Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) dan PAJAK


PENJUALAN BARANG MEWAH (PPnBM)

Dosen pembimbing :
SITI MAESAROH, SE., M.Ak.

Kelompok :
1. Adinda Putri Soleha Rahman (2023202072)
2. Intan Febiyanti (2023102032)
3. Wanda Nurul A’ini (2023201071)
4. Fika Emilia Puspitasari (2023102057)
5. Tri Nur Arizah (2023102008)
6. Siti Maspupah (2023102092)
7. Duwita Permata Sari (2023102043)
8. Widya Pubianti (2023102087)
9. Ardi Ardiansah (2023102041)

Universitas Insan
Pembangunan Indonesia
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan nikmat sehatnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas Makalah
mata kuliah Perpajakan berjudul “SPT Penyetoran dan Pelaporan Pajak” ini tepat
pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini guna memenuhi tugas
pada mata kuliah Perpajakan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih
jauh dari sempurna oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca, mahasiswa, dan


bermanfaat untuk pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan
bagi kita semua.

Tangerang, 19 November 2023


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................................3
BAB I..........................................................................................................................................................5
PENDAHULUAN......................................................................................................................................5
1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian.............................................................................................................................6
1.4 Metode Penulisan.............................................................................................................................6
BAB II........................................................................................................................................................7
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................7
2.1 Dasar Hukum PPN Dan PPn BM, Perkembangan Dasar Hukumnya,.......................................7
Karakteristik, Tipe, Dan Pencatatan/Pembukuan Pada PPN............................................................7
2.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah..........................17
(PPnBM)...............................................................................................................................................17
2.3 Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung Besarnya Pajak (PPN dan PPn...........................20
BM) Yang Terutang Perlu Adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP),................................................20
Yang Menjadi DPP...............................................................................................................................20
2.4 Tarif................................................................................................................................................21
2.5 Mekanisme Pengenaan PPn..........................................................................................................21
2.6 Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM............................................................22
2.7 Saat Terutang Pajak......................................................................................................................23
2.8 Mekanisme Kredit Pajak..............................................................................................................25
2.9 Penyerahan Kepada Pemungut Ppn.............................................................................................27
2.10 PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri Dan Surat Pemberitahuan Masa............................30
(SPT Masa) PPN..................................................................................................................................30
BAB III.....................................................................................................................................................31
PENUTUP................................................................................................................................................31
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................................31
3.2 Saran..............................................................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan
nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa
Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN
termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak
(konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau
produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam
perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak
masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya,
sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau
membuat produknya.
Apabila dilihat dari sejarahnya, Pajak Pertambahan Nilai merupakan pengganti dari Pajak
Penjualan. Alasan penggantian ini karena Pajak Penjualan dirasa sudah tidak lagi memadai
untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan
pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan
pemerataan pajak.
Dalam peningkatan dana dalam negeri, Pajak merupakan alternatif yang sangat potensial.
Masalah Perpajakan bukan hanya masalah pemerintah saja dan pihak-pihak yang terkait
didalamnya akan tetapi masyarakat juga sangat mempunyai kepentingan yang sama untuk
mengetahui masalah Perpajakan di Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tercipta karena
digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menghasilkan,
menyalurkan dan memperdagangkan barang atau dalam memberikan jasa.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku atas penyerahan barang kena pajak
maupun jasa kena pajak adalah tarif tunggal sehingga mudah dalam pelaksanaannya tidak
ada penggolongan dengan tarif yang berbeda.
Pembukuan yang benar dan lengkap merupakan syarat mutlak pelaksanaan sistem
perpajakan di Indonesia yang berdasarkan “Self assessment” yakni pemerintah memberikan
kepercayaan kepada wajib pajak untuk menghitung sendiri besarnya Pajak Pertambahan Nilai
terhutangnya, menyetorkannya ke Bank persepsi dan kemudian melaporkan secara teratur ke
Kantor Pelayanan Pajak dalam bentuk Surat Pemberitahuan (SPT).
1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah, dari makalah yang kami sajikan adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana dasar hukum PPN dan PPn BM, perkembangan dasar hukumnya,
karakteristik, tipe, dan pencatatan/ pembukuan pada PPN?
2. Apa saja yang menjadi objek pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang
mewah (PPn BM)?
3. Apa yang menjadi dasar pengenaan pajak?
4. Bagaimana tarif dari PPn dan PPn Bm?
5. Bagaimana mekanisme pengenaan PPn?
6. Bagaimana cara menghitung PPn dan cara menghitung PPn BM?
7. Apa yang dimaksud dengan saat terutang pajak?
8. Bagaimana mekanisme kredit pajak?
9. Apa yang dimaksud dengan penyerahan kepada pemungut ppn?
10. Apa yang dimaksud dengan PPn atas kegiatan membangun sendiri dan surat
pemberitahuan masa (SPT Masa) PPN?

1.3 Tujuan Penelitian

Di dalam suatu hal pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu, begitu pun dengan
makalah yang kami sajikan memiliki tujuan. Dari rumusan di atas maka adapun tujuannya
adalah sebagai berikut.

1. Untuk menjelaskan dasar hukum PPN dan PPn BM, perkembangan dasar hukumnya,
karakteristik, tipe, dan pencatatan/ pembukuan pada PPN.
2. Memaparkan objek pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah
(PPn BM).
3. Untuk menjelaskan apa saja yang menjadi dasar pengenaan pajak.
4. Memaparkan tarif dari PPn dan PPn Bm.
5. Mendeskripsikan mekanisme pengenaan PPn.
6. Menjelaskan bagaimana cara menghitung PPn dan cara menghitung PPn BM.
7. Untuk menjelaskan yang dimaksud dengan saat terutang pajak.
8. Untuk mendeskripsikan mekanisme kredit pajak.
9. Untuk memaparkan apa yang dimaksud dengan penyerahan kepada pemungut ppn.
10. Untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan PPn atas kegiatan membangun sendiri
dan surat pemberitahuan masa (SPT Masa) PPN.

1.4 Metode Penulisan

Pada makalah yang kami sajikan metode penulisan yang digunakan adalah dengan libray
method atau yang lebih dikenal dengan metode kepustakaan, artinya isi dari makalah ini
sebagaian besar adalah hasil kutipan dan referensi dari berbagai sumber buku.
BAB II
PEMBAHASAN

 Pajak Penjualan mempunyai beberapa kelemahan, yaitu antara lain:


1. Adanya pajak berganda.
2 . Bermacam-macam tarif (ada 9 macam tarif) sehingga menimbulkan kesulitan
pelaksanaannya.
3. Tidak mendorong ekspor.
4. Belum dapat mengatasi penyelundupan.

 Sedangkan di lain sisi Pajak Pertambahan Nilai mempunyai kelebihan, antara lain:
1. Menghilangkan pajak berganda.
2. Menggunakan tarif tunggal, sehingga memudahkan pelaksanaan.
3. Netral dalam persaingan dalam negeri.
4. Netral dalam perdagangan internasional.
5. Netral dalam pola konsumsi.
6. Dapat mendorong ekspor.

 Pajak Pertambahan Nilai merupakan:


1.Pajak tidak langsung.
2.Pajak atas konsumsi dalam negeri.

2.1 Dasar Hukum PPN Dan PPn BM, Perkembangan Dasar Hukumnya,
Karakteristik, Tipe, Dan Pencatatan/Pembukuan Pada PPN.

Undang-Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang-
Undag ini disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.

1. Perkembangan Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai Indonesia

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan nama UU Pajak Pertambahan
Nilai 1984 merupakan salah satu produk referensi system perpajakan nasional (tax reform) 1983.
Sebagai pengganti UU nomot 19 Tahun 1951 Drt.jo UU Nomor 35 Tahun 1953 entang pajak
penjualan, UU PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.
Dalam kurun waktu 15 tahun sejak mulai berlaku, Undang-undang ini mengalami dua kali
perubahan. Perubahan yang pertama dilakukan dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 194
yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1995, sedangkan perubahan yang kedua dilakukan
dengan Undang-Undang nomor 11 tahun 1994 yang mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1995,
sedangkan perubahan yang kedua dilakukan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang
mulai berlaku sejak tanggal 1 januari 2001.

Adapun tujuan perubahan ini sebagaimana ditegaskan dalam konsideran filosofi UU Nomor 18
Tahun 2000 adalah:
a) Lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan
b) Menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan
dan pengamanan penerimaan Negara.

Latar belakang perubahan justru dijumpai dalam memori penjelasan bagian umum yang
menegaskan bahwa dalam era reformasi saat ini, perkembangan social ekonomi dan politik
berlangsung sangat cepat sehingga perubahan sistem perpajakan yang pernah dilakukan belum
dapat menampung perkembangan dunia usaha karena masih dijumpai kelemahan-kelemahan
dalam Undang-undang perpajakan, yaitu:
a) Belum adil walaupun sudah dilaksanakan sesuai ketentuan,
b) Kurang memberikan hak-hak wajib pajak
c) Kurang memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya,
d) Kurang memberikan kepastian hukum serta kurang sederhana.

Meskipun UU no 8 Tahun 1983 telah diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18
Tahun 2000, nama Undang-Undang ini tidak mengalami perubahan, Karena:
1) Pasal 20 UU Nomor 8 Tahun 1983 yang berbunyi: “ Undang-undang ini dapat disebut
dengan nama Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984” tidak diubah, dan pasal 2
ayat (2) dan pasal 14 ayat (1) UU Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 16 Tahun 2000, menyebut UU Nomor 8 Tahun 1983 yang telah
diubah ini “ undang-undang Pajak Pertambahan Nilai”
2) Sesuai dengan bunyi konsiderans UU nomor 11 Tahun 1994 dan UU Nomor 11 Tahun
1994 dan UU Nomor 18 Tahun 2000 bahwa pengundangan undang-undang ini di
maksudkan untuk mengubah UU Nomor 8 Tahun 1983, jadi bukan untuk menggantikan
kedudukannya.
3) Pasal III UU Nomor 18 Tahun 2000 menentukan: “ Undang-undang ini dapat disebut
Undang-Undang perubahan kedua Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984”. UU
ini menyebut UU PPN dengan nama UU PPN 1984.
Berdasar 3 argumentasi yuridis dan filosofis tersebut, maka sejak 1 April 1985 sampai dengan
saat ini dan seterusnya, yaitu setelah perubahan yang pertama dengan UU Nomor 11 Tahun 1994
dan perubahan yang kedua dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, sebagai dasar hukum Pajak
Pertambahan Nilai sejak 1 januari 2001 dapat dikemukakan sebagai berikut ;

a. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 yang tetap dinamakan Undang-undang
Pajak Pertambahan Nilai 1984.
b. Peraturan pmerintah Nomor 144 Tahun 2000 jo peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2002 tentang pelaksanaa UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak pertambahan Nilai
Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah
terakhir dengan Undang-undang 18 Tahun 2000.
c. Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun 2000 tentang jenis Barang dan Jasa yang tidak
dikenakan pajak.
d. Peraturan pemrintah Nomor 145 Tahun 2000 jis Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun
2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2002 serta Peraturan Pemerintah Nomor
6 Tahun 2003 tentang Kelompok Barang Kena pajak Yang Tergolong Mewah yang
dikenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
e. Peraturan pemerintah Nomor 146 Tahun 2000 jo Peraturan PemerintahNomor 38 Tahun
2003 tentang Impor dan atau penyerahan Barang kena Pajak Tertentu dan atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
f. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 jis Peraturan pemerintah Nomor 43 tahun
2002 dan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2003 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena
Pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dai pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai.
g. Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2003 tentang Perlakuan PPN dan PPnBM
dikawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam, sebagimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.

2. Karakteristik pajak pertambahan nilai

a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung


Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul beban pajak
(destinataris pajak) dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kas Negara
berada pada pihak yang berbeda.Pemikul pajak ini secara nyata berkedudukan sebagai
pembeli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak. Sedangkan penanggung jawab
atas pembayaran pajak ke kas Negara adalah pengusaha kena pajak yang bertindak selaku
penjual barang kena pajak atau pengusaha jasa kena pajak.
b. Pajak objektif
pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbunya kewajiban pajak ditentukan
oleh factor objektif yaitu adanya taat bestand. adapun yang dimaksud taat bestand adalah
keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut
dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar
pajak pertambahan nilai ditentukan oleh adanya objek pajak.

3. Tipe Pajak Pertambahan Nilai

a. Consumption Type VAT


dalam consumtion type value added tax semua pembelian yang digunaka untuk produksi
termasuk pembelian barang modal dikurangkan dari penghitungan nilai tambah.
Pajak pertambahan nilai tipe konsumsi ini memiliki beberapa nilai positif, yaitu:
• Membantu likuiditas perusahaan, karena seluruh Pajak Masukan atas pembelian Barang
Kena Pajak yang digunakan dalam proses produksi segera dapat dikreditkan.
• Menunjang ikli investasi sehat
• Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi alat produksi barang modal
tidak dikenakan pajak lebih dari satu kali.
• Tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda (bersift non kumulasi).
b. Net Income Type VAT
Dalam Net Income Type Value Added Tax, pengurangan pembelian barang modal dari
dasar pengenaan pajak tidak dimungkinkan. Pembelian barang modal hanya boleh
dikurangkan sebesar presentase penyusutan yang ditentukan pada waktu menghitung hasi l
bersih dalam rangka penghiungan pajak penghasilan. Oleh karena itu dasar pengenaan pajak
pertambahan nilai akan sama dengan dasar pengenaan pajak penghasilan.
c. Gross Product Type VAT
dalam Gross Product Tyoe Value Added tax, pembelian barang modal sama sekali tidak
boleh dikurangkan dari dasar pengenaan pajak. Hal ini mengakibatkan barang modal
dikenakan pajak dua kali yaitu pada saat dibeli, kemudian pemajakan yang kedua dilakukan
melalui hasil produksi yang dijual kepada konsumen.

4. Pencatatan Dan Pebukuan Dalam Pajak Pertambahan Nilai Dasar hukum


Ketentuan mengenai pembukuan yang sebelum 1 januari 2001 diatur dalam pasal 6 UU PPN
1984, dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 dihapus sehingga mengenai kewajiban pembukuan
dibidang PPn semata-mata mengacu pada pasal 28 UU KUP. Ide yang melatar belakangi
penghapusan pasal 6 UU PN 1984 dapat dipahami yaitu mengenai kewajiban
menyelenggrankan pembukuan dan pencatatan sudah diatur dalam Pasal 28 UU KUP.
Kewajiban ini merupakan bagian dari ketentuan formal. UU no 8 tahun 1984 merupakan
ketentuan materil sehingga tidak dapat apabila mengatur juga kewajiban formal.Selain itu
untuk menghindari pengaturan ganda terhadap satu masalah.
 Pencatatan yang Wajib Diselenggarakan Oleh PKP
1)Kuantum Barang Kena Pajak Yang diserahkan
2)Harga Perolehan Barang/Jasa Kena Pajak dan Pajak Masukan
3)Harga Jual/Penggantian dan Pajak keluaran yang dikenakan
4)Penyerahan yang terutang PPN 10%
5)Penyerahan yang terutang PPN 0%
6)Penyerahan yag tidak terutang PPN
7)Penyerahan yang terutang PPnBM

Karena berdasarkan pasal 16B UU PPN 1984, terhadap penyerahan BKP/JKP tertentu
diberikan fasilitas maka bagi PKP yang melakukan penyerahan terkait dengan fasilitas dimaksud,
pencatatan itu harus ditambah dengan dua materi lagi yaitu :
8)Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan pajak
9)Penyerahan yang PPN dan PPnBM-nya tidak dipungut.

Barang Kena Pajak (BKP)


Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang
bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan Undang-Undang.
Barang kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN
1984.
Yang dimaksud dengan “Barang Kena Pajak Tidak Berwujud” adalah:
1) Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya
ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia,merek dagang,
atau bentuk hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak serupa lainnya.
2) Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/ perlengkapan industrial, komersial, atau
ilmiah.
3) Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial.
4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak
menggunakan hak-hak tersebut pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan
peralatan/ perlengkapan tersebut pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau
informasi tersebut pada huruf c, berupa:
5) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang
disalurkan kepada masyaraka tmelalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang
seupa;
6) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,
untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/ dipancarkan melalui satelit, kabel, serat
optik, atau teknologi yang serupa;
7) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
8) Penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau
pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio.
9) Pelepasan seluruhnya atau sebagaian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau
pemberian hak kekayaan intelektual/ industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana
tersebut di atas.
Pengecualian BKP
Pada dasarnya semua barang adalah BKP, kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya.
Jenis barang yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah didasarkan
atas kelompok-kelompok barang sebagai berikut:

1) Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya,
seperti:
• Minyak mentah (crude oil);
• gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung
masyarakat;
• panas bumi;
• asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit,
dolomit, felspar (feldsfar), garam batu (halite), grafit, granit/ andesit, gips,
kalsit,kaolin,leusit,magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir
kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat,
tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan traktit;
• batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan
• bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih
bauksit.

2) Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti:
• Beras;
• Gabah;
• Jagung;
• Sagu;
• Kedelai;
• Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
• Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih,
dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami,
dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/ direbus;
• Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, disinkan, atau
dikemasi.
• Susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan,
tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/ atau dikemas atau tidak
dikemas;dan
• Sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/ atau disimpan
pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
3) Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering;

4) Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga (saham, obligasi dan lainnya).
Jasa Kena Pajak (JKP)
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan
hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk
dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau
permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesanan.
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN 1984.

Pengecualian JKP
Pada dasarnya semua jasa dikenakan pajak, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-
Undang PPn. Jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
didasarkan atas kelompok-kelompok jasa sebagai berikut.

1) Jasa pelayanan kesehatan medis, meliputi:


• Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
• Jasa dokter hewan;
• Jasa ahlikesehatan seperti ahli akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
• Jasa kebidanan dan dukun bayi;
• Jasa paramedis dan perawat;
• Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan
sanatorium;
• Jasa psikolog dan psikiater;
• Jasapengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.

2) Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:


• Jasa pelayanan Panti asuhan dan Panti Jompo;
• Jasa pemadam kebakaran;
• Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;
• Jasa lembaga rehabilitasi;
• Jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium;
• Jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial.

3) Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko.

4) Jasa keuangan, meliputi:


• Jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat
deposito, tabungan, dan/ atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
• jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain
dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek,
atau sarana lainnya;
• jasa-jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa: sewa
guna usaha dengan hak opsi, anjak piutang, usaha kartu kredit dan/ atau pembiayaan
konsumen;
• jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia;
• jasa penjaminan.

5) Jasa asuransi, yaitu jasa pertanggungan yang meliputi asuransi kerugian, asuransi jiwa,
dan reasuransi, yang dilakukan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis
asuransi, tidak termasuk jasa penunjang asuransi seperti agen asuransi, penilai kerugian
asuransi, dan konsultan asuransi.

6) Jasa di bidang keagamaan, meliputi:


• Jasa pelayanan rumah ibadah;
• Jasa pemberian khotbah atau dakwah;
• Jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan;
• Jasa lain di bidang keagamaan.

7) Jasa pendidikan, meliputi:


• Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah;
• Jasa penyelenggraan pendidikan luar sekolah.

8) Jasa kesenian dan hiburan meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan
hiburan.

9) Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan meliputi jasa penyiaran radio atau televisi yang
dilakukan oleh instansi pemerintah atau swasta ynag tidak bersifat iklan dan tidak
dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.

10) Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri.

11) Jasa tenaga kerja, meliputi:


• Jasa tenaga kerja;
• Jasa Penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha peyedia tenaga kerja tidak
bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja disebut;
• Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
12) Jasa perhotelan, meliputi:
• Jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel,
losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang
menginap.
• Jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah
penginapan, motel, losmen, dan hostel.

13) Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, antara lain
pemberian Izin mendirikan Bangunan, pemberian Usaha Perdagangan, pemberian Nomor
Pokok Wajib Pajak, dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk.
14) Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan tempat parkir yang dilakukan oleh
pemilik tempat parkir dan/ atau pengusaha kepada pengguna tempat parkir dengan
dipungut bayaran.

15) Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam yang diselenggarakan oleh
pemerintah maupun swasta.

16) Jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

17) Jasa boga atau katering.

Pengusaha Kena Pajak (PKP)


1) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang
melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasadari
luar Daerah Pabean.
2) Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/ atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai paja berdasarkan
Undang-Undang PPN 1984.

Kewajiban Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha Kena Pajak berkewajiban, antara lain untuk:

1) Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.


2) Memungut PPN dan PPn BM yang terutang.
3) Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar
daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang terutang.
4) Melaporkan penghitungan pajak.

Pengecualian Kewajiban Pengusaha Kena Pajak


Pengusaha yang dikecualikan dari nkewajiban sebagai Pengusaha kena Pajak adalah:
1) Pengusaha Kecil.
2) Pengusaha yang semata-mata menyerahkan barang dan atau jasa yang tidak dikenakan
PPN.

Pengusaha Kecil
Pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan
Barang kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/ atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pengusaha kecil wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku, jumlah peredaran bruto dan
atau penerimaan brutonya melebihi batas yang telah ditetapkan, Pengusaha tersebut wajib
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lama akhir bulan berikutnya
setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/ atau penerimaan brutonya melebihi Rp.
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
PKP dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai PKP apabila jhumlah
peredaran bruto dan atau penerimaan brutonya dalam satu tahun buku tidak melebihi batas
yang telah ditentukan dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pelayanan
Pajak tempat Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP paling lambat 1 (satu) bulan sejak
berakhirnya tahun buku. Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan dalam jangka
waktu 2 (dua) bulan sejak permohonan pencabutan pengukuhan diterima. Apabila dalam
jangka waktu tersebut Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan
pencabutan pengukuhan dianggap diterima.

Beberapa hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pengusaha kecil.


1) Dilarang membuat faktur pajak
2) Tidak wajib memasukan SPT Masa PPN
3) Diwajibkan membuat pembukuan atau pencatatan
4) Wajib lapor untuk dikukuhkan sebagai PKP, bagi pengusaha kecil yang memperoleh
bruto di atas batas yang telah ditentukan.

Penyerahan Barang Kena Pajak


1) Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
Penyerahan barang yang termasuk dalam pengertian penyerahan BKP adalah:
2) Penyerahan hak atas BKP karena suatu perjanjian
3) Pengalihan BKP karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha
(leasing)
4) Penterahan BKP kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang
5) Pemakaian swendiri dan/atau pemberian Cuma-Cuma atas BKP
6) BKP berupa persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan , yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan
7) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan BKP antar
cabang
8) Penyerahan BKP secara konsinyasi
9) Penyerahan BKP oleh PKP dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan
berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahanya dianggap langsung dari PKP kepada
pihak yang membutuhkan BKP

Sedangkan penyerakan barang yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan BKP
adalah sebagai berikut.
1) Penyerahan BKP kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang
Hukum Dagang
2) Penyerahan BKP untuk jaminan utang piutang
3) Penyerahan BKP dari pusat ke cabang atau sebalikanya dan/atau penyerahan BKP atar
cabang dalam hal PKP melakukan pemusatan tempat pajak terutang
4) Pengalihan BKP dalam rangka penggabungan , peleburan, pemekaran , pemecahan dari
pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang
menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak
5) BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan, yang
masih tersisa pada saat pembuaan perusahaan dan yang pajak Masukan atas perolehanya
tidak dapt di kreditkan.

2.2 Objek Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang
Mewah (PPnBM)

1. Objek Pajak Pertambahan Nilai


PPN dikenakan atas:

a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-
syaratnya adalah:
• Barang berwujud yang diserahkan merupakan BKP
• Barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan BKP yang tidak berwujud
• Penyerahan dilakukan di daerah Pabean
• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Syarat-
syaratnya adalah sebagai berikut.
• Jasa yang diserahkan merupakan JKP
• Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean
• Penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaanya
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.

2. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM)


Dengan pertimbangan bahwa:
a. Perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah
dan konsumen yang berpenghasilan tinggi
b. Perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas BKP yang tergolong mewah
c. Perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional
d. Perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
Maka atas penyerahan BKP yang tergolong Mewah oleh produsen atau impor BKP yang
tergolong mewah, disamping dikenakan Pajak Pertambhan Nilai (PPN) juga dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).Batasan suatu termasuk BKP yang
tergolong mewah adalah:
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentuu
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi
d. Barang tersebut untuk menunjukan status

PPn BM dikenakan atas:


a. Penyerahan BKPyang tergolong barang mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang
berpenghasilan BKP yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah PAbean dalam
kegiatan usaha atau pekerjaanya
b. Impor BKP yang tergolong mewah
PPn BM merupakan pungutan tambahan disamping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu
kali pada waktu penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pengusaha yang
menghasilkan atau pada waktu impor BKP yang tergolong mewah.

1. Karaktreristik PPnBM
Dari Pasal 5 dan Pasal 10 UU PPN 1984 diketahui karakteristik (PPnBM) sebagai
berikut:
a. PPnBM merupakan pungutan tambahan di smping PPN;
b. PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada saat impor, atau penyerahan di dalam
Daerah Pabean BKP yang tergolong Mewah oleh pabrikan yang menghasilkannya;
c. PPnBM tidak dapat dikreditkan dengan PPN atau PPnBM. Namun, Pengusaha Kena
Pajak yang mengekspor BKP Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali PPnBM
yang telah dibayar pada waktu perolehan BKP Yang Tergolong Mewah yang dieskpor
tersebut.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya PPnBM hanya dikenakan satu kali yaitu pada
mata rantai jalur distribusi yang disebut dalam Pasal 5 UU PPN 1984.
2. Tujuan Pengenaan PPnBM di Samping PPN
Dalam memori penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 ditegaskan bahwa tujuan mengenakan
PPnBM di samping PPN adalah:
a. Untuk memperoleh keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
b. Untuk mengendalikan pola konsumsi BKP Yang Tergolong Mewah;
c. Melindungi produsen kecil atau tradisional;
d. Untuk mengemankan penerimaan negara.
3. Tarif PPnBM
Berdasarkan Pasal 8 UU PPN 1984, tarif PPnBM adalah sebagai berikut:

a. Atas impor atau penyerahan “Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah” oleh Pabrikan
BKP yang terrgolong mewah tersebut, dikenakan PPnBM di samping PPN;
b. Tarif PPnBM yang semula berkisar antara 10% sampai dengan setinggi-tingginya 50%
sejak 1 Januari 2001 diubah menjadi paling rendah 10% dan paling tinggi 75%.
c. Atas ekspor BKP yang Tergolong Mewah dikenakan PPnBM dengan tarif 0%.

4. Kriteria BKP yang Tergolong Mewah


Kriteria BKP yang Tergolong Mewah dalam penjelasan Pasal 5 UU PPN 1984 adalah:

a. Bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau


b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu
ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.

5. Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung PPnBM yang Terutang


Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPnBM yang terutang adalah:

a. Untuk penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, Dasar pengenaan


Pajaknya adalah Harga Jual;
b. Untuk impor kendaraan bermotor adalah Nilai Impor.
c. Dalan hal terdapat hubungan istimewa antara Industri Perakitan atau Pabrikan kendaraan
bermottor dengan Distributor atau Dealer atau Agen atau Penyalur dan Harga Jual
dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara pihak-pihak tersebut sehingga Harga
Jual menjadi lebih rendah daripada harga pasar wajar, maka Dasar Pengenaan Pajaknya
ditetapkan sebesar harga pasar wajar.
6. Dibebaskan dari Pengenaan PPnBM
Berdasarkan Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003
dibebaskan dari pengenaan PPnBM:

a. Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan
untuk kendaraan ambulans, kendaraan jenazah, kendaraan pemadam kebakaran,
kendaraan tahanan, kendaraan angkutan umum;
b. Impor atau penyerahan kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean yang digunakan
untuk tujuan Protokoler Kenegaraan;
c. Impor atau penyerahan di dalam Daerah Pabean kendaraan bermotor untuk pengangkutan
10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk kemudi, yang
digunakan untuk kendaraan dinas TNI atau POLRI;
d. Impor atau penyerahan semua jenis kendaraan bermotor di dalam Daerah Pabean, yang
digunakan untuk keperluan patroli TNI atau POLRI.
Pembebasan ini diperoleh dengan terlebih dahulu pembeli yang berkepentingan
mengajukan Surat Keterangan Bebas PPnBM ke Kantor Pelayanan Pajak setempat.
Dalam hal sebelum diperoleh surat keterangan ini sudah terlanjur membeli kendaraan
bermotor yang diperlukan dan memenuhi kriteria yang seharusnya dibebaskan dari
PPnBM, maka pihak pembeli dapat mengajukan permohonan pengembalian (restitusi)
PPnBM yang sudah dibayar.

7. Tidak Dikenakan PPnBM


Berdasarkan Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 355/KMK.03/2003 taqnggal
11 Agustus 2003, PPnBM tidak dikenakan atas impor atau penyerahan:
a. Kendaraan dalam bentuk CKD;
b. Kendaraan berupa sasis;
c. Kendaraan pengangkutan barang;
d. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas silinder sampai dengan 250cc.
e. Kendaraan umum untuk pengangkutan 16 (enam belas) orang atau lebih termasuk
pengemudi.

2.3 Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung Besarnya Pajak (PPN dan
PPnBM) Yang Terutang Perlu Adanya Dasar Pengenaan Pajak (DPP), Yang
Menjadi DPP.

1. Harga jual
2. Penggantian
3. Nilai impor
4. Nilai ekspor
5. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menderi Keuangan
Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau sehatusnya
diminta oleh penjual karena penyerahan BKP, tidak termasuk PPN uang dipungut menurut
UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.
Penggantian adalah berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
pengusaha karena penyerahan JKP, ekspor JKP, atau ekspor BKP Tidak Berwujud, tetapi
tidak termasuk PPN yang dipungut menurut UU PPN tahun 1984 dan potongan harga yang
dicantumkan dalam faktur pajak atau berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh
penerima jasa karena pemanfaatan JKP dan/atau oleh penerima manfaat BKP Tidak
Berwujud karena pemanfaatan BKP tidak Berwujud dari luar daerah Pabean di dalam daerah
pabean.
Nilai impor adalah nilai yang berupa uang yang menjadi dasar penghitung bea masuk
ditambah pungutan berdasarkan kertentuan dalam perundang-undangan yang mengatur
mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor BKP, tidak termasuk PPN dan PPn BM yang
dipungut menurut UU PPN 1984.
Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh eksportir.
Penerapan DPP diatur dalam berbagai peratiran pelaksanaan undang-undang sebgai berikut:

1. Untuk penyerahan atau penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual.
2. Untuk penyerahan JKP, yang menjadi DPP adalah pergantian.
3. Untuk impor, yang menjadi DPP adalah nilai impor.
4. Untuk ekspor, yang menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5. Atas kegiatan membangun sendiri bangunan permanen dengan luas 300M² atau lebih,
yang dilakuakan oleh orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaanya. DPPnya adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk membangun
(tidak termasuk harga peroleh tanah).
6. Untuk pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian setelah
dikurang laba kotor.
7. Untuk pemberian Cuma-Cuma BKP adan/atau JKP adalah harga jual atau penggantian
setelah dikurangi laba kotor.
8. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan harga jual rata –
rata.
9. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata – rata perjudul film.
10. Untuk penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.

2.4 Tarif

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai


Tarif PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan
atas:
a. Ekspor BKP Berwujud
b. Ekspor BKP Tidak Berwujud
c. Ekspor JKP
2. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tarif,
yaitu tarif paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%. Ketentuan
mengenai tarif kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah dengan peraturan pemerintah. Sedangkan ketentuan
mengenai jenis barang yang dikenai PPn BM siatur dengan peraturan menteri keuangan.

2.5 Mekanisme Pengenaan PPn


Undang-Undang PPN 1984 menganut metode kredit pajak serta metode faktur pajak.
Dalam metode ini PPN dikenakan atas penyerahan BKP atau JKP oleh pengusaha kena
pakjak (PKP). PPN dipungut secara bertingkat pada setiap jalur produksi dan distribusi.
Unsur pengenaan pajak berganda atau pengenaan pajak atas pajak dapat dihindari dengan
menerapkanya mekanisme pengkreditan pajak masukan (metode kredit pajak). Untuk
melakukan pengkreditan pajak masukan, sarana yang digunakan adalah faktur pajak (metode
faktur pajak).
Mekanisme pengenaan PPn dapat digambarkan sebagi berikut:

1. Pada saat membeli/memperoleh BKP/JKP, akan dipungut PPN oleh PKP penjual. Bagi
pembeli yang dipungut oleh PKP penjual tersebut merupakan pembayaran pajak dimuka
dan disebut dengan Pjak Masukan. Pembeli berhak menerima bukti berupa faktur pajak.
2. Pada saat menjual/menyerahkan BKP/JKP kepada pihak lain, wajib memungut PPN.
Bagi penjual, PPN tersebut merupakan pajak keluaran. Sebagai bukti telah memungut
PPN, PKP penjual wajib membuat faktur pajak.
3. Apabila dalam suatu masa pajak (jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan
takwim) jumlah pajak keluaran lebih besar dari pada jumlah pajak masukan, selisihnya
harus disetorkan ke kas negara.
4. Apabila dalam suatu masa pajak jumlah pajak keluaran lebih kecil dari pada jumlah pajak
masukan, selisihnya dapat direstitusi (diminta kembali) atau dikompensasikan ke masa
pajak berikutnya.
5. Pelaporan penghitungan PPN dilakukan setiap masa pajak dengan menggunakan Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN). Contoh :

Sepanjang bulan Maret 2011, PT ABC mempunyai transaksi sebagai berikut :


• Membeli bahan baku seharga Rp. 100.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp. 10.000.000,-)
• Membeli bahan penolong seharga Rp. 40.000.000,- (dipungut PPN sebesar Rp.
4.000.000,)
• Menjual produknya seharga Rp. 200.000.000,- (memungut PPN sebesar Rp. 20.000.000,)

Penghitungan PPN :
Jumlah Pajak Keluaran Rp. 20.000.000,-
Jumlah Pajak Masukan Rp. 14.000.000,-
PPN kurang bayar Rp. 6.000.000,-
Jumlah PPN kurang bayar sebesar Rp. 6.000.000,- ini harus disetorkan ke kas negara.

2.6 Cara Menghitung PPn Dan Cara Menghitung PPn BM

1. Cara Menghitung PPn


Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

Contoh :
• Pengusaha kena pajak “A” menjual tunai BKP kepada pengusaha kena pajak “B” dengan
harga jual Rp. 25. 000.000,- PPN yang terutang :
10 % x Rp. 25.000.000 = Rp. 2.500.000,-
PPN sebesar Rp. 2.500.000,- tersebut merupakan pajak keluaran yang dipungut oleh
pengusaha kena pajak “A”. Sedangkan bagi pengusaha kena pajak “B”, PPN tersebut
merupakan pajak masukan.
• Seseorang mengimpor BKP dari luar daerah Pabean dengan nilai impor Rp. 15.000.000,-
PPN yang dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai :
10% x Rp. 15.000.000 = Rp. 1.500.000,-
2. Cara Menghitung PPn BM
PPn BM = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak
Cara menghitung PPn BM adalah sebagai berikut :
Contoh :
• PKP “ABC” sebagai pabrikan menyerahkan barang hasil produksinya dengan harga jual
Rp. 10.000.000,-. Barang tersebut merupakan BKP yang tergolong mewah dengan tarif PPn
BM sebesar 40 %. Penghitungan pajak yang harus dipungut adalah sebagai berikut :
PPN = 10 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 1.000.000,-
PPn BM = 40 % x Rp. 10.000.000 = Rp. 4.000.000,-

2.7 Saat Terutang Pajak

Pajak terutang pada saat :


1. Penyerahan BKP/JKP
2. Impor BKP
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar daerah Pabean didalam daerah Pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
5. Ekspor BKP berwujud
6. Ekspor BKP tidak berwujud
7. Ekspor JKP
8. Pembayaran, pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum penerahan
JKP atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelu dimulainya pemanfaatan BKP tidak
berwujud atau JKP dari luar daerah Pabean.
1. Tempat Terutang Pajak

a. Untuk penyerahan BKP/JKP :

1) Tempat tinggal
2) Tempat kedudukan
3) Tempat kegiatan usaha
4) Tempat lain

Apabila Penguasa Kena Pajak terutang pajak pada lebih dari satu tempat kegiatan usaha,
Pengusaha Kena Pajak tersebut dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dalam
menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih
satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya pajak.

b. Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi ditempat barang kena pajak dimasukkan dan
dipungut melalui Direktorat Jendral Bea dan Cukai.
c. Orang pribadi atau badan yang mrmanfaatkan BKP tidak berwujud dan/atau JKP dari luar
Daerah Pabean terutang pajak ditempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.
d. Untuk kegiatan membangun sendiri oleh PKP yang dilakukan tidak dalam lingkungan
perusahaan atau pekerjaannya atau oleh bukan PKP, ditempat bangunan tersebut
didirikan.

2. Faktur Pajak

Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan BKP atau penyerahan JKP.
Faktur pajak dibuat pada :
a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak.
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan,
atau
d. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau
penyerahan JKP yang paling sedikit memuat :

a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP/JKP


b. Nama, alamat dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP
c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga
d. PPN yang dipungut
e. PPn BM yang dipungut
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Faktur Pajak harus dibuat pada :


a. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan
d. Untuk Faktur Pajak gabungan harus dimuat paling lama pada akhir bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
e. Saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.

2.8 Mekanisme Kredit Pajak

Pembeli Barang Kena Pajak, penerima Jasa Kena Pajak, pengimpor Barang Kena Pajak,
pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, atau
pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean wajib membayar Pajak
Pertambahan Nilai dan berhak menerima bukti pungutan pajak. Pajak Pertambahan Nilai
yang seharusnya sudah dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan bagi pembeli barang
kena pajak, penerima jasa kena pajak pengimpor barang kena pajak, pihak yang
memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean atau pihak yang
memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang berstatus sebagai Pengusaha
Kena Pajak.
Pajak masukan yang wajib dibayar tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak dapat dikreditkan
dengan Pajak Keluaran yang dipungutnya dalam masa pajak yang sama. Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang
sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 bulan setelah berakhirnya
Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.
Apabila dalam suatu Masa Pajak, pajak keluaran lebih besar dari pada pajak masukan yang
dapat dikreditkan, maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetorkan oleh PKP ke kas
negara paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat
Pemberitahuan masa PPN disampaikan. Sedangkan apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar dari pada Pajak Keluarannya, maka selisihnya
merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali (restitusi) atau dikompensasikan
pada Masa Pajak berikutnya.

Contoh 1 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
• Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 100.000.000,-
• Menyerahkan hasil produksi dengan harga jual Rp. 60.000.000,-
Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :
10 % x Rp. 100.000.000 = Rp. 10.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :


10 % x Rp. 60.000.000 = Rp. 6.000.000,-

PPN yang lebih dibayar dalam Masa Pajak yang bersangkutan :


Rp. 10.000.000 – Rp. 6.000.000 = Rp. 4.000.000,-

Kelebihan tersebut dapat dikompensasi pada Masa Pajak berikutnya atau dapat diminta
kembali (restitusi).
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakan pajak yang harus disetor ke kas negara oleh PKP.

Contoh 2 :
Selama bulan takwim terjadi kegiatan usaha sebagai berikut :
• Membeli bahan baku dan lain-lain dari pabrikan Rp. 150.000.000,-
• Menyerahkan BKP hasil produksi dengan harga jual Rp. 200.000.000,-

Pajak Masukan yang dipungut oleh PKP lain adalah sebesar :


10 % x Rp. 150.000.000 = Rp. 15.000.000,-

Pajak Keluaran yang harus dipungut :


10% x Rp. 200.000.000 = Rp. 20.000.000,-

PPN yang masih harus disetor ke kas negara :


Rp. 20.000.000 – Rp. 15.000.000 = Rp. 5.000.000,-

1. Pajak Masukan Yang Tidak Dapat Dikreditkan


Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran. Akan tetapi
tidak semua Pajak Masukan dapat dikreditkan. Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan adalah Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk :

a. Perolehan BKP/JKP sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.


b. Perolehan BKP/JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha.
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan dan station wagon, kecuali
merupakan barang dagangan atau disewakan.
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
sebelum pengusaha dikukuhkan sebagai PKP.
e. Perolehan BKP/JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 13 ayat 5 atau ayat 9 UU PPN 1984 atau tidak mencantumkan
nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
f. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean yang
Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat 6
UU PPN 1984.
g. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.
h. Perolehan BKP/JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam SPT masa PPN,
yang ditemukan pada waktu pemeriksaan.
i. Perolehan BKP selain barang modal atau JKP sebelum PKP produksi.
j. Pajak masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau perolehan JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

2.9 Penyerahan Kepada Pemungut Ppn

Sedikit menyimpang dari mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan
BKP dan/atau JKP kepada pemunguut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut PPN
dan PPnBM. PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan dipungut dan
disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.
Pengertian pemungut PPN menurut Undang- undang PPN 1984 adalah bendaharawan
pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk
memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan, atau
instansi pemerintah tersebut.

Menurut ketentuan yang berlaku saat ini, yang ditetapkan sebagai pemungut PPN adalah:
1. Bendaharawan Pemerintah, yaitu bendaharawan atau pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang terdiri dari bendaharawan Pemerintah
Pusat dan Daerah baik Provinsi, Kabupaten, atau Kota.
2. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
Pemungutan PPN yang melakukan pembayaran atas penyerahan NKP dan atau JKP oleh
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPn
dan PPnBM yang terutang. Pemungutan PPN dan PPnBM dilakukan pada saat dilakukan
pembayaran oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPPN kepada PKP Rekanan Pemerintah.

PPN dan PPnBM tidak dipungut dalam hal:


1. Pembayaran yang jumlahnya paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan tidak
merupakan pembayaran yang terpecah – pecah.
2. Pembayaran untuk pembebasan tanah
3. Pembayaran atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, mendapat fasilitas PPN tidak dipungut dan/atau dibebaskan dari
pengenaan PPN.
4. Pembayaran atas penyerahan Bahan Bakar Minyak dan Bukan Bahan Bakar Minyak oleh
PT (Persero) Pertamina.
5. Pembayaran atas rekening telepon.
6. Pembayaran atas jasa angkutan udara yang diserahkan oleh perusahaan penerbangan.
7. Pembayaran lainnya untuk penyerahan barang atau jasa yang menurut ketentuan
perundang- undangan yang berlaku tidak dikenakan PPN.
Catatan:
PPN dan PPnBM yang terutang sehubungan dengan pembayaran yang jumlahnya paling banyak
jumlah Rp 1.000.000,00, dipungut dan disetor oleh Pengusaha Kena Pajak rekanan Pemerintah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp 1.000.000,00
tersebut hendaknya diartikan termasuk PPN dan PPnBM.

Tata Cara Pemungutan

1. Dasar Pemungutan
Dasar pemungutan PPN dan PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPPN
sebagaimana tersebut dalam Surat Perintah Membayar (SPM).
2. Jumlah atau PPnBM yang dipungut

a. Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang PPN, maka jumlah PPN yang dipungut
adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.

Contoh:
Jumlah Pembayaran Rp 11.000.000,00
Jumlah PPN : 10/110 x 11.000.000,00 Rp 1.000.000,00
Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan
( Rp 11.000.000,00 – Rp 1.000.000,00) Rp 10.000.000,00

b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah dari pengusaha yang menghasilkan
BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping terutang PPN juga terutang PPnBM,
maka jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut adalah sebagai berikut:

Dalam hal terutang PPnBM sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130
bagian dari jumlah pembayaran sedangkan jumlah PPnBM yang dipungut sebesar 20/130
bagian dari jumlah pembayaran.
Contoh:

PPnBM dengan tariff 20%


Jumlah Pembayaran Rp 13.000.000,00
Jumlah PPN yang dipungut:
(10/130 x 13.000.000,00) Rp 1.000.000,00
Jumlah PPnBM yang dipungut:
(20/130) x 13.000.000,00) Rp 2.000.000,00

Sisa yang dibayarkan kepada PKP rekanan:


Rp 13.000.000,00 – ( Rp 1.000.000,00 + Rp 2.000.000,00) = Rp 10.000.000,00
c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan
tidak merupakan jumlah yang terpecah – pecah, maka PPN dan PPnBM tidak perlu
dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran sebesar Rp
1.000.000,00
Contoh 1:
Harga Jual Rp 900.000,00
PPN: 10% x Rp 900.000,00 Rp 90.000,00
PPnBM (Misal terutang dengan tarif 20%) Rp 180.000,00
Harga jual termasuk PPN dan PPnBM Rp 1. 170.000,00
Meskipun harga jual Rp 900.000,00 tetapi karena pembayaran termasuk PPn dan PPnBM
berjumlah Rp 1.170.000,00 (diatas 1.000.000,00). Maka PPN dan PPnBM yang terutang
harus dipungut oleh Bendahawaran Pemerintah atau KPPN.

3. Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran

a. PKP rekanan Pemerintah membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan
tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun
seluruh pembayaran.
b. SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan
identitas PKP Rekanan Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP
dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP
Rekanan Pemerintah.
c. Dalam hal penyerahan BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah
mencantumkan jumlah PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
d. Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3:
• Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
• Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan Pemerintah.
• Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui Bendaharawan Pemerintah atau
KPPN.
e. Dalam hal Pemungutan oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud
pada huruf a dibuat rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau PPnBM disetor Bank
Persepsi atau Kantor Pos, lembar – lembar SSP tersebut diperuntukan sebagai berikut:
• Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
• Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak melalui KPPN
• Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah di lampirkan pada saat SPT Masa PPN.
• Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor Pos.
• Lembar ke-5 untuk pertinggala Bendaharawan Pemerintah.
f. Dalam hal pemungutan oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a di buat
dalam rangkap 4 (empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
• Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
• Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak KPPN.
• Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah dilampirkan pad SPT Masa PPN.
• Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
g. Pada lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan
Pemerintah yang melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ” dan
ditandatangani oleh Bendaharawan Pemerintah.
h. Pada setiap lembar Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP
sebagaimana dimaksud pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan
dicantumkan nomor dan tanggal advis SPM.
i. SSP lembar ke-1 dan lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap
“TELAH DIBUKUKAN” oleh KPPN.
j. Faktur Pajak dan SSP merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau
PPnBM.

2.10 PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri Dan Surat Pemberitahuan Masa
(SPT Masa) PPN

1. PPn Atas Kegiatan Membangun Sendiri


Atas kegiatan membangun sendiri terutang Pajak Pertambahan Nilai. Yang dimaksud
dengan kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang
dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang
hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Sedangkan yang dimaksud dengan
bangunan berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara
tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan criteria:

a. Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis,
dan/atau baja.
b. Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, dan
c. Luas keseluruhan paling sedikit 300m2 (tiga ratus meter persegi)

1) Tarif dan Dasar Pengenaan pajak


Atas kegiatan membangun sendiri dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10
% (sepuluh persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Dasar Pengenaan Pajak
atas kegiatan membangun sendiri adalah 40 % dari jumlah biaya yang dikeluarkan
dan/atau yang dibayarkan untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan
tanah. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang setiap bulan dihitung dengan cara:
PPN = (40 % x Jumlah Biaya yang Dikeluarkan) x 10 %

Contoh:
Tuan Budi melakukan kegiatan membangun sendiri bangunan dengan luas 400m2 yang akan
dibangun sebagai rumah tinggal. Seluruh biaya yang dikeluarkan pada bulan April 2010
(dikeluarkan pembeli tanah) adalah sebesar Rp 50.000.000,00. PPN yang harus disetorkan
adalah:
PPN = (Rp 50.000.000,00 x 40 % ) x 10 %
= Rp 20.000.000,00 x 10 %
= Rp 2.000.000,00
Catatan:
Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan kegiatan membangun sendiri tidak dapat
dikreditkan.

2) Saat dan Tempat Terutang PPN


Saat terutang PPN atas kegiatan membangun sendiri adalah pada saat mulai
dibangunya bangunan. Sedangkan tempat pajak terutang adalah tempat bangunan tersebut
didirikan.

Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri harus
menyetorkan PPN yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi
paling lama tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak, dengan
menggunakan Surat Setoran Pajak.
Kegiatan membangun sendiri wajib dilaporkan kepada Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut dengan mempergunakan lembar ketiga Surat
Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.

2. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) PPN


Surat pemberitahuan Masa merupakan laporan bulanan yang dapat disampaikan oleh
Pengusaha Kena Pajak, mengenai penrhitungan:

1. Pajak masukan berdasarkan realisasi pembelian BKP atau realisasi penerimaan JKP.
2. Pajak keluaran berdasarkan realisasi pengeluaran BKP/ JKP.
3. Penyetoran pajak atau kompensasi.
Bagi Pengusaha Kena Pajak penyampaian SPT:
1. PKP wajib melaporkan perhitungan pajak tersebut kepada Direktorat Jenderal Pajak
(Kantor Pelayanan Pajak)
2. Dilakuakn paling lambat tanggal 20 setelah akhir masa pajak.
3. Menggunakan formulir SPT Masa.4. Keterangan dan dokumen yamng dicantumkan jika
tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan UU PPN. 1984
BAB III
PENUTUP

3.1Kesimpulan

A. Undang – Undang yang mengatur pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM) adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2009. Undang – Undag ini disebut Undang-Undang Pajak
Pertambahan Nilai 1984.

2. Objek Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:


a. Penyerahan BKP di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha.
b. Impor BKP
c. Penyerahan JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan dari luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean
e. Pemanfaatan JKP dari luar daerah Pabean
f. Ekspor BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
g. Ekspor BK tidak Berwujud oleh pengusaha kena pajak
h. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidaka dalam kegiatan usaha atau pekerjaan
oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau pihak lain.
i. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semual tidak untuk diperjualbelikan
oleh PKP, kecuali atas penyerahan aktiva yang pajak Masukanya tidak dapat dikreditkan.

3. Untuk menghitung besarnya pajak (PPN dan PPn BM) yang terutang perlu adanya
dasar Pengenaan Pajak (DPP), yang menjadi DPP adalah:
a. Harga jual
b. Penggantian
c. Nilai impor
d. Nilai ekspor
e. Nilai lain yang diatur dengan Peraturan Menderi Keuangan

4. Tarif Pajak Pertambahan Nilai


Tariff PN yang berlaku saat ini adalah 10%. Sedangkan tariff PPN sebesar 0% diterapkan
atas:
a. Ekspor BKP Berwujud
b. Ekspor BKP Tidak Berwujud
c. Ekspor JKP

5. Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah


Tarif penjualan atas barang mewah dapat diterapkan dalam beberapa kelompok tarif,
yaitu tarif paling rendah adalah 10% dan yang paling tinggi adalah 200%.
Cara Menghitung PPn
Cara menghitung PPN adalah sebagai berikut :
PPN = Dasar Pengenaan Pajak x Tarif Pajak

6. mekanisme yang secara umum berlaku, apabila PKP menyerahkan


BKP dan/atau JKP kepada pemunguut PPN, PKP yang bersangkutan tidak memungut
PPN dan PPnBM. PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan tersebut akan
dipungut dan disetorkan ke kas Negara oleh pemungut PPN.

7. pemungut PPN menurut Undang- undang PPN 1984 adalah bendaharawan pemerintah,
badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut,
menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas
penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP kepada bendaharawan pemerintah, badan,
atau instansi pemerintah tersebut.

3.2 Saran
Adapun saran dari penyaji adalah, semoga untuk kedepannya tulisan ini bermanfaat
khusunya bagi kami, umumnya bagai pembaca semua. Dan semoga penulisan makalah
mengenai PPn dan PPnBm untuk kedepannya akan jauh lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/25233889/Makalah_PPN_dan_PPnBM

Anda mungkin juga menyukai