Disusun untuk memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak
Dosen pengampu :
BANJARMASIN
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan lancar dan tepat pada
waktunya. Adapun makalah ini merupakan tugas mata kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak
yang mengangkat materi “Fenomena Keadilan dalam Pengenaan Sanksi Perpajakan”.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Saprudin, SE, M.Si, Ak, CA, ACPA.
dan Ibu Yohana Yustika, SE. M.S.A. selaku dosen pengampu mata kuliah Akuntansi dan
Manajemen Pajak, serta seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Meskipun begitu, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
baik secara materi maupun tutur penulisannya. Oleh karena itu, kami menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun untuk penyempurnaan penyusunan makalah di masa yang akan datang.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembacanya.
Kelompok 10
DAFTAR ISI
Tidak memungkiri bahwa langkah reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah, yang
meliputi pembaruan kebijakan dan administrasi perpajakan selama ini berhasil mendorong
peningkatan penerimaan pajak secara signifikan. Meski demikian masih banyak kendala yang
dihadapi, baik dalam bidang administrasi pemungutan pajak, pemeriksaan pajak, keberatan
pajak, keadilan pajak, serta kepatuhan wajib pajak, sebagai implikasi dari kebijakan dan
administrasi perpajakan itu sendiri. Pembaruan kebijakan perpajakan dilaksanakan antara lain
melalui amandemen UU PPh, UU PPN & PPNBM, UU KUP, dan UU Pajak lainnya.
Peran penerimaan pajak sebagai salah satu sumber penting pembiayaan negara masih perlu
ditingkatkan, sebab dibandingkan dengan negara tetangga saja tax ratio masih jauh tertinggal,
rasio penerimaan pajak masih sangat rendah. Upaya meningkatkan tax ratio ini bisa dilakukan
bila tidak cepat berpuas diri dengan pencapaian pajak sekarang ini. Harus terus melakukan
evaluasi dan penyempurnaan kebijakan perpajakan agar pelaksanaan sistem perpajakan lebih
efektif dan efisien, dan memiliki daya saing yang tinggi. Kegagalan dalam menciptakan iklim
perpajakan yang kondusif dan kompetitif, tidak saja berimbas pada hilangnya rasa keadilan
dan kepastian hukum bagi wajib pajak, tetapi juga gagalnya upaya meningkatkan kepatuhan
(tax compliance) wajib pajak dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pajak.
Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, pemungutan pajak ditetapkan dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945, yakni: Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang". Namun
dalam pelaksanaannya hal ini tidak bisa dilakukan secara semena-mena, karena harus tetap
mematuhi ketentuan lain dalam Pasal 28D UUD 1945, yakni: "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum".
Sejalan dengan itu, maka dalam penjelasan atas tentang UU No. 7 Tahun 2021 perubahan
atas UU No. 28 Tahun 2007 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) secara tegas
menyatakan, bahwa perubahan tersebut bertujuan untuk lebih memberikan rasa keadilan,
meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum,
serta mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan
material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga dimaksudkan untuk
meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi
perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
Dengan berpegang pada prinsip kepastian hukum, keadilan, dan kesederhanaan, arah dan
tujuan perubahan undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ini
mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut:
Aspek keadilan ini termanifestasikan secara konseptual seperti yang tertuang dalam Garis-
Garis Besar Haluan Negara (GBHN) negara kita tahun 1999, termasuk dalam muatan 5 (lima)
prinsip di bidang perpajakan, yaitu:
1. Transparan
2. Disiplin
3. Adil (equity)
4. Efisien
5. Efektif.
2.2. Pokok Masalah dalam Pengenaan Sanksi Perpajakan
Dengan semakin bertambahnya learning curve dari fungsionaris perpajakan, baik dari
pihak legislatif maupun eksekutif dalam memasyarakatkan pembaharuan Undang-Undang
Perpajakan hasil reformasi perpajakan sejak tahun 1983, aspek keadilan terhadap masyarakat
wajib pajak harus semakin dikedepankan. Negara tidak ada bila tidak ada masyarakat, dan
pundi-pundi negara juga tidak akan terisi bila tidak ada yang bayar pajak. Jadi, masyarakat
harus didudukkan sebagai mitra pembangunan, bukan hanya subjek pajak semata, sehingga
terjadinya suatu interaksi antara fiskus dan masyarakat wajib pajak yang saling menghidupi
(simbiosis mutualistik).
Mari kita tinjau lebih dalam dalil-dalil yang terdapat dalam UU Nomor 7 Tahun 2021
tentang Perubahan Keempat atas UU No. 06 Tahun 1983 tentang KUP Pasal 25 ayat (9) dan
Pasal 27 ayat (5d) yang menyatakan:
1) Pasal 25 ayat (9): " Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan
Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus
dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan,
dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi
utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa
denda sebesar 30% (tiga puluh persen)".
Dalam kasus dimana pengadilan pajak tidak dapat memenuhi semua banding pajak
atau bahkan kalah, wajib pajak masih diharuskan membayar sanksi pajak Pasal 25 ayat (9).
Komentar:
● Ketentuan dari pasal di atas sangat merugikan hak konstitusional wajib pajak., karena
adanya sanksi yang sangat memberatkan yang dijatuhkan terlebih dahulu secara
imperatif, tanpa melalui "proses hukum dalam proses mencari keadilan hukum".
Dengan demikian, dalil tersebut (ketentuan Pasal 25 Ayat (9)) jelas bertentangan
bahkan telah melanggar Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 27 Ayat (I) serta Pasal 28D Ayat (1)
UUD 1945 seperti diuraikan dalam pembahasan "aspek yuridis-keadilan dalam UUD
1945" dibawah ini.
● Ironisnya, dalam pembentukan UU, tidak terkecuali UU di bidang perpajakan, kita tahu
bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang dimanifestasikan dalam
UUD 1945, memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mensyaratkan
pemenuhan hak-hak konstitusi dengan senantiasa menjaga eksistensi kepastian hukum
demi tercapainya keadilan bagi setiap warga negara. Dalam contoh di atas, hak-hak
konstitusi wajib pajak terabaikan. Jika "proses hukum dalam proses mencari keadilan
hukum" adalah hak setiap warga negara, bagaimana mungkin penggunaan hak yang
dijamin secara konstitusional oleh UUD 1945, pada proses awal telah "dijatuhi"
ancaman sanksi yang sangat memberatkan? Apakah ini yang dimaksudkan keadilan di
mata hukum?
2) Pasal 27 ayat (5d): “Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan
sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak
tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan
apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak
dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) sebagaimana
dimaksud pada ayat ini”.
Komentar:
● Pasal ini bisa membangkrutkan atau mematisurikan wajib pajak pemohon. Ibarat sudah
jatuh ketimpa tangga. Denda sebesar 60% dihitung dari pokok pajak plus bunga yang
sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan Keberatan pajak, sehingga pengenaan denda
bunganya jadi berlipat-lipat. Apakah ini yang dimaksudkan keadilan dimata hukum?
Bagaimana fungsi keadilan hukum itu menempatkan masyarakat wajib pajak sebagai
mitra pembangunan jika hukum itu sendiri membuatnya mati suri? Bila perusahaan
diibaratkan tanaman buah, yang diambil oleh pajak masih sebatas buahnya saja,
tanaman masih bisa berbuah lagi, tapi bila batangnya ditebas (denda sebesar 60%),
tanaman pasti mati, karena praktis cash flow (urat nadi) perusahaan macet.
3) Pasal 13 ayat (2): Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan
sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak,
bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian
dari bulan dihitung penuh I (satu) bulan
Komentar :
Implementasi Pasal 25 ayat (9) UU No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat atas
UU No. 6 tahun 1983 tentang KUP mengandung pengenaan denda bunga berlipat-lipat
yang disebabkan pengenaan sanksi atas sanksi ex. Pasal 13 ayat (2) UU HPP.
Seperti terlihat dalam ilustrasi di bawah ini, di tahap awal pada saat diterbitkannya
SKPKB, fiskus sudah memperhitungkan pokok pajak ditambah bunga dari Pasal 13 ayat
(2) sebesar tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan; setelah terbitnya Surat Keputusan Keberatan dengan pengenaan
Pasal 25 ayat (9), berarti terjadi penambahan pengenaan sanksi atas sanksi ex. Pasal 13
ayat (2) UU HPP. Boleh saja pemerintah menegakkan fungsi budgetnya, tapi seharusnya
perilaku hukum itu benar-benar mengayomi masyarakat agar tidak terjatuh dalam
perangkap seperti praktik lintah darat (bunga berbunga)
Ilustrasi tentang adanya sanksi yang sangat merugikan hak konstitusional dan sangat
memberatkan wajib pajak perolehan atas pengenaan sanksi Pasal 25 Ayat (9) UU No. 7 Tahun
2021 tentang Perubahan Keempat Atas UU KUP No. 06 Tahun 1983, adalah sbb:
Tabel XII-1
Analisis Pengenaan Sanksi Perpajakan
Pada 'Tingkat Keberatan
Uraian Perhitungan menurut Fiskus Rp
Pokok pajak (PPh Badan 2022) 200.000.000.000
Sanksi Administratif Pasal 13 Ayat (2) menurut
SKPKB: 2% perbulan maksimal 48% (setahun 48.000.000.000
2%x12=24%)
Jumlah pajak yang harus dibayar menurut SKPKB 248.000.000.000
- Pembayaran pajak terutang sebelum
0
mengajukan keberatan
- Pembayaran pajak terutang setelah
0
mengajukan keberatan
Dari tabel Tabel Analisis Pengenaan Sanksi Perpajakan tersebut, dapat dicatat hal-hal
berikut:
1) Jumlah Pajak yang masih terutang pada tingkat keberatan harus ditambah sanksi denda
sesuai ketentuan Pasal 25 Ayat (9) UU No. 7 Tahun 2021 yang besarnya 30% dari jumlah
pajak yang masih terutang tersebut. Pembebanan sanksi yang sangat memberatkan ini
dilakukan tanpa melalui "proses mencari keadilan hukum”, yang merupakan hak
fundamental wajib pajak.
2) Pengenaan sanksi administrasi ex. Pasal 13 ayat (2) HPP 2021 sebesar 48% yang timbul
karena Surat Keterangan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), diterbitkan 2 (dua) tahun setelah
tahun pajak yang bersangkutan (2021).
3) Pengenaan sanksi Pasal 25 ayat (9) UU No. 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat
UU No. KUP 6 tahun 1983 mengandung pengenaan sanksi atas sanksi ex. Pasal 13 ayat
(2) UU KUP.
Kita menyorot dua aspek yuridis yang harus diperhatikan dalam pengenaan sanksi
perpajakan, yakni:
Sebagai hukum pajak formal, bagaimanapun juga UUD 1945 harus menjadi acuan
normatif yang sangat penting dalam penyusunan Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP), seperti pada pasal-pasal berikut ini:
● Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945: "Negara Indonesia adalah Negara hukum".
● Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya".
● Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum".
● Pasal 28 l Ayat (5) UUD) 1945: "Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan"
Setiap pertimbangan yang diambil untuk memberikan muatan keadilan pajak dalam
hukum pajak formal, seyogyanya memperhatikan rambu-rambu hukum tersebut sebagai
refleksi penegakan hukum (law enforcement) yang demokratis bagi segenap masyarakat
umumnya.
BAB III
PENUTUP
Sebagai salah satu sumber utama penerimaan negara, pemungutan pajak ditetapkan dengan
undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Hal ini sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945, yakni: Pajak dan pungutan
lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang- undang". Namun
dalam pelaksanaannya hal ini tidak bisa dilakukan secara semena-mena, karena harus tetap
mematuhi ketentuan lain dalam Pasal 28D UUD 1945, yakni: "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
di hadapan hukum".
Dengan semakin bertambahnya learning curve dari fungsionaris perpajakan, baik dari
pihak legislatif maupun eksekutif dalam memasyarakatkan pembaharuan Undang-Undang
Perpajakan hasil reformasi perpajakan sejak tahun 1983, aspek keadilan terhadap masyarakat
wajib pajak harus semakin dikedepankan. Negara tidak ada bila tidak ada masyarakat, dan
pundi-pundi negara juga tidak akan terisi bila tidak ada yang bayar pajak. Jadi, masyarakat
harus didudukkan sebagai mitra pembangunan, bukan hanya subjek pajak semata, sehingga
terjadinya suatu interaksi antara fiskus dan masyarakat wajib pajak yang saling menghidupi
(simbiosis mutualistik).
DAFTAR PUSTAKA
Pohan, Chairil Anwar. (2017). Manajemen Perpajakan : Strategi Perecanaan Pajak & Bisnis
(Edisi Revisi). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.