Anda di halaman 1dari 49

PENGARUH KEADILAN,SANKSI PAJAK,DAN PEMAHAMAN

PERPAJAKAN TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

MENGENAI PENGGELAPAN PAJAK

Disusun oleh:

PUJA OKTA SAFITRY


19101155110287

Dosen Pembimbing 1 :
YAMASITHA,S.E,M.M

Dosen Pembimbing 2 :
Yosi Puspita Sari,S.E,M.M

KONSENTRASI : PERPAJAKAN

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA YPTK PADANG

2023
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadiran Tuhan Yang Maha
Esa, keagungan, limpahan rahmat dan hidayah-Nya yang selalu menyertai penulis
dalam setiap langkah, sehingga dapat menyelesaikan Seminar Rancangan Skripsi ini
sebagai syarat untuk mata kuliah Seminar Rancangan Skripsi di semester ini.

Adapun yang menjadi judul Seminar Rancangan Skirpsi ini adalah


“PENGARUH KEADILAN,SANKSI PAJAK,dan PEMAHAMAN PERPAJAKAN
TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI MENGENAI
PENGGELAPAN PAJAK”

Terwujudnya Seminar Rancangan Skripsi ini bukanlah semata-mata


merupakan jerih payah penulis sendiri, tetapi berkat bantuan dari berbagai pihak yang
telah membantu penulis hingga terselesaikannya Seminar Rancangan Skripsi ini.
Teristimewa penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua penulis, semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai penulis dan
keluarga kita dan senantiasa berada dalam lindungan-Nya.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah berusaha
membantu dalam penyusunan laporan ini, dan kami berharap semoga laporan ini
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga
kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi laporan ini sehingga ke depannya dapat
lebih baik.

Padang, 07 November 2023

PUJA OKTA SAFITRY

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................2
BAB 1........................................................................................................................4
PENDAHULUAN.....................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.................................................................................................4
1.2 Identifikasi Masalah.......................................................................................10
1.3 Batasan masalah.............................................................................................10
1.4 Perumusan Masalah........................................................................................10
1.5 Tujuan Penelitian............................................................................................11
1.6 Manfaat Penelitian..........................................................................................11
BAB II.........................................................................................................................13
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................13
2.1 Landasan Teori..............................................................................................13
2.2 Penelitian Terdahulu......................................................................................26
2.4 Hubungan antar Variabel Penelitian..............................................................34
2.5. Pengembangan Hipotesis..............................................................................37
BAB III........................................................................................................................38
METODE PENELITIAN.........................................................................................38
3.1 Strategi Penelitian..........................................................................................38
3.2 Populasi dan Sampel......................................................................................38
3.4 Operasionalisasi Variabel...............................................................................40
Tabel 3.1...............................................................................................................40
3.5 Metode Analisis Data.....................................................................................43
Tabel 3.2...............................................................................................................44
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................48
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang perlu meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara agar dapat sejajar dengan negara lain. Untuk
mewujudkannya Negara Indonesia memerlukan sumber dana yang cukup besar.
Salah satu sumber dana tersebut berasal dari pajak. Menurut Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 6
tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan kontribusi
dan kewajiban dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk
peran serta terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Data dari
Kementerian Keuangan Republik Indonesia memperlihatkan bahwa penyumbang
dana paling tinggi dalam APBN 2019 berasal dari pajak yaitu sebesar 1.786,4
triliun rupiah (http://kemenkeu.go.id, 2019).Besarnya peran pajak dalam
memberikan kontribusi bagi penerimaan negara memerlukan adanya upaya agar
penerimaan tersebut dapat direalisasikan. Upaya peningkatan penerimaan pajak
tidak hanya mengandalkan peranan Direktorat Jenderal Pajak saja, tetapi juga
partisipasi dan antusias dari para wajib pajak sendiri (Friskianti dan Handayani,
2014).
Penerimaan pajak tidak pernah tercapai sesuai target sejak tahun 2013
(http://detikfinance.com, 2018) . Berdasarkan situs tersebut diperoleh data yang
dapat dilihat pada tabel 1.1 sebagai berikut :
Tabel 1. 1 Target dan Realisasi Penerimaan Pajak Nasional 4 Tahun Terakhir
(dalam triliun rupiah)

Tahun Target (a) Realisasi (b) Capaian


(b/a x 100%)

2017 1.283,57 1.151,13 89,40%

2018 1.424,00 1.315,00 92,40%

2019 1.577,56 1.332,06 84,50%

2020 1.198,82 758,60 63,27%

Sumber: laporan kinerja kementerian keuangan tahun 2017-2020

Pada tahun 2017 realisasi penerimaan pajak adalah sebesar Rp1.151,13 triliun
dari target Rp 1.283,57 triliun, atau sebesar 89,40% sehingga masih tedapat
shortfall sebesar Rp 132 triliun dari target APBNP 2017. Sementara, realisasi
penerimaan pajak pada tahun 2017 sampai 2020 masih berfluktuatif, walaupun
sudah cukup tinggi.
Tidak tercapainya target penerimaan dana pajak oleh pemerintah merupakan salah
satu indikasi adanya tindakan penggelapan pajak (Suminarsasi dan Supriyadi,
2011). Menurut Mardiasmo (2011), penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha
yang dilakukan oleh Wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang seperti memalsukan dokumen, atau mengisi data
dengan tidak lengkap dan benar.
Rahayu (2010) menyatakan bahwa pengelapan pajak (tax evasion) merupakan
usaha aktif Wajib pajak dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal
terhadap utang pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak
sebagaimana yang telah terutang menurut aturan perundang-undangan.
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa penggelapan pajak (tax evasion)
merupakan tindakan ilegal untuk tidak membayar pajak dengan melakukan
tindakan menyimpang dalam berbagai bentuk kecurangan yang dilakuan secara
sengaja dan dalam keadaan sadar. Menurut Suandy (2013), tindakan penggelapan
pajak menjadi salah satu faktor tidak tercapainya target penerimaan pajak di
Indonesia.
Penggelapan pajak menyebabkan kurangnya penerimaan pajak yang telah
ditargetkan. Suandy (2013) juga mengatakan umumnya wajib pajak enggan
membayar pajak karena mereka menganggap bahwa membayar pajak akan
mengurangi penghasilan mereka. Oleh karena itu, wajib pajak akan selalu
berusaha untuk membayar pajak sekecil mungkin atau bahkan menghindarinya.
Berdasarkan pada telaah literatur, penggelapan pajak dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, misalnya keadilan, sanksi pajak dan pemahaman perpajakan.
Merujuk kepada teori atribusi, perilaku seseorang diatribusikan oleh faktor
eksternal dan internal. Perilaku yang disebabkan oleh faktor eksternal adalah
perilaku yang dipengaruhi dari luar, artinya individu akan terpaksa berperilaku
karena situasi, sedangkan perilaku yang disebabkan oleh faktor internal adalah
perilaku yang diyakini berada dibawah kendali pribadi itu sendiri (Jatmiko, 2006).
Dengan demikian, terkait dengan pengelapan pajak, keadilan dan sanksi pajak
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi wajib pajak untuk melakukan
tindakan penggelapan pajak, sedangkan pemahaman perpajakan merupakan faktor
internal yang mempengaruhi wajib pajak untuk melakukan tindakan penggelapan
pajak.
Keadilan merupakan salah satu faktor eksternal yang memengaruhi wajib
pajak untuk melakukan tindakan penggelapan pajak. Sistem perpajakan yang adil
adalah adanya perlakuan yang sama terhadap orang atau badan yang berada dalam
situasi ekonomi yang sama (misalnya mempunyai penghasilan tahunan yang
sama) dan memberikan perlakuan yang berbeda-beda terhadap orang atau badan
dalam keadaan ekonomi yang berbeda-beda (Zain, 2008). Menurut Nickerson et
al. (2009), pemerintah dapat dikatakan adil apabila uang pajak yang dibayarkan
oleh masyarakat digunakan untuk pengeluaran umum negara, selain itu
pengenaan dan pemungutan pajak terhadap masyarakat diperlakukan dengan
sama. Jika masyarakat merasa adil, maka masyarakat akan melakukan
kewajibannya dalam membayar pajak dan tindakan penggelapan pajak akan
menurun.
Sebaliknya, jika masyarakat merasakan tidak adil, maka masyarakat akan
cenderung melakukan tindakan penggelapan pajak (Permatasari dan Laksito,
2013).Hal ini menunjukkan bahwa keadilan pajak berpengaruh negatif terhadap
perilaku penggelapan pajak. Dengan adanya keadilan pajak akan dapat
mengurangi tindakan penggelapan pajak. Pengaruh negatif keadilan terhadap
penurunan penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu
seperti penelitian yang dilakukan oleh (Permatasari dan Laksito, 2013;
Kurniawati dan Toly, 2015; Paramita dan Budiasih, 2016; Fatimah dan Wardani,
2017) dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama Pekanbaru
Senapelan, Surabaya Barat, Badung Utara, dan Temanggung, menunjukkan
bahwa keadilan pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak.
Arah hubungan tersebut menunjukkan bahwa apabila para wajib pajak
memiliki persepsi keadilan pajak yang baik, maka tindakan tax evasion
(penggelapan pajak) akan cenderung menurun (Kurniawati dan Toly, 2015). Hasil
yang sama juga diperoleh Dewi dan Merkusiwati (2016) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Denpasar Timur, menunjukkan bahwa
keadilan pajak memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap perilaku
penggelapan pajak. Bila keadilan pajak mampu diterapkan secara baik maka akan
memegang peranan penting dalam meningkatkan kepatuhan Wajib pajak yang
berimplikasi pada minimnya perilaku penggelapan pajak. Hal ini karena Wajib
pajak akan mematuhi dan melaksanakan kewajibannya untuk melakukan
pembayaran pajak ketika mereka mampu memperoleh keadilan yang sebaik
baiknya. Namun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Monica dan Arisman
(2018) dan Indriyani et al. (2016) menemukan hasil yang berbeda, yaitu, keadilan
tidak berpengaruh terhadap penggelapan pajak (tax evasion).
Penelitian yang dilakukan oleh Monica dan Arisman (2018) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Palembang Seberang Ulu menunjukkan bahwa
keadilan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak yang berarti tingkat keadilan yang dilakukan oleh pemerintah
tidak memberikan pengaruh terhadap persepsi mengenai etika penggelapan pajak.
Penggelapan pajak dianggap sebagai perilaku yang tidak dibenarkan atau
dianggap wajar, walaupun manfaat pajak yang dirasakan belum sesuai, membayar
pajak tetap dijalankan oleh wajib pajak karena merupakan suatu kewajiban setiap
warga negara. Hasil yang sama juga ditemukan oleh Indriyani et al. (2016)
dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama Karanganyar juga
mengungkapkan bahwa keadilan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak
orang pribadi mengenai perilaku penggelapan pajak (tax evasion).
Sanksi perpajakan merupakan faktor eksternal berikutnya yang memengaruhi
wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Sanksi perpajakan adalah
jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan akan
dituruti/ ditaati/ dipatuhi atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat
agar wajib pajak tidak melanggar aturan perpajakan (Mardiasmo, 2011). Wajib
pajak akan memenuhi kewajiban perpajakannya apabila memandang bahwa
sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006). Apabila
sanksi pajak yang dibebankan kepada wajib pajak semakin berat, maka akan
mendorong wajib pajak untuk patuh dan penggelapan pajak akan berkurang,
begitu pula sebaliknya (Nopriana et al., 2016). Hal ini menunjukkan bahwa sanksi
perpajakan berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak. Dengan
adanya sanksi perpajakan, maka diekspektasi akan dapat mengurangi tindakan
penggelapan pajak (tax evasion). Pengaruh negatif sanksi terhadap penurunan
penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu.
Penelitian yang dilakukan oleh Maghfiroh dan Fajarwati (2016) dan Yuliyanti et
al. (2017) dengan objek wajib pajak yang mempunyai UMKM di Bekasi dan
wajib pajak yang berada di KPP Pratama Boyolali, mendapatkan temuan bahwa
sanksi pajak berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan pajak.
Hasil yang sama juga diperoleh oleh Tobing (2015) dengan objek wajib pajak
yang berada di KPP Pratama Senapelan Pekanbaru.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa semakin tegas sanksi pajak yang diberikan,
maka semakin kecil tingkat kecurangan yang akan dilakukan oleh wajib pajak dan
tindakan penggelapan pajak dianggap perilaku yang tidak etis.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Rachmadi dan Zulaikha (2014) dan
Ayem dan Listiani (2019) yang menyimpulkan bahwa sanksi pajak memiliki
pengaruh positif mengenai penggelapan pajak. Artinya semakin berat sanksi pajak
yang diberikan kepada wajib pajak, maka perilaku wajib pajak mengenai
penggelapan pajak akan meningkat. Namun, penelitian yang dilakukan oleh
Nopriana et al. (2016) dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama
Padang Satu menunjukkan bahwa sanksi perpajakan tidak berpengaruh terhadap
tindakan penggelapan pajak. Nopriana et al. (2016) juga mengatakan bahwa pada
kenyataannya, rasa takut untuk melakukan pelanggaran perpajakan belum
berkembang dikalangan masyarakat. Wajib pajak beranggapan bahwa pemerintah
dirasa belum tegas dalam menangani kasus-kasus dibidang perpajakan sehingga
sanksi perpajakan tidak memberikan efek jera dan hanya dianggap sebagai
legalitas dalam peraturan perpajakan. Pemahaman perpajakan merupakan faktor
internal yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan penggelapan pajak.
Menurut Resmi (2009), pengetahuan dan pemahaman akan peraturan
perpajakan adalah proses dimana wajib pajak memahami tentang perpajakan dan
menerapkan pengetahuan itu untuk membayar pajak. Menurut Adiasa (2013),
pemahaman peraturan perpajakan adalah suatu proses dimana wajib pajak
memahami dan mengetahui tentang peraturan dan Undang-Undang serta tata cara
perpajakan dan menerapkannya untuk melakukan kegiatan perpajakan seperti,
membayar pajak, melaporkan SPT, dan sebagainya. Jika pemahaman WP
mengenai perpajakan tinggi maka perilaku WP akan semakin baik sehingga
semakin kecil WP tersebut akan melakukan tindakan penggelapan pajak (Mutia,
2014). Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman perpajakan berpengaruh negatif
terhadap tindakan penggelapan pajak Pengaruh negatif pemahaman perpajakan
terhadap penurunan penggelapan pajak di dukung oleh beberapa hasil penelitian
terdahulu seperti Dharma et al. (2016) dan Herlangga dan Pratiwi (2017). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Herlangga dan Pratiwi (2017) dengan objek wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Ilir Timur mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak. Pemahaman perpajakan yang baik yang dimiliki oleh wajib pajak dapat
menurunkan tindakan penggelapan pajak (tax evasion) karena wajib pajak yang
paham mengenai peraturan, tata cara membayar pajak, ketentuan-ketentuan dalam
perpajakan, dan sanksi perpajakan maka wajib pajak tidak akan melakukan
penggelapan pajak.
Wajib pajak dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman perpajakan dari
petugas pajak itu sendiri, radio, televisi, media cetak maupun internet. Hasil yang
sama juga diperoleh oleh Dharma et al. (2016) mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penggelapan
pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman perpajakan maka persepsi penggelapan
pajak semakin rendah.
Namun demikian, penelitian yang di lakukan oleh Bahari (2016) dengan wajib
pajak yang berada di KPP Pratama Gunung Kidul mendapatkan temuan bahwa
pemahaman perpajakan tidak berpengaruh terhadap penggelapan pajak. Menurut
Bahari (2016) meskipun WP pernah atau tidak pernah melakukan kesalahan
dalam pengisian SPT dan memiliki pemahaman yang baik atau tidak mengenai
perpajakan, hal tersebut tidak mempengaruhi WP untuk melakukan penggelapan
pajak (tax evasion). Uraian diatas menunjukkan variabel keadilan, sanksi pajak
dan pemahaman perpajakan tidak selalu berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Oleh karena itu,
penelitian sekarang ini akan mencoba untuk menguji konsistensi ketiga variabel
tersebut yaitu keadilan, sanksi pajak dan pemahaman perpajakan, dan
menggabungkan variabel tersebut karena pengujian sebelumnya dilakukan secara
terpisah, untuk melihat apakah berpengaruh signifikan atau tidak berpengaruh.
Penelitian ini akan dilakukan di kota Padang yang akan dijadikan sebagai tempat
penelitian karena kota padang yang paling banyak memiliki unit usaha kecil
menengah dari kota/kabupaten lain di sumatera barat yang rata-rata dimiliki oleh
wajib pajak orang pribadi.

1.2 Identifikasi Masalah


Dari uraian latar belakang diatas, maka penulis mengidentifikasi bebagai masalah
sebagai berikut :

1. Banyak wajib pajak orang pribadi yang belum patuh dalam membayar pajak.

2. Banyak wajib pajak orang pribadi yang melakukan Tax Evasion karena adanya
anggapan bahwa pajak mengurangi penghasilan wajib pajak

3. Perbedaan tarif pajak yang dinilai tidak adil cenderung membuat wajib pajak
melakukan tax evasion

4.Kurangnya pemahaman wajib pajak mengenai sanksi pajak yang membuat wajib
pajak orang pribadi melakukan tax evasion

5. Kurangnnya pengetahuan wajib pajak orang pribadi tentang kegunaan dari pajak
yang mereka bayar, mereka menganggap pajak tersebut tidak bermanfaat bagi
mereka.

1.3 Batasan masalah


Agar penelitian ini dapat dilakukan dengan lebih fokus, sempurna, dan
mendalam maka penulis mengangkat masalah yang berkaitan dengan PENGARUH
KEADILAN,SANKSI PAJAK,dan PEMAHAMAN PERPAJAKAN TERHADAP
PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI MENGENAI PENGGELAPAN
PAJAK.Tax Evasion dipilih agar terjadinya kepatuhan dalam membayar pajak bagi
setiap wajib pajak.

1.4 Perumusan Masalah


Di Indonesia, banyak sekali kasus penggelapan pajak, tetapi terkadang
penggelapan pajak tidak terungkap oleh hukum (Mukharoroh dan Cahyonowati,
2014). Mukharoroh dan Cahyonowati (2014) juga mengatakan sistem hukum yang
kurang memadai, memicu pergerakan yang signifikan atas penggelapan pajak.
Penggelapan pajak dilakukan dengan meminimalkan atau bahkan menghilangkan
beban pajak yang terutang, dengan melanggar peraturan perundangan perpajakan.
Penggelapan pajak yang marak terjadi saat ini merupakan salah satu hal yang sangat
penting diperhatikan untuk meningkatkan target dalam sektor penerimaan pajak.
Meskipun demikian, pada kondisi saat ini masih banyak masyarakat yang tidak patuh
dan melakukan kecurangan pajak yaitu dengan melakukan penggelapan pajak.
Adapun perlakuan penggelapan pajak (tax evasion) dipengaruhi oleh berbagai hal
seperti keadilan pajak, sanksi perpajakan yang tidak menimbulkan efek jera sehingga
timbul peluang melakukan penggelapan pajak dan pemahaman perpajakan yang
minim (Izza dan Hamzah, 2009).

Berdasarkan penjelasan diatas, masalah yang akan menjadi bahasan utama dalam
penelitian ini sebagai berikut:

1. Apakah keadilan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak orang pribadi


mengenai penggelapan pajak ?

2. Apakah sanksi perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak orang pribadi
mengenai penggelapan pajak ?

3. Apakah pemahaman perpajakan berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak orang


pribadi mengenai penggelapan pajak ?

1.5 Tujuan Penelitian


Secara umum penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengujian secara
empiris pengaruh keadilan, sanksi pajak dan pemahaman perpajakan terhadap
penggelapan pajak (tax evasion). (Rio, 2019)

Tujuan penelitian ini secara rinci sebagai berikut:

1. Untuk menguji secara empiris pengaruh keadilan pajak terhadap persepsi wajib
pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak.
2. Untuk menguji secara empiris pengaruh sanksi perpajakan pajak terhadap persepsi
wajib pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak.

3. Untuk menguji secara empiris pengaruh pemahaman perpajakan terhadap persepsi


wajib pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak.

1.6 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam
pengembangan ilmu maupun bagi para praktisi.

1. Manfaat Akademis Memberikan informasi kepada para pihak yang berkepentingan,


dan dunia pendidikan, dalam pengembangan ilmu akuntansi perpajakan dan dapat
dijadikan sebagai perbandingan bagi peneliti yang berminat dalam kasus serupa.

2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi Kantor
Pelayanan Pajak, sebagai bahan masukan, informasi dan pertimbangan tentang
pengaruh keadilan, sanksi perpajakan dan pemahaman perpajakan terhadap persepsi
wajib pajak orang pribadi mengenai penggelapan pajak (tax evasion). Harapannya,
informasi tersebut dapat digunakan Kantor Pelayanan Pajak untuk memperbaiki
kelemahan yang masih ada serta mendorong tercapainya target dan realisasi
penerimaan pajak.

1.7 Sistematika Penulisan

Secara keseluruhan dalam penelitian ini, peneliti membagi sistematika penulisan


sebagai berikut:

Bab Pertama Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah,identifikasi


masalah,batasan masalah,perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.

Bab Kedua Landasan teoritis berisi tentang tinjauan pustaka yang digunakan untuk
menunjang penulisan atau masalah yang akan di angkat dalam penelitian. Di dalam
bab ini juga mencakup teori-teori dan hasil penelitian terdahulu yang dapat
mendukung perumusan hipotesis dan kerangka teori.

Bab Ketiga Metode penelitian berisi tentang deskripsi yaitu bagaimana penelitian
akan dilaksanakan secara operasional. Di dalam bab ini menguraikan tentang populasi
dan sampel, jenis data dan sumber data, definisi operasional dan pengukuran variabel
serta metode analisis
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 A. Landasan Teori

2.1.1. Teori Atribusi (Atribution Theory)


Penelitian tentang atribusi dimulai oleh Fritz Heider pada tahun 1958. Teori atribusi
adalah teori yang menjelaskan perilaku dan proses manusia bagaimana kita
menentukan alasan dan motif seseorang. Teori ini menyarankan bagaimana seseorang
menjelaskan alasan perilakunya atau perilaku orang lain ditentukan oleh faktor
internal seperti sifat, watak, sikap dan lain-lain atau eksternal, seperti tekanan situasi
atau keadaan tertentu mempengaruhi tingkah laku manusia.Teori atribusi menyatakan
bahwa ketika individu mengamati berdasarkan perilaku orang tersebut, mereka
mencoba menentukan apakah itu dapat ditimbulkan secara internal atau eksternal
(Robbins, 1996b). Perilaku yang disebabkan secara Internal adalah perilaku yang
mungkin berada di bawah kendali pribadi individu itu sendiri, sedangkan perilaku
yang disebabkan secara eksternal adalah perilaku yang dipengaruhi dari luar, yaitu
orang terpaksa berperilaku karena situasi.Penentuan perilaku yang ditimbulkan secara
internal atau eksternal Robbins (1996b) mengandalkan tiga faktor, yaitu pertama,
spesifisitas (diskriminasi) mengacu pada apakah seseorang menunjukkan perilaku
tertentu dalam banyak situasi atau apakah situasi perilaku itu spesifik?

Spesifisitas mengacu pada perbedaan reaksi orang terhadap peristiwa yang


berbeda beda. Apabila perilaku seseorang dianggap suatu tindakan yang diluar
kebiasaannya, maka orang lain yang bertindak sebagai pengamat akan memberikan
atribusi eksternal terhadap perilaku tersebut. Sebaliknya jika tindakan itu dianggap
tindakan yang biasa dilakukan, maka akan dinilai sebagai atribusi internal yang
disebabkan dari internal orang tersebut. Kedua, konsensus (kesepakatan) adalah
kesamaan reaksi orang lain peristiwa tertentu dengan orang yang kita amati. Makin
tinggi proporsi orang yang bereaksi serupa dengannya, maka makin tinggi pula
konsensusnya. Dari sudut pandang atribusi, jika konsensusnya tinggi, maka adanya
penyebab eksternal dari orang tersebut, tapi jika orang lain melakukan tindakan
serupa dengan yang kita lakukan namun berhasil melakukannya, maka hal tersebut
adalah penyebab internal.Ketiga, konsistensi (Keajegan) adalah jika seseorang
menilai perilaku orang lain dengan respon sama dari waktu ke waktu. Semakin
konsisten perilaku itu,orang akan menghubungkan hal tersebut dengan sebab-sebab
internal. Oleh karena itu, teori ini sangat mendukung dalam penelitian ini.Teori
atribusi menjelaskan mengenai proses bagaimana kita menentukan penyebab dan
motif tentang perilaku seseorang.Teori ini mengacu tentangbagaimana seseorang
menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau dirinya sendiri yang akan ditentukan
apakah dari internal misalnya sifat, karakter, sikap ataupun eksternal misalnya
tekanan situasi atau keadaan tertentu yang akan memberikan pengaruh terhadap
perilaku individu (Luthans, 2005). Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk
menjelaskan penelitian ini adalah teori atribusi, karena perilaku seseorang dalam
memenuhi kewajiban perpajakan disebabkan oleh beberapa faktor. Teori atribusi
memiliki keterkaitan Dalam penelitian ini, teori yang digunakan untuk menjelaskan
penelitian ini adalah teori atribusi, karena perilaku seseorang dalam memenuhi
kewajiban perpajakan disebabkan oleh beberapa faktor. Teori atribusi memiliki
keterkaitan dengan keadilan dan sanksi perpajakan yang merupakan faktor eksternal
dan pemahaman perpajakan sebagai faktor internal.

2.1.2 Pengertian Penggelapan Pajak (Tax Evasion)


Menurut Mardiasmo (2011), Penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha
yang dilakukan oleh Wajib pajak untuk meringankan beban pajak dengan cara
melanggar undang-undang. Dikarenakan melanggar undang-undang, penggelapan
pajak ini dilakukan dengan menggunakan cara yang tidak legal. Wajib Pajak benar-
benar mengabaikan ketentuan pajak formal di masa depan obligasi, memalsukan
dokumen atau mengisi informasi yang tidak lengkap dan tidak benar. Menurut
Rahayu (2010), Pengelapan Pajak (tax evasion merupakan usaha aktif Wajib pajak
dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi ilegal terhadap utang pajak atau
meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah terutang
menurut aturan perundang-undangan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
penggelapan pajak (tax evasion) merupakan tindakan illegal untuk tidak membayar
pajak dengan melakukan tindakan menyimpang dalam berbagai bentuk kecurangan
yang dilakuan secara sengaja dan dalam keadaan sadar. Menurut Izza dan Hamzah
(2009) penggelapan pajak (tax evasion) adalah perbuatan melanggar Undang-Undang
Perpajakan, misalnya menyampaikan di dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
jumlah penghasilan yang lebih rendah daripada yang sebenarnya (understatement of
income) di satu pihak dan atau melaporkan bagian yang lebih besar daripada yang
sebenarnya (overstatement of the deductions) di lain pihak. Bentuk tax evasion yang
lebih parah adalah apabila Wajib pajak sama sekali tidak melaporkan penghasilannya.

Menurut Resmi (2009), upaya menghindari pajak dengan cara ilegal adalah
penggelapan pajak. Tindakan ini termasuk perbuatan kriminal, karena menyalahi
aturan yang berlaku dan mencakup perbuatan sengaja tidak melaporkan secara
lengkap dan jelas objek pajak. Menurut Nurmantu (2003) kecenderungan wajib pajak
melakukan kecurangan dikarenakan:

a.Tingginya pajak yang harus dibayar.Semakin tinggi jumlah pajak yang harus
dibayar oleh wajib pajak, semakin tinggi kemungkinan wajib pajak berperilaku
curang.

b. Makin tinggi uang sogokan yang harus dikeluarkan oleh wajib pajak, maka makin
kecil kemungkinan wajib pajak melakukan kecurangan.

c. Makin tinggi kemungkinan terungkap apabila melakukan kecurangan, maka makin


rendah kecenderungan wajib pajak berlaku curang.

d. Makin besar ancaman hukuman dan sanksi yang diterapkan kepada pelaku
kecurangan, maka semakin kecil kecenderungan wajib pajak melakukan kecurangan

Menurut Zain (2008), tindakan penggelapan pajak ini dapat dilihat dari indikator
penggelapan pajak sebagai berikut:

a. Tidak menyampaikan SPT.


b. Menyampaikan SPT dengan tidak benar.

c. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau pengukuhan PKP.

d. Tidak menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong

e. Berusaha menyuap fiskus.

Menurut Rahayu (2010), Selain faktor psikologis wajib pajak kurang sadar
terhadap kepatuhan pajak, hal lain yang membuat wajib pajak berusaha menghindar
dari pajak diantaranya kondisi lingkungan, pelayanan fiskus yang mengecewakan,
tingginya tarif pajak dan sistem administrasi yang buruk.

Berikut beberapa faktor yang menyebabkan penggelapan pajak (tax evasion) yaitu :

1.Kondisi Lingkungan.

Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yanag terpisahkan dari manusia sebagai
makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain, begitu juga
dalam dunia perpajakan. Jika lingkungan kondisinya baik, masing-masing individu
akan termotivasi untuk memenuhi peraturan perpajakan dengan membayar pajak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jika lingkungan sekitar kerap
melakukan pelanggaran, maka masyarakat saling meniru untuk tidak mematuhi
peraturan dan melakukan perlawanan pajak karena dengan membayar pajak, mereka
merasa rugi telah membayarnya sementara yang lain tidak.

2.Pelayanan Fiskus yang Mengecewakan

Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan dalam


pengambilan keputusan wajib pajak dalam membayar pajaknya. Jika pelayanan yang
diberikan oleh aparat pemungut pajak telah memuaskan wajib pajak, maka wajib
pajak menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai meskipun hanya sekedar
dengan pelayanan yang ramah, tetapi jika dilakukan tidak menunjukkan
penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa malas untuk membayar
pajak kembali.

3.Tingginya Tarif Pajak

Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam membayarkan pajaknya.


Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak terlalu keberatan untuk
memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin menghindar dari pajak mereka tidak
akan terlalu membangkang terhadap aturan-aturan perpajakan. Karena harta yang
berkurang hanyalah sebagian kecilnya. Dengan pembebanan tarif yang tinggi, maka
masyarakat semakin serius berusaha agar terlepas dari jeratan pajak yang
menghantuinya. Wajib pajak ingin mengamankan hartanya sebanyak mungkin
dengan berbagai cara, karena mereka tengah berusaha untuk mencukupi berbagai
kebutuhan hidupnya. Masyarakat tidak ingin apa yang diperoleh dengan kerja keras
harus hilang begitu saja hanya karena pajak yang tinggi.

4.Sistem Administrasi Perpajakan yang buruk

Penetapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses


pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus, pengelolaan
perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak menemui hambatan
yang berarti. Sistem yang baik akan menciptakan manajemen pajak yang profesional,
prosedur berlangsung sistematis dan tidak semrawut. Ini membuat masyarakat
menjadi terbantu karena pengelolaan pajak yang tidak membingungkan dan
transparan. Seandainya sistem yang diterapkan berjalan jauh dari harapan, mayarakat
menjadi berkeinginan untuk menghindari pajak. Mereka bertanya-tanya apakah pajak
yang telah dibayarnya akan dikelola dengan baik atau tidak.

Setelah timbul pemikiran yang menyangsikan kinerja fiskus seperti itu, kemungkinan
besar banyak wajib pajak yang benar-benar lari dari kewajiban membayar pajak.

Penggelapan pajak akan membawa dampak yang negatif terhadap penerimaan pajak
suatu negara dan pada ekonomi makro, karena bisa mengurangi pendapatan pajak.
Menurut Gunadi (2007) beberapa akibat dari perbuatan penggelapan pajak (tax
evasion) meliputi berbagai aspek dalam kehidupan seperti:

a.Dalam bidang keuangan.


Penggelapan pajak (sebagaimana juga halnya dengan penghindaran diri dari pajak)
berarti pos kerugian yang penting bagi kas negara karena dapat menyebabkan
ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensikonsekuensi lain yang
berhubungan dengan penaikan tarif pajak, keadaan inflasi dan sebagainya.

b.Dalam bidang ekonomi

Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat di kalangan para


pengusaha karena perusahaan menggelapkan pajaknya dengan menekan biaya secara
tidak legal atau secara tidak wajar dan mereka mempunyai posisi yang lebih
menguntungkan dari rekan bisnisnya yang tidak melakukan hal tersebut. Oleh karena
itu, penggelapan pajak membuat para pengusaha tidak leluasa untuk melaporkan dan
memberitahukan keuntungan sesungguhnya karena mereka membuat laba yang
berbeda agar beban pajaknya menjadi sagat minimal sehingga menghambat
pertumbuhan dan perluasan usahanya

c.Dalam bidang psikologi

Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja membiasakan
untuk selalu melanggar undang-undang. Karena tujuan wajib pajak dalam
menggelapkan pajak pasti untuk mencari keuntungan yang lebih besar.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penggelapan pajak yang
dilakukan oleh WP memiliki konsekuensi yang sangat beresiko secara materil dan
non materil. Secara materil bahwa WP akan menganggap perbuatan penggelapan
pajak itu akan menguntungkannya secara jangka panjang, akan tetapi konsekuensi
yang terjadi jika terungkapnya tindak penggelapan pajak tersebut, maka WP akan
membayar dengan kerugian berkali-kali lipat disertai dengan dengan denda dan
kurungan pidana dalam jangka waktu tertentu, ditambah pula jika WP tidak
mempunyai cukup dana untuk menutup denda yang diputuskan, sejumlah aset akan
disita dan bisa berdampak pada kebangkrutan bahkan resiko kejiwaan.

2.1.3.Keadilan Pajak
Menurut kamus besar bahasa indonesia , keadilan memiliki kata dasar adil yang
berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpegang pada kebenaran,
sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Keadilan adalah sesuatu yang diberikan
kepada siapa saja sesuai dengan haknya, karena keadilan berkaitan dengan hak dan
kewajiban seseorang.Keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia disebut juga
sebagai keadilan sosial yang secara jelas dicantumkan dalam pancasila sila ke-2
dan ke-5 serta Undang-Undang dasar 1945. Dalam konsep pemikiran Indonesia,
keadilan sangat berkaitan erat dengan hak dan kewajiban. Menurut (Siahaan,
2010) keadilan pajak dibagi dalam tiga pendekatan, antara lain :

1. Prinsip Manfaat (Benefit Principle) Prinsip ini menyatakan bahwa suatu


sistem pajak dikatakan adil apabila kontribusi yang diberikan oleh setiap
wajib pajak sesuai dengan manfaat yang diperolehnya dari jasa-jasa
pemerintah. Jasa pemerintah ini meliputi berbagai sarana yang disediakan
oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan
prinsip ini maka sistem pajak yang benar-benar adil akan sangat berbeda
tergantung pada struktur pengeluaran pemerintah. Oleh karena itu prinsip
manfaat tidak hanya menyangkut kebijakan pajak saja, tetapi juga kebijakan
pengeluaran pemerintah yang dibiayai oleh pajak.
2. Prinsip Kemampuan Membayar (Ability To Pay Principle) Pendekatan yang
kedua yaitu prinsip kemampuan membayar. Dalam pendekatan ini, masalah
pajak hanya dilihat dari sisi pajak itu sendiri terlepas dari sisi pengeluaran
publik (pengeluaran pemerintah untuk membiayai pengeluaran bagi
kepentingan publik). Menurut prinsip ini, perekonomian memerlukan suatu
jumlah penerimaan pajak tertentu, dan setiap wajib pajak diminta untuk
membayar sesuai dengan kemampuannya. Prinsip kemampuan membayar
secara luas digunakan sebagai pedoman pembebanan pajak. Pendekatan
prinsip kemampuan membayar dipandang jauh lebih baik dalam mengatasi
masalah redistribusi pendapatan dalam masyarakat, tetapi mengabaikan
masalah yang berkaitan dengan penyediaan jasa-jasa publik.
3. Prinsip Keadilan Horizontal dan Vertikal Mengacu pada pengertian prinsip
kemampuan membayar, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua
kelompok besar keadilan pajak:
a. Keadilan Horizontal Pemungutan pajak adil secara horizontal
apabila beban pajaknya sama atas semua wajib pajak yang memperoleh
penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama, tanpa
membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan. Jadi, Dengan
demikian prinsip ini hanya menerapkan prinsip dasar keadilan berdasarkan
undang-undang. Misalnya untuk pajak penghasilan, untuk orang yang
berpenghasilan sama harus membayar jumlah pajak yang sama.
b. Keadilan Vertikal. Keadilan vertikal berarti bahwa orang-orang
yang mempunyai kemampuan lebih besar harus membayar pajak lebih besar.
Dalam hal ini nampak bahwa prinsip keadilan vertikal juga memberikan
perlakuan yang sama seperti halnya pada keadilan horizontal, tetapi
beranggapan bahwa orang yang mempunyai kemampuan yang berbeda, harus
membayar pajak dengan jumlah yang berbeda pula.

Keadilan memiliki perspektif yang sangat luas antara masing-masing individu.


Negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan keadilan tersebut meskipun banyak
perspektif yang mendasarinya. Negara dalam menerapkan pajak sebagai sumber
penerimaan negara harus berusaha mencapai kondisi dimana masyrakat secara luas
dapat merasakan keadilan dalam penerapan undang-undang pajak (Siahaan,
2010).Mardiasmo (2009) mengutarakan bahwa sesuai dengan tujuan hukum, yakni
mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil
dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan
merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil
dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk
mengajukan keberatan,penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding
kepada Majelis Pertimbangan Pajak. (Putri & Mahmudah)

Distribusi pembebanan pajak yang adil dipengaruhi oleh faktor-faktor


yaitu, siapa yang membayar, jenis pendapatannya serta tarif pajak. Hal ini
juga dipengaruhi oleh metode assessment system dan ketepatan atau keakuratan
perhitungan pajak yang terutang. Ketidakakuratan perhitungan mengakibatkan
terjadinya ketidakadilan karena adanya pajak yang lebih atau kurang
bayar.Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang
dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undang diantaranya
mengenakan pajak secara umum dan merata,serta disesuaikan dengan kemampuan
masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan
hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran
dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.Pemikiran tentang
pentingnya keadilan bagi seseorang termasuk dalam pembayaran pajak juga akan
mempengaruhi sikap mereka dalam melakukan pembayaran pajak. Semakin
rendahnya keadilan yang berlaku menurut pesepsi seorang wajib pajak
maka tingkat kepatuhannya akan semakin menurun. (Wahyu Lestari , 2015)
2.1.4. Sanksi Perpajakan
Rahayu (2010) mengatakan bahwa wajib pajak akan patuh (karena tekanan)
karena mereka berpikir adanya sanksi berat akibat tindakan ilegal dalam usahanya
menyelundupkan atau menggelapkan pajak. Lebih lanjut Mardiasmo (2011)
mengatakan bahwa sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan
perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) akan dituruti/ditaati/dipatuhi
atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif)
agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan.

Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perpajakan


akan dipatuhi, atau dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah
(preventif) agar wajib pajak tidak melanggar ketentuan perpajakan. Dalam Undang-
Undang Perpajakan dikenal dua macam sanksi perpajakan yaitu, sanksi administrasi
dan sanksi pidana. Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian negara,
khususnya yang berupa denda, bunga dan kenaikan. Sanksi pidana merupakan sanksi
berupa kurungan.

Penting bagi wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui


konsekuensi hukum dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan. Menurut
Mardiasmo (2011) ada 2 (dua) macam sanksi perpajakan, yaitu:

a. Sanksi Administrasi yang terdiri dari :

1) Sanksi administrasi berupa denda, adalah jenis sanksi yang paling banyak
ditemukan dalam Undang-Undang Perpajakan, terkait besarannya denda dapat
ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah tertentu, atau suatu
angka perkalian dari jumlah tertentu. Pada sejumlah pelanggaran, sanksi
denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana. Pelanggaran yang juga dikenai
sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau disengaja.

2) Sanksi administrasi berupa bunga, berupa bunga dikenakan atas


pelanggaran yang menyebabkan utang pajak menjadi lebih besar. Jumlah
bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu jumlah, mulai dari
saat bunga itu menjadi hak/ kewajiban sampai dengan saat diterima
dibayarkan.

3) Sanksi administrasi berupa kenaikan, adalah sanksi yang paling ditakuti


oleh wajib pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak
yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada
dasarnya dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang
tidak kurang dibayar. Sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena wajib pajak
tidak memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung
jumlah pajak terutang.

b.Sanksi Pidana

Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan menyatakan bahwa pada dasarnya,


pengenaan sanksi pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan
wajib pajak. Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan
sanksi pidana dalam pajak, yaitu bagi wajib pajak yang baru pertama kali melanggar
ketentuan Pasal 38 UU KUP tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi
administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan
keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan
tindak kejahatan. Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran
disebut dengan kealpaan, yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan adalah tindakan dengan sengaja tidak
mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara.

Pengenaan sanksi perpajakan kepada orang pribadi yang berusaha


menyembunyikan objek pajaknya dan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya
dapat menyebabkan terpenuhinya kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak sehingga
dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak itu sendiri dalam membayar pajak. Hal
ini terjadi karena Wajib Pajak akan merasa takut dan terbebani oleh sanksi yang akan
dikenakan kepadanya karena melalaikan kewajiban perpajakannya. Orang pribadi
juga akan memenuhi kewajiban perpajakannya bila memandang bahwa sanksi
perpajakan akan lebih banyak merugikannya. Dengan kata lain, apabila orang pribadi
atau Wajib Pajak patuh terhadap peraturan perpajakannya maka penggelapan pajak
tidak akan terjadi. Dalam penelitian yang dilakukan Novatrias (2014) menyimpulkan
bahwa terdapat pengaruh negatif yang signifikan sanksi perpajakan terhadap upaya
penggelapan pajak dengan besarnya kontribusi sanksi perpajakan terhadap upaya
penggelapan pajak sebesar 21.9% yang berarti sanksi perpajakan yang ada sekarang
masih dinilai kurang untuk mencegah terjadinya upaya penggelapan pajak. Hal ini
menunjukkan bahwa jika sanksi perpajakan berupa sanksi administrasi dan sanksi
pidana semakin ditingkatkan, maka upaya penggelapan pajak oleh wajib pajak akan
semakin rendah. Berbeda halnya dengan penelitian yang lilakukan Nopriana (2015)
bahwa Sanksi perpajakan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai
penggelapan pajak (tingkat signifikan 0,433) (Ayem.Listiani, 2018)

2.1.5.Pemahaman perpajakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pemahaman berasal dari kata paham yang
berarti mengerti benar atau yang pandai. Pemahaman ialah proses, cara dan perbuatan
memahami atau memahamkan. Untuk dikatakan paham seseorang harus memahami
maksud dari hal tersebut dan menangkap maknanya. Berdasarkan pengertian diatas,
tingkat pemahaman merupakan proses dengan tujuan meningkatkan pengetahuan
yang dilakukan seorang individu secara intensif dan untuk mengukur sejauh mana
seseorang mengerti secara benar pada suatu permasalahannya.Sedangkan pemahaman
perpajakan berarti orang (WP) yang mengerti benar atau pandai tentang perpajakan
dan diaplikasikan dalam membayar pajak.

Pemahaman akan peraturan perpajakan erat kaitannya dengan pembayaran pajak.


Menurut Resmi (2009) pengetahuan dan pemahaman akan peraturan perpajakan
adalah proses dimana wajib pajak memahami tentang perpajakan dan menerapkan
pengetahuan itu untuk membayar pajak.Pemahaman Perpajakan Rachmadi
(2014,h.20) mendefinisikan pemahaman perpajakan sebagai proses dimana wajib
pajak mengetahui tentang perpajakan dan menerapkan pengetahuan itu untuk
membayar pajak. Pemahaman perpajakan juga erat kaitannya dengan pembayaran
pajak. Pemahaman wajib pajak terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan
serta sikap wajib pajak mempengaruhi perilaku perpajakan wajib pajak dan akhirnya
perilaku perpajakan mempengaruhi keberhasilan perpajakan. (Herlangga1)

Pemahaman perpajakan merupakan faktor internal yang dapat mendorong


seseorang untuk melakukan penggelapan pajak. Menurut Adiasa (2013), pemahaman
peraturan perpajakan adalah suatu proses dimana wajib pajak memahami dan
mengetahui tentang peraturan dan Undang-Undang serta tata cara perpajakan dan
menerapkannya untuk melakukan kegiatan perpajakan seperti, membayar pajak,
melaporkan SPT, dan sebagainya. Jika pemahaman WP mengenai perpajakan tinggi
maka perilaku WP akan semakin baik sehingga semakin kecil WP tersebut akan
melakukan tindakan penggelapan pajak (Mutia, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa
pemahaman perpajakan berpengaruh negatif terhadap tindakan penggelapan pajak.
Variabel ini di dukung oleh beberapa hasil penelitian terdahulu (Dharma et al., 2016;
Herlangga dan Pratiwi, 2017). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herlangga dan
Pratiwi (2017) dengan objek wajib pajak yang berada di KPP Pratama Ilir Timur,
mendapatkan temuan bahwa pemahaman perpajakan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap penggelapan pajak. Pemahaman perpajakan yang baik yang
dimiliki oleh wajib pajak dapat menurunkan tindakan penggelapan pajak (tax
evasion) karena wajib pajak yang paham mengenai peraturan, tata cara bayar pajak,
ketentuan-ketentuan dalam perpajakan, dan sanksi perpajakan maka wajib pajak tidak
akan melakukan penggelapan pajak. Wajib pajak dapat memperoleh pengetahuan dan
pemahaman perpajakan dari petugas pajak itu sendiri, radio, televisi, media cetak
maupun internet. Hasil yang sama juga diperoleh oleh Dharma et al. (2016)
mendapatkan temuan bahwa pemahaman perpajakan berpengaruh negative dan
signifikan terhadap penggelapan pajak. Semakin tinggi tingkat pemahaman
perpajakan maka persepsi penggelapan pajak semakin rendah.

Keberhasilan dalam perpajakan dipengaruhi oleh perilaku wajib pajak yang


berkaitan dengan pemahaman terhadap undang-undang dan peraturan perpajakan.
Oleh karena itu, pemahaman wajib pajak tentang perpajakan berupa informasi
perpajakan dan peraturan perpajakan akan meningkatkan kesadaran wajib pajak
dalam membayar kewajiban perpajakannya. Pemahaman wajib pajak terhadap
undang-undang dan peraturan perpajakan serta sikap wajib pajak mempengaruhi
perilaku perpajakan wajib pajak dan akhirnya perilaku perpajakan mempengaruhi
keberhasilan perpajakan (Sholichah, 2005). Selain itu, pentingnya pemahaman pajak
mengenai fungsi dari pajak untuk membiayai keperluan negara guna kemakmuran
rakyatnya yang kuat, mandiri dan sejahtera, diharapkan agar masyarakat taat
membayar pajak sehingga tindakan penggelapan pajak dapat diminimalisasikan.
Persoalan mengenai tingkat pemahaman perpajakan dari wajib pajak dirasa perlu
untuk dibahas karena pengetahuan perpajakan adalah salah satu faktor potensial bagi
pemerintah untuk meningkatkan ketaatan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, semakin tinggi tingkat pengetahuan dan pemahaman wajib pajak
terhadap peraturan perpajakan, maka semakin kecil pula kemungkinan wajib pajak
tersebut untuk melanggar peraturan tersebut, karena jika pengetahuan mengenai
perpajakan rendah, maka ketaatan wajib pajak mengenai peraturan yang berlaku juga
rendah (Rio, 2019)
2.1.6 Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika Penggelapan Pajak
2.1.6.1 Teori Persepsi

Persepsi merupakan pandangan pikiran seseorang yang muncul dari kegiatan


mengorganisasikan dalam pikirannya, menafsirkannya, mengalami, dan mengelola
pertanda atas segala sesuatu yang terjadi di lingkungannya (Prasetyo, 2010).

Persepsi juga diartikan sebagai berikut oleh para ahli :

1. Menurut Thoha (2004: 141) persepsi pada hakikatnya adalah “proses kognitif yang
dialami oleh setiap orang didalam memahami informasi tentang lingkungannya, baik
lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan, dan penciuman”.

2. Krech (Thoha, 2004: 142) menyatakan persepsi adalah “suatu proses kognitif yang
komplek dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali
sangat berbeda dari kenyataannya”.

3. Menurut Plano et al (1994) persepsi diartikan sebagai “hasil atau proses yang
melahirkan kesadaran akan sesuatu hal dengan perantaraan pemikiran yang sehat”.

4. Rachmadi (2014) mendefinisikan persepsi sebagai respon dari penerimaan kesan


melalui penglihatan, sentuhan, atau melalui indera lainnya yang kemudian ditafsirkan
berdasarkan pengalaman yang berbeda dari tiap individu, sehingga menghasilkan
perilaku yang berbeda pula.

Persepsi mencakup dua proses kerja yang saling terkait, yaitu (Pareek, 1991) :

1. Menerima kesan melalui penglihatan, sentuhan dan melalui indera lainnya

2. Penafsiran atau penetapan arti atas kesan-kesan inderawi tersebut. Arti ditetapkan
melalui kesan-kesan inderawi dengan struktur pengertian (keyakinan relevan yang
muncul dari pengalaman masa lalu) seseorang dan struktur evaluatif (nilai-nilai yang
dipegang seseorang).

Persepsi individu banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk di dalamnya


lingkungan sosial, di mana individu yang bersangkutan melakukan interaksi sosial
(Plano et al, 1994). Lingkungan sosial akan membentuk kepribadian, cara pandang
seseorang terhadap suatu obyek dan cara berpikir. Persepsi individu akan membentuk
persepsi masyarakat, mengingat bahwa masyarakat merupakan kumpulan individu
yang saling mengadakan interaksi sosial. Persepsi tidak terlepas dari pengamatan
individu terhadap lingkungan. Gibson (2001) mengatakan bahwa proses pemberian
makna kepada lingkungan oleh individu disebut dengan persepsi. Persepsi juga
timbul dari beberapa faktor.

Faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Gaspersz (1997) adalah sebagai


berikut:

1. Pengalaman masa lalu (terdahulu) dapat mempengaruhi seseorang karena manusia


biasanya akan menarik kesimpulan yang sama dengan apa yang ia lihat, dengar, dan
rasakan.

2. Keinginan dapat mempengaruhi persepsi seseorang dalam hal membuat keputusan.


Manusia cenderung menolak tawaran yang tidak sesuai dengan apa yang ia harapkan.

3. Pengalaman dari teman-teman, dimana mereka akan menceritakan pengalaman


yang telah dialaminya. Hal ini jelas mempengaruhi persepsi seseorang.

Selain itu menurut Thoha (2004), bahwa persepsi pada umumnya terjadi karena dua
faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam
diri individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan.

Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang
meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.

Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu asumsi atau
suatu informasi dari seseorang yang didapat dari pengalaman masa lalu yang
dirasakan sendiri oleh indera orang tersebut, keinginan seseorang dalam membuat
keputusan dan dari informasi yang diberikan oleh orang lain.

Menurut Gibson (2001), respon individu terhadap obyek akan bergantung pada
persepsi yang timbul pada dirinya. Kesamaan perilaku akan terjadi apabila individu-
individu mempunyai persamaan persepsi terhadap obyek. Persepsi individu terhadap
perilaku penggelapan pajak adalah proses individu dalam menerima,
mengorganisasikan serta mengartikan praktik penggelapan pajak yang dipengaruhi
oleh lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut.

Semakin banyak informasi yang diterima, maka akan semakin luas wawasan individu
tentang etika penggelapan pajak, dimana hal ini akan mendorong individu berperilaku
positif (proaktif) terhadap proses pelaksanaan perpajakan. Perilaku individu
dipengaruhi oleh persepsinya secara langsung. Perilaku individu terhadap etika
perpajakan dipengaruhi oleh persepsinya terhadap yang obyek yang bersangkutan.
Oleh karena itu, persepsi yang positif dari individu terhadap etika pajak mutlak
diperlukan untuk membentuk persepsi etika perpajakan pada suatu masyarakat, yang
kemudian pada akhirnya akan membentuk perilaku etis terhadap perpajakan.

2.2 Penelitian Terdahulu


No Peneliti Judul Jurnal Kesamaan Metode Hasil Penelitian
,Tahun Variabel Penelitian
1. (Rio, PENGARUH Dependen 1. PLS Keadilan berpengaruh negatif
2019) KEADILAN, Y: Persepsi Regressi terhadap persepsi wajib pajak
SANKSI Tax evasion on orang pribadi mengenai
2. Analisis penggelapan pajak, sanksi
PAJAK DAN
Independen model perpajakan berpengaruh
PEMAHAMAN X1 : struktura positif terhadap persepsi wajib
PERPAJAKAN KEADILAN 3. Metode pajak orang pribadi mengenai
TERHADAP X2: SANKSI Jackknifi penggelapan pajak dan
PERSEPSI PAJAK ng pemahaman perpajakan
WAJIB PAJAK X3:PEMAH berpengaruh negatif terhadap
ORANG AMAN persepsi wajib pajak orang
PERPAJAK pribadi mengenai penggelapan
PRIBADI
AN pajak.
MENGENAI
PENGGELAPA
N PAJAK

2. (Karlin PENGARUH Dependen Seseorang akan dapat


a, Y: Persepsi melaksanakan sesuatu dengan
2020) LOVE OF Tax evasion baik jika
MONEY, tngkat pemhaman terhadap
Independen: perpajakan
SISTEM X3: Keadilan juga tinggi atau memahami
PERPAJAKAN, Perpajakan perpajakan.
X5:Pemaham Dalam melaksanakan
KEADILAN an kewajiban
PERPAJAKAN, Perpajakan perpajakannya, wajib pajak
DISKRIMINAS X6:sanksi dituntut untuk
I Perpajakan menguasai peraturan dan
tatacara
PERPAJAKAN,
perjakana serta kewajiban
PEMAHAMAN yang
dilakukannya agar terhindar
PERPAJAKAN,
dari sanksi-
SANKSI sanksi yang berlaku. Sanksi
PERPAJAKAN pajak yang
DAN ketat dan berat membuat wajib
pajak akan
RELIGIUSITAS patuh membayar pajak dan
TERHADAP tindakan
PENGGELAPA penggelapan pajak dianggap
tidak etis
N PAJAK
atau tidak wajar. Sebaliknya,
Jika sanksi
pajak tidak ketat dan tidak
berat, wajib
pajak akan memilih tidak
membayar pajak
dan kemungkinan akan
melakukan
penggelapan pajak yang
dipandang
sebagai perilaku yang tidak
wajar atau
tidak.

3. (Sonda PENGARUH Dependen Metode analisis 1. Keadilan pemungutan pajak


kh1) KEADILAN Y: Persepsi regresi linear berpengaruh negatif terhadap
PEMUNGUTA Tax evasion berganda tindakan penggelapan pajak
dengan bantuan pada Wajib Pajak Orang
N PAJAK,
Independen: software Pribadi di KPP Pratama
PEMAHAMAN X1: Keadilan program Manado. Hal ini berarti H1
PERPAJAKAN X2:pemaham Statistical diterima, artinya semakin
DAN an Product and tinggi tingkat keadilan yang
PELAYANAN Perpajakan Service Solution dirasakan Wajib Pajak dalam
APARAT (SPSS) pemungutan perpajakan maka
PAJAK kecenderungan Wajib Pajak
untuk melakukan tindakan
TERHADAP
penggelapan pajak semakin
TINDAKAN rendah karena dipandang
PENGGELAPA sebagai perilaku yang tidak
N PAJAK etis. 2. Pemahaman
(STUDI perpajakan berpengaruh
EMPIRIS negatif terhadap tindakan
PADA WAJIB penggelapan pajak pada Wajib
Pajak Orang Pribadi di KPP
PAJAK
Pratama Manado. Hal ini
ORANG
PRIBADI DI berarti H2 diterima, artinya
KPP semakin luas pengetahuan dan
PRATAMA tingginya kemampuan dalam
memahami segala kegiatan
MANADO)
perpajakan baik kewajiban
dan hak Wajib Pajak, sanksi
perpajakan maka menurunkan
tindakan penggelapan pajak
4. (SUSA PENGARUH Dependen Analisis Linier pemahaman perpajakan
NTI, SISTEM Y: Persepsi Berganda berpengaruh positif terhadap
2019) PERPAJAKAN, Tax evasion persepsi wajib pajak mengenai
etika penggelapan pajak,
SANKSI
Independen: dimana semakin baik sistem
PAJAK, TARIF X2: Sanksi perpajakan dan tingginya
PAJAK, DAN Pajak pemahaman perpajakan akan
PEMAHAMAN X3:Pemaham mempengaruhi persepsi wajib
PERPAJAKAN an Pajak pajak bahwa penggelapan
TERHADAP pajak tidak etis untuk
PERSEPSI dilakukan
WAJIB PAJAK
MENGENAI
ETIKA
PENGGELAPA
N PAJAK

5. (Elissa PENGARUH Dependen Metode Keadilan pajak berpengaruh


Margar KEADILAN,SA Y: Persepsi sampling positif terhadap persepsi
etha1, NKSI Tax evasion insidental wajib pajak mengenai
penggelapan pajak (tax
2021) PAJAK,dan
Independen: evasion). Pemahaman pajak
PEMAHAMAN X1:Keadilan tidak berpengaruh terhadap
PERPAJAKAN X2:sanksi presepsi wajib pajak
TERHADAP pajak mengenai etika penggelapan
PERSEPSI X3:Pemaham pajak (tax evasion).Sanksi
WAJIB PAJAK an pajak tidak berpengaruh
ORANG Perpajakan terhadap presepsi wajib
pajak mengenai etika
PRIBADI
penggelapan pajak (tax
MENGENAI evasion). keadilan pajak,
PENGGELAPA system perpajakan,
N PAJAK pemahaman pajak, dan sanksi
pajak secara bersama-sama
berpengaruh terhadap presepsi
wajib pajak mengenai etika
penggelapan pajak (tax
evasion)
6. (Parami PENGARUH Dependen Analisis regresi Keadilan berpengaruh negatif
ta1, SISTEM Y: Persepsi linear berganda pada persepsi wajib pajak
2016) PERPAJAKAN, Tax evasion tentang perilaku penggelapan
pajak. Artinya apabila sistem
KEADILAN,
Independen perpajakan dan keadilan
DAN X2:Keadilan semadkin baik, maka
TEKNOLOGI anggapan wajib pajak tentang
PERPAJAKAN perilaku penggelapan pajak
PADA akan dianggap tidak baik,
PERSEPSI sebaliknya apabila sistem
WAJIB PAJAK perpajakan dan keadilan
semakin buruk, maka
MENGENAI
anggapan wajib pajak tentang
PENGGELAPA perilaku penggelapan pajak
N PAJAK akan cenderung dianggap baik
7. (PRAD PENGARUH Dependen
NYA, SISTEM Y: Persepsi
2022) PERPAJAKAN, Tax evasion
KEADILAN
Independen
PAJAK, X2:Keadilan
DISKRIMINAS X4:Pemaham
I PAJAK, an
PEMAHAMAN Perpajakan
PERPAJAKAN
DAN
KEMUNGKIN
AN
TERDETEKSI
KECURANGA
N TERHADAP
PERSEPSI
WAJIB PAJAK
MENGENAI
PENGGELAPA
N PAJAK (TAX
EVASION) DI
KPP
DENPASAR
TIMUR

8. (Dhana PENGARUH Independen Analisis statistik Keadilan sistem perpajakan


yanti1, PERSEPSI X2: keadilan deskriptif berpengaruh positif pada
2017) WAJIB PAJAK perpajakan kepatuhan pajak
MENGENAI
PENGGELAPA
N PAJAK DAN
KEADILAN
SISTEM
PERPAJAKAN
PADA
KEPATUHAN
PAJAK

9 Sutrisn Pengaruh tax Dependen:Pe Metode Survey Keadilan Pajak tidak


o,Yunu amnesty, self rsepsi Wajib dengan berpengaruh terhadap persepsi
s Tete assessment Pajak atas menggunakan wajib pajak atas tindakan
tindakan kuesioner pengelapan pajak pada wajib
Konde system dan
Penggelapan pajak orang pribadi di kota
keadilan pajak Pajak (Y) Samarinda.
terhadap variabel
persepsi wajib Independen
pajak atas yaitu,
tindakan Keadilan
penggelapan Pajak (X3)
pajak pada wajib
pajak orang
pribadi di kota
Samarinda

10 Christin PENGARUH Dependen:Pe Analisis 1. Keadilan Perpajakan


e KEADILAN, rsepsi Wajib Deskriptif (X1) berpengaruh
Pajak terhadap Persepsi
Yezzie, SISTEM mengenai Wajib Pajak mengenai
2017 PERPAJAKAN, etika etika Penggelapan
PEMAHAMAN Penggelapan Pajak / Tax Evasion
Pajak (Y) (Y)
PERPAJAKAN
2. Pemahaman
DAN SANKSI Independen: Perpajakan (X3) tidak
PAJAK KEADILAN berpengaruh terhadap
TERHADAP (X1) Persepsi Wajib Pajak
PERSEPSI PEMAHAM Mengenai Etika
WAJIB PAJAK AN Penggelapan Pajak /
MENGENAI PERPAJAK Tax Evasion (Y).
AN (X3) 3. Sanksi Perpajakan
ETIKA
SANKSI (X4) tidak
PENGGELAPA PAJAK (X4) berpengaruh terhadap
N PAJAK (TAX Persepsi Pajak
EVASION) mengenai etika
Penggelapan Pajak/
Tax Evasion (Y).
11 SRI PENGARUH Independent : Analisis 1. Terdapat pengaruh
PUTRI SANKSI Sanksi Deskriptif. yang signifikan dan
TITA PERPAJAKAN, perpajakan positif sanksi
(X1), tingkat perpajakan dengan
MUTI KESADARAN
Pemahaman Kepatuhan Wajib
A PERPAJAKAN, (X4). Pajak Dimana
PELAYANAN semakin tegas sanksi
FISKUS, DAN perpajakan maka
TINGKAT kepatuhan wajib pajak
PEMAHAMAN pun akan semakin
TERHADAP tinggi.
2. Terdapat pengaruh
KEPATUHAN
yang signifikan dan
WAJIB PAJAK positif tingkat
ORANG pemahaman terhadap
PRIBADI kepatuhan wajib
pajak. Dimana
semakin tinggi tingkat
pemahaman wajib
pajak maka kepatuhan
wajib pajak akan
semakin tinggi.
12 KHOLI PENGARUH Independent : analisis regresi 1.Pemahaman perpajakan
FATUS PEMAHAMAN Pemahaman linear berganda tidak berpengaruh terhadap
TIARA PERPAJAKAN, Perpajakan menggunakan tindakan tax evasion.
NITA KEADILAN, (X1), bantuan 2. Keadilan tidak berpengaruh
PERTI SELF Keadilan software SPSS. terhadap tindakan tax evasion.
(X2)
WI,202 ASSESSMENT
1 SYSTEM, DAN Dependent :
PELAYANAN Tindakan Tax
APARAT Evasion (Y)
PAJAK
TERHADAP
TINDAKAN
TAX EVASION

13 Kartika PENGARUH variabel analisis statistik 1.Pemahaman tarif pajak


Indra PEMAHAMAN independen deskriptif uji
Fitria, PERPAJAKAN yaitu kualitas data berpengaruh positif
Djoko TENTANG pemahaman (uji validasi dan terhadap penggelapan pajak
Wahyu TARIF PAJAK, tentang tariff
realiabilitas),
SANKSI pajak(X1), analisis regresi 2.Sanksi pajak berpengaruh
PAJAK, DAN linier berganda positif terhadap penggelapan
KEADILAN sanksi pajak dan pengujian pajak
PAJAK (X2),dan hipotesis dengan
keadilan 3.Keadilan pajak berpengaruh
TERHADAP uji f uji t serta
pajak(X3) positif terhadap penggelapan
PERSEPSI uji koefisien
pajak
MAHASISWA Variabel dterminasi (R²)
MENGENAI Dependen(Y)
PENGGELAPA :Penggelapan
N PAJAK Pajak

14 Yona PENGARUH Variabel Uji Statistik Keadilan Pajak secara parsial


Yulia, KEADILAN dependen Deskriptif, Uji berpengaruh terhadap
Suciati PAJAK, TARIF (Y):penggela Regresi Linier penggelapan pajak. Pajak
Muanif PAJAK, DAN pan pajak Berganda dipandang adil oleh wajib
ah,2021 SISTEM pajak jika pajak yang
PERPAJAKAN Variabel dibebankan sebanding dengan
TERHADAP independen:k kemampuan membayar dan
PENGGELAPA eadilan manfaat yang akan diterima,
N PAJAK pajak(X1) sehingga wajib pajak
merasakan manfaat dari beban
pajak yang telah dikeluarkan.

15 Naluri Pengaruh Dependent :T 1.Uji Validitas Keadilan tidak ada


April Persepsi Wajib ax Evasion dan Reliabilitas pengaruhnya atas variabel
Leana Pajak Orang (Y) dependen yaitu
,Nur Pribadi Atas 2.Uji Hipotesis tax evasion
Kholis Pelaksanaan Independent: Regresi serta variabel tersebut juga
,2022 Self Keadilan Berganda memiliki hasil yang sama
Assessment (X3) yaitu ada pengaruh negatif
System, dengan persepsi WPOP
Keadilan, Dan terhadap
Teknologi tax evasion
Perpajakan dimana artinya akan
Terhadap menurunkan persepsi mereka
Tindakan jika ketiga variabel
Tax Evasion independen tersebut ada
peningkatannya

2.3 Kerangka Pikir

Kerangka konseptual penelitian dalam penelitian ini adalah tentang pengaruh


keadilan pajak, pemahaman perpajakan, dan sanksi perpajakan terhadap persepsi
wajib pajak mengenai tax evasion. Variabel penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah variabel bebas atau independen, yaitu keadilan pajak,
pemahaman perpajakan, dan sanksi perpajakan. Sedangkan variabel terikat atau
dependen dalam penelitian ini adalah persepsi wajib pajak mengenai tax evasion.
Oleh karena itu, kerangka konseptual penelitian ini dapat digambarkan pada Gambar
berikut:

X1: KEADILAN

H1

X2: SANKSI H2 Y:PERSEPSI TAX


PERPAJAKAN EVASION

H3

X3:PEMAHAMAN
PERPAJAKAN
Gambar 1

Kerangka Penelitian: “Pengaruh Keadilan, Sanksi Perpajakan dan Pemahaman


Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Penggelapan Pajak”

2.4 Hubungan antar Variabel Penelitian

H1. Pengaruh Keadilan Pajak Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax Evasion

Pemungutan pajak harus memenuhi syarat keadilan agar pemungutan pajak tidak
menimbulkan hambatan atau perlawanan dari wajib pajak. Menurut Mardiasmo
(2018: 4) sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, undang-undang
maupun pelaksanaan pemungutan pajak harus adil dalam perundang-undangan dan
juga adil dalam pelaksanaannya. Adil dalam perundang-undangan yaitu mengenakan
pajak secara merata dan disesuaikan dengan kemampuan membayar wajib pajak
masing-masing. Adil dalam pelaksanaannya adalah memberikan hak kepada wajib
pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran, dan mengajukan
banding kepada Pengadilan Pajak. Karena setiap wajib pajak mempunyai persepsinya
masing-masing maka adil bagi setiap wajib pajak berbeda-beda. Walaupun demikian,
Direktorat Jenderal Pajak tetap harus memegang teguh asas keadilan sesuai dengan
perundang-undangan dan juga pelaksanaannya agar wajib pajak dapat mematuhi dan
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Karena begitu pentingnya keadilan bagi
wajib pajak, maka wajib pajak membutuhkan keadilan di dalam pemungutan dan
pemotongan terhadap pajak terutangnya, yang dalam hal ini dilakukan oleh aparat
pajak atau fiskus. Apabila wajib pajak diperlakukan dengan adil maka mereka akan
menganggap perilaku tax evasion merupakan perilaku yang tidak etis untuk
dilakukan. Sebaliknya, jika wajib pajak mendapatkan perlakuan yang tidak adil maka
wajib pajak akan berfikir bahwa tax evasion merupakan tindakan yang etis untuk
dilakukan karena mereka tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya.
Kesimpulannya adalah semakin tinggi keadilan pajak maka kecenderungan wajib
pajak untuk melakukan tax evasion akan semakin rendah. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sariani et al. (2016) yang mengemukakan bahwa
keadilan pajak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion.
Tetapi hasil penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Indriyani et al. (2016) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa keadilan pajak
tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion

H2.Pengaruh Sanksi Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax


Evasion

Sanksi perpajakan adalah alat pencegah (preventif) bagi wajib pajak dan juga fiskus
agar tidak melanggar undang-undang perpajakan. Sanksi perpajakan harus diterapkan
untuk mendorong wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, mulai
dari menghitung, membayar, sampai dengan melaporkan pajak terutangnya, sehingga
peraturan perundang-undangan dapat dipatuhi oleh wajib pajak. Semakin besarnya
sanksi denda yang dibebankan kepada wajib pajak, maka akan mendorong wajib
pajak untuk berperilaku tidak patuh dan semakin banyak kesempatan yang dimiliki
oleh wajib pajak untuk melakukan tindakan tax evasion. Oleh karena itu, penerapan
sanksi perpajakan harus dilakukan dengan tepat agar wajib pajak berperilaku patuh
dan tidak melakukan tindakan tax evasion. Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Maghfiroh (2016) menyatakan bahwa sanksi perpajakan berpengaruh terhadap
persepsi wajib pajak mengenai tax evasion. Berbanding terbalik dengan hasil
penelitian dari Yetmi et al. (2014) yang menunjukkan bahwa sanksi perpajakan tidak
berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai tax evasion.

H3.Pengaruh Pemahaman Perpajakan Terhadap Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax


Evasion

Pemahaman perpajakan adalah pemahaman yang berkaitan dengan prosedur serta


cara pembayaran pajak. Pengaruh pemahaman perpajakan terhadap tindakan tax
evasion dapat dikembangkan dengan melihat dari seberapa besar pemahaman
perpajakan wajib pajak tentang ketentuan dan tata cara perpajakan yang harus
dimengerti dan dipatuhi oleh wajib pajak. Dengan memahami peraturan perpajakan,
diharapkan dapat meminimalisir tindakan tax evasion karena wajib pajak yang
memahami ketentuan dan tata cara perpajakan menganggap perilaku tax evasion
merupakan perilaku yang melanggar undang-undang perpajakan dan perilaku yang
tidak etis untuk dilakukan. Jika pemahaman perpajakan yang dimiliki oleh wajib
pajak rendah maka akan menyebabkan wajib pajak tidak patuh pada peraturan
perpajakan dan melakukan tindakan tax evasion. Kesimpulannya adalah semakin
tinggi pemahaman perpajakan yang dimiliki oleh wajib pajak maka kecenderungan
wajib pajak untuk melakukan tax evasion akan semakin rendah. Sebaliknya, apabila
tingkat pemahaman perpajakan yang dimiliki oleh wajib pajak rendah maka
kecenderungan wajib pajak untuk melakukan tindakan tax evasion akan semakin
tinggi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Herlangga & Pratiwi (2014)
menunjukkan bahwa pemahaman perpajakan berpengaruh signifikan terhadap
persepsi wajib pajak mengenai tax evasion. Penelitian tersebut tidak sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Wicaksono (2014) yang menyatakan bahwa
pemahaman perpajakan tidak berpengaruh terhadap persepsi wajib pajak mengenai
tax evasion.

2.5. Pengembangan Hipotesis


Hipotesis adalah suatu pertanyaan tentang konsep yang diperkirakan sebagai
kebenaran atau kesalahan tentang suatu fonemana yang sedang diamati yang
kemudian diformulasikan untuk pengujian yang bersifat empiris. Jadi, hipotesis
merupakan suatu rumusan yang menyatakan adanya hubungan tertentu antara satu
variabel atau lebih.

Perumusan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut :

H1 : Keadilan berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak orang pribadi


mengenai penggelapan pajak

H2 : Sanksi perpajakan berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak orang


pribadi mengenai penggelapan pajak

H3 : Pemahaman perpajakan berpengaruh negatif terhadap persepsi wajib pajak orang


pribadi mengenai penggelapan pajak
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Penelitian


Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik survei dengan cara
penyebaran kuesioner kepada wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP
Pratama Padang. Menurut Sekaran & Bougie (2017: 170) kuesioner (questionnaire)
adalah daftar pertanyaan tertulis yang telah dirumuskan sebelumnya dimana
responden akan mencatat jawaban mereka, biasanya dalam alternatif yang
didefinisikan dengan jelas. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini yaitu
metode kuantitatif. Metode kuantitatif disebut juga sebagai metode tradisional, karena
metode ini sudah cukup lama digunakan sehingga sudah mentradisi sebagai metode
untuk penelitian. Metode ini disebut sebagai metode positivistic karena berlandaskan
pada filsafat positivisme. Metode ini sebagai metode ilmiah/scientific karena telah
memenuhi kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan
sistematis. Metode ini juga disebut metode discovery, karena dengan metode ini dapat
ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru. Metode ini disebut metode
kuantitatif karena data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan
statstik (Sugiyono, 2017: 7).

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi
Penelitian Menurut Sugiyono (2013: 115) populasi adalah wilayah
generalisasi yang terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian
ditarik kesimpulannya. Populasi sasaran dalam penelitian ini merupakan seluruh
wajib pajak yang terdaftar di KPP Pratama Padang.

3.2.2 Sampel Penelitian

Menurut Sanusi (2011: 87) Sampel adalah seleksi terhadap bagian


elemenelemen populasi dengan harapan hasil seleksi tersebut dapat merefleksikan
seluruh karakteristik yang ada. Bila populasi besar, peneliti tidak mungkin
mempelajari seluruh yang terdapat dalam populasi, misalnya karena keterbatasan
waktu, tenaga, dan dana, maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari
populasi itu. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya dapat diberlakukan
untuk populasi. Oleh karena itu, sampel yang diambil dari populasi harus benar-benar
representative (mewakili) (Sugiyono, 2017: 81). Teknik pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan teknik Simple Random Sampling. Menurut Sugiyono
(2013: 118) simple random sampling adalah teknik pengambilan sampel dari populasi
yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu.
Sedangkan di dalam menentukan ukuran sampel, digunakan penentuan ukuran
sampel menurut ketentuan Slovin.

n=N

1+ N α2

Keterangan:

n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

α = margin error (10%)

n = 138.244

1+138.244(0,1)2

n = 138.244
1+138.244(0,01)

n = 138.244

1+1.382,44 n = 138.244 1.383,44

n = 99,93 Besarnya sampel dalam penelitian ini berdasarkan ketentuan Slovin


adalah 99,93 responden. Oleh karena itu dilakukan pembulatan menjadi 100
responden.

3.3 Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Menurut
Chandrarin (2017: 123) data primer adalah data yang berasal langsung dari objek
penelitian atau responden, baik dari individu maupun kelompok. Data ini biasanya
dikumpulkan dengan instrumen berupa kuesioner atau materi wawancara.

Dalam penelitian ini data primer diperoleh dari jawaban atas kuesioner yang
diberikan kepada wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Jakarta
Jatinegara. Teknik pengumpulan data berupa kuesioner dilakukan dengan
memberikan beberapa pertanyaan kepada wajib pajak, kemudian wajib pajak diminta
untuk menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan persepsi mereka.

Dalam penyusunan kuesioner penelitian ini digunakan skala likert yang terdiri dari 5
angka, dengan rincian sebagai berikut:

Angka 1 = Sangat Tidak Setuju (STS)


Angka 2 = Tidak Setuju (TS)
Angka 3 = Kurang Setuju (KS)
Angka 4 = Setuju (S)
Angka 5 = Sangat Setuju (SS)

3.4 Operasionalisasi Variabel


Variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian atau
penelitian (Arikunto, 2010). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
variabel yang mempengaruhi variabel terikat, yaitu Keadilan Pajak (X1), Pemahaman
Perpajakan (X2), Sistem Perpajakan (X3), dan Sanksi Perpajakan (X4). Sedangkan
variabel terikat dalam penelitian ini adalah variabel yang dipengaruhi variabel bebas,
yaitu Persepsi Wajib Pajak Mengenai Tax Evasion (Y).

Operasionalisasi variabel pada penelitian ini dapat dilihat dalam Tabel 3.1 berikut ini:

Tabel 3.1
Operasionalisasi Variabel

Variabel Indikator Skala Ukur


Keadilan Pajak (X1) 1. Keadilan horizontal Skala Likert
dan keadilan vertikal
(Rahman, 2013) dan dalam pemungutan pajak
(Friskianti, 2014) 2. Keadilan dalam
penyusunan
undangundang pajak
3. Keadilan dalam
penerapan ketentuan
perpajakan
4. Pajak yang disetor
sesuai dengan manfaat
yang diperoleh
5. Pajak sesuai
kemampuan dalam
membayar kewajiban
pajak
Pemahaman Perpajakan 1. Tingkat pengetahuan Skala Likert
(X2) tentang jenis-jenis pajak
2. Tingkat pengetahuan
(Rachmadi, 2014) dan tentang kewajiban
(Sari, 2015) sebagai wajib pajak
3. Tingkat pengetahuan
tentang hak sebagai wajib
pajak
4. Tingkat pengetahuan
mengenai sanksi
perpajakan
5. Tingkat pemahaman
wajib pajak tentang
peraturan perpajakan
6. Tingkat pemahaman
mengenai teknologi
sistem perpajakan
Sistem Perpajakan (X3) 1. Prosedur sistem Skala Likert
perpajakan telah sesuai
(Rahman, 2013) dan dengan undang-undang
(Wardani, 2017) yang berlaku
2. Pendistribusian dana
yang bersumber dari
pajak
3. Kemudahan fasilitas
sistem perpajakan
4. Pemberian sosialisasi
sistem perpajakan kepada
masyaraka
Sanksi Perpajakan (X4) 1. Sanksi pidana yang Skala Likert
dikenakan bagi pelanggar
aturan perpajakan berat 2.
(Sari, 2015) dan Sanksi administrasi yang
(Sulistiani, 2016) dikenakan bagi pelanggar
aturan pajak berat 3.
Pengenaan sanksi yang
cukup berat merupakan
salah satu sarana untuk
mendidik wajib pajak 4.
Sanksi pajak harus
dikenakan kepada
pelanggar aturan
perpajakan tanpa
terkecuali
Persepsi Wajib Pajak 1. Penyetoran pajak dan Skala Likert
Mengenai Tax Evasion penyampaian SPT tidak
(Y) tepat waktu
2. Penyampaian SPT
(Rachmadi, 2014) dan dengan tidak benar
(Sari, 2015) 3. Penggelapan pajak
dianggap etis karena
pelaksanaan hukum yang
mengaturnya lemah dan
terdapat peluang bagi
wajib pajak dalam
melakukan tindakan tax
evasion
4. Integritas atau
mentalitas aparat pajak
atau fiskus dan pejabat
pemerintah yang buruk
dan diskriminasi terhadap
perlakuan pajak
5. Konsekuensi
melakukan penggelapan
pajak dan berusaha
menyuap aparat pajak
atau fiskus

3.5 Metode Analisis Data


Metoda yang digunakan untuk mengolah data dalam penelitian ini yaitu
dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS (Statistical Package For the
Social Sciencess) versi 24.0. Kuesioner yang telah disebarkan kepada responden yaitu
wajib pajak orang pribadi yang terdaftar di KPP Pratama Padang digunakan sebagai
metoda analisis data yang kemudian direkap ke dalam tabulasi data dan data tersebut
akan diolah dengan perangkat lunak SPSS. Berikut ini merupakan langkah-langkah
yang akan dilakukan oleh peneliti untuk menganalisa data dalam penelitian ini.

3.5.1 Statistik Deskriptif


Menurut Sugiyono (2017) statistik deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi.
Statistik deskriptif digunakan untuk memberikan informasi mengenai
karakteristik variabel penelitian yang utama dan daftar demografi responden,
statistik deskriptif memberikan gambaran suatu data yang dilihat dari nilai
rata-rata (mean), maksimum, dan minimum (Ghozali, 2013).

3.5.2 Uji Kualitas Data


1. Uji Validitas
Menurut Ghozali (2013) uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau
valid tidaknya suatu kuesioner. Suatu kuesioner dikatakan valid jika
pertanyaan atau pernyataan yang ada pada kuesioner mampu untuk
mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Mengukur
validitas dapat dilakukan dengan melakukan korelasi antar skor butir
pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel, dengan melakukan
korelasi pada masing-masing skor. Untuk mengetahui apakah suatu sistem
valid atau tidak, maka dilakukan perbandingan antara koefisien rhitung
dengan koefisien rtabel. Jika rhitung lebih besar dari rtabel artinya item sah
atau valid. Sebaliknya jika rhitung lebih kecil dari rtabel artinya item tidak sah
atau tidak valid. Dalam menganalisis validitas instrument pada penelitian ini,
digunakan teknik statistik korelasi dengan rumus Product Moment Carl
Pearson yang dihitung dengan menggunakan perangkat lunak computer SPSS
Versi 24.0.

2. Uji Reliabilitas
Ghozali (2013: 48) mengemukakan bahwa reliabilitas adalah ukuran
yang menunjukkan konsistensi dari alat ukur dalam mengukur gejala yang
sama di saat yang berbeda. Maksud dari konsistensi di sini yaitu kuesioner
tersebut konsisten di dalam mengukur konsep dari suatu kondisi ke kondisi
lain. Pada perangkat lunak SPSS, uji reliabilitas dapat dilakukan dengan cara
melihat nilai Cronbach Alpha, dimana kuesioner dikatakan reliabel jika nilai
Cronbach Alpha lebih besar dari 0,70.

Berikut merupakan kriteria korelasi pada Tabel 3.2:

Tabel 3.2
Kriteria Korelasi

Interval Korelasi Tingkat Hubungan


0,00-0,29 Sangat Rendah
0,30 – 0,49 Rendah
0,50 – 0,69 Sedang
0,70 – 0,89 Kuat
0,90 – 1,00 Sangat Kuat
Sumber : (Ghozali,2013)

3.5.3 Uji Asumsi Klasik


Model regresi yang baik harus memiliki distribusi data yang normal atau
mendekati normal dan bebas dari asumsi klasik. Uji asumsi klasik digunakan
untuk mengetahui apakah hasil analisis regresi linear berganda yang
digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini terbebas dari
penyimpangan asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, uji
multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas.

1. Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2013) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah
dalam model regresi variabel dependen dan variabel independen
mempunyai kontribusi atau tidak. Penelitian yang menggunakan metode
lebih handal untuk menguji data mempunyai distribusi normal atau tidak
yaitu dengan melihat Normal Probability Plot. Model regresi yang baik
adalah data distribusi normal atau mendekati normal, untuk mendeteksi
normalitas dapat dilakukan dengan melihat penyebaran data (titik) pada
sumbu diagonal grafik.
Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Jika data (titik) menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal, maka menunjukkan pola distribusi yang normal sehingga
model regresi dapat memenuhi asumsi normalitas.
2. Jika data (titik) menyebar jauh di sekitar garis diagonal dan atau tidak
mengikuti arah garis diagonal, maka tidak memenuhi asumsi normalitas.

2. Uji Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2013: 103) uji multikolinearitas bertujuan untuk
menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi yang
tinggi atau sempurna antar variabel bebas. Adanya multikolinearitas atau
korelasi yang tinggi antara variabel dapat dideteksi dengan melihat
Tolerance dan Variance Inflation Factor (VIF).
Multikolinearitas dapat terjadi jika nilai tolerance lebih kecil dari 0,10
sedangkan yang memiliki arti tidak adanya korelasi antara variabel bebas
jika nilai tolerance lebih besar dari 0,10.
Jika nilai VIF lebih besar dari 10 maka terdapat multikolinearitas,
sedangkan jika VIF kurang dari 10 maka dapat dikatakan bahwa variabel
bebas yang digunakan dapat dipercaya dan objektif. Dasar pengambilan
keputusannya yaitu:
a. Jika tolerance < 0,10 dan VIF > 10 maka H1 ditolak yang berarti
terdapat multikolinearitas.
b. Jika tolerance > 0,10 dan VIF < 10 maka H1 diterima yang berarti tidak
terdapat multikolinearitas.
3. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Ghozali (2013) uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual atau
pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari suatu pengamatan ke
pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Model regresi
yang baik adalah yang homoskedastisitas atau tidak terjadi heteroskedastisitas.
Pengujian heteroskedastisitas dilakukan dengan uji Glejser, yaitu dengan cara
membuat persamaan regresi atas variabel bebas terhadap variabel nilai
absolute unstandardized residual hasil regresi. Dari hasil regresi tersebut
kemudian dianalisis signifikansinya. Suatu model regresi yang baik dikatakan
tidak memiliki heterokedastisitas apabila tidak ada variable bebas yang
mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel terikat berupa nilai
absolute dari unstandardized residual hasil regresi.
Heteroskedastisitas diuji dengan menggunakan uji koefisien korelasi Rank
Spearman (Spearman Rho) yaitu mengkorelasikan antara absolute residual
hasil regresi dengan semua variabel bebas. Apabila probabilitas hasil korelasi
lebih kecil dari 0.05 (5%) maka telah terjadi heteroskedastisitas, sebaliknya
jika hasil korelasi lebih besar dari 0.05 (5%) maka tidak terjadi
heteroskedastisitas.

3.4.4 Uji Hipotesis

1. Uji T (Uji Parsial)

Secara parsial pengaruh keadilan pajak, pemahaman perpajakan,


sistem perpajakan, dan sanksi perpajakan terhadap tax evasion. Pada
penelitian ini menggunakan bantuan perangkat lunak SPSS Versi 24.0,
apabila nilai p value < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
Uji T digunakan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh satu variabel
bebas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Uji T
dilakukan dengan membandingkan antara thitung dengan ttabel. Untuk
menentukan nilai ttabel ditentukan dengan tingkat signifikansi 5% dengan
derajat kebebasan (degree of freedom) df = (n-k-1). Dimana n adalah jumlah
responden atau sampel dan k adalah jumlah variabel independen.

Kriteria pengujian yang digunakan yaitu:

1. Jika thitung > ttabel (n-k-1) maka H0 ditolak


2. Jika thitung < ttabel(n-k-1) maka H0 diterima

Selain itu uji T tersebut dapat pula dilihat dari besarnya probabilitas
value (p value) dibandingkan dengan 0,05 (Taraf signifikansi α = 5%).
Adapun kriteria pengujian yang digunakan yaitu:

1. Jika p value < 0,05 maka H0 ditolak


2. Jika p value > 0,05 maka H0 diterima

2. Koefisien Determinan (R2 )

Koefisien determinan (R2 ) digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan


model dalam menerangkan variabel terikat. Nilai koefisien determinan antara nol dan
satu. Nilai R2 yang kecil memliki arti bahwa kemampuan variabel-variabel bebas
dalam menjelaskan variasi variabel terikat amat terbatas. Nilai R2 yang mendekati
satu berarti semakin baik kemampuan model tersebut dalam menjelaskan variabel
terikat. Tetapi koefisien determinan (R2) memiliki kelemahan mendasar, yaitu adanya
bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan ke dalam model, maka R2 pasti
akan meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel terikat. Oleh karena itu, banyak peneliti yang menganjurkan untuk
menggunakan nilai adjusted R2 pada saat mengevaluasi mana model regresi yang
terbaik (Ghozali, 2013)
DAFTAR PUSTAKA

Ayem.Listiani, S. (2018). PENGARUH SOSIALISASI PERPAJAKAN,


PENEGAKAN HUKUM (LAW.
Dhanayanti1, K. M. (2017). PENGARUH PERSEPSI WAJIB PAJAK MENGENAI
PENGGELAPAN.

Elissa Margaretha1, S. L. (2021). PENGARUH KEADILAN,SANKSI PAJAK,dan


PEMAHAMAN PERPAJAKAN TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK
ORANG PRIBADI MENGENAI PENGGELAPAN PAJAK.

ENI ENDARYATI S.Kom, M. (2021, 11 04). STEKOM.AC.ID. Retrieved 05 24,


2023, from UNIVERSITAS STEKOM: https://komputerisasi-akuntansi-
d4.stekom.ac.id/informasi/baca/Penghindaran-dan-Penggelapan-Pajak/
12cfd460ec6773a91943ae1a11fd13045918e576

Herlangga1, K. (n.d.). Pengaruh Pemahaman Perpajakan, Self Assessment System,


Dan Tarif Pajak.

Karlina, Y. (2020). PENGARUH LOVE OF MONEY, SISTEM PERPAJAKAN,


KEADILAN PERPAJAKAN, DISKRIMINASI PERPAJAKAN,
PEMAHAMAN PERPAJAKAN, SANKSI PERPAJAKAN DAN
RELIGIUSITAS TERHADAP PENGGELAPAN PAJAK.
Paramita1, A. M. (2016). PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN, KEADILAN,
DAN TEKNOLOGI.

PRADNYA, I. P. (2022). PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN, KEADILAN


PAJAK, DISKRIMINASI PAJAK, PEMAHAMAN PERPAJAKAN DAN
KEMUNGKINAN TERDETEKSI KECURANGAN TERHADAP PERSEPSI
WAJIB PAJAK MENGENAI PENGGELAPAN PAJAK (TAX EVASION)
DI KPP DENPASAR TIMUR.

Putri, R. I., & Mahmudah, H. (n.d.). PENGARUH KEADILAN, DISKRIMINASI


DAN ETIKA UANG (MONEY ETHICS) TERHADAP PERSEPSI
MENGENAI ETIKA PENGGELAPAN PAJAK.

Rio, S. (2019). PENGARUH KEADILAN, SANKSI PAJAK DAN PEMAHAMAN


PERPAJAKAN TERHADAP PERSEPSI WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI
MENGENAI PENGGELAPAN PAJAK (TAX EVASION). Master Thesis.

Sondakh1, T. F. (n.d.). PENGARUH KEADILAN PEMUNGUTAN PAJAK,


PEMAHAMAN PERPAJAKAN DAN.

SUSANTI, L. (2019). PENGARUH SISTEM PERPAJAKAN, SANKSI PAJAK,


TARIF PAJAK,. SKRIPSI.

Wahyu Lestari , K. (2015). PENGARUHKEADILAN, ADMINISTRASI


PERPAJAKAN, PENGETAHUAN DAN PEMAHAMAN WAJIB PAJAK
TERHADAP TAX AVOIDANCE.

Yuliyanti1*, T. (2017). PENGARUH KEADILAN PAJAK, TARIF PAJAK,


SISTEM PERPAJAKAN, SANKSI.

Anda mungkin juga menyukai