinePajak, tarif iuran JPP yang diterapkan adalah tarif JKK yang paling
umum dipakai perusahaan-perusahaan yaitu 0.24%.
(iii) Biaya Jabatan sebesar 5% dari Penghasilan Bruto, setinggi-tingginya Rp 500.000
sebulan, atau Rp 6.000.000 setahun
(iv) Jaminan atau Iuran Pensiun ditentukan oleh lembaga keuangan yang pendiriannya
disahkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan ditunjuk oleh perusahaan. Jumlah
persentase yang diterapkan di sini adalah 1%.
(v) Penghasilan Neto: Jika pegawai merupakan pegawai lama (lebih dari satu tahun) atau
pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Januari tahun itu, maka penghasilan neto
dikalikan 12 untuk memperoleh nilai penghasilan neto setahun.
Namun jika pegawai merupakan pegawai baru yang mulai bekerja pada bulan Mei
(sekadar contoh), maka penghasilan neto setahun dikalikan 8 (diperoleh dari
penghitungan bulan dalam setahun: Mei-Desember = 8 bulan).
Pada contoh ini diasumsikan pegawai merupakan pegawai baru yang mulai
bekerja pada bulan Januari.
(vi) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berfungsi untuk mengurangi penghasilan
bruto, agar diperoleh nilai Penghasilan Kena Pajak yang akan dihitung sebagai objek
pajak penghasilan milik wajib pajak.
Pada contoh ini WP sudah menikah dan memiliki tiga tanggungan anak, namun
karena suami WP menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya PTKP WP Sita
adalah PTKP untuk dirinya sendiri (TK/0).
(vii) Penghasilan Kena Pajak harus dibulatkan ke bawah hingga nominal ribuan penuh,
atau 3 angka di belakang (ratusan rupiah) adalah 0. Contoh: 56.901.200,00 menjadi
56.901.000.

Cara Perhitungan PPh 21 Karyawan dengan Tunjangan Pajak


Cara menghitung PPh 21 karyawan atau pegawai tetap yang menerima tunjangan
pajak (gross up) dari perusahaan tempatnya bekerja adalah dengan memperlakukan
tunjangan pajak sebagai penghasilan pegawai dan ditambahkan pada penghasilan yang
diterimanya.
Contoh Perhitungan PPh 21 secara manual untuk karyawan yang menerima
tunjangan pajak adalah sebagai berikut:
Fahri bekerja pada PT Kartika Kawashima. Status-nya belum menikah dan tidak
mempunyai tanggungan dengan gaji bersih senilai Rp 5.500.000 sebulan.
Perusahaan tempatnya bekerja memberikan tunjangan pajak penuh kepada Fahri
sejumlah Rp 35.167. Sementara, iuran pensiun yang dibayar Fahri adalah Rp 55.000
sebulan.

80
Jadi, Contoh Hasil Perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 bulan Agustus 2016
bagi Fahri yang tidak menerima penghasilan lain dari PT. Kartika Kawashima selain gaji
adalah:

Gaji Pokok 5.500.000

(i) Tunjangan Pajak 35.167

Penghasilan bruto (kotor) sebulan 5.464.833

Pengurangan

1. (iii) Biaya Jabatan: 5% x 5.464.833,00 = 276.758,00 276.758

2. Iuran/Jaminan Pensiun, 1% dari gaji pokok 55.000

3. (iv) JP (Jaminan Pensiun), 1% dari gaji pokok, jika ada 60.000

(331.758)

(v) Penghasilan neto (bersih) sebulan 5.203.408

Penghasilan neto setahun 12 x 5.203.408,00 62.440.900

54.000.00
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) 0

(54.000.000)

(vii) Penghasilan Kena Pajak Setahun 8.440.000

PPh Terutang

5% x 8.440.000,00 422.000

35.167
PPh Pasal 21 Bulan September = 422.000 / 12

Jika wajib pajak tidak memiliki NPWP, maka PPh 21 perlu dikalikan 120%,
sehingga PPh 21 terutangnya menjadi Rp 35.167 x 120% = Rp 42.200

81
BAB XI
PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

11.1 Objek Pajak PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 atau Pajak Penghasilan Pasal 22 dikenakan kepada badan-badan
usaha tertentu, baik milik pemerintah maupun swasta yang melakukan kegiatan
perdagangan ekspor, impor dan re-impor.
Melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan RI No. 92/PMK.03/2019 tentang
Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang
Wajib Pajak Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pemberi atas Penjualan
Barang yang Tergolong Sangat Mewah, pemerintah melebarkan badan-badan yang
berhak memungut PPh Pasal 22 yaitu menjadi wajib pajak badan yang melakukan
penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan
Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan perdagangan
barang. Pada umumnya, PPh Pasal 22 dikenakan terhadap perdagangan barang yang
dianggap “menguntungkan”, sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima
keuntungan dari perdagangan tersebut.
Berdasarkan PMK Nomor 34/PMK.010/2017 terkait penarikan PPH 22 yang
berkaitan dengan pembayaran atas penyerahan dan kegiatan dalam bidang impor atau
kegiatan bisnis dalam bidang lain, maka objek PPh pasal 22 adalah sebagai berikut:

1. Impor Barang dan Ekspor

Aktivitas ekspor dan impor barang yang dilakukan oleh eksportir akan
dikenakan PPh 22, beberapa barang komoditas di dalamnya adalah tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam.

2. Pembayaran Atas Pembelian Barang

Pembayaran atas pembelian barang yang dikenakan PPh pasal 22 adalah


yang dilakukan oleh pihak bendahara pemerintah dan KPA atau Kuasa Pengguna
Anggaran sebagai pemungut pajak pada pihak pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Lembaga atau instansi pemerintah, serta berbagai lembaga negara
lainnya.

3. Pembayaran Atas Pembelian Barang

Pembayaran atas pembelian barang yang akan dikenakan PPh pasal 22


adalah yang dilakukan dengan cara uang persediaan yang dilakukan oleh pihak
bendahara pengeluaran.

82
4. Pembayaran Atas Pembelian Barang Kepada Pihak Ketiga

Pembayaran atas pembelian barang pada pihak ketiga yang akan


dikenakan PPh 22 dengan mekanisme pembayaran langsung oleh KPA, serta
pejabat yang mengeluarkan surat perintah membayar yang diberi delegasi oleh
KPA.

5. Pembayaran Atas Pembelian Barang Untuk BUMN

Pembayaran atas pembelian barang dan atau berbagai bahan untuk BUMN
yang akan dikenakan PPh 22 adalah untuk kebutuhan kegiatan bisnisnya.
6. Penjualan Hasil Produksi Kepada Distributor

Penjualan pada hasil produksi pada distributor yang dikenakan PPh pasal
22 adalah distributor dari dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak di dalam
bidang bisnis industri semen, kertas, baja, otomotif, farmasi, dan industri hulu.

7. Penjualan Kendaraan Bermotor

Penjualan kendaraan bermotor yang nantinya akan dikenakan PPh pasal 22


adalah penjualan dari dalam negeri oleh Agen Tunggal Pemegang Merek
(ATPM), Agen Pemegang Merek (APM) dan Importir umum kendaraan
bermotor.
8. Penjualan Migas

Penjualan migas yang akan dikenakan PPh 22 oleh produsen ataupun


importir ini diantaranya adalah bahan bakar minyak, bahan bakar gas dan
pelumas.
9. Pembelian bahan-bahan dari pedagang pengumpul

Pembelian berbagai bahan dari pihak pedagang pengepul yang akan


dikenakan PPh 22 ini adalah untuk kebutuhan industri atau ekspor oleh eksportir
dan industri yang bergerak dalam bidang perkebunan, kehutanan, pertanian,
peternakan, dan perikanan.
10. Penjualan barang yang tergolong sangat mewah

Penjualan atas barang yang masuk dalam kategori sangat mewah akan
dikenakan PPh 22 dan akan dilakukan oleh wajib pajak badan.
Diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2015
tentang Wajib Pajak Badan Tertentu sebagai Pemungut Pajak Penghasilan dari Pembeli
atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah. Barang yang tergolong sangat
mewah adalah :
1. Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi;
2. Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya;
3. Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari
83
Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 400m2;

84
4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya
lebih dari Rp5 miliar atau luas bangunan lebih dari 150m2;
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang berupa
sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mpv), minibus, dan
sejenisnya dengan harga jual lebih dari Rp2 miliar atau dengan kapasitas silinder
lebih dari 3000cc; dan/atau
6. Kendaraan bermotor roda dua dan tiga dengan harga jual lebih dari Rp300 juta
atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250cc.

11.2 Bukan Objek Pajak Pasal 22


Ketentuan mengenai pengecualian dari objek PPh Pasal 22 tertuang dalam Pasal 3
PMK 34/2017, yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 adalah:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang- undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau Pajak
Pertambahan Nilai:
1) Barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di
Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
2) Barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang
bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui
dan terdaftar dalam peraturan menteri keuangan yang mengatur tentang
tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang
untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas
di Indonesia;
3) Barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial,
kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
4) Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan
tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
5) Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan Ilmu pengetahuan
6) Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat
lainnya;
7) Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
8) Barang pindahan;
9) Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan
barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan kepabeanan;
10) Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang
ditujukan untuk kepentingan umum;
11) Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang
yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
12) Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi
keperluan pertahanan dan keamanan negara;

85
13) Vaksin Pollo dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi
Nasional (PIN);
14) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
15) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan
penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal
tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau alat
keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan
Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan ikan nasional,
Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan
Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional
sesuai dengan kegiatan usahanya;
16) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau
alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan
yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga
Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam
rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada
Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
17) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau
pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh oleh badan
usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/ atau badan usaha
penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan
yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara
sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara
prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta
api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta
prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha
penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha
penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
18) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian
Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas
dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk
mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian
Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;
19) Barang untuk kegiatan hulu Minyak dan Gas Bumi yang importasinya
dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama; dan/atau
20) Barang untuk kegiatan usaha panas bumi.
3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk
diekspor kembali;

4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor


kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang

86
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf i, dan huruf j berkenaan dengan:

1) Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d yang jumlahnya paling
banyak Rp 2.000.000 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan
merupakan pembayaran yang dipecah dart suatu transaksi yang nilai
sebenarnya lebih dart Rp 2.000.000;
2) Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e yang jumlahnya paling banyak
Rp10.000.000 tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan
merupakan pembayaran yang dipecah dart suatu transaksi yang nilai
sebenarnya lebih dart Rp10.000.000.
3) Pembayaran untuk:
- pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-
benda pos;
- pemakaian air dan listrik;
4) Pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk
sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang
dihasilkan di Indonesia dari:
- kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan
kontrak kerja sama;
- kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi
berdasarkan kontrak kerja sama; atau
5) Pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan
panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha
panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya
panas bumi;
6) Pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian,
peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur
untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau
eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf i yang
jumlahnya paling banyak Rp 20.000.000 tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai dalam satu masa pajak;
7) Pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari badan
atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf yang telah dipungut Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/ atau bahan-bahan untuk
keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf e.

87
6. Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan
dari emas untuk tujuan ekspor.

7. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana


Bantuan Operasional Sekolah (BOS)

8. Penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri


otomotif, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek
(APM), dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan
Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c UU PPh.

9. Penjualan emas batangan oleh badan usaha yang melakukan penjualan emas
batangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) huruf k kepada Bank
Indonesia.

10. Pembelian gabah dan/atau beras oleh bendahara pemerintah (Kuasa Pengguna
Anggaran, pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh
Kuasa Pengguna Anggaran, atau bendahara pengeluaran).

11. Pembelian gabah dan/atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik
(Perum BULOG).

12. Pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan
stabilisasi harga pangan oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum
BULOG) atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

11.3 PPh Pajak Pasal 22 Impor


PPh Pasal 22 atas impor adalah pemungutan pajak saat dilakukan pemasukan
barang dari luar negeri yang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:
- Importir yang bersangkutan, atau
- DJBC

ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dilakukan dengan menggunakan formulir Surat Setoran Pajak, Surat Setoran
Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) dan/atau Bukti Penerimaan
Negara yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara,
mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh
eksportir yang bersangkutan ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank
yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan formulir Surat Setoran
Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam rangka impor (SSPCP) dan/atau
Bukti Penerimaan Negara yang berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.

88
Tarif PPh Pasal 22 atas Impor
1. Barang tertentu (Lampiran I PMK-34/PMK.010/2017) dan barang kiriman sampai
batas jumlah tertentu yang dikenai bea masuk dengan tarif pembebanan tunggal
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan, sebesar 10%
dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
2. Barang tertentu lainnya (Lampiran II PMK-34/PMK.010/2017), sebesar 7,5% dari
nilai impor dengan atau tanpa menggunakan Angka Pengenal Impor (API);
3. barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu (Lampiran III PMK-
34/PMK.010/2017), sebesar 0,5% dari nilai impor dengan menggunakan Angka
Pengenal Impor (API);
4. Barang selain barang di atas (poin 1,2,3) yang menggunakan Angka Pengenal
Impor (API), sebesar 2,5% dari nilai impor;
5. Barang selain barang di atas (poin 1,2,3) yang tidak menggunakan Angka
Pengenal Impor (API), sebesar 7,5% dari nilai impor;dan/atau
6. barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% dari harga jual lelang.

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea
Masuk yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
kepabeanan di bidang impor.

Kode Akun Pajak Kode Jenis Setoran


- Atas SPT Masa PPh Pasal 22 impor menggunakan kode billing:
- KAP: 411123
- KJS: 100
- Atas PPh Pasal 22 atas Ekspor menggunakan kode billing:
- KAP: 411122
- KJS: 404

Saat Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 22 Impor


1. PPh Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran Bea Masuk.
2. Dalam hal pembayaran Bea Masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk
dalam pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22, PPh Pasal 22 terutang dan
dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
3. Apabila PPh Pasal 22 Atas impor dipungut oleh DJBC, DJBC harus menyetorkan
hasil pemungutannya dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah dilakukan
pemungutan pajak. DJBC harus melaporkan hasil pemungutannya secara
mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya.

89
11.4 PPh Pasal 22 Bendaharawan
PPh pasal 22 bendaharawan adalah penarikan pajak penghasilan pasal 22 yang
dilakukan oleh bendaharawan pemerintah atas adanya penyerahan barang oleh mitra yang
dibiayai dari APBN atau APBD. Sederhananya, PPh 22 bendaharawan adalah pajak yang
ditarik oleh bendaharawan pemerintah, baik itu pemerintah pusat atau pemerintah daerah,
instansi, atau berbagai lembaga negara lainnya yang berhubungan dengan pembayaran
penyerahan.
Pada prinsipnya, PPh Pasal 22 adalah pemungutan atas penghasilan yang
dibayarkan sehubungan dengan pembelian barang.
Adapun yang ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 bendaharawan adalah:
1. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut
pajak pada Pemerintah Pusat, pemerintah daerah, instansi atau lembaga
pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran
atas pembelian barang.
2. Bendahara pengeluaran berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang
yang dilakukan dengan mekanisme uang persediaan (UP).
3. Bendahara pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan,
membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk
keperluan belanja negara dalam rangka pelaksanaan APBN pada kantor/satuan
kerja kementerian negara/lembaga.
4. KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh
KPA berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga
yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS).

Berdasarkan Undang-Undang No.36/2008, objek pajak PPh Pasal 22 adalah


barang yang dianggap menguntungkan. Maksudnya adalah baik penjual maupun pembeli
sama- sama bisa mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan tersebut.
Sementara objek PPh Pasal 22 sesuai Peraturan Menteri Keuangan
No.34/PMK.010/2017 adalah impor barang dan ekspor barang komoditas tambang
batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir.
Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dilakukan pada saat pembelian barang
atau pelaksanaan pembayaran oleh bendaharawan pemerintah atas penyerahan barang
oleh rekanan yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan tarif 1,5% x
harga/nilai pembelian barang.
Apabila wajib pajak penerima penghasilan (rekanan) tidak memiliki Nomor Pajak
Wajib Pajak (NPWP) maka tarifnya 100% lebih tinggi dari tarif sebenarnya atau menjadi
3% atau (1,5% x 200%).
Untuk mengetahui Tarif PPh Pasal 22 Bendaharawan, berikut beberapa pembagiannya:

90
1. Impor

Memakai Angka Pengenal Importir (API) = 2,5% x nilai impor.


Non-API = 7,5% x nilai impor;
Tidak dikuasai = 7,5% x harga jual lelang.
2. Pembelian barang DJPb, Bendahara Pemerintah, BUMN/BUMD = 1,5% x harga
pembelian (tak termasuk PPN & tidak final).
3. Penjualan produk yang ditentukan atas dasar Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
yakni:

Semen = 0.25% x Dasar Pengenaan Pajak PPN (tidak final)


Kertas = 0.1% x Dasar Pengenaan Pajak PPN (tidak final)
Otomotif = 0.45% x Dasar Pengenaan Pajak PPN (tidak final)
Baja = 0.3% x Dasar Pengenaan Pajak PPN (tidak final)
4. Penjualan produk atau pemberian produk oleh produsen atau importir bahan bakar
minyak, pelumas, serta gas. Pemungutan PPh Pasal 22 kepada agen/penyalur,
sifatnya final. Di luar agen/penyalur, sifatnya tidak final.
5. Pembelian bahan yang diperlukan industri atau ekspor dari pedagang, maka
ditentukan 0,25 % x harga beli (tak termasuk PPN).
6. Impor kedelai, tepung terigu serta gandum oleh importir yang memakai API =
0,5% x nilai impor.
7. Penjualan (5% harga jual tidak termasuk PPN dan PPnBM).
- Pesawat udara seharga lebih dari Rp20 juta.
- Kapal pesiar serta sejenisnya seharga lebih dari Rp10 juta.
- Rumah dan tanahnya seharga atau pengalihan harganya lebih dari Rp10
juta dengan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi.
- Apartemen, kondominium, serta sejenisnya seharga atau pengalihan
harganya lebih dari Rp10 juta dan/atau luas bangunan lebih dari 400 meter
persegi.
- Kendaraan roda empat dengan pengangkutan kurang dari sepuluh orang
berupa seharga lebih dari Rp5 miliar. Selain itu, juga kapasitas silinder
lebih dari 3.000 CC.
8. Bagi yang tidak mempunyai Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) akan dilakukan
pemotongan 100% lebih tinggi dari tarif PPh Pasal 22 yang tercantum.

Pembayaran PPh 22 bendaharawan


1. PPh Pasal 22 dipungut pada setiap pelaksanaan pembayaran oleh KPP
Pratama/KPPN atau Bendahara atau penyerahan barang oleh Wajib Pajak.

91
2. PPh Pasal 22 yang pemungutnya dilakukan oleh Bendahara harus disetor pada
hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang
dibiayai dari belanja negara.
3. Penyetoran dilakukan ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi oleh atas nama rekanan serta
ditandatangani oleh Bendahara. Dalam hal pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), SSP juga diisi oleh atas nama
rekanan serta ditandatangani oleh KPPN.
4. Dalam hal rekanan belum mempunyai NPWP, maka kolom NPWP pada SSP
cukup diisi angka 0 (nol) kecuali untuk tiga digit kolom kode Kantor Pelayanan
Pajak (KPP) Pratama diisi dengan kode KPP Pratama/KPP tempat bendahara
terdaftar.

Pengecualian pemungutan PPh 22 bendaharawan


Berikut pengecualian pemungutan PPh Pasal 22:
1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang PPh, dinyatakan dengan Surat Keterangan
Bebas (SKB).
2. Impor barang yang dibebaskan dari Bea Masuk dan atau Pajak Pertambahan Nilai
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.
3. Impor sementara jika waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor
kembali, dan dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai.
4. Pembayaran atas pembelian barang oleh pemerintah atau yang lainnya yang
jumlahnya paling banyak Rp2 juta dan tidak merupakan pembayaran yang
terpecah-pecah.
5. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, air minum, dan
benda-benda pos.
6. Emas batangan yang akan di proses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor, dinyatakan dengan SKB.
7. Pembayaran/pencairan dana Jaring Pengaman Sosial oleh Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
8. Impor kembali (re-impor) dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian yang
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
9. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Bulog.
10. Pembelian barang dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
11. Pembelian barang dengan nilai maksimal pembelian Rp2 juta dengan tidak
dipecah-pecah dalam beberapa faktur.

11.5 PPh Pasal 22 Produk Pertamina


Pemungut PPh Pasal 22 ini adalah Produsen atau importir bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas (Pasal 1 ayat (1) huruf h PMK-34/PMK.010/2017).

92
Pemungutan PPh Pasal 22 oleh Pemungut Pajak atas penjualan bahan bakar minyak
dan bahan bakar gas kepada:
- penyalur/agen bersifat final;
- selain penyalur/agen bersifat tidak final
- Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan pelumas bersifat tidak final dan dapat
diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak
yang dipungut.

Tarif PPh Pasal 22 Penjualan BBM, BBG dan Pelumas


Tarif PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan
pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
adalah sebagai berikut:

Besarnya tarif pemungutan yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak
memiliki NPWP adalah lebih tinggi 100% daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib
Pajak yang dapat menunjukkan NPWP hanya untuk objek yang bersifat tidak final (Pasal
2 ayat (4) dan (6) PMK-34/PMK.010/2017).
Mekanisme Pemungutan PPh Pasal 22 Pembelian BBM, BBG dan Pelumas
- Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak wajib disetor oleh pemungut ke
kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh Menteri
Keuangan dengan menggunakan SSP/Kode billing dengan kode akun pajak:
- KAP: 411122
- KJS:
- untuk agen/penyalur: 401

93
- selain agen/penyalur: 100
- Pemungut pajak wajib menerbitkan Bukti Pemungutan PPh Pasal 22 (formulir
bukti pemungutan PPh Pasal 22 sesuai Lampiran III.3 PER-53/PJ/2009)
- Penyetoran dilakukan paling lama pada tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
- Pelaporan dilakukan paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir.

11.6 Cara Perhitungan PPh Pasal 22


Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 Impor
PT AAA mengimpor barang dari Kanada dengan harga faktur senilai
US$500.000. Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam
barang-barang tertentu yang ditentukan dalam PMK No. 16/PMK.010 Tahun 2016. Biaya
asuransi yang dibayar di luar negeri sebesar 3% dari harga faktur dan biaya angkut
sebesar 5% dari harga faktur. Bea Masuk (BM) sebesar 10% dan Bea Masuk Tambahan
sebesar 6%. Kurs pajak saat itu sebesar Rp14.550 per dolar Amerika Serikat.
Maka, perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut Ditjen Bea Cukai adalah:

No Diketahui Perhitungan Nilai

a Harga Faktur (Cost) US$500.000

b Biaya Asuransi (Insurance) (3% x US$500.000) US$15.000

c Biaya Angkut (Freight) (5% x US$500.000) US$25.000

CI (Cost, Insurance, Freight) (a + b + c) US$40.000


F

d CIF (dalam rupiah) (Rp540.000 + Rpp14.550) Rp7.857.000.000

e Bea Masuk (10% x Rp7.857.000.000) Rp785.700.000

f Bea Masuk Tambahan (6% x Rp7.857.000.000) Rp471.420.000

Nilai Impor (d + e + f) Rp9.114.120.000

94
1. Perhitungan PPh Pasal 22 jika memiliki API
Jika PT AAA memiliki angka pengenal impor, maka hitungan PPh Pasal 22 dari
impor barang tersebut sebagai berikut:
= (Tarif PPh Pasal 22 memiliki API x Nilai Impor)
= 2,5% x Rp9.114.120.000
= Rp227.853.000
2. Perhitungan PPh 22 jika tidak memiliki API
Ketika PT AAA tidak memiliki angka pengenal impor, hitungan Pajak
Penghasilan Pasal 22 dari impor barang tersebut adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 tidak punya API x Nilai Impor)
= 7,5% x 9.114.120.000
= Rp683.559.000

Contoh Perhitungan PPh Pasal 22 Bendaharawan


PT AAA berkedudukan di Kota Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor
untuk Dinas Pendidikan Kota Bogor. Pada tanggal 1 Agustus 2022, PT AAA melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dengan nilai kontrak sebesar Rp20.000.000 (nilai
sudah termasuk PPN).
Maka, perhitungan PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota Bogor adalah:

No. Diketahui Nilai

1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp22.000.000

2 DPP (100/111) x Rp22.000.000 Rp19.819.819,8

3 PPN dipungut (11% dari DPP) Rp2.180.180,2

4 PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp22.000.000) Rp330.000

Jadi, besar Pajak Penghasilan pasal 22 yang dipungut Dinas Pendidikan Kota
Bogor sebesar Rp330.000, karena PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk
PPN.
Perlu diketahui, atas pembelian barang yang dananya berasal dari belanja negara
atau belanja daerah yang dikecualikan dari pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah:
Pembayaran atas penyerahan barang (bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah)
dengan jumlah kurang dari Rp1.000.000. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar
minyak, listrik, gas, air minum/PDAM, dan benda-benda pos. Pembayaran/pencairan
dana Jaring Pengaman Sosial (JPS) oleh kantor Perbendaharaan dan Kas Negara.
95
BAB XII
PPH PASAL 23

12.1 Latar Belakang


Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh pasal 23) yaitu pajak penghasilan yang dikenakan
atas penghasilan wajib pajak dalam Negeri atau bentuk usaha tetap yang menerima atau
memperoleh penghasilan yang berasal dari modal penyerahan jasa atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana yang dimaksud PPh Pasal 21.
Dalam UU pajak penghasilan Pasal 23 No. 36 Tahun 2008 dimana yang dapat
memotong PPh 23 adalah badan pemerintah. Wajib pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usaha tetap, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya dan wajib pajak
orang dalam negeri tertentu yang ditunjuk Direktur Jenderal Pajak. Dengan diterbitkan UU
Pajak Penghasilan Pasal 23 No. 36 Tahun 2008 tentang ketentuan umum dan tatacara
perpajakan maka telah terjadi reformasi perpajakan yang dilakukan pihak Direktorat Jenderal
Pajak sehingga wajib pajak diharapkan menjadi lebih patuh dan diberikan segala bentuk
kemudahan dalam proses perpajakan. Disamping itu penghasilan yang diperoleh atas kegiatan
usaha badan akan dikenakan pajak penghasilan badan.

12.2 Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 Menurut Ziski Aziz (2016:114) Pajak penghasilan
pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Badan Usaha Tetap yang berasal dari modal,
penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan
Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam
negeri, penyelenggara kegiatan. Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri
lainnya.Subjek Pajak atau penerima penghasilan yang dipotong Pajak Penghasilan Pasal 23
adalah Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap.

12.3 Pemotong PPh Pasal 23


Berdasarkan ketentuan pasal 2 peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010
Pemotong PPH pasal 23 adalah pihak-pihak yang membayarkan penghasilan yang terdiri atas:
a. Badan pemerintah
b. Subjek pajak badan dalam negeri
c. Penyelenggara kegiatan
d. Bentuk Usaha Tetap
e. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.
f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh Kepala
Kantor Pelayan Pajak sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23, yaitu:
- Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali
Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut adalah camat, pengacara dan konsultan
yang melakukan pekerjaan bebas; atau

96
- Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan atas
pembayaran berupa sewa.
- Wajib pajak orang pribadi ini hanya melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas
sewa selain tanah dan bangunan saja.

12.4 Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23


Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 diantaranya ;
1. Wajib Pajak Badan Dalam Negeri;
2. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Berikut untuk memahami lebih lanjut terkait ketentuan hukum yang berlaku untuk PPh 23:
a. UU Nomor 7 Pasal 4 tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan;
b. UU Nomor 7 Pasal 23 tahun 1983 stdtd UU Nomor 36 tahun 2008 tentang pajak
penghasilan;
c. Peraturan Menteri Keuangan No. 244/PMK.03/2008 tentang jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf C angka 2 UU No. 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan;
d. Peraturan Menteri Keuangan No. 141/PMK.03/2015 tentang jenis jasa lain
sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf C angka 2 UU No. 7 tahun
1983 tentang pajak penghasilan;
e. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-50/PJ/1994 tentang penunjukan wajib
pajak orang pribadi dalam negeri tertentu sebagai pemotong pajak penghasilan pasal
23;
f. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-04/PJ/2017 tentang bentuk, isi, tata cara
pengisian dan penyampaian surat pemberitahuan masa pajak penghasilan pasal 23
dan/atau pasal 26 serta bentuk bukti pemotongan pajak penghasilan pasal 23 dan/atau
pasal 26;
g. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-08/PJ.4/1995 tentang wajib pajak orang
pribadi dalam negeri yang ditunjuk sebagai pemotong pajak penghasilan pasal 23.

12.5 Penghasilan yg dikenakan PPh pasal 23


Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh Pasal 23) adalah pajak yang dikenakan pada
penghasilan atas modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang telah
dipotong PPh Pasal 21.
Ada dua jenis tarif pajak yang dikenakan pada penghasilan yang menjadi objek PPh
23, yaitu tarif 15% dan tarif 2%. Penetapan tarif ini dibedakan berdasarkan jenis penghasilan.
Berikut adalah rincian tarif PPh 23:

97
Jenis Penghasilan Tarif

Penghasilan sehubungan dengan Penyertaan Modal

● Dividen yang diterima oleh PT/BUMN/BUMD dengan syarat


kepemilikan saham kurang dari 25%, kecuali pembagian dividen
kepada orang pribadi yang dikenakan PPh Final;
● Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang; 15%
● Royalti;
● Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21.

Penghasilan sehubungan dengan sewa dan penggunaan harta

● Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,


2%
kecuali sewa tanah dan/atau bangunan

Penghasilan sehubungan dengan Imbalan Jasa

● Imbalan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa


konsultan, dan jasa lain yang diatur atau berdasarkan Peraturan 2%
Menteri Keuangan, selain jasa yang telah dipotong PPh 21.

Penghasilan atas Imbalan Jasa Lainnya (PMK No. 141/PMK.03/2015)

2%
● Jasa penilai (appraisal);
● Jasa aktuaris;
● Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
● Jasa hukum;
● Jasa arsitektur;
● Jasa perencanaan kota dan arsitektur landscape;
● Jasa perancang (design);
● Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas
bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap;
● Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan
minyak dan gas bumi (migas);
● Jasa penambangan dan jasa penunjang selain di bidang usaha panas
bumi dan penambangan minyak dan gas bumi (migas);
● Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;
● Jasa penebangan hutan;
● Jasa pengolahan limbah;

98
● Jasa penyedia tenaga kerja dan/atau tenaga ahli (outsourcing
services);
● Jasa perantara dan/atau keagenan;
● Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga, kecuali yang
dilakukan oleh Bursa Efek, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI)
dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI);
● Jasa kustodian/penyimpanan/penitipan, kecuali yang dilakukan oleh
Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI);
● Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara;
● Jasa mixing film;
● Jasa pembuatan sarana promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise,
banner, pamphlet, baliho dan folder;
● Jasa sehubungan dengan software atau hardware atau sistem
komputer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
● Jasa pembuatan dan/atau pengelolaan website;
● Jasa internet termasuk sambungannya;
● Jasa penyimpanan, pengolahan, dan/atau penyaluran data, informasi,
dan/atau program;
● Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas,
AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang
ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau
sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;
● Jasa perawatan/perbaikan/pemeliharaan mesin, peralatan, listrik,
telepon, air, gas, AC, TV kabel, dan/atau bangunan, selain yang
dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang
konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
● Jasa perawatan kendaraan dan/atau alat transportasi darat, laut dan
udara;
● Jasa maklon;
● Jasa penyelidikan dan keamanan;
● Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
● Jasa penyediaan tempat, dan/atau waktu dalam media massa, media
luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi, dan/atau
jasa periklanan;
● Jasa pembasmi hama;
● Jasa kebersihan atau cleaning service;
● Jasa sedot septic tank;Jasa pemeliharaan kolam
● Jasa catering atau tata boga;
● Jasa freight forwarding;
● Jasa logistik;
● Jasa pengurusan dokumen;
● Jasa pengepakan;
● Jasa loading dan unloading;
99
100
● Jasa laboratorium dan/atau dilakukan oleh lembaga atau pengujian
kecuali yang institusi pendidikan dalam rangka penelitian akademis;
● Jasa pengelolaan parkir;
● Jasa penyondiran tanah;
● Jasa penyiapan dan/atau pengolahan lahan;
● Jasa pembibitan dan/atau penanaman bibit;
● Jasa pemeliharaan tanaman;
● Jasa pemanenan;
● Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan,
dan/atau perhutanan;
● Jasa dekorasi;
● Jasa percetakan/penerbitan;
● Jasa penerjemahan;
● Jasa pengangkutan/ekspedisi kecuali yang telah diatur dalam Pasal
15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
● Jasa pelayanan kepelabuhan;
● Jasa pengangkutan melalui jalur pipa;
● Jasa pengelolaan penitipan anak;
● Jasa pelatihan dan/atau kursus;
● Jasa pengiriman dan pengisian uang ke ATM;
● Jasa sertifikasi;
● Jasa survey;
● Jasa tester, dan
● Jasa selain jasa-jasa tersebut diatas yang pembayarannya dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah

Dalam hal Wajib Pajak Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi
100% sebagai denda dari tarif yang telah ditentukan diatas. Perhitungan dilakukan dengan
mengalikan 200% dengan total pajak yang terutang.

PPh 23 yang harus dibayar : 200% x PPh 23 Terutang

101
12.6 Contoh soal PPh pasal 23
a. Pak Ahmad menerima royalti atas hak yang digunakan sebesar Rp30..000.000.
Berapa besar pemotongan PPh Pasal 23 atas royalti yang diberikan pada Pak
Ahmad?
➔ Tarif PPh Pasal 23 atas royalti = 15%-
➔ Besar royalti = Rp30.000.000

Besar pemotong PPh Pasal 23 atas royalti = 15% x Rp30.000.000

= Rp 4.500.000

Jadi, besar pemotongan PPh 23 atas royalti yang diterima Pak Ahmad adalah
senilai Rp 4.500.000

b. Tuan Ahmad menerima jasa merancang busana dengan jumlah bruto Rp20.000.000.
Berapa jumlah PPh yang harus dibayarkan Tuan Ahmad?
➔ Tarif Pasal 23 atas jasa = 2%
➔ Jumlah bruto jasa merancang busana = Rp 40.000.000

Besar pemotongan PPh Pasal 23 atas sewa = 2% x Rp 40.000.000

= Rp 800.000

Jadi, Tuan Ahmad sebagai pihak yang menerima penghasilan harus membayar
atau dipotong PPh Pasal 23 atas jasa sebesar Rp 800.000.

102
BAB XIII
PPH PASAL 24

13.1 Latar Belakang


Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai sesuatu kewajiban warga negara berupa
pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat untuk membiayai berbagai
keperluaan negara dalam pembangunan nasional, tanpa adanya imbalan secara langsung yang
pelaksanaannya diatur dalam undang-undang perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa
dan negara. Dengan demikian berkembangnya kondisi usaha bisnis baik ditingkat nasional
maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negri juga
meningkat.
Pajak penghasilan pasal 24 adalah pajak yang dipungut diluar negeri atas penghasilan
wajib pajak luar negeri . pajak yang dibayar diluar negeri atas penghasilan luar negeri yang
diperoleh wajib pajak dalam negeri ( WPDN) boleh dikreditkan dengan pajak yang terutang
dalam tahun pajak yang sama, sebesar pajak yang dibayarkan diluar negeri tersebut tapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan UU no 10 Tahun 1994. Untuk
itu harus dicari batas maksimum kredit pajak luar negeri (KPLN).
Dengan berkembangnya kondisi bisnis internasional, maka penghasilan yang diterima wajib
pajak dalam negeri juga beragam baik penghasilan yang berasal dari dalam negeri maupun
penghasilan yang berasal dari luar negeri. Dalam kegiatan ini tentunya terjadi tambahan
kemampuan ekonomis atau penghasilan yang didapat oleh wajib pajak dalam negeri dan juga
merupakan objek dari pajak khususnya PPh pasal 24. Disini peran pemerintah sangatlah
berpengaruh karena agar tidak terjadinya pengenaan pajak berganda antara negara dimana
tempat penghasilan ini bersumber dan negara Indonesia selaku pemungut pajak penghasilan
dari wajib pajak dalam negeri.
Oleh karena itu muncullah pajak penghasilan pasal 24 yang mengatur agar wajib pajak
tidak dikenakan pajak berganda yang memberatkan. Namun masih masyarakat yang ragu
untuk melaporkan laba usahanya secara jujur.

13.2 Pengertian

PPh Pasal 24 diartikan sebagai peraturan yang mengatur hak Wajib Pajak untuk
memanfaatkan kredit pajak mereka di luar negeri, untuk mengurangi nilai pajak terutang yang
dimiliki di Indonesia. Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi
dengan jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di luar
negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia. Pemanfaatan kredit pajak
di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena pajak ganda. Pasal 24 ayat 1 UU
Nomor 36 tahun 2008 tentang PPh.

Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri, boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.

103
13.2 Sumber Penghasilan
Sumber penghasilan kena pajak yang dapat dikreditkan di Indonesia sebagaimana
aturan perundang-undangan. Adapun jenis-jenisnya adalah sebagai berikut.
a. Penghasilan dari saham dan surat berharga lainnya, serta keuntungan dari pengalihan
saham dan surat berharga lainnya.
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa yang berkaitan dengan penggunaan
harta- benda bergerak.
c. Penghasilan berupa sewa yang berkaitan dengan penggunaan harta-benda tidak
bergerak.
d. Penghasilan berupa imbalan yang berhubungan dengan jasa, pekerjaan, serta kegiatan.
e. Pendapatan dari Bentuk Usaha Tetap (BUT) di luar negeri.
f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda
keikutsertaan dalam pembiayaan atau pemanfaatan di sebuah perusahaan
pertambangan.
g. Keuntungan dari pengalihan aset tetap.
h. Keuntungan dari pengalihan aset yang merupakan bagian dari suatu bentuk usaha
tetap (BUT).

13.3 Subjek dan Objek PPh Pasal 24


a. Yang menjadi subjek PPh Pasal 24 yaitu wajib Pajak dalam negeri yang terutang
pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri.
b. Yang menjadi objek PPh Pasal 24 adalah penghasilan yang berasal dari luar negeri.

13.4 Batas maksimum kredit pajak


Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber penghasilan
ditentukan sebagai berikut:

a. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari pengalihan
saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang menerbitkan saham
atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat kedudukan.
b. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan harta
gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga, royalti. Sewa
tersebut bertempat kedudukan atau berada.
c. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak bergerak adalah
negara tempat harta tersebut terletak
d. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah
ara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut bertempat
kedudukan atau berada.
e. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.

104
f. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut
serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah
negara tempat lokasi penambangan berada.
g. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada.
h. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha
tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah di antara 3 unsur/perhitungan berikut ini:
1. Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri.
2. (Penghasilan luar negeri : Seluruh Penghasilan Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang
dikenakan tarif Pasal 17
3. Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh Penghasilan Kena Pajak (dalam hal
Penghasilan Kena Pajak adalah lebih kecil daripada penghasilan luar negeri).

13.5 Contoh soal PPh pasal 24


13.5.1 Penghasilan luar negeri dari 1 negara
PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2014
sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000
Penghasilan dari Vietnam (tarif pajak 20%) Rp200.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun
2014?
Jawaban:
1. Menghitung total penghasilan kena pajak:
Penghasilan dalam negeri Rp 400.000.000
Penghasilan luar negeri Rp 200.000.000
Jumlah penghasilan neto Rp 600.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:
Pajak terutang 25% * Rp 600.000.000 Rp 150.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:
(Penghasilan Luar Negeri : Total Penghasilan) x Total PPh Terutang
(200.000.000 : 600.000.000) x Rp 49.999.999 (Dibulatkan) Rp 50.000.000
4. Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di luar negeri :
20% x Rp 200.000.000 Rp 40.000.000

Dari perhitungan di atas, kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan adalah sebesar
Rp40.000.000 atau sebesar PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri. Jumlah
ini diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih
jumlah yang terendah.

105
13.5.2 Penghasilan luar negeri dari 1 negara
PT Diaswati memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2018 sebagai berikut:
1. Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) Rp2.000.000.000,00 dengan tarif
pajak sebesar 35% (Rp700.000.000,00).
2. Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rpl.000,000,000,00 dengan tarif
pajak sebesar 20% (Rp200.000.000,00).
3. Penghasilan usaha di Indonesia Rp5.000.000.000,00.

Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:


Penghasilan luar negeri
Laba di negara A Rp. 2.000.000.000,00
Laba di negara B Rp. 1.000.000.000,00
Jumlah penghasilan Rp. 3.000.000.000,00
➔ Penghasilan dalam negeri Rp. 5.000.000.000.00
➔ Jumlah penghasilan neto atau Penghasilan Kena Pajaknya adalah
Rp. 3.000.000.000,00 + Rp5.000.000.000,00 = Rp8.000.000.000,00
○ PPh terutang (menurut tarif Pasal 17) = Rp8.000.000.000,00 x 25% =
Rp2.000.000.000,00
○ Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing negara adalah:
● Untuk negara A:

(Rp2.000.000.000,00 : Rp8.000.000.000,00) x Rp 2.000,000.000,00 =


Rp500.000.000,00 Pajak terutang di negara A sebesar Rp700.000.000,00
maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah
Rp500.000.000,00.

● Untuk negara B:

(Rpl.000.000.000,00: Rp8.000.000.000,00) x Rp2.000.000.0O0,00 =


Rp250.000.000,00. Pajak terutang di negara B sebesar Rp200.000.000,00
maka maksimum kredit pajak yang dapat dikreditkan adalah
Rp250.000.000,00.

● Jumlah kredit pajak luar negeri yang diperkenankan adalah sebesar


Rp500.000.000,00 + Rp250.000.000,00 = Rp750.000.000,00.

13.5.3 Penghitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di Dalam Negeri
PT Selera Rakyat berkedudukan di Indonesia memperoleh penghasilan neto dalam
tahun 2015 sebagai berikut:
Di Belanda memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp600.000.000 (tarif
pajak yang berlaku 30%). Di dalam negeri menderita kerugian sebesar
Rp200.000.000

Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun
2014?
106
Jawaban:
1. Menghitung total penghasilan kena pajak:
Penghasilan dari Belanda Rp 600.000.000
Penghasilan dari dalam negeri Rp (200.000.000)
Jumlah penghasilan neto Rp 400.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:
Pajak terutang 25% * Rp 400.000.000 Rp 100.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:
(penghasilan luar negeri : total penghasilan) x total PPh terutang
(600.000.000 : Rp 400.000.000)x Rp 100.000.000 Rp 150.000.000
4. Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di luar negeri :
30% x Rp 600.000.000 Rp 180.000.000

Kredit pajak yang diperoleh (PPh pasal 24) adalah Rp150.000.000. Jumlah ini
diperoleh dengan membandingkan penghitungan PPh maksimum yang boleh
dikreditkan dengan PPh yang terutang atau dibayar di Luar Negeri, kemudian pilih
jumlah yang terendah.

13.5.4 Penghitungan PPh Pasal 24 Jika Terjadi Kerugian Usaha di luar Negeri
PT Selaras Abadi pada tahun 2013 memperoleh penghasilan neto sebagai berikut:
Di Thailand memperoleh penghasilan berupa laba usaha sebesar Rp300.000.000
(tarif pajak yang berlaku 40%). Di Jerman menderita kerugian sebesar
Rp500.000.000 (tarif pajak yang berlaku 25%). Di dalam negeri memperoleh laba
usaha sebesar Rp500.000.000
Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun
2014?
Jawaban:
1. Menghitung total penghasilan kena pajak:
Penghasilan dalam negeri Rp 300.000.000
Penghasilan luar negeri Rp 500.000.000
Jumlah penghasilan neto Rp 800.000.000
2. Menghitung total PPh terutang:
Pajak terutang 25% * Rp 800.000.000 Rp 200.000.000
3. Menghitung PPh maksimum yang dapat dikreditkan:
(penghasilan luar negeri : total penghasilan) x total PPh terutang
(300.000.000 : Rp 800.000.000)x Rp200.000.000 Rp 75.000.000
4. Menghitung PPh yang terutang atau dipotong di luar negeri :
40% x Rp 200.000.000 Rp 120.000.000

Dari perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa PPh pasal 24 yang dapat
dikreditkan adalah Rp75.000.000.

107
BAB XIV
PPH PASAL 25

14.1 Latar Belakang


Ketentuan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang
penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dalam
tahun berjalan. Berikut adalah aturan pelaksanaan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang sudah
diperbaharui:
1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000. Tanggal 14 Desember
2000 tentang Perhitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak
Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa dengan
Hak Opsi, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak Lainnya termasuk Wajib Pajak Orang
Pribadi, Pengusaha Tertentu.Keputusan ini telah diubah dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 394/KMK.03/2001 terakhir diadakan perubahan kembali dengan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002.
2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 210/Pj./2001. Tanggal 12 Maret 2001
mengatur masalah besarnya pembayaran angsuran bulanan PPh Pasal 25 dalam masa
transisi tahun pajak 2001.
3. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep. 537/Pj./200. Tanggal 29 Desember
2000 tentang Perhitungan Besarnya Angsuran Pajak Pada Tahun Berjalan Dalam
Hal- hal Tertentu.

14.2 Pengertian PPh Pasal 25


Pajak penghasilan pasal 25 adalah angsuran pajak penghasilan yang harus dibayar
sendiri oleh wajib pajak baik orang pribadi maupun badan untuk setiap bulan dalam tahun
pajak berjalan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan dengan:
1. Wajib pajak membayar sendiri (pph pasal 25)
2. Melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh pasal 21,22,23,dan 24)
Pada prinsipnya besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh WP sebesar
Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
tahun pajak yang lalu.

14.3 Tentang PPh Pasal 25


a. PPh 25 adalah angsuran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang harus
dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, baik Orang Pribadi maupun Badan Usaha.
b. Angsuran pajak ini dilakukan untuk mengurangi beban Wajib Pajak sehingga
pembayaran pajak tetap dapat dilakukan tepat waktu.
c. Terdapat batas waktu pembayaran angsuran dan sanksi keterlambatannya.
d. Perhitungan pajak yang dibayarkan akan sama besarnya. Namun ketika pembayaran
tanggungan pajak dilakukan secara diangsur, maka beban yang dipikul oleh wajib
pajak akan terasa lebih ringan.
e. Pembayaran pajak dan pelaporan SPT Masa memiliki batas waktu paling lama
tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. Misalnya
108
saja untuk

109
bulan Mei 2022, maka angsuran PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15
Juni 2022.
f. Untuk batas waktu pembayaran yang jatuh pada hari libur maka pembayaran dapat
dilakukan pada hari berikutnya.
g. Terdapat sanksi apabila Wajib Pajak terlambat melakukan pembayaran PPh Pasal 25
yaitu akan dikenai tarif sanksi pajak per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
hingga tanggal pembayaran.
h. Jika malah terjadi keterlambatan, baik pembayaran atau pelaporan SPT Masa, beban
yang diterima justru akan semakin besar dan penggunaan angsuran pembayaran
pajak berupa PPh Pasal 25 yang dipilih akan jadi tidak bermakna.
i. Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lambat tanggal 15 bulan
berikutnya dari Masa Pajak yang akan dibayarkan.
j. Apabila ada keterlambatan dalam penyetoran angsuran pajak terutang sesuai tarif
PPh Pasal 25 dan pelaporan PPh Pasal 25, terdapat sanksi yang berlaku yaitu tarif
sanksi pajak yang dihitung berdasarkan tarif bunga sanksi administrasi pajak yang
ditetapkan Kementerian Keuangan setiap bulannya.

14.4 Perhitungan PPh Pasal 25


Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak berikutnya setelah
tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung sebesar PPh yang terutang pajak tahun
lalu, yang dikurangi dengan:
1. Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif pasal 17 ayat (1)
bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang tidak memiliki NPWP) dan Pasal
23 (15% berdasarkan dividen, bunga, royalti, dan hadiah – serta 2% berdasarkan
sewa dan penghasilan lain serta imbalan jasa) – serta pajak penghasilan yang
dipungut sesuai pasal 22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP).
2. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan
sesuai pasal 24, lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa setahun.

14.5 Tarif PPh Pasal 25


Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
1. Sampai Rp 50.000.000 = 5%
2. Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
3. Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
4. Di atas Rp 500.000.000 = 30%

Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu = Penghasilan Kena
Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh).

110
14.6 Jenis Pembayaran PPh Pasal 25
Terdapat dua jenis pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang
Pribadi (WPOP), yaitu:
1. Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP – OPSPT), yaitu pekerja
bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha sendiri. PPh 25 bagi OPSPT =
Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT), yaitu yang melakukan
usaha penjualan barang, baik grosir maupun eceran, serta jasa – dengan satu atau
lebih tempat usaha. PPh 25 bagi OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing
tempat usaha.

14.7 Contoh Soal PPh Pasal 25


Penghasilan neto PT. Kuat Rekasa tahun 2017 adalah Rp. 300.000.000. Perusahaan
memiliki sisa kerugian yang belum dikompensasikan pada tahun 2016 adalah Rp100.000.000.
Pada tahun 2017, pajak penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebesar Rp.
14.000.000. Selain itu, di tahun 2017 juga tidak ada pajak yang terutang ataupun dibayar di
luar negeri. Hitunglah berapa angsuran PPh Pasal 25 yang masih harus dibayar oleh PT. Kuat
Rekasa?

Jawab:
Penghasilan neto dikurangi kompensasi kerugian = Rp300.000.000 - Rp100.000.000
= Rp. 200.000.000

PPh terutang tahun 2018 = Rp. 200.000.000 x 25%


= Rp. 50.000.000

Kredit pajak:
PPh yang dipotong atau dipungut = (Rp. 14.000.000)
Selisih = Rp. 36.000.000

Adapun selisih antara PPh terutang dengan kredit pajak menjadi dasar perhitungan
besarnya PPh Pasal 25 per bulan. Dengan demikian, perhitungan PPh Pasal 25 tiap
bulan adalah sebagai berikut:
Besarnya PPh Pasal 25 per bulan = Rp. 36.000.000/12 bulan
= Rp. 3.000.000

111
BAB XV
PPH PASAL 26

15.1 Pengertian
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, PPh pasal 26 merupakan pajak
penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar
negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) yang berada di Indonesia. Kriteria
seorang individu atau perusahaan yang dikategorikan sebagai Wajib Pajak luar negeri adalah:
1. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.
2. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang
tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia tidak melalui menjalankan usaha melalui suatu bentuk
usaha tetap di Indonesia.

15.2 Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 26


Subjek pajak pemotong PPh pasal 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan Pemerintah
2. Subjek pajak dalam negeri
3. Penyelenggara kegiatan
4. Bentuk usaha tetap
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran
kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap

15.3 Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 26


Jenis-jenis penghasilan atau objek pajak yang wajib dipotong Pajak Penghasilan pasal
26 adalah:
1. Dividen;
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang;
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan ;
5. Hadiah dan penghargaan;
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya;
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya;
8. Keuntungan karena pembebasan utang.

112
15.4 Tarif Pengenaan PPh Pasal 26

Tarif yang dikenakan sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B)
antar negara atau tax treaty, yaitu sebesar 20% untuk setiap pengenaan jenis Pajak
Penghasilan pasal 26. Ketentuan dasar pengenaan pajak adalah sebagai berikut:
1. Tarif 20% dari penghasilan bruto;
2. Tarif 20% dari penghasilan neto;
3. Tarif 20% dari peghasilan setelah pajak (penghasilan kena pajak dikurangi dengan
pajak penghasilan).

15.5 Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26

1. Pajak penghasilan pasal 26 dipotong pada akhir bulan pada saat dilakukannya
pembayaran penghasilan, disediakan untuk dibayarkan penghasilan, atau jatuh
temponya pembayaran penghasilan bersangkutan tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.
2. Pajak Penghasilan pasal 26 saat terutang dipotong pada saat pembayaran, disediakan
untuk dibayarkan (deviden) dan jatuh tempo (bunga dan sewa), atau saat yang
ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau faktur (royalti, imbalan jasa teknik atau
jasa manajemen atau jasa lainnya).
3. Pemotong PPh pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan PPh pasal 26 rangkap tiga:
- Lembar pertama untuk Wajib Pajak Luar Negeri
- Lembar kedua untuk kantor pelayanan pajak
- Lembar ketiga untuk arsip pemotong
4. Pembayaran PPh pasal 26 dilakukan oleh pihak pemotong dan disetorkan ke bank
Persepsi atau Kantor Pos yang sudah ditunjuk oleh Kementerian Keuangan dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim
berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak.
5. SPT Masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti pemotongan
lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke KPP setempat paling
lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Apabila jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal 26 bertepatan
dengan hari libur, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

15.6 Contoh Perhitungan PPh Pasal 2

PT Abadi Berkarya memiliki perwakilan di luar negeri dan mengasuransikan


bangunan bertingkat ke PT XYZ yang merupakan perusahaan asuransi di luar negeri dengan
membayar jumlah premi pada tahun 2015 sebesar Rp. 2 miliar. Hitunglah PPh Pasal 26 dari
PT Abadi Berkarya tahun 2015?

113
Jawab:
Perkiraan penghasilan neto = Rp. 2.000.000.000 x 50%
= Rp. 1.000.000.000

PPh Pasal 26 = Rp. 1.000.000.000 x 20%


= Rp. 200.000.000
Sementara, apabila PT Abadi Berkarya mengikuti asuransi melalui perusahaan yang
ada di Indonesia, misal PT Asuransi Raya dengan membayar jumlah premi yang
sama sebesar Rp. 2 miliar. PT Asuransi Raya mengikutkan (reasuransi) perusahaan
tersebut ke perusahaan asuransi yang berada di luar negeri, misalnya PT XYZ,
dengan membayar premi sebesar Rp. 1 miliar. Maka ketentuan PPh Pasal 26 adalah
sebagai berikut:
Perkiraan penghasilan neto = Rp. 1.000.000.000 x 10%
= Rp. 100.000.000

PPh Pasal 26 PT Abadi Berkarya = Rp. 100.000.000 x 20%


= Rp. 20.000.000

114
BAB XVI
PPH PASAL 28

16.1 Latar Belakang

PPh Pasal 28 diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36
Tahun 2008. PPh Pasal 28 diberlakukan untuk memperluas basis pajak penghasilan dan
mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor penghasilan yang bersifat pasif.

Latar belakang diberlakukannya PPh Pasal 28 adalah untuk mengatasi masalah


kebocoran penerimaan negara dari sektor-sektor penghasilan yang sulit diawasi, seperti
penghasilan dari bunga bank dan sewa properti. Dalam praktiknya, seringkali terjadi
penurunan atau penghindaran pajak pada penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan adanya
PPh Pasal 28, diharapkan wajib pajak akan lebih patuh dalam membayar pajak atas
penghasilan yang diterima.

Pemberlakuan PPh Pasal 28 juga sejalan dengan prinsip-prinsip perpajakan yang adil
dan proporsional, di mana setiap wajib pajak harus membayar pajak sesuai dengan besarnya
penghasilan yang diterima. PPh Pasal 28 juga membantu pemerintah dalam mencapai target
penerimaan pajak yang diperlukan untuk membiayai pembangunan dan program-program
pemerintah lainnya.

16.2 Pengertian
Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan setiap
tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun. Sebagaimana ketentuan Undang-Undang PPh Pasal 28 mengatur tentang kredit pajak
yang dapat dijadikan pengurang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan. Dalam PPh Pasal 28 menyebutkan beberapa jenis PPh yang dapat dikreditkan
dan beberapa hal yang tidak dapat dikreditkan.
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak
yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. Sebagaimana menurut PPh Pasal 28
bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang terutang dikurangi dengan
kredit pajak untuk tahun pajak yang bersangkutan.

16.3 Jenis PPh Pasal 28


1. Pasal 28 : Membahas berkenaan bunga, denda, juga sanksi pajak yang tidak boleh
dikurangkan.
2. Pasal 28 A : Mengenai apabila pajak yang terutang jumlahnya lebih kecil dari
pengurangannya, maka bakal dikembalikan setelah dilakukannya serangkaian
pemeriksaan.

115
3. Pasal 29 : Berkaitan dengan apabila pajak terutang lebih besar dari jumlah
pengurangnya, maka wajib dilunasi sebelum disampaikannya Surat Pemberitahuan
Pajak Penghasilan (SPT).

16.4 Jenis PPh Yang Bisa dikreditkan


Jenis PPh yang dapat dikreditkan yaitu:
a. Pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan (PPh Pasal 21).
b. Pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan di bidang impor atau kegiatan
usaha di bidang lain (PPh Pasal 22).
c. Pemotongan pajak atas penghasilan berupa dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan
penghargaan, dan imbalan jasa (PPh Pasal 23).
d. Pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar negeri yang boleh
dikreditkan (PPh Pasal 24).
e. Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri (PPh Pasal 25).
f. Pemotongan PPh Pasal 26.

16.5 Contoh Perhitungan


1. Diketahui jumlah penghasilan ibu Siti pada tahun 2016 adalah sebesar Rp. 200 juta.
Selain dari data diatas, juga diketahui bahwa dia mempunyai total kredit pajak sesuai
dengan PPH 22 adalah sejumlah Rp. 7 juta. Lalu untuk PPh Pasal 23 yang dimiliki
adalah Rp. 9,5 juta.
Data kewajiban pajak lain yang dimiliki oleh ibu Siti berdasarkan BKP atau
penyerahan dari Barang Kena Pajak kepada Kementerian adalah senilai Rp. 1 milyar.
Maka dari itu untuk cara perhitungan PPH 28 bisa melihat pada penjelasan di bawah
ini:
a. PPh Terutang = (Rp. 50.000.000 x 5%) + (15% x Rp. 150.000.000)
= Rp. 25.000.000
b. Kredit Pajak
Data atas kredit pajak yang telah diketahui berdasarkan cerita diatas adalah
sebagai berikut:
PPH 22 : Rp. 7 juta
PPH 23 : Rp. 9,5 juta
PPH 22 : Rp. 1 milyar x 1,5% = Rp. 15 juta
Berdasarkan perhitungan diatas, maka Anda bisa mengetahui untuk nilai dari
kredit pajak ibu Siti adalah sebagai berikut:
= Rp. 7 juta + Rp. 9,5 juta + Rp. 15 juta
= Rp. 31,5 juta

116
c. PPH Pasal 28
Sedangkan untuk perhitungan PPH pada pasal 28 Anda bisa mengetahui tata
caranya sebagai berikut ini dengan memakai rumus perhitungan untuk PPH pada
pasal 28, yaitu:
= PPH terutang – kredit pajak
= Rp. 25 juta – Rp. 31,5 juta
= -Rp. 6,5 juta
Berdasarkan perhitungan di atas, maka Anda bisa mengetahui untuk PPh pada
pasal 28 tersebut terdapat kelebihan bayar pajak penghasilan senilai Rp.
6.500.000.

2. Diketahui PPh terutang sebesar Rp100.000.000


a. Kredit pajak sesuai ketentuan:
- Pasal 21: Rp16.000.000
- Pasal 22: Rp8.000.000
- Pasal 23: Rp10.000.000
- Pasal 24: Rp10.000.000
- Pasal 25: Rp50.000.000
Total kredit pajaknya: Rp88.000.000
b. Jadi, total PPh yang perlu dibayarkan:
= PPh terutang – total kredit
= Rp100.000.000 – Rp88.000.000
= Rp12.000.000

117
BAB XVII
PPH PASAL 29

17.1 Pengertian
Pengertian dasar PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan (PPh) kurang bayar yang
terdapat dalam SPT Tahunan PPh yaitu sisa dari PPh yang terutang dalam tahun pajak yang
bersangkutan dikurangi dengan kredit PPh (PPh Pasal 21, 22, 23, dan 24) dan PPh Pasal 25
dengan dasar hukum UU No.36 Tahun 2008. Pada dasarnya, pengertian PPh Pasal 29 adalah
Pajak Penghasilan (PPh) kurang bayar yang terdapat dalam SPT Tahunan PPh.

17.2 Batas Waktu


Batas waktu pembayaran WP Orang Pribadi terkait kekurangan pajak di PPh Pasal 29
yaitu paling lambat akhir Maret atau setelah tahun pajak berakhir. Untuk WP Badan, batas
waktu pembayaran PPh Pasal 29 Kurang Bayar yaitu wajib dibayarkan pada akhir April atau
setelah tahun pajak berakhir.

17.3 Subjek dan Objek Pajak


Subjek PPh 29 adalah Wajib Pajak Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Sementara itu,
objek pajak PPh 29 adalah penghasilan yang kurang bayar pajak dari SPT Tahunan WP
Pribadi dan Badan bersangkutan.

17.4 Tarif Pajak


1. Wajib Pajak Badan (WPB) :
Angsuran PPh 25 = PPh terutang tahun lalu x 12.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang terutang – angsuran PPh 25.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WPOP-PT) :
PPh 25 yang sudah dilunasi = 0.75 x jumlah penghasilan / omzet per bulan.
PPh 29 yang harus dilunasi = PPh yang masih terutang – PPh 25 yang sudah dilunasi.
17.5 Perbedaan dengan PPh Pasal 28

Aspek PPh Pasal 28 PPh Pasal 29

Pengertian PPh Lebih Bayar PPh Kurang Bayar

PPh Terutang di satu tahun PPh Terutang di satu tahun


Terjadi Ketika
pajak > kredit pajak pajak < kredit pajak

Kelebihan bayar akan Membayar kekurangan


dikembalikan atau dapat pembayaran pajak sebelum
Yang Harus Dilakukan
dikompensasi ke utang pajak batas akhir pelaporan SPT
tahun berikutnya Tahunan

118
17.6 Contoh Perhitungan
1. Perhitungan PPh Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Pak Andi adalah pengusaha pakaian dengan omzet sebesar Rp1.000.000.000 / tahun di
2021. Ternyata setelah dihitung, terdapat Pajak Kurang Bayar PPh Pasal 29 ketika ia
hendak melaporkan SPT Tahunan. Jumlah PPh Terutang Pak Andi adalah sebesar
Rp8.000.000.
Dengan menggunakan rumus sebelumnya,
PPh 25 sudah dilunasi = 0,75 x penghasilan/omzet per bulan
= 0,75 x Rp1.000.000.000
= Rp7.500.000
PPh 29 harus dilunasi = PPh masih terutang - PPh 25 sudah dilunasi
= Rp8.000.000 - Rp7.500.000
= Rp500.000
2. Perhitungan PPh Pasal 29 Wajib Pajak Badan
PT ABC memiliki PPh Terutang sebesar Rp600.000.000 dalam setahun di 2021. Di
tahun 2022, setelah dilakukan perhitungan kembali, PT ABC memiliki PPh Terutang
sebesar Rp700.000.000.
PPh 29 harus dilunasi = PPh masih terutang - angsuran PPh 25
= Rp700.000.000 - Rp600.000.000
= Rp100.000.000

119
BAB XVIII
UNDANG - UNDANG PAJAK PENGHASILAN

18.1 Latar Belakang

Perubahan-perubahan UU PPh dilatarbelakangi oleh berbagai perkembangan yang


terjadi di bidang teknologi informasi, ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Ketentuan
mengenai pajak penghasilan di Indonesia yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang sudah mengalami beberapa kali perubahan. Ketahui tentang undang undang Pajak
Penghasilan terbaru ini. Pajak Penghasilan atau PPh adalah pajak yang dikenakan atau
menjadi kewajiban setiap wajib pajak orang pribadi maupun badan yang diatur dalam
Undang-Undang (UU) Pajak Penghasilan. Terdapat berbagai jenis pajak penghasilan yang
diatur dalam UU PPh, yakni PPh Pasal 15, PPh Pasal 19, PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh
Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26, PPh Pasal 29 dan PPh Final pasal 4 ayat
2.

18.2 Pengertian dan Sejarah

Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan rujukan untuk memahami perpajakan


di Indonesia. Di Indonesia, pajak penghasilan diatur melalui Undang-Undang Nomor 36
tahun 2008 tentang pajak penghasilan. Namun, undang-undang ini sebenarnya telah
mengalami beberapa kali perubahan. Berikut ini perkembangan Undang-Undang pajak
penghasilan di Indonesia:
● UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan merupakan undang-undang
pertama yang dibuat tentang pajak penghasilan.
● Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
● Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1991
● Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Undang-Undang Pajak
Penghasilan ini dapat disebut sebagai UU perubahan ketiga atas UU pajak
penghasilan tahun 1984.
● UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor
7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan.

18.3 Ruang Lingkup Undang-Undang Pajak Penghasilan

Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pengenaan pajak penghasilan


terhadap subjek pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
suatu tahun pajak. Subjek pajak tersebut dikenakan pajak apabila menerima atau memperoleh
penghasilan. Subjek pajak ini disebut juga sebagai wajib pajak. Ada beberapa hal yang diatur
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:

120
18.3.1 Ketentuan Umum Undang-Undang Pajak Penghasilan
Ketentuan umum berisi tentang batasan pengertian, definisi dan seluruh hal yang
diatur dalam undang-undang pajak penghasilan. Pada undang-undang ini, ketentuan
umum tertulis sebagai berikut: Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi
atau perseorangan dan badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau
diperolehnya selama satu tahun pajak.
18.3.2 Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak penghasilan berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah
- Orang pribadi atau perseorangan
- Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak
- Badan yang terdiri dari PT, CV, BUMN, BUMD, badan dan bentuk usaha tetap,
persekutuan, perseroan, perkumpulan lainnya, firma, kongsi, perkumpulan
koperasi, yayasan atau lembaga, dan bentuk usaha tetap.
18.3.3 Objek Penghasilan
Objek Pajak Penghasilan (PPh) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar
Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak yang bersangkutan.
Contoh objek pajak penghasilan adalah:
- Gaji, upah, komisi, bonus, atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya
untuk pekerjaan yang dilakukan.
- Honorarium, hadiah undian dan penghargaan.
- Laba bruto usaha.
- Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk
keuntungan yang diperoleh oleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya
karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu,anggota, serta karena
likuidasi

18.4 Cara Menghitung Pajak Penghasilan


Dalam menentukan besarnya pajak penghasilan yang terutang, perlu diketahui terlebih
dahulu mengenai Penghasilan Kena Pajak. Cara perhitungan pajak penghasilan dan seluk
beluknya diuraikan dalam Bab IV Undang-Undang Pajak Penghasilan

18.5 Pelunasan Pajak dalam Tahun Berjalan


Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur juga mengenai pelunasan pajak
dalam tahun berjalan yakni:
1. Pajak yang diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh wajib
pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh
pihak lain, serta pembayaran pajak dilakukan oleh wajib pajak sendiri. Pelunasan
dilakukan untuk setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan menteri keuangan.
2. Pelunasan pajak melalui pemotongan dan pemungutan pajak oleh pihak lain serta
pembayaran pajak oleh wajib pajak tersebut, merupakan angsuran pajak yang akan

121
dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk seluruh tahun pajak yang
bersangkutan.

18.6 Perhitungan Pajak pada Akhir Tahun


Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar oleh wajib pajak
ataupun yang dipotong serta dipungut oleh pihak lain, dapat dikreditkan terhadap pajak yang
terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan.

18.7 Ketentuan lainnya


Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh dalam undang-undang perpajakan adalah
diterapkannya perlakukan yang sama terhadap wajib pajak atau terhadap kasus-kasus dalam
bidang perpajakan yang hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

7.8 Ketentuan Penutup

Hal-hal yang belum cukup diatur dalam rangka pelaksanaan undang-undang pajak
penghasilan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

122
BAB XIX
UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPN-BM) : TERMINOLOGI DALAM
PPN DAN PPN BM

19.1 PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri oleh Wajib Pajak
Orang Pribadi, Badan, dan Pemerintah. Dalam penerapannya, Badan atau Perorangan yang
membayar pajak ini tidak diwajibkan untuk menyetorkan langsung ke kas negara, melainkan
lewat pihak yang memotong/memungut PPN. Pajak Pertambahan Nilai bersifat objektif, tidak
kumulatif, dan merupakan pajak tidak langsung. Subjek pajaknya terdiri dari Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan non PKP.

Harus dipahami subjek pajak ini berbeda dengan Wajib Pajak. Subjek pajak belum
memiliki kewajiban untuk membayar pajak sedangkan Wajib Pajak sudah memiliki
kewajiban untuk membayar pajak dan menyalurkannya ke kas negara.

19.1.1 Mekanisme Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia

Secara teknis, mekanisme yang berlaku terhadap PPN di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP wajib memungut PPN dari
pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan sebesar 10% dari Harga Jual atau
penggantian, dan membuat Faktur Pajak sebagai bukti pemungutannya.
2. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi
PKP Penjual BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang harus dibayar (utang
pajak).
3. Pada waktu PKP di atas melakukan pembelian/perolehan BKP/JKP yang
dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang sifatnya sebagai
pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
4. Untuk setiap Masa Pajak (setiap bulan), apabila jumlah Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya harus disetor ke Kas Negara
paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. Dan
sebaliknya, apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran,
maka selisih tersebut dapat dikompensasi ke masa pajak berikutnya. Restitusi
hanya dapat diajukan pada akhir tahun buku. Hanya PKP yang disebutkan dalam
Pasal 9 ayat (4b) UU Nomor 42 Tahun 2009 saja yang dapat mengajukan restitusi
untuk setiap Masa Pajak.
5. PKP diatas wajib menyampaikan SPT Masa PPN setiap bulan ke Kantor
Pelayanan Pajak terkait paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya
Masa Pajak.

123
19.1.2 Undang-Undang yang mengatur PPN

1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983


UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah diciptakan untuk mengatur tentang PPN dan PPnBM (Pajak
Penjualan atas Barang Mewah) yang disahkan pada 1 April 1985.

2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000


Setelah UU No. 8 Tahun 1983, muncul perubahan kedua yaitu Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan PPnBM. Perubahan ini dilakukan
dengan tujuan untuk menciptakan sistem perpajakan yang tepat untuk masyarakat
juga untuk meningkatkan penerimaan negara.

3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (PERUBAHAN PADA UU CIPTA


KERJA)
Perubahan ketiga adalah UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan PPnBM. Untuk melengkapi kekurangan pada UU PPN
sebelumnya, undang-undang ini bertujuan memberikan keadilan hukum dan
keamanan bagi negara dan masyarakat dengan sistem perpajakan yang jauh lebih
sederhana.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020


Meski ketentuan baru tentang PPN ini juga diatur kembali dalam UU No.11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada klaster perpajakan, namun UU 42 Tahun
2009 sebagian masih berlaku.

19.1.3 Objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Jika ada objek yang dikenakan pajak, maka kebalikannya juga akan ada objek yang
dibebaskan dari pengenaan pajak. Berikut adalah objek PPN dan yang dikecualikan
dari PPN alias yang masuk dalam daftar negatif list PPN:

1. Barang/Jasa yang Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)


a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BPK) dan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam
daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
b. Impor Barang Kena Pajak.
c. Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di
dalam daerah pabean.
d. Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
e. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud atau tidak berwujud dan ekspor Jasa
Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

124
f. Kegiatan Membangun Sendiri bangunan dengan luas lebih dari 200m2 yang
dilakukan di luar lingkungan perusahaan dan/atau pekerjaan oleh Orang
Pribadi atau Badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.

Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan,


sepanjang pajak masukan yang dibayar pada saat perolehan aktiva tersebut boleh
dikreditkan.

2. Daftar Negatif List PPN atau Pengecualian PPN


Tidak semua barang atau jasa dikenakan PPN, ada sejumlah BKP/JKP yang
masuk dalam daftar negatif list PPN alias tidak dikenakan PPN. Pengecualian
PPN ini dikenakan terhadap barang/jasa tertentu yang diatur dalam peraturan
menteri keuangan sebagai berikut :

a. Barang hasil pertambangan atau pengeboran (minyak mentah, asbes, batu


bara, gas bumi, dan lain-lain).
- Barang Kebutuhan Pokok (beras, jagung, susu, daging, kedelai,
sayuran, dan lainnya).
- Makanan dan minuman yang disajikan di rumah makan atau restoran.
- Uang dan emas batangan.
- Jasa pelayanan medis, pelayanan sosial, jasa keuangan, asuransi,
pendidikan dan sebagainya.
b. Barang/Jasa yang Dikeluarkan dari Daftar Negatif List PPN (Sembako Kena
PPN)

Seiring dengan rencana kenaikan tarif PPN 12%, dalam draft RUU KUP ini
pemerintah juga akan mengeluarkan sejumlah barang/jasa yang bebas PPN menjadi
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Berikut adalah daftar barang/jasa yang
dikeluarkan dari daftar negatif list PPN:
a. Sembako/sembilan bahan pokok, seperti beras, gula konsumsi, dan lainnya
b. Jasa Pendidikan

19.2 PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah)

Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) merupakan Pajak yang dikenakan selain
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk penjualan barang-barang yang tergolong sebagai
barang mewah. PPnBM merupakan jenis pajak yang merupakan satu paket dalam Undang-
Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan oleh
Pemerintah untuk menjalankan fungsi keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen
yang berpenghasilan rendah dan konsumen berpenghasilan tinggi, serta pengendalian pola
konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Sederhananya, jika Anda memiliki
penghasilan yang tinggi, otomatis Anda juga harus membayar pajak lebih tinggi.

125
Berikut ini adalah beberapa pertimbangan mengapa pemerintah menganggap
pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sangat penting. Berikut penjelasan Pasal 5
ayat (1) UU PPN No. 42 TAHUN 2009:
1. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan
rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah;
3. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.

19.2.1 Apa Saja Barang yang Dikenakan Pajak

Pada 1 Maret 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandatangani


Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor: 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena
Pajak Yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah.

Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang PPN, Pajak Penjualan atas Barang


Mewah dikenakan terhadap beberapa barang berikut:
1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) tergolong mewah dilakukan oleh pengusaha
yang menghasilkan BKP tergolong mewah di dalam daerah pabean dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya.
2. Impor barang kena pajak yang tergolong mewah.
Dengan demikian, PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP Mewah oleh
pabrikan (pengusaha yang menghasilkan) dan pada saat impor BKP mewah. PPnBM
tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Adapun pihak yang memungut
PPnBM tentu saja pabrikan BKP Mewah pada saat penyerahan atau penjualan BKP
Mewah. Sementara itu, PPnBM atas impor BKP Mewah dilunasi oleh importir
bersamaan dengan pembayaran PPN impor dan PPh Pasal 22 impor.
Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan
tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta
mengganggu ketertiban masyarakat.

19.2.2 Mekanisme Pengenaan PPnBM


Mekanisme pengenaan PPnBM sedikit berbeda dengan PPN. Mekanisme pemungutan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilakukan dengan faktur pajak sebagaimana diisyaratkan
dalam pemungutan PPN. Hanya saja, bagi PPnBM tidak dikenal istilah pajak masukan,
sehingga tidak dikenal sistem pengkreditan seperti dalam PPN.

126
BAB XX
UNDANG-UNDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DAN PAJAK
PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPN-BM) : FAKTUR PAJAK, DASAR
PENGENAAN PAJAK, TARIF DAN CARA MENGHITUNG PPN

20.1 Dasar Pengenaan Pajak PPN (DPP)

Untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai
digunakan nilai yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak (DPP). Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
sendiri terdiri dari:
1. Harga Jual
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak.
2. Penggantian
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa
Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud.
3. Nilai Impor
Nilai Impor adalah uang yang digunakan sebagai dasar penghitungan Bea Masuk
ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak.
4. Nilai Ekspor
Nilai Ekspor adalah uang atau biaya yang diminta oleh eksportir.
5. Nilai Lain
Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak
yang diatur oleh Menteri Keuangan.

DPP PPN (Dasar Pengenaan Pajak PPN) yang diatur dalam Pasal 9 ayat 1 sebagai berikut:
1. Untuk penyerahan BKP atau pemanfaatan BKP tidak berwujud, DPP-nya adalah
jumlah harga jual.
2. Untuk pengimporan BKP, DPP-nya adalah nilai impor (definisi nilai impor lihat
Pasal 1 angka 20 UU PPN).
3. Untuk pengeksporan BKP, DPP-nya adalah nilai ekspor.
4. Untuk kasus penyerahan BKP/JKP tertentu, DPP-nya adalah nilai lain. Nilai lain
adalah suatu jumlah yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan
PPN atas jenis penyerahan BKP/JKP tertentu.

Tarif PPN dan Kenaikan Tarif PPN Terbaru 12%. Sesuai Pasal 7 UU No. 42 Tahun
2009 disebutkan besar tarif PPN adalah sebagai berikut:
1. Tarif umum 10% untuk penyerahan dalam negeri
2. Tarif khusus 0% diterapkan atas ekspor BKP berwujud maupun tidak berwujud, dan
ekspor JKP.

127
3. Tarif Pajak sebesar 10% dapat berubah menjadi lebih rendah, yaitu 5% dan paling
tinggi 15% sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah.
Jika mengacu pada RUU KUP yang tengah digodok antara pemerintah dan parlemen,
maka dengan rencana kenaikan tarif pajak menjadi 12% ini masih di bawah dari ketentuan
tarif PPN paling tinggi sebesar 15%

20.2 Rumus & Cara Perhitungan PPN


Perhitungan PPN yang terutang dilakukan dengan cara mengalikan tarif pajak dengan
Dasar Pengenaan Pajak (DPP). ​Proses perhitungan tersebut dapat diilustrasikan sebagai
berikut:
PPN = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak (DPP)
Contoh Kasus:
PT AAA menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000 = Rp2.500.000
PPN sebesar Rp2.500.000 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh
Pengusaha Kena Pajak PT AAA.

20.3 Berapa Tarif PPnBM?


Pengenaan tarif Barang Kena Pajak tergolong mewah digolongkan ke dalam beberapa
kategori sebagai berikut ini:
1. Tarif 10% : Kendaraan umum kategori tertentu, alat rumah tangga, alat pendingin,
hunian mewah, televisi, dan minuman non-alkohol.
2. Tarif 20% : Kendaraan bermotor kategori tertentu, alat fotografi, berbagai jenis
permadani, peralatan olahraga impor, dan barang
3. Tarif 25% : Kendaraan bermotor berat dan berbahan bakar solar, misalnya combi,
pick up, dan minibus.
4. Tarif 35% : Minuman bebas alkohol, bahan berbahan kulit impor, batu kristal,
bus, dan barang pecah belah

20.4 Cara Menghitung PPnBM

Bisnis barang mewah seperti barang elektronik, mobil, gadget, dan sebagainya sedang
berkembang pesat di Indonesia. Sebagai pelaku bisnis, Anda wajib memahami cara
perhitungan pajak barang mewah ini. Cara menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah
terutang sebagai berikut:
PPnBM terutang = DPP PPnBM X tarif pajak
Tarif khusus Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas ekspor BKP tergolong mewah = 0%.
Contoh kasus:
Harga jual sedan diesel 1800 cc oleh PKP
Produsen = Rp260.000.000,00
PPN (10% X Rp260 juta) = Rp 26.000.000,00
PPnBM (40% X Rp260 juta) = Rp104.000.000,00
Total Harga jual termasuk PPN dan PPnBM = Rp390.000.000,00
Perhatikan bahwa DPP PPnBM = DPP PPN

128
Pengusaha Kena Pajak (PKP) Adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang
kena pajak/jasa kena pajak yang dikenai pajak Undang-Undang PPN 1984 atau sekarang
sudah berubah menjadi Undang-Undang nomor 42 tahun 2009 (menurut perubahan pada UU
Cipta Kerja)
Kewajiban pengusaha kena pajak :
a. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak
b. Memungut PPN & PPnBM yang terutang
c. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar
daripada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah yang terutang
d. Melaporkan perhitungan pajak
Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
:
a. Pengusaha Kecil dengan jumlah peredaran bruto/penerimaan bruto dalam satu tahun
tidak lebih dari Rp. 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah)
b. Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang/jasa yang tidak dikenakan PPN

20.5 Penyerahan Barang Kena Pajak

Adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak yang mempunyai pengertian
sebagai berikut :
1. Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
2. Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli/sewa guna usaha (leasing)
3. Penyerahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
4. Pemakaian sendiri/pemberian cuma-cuma atas BKP
5. BKP berupa persediaan/aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
6. Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya/penyerahan BKP antar cabang
7. Penyerahan BKP secara konsinyasi
8. Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan

20.6 Faktur
Faktur adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP/JKP. Faktur pajak dibuat pada :
1. Saat penyerahan BKP/JKP
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan BKP/JKP
3. Saat penerimaan pembayaran termin
4. Saat lain yang diatur/berdasarkan peraturan menteri keuangan

20.7 SPT Masa PPN

Merupakan sebuah form yang digunakan oleh Wajib Pajak Badan untuk melaporkan
penghitungan jumlah pajak baik untuk melapor Pajak Pertambahan Nilai (PPN) maupun Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terhutang. Fungsi dari SPT Masa PPN selain untuk
129
melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, namun juga dapat digunakan untuk
melaporkan harta dan kewajiban serta penyetoran pajak dari pemotong atau pemungut.

Kewajiban Melapor SPT Masa PPN

SPT Masa PPN harus dilapor setiap bulannya, walaupun tidak ada perubahan neraca,
atau nilai Rupiah pada masa pajak terkait nihil (0). Jatuh tempo pelaporan adalah pada hari
terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang bersangkutan.
Kecuali di bawah kondisi tertentu seperti yang dijelaskan pada Peraturan Menteri Keuangan
PER-80/PMK.03/2010, maka tanggal jatuh tempo bukanlah pada akhir bulan berikut setelah
akhir masa pajak yang bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat denda sebesar Rp
500.000,00 (UU KUP Pasal 7 ayat 1).

Tahapan cara lapor SPT Masa PPN melalui aplikasi e-Faktur versi 3.0 :
- Masuk ke e-Faktur web DJP di https://web-efaktur.pajak.go.id/
- Masuk ke database SPT
- Pilih SPT Masa PPN yang akan dilaporkan

20.8 Contoh Kasus

PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli


AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC tersebut, PT A
telah membayar PPnBM senilai Rp350.000. Kemudian, berapa besaran PPN dan PPnBM
yang seharusnya dibayarkan PT A?
Jawaban:
Apabila harga produksi mobil senilai Rp110.000.000 dan keuntungan yang
diinginkan PT A senilai Rp40.000.000 maka harga jual mobil tersebut senilai
Rp150.350.000. Dengan demikian, DPP atas mobil tersebut adalah senilai
Rp150.350.000. Selanjutnya, tarif PPnBM atas mobil yang diproduksi oleh PT A
adalah sebesar 20%. Pajak yang terutang atas penyerahan BKP yang tergolong
mewah tersebut.
a. PPN = 10% x Rp. 150.350.000
= Rp. 15.035.000
b. PPnBM = 20% x Rp. 150.350.000
= Rp. 30.070.000

Berdasarkan penghitungan di atas maka besaran PPN dan PPnBM adalah


Rp15.035.000 dan Rp30.070.000.

130
BAB XXI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : MEKANISME PENETAPAN SPOP PBB

21.1 Pengertian Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan sebuah biaya yang harus disetorkan atas
keberadaan tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan dan kedudukan sosial ekonomi
bagi seseorang ataupun badan. Karena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bersifat kebendaan,
maka besaran tarifnya ditentukan dari keadaan objek bumi atau bangunan yang ada.

21.2 Historis PBB


Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dikenal juga dengan Pajak Bumi dan Bangunan
telah ada di berbagai peradaban sejak zaman dahulu kala sebagai salah satu pajak tertua di
dunia. Di masa lalu, para penguasa di kerajaan Mesir, Cina, dan Iran menggunakan pajak
properti sebagai alat untuk mengumpulkan kekayaan demi keuntungan para penguasa. Subjek
pajak bumi pada waktu itu adalah nilai harta dan hasil pengembangan atau peningkatan
nilainya. Seiring waktu, pajak properti berevolusi dari sekadar nilai tanah menjadi pajak yang
dikenakan pada perumahan, peternakan, pertanian, dan keperluan lainnya.
PBB juga sudah dikenal di Indonesia sejak zaman kekaisaran. Saat itu, rakyat harus
membayar sebagian hasil pertanian kepada penguasa sebagai pengakuan atas kepemimpinan
penguasa dalam memanfaatkan rakyat. Pada zaman Belanda dan Inggris, ada istilah ground
rent yang dicetuskan oleh Thomas Stamford Raffles. Itu adalah pembayaran yang harus
dibayar kepala desa kepada monarki Inggris karena dia dianggap sebagai penyewa tanah. Saat
itu besaran sewa tanah bervariasi antara 20 sampai 50 persen produksi pertanian.
Setelah kemerdekaan, pajak properti pertama kali diakui sebagai pajak properti dan
kemudian diubah menjadi pajak properti. Pada tahun 1959 Kantor Pajak Hasil Bumi didirikan
dan pajak penghasilan dasar diubah menjadi pajak produk dasar. Kemudian pada tahun 1965
pajak hasil pertanian diubah menjadi pajak pembangunan daerah (IPEDA) dan ketuanya
diubah menjadi departemen IPEDA. Objek IPEDA terdiri dari tanah di pedesaan, perkotaan,
perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang sebelumnya menjadi sasaran PBB.
Bagian I Reformasi Perpajakan, yang dimulai pada tahun 1983, memperkenalkan
berbagai undang-undang dan peraturan perpajakan, termasuk Undang-Undang Perserikatan
Bangsa-Bangsa No. 12 Tahun 1985. Keberadaan undang-undang ini menandai konversi
IPEDA menjadi PBB dan didasarkan pada gagasan bahwa tanah dan bangunan memberikan
manfaat dan/atau status sosial ekonomi yang lebih baik kepada pemiliknya. Untuk
keuntungan finansial ini, mereka terpaksa memberikan sebagian pendapatannya kepada
negara dalam bentuk PBB. Kemudian pada periode reformasi perpajakan berikutnya yang
turut mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai hasil Part I, saya
memperkenalkan peraturan baru yang menjadi dasar PBB hingga saat ini yaitu Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Peraturan Daerah. Pajak dan Retribusi (UU PDRD).
Undang-undang ini mengatur pemisahan kekuasaan administrasi PBB yang sebelumnya
sepenuhnya berada di kantor pusat. Pemisahan atau pengalihan kekuasaan pengelolaan, yaitu.
H. Pengelolaan PBB perdesaan dan
131
perkotaan (PBB P2), menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan PBB untuk perkebunan,
kehutanan, eksplorasi minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, pertambangan
mineral dan batubara dan sektor lainnya (PBB P5L) jatuh di bawah. tanggung jawab negara.

21.3 Landasan Filosofi PBB


Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan
dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu perlu peningkatan peran serta masyarakat,
b. Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial
ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau
memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka
diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya
kepada negara melalui pajak.

21.4 Pajak Properti yang dicabut

Undang-undang PBB yang baru di Indonesia menyederhanakan sistem pajak properti


dengan menghilangkan tujuh jenis pajak terkait properti yang berbeda dan memperkenalkan
tarif pajak tunggal sebesar 0,5 persen. Pajak yang dihapuskan antara lain Verponding,
Verponding Indonesia, dan Landrente atau Pajak Tanah 24. Verponding adalah sistem pajak
yang didasarkan pada hasil pertanian tanah. Landrente atau Pajak Tanah adalah sistem pajak
yang awalnya didasarkan pada sewa tanah dan kemudian diubah menjadi pajak tanah
berdasarkan hasil pertanian. UU PBB diterapkan untuk menyederhanakan sistem perpajakan
dan menghapuskan pajak berganda atas satu tanah/bangunan. PBB yang berlaku saat ini
merupakan pajak kebendaan yang wajib dibayar atas pemilikan tanah dan bangunan yang
memberikan manfaat dan status sosial ekonomi kepada orang pribadi atau badan yang berhak
atau memperoleh manfaat darinya.

132
BAB XXII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : OBJEK DAN SUBJEK PBB, TAHUN
PAJAK, SAAT, DAN TEMPAT YANG MENENTUKAN PAJAK TERUTANG,
PENDAFTARAN, SURAT PEMBERITAHUAN OBJEK PAJAK, PAJAK
TERUTANG, DAN SURAT KETETAPAN PAJAK

22.1 Objek dan Subjek PBB


Definisi dari objek Pajak Bumi dan Bangunan (objek PBB) sendiri merupakan tanah
atau bangunan yang wajib untuk dipungut pajak. Objek bumi dalam Pajak Bumi dan
Bangunan meliputi:
1. Sawah
2. Ladang
3. Kebun
4. Tanah
5. Pekarangan
6. Tambang

Sedangkan, untuk objek bangunan dalam Pajak Bumi dan Bangunan meliputi:

1. Rumah tinggal
2. Bangunan usaha
3. Gedung bertingkat
4. Pusat perbelanjaan
5. Pagar mewah
6. Kolam renang
7. Jalan tol

Definisi dari subjek Pajak Bumi dan Bangunan (subjek PBB) merupakan orang pribadi
atau badan yang secara sah dan nyata memiliki hak atas bumi, memperoleh manfaatnya,
memiliki dan menguasai bangunan tersebut, serta merasakan manfaatnya.

22.2 Bukan Termasuk Objek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Setelah mengetahui apa saja yang menjadi objek dari Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), sebenarnya tidak setiap tanah dan bangunan yang ada dapat menjadi objek dalam
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), ada beberapa juga yang tidak masuk ke dalam objek Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), yaitu dapat dikelompokkan berdasarkan penggunaannya:
1. Dipergunakan untuk kepentingan umum dan tidak memperoleh keuntungan di bidang:
a. Sosial
b. Ibadah
c. Kesehatan
d. Kebudayaan
e. Pendidikan

133
f. Sejarah

2. Dipergunakan untuk menjaga flora dan fauna:


a. Hutan suaka alam
b. Hutan lindung
c. Taman nasional

3. Dipergunakan oleh perwakilan negara atau organisasi internasional:


a. Konsulat
b. Kedutaan

22.3 Cara menentukan NJOP

Menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Definisi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sendiri merupakan besarnya harga atas
objek baik bumi maupun bangunan atau dapat dikatakan pula sebagai harga untuk properti
tanah dan bangunan. Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
yang harus dibayarkan, maka langkah pertama harus mengetahui terlebih dulu harga dari
tanah dan bangunan tersebut.

Contoh perhitungan:

Wajib Pajak A mempunyai objek pajak berupa tanah seluas 200 m2 dengan harga jual
Rp 500.000,00/m2 dan bangunan seluas 100 m2 dengan harga jual Rp 400.000,00/m2.
Berdasarkan Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Gubernur Nomor 200 Tahun 2012 tentang
Klasifikasi dan Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, NJOP PBB ditetapkan sebagai berikut:

No Objek Klasifikasi NJOP

1 Tanah 071 Rp 464.000

2 Bangunan 027 Rp 429.000

No Uraian Luas NJOP Bumi Luas x NJOP Jumlah


dan Bumi &
Bangunan Bangunan

1. Luas Tanah 1.500 m2 Rp6.195.000 Rp292.500.000

2. Luas 800 m2 Rp1.833.000 Rp1.466.400.000


Bangunan

134
3. Pagar Mewah 300 m2 Rp365.000 Rp219.000.000
2 Meter

4. Raman 200 m2 Rp225.000 Rp45.000.000


Mewah

Nilai Jual Rp11.022.900.000


Objek Tanah
dan Rp15.000.000
Bangunan Rp11.007.900.000
NJOPTKP
Nilai Jual
tanah Dan
Bangunan
Kena Pajak
tarif PBB
0.3% (NJOP Rp 33.023.700
lebih dari Rp
10.000.000.0
00)
Besarnya
Pajak
Terutang
PBB 0.3% x
Rp
11.007.900.0
00

22.3 Pendaftaran, Surat pemberitahuan Objek Pajak, Surat pemberitahuan Objek


pajak Terhutang, dan surat ketetapan pajak

Surat Pemberitahuan Objek Pajak atau disingkat SPOP adalah surat yang dipakai
untuk mendaftar objek pajak yang bertujuan untuk menghitung berapa nominal terutang Pajak
Bumi Bangunan oleh Wajib Pajak.Sedangkan berdasarkan pasal 1 angka 4 tentang Undang-
Undang Pajak Bumi dan Bangunan menjelaskan SPOP adalah surat yang digunakan Wajib
Pajak dalam melaporkan data objek pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB).

Dapat disimpulkan secara sederhana, SPOP adalah salah satu syarat yang digunakan
sebelum membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di dalam Surat Pemberitahuan Objek
Pajak (SPOP) biasanya Anda diminta untuk menuliskan apa saja data objek dan subjek dari
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang akan Anda bayar ke pemerintah.

135
Saat Anda mendapatkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Wajib Pajak tidak
hanya mengisi data objek dan subjek PBB namun juga ada beberapa hal yang menjadi
kewajiban Wajib Pajak yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).

Beberapa Kewajiban yang Tercantum dalam SPOP

Beberapa hal yang ada pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) harus Anda
ikuti secara baik dan benar adalah :

1. Pendaftaran Objek Pajak


Hal pertama yang harus Anda lakukan saat mengambil SPOP adalah mendaftar data
objek pajak Anda dengan cara mengisi formulir Surat Pemberitahuan Objek atau
pajak (SPOP). Lakukan pengisian dengan benar, tepat dan jujur. Agar data pajak
mudah diproses oleh pelayanan pajak.

2. Mengisi Surat Pemberitahuan Objek atau pajak (SPOP) secara dengan baik dan benar
Surat Pemberitahuan Objek atau pajak atau SPOP adalah surat yang dimintai oleh
layanan pajak untuk mengetahui berapa tagihan hutang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) yang wajib Anda bayar. Untuk itu pastikan mengisi secara baik dan benar,
karena hal ini menyangkut tentang nominal dan data-data pribadi Anda. Kesalahan
data bisa jadi berakibat fatal dan merepotkan pihak pelayanan. Isilah SPOP sesuai
keadaan Anda jangan ada yang dilebih-lebihkan maupun dikurang-kurangi. Sebab
Anda bertanggung jawab kepada negara tentang kekayaan yang Anda miliki.

3. Penyampaian ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan


dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)
Setelah mengisi data secara baik dan benar, sampaikan Surat Pemberitahuan Objek
Pajak atau Surat Pemberitahuan Objek atau pajak (SPOP) pada pihak yang
berwenang dalam hal ini adalah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) terdekat. Jangka waktu
menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak atau SPOP adalah 30 hari dari hari
penerimaan Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
4. Jika Ada Perubahan data Maka Laporkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau
Konsultasi Perpajakan (KP2KP)
Setelah mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), biasanya ada beberapa
kondisi yang tidak sama lagi antara tahun lalu maupun tahun ini. Jika terjadi
perbedaan atau perubahan maka laporkan perubahan data tersebut ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) maupun Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi
Perpajakan (KP2KP) setempat.

136
BAB XXIII
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) : TATA CARA PERHITUNGAN PBB,
PROSES PENGAJUAN KEBERATAN, BANDING, PENGURANGAN,
PEMBETULAN, PEMBATALAN, PROSES PEMBAYARAN (SISTEP),
RESTITUSI/KOMPENSASI DAN PELAYANAN SATU TEMPAT

23.1 Tata Cara Perhitungan PBB


Terdapat 3 tahap yang dilakukan dalam menghitung Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB), yaitu:

1. Menetapkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)


Definisi dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sendiri merupakan besarnya harga atas
objek baik bumi maupun bangunan atau dapat dikatakan pula sebagai harga untuk properti
tanah dan bangunan. Sebelum menghitung berapa besarnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
yang harus dibayarkan, maka langkah pertama harus mengetahui terlebih dulu harga dari
tanah dan bangunan tersebut.

2. Menentukan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)


Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) merupakan suatu dasar dari penghitungan Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) sebagai nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan
pajak yang terutang. Berikut ini merupakan ketentuan persentase dari Nilai Jual Kena Pajak
(NJKP) yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan
No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena
Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan:

○ 40% (empat puluh persen) untuk perkebunan


○ 40% (empat puluh persen) untuk pertambangan
○ 40% (empat puluh persen) untuk kehutanan
○ Sedangkan bagi objek pajak lainnya seperti pedesaan dan perkotaan dapat dilihat dari
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), yaitu: 40% (empat puluh persen) untuk nilai lebih
dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah), sedangkan 20% (dua puluh persen) untuk
nilai kurang dari Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Kembali dengan mengacu pada uraian dari Keputusan Menteri Keuangan tersebut,
maka untuk menghitung Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) adalah dengan mengalikan persentase
dari Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) tersebut dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Rumusnya
adalah sebagai berikut:

NJKP = % NJKP X NJOP

137
3. Menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Setelah mengetahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP),
maka dapat langsung menghitung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan menggunakan
rumus berikut ini:

PBB = 0,5% X NJKP

Dasar hukum atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB)

Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemerintah resmi menaikkan tarif PBB atau Tarif
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2).

Merujuk Pasal 41 UU HKPD, besar tarif PBB-P2 paling tinggi 0,5%. Sedangkan tarif
PBB-P2 berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk
lahan lainnya. Tarif PBB-P2 ini nantinya akan ditetapkan terlebih dahulu dengan Peraturan
Daerah (Perda) di masing-masing daerah

4. Dasar Hukum

Dasar hukum atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor


48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB). Melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang
Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pemerintah resmi
menaikkan tarif PBB atau Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-
P2). Merujuk Pasal 41 UU HKPD, besar tarif PBB-P2 paling tinggi 0,5%. Sedangkan tarif
PBB-P2 berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk
lahan lainnya. Tarif PBB-P2 ini nantinya akan ditetapkan terlebih dahulu dengan Peraturan
Daerah (Perda) di masing-masing daerah

5. Contoh Soal

Kekayaan Bumi Bangunan Bapak Dudu:

- Tanah 150 m2 dengan nilai jual Rp 10.000.000/m2


- Rumah 80 m2 dengan nilai jual Rp 15.000.000/m2
- Taman mewah 50 m2 dengan nilai jual Rp 5.000.000/m2

Diketahui NJOPTKP Rp 10.000.000. Maka besaran PBB terutang Pak Dudu adalah:

138
Jawab:

Tanah = 150 m2 x Rp 10.000.000 = Rp 1.500.000.000

Rumah = 80 m2 x Rp 15.000.000 = Rp 1.200.000.000

Taman Mewah = 50 m2 x Rp 5.000.000 = Rp 250.000.000 +

NJOP = RP 2.950.000.000

Lalu tentukan NJOPKP (Nilai Jual Pajak Kena Pajak)

NJOPKP = NJOP – NJOPTKP

NJOPKP = Rp 2.950.000.000 – Rp 10.000.000

NJOPKP = Rp 2.940.000.000

Menghitung NJKP

NJKP = Tarif x NJOPKP

NJKP = 40% x Rp 2.940.000.000

NJKP = Rp 1.176.000.000

Menghitung PBB

PBB = 0,5% x NJKP

PBB = 0,5% x Rp 1.176.000.000

PBB = Rp 5.880.000 setiap tahunnya

*Untuk menentukan tarif:

Jika NJOP lebih dari 1 Milyar = 40%

Jika NJOP kurang dari sama dengan 1 Milyar = 20%

139
23.2 Proses pengajuan dan penyelesaian keberatan dan banding, pengurangan,
pembetulan, pembatalan,pengurangan

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktorat Jenderal Pajak atas
suatu:

1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),


2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB),
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN),
5. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak hanya dapat mengajukan keberatan terhadap materi atau isi dari surat
ketetapan pajak, yang meliputi jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau terhadap materi atau isi dari pemotongan
atau pemungutan pajak.

Dalam hal terdapat alasan keberatan selain mengenai materi atau isi dari surat
ketetapan pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak, alasan tersebut tidak
dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatan.

SYARAT PENGAJUAN KEBERATAN


1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-
alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)
pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau
pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
5. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
a. Surat ketetapan pajak dikirim; atau
b. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga;
6. Kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat
dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaan Wajib Pajak;
7. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan
ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri
dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-
Undang KUP; dan
8. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
Undang-Undang KUP.

140
Ketentuan khusus:
a. Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
atau huruf f, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut
dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui.
b. Tanggal penyampaian Surat Keberatan yang telah diperbaiki merupakan tanggal
Surat Keberatan diterima.
c. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak yang
masih harus dibayar yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan
atau pembahasan akhir hasil verifikasi sebagaimana tercantum dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan,
dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu)
bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.

ALUR PENYELESAIAN KEBERATAN

1. Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk:


a. meminjam buku, catatan, data, dan informasi dalam bentuk hardcopy dan/atau
softcopy kepada Wajib Pajak terkait dengan materi yang disengketakan melalui
penyampaian surat permintaan peminjaman buku, catatan, data dan informasi;
b. meminta Wajib Pajak untuk memberikan keterangan terkait dengan materi
yang disengketakan melalui penyampaian surat permintaan keterangan;
c. meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan
kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak melalui
penyampaian surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
d. meninjau tempat Wajib Pajak, termasuk tempat lain yang diperlukan;
e. melakukan pembahasan dan klarifikasi atas hal-hal yang diperlukan dengan
memanggil Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan;
- Surat panggilan dikirimkan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
tanggal pembahasan dan klarifikasi atas sengketa perpajakan.
- Pembahasan dan klarifikasi dituangkan dalam berita acara pembahasan
dan klarifikasi sengketa perpajakan.
f. melakukan pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka keberatan untuk
mendapatkan data dan/atau informasi yang objektif yang dapat dijadikan dasar
dalam mempertimbangkan keputusan keberatan.
2. Wajib Pajak harus memenuhi pinjaman dan/atau permintaan paling lama 15 (lima
belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan peminjaman dan/atau surat
permintaan keterangan dikirim.
3. Apabila sampai dengan jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat
permintaan peminjaman dan/atau surat permintaan keterangan dikirim berakhir,
Wajib Pajak tidak meminjamkan sebagian atau seluruh buku, catatan, data dan
informasi dan/atau tidak memberikan keterangan yang diminta, Direktur Jenderal
Pajak menyampaikan:

141
a. surat permintaan peminjaman yang kedua; dan/atau
b. surat permintaan keterangan yang kedua.

4. Wajib Pajak harus memenuhi pinjaman dan/atau permintaan yang kedua paling lama
10 (sepuluh) hari kerja setelah tanggal surat peminjaman dan/atau permintaan yang
kedua dikirim.

JANGKA WAKTU PENYELESAIAN KEBERATAN

1. Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal Surat Keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan yang
diajukan.
- Jangka waktu tersebut dihitung sejak tanggal Surat Keberatan diterima sampai
dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan.
2. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari
Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak
dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak
tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak
sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal
Pajak.
3. Apabila jangka waktu di atas telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak
dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan
Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.

PENCABUTAN PENGAJUAN KEBERATAN


1. Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir
(SPUH) oleh Wajib Pajak.
2. Pencabutan pengajuan keberatan dilakukan melalui penyampaian permohonan
dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
3. Permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat
mencantumkan alasan pencabutan;
4. Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan
tersebut ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus
dilampiri dengan surat kuasa khusus;
5. Surat permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang merupakan atasan Kepala Kantor Pelayanan
Pajak.
6. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan jawaban atas permohonan pencabutan
pengajuan keberatan berupa surat persetujuan atau surat penolakan.

142
7. Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada
Direktur Jenderal Pajak ini tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau
pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.
8. Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan, Wajib Pajak dianggap tidak
mengajukan keberatan.
9. Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan, pajak yang masih
harus dibayar dalam SKPKB atau SKPKBT yang tidak disetujui dalam Pembahasan
Akhir Hasil Pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi menjadi utang
pajak sejak tanggal penerbitan SKP.

KETENTUAN TAMBAHAN
Wajib Pajak yang mengajukan keberatan tidak dapat mengajukan permohonan:
1. pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sanksi administrasi berupa bunga,
denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan;
2. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar; atau
3. pembatalan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang
dilaksanakan tanpa:
a. Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan atau surat
pemberitahuan hasil Verifikasi; atau
b. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau Pembahasan Akhir Hasil Verifikasi
dengan Wajib Pajak.

23.3 Proses pembayaran penyetoran PBB melalui sistem satu tempat


pembayaran (SISTEP)
1. Penagihan PBB
Ketentuan yang dibuat oleh pemerintah pusat mengacu pada pasal 11 undang undang
nomor 12 tahun 1985 tentang pajak bumi dan bangunan.Berdasarkan ketentuan tersebut
jangka waktu pembayaran pajak terutang ditentukan berdasarkan jenis surat terutang yang
merupakan dasar penagihan pajak tersebut. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU
PBB, otoritas pajak melakukan penagihan pajak dengan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
(SPPT) yang diterbitkan atas dasar Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Namun, untuk
membantu wajib pajak, SPPT dapat diterbitkan berdasarkan data objek pajak yang telah ada
pada Ditjen Pajak (DJP). Selain itu, merujuk pada Pasal 10 ayat (2) UU PBB, otoritas pajak
juga dapat melakukan penagihan pajak dengan Surat Ketetapan Pajak (SKP) apabila wajib
pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan yang berlaku. Penagihan dengan SKP tersebut
dilakukan apabila wajib pajak yang tidak menyampaikan SPOP pada waktunya walaupun
sudah ditegur secara tertulis atau apabila jumlah pajak yang terutang ternyata lebih besar dari
jumlah pajak dalam SPPT yang dihitung atas dasar SPOP. Untuk penagihan pajak yang
terutang dengan SPPT, berdasarkan pada Pasal 11 ayat (1) UU PBB, pajak yang terutang
tersebut harus dilunasi dalam jangka waktu paling lambat enam bulan. Jangka waktu tersebut
terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak yang bersangkutan.

143
Sementara itu, sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UU PBB, untuk penagihan pajak yang
terutang dengan SKP, pajak yang terutang tersebut harus dilunasi paling lambat dalam waktu
satu bulan. Jangka waktu yang dimaksud juga terhitung sejak tanggal diterimanya SKP oleh
wajib pajak. Lebih lanjut, sesuai Pasal 11 ayat (3) UU PBB, apabila seorang wajib pajak
terlambat atau kurang dalam melakukan pembayaran pajak yang terutang padanya maka
terhadap wajib pajak tersebut akan dikenai denda administrasi. Adapun denda yang
dikenakan, sebesar 2% setiap bulannya dihitung sejak tanggal jatuh tempo sampai tanggal
dilakukannya pembayaran dalam jangka waktu paling lama 24 bulan. Sebagaimana diatur
Pasal 11 ayat (4) UU PBB, untuk penagihan denda administrasi dan pokok pajaknya
dilakukan melalui Surat Tagihan Pajak (STP). Adapun dalam penagihan yang dilakukan,
meliputi denda administrasi beserta jumlah hutang pajak yang belum atau yang kurang
bayarnya.
Denda administrasi tersebut harus dilunasi paling lambat dalam jangka waktu satu
bulan sejak diterimanya STP oleh wajib pajak. Selain itu, mengacu pada ketentuan Pasal 14
UU PBB, menteri keuangan juga dapat melimpahkan kewenangan untuk melakukan
penagihan PBB kepada gubernur, bupati, atau wali kota. Selanjutnya, ketentuan penagihan
PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah (PBB-P2) diatur dalam Pasal 101 UU PDRD.
Sesuai dengan pasal tersebut, kepala daerah memiliki kewenangan untuk menentukan tanggal
jatuh temponya pembayaran dan penyetoran PBB yang terutang. Mengenai penetapan tanggal
jatuh temponya, berdasarkan Pasal 101 ayat (1) UU PDRD, harus sudah ditetapkan dalam
jangka waktu paling lama 30 hari kerja setelah saat terutangnya pajak. Sementara itu, untuk
penetapan tanggal jatuh setelah diterimanya SPPT oleh wajib pajak tidak boleh lebih dari
enam bulan sejak tanggal diterimanya SPPT tersebut. Berdasarkan Pasal 101 ayat (2) UU
PDRD, untuk dasar penagihan pajak melalui SPPT, SKPD (Surat Ketetapan Pajak Daerah),
SKPDKB (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar), SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak
Daerah Kurang Bayar Tambahan), STPD (Surat Tagihan Pajak Daerah), Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan putusan banding yang menyebabkan jumlah
PBB yang harus dibayar bertambah maka pajak yang terutang tersebut harus dilunasi dalam
jangka waktu paling lama satu bulan. Jangka waktu di atas mulai terhitung sejak tanggal
diterbitkannya dasar penagihan tersebut. Selain itu, berdasarkan Pasal 101 ayat (3) UU
PDRD, kepala daerah juga diberi kewenangan untuk memberikan persetujuan kepada wajib
pajak agar dapat mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya apabila wajib pajak
tersebut telah memenuhi persyaratan yang ditentukan. Namun, untuk pengangsuran atau
penundaan pembayaran tersebut, dikenakan bunga sebesar 2% untuk setiap bulannya sampai
pembayaran dilunasi. Secara keseluruhan, perbedaan antara penagihan PBB oleh pemerintah
pusat dan daerah terletak pada pihak yang berwenang untuk melakukan penagihan tersebut.
Jika dibandingkan dengan penagihan PBB oleh pemerintah pusat, ketentuan penagihan PBB
oleh pemerintah daerah atau PBB-P2 cenderung lebih beragam. Hal ini dikarenakan
tergantung dari ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah daerahnya masing-masing seperti
mengenai tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran PBB.

144
2. Tata Cara Pembayaran PBB
Tata cara pembayaran PBB yang dipungut pemerintah pusat diatur dalam Pasal 11 ayat
(5) UU PBB. Berdasarkan ketentuan tersebut, pembayaran PBB dapat dilakukan di bank,
kantor pos, giro, dan tempat lain yang ditunjuk oleh menteri keuangan.
Selanjutnya, mengacu pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan
No.242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (PMK 242/2014),
pembayaran dan penyetoran pajak termasuk PBB dilakukan dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP).
Selain dengan SPP, pembayaran dan penyetoran PBB Juga dapat dilakukan
menggunakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Adapun sarana
administrasi lain yang dimaksud berdasarkan Pasal 11 ayat (3) PMK 242/2014.
Sarana administrasi lain itu meliputi bukti penerimaan negara (BPN), bukti
pemindahbukuan (Pbk) atas pembayaran, atau bukti penerimaan pajak lainnya yang
ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang penggunaanya akan
dinyatakan sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Untuk bukti Pbk baru dinyatakan sah apabila telah ditandatangani oleh pejabat yang
berwenang untuk menerbitkan bukti Pbk.
Adapun tata cara pembayaran PBB yang dipungut oleh pemerintah daerah diatur
dalam peraturan masing- masing daerah sebagaimana ditekankan dalam Pasal 101 ayat (4)
UU PDRD. Untuk tenggat waktu pembayaran juga ditetapkan oleh pemerintah daerah,
misalnya dalam hal ada perpanjangan jatuh tempo pembayaran PBB. Simak Jatuh Tempo
Pembayaran PBB-P2 Diperpanjang Sampai Oktober 2020. Namun, apabila wajib pajak masih
belum juga melunasi pembayaran PBB bank yang dipungut pemerintah pusat maupun daerah
sampai waktu Jatuh tempo maka berdasarkan Pasal 13 UU PBB dan Pasal 102 UU PDRD,
otoritas pajak dan pemerintah daerah dapat melakukan penagihan dengan surat paksa. Selain
itu, untuk memudahkan wajib pajak, saat ini sudah banyak pemerintah daerah yang
menerapkan pembayaran PBB melalui sistem elektronik atau online. Pembayaran tersebut
dilakukan melalui aplikasi tertentu sesuai dengan yang ditetapkan oleh masing-masing
pemerintah.

145
BAB XXIV
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

24.1 Pengertian
Berdasarkan pasal 1 angka 41 Undang-Undang (UU) 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB
adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas
tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Sedangkan Hak atas Tanah dan Bangunan
adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
BPHTB sebelumnya merupakan jenis pajak pusat, namun setelah adanya UU No.28
Tahun 2009 berubah menjadi pajak daerah. Menurut situs resmi Kemenkeu, hal ini dilakukan
sebagai upaya pemerintah dalam mempercepat dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi di
daerah.

24.2 Tarif BPHTB

Dalam proses jual beli properti, BPHTB biasa disebut dengan pajak pembeli. Pembeli
akan dikenakan pajak BPHTB yang besaran biayanya hampir serupa dengan PPh bagi
penjual. Tarifnya sendiri mencapai 5% dari harga jual rumah dikurangi Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Rumusnya adalah sebagai berikut:
Tarif Pajak 5% x Dasar Pengenaan Pajak (NPOP-NPOPTKP)
Besaran NPOPTKP di setiap daerah bervariasi, namun berdasarkan UU No. 28 tahun
2009 pasal 87 ayat 4, jumlah minimum untuk setiap wajib pajak adalah Rp60.000.000.

24.3 Subjek dan Objek BPHTB

Subjek yang dikenakan pajak BPHTB adalah sebagai berikut :


1. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan atau bangunan.
2. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-
undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.

Sedangkan, objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Berikut
beberapa yang termasuk objek BPHTB berdasarkan pasal 85 UU No.28 Tahun 2009:
1. Jual beli;
2. Tukar-menukar;
3. Hibah;
4. Wasiat, yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas
tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang
berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia;

146
5. Waris;
6. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yaitu pengalihan hak atas
tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas
atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau
badan hukum lainnya tersebut;
7. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan. yaitu pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama
pemegang hak bersama;
8. Penunjukan pembeli dalam lelang, yaitu penetapan pemenang lelang oleh Pejabat
Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang:
9. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. yaitu adanya
peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada
pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut;
10. Penggabungan usaha, yaitu penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan
cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan likuidasi badan
usaha lainnya yang bergabung.

24.4 Objek yang Tidak Dikenakan BPHTB

Ada 6 pihak yang atas perolehan hak tanah atau bangunannya tidak dikenakan
BPHTB. Keenam pihak yang tidak dikenakan BPHTP tersebut adalah:
1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasar perlakuan timbal balik.
2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintah atau pelaksanaan pembangunan guna
kepentingan umum.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan Menteri Keuangan.
4. Seorang individu atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan
tidak adanya perubahan nama.
5. Wakaf atau warisan.
6. Digunakan kepentingan ibadah

24.5 Syarat BPHTB

Ketika seseorang melakukan jual-beli tanah atau tanah berikut bangunannya, maka
berikut persyaratan BPHTB yang harus dipenuhi:
1. Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB.
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) PBB untuk tahun yang
bersangkutan.
3. Fotokopi KTP wajib pajak.
4. Fotokopi Surat Tanda Terima Setoran (STTS)/struk ATM bukti pembayaran PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan) untuk 5 tahun terakhir.
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah seperti sertifikat, akta jual beli, letter C atau girik.

Apabila Anda mendapatkan tanah atau rumah untuk hibah, waris, atau jual-beli waris,
maka syarat BPHTB sebagai berikut:

147
1. SSPD BPHTB.
2. Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan.
3. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) wajib pajak.
4. Fotokopi STTS/struk ATM (Anjungan Tunai Mandiri) bukti pembayaran tarif PBB
untuk 5 tahun terakhir.
5. Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah, seperti sertifikat, akta jual beli, letter C, atau girik.
6. Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah.
7. Fotokopi Kartu Keluarga (KK).

24.6 Pengajuan Keberatan BPHTB

Keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak atas :


1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar BPHTB (SKPDKB-BPHTB); atau
2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan BPHTB (SKPDKBT-
BPHTB); atau
3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar BPHTB (SKPDLB-BPHTB); atau
4. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil BPHTB (SKPDN-BPHTB).

24.7 Saat dan Tempat Pajak Terutang

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk :
1. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, yaitu tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan Pejabat Pembuatan Akta
Tanah/Notaris
2. Tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
3. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
4. Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke
Kantor Pertanahan
5. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainya adalah sejak tanggal dibuat
dan ditandatanganinya akta
6. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta
7. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang, yaitu tanggal
ditandatanganinya Risalah Lelang oleh Kepala Kantor Lelang Negara atau kantor
lelang lainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
memuat antara lain nama pemegang lelang
8. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum yang tetap
9. Hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya
ke Kantor Pertanahan
10. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak
tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak
11. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
12. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta

148
13. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
14. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta
Tempat BPHTB terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Provinsi yang
meliputi letak tanah dan atau bangunan. BPHTB yang terutang dibayar ke kas negara melalui
Bank/Kantor Pos Persepsi BPHTB, yaitu Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik
Negara atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan menggunakan
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah atau Bangunan (SSB). Hasil penerimaan
BPHTB dibagi dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat yang selanjutnya dikembalikan lagi
secara merata ke setiap kabupaten/kota
2. 16% (enam belas persen) untuk provinsi dan
3. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota

24.8 Sanksi Pelanggaran BPHTB

Sesuai dengan Pasal 93 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU PDRD, apabila terdapat
PPAT/notaris dan kepala kantor tersebut terbukti melanggar ketentuan BPHTB maka
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp7.500.000 untuk setiap pelanggaran.
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara juga akan dikenakan denda sebesar
Rp250.000 untuk setiap laporan.

24.9 Contoh Perhitungan BPHTB


Diperjual-belikan sebidang tanah kosong di Jakarta sebagai berikut:
Luas = 1.000m2
NJOP = 1.000.000/meter
NPOPTKP adalah Rp80.000.000 (DKI Jakarta)
Harga kesepakatan antara penjual dan pembeli adalah Rp2.000.000/meter
Maka nilai NPOP (Nilai Transaksi) = 1.000 x 2.000.000 = Rp2.000.000.000

Besarnya BPHTB adalah sebagai berikut:


BPHTB = 5 persen x (NPOP – NPOPTKP)
Besarnya BPHTB = 5 persen x (Rp2.000.000.000 – Rp80.000.000) = Rp96.000.000

149
DAFTAR PUSTAKA

Asp, Riki. 2023. PPh Pasal 22 atas Penjualan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, dan
Pelumas. Retrieved May 01, 2023, from https://rikiasp.id/pph/pph-pasal-22-atas-
penjualan-bahan-bakar-minyak-bahan-bakar-gas-dan- pelumas/#:~:text=PPh%20Pasal
%2022%20atas%20penjualan%20bahan%20bakar%2 0minyak%2C,401%20untuk
%20penyalur%2Fagen%20atau%20100%20untuk%20sel ain%20agen%2Fpenyalur.

Assiddiq, Maghastria. (2023). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari Sejarah Pajak dan Bumi Bangunan di
Indonesia - PAJAK.COM

Ayu, Monica. 2022. Stelsel Pemungutan Pajak. Retrieved May 01, 2023, from
https://nasional.kompas.com/read/2022/05/27/01000051/stelsel-pemungutan-pajak

Bapenda Jabar. 2017. Perbedaan Pajak dan Retribusi. Retrieved May 01, 2023, from
https://bapenda.jabarprov.go.id/2017/02/22/perbedaan-pajak-dan-retribusi/

Berita Bisnis. (2023). Diakses Pada 1 Mei 2023, https://kumparan.com/berita-


dari
bisnis/pengertian-bphtb-tarif-dan-subjek-objek-pajaknya-1znITncaY4I/full

Budi, Johan. 2022. Apa itu Deductible Expense dan Non- Deductible Expense? Retrieved
May 02, 2023, from
https://www.sobatpajak.com/article/62a9b9f21f70cd04219526f2/Apa%20itu

Cermati. (2016). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari https://www.cermati.com/artikel/bphtb-


pengertian- dasar-hukum-dan-syarat-mengurusnya

CNN Indonesia. 2022. Sumber Pendapatan Negara dan Daerah beserta Contohnya.
Retrieved May 01, 2023, from
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220317143338-537- 774047/sumber-
pendapatan-negara-dan-daerah-beserta-contohnya

Dinas Pendapatan Kabupaten Indragiri Hulu. (2015). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari TATA CARA
PENDAFTARAN OBJEK PAJAK BARU UNTUK DITERBITKAN SPPT PBB
(inhukab.go.id)

DorinteZ. 2021. Pajak Penghasilan Pasal 21. Retrieved May 01, 2023, from https://
djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/informasi/perpajakan/pph-pasal-21.html
Ferdiyani, Zeni. (2018). Perpajakan Makalah PPh Pasal 25. Diakses dari
https://www.scribd.com/document/478091411/PERPAJAKAN-MAKALAH-pph-
pasal-25-docx#

Fitriya. 2022. Inilah Daftar Subjek dan Objek Pajak yang Dikecualikan dari PPh. Retrieved
May 01, 2023, from https://klikpajak.id/blog/inilah-daftar-subjek-dan-objek-pajak-
yang-dikecualikan-dari-pph/

Fitriya. 2022. Tarif Progresif PPh 21 Terbaru dan Rumus Perhitungannya. Retrieved May 01,
2023, from https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-pasal-21-2/

Fitriya. 2023. PPh Pasal 22 : Tarif, Cara Hitung dan Lapor SPT Masa PPh 22. Retrieved May
01, 2023, from https://klikpajak.id/blog/pph-pasal-22-dan-lapor-spt-pph-22/

Harmony. 2021. Cara Menghitung PPh 21 Pegawai Tetap, Simak Selengkapnya. Retrieved
May 01, 2023, from https://www.harmony.co.id/blog/cara-menghitung-pph-21-
pegawai-tetap

Harmony.co.id. 8 Juni 2021. Apa Itu Deductible Expense Dan Contohnya. Retrieved May 01,
2023, from https://www-harmony-co-id.translate.goog/blog/apa-itu-deductible-
expense-dan-contohnya?_x_tr_sl=id&_x_tr_tl=en&_x_tr_hl=en&_x_tr_pto=sc

Hi Pajak. (2022). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari https://www.hipajak.id/artikel-pengertian-dan-


tarif-pph-pasal-25
Hidayah, Nuril. 2022. Kenali Apa itu Penyusutan Fiskal Dalam Perpajakan. Retrieved May
01, 2023, from https://mekari.com/blog/penyusutan-fiskal/

Holandari, Aida. 2021. Kenali 3 Jenis Sistem Pemungutan Pajak di Indonesia. Retrieved May
02, 2023, from https://www.pajakku.com/read/608291caeb01ba1922ccaa24/Kenali-3-
Jenis-Sistem-Pemungutan-Pajak-di-Indonesia

Ibnu. (2020). PPh Final dan Tidak Final: Pengertian Lengkap dan Perbedaannya. Retrieved
April 31, 2023, from https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pph-final-dan-tidak-final-
pengertian-lengkap-dan-perbedaannya/

Ibnu. (2022, April 22). Accurate. Retrieved May 01, 2023, from https://accurate.id/ekonomi-
keuangan/pajak-terutang/
Ibnu. 2022. Mengenal 4 Prinsip Pajak yang Baik untuk Diterapkan di Indonesia. Retrieved
May 01, 2023, from https://accurate.id/ekonomi-keuangan/prinsip-
pajak/#:~:text=Adapun%20prinsip%20pajak%20yang%20dikemukakan,prinsip%20ke
tepatan%20waktu%20(convenience).

Ibnu. 2022. PPh Pasal 22: Pengertian, Objek Pajak, dan Tarifnya. Retrieved May 01, 2023,
from https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pph-pasal-22/

Isni Rahayu, Mutia. 2022. PPh 22 Bendaharawan – Pemungut, Tarif, Cara Bayar, dll.
Retrieved May 01, 2023, from https://lifepal.co.id/media/pph-22-bendaharawan/

Katadata Media Network. 2019. Retrieved May 01, 2023, from


https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/28/berapa-penerimaan-
pemerintah-dari-sumber-daya-alam

Kelly, Roy. (2003). Property Taxation in Indonesia: Challenges from Decentralization (Lincoln
Institute ofLand Policy Working Paper). Diakses dari
https://www.lincolninst.edu/sites/default/files/pubfiles/788_kelly03web.pdf

Keuangan, Kementerian. (n.d). Biaya Yang Diakui Sebagai Pengurang Penghasilan Bruto.
Retrieved May 02, 2023, from https://pajak.go.id/id/biaya-yang-diakui-sebagai-
pengurang-penghasilan-bruto

Keuangan, Kementerian. (n.d). Objek PPh. Retrieved May 01, 2023, from
https://www.pajak.go.id/id/objek-pph

Keuangan, Kementerian. (n.d.). Retrieved May 01, 2023, from


https://djpk.kemenkeu.go.id/?ufaq=bagaimana-kementerian-keuangan-menghitung-
pdn-neto

Keuangan, Kementerian. 2020. Mengulik Filosofi Cukai dan Strategi Kebijakan Publik.
Retrieved May 02, 2023, from https://www.beacukai.go.id/berita/mengulik-filosofi-
cukai-dan-strategi-kebijakan-publik.html

Keuangan, Kementerian.(n.d). PPh Pasal 4 ayat 2. Retrieved May 01, 2023, from
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-4-ayat-2
Klik Pajak. (2022, 09 18). Retrieved May 01, 2023, from https://klikpajak.id/blog/pajak-
terutang-pengertian-contoh-perhitungan-cara-bayar/

Ma’as, Ayu. 2022. Macam-Macam Sumber Devisa dan Pendapatan Negara, Ekonomi Kelas
X SMA. Retrieved May 01, 2023, from https://kids.grid.id/read/473086722/macam-
macam-sumber-devisa-dan-pendapatan-negara-ekonomi-kelas-x-sma

Mahatmavidya, P. A. (2021, 11 05). Retrieved May 01, 2023, from


https://mekari.com/blog/cara-menghitung-pajak-penghasilan-orang-
pribadi/#:~:text=Hitung%20Penghasilan%20Kena%20Pajak%20(PKP)%3D%20Peng
hasilan%20bersih%2D%20PTKP%3D,x%2015%25%3D%2011.250.000

Maulida, R. (2022, 10 06). Retrieved May 01, 2023, from https://www.online-


pajak.com/tentang-pph21/penghasilan-bruto

Mekari Klik Pajak. (2022). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari https://klikpajak.id/blog/bphtb-
pengertian-objek-tarif-cara-menghitung-dan-syarat-
mengurus/#Cara_Menghitung_Tarif_BPHTB

Mekari Klik Pajak. (2022). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari Mengenal SPOP (Surat Pemberitahuan
Objek Pajak) (klikpajak.id)

Mekari Klik Pajak. (n.d.). Retrieved May 01, 2023, from https://klikpajak.id/blog/pph-25-
badan-dan-perhitungannya/

Mekari Klik Pajak. 2021. PTKP Terbaru: Istilah Status PTKP PPh 21 dan Tarif PTKP.
Retrieved April 29, 2023, from https://klikpajak.id/blog/pengertian-ptkp/

Mekari Klik Pajak. 2022. Panduan Pajak Penghasilan : Jenis, Objek, Subjek, Tarif, Contoh.
Retrieved May 01, 2023, from https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-jenis-pph-
objek-subjek-tarif-
perhitungan/#B_Siapa_Saja_Subjek_Pajak_Penghasilan_Jenis_Subjek_PPh

msmconsulting. 2022. 2 Metode Penyusutan dalam Pajak dan Tarifnya. Retrieved May 02,
2023, from https://msmconsulting.co.id/news/52/2-metode-penyusutan-dalam-pajak-
dan-tarifnya
OCBC NISP. 2023. Mengenal Jenis Sumber Pendapatan Negara Beserta Contohnya.
Retrieved May 02, 2023, from
https://www.ocbcnisp.com/id/article/2023/02/02/sumber- pendapatan-
negara#:~:text=Sumber%20pendapatan%20negara%20berasal%20dari,Pajak%20(PN
BP)%20dan%20hibah.

OnlinePajak. 2016. PPh 21 Pegawai Tidak Tetap & Cara Perhitungannya. Retrieved May 02,
2023 from https://www.online-pajak.com/tentang-pph21/pph-21-pegawai-tidak-tetap

OnlinePajak. 2018. Pengertian, Objek dan Tarif Barunya. Retrieved May 01, 2013 from
https://www.online-pajak.com/tentang-pph-final/pph-final

OnlinePajak. 2018. PPh Final: Pengertian, Objek dan Tarif Barunya. Retrieved May 01,
2023, from https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pph-final-dan-tidak-final-pengertian-
lengkap-dan-perbedaannya/

OnlinePajak. 2022. Panduan Lengkap & Terbaru Cara Perhitungan PPh Pasal 21. Retrieved
May 01, 2023 from https://www.online-pajak.com/tentang-pph21/cara-perhitungan-
pph-21

OnlinePajak. 2023. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22). Retrieved May 01, 2023 from
https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/pph-pajak-penghasilan-pasal-22

OnlinePajak. 2023. PTKP 2021 Terbaru untuk Menghitung PPh 21. Retrieved April 29, 2023,
from https://accurate.id/ekonomi-keuangan/pph-final-dan-tidak-final-pengertian-
lengkap-dan-perbedaannya/

Pajakku. (2021). Diakses Pada 30 April 2023, dari


https://www.pajakku.com/read/60c325cceb01ba1922ccadeb/Mengenal-Apa-Itu-Pajak-
Bumi-dan-Bangunan

PDAI Medan Area University. 2021. What are the sources of income for the State of
Indonesia. Retrieved May 01, 2023, from https://manajemen.uma.ac.id/2021/11/apa-
saja-sumber- pendapatan-negara-indonesia/

Perpajakan. (n.d). Keputusan Menteri Keuangan Nomor 282/KMK.04/1997. Retrieved May


01, 2023, from
https://perpajakan-id.ddtc.co.id/sumber-hukum/peraturan-pusat/keputusan- menteri-
keuangan-282kmk-041997
Perpajakan. (n.d). Perhitungan PPh Pasal 4 ayat (2) atas Transaksi Saham dan Sekuritas Lainnya -
Retrieved May 01, 2023, from https://perpajakan.ddtc.co.id/ilustrasi-kasus/read/15

Perpajakan. (n.d.). Retrieved May 01, 2023, from https://perpajakan.ddtc.co.id/ilustrasi-


kasus/read/49

Pintar, Kelas. 2020. Asas Perpajakan Menurut Adam Smith, Apa Saja?. Retrieved April 31,
2023, from https://www.kelaspintar.id/blog/edutech/asas-perpajakan-menurut-adam-
smith-apa-saja-7953/

Pratiwi, Rachel Yolanda. 2022. Pajak Penghasilan Umum dan Cara Perhitungannya.
Retrieved May 01, 2023, from https://www.pajak.com/komunitas/opini-pajak/pajak-
penghasilan- umum-dan-cara-perhitungannya/

Pratiwi, Rachel Yolanda. 2022. Teori-Teori Pemungutan Pajak. Retrieved May 01, 2023,
from https://www.pajak.com/pajak/teori-teori-pemungutan-pajak/

Ramadhani, Niko. 2021. 5 Macam Sumber Penerimaan Negara Selain dari Pajak. Retrieved
May 01, 2023, from https://www.akseleran.co.id/blog/sumber-penerimaan-negara/

Redaksi DDTC News. (2017). Diakses Pada 30 April 2023, dari https://news.ddtc.co.id/contoh-
soal- perhitungan-pph-pasal-26-9855

Redaksi DDTC News. (2022). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari https://news.ddtc.co.id/tata-cara-
penagihan-dan-pembayaran-pbb-27242

Retrieved May 01, 2023, from https://www.online-pajak.com/seputar-efiling/bunga-


simpanan- koperasi

Sandi, Fajar Billy. 2023. Bunga Simpanan Koperasi, Bagaimana Aspek Perpajakannya?

Tax Center Unesa. (2021). Diakses Pada 1 Mei 2023, dari


https://taxcenterfeunesa.com/read/20/konsep-dasar-ppn-dan-ppnbm

Tax Center Unesa. (2022). Diakses Pada 30 April 2023, dari


https://taxcenterfeunesa.com/read/22/pph-pasal-26-pengertian-subjek-tarif-cara-
perhitungan-dan-pengecualian-pph-pasal-26
Tim Hukumonline. 2022. 5 Sumber Utama Penambahan Devisa Negara. Retrieved May 01,
2023, from https://www.hukumonline.com/berita/a/sumber-utama-penambahan-
devisa-negara-lt62675ce9a0d76/
Unknown. 2022. PPh Pasal 21/26. Retrieved May 01, 2023 from
https://www.pajak.go.id/id/pph-pasal-2126

Unknown. 2023. Apakah yang menjadi Objek PPh Pasal 21. Retrieved May 01, 2023 from
https://dokterpajak.com/objek-pph-pasal- 21#:~:text=Apakah%20objek%20PPh
%20Pasal%2021%20itu%3F%20Semua%20pen ghasilan,kegiatan%20orang
%20pribadi%20tersebut.%20OBJEK%20PPh%20PASAL
%2021

Unknown. 2023. PPh Pasal 22 Impor, Apa Semua Impor Kena?. Retrieved May 01, 2023
from https://dokterpajak.com/pph-pasal-22-impor

Wahyudi, Eddhi. (2014). Diakses Pada 30 April 2023, dari https://eddiwahyudi.com/perspektif-


pajak-sebagai-sarana-pendukung-pembangunan/pajak-bumi-dan-bangunan-pbb/

ZF, A. (2022, 12 06). Retrieved May 01, 2023 from https://flazztax.com/2022/12/06/ketahui-


tentang-penghasilan-kena-pajak-pkp-dan-penghasilan-tidak-kena-pajak-ptkp/

Anda mungkin juga menyukai