“TRANSAKSI-TRANSAKSI KHUSUS”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen Perpajakan
Dosen pengampu:
Disusun oleh:
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Transaksi-Transaksi Khusus ” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen
Pajak. Penyusunan makalah ini, tentunya tidak sedikit sumbang pemikiran dari sumber buku dan
jurnal.
Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya dengan hati
yang tulus dan ikhlas, terutama kepada Ibu Yohana Yustika Sari, SE, MSA selaku dosen
pengampu, serta rekan-rekan di kelas Akuntansi dan Manajemen Pajak, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Lambung Mangkurat. Kami menyadari Makalah ini jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
terhadap isi dari makalah. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk
memperkaya pengetahuan.
Kelompok 8
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Dari latar belakang di atas, penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1
5. Bagaimana Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-nya?
5. Untuk mengetahui Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-
nya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Pada sistem Public Private Partnership (PPP) terdapat skema pembiayaan, yaitu Build-
Operate-Transfer (BOT). Build-Operate-Transfer (BOT) merupakan salah satu bentuk
kerjasama antara pemerintah dan swasta untuk pengelolaan infrastruktur, dengankata lain
Bangun Guna Serah ("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa pemegang
hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan selama masa
perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada pemegang hak atas tanah
setelah masa guna serah (BOT) berakhir. Bangunan yang didirikan oleh investor dapat berupa
gedung perkantoran, apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko (ruko), hotel, dan atau
bangunan lainnya.
Ketentuan pelaksanaan perpajakan tentang BOT ini diatur dalam Keputusan Menkeu
No. 248/KMK.04/1995 dan SE. 38/PJ .4/1995. Sedangkan pembayaran PPh Final Pasal 15 atas
3
kerjasama bentuk BOT, sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/201
Tanggal 2 Juli 2013, ditetapkan menggunakan Kode Akun Pajak 411128 dengan kode jenis
setoran No. 415.
Perlakuan Perpajakan:
Bagi Investor
1. Penghasilan berupa penerimaan sewa/penguasaan, hotel/penerimaan Lain sehubungan
dengan pengoperasian gedung.
2. Imbalan yang diterima dari pemegang hak atas tanah apabila masa BOT diperpendek dan
periode yang dijanjikan.
3. Biaya yang boleh dikurangkan adalah biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat 1 dan
dengan memperhatikan Pasal 9 ayat I UU No.17/2000.
4. Biaya pendirian bangunan diamortisasi secara garis lurus sesuai periode BOT, dimulai
pada saat bangunan digunakan.
Apabila periode BOT diperpendek dari periode yang telah ditetapkan, maka sisa nilaibuku
bangunan diamortisasi sekaligus pada saat berakhirnya BOT tersebut.
3. Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor sebagian diserahkan kepada pemegang
hak atas tanah, penyerahan tersebut terutang P Ph sebesar 5% dari nilai yang tertinggi
antara nilai pasar dan NJOP dari bagian bangunan yang diserahkan. Harus dilunasi oleh
pemegang hak atas tanah selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, setelah bulan
penyerahan. Pembayaran ini bagi orang pribadi bersifat final namun bagi WP Badan tidak
final.
4. Bangunan yang diserahkan oleh investor pada akhir BOT, merupakan penghasilan bagi
pemegang hak atas tanah dan terutang PPh seperti pada butir 3 di atas.
4
5. Biaya yang boleh dikurangkan oleh pemegang hak atas tanah lama periode BOT adalah
biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 dengan memperhatikan pasal 9 ayat 1
UU No. 17/2000.
2.2 Leasing dengan Hak Opsi
a. Jumlah pembayaran selama periode leasing ditambah dengan nilairesidu barang modal,
harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
5
Berikut ini perlakuan pajak penghasilan bagi lessor:
a. P enghasilan lessor yang dikenakan pajak penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa
guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewaguna usaha.
b. Lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-gunausahakan dengan hak
opsi.
c. Dalam hal masa sewa gun a usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan maka
Direktur Jendral pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak
lessor.
d. Lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya 2,5% dari rata-rata saldo awal
dan saldo akhir piutang sewa guna usaha dengan hak opsi.
e. Kerugian yang diderita karena piutang sewa guna usaha yang nyat a-nyata tidak
dapat ditagih lagi dibebankan pada cadangan penghapusan piutangragu-ragu yang telah
dibentuk pada awal tahun pajak yang bersangkutan.
f. Dalam hal cadanga n pengha pus an piutang r agu - r agu t e r s ebut tidak a t au
tidak sepenuhnya dibebani untuk menutup kerugian dimaksud maka sisanya dih i t u ng
s eb aga i peng has i l a n Apabi l a ,cad anga n t e r s eb u t t i dak m e n c u k u p i m
a k a k e k u r a n g a n n y a d a p a td i b e b a n k a n s e b a g a i b i a y a y a n g dikurangkan
dari penghasilan bruto.
b. Setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, l essee
m e l a kuk an pe nyus u t an dan das a r pe n yus u t a nn ya a da l a h nilai
s i s a /residual valuebarang modal yang bersangkutan.
d. Dalam hal masa sewa guna usaha lebih pendek dari masa yang ditentukan maka Direktur
Jendral Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya sewaguna usaha.
e. L es s e e t i dak me m o to ng PP h 23 a t as pe m b a ya r a n s ew a guna us a ha ya ng d i
b ayar a t au t e ru t ang b er d as a r ka n p e r j a n j i an s ew a guna usaha d e nga n ha k opsi
.
Sedangkan, dari sisi akuntansi leasing dengan hak opsi bagi lesseediperlakukan sebagai
berikut:
2. Aktiva yang disewa guna usahakan diamortisasi sesuai dengan umur ekonomisnya.
Dari sudut Tax Planning atau Financial Planning, kebijakan mana yang lebih
menguntungkan bagi perusahaan, membeli aset secara leasing atau tunai?
Berikut dasar pertimbangan perusahaan untuk membeli alat berat secara leasing:
Penghematan pajak
• Masa leasing (lease term) lebih pendek dari masa penyusutan fiskal atau umur
7
ekonomis. Masa leasing untuk alat berat tersebut bisa 2 (dua) tahun, sedangkan masa
penyusutan fiskal alat berat ada di kelompok II yakni 8 (delapan) tahun. Dengan
demikian, sesuai ketentuan fiskal, maka perlakuan perpajakan dari angsuran leasing
dapat dibukukansetiap bulan sebagai beban yang bisa dibiayakan (deductible) dalam
laporan rugi laba fiskal, sehingga akan mengurangi keuntungan perusahaan dan secara
otomatis beban pajak juga akan rendah di tahun pertama dan tahun kedua.
• Pembuktian secara matematis dapat dilakukan yang menunjukkan nilai tunai (present
value) dari dana yang bisa diterima (misalnya Rp 500 juta) akan lebih dari dana yang
diterima 4 (empat) tahun kemudian.
• Dibandingkan dengan pembelian secara langsung, yang bisa dibiayakan hanya sebesar
biaya penyusutannya saja dengan masa penyusutan bisa 4-8 tahun, sehingga masa
pengembalian modalnya akan lebih lama. Cara pembelanjaan semacam ini jelas tidak
menguntungkan (unfavourable) atau tidak efisien (inefficient) bagi perusahaan.
Dengan metode leasing, perusahaan tidak perlu mengeluarkan dana yang besar secara
sekaligus seperti jika membeli secara tunai. perusahaan hanya memerlukan danacicilan setiap
bulannya yang bisa diambil dari profit yang diperolehnya. Kelebihan dananya (sebagai
pengganti dari pembelian tunai) dapat diputar untuk peningkatan turnover/omset perusahaan
atau diinvestasikan ke pilihan portofolio investment yang menguntungkan perusahaan baik
untuk tujuan investasi jangka pendek pembelian saham reksa dana) atau investasi jangka
panjang (saham/obligasi).
8
3. Spesialisasi keahlian; atau bahkan
Secara umum bentuk Joint Operation dalam perkembangannya terbagi menjadi dua tipe
(Imam Santoso: 2007), yaitu:
1) Kejasama Administratif Formal (KSF)
2) Kejasama Operasional (KSO)
Dalam KSF, tiap-tiap anggota mempunyai hak dan kewajiban yang secara jelas
diidentifikasi dalam Joint Operation agreement (JOA). Di dalamnya, tanggung jawab dan
bagian penghasilan masing-masing anggota JO diatur secara rinci.
11
Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-44/PJ/1994 mengatur mekanisme pemecahan bukti
potong sebagai berikut:
1. Jika belum dilakukan pemotongan PPh Ps. 23, maka prosedurnya adalah:
• JO mengajukan permohonan pemecahan (splitting) Bukti Pemotongan PPh Ps. 23
kepada pemberi hasil (project owner);
• Pada waktu dilakukan pemotongan, pemberi hasil membuat Bukti Pemotongan PPh Ps.
23 atas nama JO qq anggota (NPWP anggota) dengan jumlah pajak sebesar bagian
masing-masing. Bukti pemotongan PPh Ps. 23 disampaikan untuk para anggota JO.
d. Jika terlanjur dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas nama joint operation maka
prosedurnya adalah:
• JO mengajukan permohonan pemecahan Bukti Pemotongan PPh Ps. 23 kepada KPP
di mana JO tersebut terdaftar/berkedudukan, dilampirkan foto kopi dokumen
pendirian JO.
• Apabila benar telah dilakukan pemotongan terhadap JO (setelah diterima konfirmasi
dari KPP di mana pemotong PPh Pasal 23 terdaftar), maka KPP di mana JO terdaftar
atau berkedudukan menerbitkan Surat keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak
(SKKPP) PPh Pasal 23 yang seharusnya tidak terutang, dan kemudian atas dasar
SKKPP tersebut dilakukan pemindahanbukuaan (over-booking) dari PPh Pasal 233 ke
Perhitungan Lebih Bayar (PLB). Selanjutnya dilakukan pemindahbukuaan dari PLB ke
PPh Pasal 25 atas nama para anggota dengan jumlah pajak sebesar bagian masing-
masing.
12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa
dann Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah,
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002, diatur bahwa dalam rangka
pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian badan lainnya
sebagaimana Pegusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian badan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang PPN, adalah bentuk
kerjasama operasi.
2. Apabila dalam transaksinya dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama
JO, maka JO harus memenuhi kewajibannya sebagai PKP, yaitu melaporkan diri
untuk dikukuhkan menjadi PKP, memungut, menyetor, dan melaporkan perhitungan
PPN dan PPnBM yang terutang melalui Surat Pemberitahuan Masa PPN.
3. Apabila seluruh transaksinya dengan pihak lain secara nyata dilakukan atas nama
masing-masing anggota JO, sedangkan JO hanya untuk koordinasi dan secara nyata
tidak melakukan transaksi penyerahan BKP/JKP kepada pihak lain, maka yang
memiliki kewajiban sebagai PKP hanya anggota JO.
14
pengendalian pajak (tax contorlling), paling tidak mereka tidak akan banyak terlibat
langsung dengan fiskus, sebab bagaimanapun juga masing-masing anggota JO memiliki
tanggung jawab renteng terhadap JO bilamana terdapat ketidakberesan pembukuan atau
ketidaklengkapan dokumen pembukuan yang diminta fiskus pada saat pemeriksaan pajak
(tax audit).
• Dalam membuat perjanjian kontrak dengan project owner, Joint Operation harus berhati-
hati memakai bahasa hukum serta cermat mempelajari aspek perpajakannya, sebab bisa
menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan sudut pandang fiskus yang berdampak pada
perlakuan pajak yang berbeda pula, dan ujung-ujungnya bisa menimbulkan kerugian
materiil bagi masing-masing anggota JO. Sebagai contoh, permasalahan yang diangkat
dalam surat DJP No. 956/PJ.53/2005 pada butir 4c & 4d, apabila sebagian anggota JO
melaksanakan pekerjaan atas nama JO (lihat juga pembahasan di bawah ini mengenai
Kepastian Hukum Terhadap Pemajakan Atas JO), maka perlakuan pajak tersebut bisa
menimbulkan pemotongan ganda PPh Pasal 23 atas penghasilan yang sama; disatu pihak
project owner akan memotong PPh Pasal 23 atas tagihan JO (yang sama dengan tagihan
yang diajukan anggota JO kepada JO), kemudian dipihak JO sendiri akan melakukan
pemotongan PPh Pasal 23 atas setiap pembayaran tagihan (dari penghasilan yang menjadi
objek PPh Pasal 23) yang diajukan oleh masing-masing anggota JO.
• Setelah pelaksanaan proyek selesai, Jo harus membubarkan diri dan anggota JO kembali
pada aktivitas semula. Bila tidak, maka kewajiban perpajakan JO harus terus dipenuhi
untuk menghindari pengenaan sanksi perpajakan atas ketidakpatuhan pelaporan pajak.
• Dalam hal JO mengimpor barang kena pajak dari luar negeri ke dalam daerah pabean RI
untuk kepentingan project owner, maka Permohonan Impor Barang (PIB) dapat dilakukan
oleh project leader atau salah satu anggota JO yang memiliki Angka PengenaanImportir
(API), karena pengenaan tarif PPh Pasal 22 akan lebih rendah, yakni 2,5% dari nilai
impor. JO hanya bertindak sebagai koordinator opersional saat impor dijalankan, karena
PPh Pasal 22 yang dipungut adalah kredit pajak bagi masing-masing anggota JO,
sedangkan JO sendiri adalah bukan subjek PPh Badan.
15
2.4 Aspek Perpajakan Hotel Dan Tax Planningnya
Aspek pajak pertambahan nilai
Sebagai badan hukum, hotel adalah subjek pajak dari Pajak Daerah setiap pembelian
barang konsumsi dan barang modal terkena PPN, sedangkan pendapatan hotel bukan
merupakan objek PPN. Akibatnya terjadi penumbukan PPN masukan, sedangkan PPN
keluaran praktis nihil atau jumlahnya tidak signifikan. Bila hal ini dibiarkan tanpa adanya plan
of action yang jelas, ketidakseimbangan cash flow bisa terjadi dan mengganggu daya dukung
cash management perusahaan terhadap jaminan kelancaran kegiatan operasional perusahaan.
Beberapa cara tax planning untuk mengurangi dampak penumpukan dari PPN masukan
dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Pada awal penderiannya, hotel harus bernaung di bawah satu badan hukum perseroan, dn
teregistrasi sejak awal menjadi pengusaha kenaa pajak.
2) Melunakkan dampak pengenaan PPN dengan cara menyebarkan pembelian dari pemasok
barang-barang F&B ke pengusaha kecil yang tidak mengenakan PPN.
3) PPN masukan dari pembelian barang modal yang sangat material jumlahnya sebaiknya
dikapitalisasi sebagai alternatif accounting olicy, sehingga dapat diamortisasi sepanjang
masa penyusutan atau amortisasi aset tersebut.
4) Penyelenggaraan administrasi pajak yang akurat dan up to date.
16
b. Memperdaya tenaga outsourcing
Cara lain menggeser risiko atau beban pajak (tax shifitng) adalah dengan
memberdayakan tenaga outsourcing sebanyak mungkin sepanjang tidak melanggar
regulasi pemerintahan.
Ada dua variabel pajak yang diulas disini, yakni DPP PPN dan PPH 23 yang keduanya
saling terkait pada saat pembuatan biling atau invoice dan pelunasan serta pembayaran
pajaknya.dalam penerapannya di lapangan sering terjadi silang pendapat antara pengusaha
dengan petugas pajak daerah dan pusat dalam menentukan mana yang menjadi objek pajak
pusat dan amana yang menjadi pajak daerah.
Versi pertama dimana PPN dan PPh 23 dihitung dari total penerimaan atau billing
sebelum pengenaan PPN.
Contoh:
Jumlah 23.000.000
Jika mengacu pada versi pertama maka tagihan tersebut akan memotong PPh 23
sebesar 2% * Rp 23.000.000 = Rp. 460.000
Sehingga jumlah yang dibayarkan pengguna jasa kepada pemberi jasa adalah :
Rp. 25.300.000 – Rp 460.000 = Rp 24.840.000
Contoh
17
Biaya personil 20.000.000
jumlah 23.000.000
18
Jika mengacu pada versi kedua maka pengguna jasa akan memotong pph pasal
23sebesar 2% * Rp 2.000.000 = Rp 40.000
2.5 Implikasi Fasilitas PPh Pada Yayasan Pendidikan dan Tax Planning-nya
Kontradiktif Aturan
Melihat aturan redaksional, fasilitas ini memang khusus ditujukan pada lembaga
yangbergerak di bidang pendidikan dan atau litbang. Namun, diberlakukannya aturan ini
ternyata malah menimbulkan beberapa kejanggalan yang berpengaruh pada
penerapannya di lapangan.
Penyederhaan masalah dari dua Subjek Pajak yang tidak terlalu simetris ini justru
membuahkan masalah baru. Pasalnya, perlakuan perpajakan antara lembaga yang
bergerak di bidang pendidikan dan litbang jauh berbeda. Memberikan Pasal 6 ayat (1)
huruf f UU PPhmenyatakan bahwa biaya litbang perusahaan yang merupakan biaya yang
dapat dikurangkan adalah yang dilakukan di Indonesia. Implikasinya, biro biaya litbang
dilakukan di luar negeri maka 'merupakan biaya yang non-deductible.
19
Berbeda dengan bidang pendidikan atau pelatihan. Biaya-biaya yang terkaic
dengan beasiswa dan ‘magang yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g, tidak ada
perlakuan pajaknya. Meski dilakukan di mana pun -baik di dalam negeri atau di luar
negeri- tetap harusdijadikan sebagai biaya (biaya yang dikurangkan).
Berdasarkan uraian di atas dapat ditolak, bahwa bunyi Pasal 4. Ayat (3) huruf (m)
memang bertolak belakang dengan Pasal 6 (1) huruf (f). Jadi, alangkah baik, jika
pemerintahtidak mencampuradukkan ketentuan pembinaan bidang pendidikan dengan
bidang litbang, ke dalam satu ayat. Hal ini karena perbedaan dimensi tempat terjadi- nya
Objek PPh akan menafsirkan perbedaan dalam perlakuan perpajakannya.
Akan jauh lebih baik, Ditjen Pajak membuat satu ayat tambahan lagi-katakanlah
Pasal4 ayat (3) huruf (o) -untuk me nampung pasal yang membina “sisa lebih” dana
pembangunan gedung dan prasarana di bidang litbang. Ketimbang memaksakan
mencampur- adukkan kedua aktifitas yang kontradiktif, yang ujung-ujungnya malah
mengakibatkan ketidakpastian hukum.
Kini, nasi telah menjadi bubur. Sudah terlambat untuk mengubah ketentuan
tersebut. Masih ada satu hal yang masih dapat dilakukan, yaitu Menteri Keuangan
membuat keputusanbaru untuk “menetralisir” kontradiksi tersebut.
Salah satu lembaga pendidikan yang harus" ditolong "dalam hal perpajakan
adalah lembaga pendidikan swasta, karena inilah adalah ujung tombak pendidikan,
20
Dengan begitu mereka dapat berkiprah lebih jauh sebagai mitra pemerintah dalam
pembangunan pendidikan (agent of development).
Di beberapa negara lain, persetujuan pajak (tax holiday) bagi suatu badan yang
berorientasi prafit yang bisa diberikan hingga Cina bisa sampai 20 tahun. Apalagi bidang
pendidikan yang berorientasi jelas-jelas tidak berorientasi profit, yang diberikan harus
lebih diperhatikankan SDM itu merupakan salah satu aset besar sebuah negara? Kenapa
hanya 4 tahun masa tenggang-nya? Kenapa tidak 8 tahun misalnya? Ini bisa menjadi
masalah bagi pemerintah untuk me-review kebijakan perpajakan, masa tenggang.
Bila yayasan atau lembaga nirlaba ingin mengembangkan kualitas sekolah atau
universitasnya, agar bisa menghubungkan dan menyesuaikan dengan permintaan tenaga
kerja di industri dunia, tentu kebijakan yang cocok sekarang ini kurang mendukung.
Dengan waktu hanya 4 (empat) tahun, pihak yayasan atau lembaga nirlaba, mau tak mau
harus menaikkan uang se- kolah atau kuliah untuk menanggulangi kenaikan biaya
overhead atau biaya penyelengaraan pendidikan.
Pengenaan PPh atas selisih lebih antara tahap yang merupakan objek pajak
dengan biaya-biaya yang tidak akan berubah menjadi latar belakang (kecenderungan
untuk berinvestasi). Dengan kata lain, yayasan dapat meniadakan atau mengecilkan
selisih lebih dengan cara menurunkan harga atau tarif jasa yang dijualnya, atau
menaikkan mutu pelayanannya yang tentu saja akan menaikkan biayanya. tahun. Bahkan
di Bila pilihan mengecilkan selisih lebih ini yang diambil, yayasan ter- sebut dalam
jangka panjang akan "gagal" mengakumulasi dana dari "keuntungan (selisih lebih) yang
membantu untuk meningkatkan investasi pembangunan gedung dan prasarana
pendidikan.
Melihat hal ini, pemerintah membangun kejar -kejaran membawa dua grand
strategy nasional, yakni misi budgetair untuk peningkatan penerima- an negara dan misi
pendidikan untuk membangun dan mencerdaskan bangsa melalui program link and
match-nya. Semuaitu tergantung pada hati nurani pemegang kekuasaan (the man behind
the gun), mau dibawa ke mana pendidikan nasional itu.
21
Masih Ada Tax Planning
Meski fasilitas ini hanya berjangka 4 (empat) tahun, bukan berarti bagaimana
pendidikan dan litbang hanya berdiam diri menunggu Ditjen Pajak untuk mengubah
aturannya. Sebagai wajib pajak, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sikap kita
sendiri dalam memanfaatkan fasilitas baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Salah satu caranya adalah dengan menyusun perencanaan pajak (tax planning)
yang baik. Pada umumnya, perencanaan pajak adalah proses mengorganisasikan usaha
wajib pajak atau kelompok wajib pajak sede- mikian rupa, sepanjang hal ini
dimungkinkan oleh peraturan- undangan, schingga pajak yang terutang menjadi
seminimal mungkin.
Upaya ini, secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan
menggunakan perusahaan konstruksi, Kedua, dengan cara membangun sendiri. Dari sisi
pajak, kedua cara ini berdampak dampak perpajakan yang jauh berbeda, terutama dari
sisi pengenaan PPN-nya.
22
maka perusahaan kontraktor tersebut pasti akan memungut PPN sebesar 10%. Yang
menjadi masalah adalah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang pendidikan yang
berhubungan dengan badan yang dikategorikan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Akibatnya, meskipun telah memiliki NPWP, badan tersebut tidak mempunyai kewajiban
untuk membuar SPT Masa PPN.
Bila melihat syarat pertama, yayasan atau lembaga pendidikan nirlaba tersebut
23
bişa menyanggupinya. Dengan demikian, yayasan sudah meme- nuhi syarat untuk
kegiatanmembangun sendiri dengan tarif pengenaan PPN sebesar 10% x 40% = 4% x
jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau yang setiap bulannya. Dengan begitu, terdapat
penggerak pembayaran PPN sebesar 6%.
24
1995 tentang Penyuluhan Tentang Perla- kuan Pajak Penghasilan Bagi Yayasan atau
Organisasi yang Sejenis (Seri PPhUmum Nomor: 18), antara lain berupa:
1. Gaji/tunjangan / honorarium pimpinan / dosen / pengajar / karyawan.
2. Biaya umum / administrasifalat tulis menulis kantor.
3. Biaya publikasi / iklan.
4. Biaya kendaraan.
5. Biaya kemahasiswaan.
6. Biaya ujian semester.
7. Biaya sewa gedung dan utilitas (listrik, telepon, air).
8. Biaya laboratorium.
9. Biaya penyelenggaraan asrama.
10. Bunga bank dan biaya-biaya bank lainnya.
11. Biaya Pemeliharaan kampus.
12. Biaya penyusutan.
13. Kerugian karena penjualan / pengalihan harta.
14. Biaya penelitian dan pengembangan.
15. Biaya bea siswa dan pelatihan dosen / pengajar / karyawan.
16. Biaya pembelian buku perpustakaan dan alat olah raga dan pe- raga.
17. Anak perusahaan / bea siswa bagi siswa yang kurang mampu.
18. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi yang terkena.
25
(NPWP), pembukuan atau pencatatan , memotong dan melaporkan pajak, membayar
pajak dan melaporkan Surat pemberitahuan (SPT) sesuai dengan batas waktu
pembayaran dan pelaporan pajak yang telah digariskan. Tanggung jawab atas
pelaksanaan tertib administrasi perpajakannya, harus mem- survei dan mematuhi hal-hal
berikut ini:
Penyelenggaraan Pembukuan Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan
1. Yayasan atau organisasi sejenis yang membentuk dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan wajib membuat:
a. Pencatatan atas dana pembangunan gedung dan prasa- rana pendidikan yang
diterimadan digunakan setiap tahun.
b. Pernyataan bahwa dana pembangunan gedung dan prasarana pen- didikan yang
tidak digunakan pada tahun diterimanya akan digunakan untuk pembangunan
gedung dan prasarana pen- didikan selambat-lambatnya 4 (empat) tahun setelah
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
2. Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasejarah pendidikan
pada tahun yang dilakukan dengan mendebet rekening aktiva dan rekening dana
pembangunan
gedung dan prasa rana pendidikan, serta mengkredit rekening kas atau utang dan
mengembalikan modal yayasan.
3. Sisa lebih yayaşan setiap tahun yang akan digunakan untuk pemba- ngunan gedung
dan prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan
prasarana pendidikan.
4. Apabila pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dibiayai dengan dana
pinjaman, maka bunga atas pinjaman tersebut dapat dibebankan sebagai biaya
yayasan.
5. Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pena- didikan yang
berasal dari dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan, tidak boleh
dilakukan penyusutan berdasarkan Pasal 11 UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh
sebngaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomar 36 Tahun 2008. Penegakan
Disiplin Anggaran / Pendanaan
26
pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam jangka waktu 4 (empat) tahun
setelah berakhirnya tahun pajak diteri- manya dana tersebut.
2. Apabila setelah lewat jangka waktu tersebut, yayasan tidak menggu- nakan dana
pembangunan dan prasarana pendidikan dimaksud, maka dana pembangunan gedung
dan prasarana pendidikan tersebut sebagai pembayaran dan dikenakan PPh pada
tahun pajak berikutnya.
3. Pengenaan PPh atas dana pemhangunan dan prasarana pen- didikan yang tidak
digunakansetelah jangka waktu 4 (empat) tahun akan ditambah dengan sanksi sesuai
dengan ketentuan per- pajakan.
Tarik ulur pemajakan usaha jasa konstruksi bermula dari pemberlakuan PPh
Pasal 4 ayat (2) yang mulai marak sejak tahun 1995, menyusul di- berlakukannya UU
PPh No. 7 Tahun 1983 di mana pemerintah diberi wewenang yang sangat luas, bahkan
ada yang menyebut wewenang itu sebagai cek atau mandat kosong, untuk mengenakan
pajak final, atas berbagai macam jenis penghasilan, hingga diredam dengan
diberlakukannya UU PPh No. 36 tahun 2008, namun ambivalensi dalam pemajakan
usaha jasa konstruksi masih saja terjadi.
Di era globalisasi sekarang ini, tidak ada lagi barrier bagi keluar masuknya
industri antar daerah maupun dari mancanegara, karena itu semua unit bisnis dituntut
untuk berbenah diri agar bisa menjaga kelangsungan usahanya di tengah kompetisi yang
semakin tajam di hampir semua sektor. Suatu perusahaan dapat mengungguli kinerja
27
perusahaan lain dengan strategi yang berbeda, misalnya dengan membuat produk serupa
dengan harga yang lebih rendah, atau membuat produk yang unik sehingga konsumen
bersedia membayar harga premium yang melampaui biaya untuk menciptakan
diferensiasi produk tersebut, Dua sumber keunggulan bersaing itu menentukan
pendekatan dikotomi terhadap strategi bisnis. Sasaran keunggulan biaya adalah menjadi
pemimpin biaya dalam industri. Bila perusahaan sudah bisa membangun posisi
kepemimpinan biaya (termasuk tax cost), maka perusahaan dapat menggunakan
keunggulannya itu untuk mengalahkan kompetitornya melalui persaingan harga.
Usulan PPh final untuk jasa konstruksi mengemuka saat asosiasi Gapeksi
(Gabungan Pelaksana Konstruksi seluruh Indonesia) mengadakan kongres di Surabaya
28
dan kemudian disetujui oleh pemerintah. Pada era Fuad Bawazier menjabat sebagai
dirjen pajak (sering dijuluki sebagai "Bapak PPh final"), para pengusaha jasa konstruksi
bisa bernafas lega, mereka kembali menikmati tarif pajak penghasilan final. Perlakuan
PPh final ini dimaksudkan untuk memberi kemudahan dan kesederhanaan dalam
menghitung pengenaan Pajak Penghasilan, sehingga tidak menambah beban administrasi
wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, serta memberi kepastian hukum bagi
wajib pajak yang bergerak dibidang usaha jasa konstruksi dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya. Didasari pemikiran akan terbatasnya tenaga pemeriksa pada saat itu,
sistem final akan menghemat pengarahan tenaga pemeriksa, namun lebih dari itu Ditjen
Pajak memiliki keyakinan bahwa sistem final akan mampu mendongkrak penerimaan
pajäk, karena perusahaan untung atau rugi, tetap berlaku dasar pengenaan pajak PPh final
dari nilai pendapatan atau omzet usaha.
Gayung pun bersambut, pada akhir Desember 1996 terbit Peraturan
Pemerintah No. 73/1996 tentang PPh atas penghasilan usaha jasa konstruksi dan jasa
konsultan untuk seluruh level usaha, yang menetapkan:
• Atas imbalan jasa pelaksana konstruksi dikenakan PPh final 2% dari nilai bruto.
• Sedangkan atas jasa perencanaan, pengawasan konstruksi, dan konsultan dikenakan
4%.
• Bagi wajib pajak, tarif PPh final sangat menguntungkan jika grafik pertumbuhan
ekonomi naik saat bisnis jasa konstruksi sedang booming:
Dalam situasi ini, pelaku bisnis mampu meraup keuntungan yang besar. Pengenaan
PPh final yang sifatnya flat terhadap penghasilan bruto jauh lebih menguntungkan
dibandingkan dengan tarif progresif 10%, 15%, dan 30% sebagaimana diatur dalam
Pasal 17 UU PPh.th 2000, bahkan untuk Jasa-Jasa Kena Pajak tertentu misalnya
Usaha Jasa Konstruksi, dengan tarif yang berlaku di UU PPh No. 36 th 2008 juga
masih menguntungkan
• Pembenaran dalam penerapan sistem PPh final adalah jaminan bahwa penerimaan
pajakdari sektor ini akan meningkat dibandingkan dengan saat dikenakan tarif
umum.
• Pajak final dikenakan atas basis nilai transaksi, tanpa memandang asal-usul
29
penghasilantersebut.
• Sebaliknya bagi wajib pajak, tarif PPh final menjadi bumerang pada saat grafik
pertumbuhan ekonomi trend-nya menurun atau pada saat mereka menderita rugi,
sebab pengenaan PPh final dikenakan terhadap penghasilan bruto, bukan penghasilan
neto. Ibaratnya "maju kena mundur kena", PPh final tidak mengenal rugi usaha.
Lebih parah lagi, wajib pajak juga kehilangan hak kompensasi rugi fiskal untuk
mengompensasi kerugian yang diderita.
• Kemudahan dan kesederhanaan serta kepastian hukum dalam menghitung pengenaan
Pajak Penghasilan agar tidak menambah beban administrasi Wajib Pajak maupun
Direktorat Jenderal Pajak mengalahkan aspek pentingnya keadilan dalam pemajakan
jasa konstruksi.
30
pengawas, perencanaan dan konsultan kembali ke tarif umum, kecuali mereka yang
omzetnya di bawah Rp l miliar. Tarif untuk perusahaan skala kecil sama dengan PP
73/1996, yaitu 2% untuk jasapelaksana konstruksi, dan 4% untuk jasa perencana dan
pengawas konstruksi. Namun, jasa konsultan hilang dari PP 140/2000:
1. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT dari usaha
dibidang jasa konstruksi yang memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu kualifikasi sebagai
usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang
berwenang, dan yang mempunyai nilai pengadaan sampai 1 miliar rupiah,
dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
a. 2 % dari jumlah bruto yang diterima WP penyedia jasa pelaksanaan
konstruksi
2. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP DN dan BUT dari usaha
dibidang jasa konstruksi yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagai usaha
kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, atau
yang mempunyai nilai pengadaan sampai 1 miliar rupiah, dikenakan Pajak
Penghasilan berdasarkan ketentuan umum UU PPh dan merupakan objek
pemotongan PPh Pasal 23.
Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final (PP No. 51 tahun 2008)
ditetapkan sebagai berikut:
31
a. 2% untuk Pelaksanaan Konstruksi yang dilakukan Penyedia Jasa dengan
kualifikasi usaha kecil.
1) Untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak sampai dengan tanggal
31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan berdasarkan PP Nomor 140
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Jasa
Konstruksi.
32
sebelum tanggal 1 Agustus 2008, untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak
yang dilakukan sampai dengan tanggal 31 Desember 2008, pengenaan Pajak Penghasilan
adalah sebagai berikut:
a. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan
bentukusaha tetap dari usaha di bidang jasa konstruksi ditentukan sebagai berikut:
2) Dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi wajib pajak yang
memenuhi kualifikasi sebagai usaha kecil berdasarkan sertifikat yang
dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, serta yang mempunyai nilai
pengadaan sampai dengan. Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
b. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalamhuruf a angka 1) ditentukan sebagai berikut:
c. Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak sebagaimana dimaksud
dalam huruf a angka 2) ditentukan sebagai berikut:
1) Dikenakan pemotongan pajak yang bersifat final sesuai dengan ketentuan dalam
huruf d oleh pengguna jasa, dalam hal pengguna jasa adalah badan pemerintah,
33
subjek pajak badan dalam negeri, bentuk usaha tetap, atau orang pribadi
sebagai wajib pajak dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak
sebagai pemotong PPh Pasal 23 UU Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada saat
pembayaran uang muka dan termin.
2) Dikenakan pajak yang bersifat final sesuai ketentuan dalam huruf d, dengan cara
menyetor sendiri PPh yang terutang pada saat menerima pembayaran uang muka
dan termin, dalam hal pemberi penghasilan adalah pengguna jasa lainnya selain
yang dimaksud dalam angka 1).
d. Besarnya PPh yang terutang dan harus dipotong oleh pengguna jasa atau disetor
sendiri oleh wajib pajak penyedia jasa' yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud
dalam huruf cditetapkan sebagai berikut:
1) 4% dari jumlah bruto, yang diterima wajib pajak penyedia jasa perencanaan
konstruksi,
2) 2% dari jumlah bruto, yang diterima wajib pajak penyedia jasa pelaksanaan konstruksi;
atau
3) 4% dari jumlah bruto, yang dicerima wajib pajak penyedia jasa pengawasan
konstruksi.
1. Pasal 10A: Terhadap kontrak yang ditandatangani sebelum tanggal 1 Agustus 2008,
untuk pembayaran kontrak atau bagian dari kontrak yang dilakukan setelah tanggal
31 Desember 2008 berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh
Penyedia Jasa dan Pengguna Jasa sampai dengan tanggal 31 Desember 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10;
b. Dalam hal berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan ditandatangani oleh
34
penyedia jasa dan pengguna jasa sejak tanggal 1 Januari 2009, atau penyelesaian
pekerjaan tidak menggunakan berita acara serah terima penyelesaian pekerjaan,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan PP Nomor 51
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa
Konstruksi.
2. Pasal 10B: Terhadap kontrak yang ditandatangani sejak tanggal 1 Agustus 2008,
pengenaan Pajak Penghasilan dilakukan berdasarkan ketentuan PP Nomor 51 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi.
3. Paşal 10C: Kerugian dari usaha jasa konstruksi yang masih tersisa sampai dengan
Tahun Pajak 2008 hanya dapat dikompensasikan sampai dengan Tahun Pajak 2008.
Sekarang kita tengok dulu bagaimana UU PPh No. 36 Tahun 2008 mengatur
pemajakan penghasilan dari jasa konstruksi. Pasal 4 ayat 2 dari undang-undang ini
menetapkan penghasilan yang dapat dikenai pajak bersifat final, di mana pasal Pasal 4
ayat 2 d lebih lanjut merinci ragam penghasilan tersebut dari transaksi pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan
persewaan tanah dan atau bangunan.
• Berkurangnya beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal
Pajak.
35
Disisi lain terdapat Pasal 23 UU PPh No. 36 Tahun 2008 khususnya di pasal (1)
c yang menyebutkan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain, selain jasa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dipotong PPh sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto.
Pertanyaan, mana yang harus dipegang oleh wajib pajak untuk pemajakan usaha
jasa konstruksi, apakah menerapkan Pasal 23 UU PPh No. 36 Tahun 2008 khususnya di
pasal (1)c atau berkiblat ke Pasal 4 ayat 2 d UU PPh yang sama? Keduanya memiliki
legitimasi, dasar, dạn kepastian hukum yang sama, namun petentuan pelaksanaannya
(Peraturan Menteri Keuangan) berbeda. Dampaknya dalam praktik bisa berbeda pula,
karena para wajib pajak pasti menginginkan dan selalu mencari celah-celah (grey drea)
untuk menghindari beban pajak (yang lebih besar) dengan cara penyikapan yang bisa
berbeda. Dari sudut pandang manajemen risiko, perusahaan jasa konstruksi yang besar
cenderung memilih Pasal 4 ayat 2 d (PPh final) ketimbang Pasal 23 UU PPh No. 36 Tabur
2008, alasannya karena sepanjang menyangkut pemajakan terhadap pendapadan jasa
konstruksi, tidak ada kekhawatiran terhadap pemeriksaan pajak yang akan menimbulkan
kurang bayar pajak karena PPh nya sudah final.
36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Build-Operate-Transfer (BOT) merupakan salah satu bentuk kerjasama antara
pemerintah Dan swasta untuk pengelolaan infrastruktur, dengankata lain Bangun
Guna Serah("Built Operate and Transfer") adalah bentuk perjanjian kerjasama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberi hak kepada investor untuk mendirikan bangunan
selama masa perjanjian BOT dan mengalihkan kepemilikan bangunan kepada
pemegang hak atas tanah setelah masa gunaserah (BOT) berakhir.
Dari segi permodalan, Joint Operation tidak berbagi atas saham. Modal JO
berupa kelebihan kemampuan dari masing-masing anggotanya (Imam
Santoso:2017),yang dapat berupa Kemampuan penguasaan teknologi, Financial
support yang kuat, Spesialisasi keahlian; atau bahkan Fasilitas penugasan semata
37
Secara umum bentuk Joint Operation dalam perkembangannya terbagi menjadi
dua tipe (Imam Santoso: 2007), yaitu: Kejasama Administratif Formal (KSF) Dan
Kejasama Operasional (KSO).
Hospitality pada dasarnya adalah hubungan antara tamu dan tuan rumah, atau
tindakan yang bersikap ramah. Hal ini termasuk dalam penerimaan tamu dan hiburan
tamu, pengunjung atau orang asing. Jadi Hospitality Industry berhubungan dengan
kegiatan keramah-tamahan dalam melayani tamu, seperti : Food and Beverages, Travel
and Tourism, Lodging dan Rekreasi.
38
DAFTAR PUSTAKA
Pohan, C. A. (2014). In Manajemen Perpajakan : Strategi Perencanaan Pajak & Bisnis (Edisi Revisi).
https://www.google.com/amp/s/www.kompasiana.com/amp/krismi/5a332c3acf01b42c2229
bee5/pembiayaan-pembangunan-dengan-skema-build-operate-transfer-bot
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Bangun-guna-serah
39