Anda di halaman 1dari 42

MAKALAH

“TRANSAKSI-TRANSAKSI KHUSUS”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen Perpajakan

Dosen pengampu:

Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA, ACPA

Yohana Yustika Sari. SE, MSA

Disusun oleh:

Daffa Ahmad Pratama (2010313210015)

Helma Lea Putri (2010313120007)

Muhammad Irhamni (19103131100018)

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Transaksi-Transaksi Khusus ” dengan tepat waktu.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen
Pajak. Penyusunan makalah ini, tentunya tidak sedikit sumbang pemikiran dari sumber buku dan
jurnal.

Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dengan hati
yang tulus dan ikhlas, terutama kepada Ibu Yohana Yustika Sari, SE, MSA selaku dosen
pengampu, serta rekan-rekan di kelas Akuntansi dan Manajemen Pajak, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat. Kami menyadari Makalah ini jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
terhadap isi dari makalah. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk
memperkaya pengetahuan.

Banjarmasin, 2 Mei 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i


DAFTAR ISI....................................................................................................................................... ii
BAB I .................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Pembahasan ................................................................................................................. 2
BAB II ................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ................................................................................................................................. 3
2.1 Build, Operate & Transfer (BOT) .................................................................................... 3
2.2 Leasing dengan Hak Opsi................................................................................................. 5
2.3 Joint Operation/Konsorsium, Kepastian Hukumnya dan Tax Planningnya ...................... 8
2.4 Aspek Perpajakan Hotel Dan Tax Planningnya .............................................................. 16
2.5 Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-nya ...................... 19
2.6 Fenomena Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi ................................................................. 27
BAB III ............................................................................................................................................. 37
PENUTUP ........................................................................................................................................ 37
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 39

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya, pasti memiliki kebijakan setiap
warga yang berpenghasilan untuk melakukan pembayaran pajak kepada negara. Hal ini
dikarenakan pajakmerupakan salah satu sumber pemasukan untuk kas negara yang akan
digunakan untuk membiayai pembangunan suatu negara. Pajak ini sendiri bersifat memaksa
terhadap seluruh warga negara atau wajib pajak untuk menaatinya. Di Indonesia terdapat
berbagai macam jenis pajak, salah satunya Pajak Penghasilan (PPh), yang merupakan pajak
terhutang atas dasar penghasilan yang didapatkan, antara lain penghasilan dari pendapatan
berupa gaji, penghasilan dari laba usaha, penghasilan yang berupa hadiah, dan penghasilan
yang berupa pendapatan bunga. PPh yang terhutang dalam jangka waktu 1 tahun haruslah
dilunasi oleh wajib pajak sesuai dengan peraturan perpajakan penghasilan yang ada. Sesuai
dengan ketentuan dalan Undang-undang PPh, PPh terdiri atas PPh pasal 4 ayat (2), PPh
pasal 25, PPh pasal 21, PPh pasal 22, dll. Pada makalah ini akan membahas mengenai
transaksi-transaksi khusus yang mengatur penghasilan dari transaksi pengalihan harta
berupa tanah dan atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan
tanah dan atau bangunan dikenai pajak bersifat final yang diatur dengan peraturan
pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Build, Operate & Transfer (BOT)?

2. Bagaimana Leasing dengan Hak Opsi?

3. Bagaimana Joint Operation/Konsorsium, Kepastian Hukumnya dan Tax Planningnya?

4. Bagaimana Aspek Perpajakan Hotel dan Tax Planningnya?

1
5. Bagaimana Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-nya?

6. Bagaimana Fenomena Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi?

1.3 Tujuan Pembahasan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini agar mahasiswa mampu mengetahui tentang :

1. Untuk mengetahui Build, Operate & Transfer (BOT).

2. Untuk mengetahui Leasing dengan Hak Opsi.

3. Untuk mengetahui Joint Operation/Konsorsium, Kepastian Hukumnya dan Tax


Planningnya.

4. Untuk mengetahui Aspek Perpajakan Hotel dan Tax Planningnya.

5. Untuk mengetahui Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-
nya.

6. Untuk mengetahui Fenomena Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Build, Operate & Transfer (BOT)


Dalam rangka memenuhi kebutuhan terkait perekonomian, perlu dibangun
infrastruktur yang memadai oleh pemerintah. Salah satu infrastruktur yang memiliki kaitan
erat dengan perekonomian, yaitu jalan. Namun, dalam pengadaan infrastruktur tersebut,
pemerintah tidak selalu memiliki anggaran yang cukup. Sehingga diperlukan sumber
pembiayaan lain yang berfungsi untuk meng-coverkekurangan anggaran dari pemerintah.
Konsep pembiayaan ini dikenal dengan istilah sumber pembiayaan non konvensional, di mana
pembiayaann tidak hanya berasal dari pemerintah tetapi melalui kerjasama dengan pihak
swasta.

Salah satu sistem pembiayaan non konvensional yang dilakukan pemerintah


dalpengadaan infrastruktur disebut dengan istilah Public Private Partnershipatau PPP. Menurut
Dharmawan (2012), Public Private Partnership (PPP) merupakan suatu model berkepentingan
dengan tujuan tertentu untuk mengatasi permasalahan pendanaan yang dialami oleh
pemerintah agar percepatan dan pembangunan sarana infrastrktur tetap dapat berlangsung.

Pada sistem Public Private Partnership (PPP) terdapat skema pembiayaan, yaitu Build-
Operate-Transfer (BOT). Build-Operate-Transfer (BOT) merupakan salah satu bentuk
kerjasama antara pemerintah dan swasta untuk pengelolaan infrastruktur, dengankata lain
Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang
hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa
perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa guna serah (BOT) berakhir. Bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa
gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan atau
bangunan lainnya.

Ketentuan pelaksanaan perpajakan tentang BOT ini diatur dalam Keputusan Menkeu
No. 248/KMK.04/1995 dan SE. 38/PJ .4/1995. Sedangkan pembayaran PPh Final Pasal 15 atas
3
kerjasama bentuk BOT, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/201
Tanggal 2 Juli 2013, ditetapkan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dengan kode jenis
setoran No. 415.

Perlakuan Perpajakan:
Bagi Investor
1. Penghasilan berupa penerimaan sewa/penguasaan, hotel/penerimaan Lain sehubungan
dengan pengoperasian gedung.

2. Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah apabila masa BOT diperpendek dan
periode yang dijanjikan.

3. Biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan
dengan memperhatikan Pasal 9 ayat I UU No.17/2000.

4. Biaya pendirian bangunan diamortisasi secara garis lurus sesuai periode BOT, dimulai
pada saat bangunan digunakan.

Apabila periode BOT diperpendek dari periode yang telah ditetapkan, maka sisa nilaibuku
bangunan diamortisasi sekaligus pada saat berakhirnya BOT tersebut.

Bagi pemegang hak atas tanah


1. Pembayaran berkala yang diterima dari investor selama masa BOT.
2. Bagian sewa atau keuntungan dan penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian
BOT.

3. Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor sebagian diserahkan kepada pemegang
hak atas tanah, penyerahan tersebut terutang P Ph sebesar 5% dari nilai yang tertinggi
antara nilai pasar dan NJOP dari bagian bangunan yang diserahkan. Harus dilunasi oleh
pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, setelah bulan
penyerahan. Pembayaran ini bagi orang pribadi bersifat final namun bagi WP Badan tidak
final.

4. Bangunan yang diserahkan oleh investor pada akhir BOT, merupakan penghasilan bagi
pemegang hak atas tanah dan terutang PPh seperti pada butir 3 di atas.

4
5. Biaya yang boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah lama periode BOT adalah
biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 dengan memperhatikan pasal 9 ayat 1
UU No. 17/2000.
2.2 Leasing dengan Hak Opsi

Menurut surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri


Perdagangandan Industri Republik Indonesia No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No.
32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 definisi leasing atau sewa
guna usaha adalah setiap kegiatanpembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-
barang modal untuk digunakanoleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu,berdasarkan
pembayaran-pembayaransecara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut
untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu
leasing berdasarkannilai sisa uang telah disepakati bersama. Dalam sewa guna usaha
melibatkan dua belah pihak yakni lessee dan lessor. Lessee merupakan pihak atau orang yang
menyewa baik itu barang, properti, dan kekayaan intelektual lainnya. Sementara itu, lessor
merupakan pihak atau orang yang menyewakan barang, properti, dan kekayaan intelektual
lainnya.
Leasing diklasifikasikan menjadi dua, yaitu leasing tanpa hak opsi (operating lease)
dan leasing dengan hak opsi (financial lease/capital lease). Secara akuntansi dan perpajakan
leasing tanpa hak opsi diperlakukan dengan sewa menyewa biasa sehingga tidak menimbulkan
perbedaan temporer baik itu bagi lessor dan lessee. Sedangkan, leasing dengan hak opsi
diperlakukan berbeda antara akuntansi dan perpajakan bagi lessee.
Berikut kriteria suatu leasing dapat digolongkan sebagai leasing dengan hak opsi:

a. Jumlah pembayaran selama periode leasing ditambah dengan nilairesidu barang modal,
harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.

b. Masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal


golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan Ill, 7 (tujuh) tahun untuk
golongan bangunan. Penggolongan jenis barang modal berdasarkan ketentuan Pasal 11
Undang-undang pajak penghasilan.

c. Perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.

5
Berikut ini perlakuan pajak penghasilan bagi lessor:
a. P enghasilan lessor yang dikenakan pajak penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa
guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewaguna usaha.
b. Lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-gunausahakan dengan hak
opsi.
c. Dalam hal masa sewa gun a usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan maka
Direktur Jendral pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak
lessor.
d. Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 2,5% dari rata-rata saldo awal
dan saldo akhir piutang sewa guna usaha dengan hak opsi.
e. Kerugian yang diderita karena piutang sewa guna usaha yang nyat a-nyata tidak
dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutangragu-ragu yang telah
dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
f. Dalam hal cadanga n pengha pus an piutang r agu - r agu t e r s ebut tidak a t au
tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dih i t u ng
s eb aga i peng has i l a n Apabi l a ,cad anga n t e r s eb u t t i dak m e n c u k u p i m
a k a k e k u r a n g a n n y a d a p a td i b e b a n k a n s e b a g a i b i a y a y a n g dikurangkan
dari penghasilan bruto.

Berikut ini perlakuan pajak penghasilan bagi lessee:


a. S e l ama m as a s ew a guna us aha, l e ssee t i dak bol eh me l akukan
pe nyus u t an a t as barang modal yang disewa guna usahakan, sampai saat lessee
menggunakan hak opsi untuk membeli.

b. Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, l essee
m e l a kuk an pe nyus u t an dan das a r pe n yus u t a nn ya a da l a h nilai
s i s a /residual valuebarang modal yang bersangkutan.

c. P e m ba ya ra n s ew a guna us aha yang d i ba ya r atau terut a ng oleh le ssee


kecua li pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari
6
penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa guna usaha tersebutmemenuhi
ketentuan.

d. Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan maka Direktur
Jendral Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewaguna usaha.

e. L es s e e t i dak me m o to ng PP h 23 a t as pe m b a ya r a n s ew a guna us a ha ya ng d i
b ayar a t au t e ru t ang b er d as a r ka n p e r j a n j i an s ew a guna usaha d e nga n ha k opsi
.

Sedangkan, dari sisi akuntansi leasing dengan hak opsi bagi lesseediperlakukan sebagai
berikut:

1. Lessee harus mengkapitalisasi barang modal yang disewa guna usahakandan


menimbulkan utang leasing senilai nilai wajar barang modal yang disewa guna
usahakan.

2. Aktiva yang disewa guna usahakan diamortisasi sesuai dengan umur ekonomisnya.

3. Pembayaran pokok leasing mengurangi utang leasing dan bunga leasingdibebankan


sebagai biaya tahun berjalan.

Dari sudut Tax Planning atau Financial Planning, kebijakan mana yang lebih
menguntungkan bagi perusahaan, membeli aset secara leasing atau tunai?

Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha besar di Pekanbaru, ketika memutuskan untuk


membeli aset (alat berat-backhoe loader buat perkebunan) dihadapkan pada dua alternatif
yakni pembelian secara leasingselama dua tahunatau tunai. Karena perusahaannya dalam
posisi "untung", pilihan keputusannya dilakukan seketika yakni melakukan pcmbelian secara
leasing dengan hak opsi.

Berikut dasar pertimbangan perusahaan untuk membeli alat berat secara leasing:
 Penghematan pajak
• Masa leasing (lease term) lebih pendek dari masa penyusutan fiskal atau umur
7
ekonomis. Masa leasing untuk alat berat tersebut bisa 2 (dua) tahun, sedangkan masa
penyusutan fiskal alat berat ada di kelompok II yakni 8 (delapan) tahun. Dengan
demikian, sesuai ketentuan fiskal, maka perlakuan perpajakan dari angsuran leasing
dapat dibukukansetiap bulan sebagai beban yang bisa dibiayakan (deductible) dalam
laporan rugi laba fiskal, sehingga akan mengurangi keuntungan perusahaan dan secara
otomatis beban pajak juga akan rendah di tahun pertama dan tahun kedua.
• Pembuktian secara matematis dapat dilakukan yang menunjukkan nilai tunai (present
value) dari dana yang bisa diterima (misalnya Rp 500 juta) akan lebih dari dana yang
diterima 4 (empat) tahun kemudian.
• Dibandingkan dengan pembelian secara langsung, yang bisa dibiayakan hanya sebesar
biaya penyusutannya saja dengan masa penyusutan bisa 4-8 tahun, sehingga masa
pengembalian modalnya akan lebih lama. Cara pembelanjaan semacam ini jelas tidak
menguntungkan (unfavourable) atau tidak efisien (inefficient) bagi perusahaan.

 Penghematan cash flow

Dengan metode leasing, perusahaan tidak perlu mengeluarkan dana yang besar secara
sekaligus seperti jika membeli secara tunai. perusahaan hanya memerlukan danacicilan setiap
bulannya yang bisa diambil dari profit yang diperolehnya. Kelebihan dananya (sebagai
pengganti dari pembelian tunai) dapat diputar untuk peningkatan turnover/omset perusahaan
atau diinvestasikan ke pilihan portofolio investment yang menguntungkan perusahaan baik
untuk tujuan investasi jangka pendek pembelian saham reksa dana) atau investasi jangka
panjang (saham/obligasi).

2.3 Joint Operation/Konsorsium, Kepastian Hukumnya dan Tax Planningnya


Dari segi permodalan, Joint Operation tidak berbagi atas saham. Modal JO berupa
kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya (Imam Santoso:2017),yang dapat
berupa:

1. Kemapuan penguasaan teknologi.

2. Financial support yang kuat.

8
3. Spesialisasi keahlian; atau bahkan

4. Fasilitas penugasan semata


Umur JO biasanya mengikuti umur proyek, karena pembentukan JO umumnya
dimaksudkan untuk mengerjakan suatu proyek berdasarkan satu atau lebih dari keempat
kelebihan kemampuan di atas dan pengalaman masing-masing anggota (partner), dan setelah
proyek selesai JO membubarkan diri, dan anggota JO kembali pada aktivitas semula.

Secara umum bentuk Joint Operation dalam perkembangannya terbagi menjadi dua tipe
(Imam Santoso: 2007), yaitu:
1) Kejasama Administratif Formal (KSF)
2) Kejasama Operasional (KSO)

Dalam KSF, tiap-tiap anggota mempunyai hak dan kewajiban yang secara jelas
diidentifikasi dalam Joint Operation agreement (JOA). Di dalamnya, tanggung jawab dan
bagian penghasilan masing-masing anggota JO diatur secara rinci.

Biasanya, JOA mengatur hal-hal teknis yang mencakup:


a. Tata cara kontribusi pendapatan JO, seperti cash call yang diperlukan dari masing-
masing anggota untuk kepentingan opersional JO, pembelian barang modal, working
capital, dan sebagainya.
b. Definisi common costs seperti penyusutan, sewa alat, biaya gaji atau upah karyawan dan
sebagainya.
c. Ratio pembagian hasil bersih usaha yang dilakukan oleh JO.
d. Sedangkan, pda KSO, masing-masing anggota akan menerima pembagian penghasilan
bilamana KSO memperoleh laba operasional proporsional dengan kontribusinya.

Aspek Perpajakan Kejasama Administrasi Formal atau Administrative JO


Kontrak dengan pihak pemberi kerja atau Project Owner ditandatangani atas nama JO. Dalam
hal ini JO dianggap seolah-olah merupakan entitas tersendiri yang terpisah dari perusahaan
para anggotanya.Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada pada entitas JO,
bukan pada masing-masing anggota JO.Masalah pembagian modal kerja atau pembiayaan
proyek, pengadaan peralatan, tenaga kerja, biaya bersama (joint coost) serta pembagian hasil
9
(profit sharing) sehubungan dengan pelaksanaan proyek didasarkan pada porsi pekerjaan
(scope of work) masing-masing yang disepakati dalam sebuah Joint Operation Agreement.

Selanjutnya Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-214/PJ.2001 juncto KEP-161/PJ/2001


mengatur bahwa pada saat menyampaikan SPT PPh pasal 21, JO harus melampirkan Laporan
Keuangan atas kegiatan JO.Jadi dapat disimpulkan bahwa Administrative JO wajib
menyelenggarakan pembukuan.Pembukuan JO diatur dalam PSAK 12 yang memberikan
pilihan penggunaan metode propotionate consolidation atau equity.

Aspek Perpajakan Kerjasama Operasional atau Non Administrative JO


JO dengan tipe ini di kalangan pengusaha jasa konstruksi sering disebut sebagai
Konsorsium di mana kontrak dengan pihak pemilik proyek (project owner) di buat langsung
atas nama masing-masing perusahaan anggota. Dalam hal ini JO hanya sebagai alat
koordinasi.Tanggungjawab pekerjaan terhadap Project Owner berada pada masing-masing
anggota.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa Non-Administrative JO tidak wajib memilik NPWP


dan tidak menyelenggarakan pembukuaan.Pendapatan dan biaya proyek dibukukan oleh
masing-masing anggota JO. Tagihan ke Project Owner diajukan sendiri oleh masing-masing
anggota JO atau dapat juga diajukan melalui JO namun commercial invoice, faktur pajak, dan
bukti potong PPh pasal 23 tetap atas nama perusahaan masing-masing anggota JO.

Perlakuan Perpajakan atas Joint Operation (JO)


A. Perlakuan Pajak Penghasilan Atas JO
Status Subject dan Kewajiban Pajak dari JO
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Kententuan Umum, dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (UU KUP), yang dimaksud dengan Badan adalah
sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan
usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroaan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
10
organisasi yanglainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Selanjutnya, berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), yang menjadi Subjek Pajak antara lain adalah badan.
Secara definitif, Pengertian Joint Operation dalam ketentuan perpajakan Indonesia
tercantum dalam Surat Direktorat Jendral Pajak (DJP) No.S-323/PJ.2/1989, yang
kemudian dipertegas lagi pada private ruling yang dikeluarkan oleh DJP dengan sorat
No.S- 823/PJ.312/2002 tertanggal 25 Oktober 2002. Dalam surat-surat DJP tersebut
dipertegas bahwa:
1. Joint Operation adalah perkumpulan dua badan atau lebih yang bergabung untuk
menyelesaikan suatu proyek, penggabungan ini bersifat sementara sampai proyek
tersebut selesai.
2. Bentuk penggabungan demikian ini bukan merupakan subjek dari pengenaan PPh
Badan,namun pengenaan PPh Badan tetap dikenakan atas penghasilan yang diperoleh
pada masing-masing badan yang bergabung tersebut sesuai dengan porsi pekerjaan
atau penghasilan yang diterimanya.
3. Pemberian NPWP terhadap joint operation semata-mata untuk keperluan pemungutan
danpemotongan PPh pasal 21, Pasal 23/26 dan PPN.

Dalam menentukan dan memperhitungkan besarnya PP yang terutang untuk badan-badan


tersebut, pembukuan yang terpisah dari masing-masing badan yang bergabung dalamjoint
operation dapat dilakukan. Ketentuan ini juga mencakup dan berlaku bagi penghasilan yang
diterima dari proyek bantuan luar negeri.

Mekanisme Pemecahan Bukti Potong PPh Pasal 23


Seperti di ketahui atas penghasilan yang merupakan objek PPh Pasal 23 berupabunga,
sewa, jasa teknik, jasa manajemen dan lain-lain, yang diterima ataudiperoleh Joint
Operationdari pemilik proyek(project owner), dipotong PPhPs.23. Besarnya PPh Ps.23 yang
dapat dikreditkan adalah sesuai JOA(JointOperation Agreement) yang telah disepakati
bersama.

11
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-44/PJ/1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti
potong sebagai berikut:

1. Jika belum dilakukan pemotongan PPh Ps. 23, maka prosedurnya adalah:
• JO mengajukan permohonan pemecahan (splitting) Bukti Pemotongan PPh Ps. 23
kepada pemberi hasil (project owner);
• Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Ps.
23 atas nama JO qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian
masing-masing. Bukti pemotongan PPh Ps. 23 disampaikan untuk para anggota JO.
d. Jika terlanjur dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas nama joint operation maka
prosedurnya adalah:
• JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 kepada KPP
di mana JO tersebut terdaftar/berkedudukan, dilampirkan foto kopi dokumen
pendirian JO.
• Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap JO (setelah diterima konfirmasi
dari KPP di mana pemotong PPh Pasal 23 terdaftar), maka KPP di mana JO terdaftar
atau berkedudukan menerbitkan Surat keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak
(SKKPP) PPh Pasal 23 yang seharusnya tidak terutang, dan kemudian atas dasar
SKKPP tersebut dilakukan pemindahanbukuaan (over-booking) dari PPh Pasal 233 ke
Perhitungan Lebih Bayar (PLB). Selanjutnya dilakukan pemindahbukuaan dari PLB ke
PPh Pasal 25 atas nama para anggota dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-
masing.

B. Perlakuan PPN Atas JO


Status dan Kewajiban PPN dari JO
Berdasarkan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir 1dengan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2000, diatur bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak
(JKP) yang dikenakan pajakberdasarkan Undang-Undang PPN. Selanjutnya, berdasarkan
Psal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan

12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dann Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, diatur bahwa dalam rangka
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian badan lainnya
sebagaimana Pegusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian badan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang PPN, adalah bentuk
kerjasama operasi.

Berdasarkan ketentuan di atas (ref. Surat No. S-823/PJ.312/2002), dapat


ditegaskan status dan kewajiban PPN dari JO, yaitu:

1. JO (bentuk kerjasama operasi) merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana


dimaksuddalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang PPN.

2. Apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama
JO, maka JO harus memenuhi kewajibannya sebagai PKP, yaitu melaporkan diri
untuk dikukuhkan menjadi PKP, memungut, menyetor, dan melaporkan perhitungan
PPN dan PPnBM yang terutang melalui Surat Pemberitahuan Masa PPN.

3. Apabila seluruh transaksinya dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama
masing-masing anggota JO, sedangkan JO hanya untuk koordinasi dan secara nyata
tidak melakukan transaksi penyerahan BKP/JKP kepada pihak lain, maka yang
memiliki kewajiban sebagai PKP hanya anggota JO.

Jika JO merupakan kontraktor utama dalam proyek pemerintah yang dibiayai


penuh dangan hibah atau dana pinjaman luar negeri maka atas penyerahan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak dari JO kepada pemillik proyek tidak dipungut PPN dan
fakturpajak yang diterbitkan oleh JO harus diberi cap “PPN dan PPnBM tidak dipungut”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan:
1. Sebagai Administrative JO, JO wajib mendaftarkan diri untuk di kukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan konsekuensinya sebagai PKP tentu JO wajib memungut,
menyetor, dan menyampaikan SPT Masa PPN.
2. Sedangkan bagi Non-Administrative JO, pemenuhan kewajiban PPN-nya menjadi
13
tanggungjawab masing-masing anggota JO, dan Joint Operation bukan Pengusaha Kena
Pajak.

Manajemen Pajak untuk Konsorsium/JO


Manajemen pajak yang baik bila didesain sesuai ketentuan perpajakan, mendapatkan
komitmen dari manajemen, dan didukung dengan admnistrasi perpajakan dan pembukuan
yang baik, akan memberikan manfaat, yaitu (i) meminimalkan terjadinya kejutan pajak (tax
suprise), dan (ii) dapat menjalankan kewajiban dan haknya di bidang perpajakan secara efisien
dan efektif (John Hutagaol: 2007).

Sebagaimana administrative JO, konsorsium bukan merupakan Subjek Pajak,sehingga


JO tidak berkewajiban untuk menyampaikan SPT PPh Badan dan membayar PPh Pasal
25.Konsorsium/JO tidak perlu mebuat laporan gabungan, cukup menyajikan laporan keuangan
internal secara tersendiri untuk menghitung laba komersial sebelum dilakukan pembagian laba
secara proporsional kepada masing-masing anggota JO (sesuai dengan Joint Operation
Agreement) setelah selesainya proyek yang mereka kerjakan.
• Bagian laba atau bagi hasil yang diterima oleh masing-masing anggota JO merupakan
objek PPh Badan. Demikian pula hanya bilamana JO mengalami kerugian, maka besarnya
kerugian JO tersebut langsung dapat dikompensasikan ke masing-masing anggota JO
sesuai dengan proporsi masing-masing.
• Kredit Pajak PPh Pasal 23 yang telah splitt yang berasal dari pemotongan atas
penghasilan yang menjadi objek PPh Pasal 23 yang dipotong oleh project owner, oleh
masing-masing anggota JO dapat offset dengan PPh Badan yang terutang.
Meskipun tidak memiliki kewajiban untuk membuat SPT PPh Badan, dipandang dari
sudut kepentingan kelengkapan administrasi dan pelaksanaan pengawasan internal, jauh
lebih baik bagi JO untuk menyelenggarakan pembukuan yang disusun sesuai dengan
Standar Akuntansi Keuangan Indonesia (SAKI). Ini hanya dimungkinkan dengan pola
Administrative JO karena tipe JO semacam ini wajib menyelenggarakan pembukuan.
Dalam menghadapi pemeriksaan pajak (tax audit) yang dilakukan oleh fiskus, wajib
pajak JO tidak perlu panik karena pembukuan yang rapi akan membantu beban wajib pajak
JO mempertanggungjwabkan laporan pajaknya. Masing-masing anggota JO dapat
memetik keuntungan dari pembukuan yang rapi tersebut dalam melaksanakan

14
pengendalian pajak (tax contorlling), paling tidak mereka tidak akan banyak terlibat
langsung dengan fiskus, sebab bagaimanapun juga masing-masing anggota JO memiliki
tanggung jawab renteng terhadap JO bilamana terdapat ketidakberesan pembukuan atau
ketidaklengkapan dokumen pembukuan yang diminta fiskus pada saat pemeriksaan pajak
(tax audit).
• Dalam membuat perjanjian kontrak dengan project owner, Joint Operation harus berhati-
hati memakai bahasa hukum serta cermat mempelajari aspek perpajakannya, sebab bisa
menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan sudut pandang fiskus yang berdampak pada
perlakuan pajak yang berbeda pula, dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan kerugian
materiil bagi masing-masing anggota JO. Sebagai contoh, permasalahan yang diangkat
dalam surat DJP No. 956/PJ.53/2005 pada butir 4c & 4d, apabila sebagian anggota JO
melaksanakan pekerjaan atas nama JO (lihat juga pembahasan di bawah ini mengenai
Kepastian Hukum Terhadap Pemajakan Atas JO), maka perlakuan pajak tersebut bisa
menimbulkan pemotongan ganda PPh Pasal 23 atas penghasilan yang sama; disatu pihak
project owner akan memotong PPh Pasal 23 atas tagihan JO (yang sama dengan tagihan
yang diajukan anggota JO kepada JO), kemudian dipihak JO sendiri akan melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 atas setiap pembayaran tagihan (dari penghasilan yang menjadi
objek PPh Pasal 23) yang diajukan oleh masing-masing anggota JO.
• Setelah pelaksanaan proyek selesai, Jo harus membubarkan diri dan anggota JO kembali
pada aktivitas semula. Bila tidak, maka kewajiban perpajakan JO harus terus dipenuhi
untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan atas ketidakpatuhan pelaporan pajak.
• Dalam hal JO mengimpor barang kena pajak dari luar negeri ke dalam daerah pabean RI
untuk kepentingan project owner, maka Permohonan Impor Barang (PIB) dapat dilakukan
oleh project leader atau salah satu anggota JO yang memiliki Angka PengenaanImportir
(API), karena pengenaan tarif PPh Pasal 22 akan lebih rendah, yakni 2,5% dari nilai
impor. JO hanya bertindak sebagai koordinator opersional saat impor dijalankan, karena
PPh Pasal 22 yang dipungut adalah kredit pajak bagi masing-masing anggota JO,
sedangkan JO sendiri adalah bukan subjek PPh Badan.

15
2.4 Aspek Perpajakan Hotel Dan Tax Planningnya
Aspek pajak pertambahan nilai
Sebagai badan hukum, hotel adalah subjek pajak dari Pajak Daerah setiap pembelian
barang konsumsi dan barang modal terkena PPN, sedangkan pendapatan hotel bukan
merupakan objek PPN. Akibatnya terjadi penumbukan PPN masukan, sedangkan PPN
keluaran praktis nihil atau jumlahnya tidak signifikan. Bila hal ini dibiarkan tanpa adanya plan
of action yang jelas, ketidakseimbangan cash flow bisa terjadi dan mengganggu daya dukung
cash management perusahaan terhadap jaminan kelancaran kegiatan operasional perusahaan.

Beberapa cara tax planning untuk mengurangi dampak penumpukan dari PPN masukan
dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Pada awal penderiannya, hotel harus bernaung di bawah satu badan hukum perseroan, dn
teregistrasi sejak awal menjadi pengusaha kenaa pajak.
2) Melunakkan dampak pengenaan PPN dengan cara menyebarkan pembelian dari pemasok
barang-barang F&B ke pengusaha kecil yang tidak mengenakan PPN.
3) PPN masukan dari pembelian barang modal yang sangat material jumlahnya sebaiknya
dikapitalisasi sebagai alternatif accounting olicy, sehingga dapat diamortisasi sepanjang
masa penyusutan atau amortisasi aset tersebut.
4) Penyelenggaraan administrasi pajak yang akurat dan up to date.

Aspek pajak penghasilan


a. Tax shifting
Selain biaya food dan beverage, pengeluaran biaya yang paling besar di sektor usaha
hotel adalah biaya tenaga kerja, mengingat hotel adalah bidang usaha yang menyerap
banyak tenaga kerja manusia.
Dalam tahap awal recruitment perusahaan sudah harus mengganti kemungkinan
terjadinya penggeseran beban pajak penghasilan karyawan agar tidak menjadi beban
perusahaan dikemudian hari. Kebijakan ini bertujuan untuk menghemat beban pajaksejak
perusahaan mulain didirikan, karena begitu strategi ini di implementasikan kepada semua
tingkatan karyawan, semua biaya ikutan seperti lembur, tunjangan, transportasi, THR,
pesangon, dan penggantian cuti akan mengacu pada kebijakan dasar itu.

16
b. Memperdaya tenaga outsourcing
Cara lain menggeser risiko atau beban pajak (tax shifitng) adalah dengan
memberdayakan tenaga outsourcing sebanyak mungkin sepanjang tidak melanggar
regulasi pemerintahan.

Dasar pengenaan pajak (DPP) dan PPH Pasal 23

Ada dua variabel pajak yang diulas disini, yakni DPP PPN dan PPH 23 yang keduanya
saling terkait pada saat pembuatan biling atau invoice dan pelunasan serta pembayaran
pajaknya.dalam penerapannya di lapangan sering terjadi silang pendapat antara pengusaha
dengan petugas pajak daerah dan pusat dalam menentukan mana yang menjadi objek pajak
pusat dan amana yang menjadi pajak daerah.

Versi pertama dimana PPN dan PPh 23 dihitung dari total penerimaan atau billing
sebelum pengenaan PPN.

Contoh:

Biaya personil 20.000.000


Jasa manajemen 10 % 2.000.000

Biaya perlengkapan(material) 1.000.000

Jumlah 23.000.000

PPN 10% 2.300.000

Jumlah tagihan 25.300.000

Jika mengacu pada versi pertama maka tagihan tersebut akan memotong PPh 23
sebesar 2% * Rp 23.000.000 = Rp. 460.000

Sehingga jumlah yang dibayarkan pengguna jasa kepada pemberi jasa adalah :
Rp. 25.300.000 – Rp 460.000 = Rp 24.840.000

Versi kedua dimana pph 23 dihitung dari total management fee.

Contoh

17
Biaya personil 20.000.000

Jasa manajemen 10 % 2.000.000

Biaya perlengkapan(material) 1.000.000

jumlah 23.000.000

PPN 10% 2.300.000

Jumlah tagihan 25.300.000

18
Jika mengacu pada versi kedua maka pengguna jasa akan memotong pph pasal
23sebesar 2% * Rp 2.000.000 = Rp 40.000

Sehingga jumlah yang dibayarkan pengguna jasa kepada pemberi jasa


adalah Rp25.300.000- Rp 40.000 = Rp 25.260.000

Perluasan Cakupan Pajak Hotel


Berdasarkan pasal 32 ayat 3 UU. Pajak daerah dan retribusi daerah No. 28
tahun2009, ketentuan yang tidak termasuk objek pajak hotel telah diperluas cakupannya
dari peraturan sebelumnya yakni:
- Penyewaan rumah atau kamar, apartemen, dan atau fasilitas tempat tinggal lainnya
yangtidak menyatu dengan hotel.
- Fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan di hotel yang dipergunakan oleh
bukantamu hotel dengan pembayaran.
- Pertokoan, perkantoran, perbankan, dan salon yang dipergunakan oleh umum di hotel.
Saat ini mungkin ada pihak hotel lebih memilih mengenakan PPN,karena selain
pengusaha masih dapat memanfaakan PPN masukan terkait penyewaan tersebut juga
karena ada tuntutan dari para penyewa ruangan yang lebih suka dikenai PPN, karena dapat
menggunakan PPN tersebut sebagai kredit pajak.

2.5 Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-nya

Kontradiktif Aturan
Melihat aturan redaksional, fasilitas ini memang khusus ditujukan pada lembaga
yangbergerak di bidang pendidikan dan atau litbang. Namun, diberlakukannya aturan ini
ternyata malah menimbulkan beberapa kejanggalan yang berpengaruh pada
penerapannya di lapangan.
Penyederhaan masalah dari dua Subjek Pajak yang tidak terlalu simetris ini justru
membuahkan masalah baru. Pasalnya, perlakuan perpajakan antara lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan dan litbang jauh berbeda. Memberikan Pasal 6 ayat (1)
huruf f UU PPhmenyatakan bahwa biaya litbang perusahaan yang merupakan biaya yang
dapat dikurangkan adalah yang dilakukan di Indonesia. Implikasinya, biro biaya litbang
dilakukan di luar negeri maka 'merupakan biaya yang non-deductible.

19
Berbeda dengan bidang pendidikan atau pelatihan. Biaya-biaya yang terkaic
dengan beasiswa dan ‘magang yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g, tidak ada
perlakuan pajaknya. Meski dilakukan di mana pun -baik di dalam negeri atau di luar
negeri- tetap harusdijadikan sebagai biaya (biaya yang dikurangkan).

Berdasarkan uraian di atas dapat ditolak, bahwa bunyi Pasal 4. Ayat (3) huruf (m)
memang bertolak belakang dengan Pasal 6 (1) huruf (f). Jadi, alangkah baik, jika
pemerintahtidak mencampuradukkan ketentuan pembinaan bidang pendidikan dengan
bidang litbang, ke dalam satu ayat. Hal ini karena perbedaan dimensi tempat terjadi- nya
Objek PPh akan menafsirkan perbedaan dalam perlakuan perpajakannya.

Akan jauh lebih baik, Ditjen Pajak membuat satu ayat tambahan lagi-katakanlah
Pasal4 ayat (3) huruf (o) -untuk me nampung pasal yang membina “sisa lebih” dana
pembangunan gedung dan prasarana di bidang litbang. Ketimbang memaksakan
mencampur- adukkan kedua aktifitas yang kontradiktif, yang ujung-ujungnya malah
mengakibatkan ketidakpastian hukum.

Kini, nasi telah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk mengubah ketentuan
tersebut. Masih ada satu hal yang masih dapat dilakukan, yaitu Menteri Keuangan
membuat keputusanbaru untuk “menetralisir” kontradiksi tersebut.

Hanya Empat Tahun


Di awal telah dijelaskan bahwa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor: 80 / PMK.03 / 2009 sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 4 ayat (3) huruf
menyeburkan bahwa setelah jangka waktu 4 (empat) tahun, terdapat sisa lebih yang tidak
digunakan untuk pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan, maka sisa tersebut
lebih aktif sebagai tahap. Tahap atas tersebut akan di- kenai PPh pada tahun pajak
berikutnyaditambah dengan sanksi sesuai ketentuan.
Ironis memang, di tengah "ketidakberdayaan" pemerintah mengusung program
wajib belajar, fasilitas terkait dengan pendidikan yang sangatDibutuhkan, malah
infrastruktur Apalagi dana APBN untuk penyediaan pendidikan murah "sangat terbatas.
Pemerintah harus memberi kelonggaran di bidang pajak bagi pendidikan dunia.

Salah satu lembaga pendidikan yang harus" ditolong "dalam hal perpajakan
adalah lembaga pendidikan swasta, karena inilah adalah ujung tombak pendidikan,

20
Dengan begitu mereka dapat berkiprah lebih jauh sebagai mitra pemerintah dalam
pembangunan pendidikan (agent of development).

Di Amerika Serikat, organisasi nirlaba (yayasan pendidikan, se- kolah, dan


bangunan ibadah atau yayasan), mendapat izin (ritual) PPh setelah Singapore Revenue
Servicel Singapura juga menerapkan kebijakan serupa.

Di beberapa negara lain, persetujuan pajak (tax holiday) bagi suatu badan yang
berorientasi prafit yang bisa diberikan hingga Cina bisa sampai 20 tahun. Apalagi bidang
pendidikan yang berorientasi jelas-jelas tidak berorientasi profit, yang diberikan harus
lebih diperhatikankan SDM itu merupakan salah satu aset besar sebuah negara? Kenapa
hanya 4 tahun masa tenggang-nya? Kenapa tidak 8 tahun misalnya? Ini bisa menjadi
masalah bagi pemerintah untuk me-review kebijakan perpajakan, masa tenggang.

Bila yayasan atau lembaga nirlaba ingin mengembangkan kualitas sekolah atau
universitasnya, agar bisa menghubungkan dan menyesuaikan dengan permintaan tenaga
kerja di industri dunia, tentu kebijakan yang cocok sekarang ini kurang mendukung.
Dengan waktu hanya 4 (empat) tahun, pihak yayasan atau lembaga nirlaba, mau tak mau
harus menaikkan uang se- kolah atau kuliah untuk menanggulangi kenaikan biaya
overhead atau biaya penyelengaraan pendidikan.
Pengenaan PPh atas selisih lebih antara tahap yang merupakan objek pajak
dengan biaya-biaya yang tidak akan berubah menjadi latar belakang (kecenderungan
untuk berinvestasi). Dengan kata lain, yayasan dapat meniadakan atau mengecilkan
selisih lebih dengan cara menurunkan harga atau tarif jasa yang dijualnya, atau
menaikkan mutu pelayanannya yang tentu saja akan menaikkan biayanya. tahun. Bahkan
di Bila pilihan mengecilkan selisih lebih ini yang diambil, yayasan ter- sebut dalam
jangka panjang akan "gagal" mengakumulasi dana dari "keuntungan (selisih lebih) yang
membantu untuk meningkatkan investasi pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan.

Melihat hal ini, pemerintah membangun kejar -kejaran membawa dua grand
strategy nasional, yakni misi budgetair untuk peningkatan penerima- an negara dan misi
pendidikan untuk membangun dan mencerdaskan bangsa melalui program link and
match-nya. Semuaitu tergantung pada hati nurani pemegang kekuasaan (the man behind
the gun), mau dibawa ke mana pendidikan nasional itu.

21
Masih Ada Tax Planning
Meski fasilitas ini hanya berjangka 4 (empat) tahun, bukan berarti bagaimana
pendidikan dan litbang hanya berdiam diri menunggu Ditjen Pajak untuk mengubah
aturannya. Sebagai wajib pajak, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sikap kita
sendiri dalam memanfaatkan fasilitas baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Salah satu caranya adalah dengan menyusun perencanaan pajak (tax planning)
yang baik. Pada umumnya, perencanaan pajak adalah proses mengorganisasikan usaha
wajib pajak atau kelompok wajib pajak sede- mikian rupa, sepanjang hal ini
dimungkinkan oleh peraturan- undangan, schingga pajak yang terutang menjadi
seminimal mungkin.

Perencanaan pajak merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam melak-


sanakan hak dan kewajiban pajak sehari-hari.Dengan pajak beban pajak, dana yang
tersedia untuk membayar pajak dapat dialokasikan kepada pos-pos pengeluaran lain yang
akan memberikanhasil akhir yang lebih efisien dan efektif bagi perusahaan, Jadi, pajak
pajak bisa dipersamakan dengan penghindaran pajak (upaya penghindaran pajak se- cara
hukum). Berikut beberapa perencanaan pajak yang dapat dilakukan pada yayasan nirlaba.

Perencanaan Pajak PPN: Manfaatkan "Tarif Efektif" 4%


Syarat lembaga nirlaba agar sisa lebih dapat dikecualikan dari pengenaan PPh adalah
dengan menanamkannya kembali di bidang pendidikan dan atau litbang. Salah satu cara
penanaman kembali itu dapat berupa pem- bangunan gedung sebagai sarana infrastruktur
pendukung pendidikan atau penelitian. Nah, dalam kasus seperti ini perencanaannya
tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Perlu ada perencanaan pajak yang baik, agar
hasil yangdapat dicapai dengan optimal.

Upaya ini, secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan
menggunakan perusahaan konstruksi, Kedua, dengan cara membangun sendiri. Dari sisi
pajak, kedua cara ini berdampak dampak perpajakan yang jauh berbeda, terutama dari
sisi pengenaan PPN-nya.

Jika yayasan yayasan menggunakan jasa kontraktor (yang sudah dikukuhkan


sebagai Pengusaha Kena Pajak) untuk melaksanakan pembangunan sebuah gedung,

22
maka perusahaan kontraktor tersebut pasti akan memungut PPN sebesar 10%. Yang
menjadi masalah adalah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan yang
berhubungan dengan badan yang dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Akibatnya, meskipun telah memiliki NPWP, badan tersebut tidak mempunyai kewajiban
untuk membuar SPT Masa PPN.

Dengan demikian, yayasan tidak bisa memperhitungkan Faktur Pajak yang


diterima perusahaan kontraktor sebagai Pajak Masukan. Artinya, yayasan haruslah siap
menerima pembebanan PPN sebesar 10%: yang nantinya akan dikapitalisasi sebagai
biaya konstruksi pembangun gedung tersebut. Dengan kata lain, bila investasi
pembangunan tersebut sebesar Rp 3 miliar, maka yayasan harus membayar PPN sebesar
Rp 300 juta. Berbeda dengan perlakuan perpajakan untuk kegiatan membangun sendiri.
Apabila yayasan dalam pelaksanaannya tidak menggunakan jasa perusahaan konstruksi,
pembayaran PPN sebesar 10% masih dapat di-: hindari, walaupun tidak seluruhnya.
Pasalnya, PPN atas kegiatan memba- ngun sendiri dikenakan tarif 10% dikalikan dengan
Dasar PengenaanPajak (DPP) sebesar 40% dari seluruh pengeluaran pada bulan yang
bersangkutan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Namun, untuk dapat menerapkan
rencana ini ada ketentuan yang harus diperhatikan. Keputusan Menteri Keuangan
Nomor: 554 / KMK.04 / 2000 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan PPN atas
Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan Tidak dalam Kegiatan Usaha atau
Pekerjaan oleh Orang Pribadi atau Badan yang digunakan Digunakan Sendiri atau
Digunakan Pihak Lain yang telah diubah dengan Keputusan MenteriKeuangan Nomor:
320 / KMK.03 / 2002. Be- berapa hal dalam KMK tersebut yang harus diperhatikan
adalah:
1. Kegiatan Membangun Sendiri adalah kegiatan membangun sendiri bangunan yang
diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m
'atau lebih dan bersifat permanen. Ba- ngunan adalah bangunan permanen yang
terdiri dari konstruksi utama: (a) Tembok; dan atau (b) Kayu tahan lama; dan atau (c)
Bahan lain yang mempunyai kekuatan sampai 20 (dua puluh) tahun atau lebih.
2. Saat terutangnya PPN atas kegiatan membangun sendiri yang terjadi pada saat mulai
dilaksanakannya pembangunan.

Bila melihat syarat pertama, yayasan atau lembaga pendidikan nirlaba tersebut

23
bişa menyanggupinya. Dengan demikian, yayasan sudah meme- nuhi syarat untuk
kegiatanmembangun sendiri dengan tarif pengenaan PPN sebesar 10% x 40% = 4% x
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang setiap bulannya. Dengan begitu, terdapat
penggerak pembayaran PPN sebesar 6%.

Perencanaan PPh Badan: Manfaatkan Masa Tenggang dari Sisa Lebih


Di muka sudah diuraikan tentang bagaimana wajib pajak yayasan nirlaba
memanfaatkan masa tenggang 4 (empat) tahun canpa dikenai PPh. Hal ini Transaksi-
Transaksi juga harus dimanfaatkan dengan membuat rencana induk atau rencana
pembangunan jangka panjang. Dengan melakukannya, yayasan memperoleh dua
manfaat sekaligus, sekaligus internal dan ekstemal. Manfaat internal, perencanaan pajak
ini dapat digunakan sebagai pedoman manajemen dan alat pemantauan perkembangan
gedung dan prasarana pendidikan bagi pengurus dan peng- awas.
Sedangkan untuk kepentingan eksternal, dapat digunakan sebagai "data" untuk
kelengkapan pelaporan kepada instansiterkait, misalnya Dirjen Pendidikan Tinggi dan
Kantor Pelayanan Pajak setempat. Apabila sisa telah melewati jangka waktu 4 tahun,
akan menjadi sebagai tahap dan dikenai PPh di tahun pajak berikutnya. Sejak saat
Yayasan harus mengatur biaya PPh. Meski demikian upaya pemberlakuan untuk beban
pajak yayasan pun masih dapat dilakukan. Namun perencanaan pajak harus berbasis pada
ketentuan perpajakan. Pada yayasan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak Sedangkan untuk kepentingan eksternal, dapat digunakan sebagai "data" untuk
kelengkapan pelaporan kepada instansi terkait, misalnya Dirjen Pendidikan Tinggi dan
Kantor Pelayanan Pajak setempat. Apabila sisa telah melewati jangka waktu 4 tahun,
akan menjadi sebagai tahap dan dikenai PPh di tahun pajak berikutnya. Sejak saat
Yayasan harus mengatur biaya PPh. Meski demikian upaya pemberlakuan untuk beban
pajak yayasan pun masih dapat dilakukan. Namun perencanaan pajak harus berbasis pada
ketentuan perpajakan. Pada yayasan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena
Pajak (PKP) dan telah dikenakan tarif PPh badan yang tertinggi, diupayakan seminimal
mungkin memberikan kesejahteraan pegawainya dalam ben- tuk natura atau kenikmatan
(benefit in kind), karena pengeluaran biaya ini tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
Selain itu, jika yayasanmenaikkan mutu pelayanan dan kualitas pendidikan, anggaran
biayanya akan naik juga. Biaya-biaya yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari tahap
bruto (deductible) merujuk pada butir 4 Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-39 / PJ.4 /

24
1995 tentang Penyuluhan Tentang Perla- kuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan atau
Organisasi yang Sejenis (Seri PPhUmum Nomor: 18), antara lain berupa:
1. Gaji/tunjangan / honorarium pimpinan / dosen / pengajar / karyawan.
2. Biaya umum / administrasifalat tulis menulis kantor.
3. Biaya publikasi / iklan.
4. Biaya kendaraan.
5. Biaya kemahasiswaan.
6. Biaya ujian semester.
7. Biaya sewa gedung dan utilitas (listrik, telepon, air).
8. Biaya laboratorium.
9. Biaya penyelenggaraan asrama.
10. Bunga bank dan biaya-biaya bank lainnya.
11. Biaya Pemeliharaan kampus.
12. Biaya penyusutan.
13. Kerugian karena penjualan / pengalihan harta.
14. Biaya penelitian dan pengembangan.
15. Biaya bea siswa dan pelatihan dosen / pengajar / karyawan.
16. Biaya pembelian buku perpustakaan dan alat olah raga dan pe- raga.
17. Anak perusahaan / bea siswa bagi siswa yang kurang mampu.
18. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi yang terkena.

Selain yang disebutkan diatas, upaya meminimalisasi beban pajak dapat


dilakukan dari sisi administrasi perpajakannya, yang didukung oleh tertibnya
penyelenggaraan pembukuan berdasarkan stan- dar akuntansi keuangan yang seirama
dengan ketentuan perpajakan, tertibnya penegakan disiplin anggaran / peraturan untuk
menghindari pengenaan kewajiban perpajakan, serta pelaporan penyelenggaraan
pembinaan gedung dan prasarana pendidikan kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat,
dengan tindaşan kepada Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah / Dirjen Pendidikan
Tinggi atau yang ditunjuk.

Kepatuhan Administrasi Perpajakannya


Secara umum, perencanann pajak yang baik (penghindaran pajak) harus
memasyarakatkan pelaksanaan pengawasan dalam aspek förmal dan administratif
perpajakan, seperti: kewajiban pajak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak

25
(NPWP), pembukuan atau pencatatan , memotong dan melaporkan pajak, membayar
pajak dan melaporkan Surat pemberitahuan (SPT) sesuai dengan batas waktu
pembayaran dan pelaporan pajak yang telah digariskan. Tanggung jawab atas
pelaksanaan tertib administrasi perpajakannya, harus mem- survei dan mematuhi hal-hal
berikut ini:
Penyelenggaraan Pembukuan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
1. Yayasan atau organisasi sejenis yang membentuk dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan wajib membuat:
a. Pencatatan atas dana pembangunan gedung dan prasa- rana pendidikan yang
diterimadan digunakan setiap tahun.
b. Pernyataan bahwa dana pembangunan gedung dan prasarana pen- didikan yang
tidak digunakan pada tahun diterimanya akan digunakan untuk pembangunan
gedung dan prasarana pen- didikan selambat-lambatnya 4 (empat) tahun setelah
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasejarah pendidikan
pada tahun yang dilakukan dengan mendebet rekening aktiva dan rekening dana
pembangunan
gedung dan prasa rana pendidikan, serta mengkredit rekening kas atau utang dan
mengembalikan modal yayasan.
3. Sisa lebih yayaşan setiap tahun yang akan digunakan untuk pemba- ngunan gedung
dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan.
4. Apabila pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dibiayai dengan dana
pinjaman, maka bunga atas pinjaman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya
yayasan.
5. Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pena- didikan yang
berasal dari dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, tidak boleh
dilakukan penyusutan berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh
sebngaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomar 36 Tahun 2008. Penegakan
Disiplin Anggaran / Pendanaan

Penegakan Disiplin Anggaran / Pendanaan


1. Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan wajib diguņa- kan untuk

26
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun
setelah berakhirnya tahun pajak diteri- manya dana tersebut.
2. Apabila setelah lewat jangka waktu tersebut, yayasan tidak menggu- nakan dana
pembangunan dan prasarana pendidikan dimaksud, maka dana pembangunan gedung
dan prasarana pendidikan tersebut sebagai pembayaran dan dikenakan PPh pada
tahun pajak berikutnya.
3. Pengenaan PPh atas dana pemhangunan dan prasarana pen- didikan yang tidak
digunakansetelah jangka waktu 4 (empat) tahun akan ditambah dengan sanksi sesuai
dengan ketentuan per- pajakan.

Pelaporan Penyelenggaraan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan


1. Yayasan memberitahukan rencana fisik dan rencana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat
dengan tindasan kepada Direktur Jenderal Pendidikan tinggi dan atau Direktur
Jenderal Pen-didikan Dasar dan Menengah atau yang ditunjuk, dengan dilampiri
pernyataan.
2. Laporan mengenai penyediaan dan penggunaan dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan dan kepada Kepala Kantor Pelayan Pajak setempat dalam
lampirah SPT Tahunan PPh.

2.6 Fenomena Pemajakan Usaha Jasa Kontruksi

Tarik ulur pemajakan usaha jasa konstruksi bermula dari pemberlakuan PPh
Pasal 4 ayat (2) yang mulai marak sejak tahun 1995, menyusul di- berlakukannya UU
PPh No. 7 Tahun 1983 di mana pemerintah diberi wewenang yang sangat luas, bahkan
ada yang menyebut wewenang itu sebagai cek atau mandat kosong, untuk mengenakan
pajak final, atas berbagai macam jenis penghasilan, hingga diredam dengan
diberlakukannya UU PPh No. 36 tahun 2008, namun ambivalensi dalam pemajakan
usaha jasa konstruksi masih saja terjadi.

Di era globalisasi sekarang ini, tidak ada lagi barrier bagi keluar masuknya
industri antar daerah maupun dari mancanegara, karena itu semua unit bisnis dituntut
untuk berbenah diri agar bisa menjaga kelangsungan usahanya di tengah kompetisi yang
semakin tajam di hampir semua sektor. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja

27
perusahaan lain dengan strategi yang berbeda, misalnya dengan membuat produk serupa
dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk yang unik sehingga konsumen
bersedia membayar harga premium yang melampaui biaya untuk menciptakan
diferensiasi produk tersebut, Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan
pendekatan dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi
pemimpin biaya dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi
kepemimpinan biaya (termasuk tax cost), maka perusahaan dapat menggunakan
keunggulannya itu untuk mengalahkan kompetitornya melalui persaingan harga.

Tidak dimungkiri bahwa reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah, yang


meliputi pembaharuan kebijakan dan administrasi, telah berhasil mendorong
peningkatan penerimaan pajak secara signifikan dari tahun ke tahun, meski masih banyak
kendala, baik dalam administrasi pemungutan pajak, pemeriksaan pajak, keberatan
pajak, dan keadilan pajak serta kepatuhan wajib pajak, sebagai implikasi dari kebijakan
dan administrasi perpajakan itu, Pembaruan kebijakan perpajakan dilaksana- kan
antara lain melalui revisiatau amandemen UU PPh, UU PPN & PPnBM, UU KUP, dan
UU Pajak lainnya.
Peran pajak sebagai salah satu sumber penting dalam pembiayaan negara masih
perlu ditingkatkan, sebab dibandingkan dengan negara tetangga saja tax ratio kita masih
jauh tertinggal, rasio penerimaan pajak kita masih terlalu rendah. Ini hanya bisa
dilakukan bilakita tidak berpuas diri dengan kinerja aparatur perpajakan kita, dan terus
melakukan evaluasi dan penyempurnaan kebijakan agar pelaksanaan sistem perpajakan
lebih efektif dan efisien serta memiliki daya saing yang tinggi. Ketidakberdayaan kita
dalam menciptakan iklim perpajakan yang kondusif dan kompetitif tidak saja
menimbulkan kurangnya rasa keadilan dan kepastian hukum bagi wajib pajak, serta
menghambat upaya meningkatkan kepatuhan perpajaka (taz compliance).

Fenomena keadilan dalam sistem PPh final


Secara historis, PPh final mulai marak sejak 1995, menyusul diberlakukannya
UU Pajak Penghasilan 1994. Dalam Pasal 4 ayat 2, pemerintah diberi "mandat kosong"
untuk mengenakan pajak final atas berbagai macam jenis penghasilan.

Usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat asosiasi Gapeksi
(Gabungan Pelaksana Konstruksi seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya

28
dan kemudian disetujui oleh pemerintah. Pada era Fuad Bawazier menjabat sebagai
dirjen pajak (sering dijuluki sebagai "Bapak PPh final"), para pengusaha jasa konstruksi
bisa bernafas lega, mereka kembali menikmati tarif pajak penghasilan final. Perlakuan
PPh final ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dan kesederhanaan dalam
menghitung pengenaan Pajak Penghasilan, sehingga tidak menambah beban administrasi
wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memberi kepastian hukum bagi
wajib pajak yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Didasari pemikiran akan terbatasnya tenaga pemeriksa pada saat itu,
sistem final akan menghemat pengarahan tenaga pemeriksa, namun lebih dari itu Ditjen
Pajak memiliki keyakinan bahwa sistem final akan mampu mendongkrak penerimaan
pajäk, karena perusahaan untung atau rugi, tetap berlaku dasar pengenaan pajak PPh final
dari nilai pendapatan atau omzet usaha.
Gayung pun bersambut, pada akhir Desember 1996 terbit Peraturan
Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan usaha jasa konstruksi dan jasa
konsultan untuk seluruh level usaha, yang menetapkan:
• Atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final 2% dari nilai bruto.
• Sedangkan atas jasa perencanaan, pengawasan konstruksi, dan konsultan dikenakan
4%.

Justifikasi yang juga menjadi Keuntungan PPh Final

• Bagi wajib pajak, tarif PPh final sangat menguntungkan jika grafik pertumbuhan
ekonomi naik saat bisnis jasa konstruksi sedang booming:

Dalam situasi ini, pelaku bisnis mampu meraup keuntungan yang besar. Pengenaan
PPh final yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan
dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15%, dan 30% sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 UU PPh.th 2000, bahkan untuk Jasa-Jasa Kena Pajak tertentu misalnya
Usaha Jasa Konstruksi, dengan tarif yang berlaku di UU PPh No. 36 th 2008 juga
masih menguntungkan

• Pembenaran dalam penerapan sistem PPh final adalah jaminan bahwa penerimaan
pajakdari sektor ini akan meningkat dibandingkan dengan saat dikenakan tarif
umum.
• Pajak final dikenakan atas basis nilai transaksi, tanpa memandang asal-usul

29
penghasilantersebut.

Kelemahan PPh Final

• Sebaliknya bagi wajib pajak, tarif PPh final menjadi bumerang pada saat grafik
pertumbuhan ekonomi trend-nya menurun atau pada saat mereka menderita rugi,
sebab pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan
neto. Ibaratnya "maju kena mundur kena", PPh final tidak mengenal rugi usaha.
Lebih parah lagi, wajib pajak juga kehilangan hak kompensasi rugi fiskal untuk
mengompensasi kerugian yang diderita.
• Kemudahan dan kesederhanaan serta kepastian hukum dalam menghitung pengenaan
Pajak Penghasilan agar tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak mengalahkan aspek pentingnya keadilan dalam pemajakan
jasa konstruksi.

Bagi pemilik proyek, perlu mewaspadai "siasat" perusahaan jasa konstruksi


dalam memperlakukan pemajakan PPh yang naturalnya, menurut undang-undang,
adalah pajaklangsung yang dimanipulasi seolah-olah menjadi pajak tidak langsung.
Caranya adalah dengan mengalihkan beban PPh final kepada konsumen, dengan
memasukkan komponen pajak tersebut ke dalam nilai borongan proyek.
Ketidaktahuan pemilik proyek terhadapsistem perpajakan yang terakomodasi dalam
kontrak perjanjian sering dimanfaatkan oleh kontraktor atau perusahaan jasa
konstruksi untuk menjalankan "siasat" nakalnya itu. Kontrak perjanjian proyek sering
mengabaikan klausula tentang pajak ini secara jelas, sehingga pada saat
pembukuannya diperiksa oleh fiskus, timbul tagihan atas kekurangan pajak yang
harus dibayar oleh wajib pajak berikut denda dan sanksi perpajakannya. Apabila
tagihan itu sudah mencapai dua tahun atau lebih, akan dikenakan denda bunga pajak
sebesar 48% dari pokok pajak.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008 yang diterbitkan tanggal 20 Juli


2008 mengembalikan pengenaan PPh atas Jasa Konstruksi menjadi bersifat final
tanpa membedakan jenis kontraktor yang melakukan Jasa Konstruksi, seperti yang
diatur dalam PPsebelumnya yaitu PP Nomor 140 Tahun 2000.

Dengan mengatasnamakan keadilan pajak, pemerintah menerbitkan PP No.


140/2000. Melalui PP ini, penghasilan yang diterima perusahaan jasa konstruksi,

30
pengawas, perencanaan dan konsultan kembali ke tarif umum, kecuali mereka yang
omzetnya di bawah Rp l miliar. Tarif untuk perusahaan skala kecil sama dengan PP
73/1996, yaitu 2% untuk jasapelaksana konstruksi, dan 4% untuk jasa perencana dan
pengawas konstruksi. Namun, jasa konsultan hilang dari PP 140/2000:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT dari usaha
dibidang jasa konstruksi yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu kualifikasi sebagai
usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai 1 miliar rupiah,
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a. 2 % dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi

b. 4% dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa perencanaan


konstruksi

c. 4% dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa pengawasan


konstruksi

2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT dari usaha
dibidang jasa konstruksi yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagai usaha
kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, atau
yang mempunyai nilai pengadaan sampai 1 miliar rupiah, dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU PPh dan merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23.

Sehubungan dengan diterbitkannya PP No. 51 tahun 2008, selanjutnya


Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan No. 187/PMK.03/2008 tertanggal
20/11/08 yang mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor
559/KMK.04/2000 tentang Pajak Penighasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 9 PP Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi,
yang menetapkan Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, Pelaporan, dan
Penatausahaan Pajak Penghasilan atas Peng- hasilan dari Jasa Konstruksi.

Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP No. 51 tahun 2008)
ditetapkan sebagai berikut:

31
a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa dengan
kualifikasi usaha kecil.

b. 4% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa


yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

c. 3% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan oleh Penyedia Jasa


selain Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.

d. 4% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstnuksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang memiliki kualifikasi usaha.

e. 6% untuk Perencanaan Konstruksi atau Pengawasan Konstruksi yang


dilakukan oleh Penyedia Jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha.

Dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Januari 2008 diatur:

1) Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal
31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan PP Nomor 140
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa
Konstruksi.

2) Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak setelah tanggal 31


Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan ber- dasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
2. Kerugian dari usaha Jasa Konstruksi yang masih tersisa sampai dengan Tahun Pajak
2008, hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.

Dalam rangka memberi kemudahan dalam pengenaan Pajak Penghasilan atas


penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan untuk menjaga iklim usaha sektor jasa
konstruksi agar tetap kondusif, dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan
sebagaimana diatur dalam PP Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi, Akhimya pemerintah menerbitkan PP Nomor
40 Tahun 2009 tentang Perubahan atas PP Nomor 51 Tahun 2008. Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2008.
Pasal 10 PP No. 40/2009 berbunyi, bahwa terhadap kontrak yang ditandatangani

32
sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
adalah sebagai berikut:

a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan
bentukusaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:

1) Dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU Nomor 7 Tahun


1983tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 17
Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan.

2) Dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi wajib pajak yang
memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai
pengadaan sampai dengan. Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalamhuruf a angka 1) ditentukan sebagai berikut:

Dikenakan pemotongan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 23 UU Nomor 17


Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan oleh pengguna jasa dalam hal pengguna jasa adalah badan pemerintah,
subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi sebagai
wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai
pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 tersebut pada saat pembayaran uang muka dan
termin.
1) Dikenakan pajak berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU Nomor 17 Tahun 2000
tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya
selainsebagaimana dimaksud dalam angka 1).

c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2) ditentukan sebagai berikut:

1) Dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai dengan ketentuan dalam
huruf d oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan pemerintah,

33
subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi
sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagai pemotong PPh Pasal 23 UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada saat
pembayaran uang muka dan termin.

2) Dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam huruf d, dengan cara
menyetor sendiri PPh yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka
dan termin, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain
yang dimaksud dalam angka 1).

d. Besarnya PPh yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor
sendiri oleh wajib pajak penyedia jasa' yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud
dalam huruf cditetapkan sebagai berikut:

1) 4% dari jumlah bruto, yang diterima wajib pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi,

2) 2% dari jumlah bruto, yang diterima wajib pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;
atau

3) 4% dari jumlah bruto, yang dicerima wajib pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi.

Beberapa penyisipan ketentuan:

1. Pasal 10A: Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008,
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan setelah tanggal
31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:

a. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh
Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10;

b. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh

34
penyedia jasa dan pengguna jasa sejak tanggal 1 Januari 2009, atau penyelesaian
pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan PP Nomor 51
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi.
2. Pasal 10B: Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan PP Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.

3. Paşal 10C: Kerugian dari usaha jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan
Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.

Ambivalensi Pemajakan Usaha Jasa Konstruksi

Sekarang kita tengok dulu bagaimana UU PPh No. 36 Tahun 2008 mengatur
pemajakan penghasilan dari jasa konstruksi. Pasal 4 ayat 2 dari undang-undang ini
menetapkan penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final, di mana pasal Pasal 4
ayat 2 d lebih lanjut merinci ragam penghasilan tersebut dari transaksi pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan
persewaan tanah dan atau bangunan.

Pertimbangan yang mendasari penetapan penghasilan yang dapat dikenai pajak


bersifat final, antara lain:
• Kesederhanaan dalam pemungutan pajak.

• Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak.

• Pemerataan dalam pengenaan pajaknya.

• Memperhatikan perkembangan ekonomi dan moneter, atas penghasilan-penghasilan


tersebut perlu diberikan perlakuan tersendiri dalam pengenaan pajaknya. Perlakuan
tersendiri dalam pengenaan pajak atas jenis penghasilan tersebut termasuk sifat,
besarnya, dan tata cara pelaksanaan pembayaran, pemotongan, atau pemungutan
diatur demean Peraturan Pemerintah.

35
Disisi lain terdapat Pasal 23 UU PPh No. 36 Tahun 2008 khususnya di pasal (1)
c yang menyebutkan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain, selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong PPh sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto.

Angka ini, bagi perusahaan konstruksi skala besar sebenarnya masih


menguntungkan bila memperhatikan rata-rata profit margin mereka, tarif PPh final
mungkin seharusnya 4,5%.
Namun, tidak semua perusahaan mampu menikmati profit margin sebesar itu
karena ada pula perusahaarn jasa konstruksi yang profit marginnya sangat rendah. Pada
perusahaan yang efisien dengan ratio labanya yang tinggi tidak diragukan akan mendapat
keuntungan dari tarifpajak final.

Pertanyaan, mana yang harus dipegang oleh wajib pajak untuk pemajakan usaha
jasa konstruksi, apakah menerapkan Pasal 23 UU PPh No. 36 Tahun 2008 khususnya di
pasal (1)c atau berkiblat ke Pasal 4 ayat 2 d UU PPh yang sama? Keduanya memiliki
legitimasi, dasar, dạn kepastian hukum yang sama, namun petentuan pelaksanaannya
(Peraturan Menteri Keuangan) berbeda. Dampaknya dalam praktik bisa berbeda pula,
karena para wajib pajak pasti menginginkan dan selalu mencari celah-celah (grey drea)
untuk menghindari beban pajak (yang lebih besar) dengan cara penyikapan yang bisa
berbeda. Dari sudut pandang manajemen risiko, perusahaan jasa konstruksi yang besar
cenderung memilih Pasal 4 ayat 2 d (PPh final) ketimbang Pasal 23 UU PPh No. 36 Tabur
2008, alasannya karena sepanjang menyangkut pemajakan terhadap pendapadan jasa
konstruksi, tidak ada kekhawatiran terhadap pemeriksaan pajak yang akan menimbulkan
kurang bayar pajak karena PPh nya sudah final.

Untuk menghindari ketidakpastian terhadap kedua pasal tersebut, sebaiknya


pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
meniadakan jasa konstruksi yang terdapat dalam pasal 23 untuk menutup grea area
yang menimbulkan konsekuensi hukum pajak yang tidak jelas dan praktik pemajakan
yang menyimpang.

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Build-Operate-Transfer (BOT) merupakan salah satu bentuk kerjasama antara
pemerintah Dan swasta untuk pengelolaan infrastruktur, dengankata lain Bangun
Guna Serah("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada
pemegang hak atas tanah setelah masa gunaserah (BOT) berakhir.

Menurut surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri


Perdagangandan Industri Republik Indonesia No. KEP-122/MK/IV/2/1974, No.
32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 definisi leasing atau
sewa guna usaha adalah setiap kegiatanpembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang- barang modal untuk digunakanoleh suatu perusahaan untuk
jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaransecara berkala disertai
dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang
bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkannilai sisa uang
telah disepakati bersama. Dalam sewa guna usaha melibatkan dua belah pihak yakni
lessee dan lessor. Lessee merupakan pihak atau orang yang menyewa baik itu barang,
properti, dan kekayaan intelektual lainnya. Sementara itu, lessor merupakan pihak
atau orang yang menyewakan barang, properti, dan kekayaan intelektual lainnya.

Dari segi permodalan, Joint Operation tidak berbagi atas saham. Modal JO
berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya (Imam
Santoso:2017),yang dapat berupa Kemampuan penguasaan teknologi, Financial
support yang kuat, Spesialisasi keahlian; atau bahkan Fasilitas penugasan semata

Umur JO biasanya mengikuti umur proyek, karena pembentukan JO umumnya


dimaksudkan untuk mengerjakan suatu proyek berdasarkan satu atau lebih dari
keempat kelebihan kemampuan di atas dan pengalaman masing-masing anggota
(partner), dan setelah proyek selesai JO membubarkan diri, dan anggota JO kembali
pada aktivitas semula.

37
Secara umum bentuk Joint Operation dalam perkembangannya terbagi menjadi
dua tipe (Imam Santoso: 2007), yaitu: Kejasama Administratif Formal (KSF) Dan
Kejasama Operasional (KSO).

Hospitality pada dasarnya adalah hubungan antara tamu dan tuan rumah, atau
tindakan yang bersikap ramah. Hal ini termasuk dalam penerimaan tamu dan hiburan
tamu, pengunjung atau orang asing. Jadi Hospitality Industry berhubungan dengan
kegiatan keramah-tamahan dalam melayani tamu, seperti : Food and Beverages, Travel
and Tourism, Lodging dan Rekreasi.

Dalam peraturan menteri keuangan, disebutkan bahwa jasa penyelenggaraan


kegiatan atau event organizer adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh pengusaha
jasa penyelenggaraan kegiatan yang meliputi antara lain, penyelenggaraan pameran,
konvensi, pergelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers,
dan kegiatan laiin yang memanfaatkan jasa penyelenggaraan kegiatan (PMK No.
244/PMK.03/2008).

38
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, C. A. (2014). In Manajemen Perpajakan : Strategi Perencanaan Pajak & Bisnis (Edisi Revisi).

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/krismi/5a332c3acf01b42c2229
bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bangun-guna-serah

39

Anda mungkin juga menyukai