Disusun oleh:
Dosen Pembimbing 1 :
YAMASITHA,S.E,M.M
Dosen Pembimbing 2 :
Yosi Puspita Sari,S.E,M.M
KONSENTRASI : PERPAJAKAN
JURUSAN AKUNTANSI
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, keagungan, limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang selalu menyertai penulis
dalam setiap langkah, sehingga dapat menyelesaikan Seminar Rancangan Skripsi ini
sebagai syarat untuk mata kuliah Seminar Rancangan Skripsi di semester ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah berusaha
membantu dalam penyusunan laporan ini, dan kami berharap semoga laporan ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi laporan ini sehingga ke depannya dapat
lebih baik.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................2
BAB 1........................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................4
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................................10
1.3 Batasan masalah.............................................................................................10
1.4 Perumusan Masalah........................................................................................10
1.5 Tujuan Penelitian............................................................................................11
1.6 Manfaat Penelitian..........................................................................................11
BAB II.........................................................................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................13
2.1 Landasan Teori..............................................................................................13
2.2 Penelitian Terdahulu......................................................................................26
2.4 Hubungan antar Variabel Penelitian..............................................................34
2.5. Pengembangan Hipotesis..............................................................................37
BAB III........................................................................................................................38
METODE PENELITIAN.........................................................................................38
3.1 Strategi Penelitian..........................................................................................38
3.2 Populasi dan Sampel......................................................................................38
3.4 Operasionalisasi Variabel...............................................................................40
Tabel 3.1...............................................................................................................40
3.5 Metode Analisis Data.....................................................................................43
Tabel 3.2...............................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................48
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada tahun 2017 realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp1.151,13 triliun
dari target Rp 1.283,57 triliun, atau sebesar 89,40% sehingga masih tedapat
shortfall sebesar Rp 132 triliun dari target APBNP 2017. Sementara, realisasi
penerimaan pajak pada tahun 2017 sampai 2020 masih berfluktuatif, walaupun
sudah cukup tinggi.
Tidak tercapainya target penerimaan dana pajak oleh pemerintah merupakan salah
satu indikasi adanya tindakan penggelapan pajak (Suminarsasi dan Supriyadi,
2011). Menurut Mardiasmo (2011), penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha
yang dilakukan oleh Wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang seperti memalsukan dokumen, atau mengisi data
dengan tidak lengkap dan benar.
Rahayu (2010) menyatakan bahwa pengelapan pajak (tax evasion) merupakan
usaha aktif Wajib pajak dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal
terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak
sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak (tax evasion)
merupakan tindakan ilegal untuk tidak membayar pajak dengan melakukan
tindakan menyimpang dalam berbagai bentuk kecurangan yang dilakuan secara
sengaja dan dalam keadaan sadar. Menurut Suandy (2013), tindakan penggelapan
pajak menjadi salah satu faktor tidak tercapainya target penerimaan pajak di
Indonesia.
Penggelapan pajak menyebabkan kurangnya penerimaan pajak yang telah
ditargetkan. Suandy (2013) juga mengatakan umumnya wajib pajak enggan
membayar pajak karena mereka menganggap bahwa membayar pajak akan
mengurangi penghasilan mereka. Oleh karena itu, wajib pajak akan selalu
berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin atau bahkan menghindarinya.
Berdasarkan pada telaah literatur, penggelapan pajak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya keadilan, sanksi pajak dan pemahaman perpajakan.
Merujuk kepada teori atribusi, perilaku seseorang diatribusikan oleh faktor
eksternal dan internal. Perilaku yang disebabkan oleh faktor eksternal adalah
perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku
karena situasi, sedangkan perilaku yang disebabkan oleh faktor internal adalah
perilaku yang diyakini berada dibawah kendali pribadi itu sendiri (Jatmiko, 2006).
Dengan demikian, terkait dengan pengelapan pajak, keadilan dan sanksi pajak
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi wajib pajak untuk melakukan
tindakan penggelapan pajak, sedangkan pemahaman perpajakan merupakan faktor
internal yang mempengaruhi wajib pajak untuk melakukan tindakan penggelapan
pajak.
Keadilan merupakan salah satu faktor eksternal yang memengaruhi wajib
pajak untuk melakukan tindakan penggelapan pajak. Sistem perpajakan yang adil
adalah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam
situasi ekonomi yang sama (misalnya mempunyai penghasilan tahunan yang
sama) dan memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap orang atau badan
dalam keadaan ekonomi yang berbeda-beda (Zain, 2008). Menurut Nickerson et
al. (2009), pemerintah dapat dikatakan adil apabila uang pajak yang dibayarkan
oleh masyarakat digunakan untuk pengeluaran umum negara, selain itu
pengenaan dan pemungutan pajak terhadap masyarakat diperlakukan dengan
sama. Jika masyarakat merasa adil, maka masyarakat akan melakukan
kewajibannya dalam membayar pajak dan tindakan penggelapan pajak akan
menurun.
Sebaliknya, jika masyarakat merasakan tidak adil, maka masyarakat akan
cenderung melakukan tindakan penggelapan pajak (Permatasari dan Laksito,
2013).Hal ini menunjukkan bahwa keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap
perilaku penggelapan pajak. Dengan adanya keadilan pajak akan dapat
mengurangi tindakan penggelapan pajak. Pengaruh negatif keadilan terhadap
penurunan penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu
seperti penelitian yang dilakukan oleh (Permatasari dan Laksito, 2013;
Kurniawati dan Toly, 2015; Paramita dan Budiasih, 2016; Fatimah dan Wardani,
2017) dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama Pekanbaru
Senapelan, Surabaya Barat, Badung Utara, dan Temanggung, menunjukkan
bahwa keadilan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak.
Arah hubungan tersebut menunjukkan bahwa apabila para wajib pajak
memiliki persepsi keadilan pajak yang baik, maka tindakan tax evasion
(penggelapan pajak) akan cenderung menurun (Kurniawati dan Toly, 2015). Hasil
yang sama juga diperoleh Dewi dan Merkusiwati (2016) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Denpasar Timur, menunjukkan bahwa
keadilan pajak memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku
penggelapan pajak. Bila keadilan pajak mampu diterapkan secara baik maka akan
memegang peranan penting dalam meningkatkan kepatuhan Wajib pajak yang
berimplikasi pada minimnya perilaku penggelapan pajak. Hal ini karena Wajib
pajak akan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya untuk melakukan
pembayaran pajak ketika mereka mampu memperoleh keadilan yang sebaik
baiknya. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Monica dan Arisman
(2018) dan Indriyani et al. (2016) menemukan hasil yang berbeda, yaitu, keadilan
tidak berpengaruh terhadap penggelapan pajak (tax evasion).
Penelitian yang dilakukan oleh Monica dan Arisman (2018) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Palembang Seberang Ulu menunjukkan bahwa
keadilan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak yang berarti tingkat keadilan yang dilakukan oleh pemerintah
tidak memberikan pengaruh terhadap persepsi mengenai etika penggelapan pajak.
Penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang tidak dibenarkan atau
dianggap wajar, walaupun manfaat pajak yang dirasakan belum sesuai, membayar
pajak tetap dijalankan oleh wajib pajak karena merupakan suatu kewajiban setiap
warga negara. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Indriyani et al. (2016)
dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama Karanganyar juga
mengungkapkan bahwa keadilan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
orang pribadi mengenai perilaku penggelapan pajak (tax evasion).
Sanksi perpajakan merupakan faktor eksternal berikutnya yang memengaruhi
wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Sanksi perpajakan adalah
jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan akan
dituruti/ ditaati/ dipatuhi atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat
agar wajib pajak tidak melanggar aturan perpajakan (Mardiasmo, 2011). Wajib
pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila memandang bahwa
sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Apabila
sanksi pajak yang dibebankan kepada wajib pajak semakin berat, maka akan
mendorong wajib pajak untuk patuh dan penggelapan pajak akan berkurang,
begitu pula sebaliknya (Nopriana et al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa sanksi
perpajakan berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak. Dengan
adanya sanksi perpajakan, maka diekspektasi akan dapat mengurangi tindakan
penggelapan pajak (tax evasion). Pengaruh negatif sanksi terhadap penurunan
penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu.
Penelitian yang dilakukan oleh Maghfiroh dan Fajarwati (2016) dan Yuliyanti et
al. (2017) dengan objek wajib pajak yang mempunyai UMKM di Bekasi dan
wajib pajak yang berada di KPP Pratama Boyolali, mendapatkan temuan bahwa
sanksi pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.
Hasil yang sama juga diperoleh oleh Tobing (2015) dengan objek wajib pajak
yang berada di KPP Pratama Senapelan Pekanbaru.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa semakin tegas sanksi pajak yang diberikan,
maka semakin kecil tingkat kecurangan yang akan dilakukan oleh wajib pajak dan
tindakan penggelapan pajak dianggap perilaku yang tidak etis.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rachmadi dan Zulaikha (2014) dan
Ayem dan Listiani (2019) yang menyimpulkan bahwa sanksi pajak memiliki
pengaruh positif mengenai penggelapan pajak. Artinya semakin berat sanksi pajak
yang diberikan kepada wajib pajak, maka perilaku wajib pajak mengenai
penggelapan pajak akan meningkat. Namun, penelitian yang dilakukan oleh
Nopriana et al. (2016) dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama
Padang Satu menunjukkan bahwa sanksi perpajakan tidak berpengaruh terhadap
tindakan penggelapan pajak. Nopriana et al. (2016) juga mengatakan bahwa pada
kenyataannya, rasa takut untuk melakukan pelanggaran perpajakan belum
berkembang dikalangan masyarakat. Wajib pajak beranggapan bahwa pemerintah
dirasa belum tegas dalam menangani kasus-kasus dibidang perpajakan sehingga
sanksi perpajakan tidak memberikan efek jera dan hanya dianggap sebagai
legalitas dalam peraturan perpajakan. Pemahaman perpajakan merupakan faktor
internal yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan penggelapan pajak.
Menurut Resmi (2009), pengetahuan dan pemahaman akan peraturan
perpajakan adalah proses dimana wajib pajak memahami tentang perpajakan dan
menerapkan pengetahuan itu untuk membayar pajak. Menurut Adiasa (2013),
pemahaman peraturan perpajakan adalah suatu proses dimana wajib pajak
memahami dan mengetahui tentang peraturan dan Undang-Undang serta tata cara
perpajakan dan menerapkannya untuk melakukan kegiatan perpajakan seperti,
membayar pajak, melaporkan SPT, dan sebagainya. Jika pemahaman WP
mengenai perpajakan tinggi maka perilaku WP akan semakin baik sehingga
semakin kecil WP tersebut akan melakukan tindakan penggelapan pajak (Mutia,
2014). Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman perpajakan berpengaruh negatif
terhadap tindakan penggelapan pajak Pengaruh negatif pemahaman perpajakan
terhadap penurunan penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian
terdahulu seperti Dharma et al. (2016) dan Herlangga dan Pratiwi (2017). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Herlangga dan Pratiwi (2017) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Ilir Timur mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak. Pemahaman perpajakan yang baik yang dimiliki oleh wajib pajak dapat
menurunkan tindakan penggelapan pajak (tax evasion) karena wajib pajak yang
paham mengenai peraturan, tata cara membayar pajak, ketentuan-ketentuan dalam
perpajakan, dan sanksi perpajakan maka wajib pajak tidak akan melakukan
penggelapan pajak.
Wajib pajak dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman perpajakan dari
petugas pajak itu sendiri, radio, televisi, media cetak maupun internet. Hasil yang
sama juga diperoleh oleh Dharma et al. (2016) mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman perpajakan maka persepsi penggelapan
pajak semakin rendah.
Namun demikian, penelitian yang di lakukan oleh Bahari (2016) dengan wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Gunung Kidul mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan tidak berpengaruh terhadap penggelapan pajak. Menurut
Bahari (2016) meskipun WP pernah atau tidak pernah melakukan kesalahan
dalam pengisian SPT dan memiliki pemahaman yang baik atau tidak mengenai
perpajakan, hal tersebut tidak mempengaruhi WP untuk melakukan penggelapan
pajak (tax evasion). Uraian diatas menunjukkan variabel keadilan, sanksi pajak
dan pemahaman perpajakan tidak selalu berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Oleh karena itu,
penelitian sekarang ini akan mencoba untuk menguji konsistensi ketiga variabel
tersebut yaitu keadilan, sanksi pajak dan pemahaman perpajakan, dan
menggabungkan variabel tersebut karena pengujian sebelumnya dilakukan secara
terpisah, untuk melihat apakah berpengaruh signifikan atau tidak berpengaruh.
Penelitian ini akan dilakukan di kota Padang yang akan dijadikan sebagai tempat
penelitian karena kota padang yang paling banyak memiliki unit usaha kecil
menengah dari kota/kabupaten lain di sumatera barat yang rata-rata dimiliki oleh
wajib pajak orang pribadi.
1. Banyak wajib pajak orang pribadi yang belum patuh dalam membayar pajak.
2. Banyak wajib pajak orang pribadi yang melakukan Tax Evasion karena adanya
anggapan bahwa pajak mengurangi penghasilan wajib pajak
3. Perbedaan tarif pajak yang dinilai tidak adil cenderung membuat wajib pajak
melakukan tax evasion
4.Kurangnya pemahaman wajib pajak mengenai sanksi pajak yang membuat wajib
pajak orang pribadi melakukan tax evasion
5. Kurangnnya pengetahuan wajib pajak orang pribadi tentang kegunaan dari pajak
yang mereka bayar, mereka menganggap pajak tersebut tidak bermanfaat bagi
mereka.
Berdasarkan penjelasan diatas, masalah yang akan menjadi bahasan utama dalam
penelitian ini sebagai berikut:
2. Apakah sanksi perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak orang pribadi
mengenai penggelapan pajak ?
1. Untuk menguji secara empiris pengaruh keadilan pajak terhadap persepsi wajib
pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak.
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh sanksi perpajakan pajak terhadap persepsi
wajib pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak.
2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kantor
Pelayanan Pajak, sebagai bahan masukan, informasi dan pertimbangan tentang
pengaruh keadilan, sanksi perpajakan dan pemahaman perpajakan terhadap persepsi
wajib pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak (tax evasion). Harapannya,
informasi tersebut dapat digunakan Kantor Pelayanan Pajak untuk memperbaiki
kelemahan yang masih ada serta mendorong tercapainya target dan realisasi
penerimaan pajak.
Bab Kedua Landasan teoritis berisi tentang tinjauan pustaka yang digunakan untuk
menunjang penulisan atau masalah yang akan di angkat dalam penelitian. Di dalam
bab ini juga mencakup teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang dapat
mendukung perumusan hipotesis dan kerangka teori.
Bab Ketiga Metode penelitian berisi tentang deskripsi yaitu bagaimana penelitian
akan dilaksanakan secara operasional. Di dalam bab ini menguraikan tentang populasi
dan sampel, jenis data dan sumber data, definisi operasional dan pengukuran variabel
serta metode analisis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Resmi (2009), upaya menghindari pajak dengan cara ilegal adalah
penggelapan pajak. Tindakan ini termasuk perbuatan kriminal, karena menyalahi
aturan yang berlaku dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara
lengkap dan jelas objek pajak. Menurut Nurmantu (2003) kecenderungan wajib pajak
melakukan kecurangan dikarenakan:
a.Tingginya pajak yang harus dibayar.Semakin tinggi jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak, semakin tinggi kemungkinan wajib pajak berperilaku
curang.
b. Makin tinggi uang sogokan yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak, maka makin
kecil kemungkinan wajib pajak melakukan kecurangan.
d. Makin besar ancaman hukuman dan sanksi yang diterapkan kepada pelaku
kecurangan, maka semakin kecil kecenderungan wajib pajak melakukan kecurangan
Menurut Zain (2008), tindakan penggelapan pajak ini dapat dilihat dari indikator
penggelapan pajak sebagai berikut:
Menurut Rahayu (2010), Selain faktor psikologis wajib pajak kurang sadar
terhadap kepatuhan pajak, hal lain yang membuat wajib pajak berusaha menghindar
dari pajak diantaranya kondisi lingkungan, pelayanan fiskus yang mengecewakan,
tingginya tarif pajak dan sistem administrasi yang buruk.
Berikut beberapa faktor yang menyebabkan penggelapan pajak (tax evasion) yaitu :
1.Kondisi Lingkungan.
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yanag terpisahkan dari manusia sebagai
makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain, begitu juga
dalam dunia perpajakan. Jika lingkungan kondisinya baik, masing-masing individu
akan termotivasi untuk memenuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan sekitar kerap
melakukan pelanggaran, maka masyarakat saling meniru untuk tidak mematuhi
peraturan dan melakukan perlawanan pajak karena dengan membayar pajak, mereka
merasa rugi telah membayarnya sementara yang lain tidak.
Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu, kemungkinan
besar banyak wajib pajak yang benar-benar lari dari kewajiban membayar pajak.
Penggelapan pajak akan membawa dampak yang negatif terhadap penerimaan pajak
suatu negara dan pada ekonomi makro, karena bisa mengurangi pendapatan pajak.
Menurut Gunadi (2007) beberapa akibat dari perbuatan penggelapan pajak (tax
evasion) meliputi berbagai aspek dalam kehidupan seperti:
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan
untuk selalu melanggar undang-undang. Karena tujuan wajib pajak dalam
menggelapkan pajak pasti untuk mencari keuntungan yang lebih besar.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggelapan pajak yang
dilakukan oleh WP memiliki konsekuensi yang sangat beresiko secara materil dan
non materil. Secara materil bahwa WP akan menganggap perbuatan penggelapan
pajak itu akan menguntungkannya secara jangka panjang, akan tetapi konsekuensi
yang terjadi jika terungkapnya tindak penggelapan pajak tersebut, maka WP akan
membayar dengan kerugian berkali-kali lipat disertai dengan dengan denda dan
kurungan pidana dalam jangka waktu tertentu, ditambah pula jika WP tidak
mempunyai cukup dana untuk menutup denda yang diputuskan, sejumlah aset akan
disita dan bisa berdampak pada kebangkrutan bahkan resiko kejiwaan.
2.1.3.Keadilan Pajak
Menurut kamus besar bahasa indonesia , keadilan memiliki kata dasar adil yang
berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang pada kebenaran,
sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Keadilan adalah sesuatu yang diberikan
kepada siapa saja sesuai dengan haknya, karena keadilan berkaitan dengan hak dan
kewajiban seseorang.Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga
sebagai keadilan sosial yang secara jelas dicantumkan dalam pancasila sila ke-2
dan ke-5 serta Undang-Undang dasar 1945. Dalam konsep pemikiran Indonesia,
keadilan sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban. Menurut (Siahaan,
2010) keadilan pajak dibagi dalam tiga pendekatan, antara lain :
1) Sanksi administrasi berupa denda, adalah jenis sanksi yang paling banyak
ditemukan dalam Undang-Undang Perpajakan, terkait besarannya denda dapat
ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu
angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai
sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.
b.Sanksi Pidana
2.1.5.Pemahaman perpajakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman berasal dari kata paham yang
berarti mengerti benar atau yang pandai. Pemahaman ialah proses, cara dan perbuatan
memahami atau memahamkan. Untuk dikatakan paham seseorang harus memahami
maksud dari hal tersebut dan menangkap maknanya. Berdasarkan pengertian diatas,
tingkat pemahaman merupakan proses dengan tujuan meningkatkan pengetahuan
yang dilakukan seorang individu secara intensif dan untuk mengukur sejauh mana
seseorang mengerti secara benar pada suatu permasalahannya.Sedangkan pemahaman
perpajakan berarti orang (WP) yang mengerti benar atau pandai tentang perpajakan
dan diaplikasikan dalam membayar pajak.
1. Menurut Thoha (2004: 141) persepsi pada hakikatnya adalah “proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman”.
2. Krech (Thoha, 2004: 142) menyatakan persepsi adalah “suatu proses kognitif yang
komplek dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali
sangat berbeda dari kenyataannya”.
3. Menurut Plano et al (1994) persepsi diartikan sebagai “hasil atau proses yang
melahirkan kesadaran akan sesuatu hal dengan perantaraan pemikiran yang sehat”.
Persepsi mencakup dua proses kerja yang saling terkait, yaitu (Pareek, 1991) :
2. Penafsiran atau penetapan arti atas kesan-kesan inderawi tersebut. Arti ditetapkan
melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur pengertian (keyakinan relevan yang
muncul dari pengalaman masa lalu) seseorang dan struktur evaluatif (nilai-nilai yang
dipegang seseorang).
Selain itu menurut Thoha (2004), bahwa persepsi pada umumnya terjadi karena dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam
diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang
meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu asumsi atau
suatu informasi dari seseorang yang didapat dari pengalaman masa lalu yang
dirasakan sendiri oleh indera orang tersebut, keinginan seseorang dalam membuat
keputusan dan dari informasi yang diberikan oleh orang lain.
Menurut Gibson (2001), respon individu terhadap obyek akan bergantung pada
persepsi yang timbul pada dirinya. Kesamaan perilaku akan terjadi apabila individu-
individu mempunyai persamaan persepsi terhadap obyek. Persepsi individu terhadap
perilaku penggelapan pajak adalah proses individu dalam menerima,
mengorganisasikan serta mengartikan praktik penggelapan pajak yang dipengaruhi
oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut.
Semakin banyak informasi yang diterima, maka akan semakin luas wawasan individu
tentang etika penggelapan pajak, dimana hal ini akan mendorong individu berperilaku
positif (proaktif) terhadap proses pelaksanaan perpajakan. Perilaku individu
dipengaruhi oleh persepsinya secara langsung. Perilaku individu terhadap etika
perpajakan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap yang obyek yang bersangkutan.
Oleh karena itu, persepsi yang positif dari individu terhadap etika pajak mutlak
diperlukan untuk membentuk persepsi etika perpajakan pada suatu masyarakat, yang
kemudian pada akhirnya akan membentuk perilaku etis terhadap perpajakan.
X1: KEADILAN
H1
H3
X3:PEMAHAMAN
PERPAJAKAN
Gambar 1
H1. Pengaruh Keadilan Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax Evasion
Pemungutan pajak harus memenuhi syarat keadilan agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan dari wajib pajak. Menurut Mardiasmo
(2018: 4) sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, undang-undang
maupun pelaksanaan pemungutan pajak harus adil dalam perundang-undangan dan
juga adil dalam pelaksanaannya. Adil dalam perundang-undangan yaitu mengenakan
pajak secara merata dan disesuaikan dengan kemampuan membayar wajib pajak
masing-masing. Adil dalam pelaksanaannya adalah memberikan hak kepada wajib
pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan
banding kepada Pengadilan Pajak. Karena setiap wajib pajak mempunyai persepsinya
masing-masing maka adil bagi setiap wajib pajak berbeda-beda. Walaupun demikian,
Direktorat Jenderal Pajak tetap harus memegang teguh asas keadilan sesuai dengan
perundang-undangan dan juga pelaksanaannya agar wajib pajak dapat mematuhi dan
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Karena begitu pentingnya keadilan bagi
wajib pajak, maka wajib pajak membutuhkan keadilan di dalam pemungutan dan
pemotongan terhadap pajak terutangnya, yang dalam hal ini dilakukan oleh aparat
pajak atau fiskus. Apabila wajib pajak diperlakukan dengan adil maka mereka akan
menganggap perilaku tax evasion merupakan perilaku yang tidak etis untuk
dilakukan. Sebaliknya, jika wajib pajak mendapatkan perlakuan yang tidak adil maka
wajib pajak akan berfikir bahwa tax evasion merupakan tindakan yang etis untuk
dilakukan karena mereka tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya.
Kesimpulannya adalah semakin tinggi keadilan pajak maka kecenderungan wajib
pajak untuk melakukan tax evasion akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sariani et al. (2016) yang mengemukakan bahwa
keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion.
Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indriyani et al. (2016) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keadilan pajak
tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion
Sanksi perpajakan adalah alat pencegah (preventif) bagi wajib pajak dan juga fiskus
agar tidak melanggar undang-undang perpajakan. Sanksi perpajakan harus diterapkan
untuk mendorong wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, mulai
dari menghitung, membayar, sampai dengan melaporkan pajak terutangnya, sehingga
peraturan perundang-undangan dapat dipatuhi oleh wajib pajak. Semakin besarnya
sanksi denda yang dibebankan kepada wajib pajak, maka akan mendorong wajib
pajak untuk berperilaku tidak patuh dan semakin banyak kesempatan yang dimiliki
oleh wajib pajak untuk melakukan tindakan tax evasion. Oleh karena itu, penerapan
sanksi perpajakan harus dilakukan dengan tepat agar wajib pajak berperilaku patuh
dan tidak melakukan tindakan tax evasion. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Maghfiroh (2016) menyatakan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh terhadap
persepsi wajib pajak mengenai tax evasion. Berbanding terbalik dengan hasil
penelitian dari Yetmi et al. (2014) yang menunjukkan bahwa sanksi perpajakan tidak
berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion.
METODE PENELITIAN
3.2.1 Populasi
Penelitian Menurut Sugiyono (2013: 115) populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi sasaran dalam penelitian ini merupakan seluruh
wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Padang.
n=N
1+ N α2
Keterangan:
n = jumlah sampel
N = jumlah populasi
n = 138.244
1+138.244(0,1)2
n = 138.244
1+138.244(0,01)
n = 138.244
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Menurut
Chandrarin (2017: 123) data primer adalah data yang berasal langsung dari objek
penelitian atau responden, baik dari individu maupun kelompok. Data ini biasanya
dikumpulkan dengan instrumen berupa kuesioner atau materi wawancara.
Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari jawaban atas kuesioner yang
diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta
Jatinegara. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner dilakukan dengan
memberikan beberapa pertanyaan kepada wajib pajak, kemudian wajib pajak diminta
untuk menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan persepsi mereka.
Dalam penyusunan kuesioner penelitian ini digunakan skala likert yang terdiri dari 5
angka, dengan rincian sebagai berikut:
Operasionalisasi variabel pada penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 3.1 berikut ini:
Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel
2. Uji Reliabilitas
Ghozali (2013: 48) mengemukakan bahwa reliabilitas adalah ukuran
yang menunjukkan konsistensi dari alat ukur dalam mengukur gejala yang
sama di saat yang berbeda. Maksud dari konsistensi di sini yaitu kuesioner
tersebut konsisten di dalam mengukur konsep dari suatu kondisi ke kondisi
lain. Pada perangkat lunak SPSS, uji reliabilitas dapat dilakukan dengan cara
melihat nilai Cronbach Alpha, dimana kuesioner dikatakan reliabel jika nilai
Cronbach Alpha lebih besar dari 0,70.
Tabel 3.2
Kriteria Korelasi
1. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2013) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi variabel dependen dan variabel independen
mempunyai kontribusi atau tidak. Penelitian yang menggunakan metode
lebih handal untuk menguji data mempunyai distribusi normal atau tidak
yaitu dengan melihat Normal Probability Plot. Model regresi yang baik
adalah data distribusi normal atau mendekati normal, untuk mendeteksi
normalitas dapat dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik) pada
sumbu diagonal grafik.
Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jika data (titik) menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal, maka menunjukkan pola distribusi yang normal sehingga
model regresi dapat memenuhi asumsi normalitas.
2. Jika data (titik) menyebar jauh di sekitar garis diagonal dan atau tidak
mengikuti arah garis diagonal, maka tidak memenuhi asumsi normalitas.
2. Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2013: 103) uji multikolinearitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi yang
tinggi atau sempurna antar variabel bebas. Adanya multikolinearitas atau
korelasi yang tinggi antara variabel dapat dideteksi dengan melihat
Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF).
Multikolinearitas dapat terjadi jika nilai tolerance lebih kecil dari 0,10
sedangkan yang memiliki arti tidak adanya korelasi antara variabel bebas
jika nilai tolerance lebih besar dari 0,10.
Jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka terdapat multikolinearitas,
sedangkan jika VIF kurang dari 10 maka dapat dikatakan bahwa variabel
bebas yang digunakan dapat dipercaya dan objektif. Dasar pengambilan
keputusannya yaitu:
a. Jika tolerance < 0,10 dan VIF > 10 maka H1 ditolak yang berarti
terdapat multikolinearitas.
b. Jika tolerance > 0,10 dan VIF < 10 maka H1 diterima yang berarti tidak
terdapat multikolinearitas.
3. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2013) uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual atau
pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Model regresi
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan uji Glejser, yaitu dengan cara
membuat persamaan regresi atas variabel bebas terhadap variabel nilai
absolute unstandardized residual hasil regresi. Dari hasil regresi tersebut
kemudian dianalisis signifikansinya. Suatu model regresi yang baik dikatakan
tidak memiliki heterokedastisitas apabila tidak ada variable bebas yang
mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel terikat berupa nilai
absolute dari unstandardized residual hasil regresi.
Heteroskedastisitas diuji dengan menggunakan uji koefisien korelasi Rank
Spearman (Spearman Rho) yaitu mengkorelasikan antara absolute residual
hasil regresi dengan semua variabel bebas. Apabila probabilitas hasil korelasi
lebih kecil dari 0.05 (5%) maka telah terjadi heteroskedastisitas, sebaliknya
jika hasil korelasi lebih besar dari 0.05 (5%) maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Selain itu uji T tersebut dapat pula dilihat dari besarnya probabilitas
value (p value) dibandingkan dengan 0,05 (Taraf signifikansi α = 5%).
Adapun kriteria pengujian yang digunakan yaitu: