Anda di halaman 1dari 33

1

ETIKA BISNIS DAN PROFESI


“ETIKA DALAM PRAKTIK PERPAJAKAN”
“REVIEW ARTIKEL NASIONAL DAN ARTIKEL INTERNASIONAL”

Dosen : Dr. I Ketut Sujana, SE., M .Si., Ak.,CA


NIP : 19640518 199212 1 004

OLEH:
KELOMPOK III

Dewa Made Ananta Satria Wibawa 1981621012


Ni Made Resita Purnama Dewi 1981621014
Anak Agung Gede Pradnyana Dwipa 1981621015
Ni Luh Putu Sari Dewi 1981621017

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
2

ETIKA DALAM PERPAJAKAN AKUNTANSI

Salah satu isu etika akuntansi pajak adalah terbongkarnya kasus pelanggaran
pajak oleh KAP KPMG pada tahun 2005. The Department of Justice dan The Internal
Revenue Service (IRS), US pada tanggal 29 Agustus 2005, melaporkan pelanggaran
pajak KPMG sebagai berikut:
“KPMG telah mengakui tindakan kriminal perpajakan, dan bersedia membayar denda
dan pengembalian pajak $456 sebagai bagian dari kesepakatan untuk menunda
penuntutan perusahaan. Disamping itu, KPMG juga menyetujui 9 stafnya, termasuk 6
partner KPMG dinyatakan telah melakukan tindakan kriminal dalam bentuk konspirasi
kejahatan perpajakan”.
Apa yang dilakukan petinggi KPMG? Para wajib pajak dengan pendapatan besar atau
dengan capital gain besar dapat menurunkan kewajiban pajaknya dengan biaya 5-7%
dari jumlah kewajiban pajak yang akan dihindari. Komisioner IRS Mark Everson
mengatakan “profesional pajak seharusnya membantu orang membayar kewajiban pajak
dengan benar, tidak lebih dan tidak kurang”.
Beragam kasus konspirasi kriminal perpajakan di US dilakukan oleh para pengacara,
akuntan, bankir, penasihat investasi, sampai dengan wajib pajaknya sendiri. Kasus
kriminal bidang perpajakan tersebut diatas, adalah contoh dari pelanggaran etika bisnis
dan etika profesi yang justru dilakukan oleh para profesional di bidang akuntansi dan
perpajakan. Bentuk lain kejahatan pajak adalah seperti yang diulas dalam majalah
business week tentang BLIPS (Bond Linked Issue Premium Structures) yang dijual ke
paling tidak 186 orang kaya, dan telah mengakibatkan kerugian pajak paling tidak $5
miliar.
Cara kerja dari BLIPS adalah sebagai berikut:
1. Klien meminjam uang dari bank asing untuk membeli forex dari bank yang sama.
2. Kurang lebih 2 bulan kemudian, klien menjual forex ke bank pemberi pinjaman,
yang kemudian akan muncul phony tax loss (kerugian pajak artifisial).
3. Kerugian ini kemudian digunakan untuk mengurangi capital gain atau pendapatan
dari investasi lain.
3

Selain itu, akuntan pajak memiliki tanggung jawab publik yang besar, misalnya:
1. Jujur dalam melaporkan kewajiban pajak.
2. Tidak menjadi bagian dari pelaku konspirasi kejahatan pajak.
3. Tanda tangan akuntan adalah bukti pernyataan, yang siap di meja hijaukan, bahwa
kewajiban pajak telah dihitung dengan ketelitian tinggi, berdasarkan bukti
pendukung valid dan lengkap.
Dalam pernyataan AICPA nomor 10 dan 11, tentang Standards for Tax
Service, dikatan sebagai berikut: 10 sistem perhitungan pajak sendiri (self – assessment
tax system), hanya dapat berfungsi efektif jika pembayar pajak melaporkan
pendapatannya dengan benar dan lengkap. Sebagai pendamping atas kewajiban
pembayaran akuntan memiliki kewajiban untuk menunjukkan kewajiban legal wajib
pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tanggung jawab ini sesuai dengan sifat
dari sistem perpajakan, yaitu self-assessment system, yang menuntut wajib pajak untuk
menghitung sendiri dengan jujur dan benar kewajiban pajaknya.
Akuntan pajak, sebagai fasilitator dalam pemenuhan kewajiban pajak, dituntuk untuk
bekerja dengan spirit hukum secara kontekstual, dan bukannya dengan spirit hukum
secara tekstual untuk kemudian disiasatinya. Hukum pajak dikembangkan untuk
mencapai tujuan yang dipandang penting untuk dicapai, yaitu pemerataan pertumbuhan
ekonomi.
Namun demikian, dalam setiap hukum selalu ada celah (loopholes) yang dapat
dieksploitasi untuk kepentingan pribadi, dan jika setiap orang memanfaatkan celah
hukum, maka tujuan hukum tidak akan pernah bisa dicapai, dan yang akan terjadi
adalah kekacauan dan kebangkrutan. Hanya karena mayoritas orang tunduk pada spirit
hukum secara kontekstual dan tidak mengeksploitasi celah hukum, maka hukum dapat
tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Orang-orang yang memanfaatkan celah hukum
adalah penumpang gelap yang mengambil keuntungan orang lain.
AICPA membantu anggotanya untuk dapat memenuhi tanggung jawab
etikanya dengan mengembangkan standard yang dapat digunakan untuk mengukur
kinerja profesional anggota. Ringkasan dari Statement on Standards Tax Service (SSTS)
yang dikembangkan oleh AICPA adalah sebagai berikut:
1. Akuntan tidak boleh merekomendasikan jumlah pajak, kecuali jumlah pajak tersebut
menggambarkan jumlah realistis kewajiban pajak wajib pajak.
4

2. Akuntan harus melakukan upaya yang memadai untuk mendapatkan data dari wajib
pajak, yang diperlukan untuk menjawab seluruh pertanyaan pajak yang kemungkinan
bisa terjadi.
3. Akuntan bisa mengandalkan informasi yang disajikan oleh wajib pajak atau oleh
pihak ketiga tanpa verifikasi. Tetapi akuntan harus mempertimbangkan dengan
cermat implikasi dari informasi yang diperoleh, dan harus mengajukan petanyaan
jika informasi yang diperoleh dipandang salah, tidak lengkap, atau tidak konsisten.
4. Akuntan harus membandingkan dengan jumlah kewajiban pajak periode-periode
sebelumnya.
Jika tidak dilarang oleh undang-undang atau peraturan, akuntan dapat
menggunakan estimasi pajak yang dibuat oleh wajib pajak, terutama jika dipandang
tidak praktis untuk mendapatkan bukti-bukti pendukung, sepanjang estimasi tersebut
dipandang wajar berdasarkan data-data dan keadaan yang dipahami oleh akuntan.
Akuntan bisa merekomendasikan posisi kewajiban pajak atau membuat atau
menandatangani laporan pajak yang mengandung elemen yang menyimpang dari
ketentuan perlakuan pajak sesuai dengan administratif proceeding atau keputusan
pengadilan pajak, dalam hubungannya dengan kewajiban pajak periode sebelumnya.
Tetapi, akauntan harus mempertimbangkan terpenuhi tidaknya SSTS no.1.
Akuntan harus segera memberitahu wajib pajak jika ditemukan kesalahan
perhitungan pajak baik untuk kewajiban pajak periode yang lalu maupun periode yang
sedang berjalan. Akuntan harus memberikan rekomendasi tentang pelayanan jasa yang
harus dilakukan. Akuntan harus menggunakan kompetensi profesionalnya dengan
cermat dan seksama untuk memastikan keandalan pelayanan jasa konsultasi pajaknya
kepada klien. Sesuai dengan standard, tidak etis bagi akuntan untuk memenuhi
permintaan klien menurunkan secara signifikan kewajiban pajaknya, karena
mendandatangani Surat Pemberitahuan Pajak sama dengan menjamin bahwa jumlah
pajak terutang adalah benar dan lengkap. Akuntan yang menandatangani Surat
Pemberitahuan Pajak yang salah adalah nyata-nyata melakukan kebohongan dan juga
melakukan pelanggaran etika. Meskipun harus diakui bahwa dalam akuntansi pajak
memang terdapat area yang abu-abu serta problematik, yaitu area yang memungkinkan
untuk mensiasati sistem dan peraturan perpajakan.
5

Dalam SSTS no.1 telah dinyatakan “akuntan pajak tidak boleh


merekomendasikan atau mengambil posisi yang bersifat “mengeksploitasi” proses audit
IRS. Tetapi secara jelas apa yang bisa dikategorikan sebagai “mengeksploitasi” sistem
perpajakan?
Salah satu contoh kasus dari mengeksploitasi yaitu:
1. Kekeliruan memperlakukan item tertentu sebagai pengurang pendapatan. Kita harus
menyadari bahwa kekeliruan tersebut akan terdeteksi oleh IRS. Akankan kita
menceritkan kekeliruan tersebut kepada klien dan melaporkan kekeliruan dengan
segala konsekuensinya, atau akan membiarkan saja kekeliruan tersebut?
2. Ketika kita mengitung pajak untuk klien yang sangat kaya, yang mampu memberi fee
istimewa kepada kita. Klien tersebut ternyata sengaja menyajikan informasi yang
berakibat menurunkan kewajiban pajak secara illegal. Akankah kita meminta klien
untuk mengoreksi kesalahan atau kita akan menutup mata dan mengisis formulir
pajak sesuai dengan data yang disediakan klien?
6

ETIKA DALAM PRAKTIK PERPAJAKAN

Etika adalah prinsip moral yang memberikan pegangan bagi tingkah laku seseorang.
Seseorang bertindak secara etis bila memperhatikan dampak dari tindakannya terhadap
lingkungan sosialnya. Etika merupakan sebuah nilai luhur yang wajib dimiliki oleh
setiap individu. Berbicara perihal etika, apapun bentuknya pasti berkaitan dengan nilai.
Etika memang tak kasat mata, namun memiliki pengaruh yang luar biasa dalam segala
segi kehidupan. Ketika etika itu dikaitkan dengan perpajakan, maka akan banyak sekali
pihak yang terlibat di dalamnya. Bahkan bisa dikatakan semua pihak ada di dalamnya.
Konsultan Pajak adalah setiap orang yang dengan keahliannya dan dalam lingkungan
pekerjaannya, secara bebas dan profesional memberikan jasa perpajakan kepada Wajib
Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan
peraturan perundangundangan perpajakan.
A. AICPA Statements On Responsibilities In Tax Services
Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
1. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 1, Tax Return Positions (Posisi
Pengembalian Pajak)
Statemen ini menetapkan standar masa depan yang bisa diterapkan untuk
anggota ketika merekomendasikan tingkat pengembalian pajak dan menyiapkan
atau menandatangani surat pembayaran pajak (termasuk klaim untuk lebih bayar)
yang disimpan dengan mengenakan pajak otoritas. Karena tujuan standar ini,
suatu nilai pajak terutang, yakni antara lain:
a. Mencerminkan tingkat pengembalian pajak seperti yang mana wajib pajak
telah secara rinci membicarakannya dengan anggota atau
b. Suatu anggota mempunyai pengetahuan semua fakta yang bersifat material
dan, atas dasar fakta itu, telah menyimpulkan apakah posisinya sudah sesuai.
Karena tujuan standar ini, suatu wajib pajak adalah klien, pemberi kerja, atau
pihak ketiga lain penerima jasa pajak.
7

2. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 2, Answers to Questions on


Returns (Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian)
Statemen ini menetapkan standar yang bisa diterapkan untuk anggota
ketika menandatangani suatu pajak kembalian jika atau mempertanyakan
kelebihan pajak kembalian. Istilah questions includes meminta informasi untuk
pajak kembalian di dalam perusahaan. Instruksi, atau di dalam peraturan, ya atau
tidaknya dinyatakan format suatu pertanyaan.
3. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 3, Certain Procedural Aspects
of Preparing Returns (Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian)
Dalam menyiapkan atau menandatangani suatu pajak kembalian, suatu
anggota dengan hati jujur boleh mempercayakan, tanpa verifikasi, atas informasi
yang diberikan oleh wajib pajak atau dengan pihak ketiga. Bagaimanapun, suatu
anggota mestinya tidak mengabaikan tentang implikasi yang melengkapi
informasi tersebut dan perlu membuat pemeriksaan yang layak jika informasi
nampak seperti ada kesalahan, tidak sempurna, atau plin-plan baik di bagian
depannya atau atas dasar lain fakta tidak diketahui oleh suatu anggota. Jika hukum
perpajakan atau peraturan memaksakan suatu kondisi dengan rasa hormat, seperti
pemeliharaan buku dan arsip atau memperkuat dokumentasi wajib pajak untuk
mendukung pengurangan yang dilaporkan ke kantor pajak, suatu anggota perlu
membuat pemeriksaan yang sesuai untuk menentukan kondisi yang dijumpai
untuk memberi kepuasan kepada wajib pajak. Ketika menyiapkan suatu
kembalian pajak, suatu anggota perlu mempertimbangkan informasi yang benar
dari pajak kembalian wajib pajak lain jika informasi berkait dengan pajak
kembalian dan pertimbangannya pajak kembalian itu. Di dalam menggunakan
informasi seperti itu, suatu anggota perlu mempertimbangkan batasan-batasan
yang dikenakan oleh hukum atau aturan manapun yang berkenaan dengan
kerahasiaan.
4. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 4, Use of Estimates
(Penggunaan Estimasi)
Kecuali jika yang dilarang oleh undang-undang atau menurut peraturan,
suatu anggota boleh menggunakan taxpayer’s untuk menaksir persiapan suatu
pajak kembalian jika itu bukanlah praktis untuk memperoleh data tepat dan jika
8

anggota menentukan bahwa perkiraan yang layak adalah didasarkan pada keadaan
dan fakta saat itu yang diperlihatkan kepada anggota. Jika perkiraan dengan
taxpayer’s digunakan, mereka harus diperlihatkan dengan suatu cara yang tidak
menyiratkan ketelitian lebih besar disbanding yang ada.
5. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 5, Departure From a Position
Previously Concluded in an Administrative Proceeding or Court Decision
Pajak Kembalian berkenaan dengan memposisikan suatu item ketika
ditentukan di dalam suatu kelanjutan administratif atau keputusan
pengadilan/lingkungan tidak membatasi suatu anggota merekomendasikan dari
suatu pajak yang berbeda, kemudian memposisikannya kembali, kecuali jika
wajib pajak dalam pemeriksaan. Oleh karena itu, ketika disiapkan dalam bentuk
Statement on Responsibilities in Tax Services No.1, pajak kembalian diposisikan,
anggota boleh merekomendasikan sebuah pajak kembalian untuk memposisikan
atau menyiapkan suatu pajak kembalian yang memerlukan pemeriksaan dari suatu
item ketika disimpulkan untuk suatu kelanjutan administratif atau meramahi
keputusan berkenaan dengan suatu kembali wajib pajak.
6. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 6, Knowledge of Error: Return
Preparation (Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian)
Suatu anggota perlu menginformasikan kepada wajib pajak dengan
segera atas suatu kesalahan di dalam suatu pajak kembalian yang disimpan atau
ketika sadar akan kegaalan suatu taxpayer’s untuk memfile suatu kembalian yang
diperlukan. Seorang anggota perlu merekomendasikan ukuran yang diambil untuk
melakukan koreksi, seperti rekomendasi yang diberi dengan lisan. Anggota
tidaklah diwajibkan untuk menginformasikannya untuk mengenakan pajak
otoritas, dan suatu anggota tidak boleh melakukannya tanpa ijin taxpayer’s,
kecuali ketika yang diperlukan di depan hukum. Jika suatu anggota diminta untuk
kembalian untuk tahun sekarang dan wajib pajak belum mengambil tindakan yang
sesuai untuk mengoreksi suatu kesalahan utama di dalam suatu tahun kembalian,
anggota perlu mempertimbangkan apakah untuk menarik dari menyiapkan
kembalian itu dan apakah suatu professional melanjutkan hubungan atau
hubungan ketenaga-kerjaan dengan wajib pajak itu. Jika anggota menyiapkan,
9

seperti itu kembalian tahun ini, anggota perlu mengambil langkah-langkah layak
untuk memastikan bahwa kesalahan itu tidaklah diulangi.
7. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 7, Knowledge of Error:
Administrative Proceedings (Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi)
Jika suatu anggota sedang mewakili suatu wajib pajak di dalam
administratifnya untuk suatu kembalian yang berisi suatu kesalahan, maka
anggota perlu menginformasikannya kepada wajib pajak itu. Anggota perlu
merekomendasikan ukuran yang akan diambil untuk mengoreksinya, yang
mungkin diberi dengan lisan. Suatu anggota bukan diwajibkan untuk
menginformasikan hal itu mengenakan pajak otoritas maupun mengijinkan untuk
melakukannya tanpa ijin tax payer’s, kecuali jika yang diperlukan di depan
hukum. Suatu anggota perlu meminta persetujuan tax payer’s untuk
menyingkapkan kesalahan kepada pajak authority.
8. Statement on Responsibilities in Tax Services No. 8, Form and Content of Advice
to Taxpayers (Format dan isi nasihat pada klien)
Suatu anggota perlu menggunakan pertimbangan untuk memastikan
bahwa petunjuk pajak yang disajikan ke suatu wajib pajak mencerminkan
kemampuan/wewenang profesional dan sewajarnya melayani kebutuhan
taxpayer’s. Suatu anggota tidaklah diperlukan untuk mengikuti suatu bentuk
standar atau petunjuk dalam berkomunikasi lisan atau tertulisdalam memberi
petunjuk kepada suatu wajib pajak. Suatu anggota perlu berasumsi bahwa
petunjuk pajak yang disajikan ke suatu wajib pajak akan mempengaruhi cara di
mana berbagai hal atau transaksi yang akan dipertimbangkan. Oleh karena itu,
untuk semua petunjuk pajak diberikan kepada suatu wajib pajak, suatu anggota
perlu mengikuti aturan yang baku dalam Statement on Responsibilities in Tax
Services No. 1. Suatu anggota tidak punya kewajiban untuk berkomunikasi
dengan suatu wajib pajak ketika pengembangan yang berikutnya mempengaruhi
petunjuk yang sebelumnya menyajikan berbagai hal penting, kecuali sedang
membantu seorang wajib pajak di dalam menerapkan prosedur atau rencana yang
berhubungan dengan petunjuk menyajikan atau ketika suatu anggota melakukan
kewajiban ini dengan persetujuan spesifik.
10

B. KODE ETIK KONSULTAN PAJAK


1. Kode Etik IKPI
a. Kode Etik IKPI adalah kaidah moral yang menjadi pedoman dalam berfikir,
bersikap dan bertindak bagi setiap anggota IKPI.
b. Setiap anggota IKPI wajib menjaga citra martabat profesi dengan senantiasa
berpegang pada Kode Etik IKPI.
c. Kode Etik IKPI juga mengatur sanksi terhadap tidak dipenuhinya kewajiban
atau dilanggarnya larangan oleh anggota IKPI. Konsultan Pajak Indonesia
wajib:
1) Setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
2) Patuh pada hukum dan peraturan perpajakan, serta menjunjung tinggi
integritas, martabat dan kehormatan profesi Konsultan Pajak.
3) Melakukan tugas profesi dengan penuh tanggung jawab, dedikasi tinggi dan
independen.
4) Menjaga kerahasiaan dalam menjalankan profesi. Konsultan Pajak
Indonesia dilarang:
a) Melakukan kegiatan profesi lain yang terikat dengan pekerjaan sebagai
pegawai negeri, kecuali dibidang riset, pengkajian dan pendidikan.
b) Meminjamkan ijin praktik untuk digunakan oleh pihak lain.
c) Menugaskan karyawannya atau pihak lain yang tidak menguasai
pengetahuan perpajakan untuk bertindak, memberikan nasehat dan
menangani urusan perpajakan.
2. Dalam Hal Hubungan Dengan Teman Seprofesi
Konsultan Pajak Indonesia dilarang:
a. Menarik pelanggan yang diketahui bahwa pelanggan tersebut merupakan
pelanggan Konsultan Pajak lain.
b. Membujuk karyawan dari Konsultan Pajak lain untuk pindah menjadi
karyawannya.
c. Menerima pelanggan pindahan dari Konsultan Pajak lain tanpa
memberitahukan kepada Konsultan Pajak lain tersebut, dan harus secara jelas
11

dan meyakinkan secara legal bahwa pelanggan tersebut telah mencabut


kuasanya dari Konsultan Pajak lain tersebut.
3. Dalam Hal Hubungan Dengan Wajib Pajak
Konsultan Pajak Indonesia wajib:
a. Menjunjung tinggi integritas, martabat dan kehormatan dengan memelihara
kepercayaan masyarakat; bersikap jujur dan berterus terang tanpa
mengorbankan rahasia penerima jasa; dapat menerima kesalahan yang tidak
disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak boleh menerima
kecurangan atau mengorbankan prinsip; mampu melihat mana yang benar, adil
dan mengikuti prinsip obyektivitas dan kehatihatian.
b. Bersikap profesional: senantiasa menggunakan pertimbangan moral dalam
pemberian jasa yang dilakukan; senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan dan menghormati kepercayaan masyarakat dan pemerintah;
melaksanakan kewajibannya dengan penuh kehati-hatian, dan mempunyai
kewajiban mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan.
c. Menjaga kerahasiaan dalam hubungan dengan Wajib Pajak: Harus
menghormati dan menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
menjalankan jasanya, dan tidak menggunakan atau mengungkapkan informasi
tersebut tanpa persetujuan, kecuali ada hak atau kewajiban legal profesional
yang legal atau hukum atau atas perintah pengadilan untuk
mengungkapkannya. Anggota mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa
staf atau karyawan maupun pihak lain dalam pengawasannya dan pihak lain
yang diminta nasihat dan bantuannya tetap menghormati dan menjaga prinsip
kerahasiaan. Konsultan Pajak Indonesia dilarang:
1) Memberikan petunjuk atau keterangan yang dapat menyesatkan Wajib Pajak
mengenai pekerjaan yang sedang dilakukan.
2) Memberikan jaminan kepada Wajib Pajak bahwa pekerjaan yang
berhubungan dengan instansi perpajakan pasti dapat diselesaikan.
3) Menetapkan syarat-syarat yang membatasi kebebasan Wajib Pajak untuk
pindah atau memilih Konsultan Pajak lain.
12

4) Menerima setiap ajakan dari pihak manapun untuk melakukan tindakan


yang diketahui atau patut diketahui melanggar peraturan
perundangundangan perpajakan.
5) Menerima permintaan Wajib Pajak atau pihak lain untuk melakukan
rekayasa atau perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perpajakan.
4. Dalam Hal Publikasi
Konsultan Pajak Indonesia wajib mengikuti ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Nama kantor konsultan pajak yang dicantumkan pada papan nama adalah
sesuai dengan nama yang tercantum dalam ijin praktek dari Menteri
Keuangan/Direktur Jenderal Pajak.
b. Pada papan nama harus dicantumkan nomor ijin praktek Konsultan Pajak.
c. Apabila Konsultan Pajak berbentuk persekutuan, Nomor ijin praktek yang
harus dicantumkan pada papan nama adalah nomor ijin praktek salah seorang
dari anggota persekutuan.
d. Ukuran dan warna papan nama disesuaikan dengan kebutuhan.
e. Konsultan Pajak Indonesia dilarang memasang iklan untuk mendapatkan
pelanggan.
5. Sanksi Atas Pelanggaran Kode Etik Profesi
Pasal 13 Kode Etik Konsultan Pajak menegaskan:
a. Sanksi terhadap pelanggaran Kode Etik antar lain berupa:
1) Teguran tertulis,
2) Pemberhentian sementara,
3) Pemberhentian tetap.
b. Sebelum sanksi yang tersebut pada ayat (1) di atas diberikan, anggota IKPI
yang bersangkutan harus diberi kesempatan membela diri dalam rapat Majelis
Kehormatan dan anggota tersebut dapat disertai oleh sebanyak-banyaknya 3
(tiga) orang anggota IKPI lainnya sebagai pendamping.
c. Dalam hal keputusan sanksi pemberhentian tetap, maka keputusan tersebut
baru berlaku setelah yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela
diri di depan Kongres.
d. Keputusan Kongres merupakan keputusan final dan mengikat. Kewajiban
Konsultan Pajak Menurut Pasal 10 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
13

98/Pmk.03/2005 Tanggal 13 Oktober 2005 Tentang Perubahan Atas Pmk


Nomor 485/Kmk.03/2003 Tentang Konsultan Pajak Indonesia.
6. Kewajiban Konsultan Pajak:
a. Konsultan Pajak wajib mematuhi semua peraturan perundang-undangan
perpajakan.
b. Konsultan Pajak wajib menyampaikan kepada Wajib Pajak agar melaksanakan
hak dan kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
c. Dalam mengurus pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dari
Wajib Pajak, setiap Konsultan Pajak wajib:
1) Memiliki Izin Praktek Konsultan Pajak yang masih berlaku;
2) Memiliki Surat Kuasa Khusus dari Wajib Pajak dan Surat Pernyataan
dengan bentuk sebagaimana ditetapkan dalam peraturan ini.
14

DAFTAR PUSTAKA

Duska, Ronald; Brenda Shay Duska; & Julie Anne Ragatz. 2011. Accounting Ethics. 2nd
Edition.United Kingdom: Wiley-Blackwell.
Gayatri. 2020. Etika Bisnis & Profesi. CV Alif Gemilang Pressindo
15

KASUS PT EK PRIMA EKSPOR

A. KRONOLOGIS

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT EK Prima Ekspor Indonesia (PT


EKP) Ramapanicker Rajamohan Nair alias Rajesh menjalani sidang perdana di
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 13 Februari 2017. Ia didakwa
menyuap Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Pajak Direktorat Penegakan
Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Handang Soekarno,
sebesar US$ 148.500 atau setara dengan Rp 1,9 miliar. Jaksa penuntut umum pada
KPK menyebut suap ini diberikan agar Handang mempercepat penyelesaian
permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP.
"Terdakwa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara
dengan maksud supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya," kata jaksa Ali Fikri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,
Senin, 13 Februari 2017.
PT EKP yang terdaftar sebagai wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak
Penanaman Modal Asing Kalibata (KPP PMA Enam) tercatat memiliki sejumlah
permasalahan pajak pada kurun 2015 sampai 2016. Di antaranya adalah pengajuan
pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi), surat tagihan pajak pajak
pertambahan nilai, penolakan pengampunan pajak, pencabutan pengukuhan
pengusaha kena pajak, dan pemeriksaan bukti permulaan.
Terkait dengan restitusi pajak periode 2012 sampai dengan Desember 2014
sebesar Rp 3,5 miliar, terdakwa mengajukan permohonan pengembalian pada 26
Agustus 2015 ke KPP PMA.
Pada Juni 2016, KPP PMA Enam mengimbau PT EKP agar melunasi PPN
atas pembelian kacang mete gelondong tahun 2014 sebesar Rp 36,8 miliar, dan tahun
2015 sebesar Rp 22,4 miliar. Sebelumnya KPP PMA Enam memperoleh informasi
dari KPP Maumere bahwa PT EKP membeli barang kena pajak dari pedagang yang
belum dikenakan PPN. Namun, pada 30 Juni 2016 terdakwa mengajukan keberatan
ke KPP PMA Enam yang intinya tidak sependapat dengan klarifikasi tersebut.
16

Pada 19 Agustus 2016, Chief Accounting PT EKP Siswanto memenuhi


undangan Johnny Sirait, Kepala KPP PMA Enam. Pada pertemuan itu Johnny
menyarankan agar PT EKP mengikuti program tax amnesty. Tapi, hingga batas
waktu yang ditentukan, PT EKP tidak mengajukan tax amnesty.
Awal September 2016, terdakwa memasukkan surat penyataan harta (SPH)
sebagai salah syarat tax amnesty. Namun ditolak karena PT EKP mempunyai
tunggakan pajak untuk Desember 2014 sebesar Rp 52,3 miliar, dan untuk Desember
2015 sebesar Rp 26,4 miliar.
Selanjutnya pada 7 September 2016, Johnny Sirait juga menginstruksikan
pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana perpajakan atas nama PT EKP tahun
pajak 2012-2014 kepada Kepala Kanwil DJP Jakarta Khusus, karena adanya dugaan
ekspor yang tidak benar dan penyalahgunaan faktur fiktif.
Masalah pajak PT EKP tak berhenti di situ. Pada 20 September 2016,
Kepala KPP PMA Enam Soniman Budi Raharjo mengeluarkan surat pencabutan
pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) karena adanya dugaan PT EKP tidak
mempergunakan PKP sesuai ketentuan. Sehingga ada indikasi restitusi yang diajukan
tidak sebagaimana mestinya.
Karena permasalahan pajak yang rumit, Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta
Khusus Muhammad Haniv menyarankan terdakwa menemui Handang Soekarno
untuk meminta bantuan. Selanjutnya, terdakwa meminta bantuan Arif Budi Sulystio
dengan mengirimkan dokumen-dokumen pajaknya melalui pesan Whats App.
Pada 4 Oktober 2016, atas arahan Dirjen Pajak Ken Dwijugeasteadi,
Muhammad Haniv memerintahkan Johnny Sirait agar membatalkan surat pencabutan
pengukuhan PKP PT EKP. Keesokan harinya KPP PMA Enam pun menindaklanjuti
permintaan itu dengan mengeluarkan surat pembatalan pencabutan pengukuhan PKP
PT EKP.
Sehari setelah surat pembatalan keluar, terdakwa bersama Siswanto bertemu
dengan Handang di lantai 13 Gedung Utama Kantor Pusat Dirjen Pajak. Pada
pertemuan itu, terdakwa meminta Handang membantu menyelesaikan masalah pajak
PT EKP lainnya. Atas permintaan itu, Handang menyarankan agar terdakwa
menyelesaikan surat tagihan pajak lebih dulu.
17

Besoknya, Handang mengabarkan bahwa permintaan pembatalan surat


tagihan pajak yang diajukan terdakwa pada 21 September 2016 akan diproses.
Handang pun berjanji untuk membantu dan akan menemui pihak-pihak terkait di
Kanwil DJP Jakarta Khusus.
Pada 20 Oktober 2016 malam, terdakwa bersama Siswanto bertemu
Handang di Nippon Khan Hotel Sultan Jakarta. Dalam pertemuan itu terdakwa
menjanjikan uang 10 persen dari total nilai STP PPN senilai Rp 52,3 miliar. Setelah
negosiasi, akhirnya disepakati uang yang akan diberikan Rp 6 miliar. Uang tersebut
sudah termasuk upah untuk Haniv.
Beberapa hari setelah pertemuan, Haniv menerbitkan pembatalan Surat
Tagihan Pajak PT EKP untuk masa pajak 2014 dan 2015. Handang kemudian
menagih uang yang dijanjikan terdakwa.
Pada 18 November, terdakwa menyerahkan uang Rp 2 miliar melalui
Dinesh Kumar Raghuvaran, Kepala Cabang Utama PT EKP Surabaya, kepada
Yustinus Heri Sulistyo, pegawai pajak Kanwil DJP Jawa Timur I, sekaligus orang
kepercayaan Handang. Karena uang tersebut dikemas dalam dua koper besar,
Handang meminta terdakwa menukarnya dalam pecahan dollar Amerika.
Selanjutnya pada 21 November, terdakwa menukar uang tersebut di BENS
Money Changer, Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Kemudian Yuli Kanestren
mengambil uang yang sudah ditukar menjadi US$ 148.500 dan diserahkan kepada
Ramila, istri terdakwa.
Malam harinya, Handang mendatangi rumah terdakwa di Springhill Golf
Residence D7 Blok BVH B3 Kemayoran untuk mengambil uang. Sesaat setelah uang
berpindah tangan, keduanya dicokok penyidik KPK.
Atas perbuatannya, Rajamohan didakwa melanggar Pasal 5 Ayat 1 huruf a
atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan
ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
18

B. KASUS PT. EK PRIMA SURABAYA DALAM PERSEPSI ETIKA


PERPAJAKAN

Melihat dari kasus yang terjadi pada PT. EK PRIMA SURABAYA sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam kronologis tersebut di atas , maka ada beberapa hal dari
sudut etika perpajakan yang dapat di uraikan sebagai berikut :

1. Pada Kasus PT.EK PRIMA SURABAYA, telah terjadi pelanggaran etika


perpajakan yang dilakukan oleh manajemen dengan melakukan penyuapan berupa
memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara dengan maksud
supaya orang tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya. Dalam
hal ini Kepala Cabang PT. EK Prima Surabaya telah melakukan pelanggaran etika
dengan menjanjikan sesuatu kepada Handang selaku penyelenggaran Negara pada
KPP PMA Enam untuk dapat membantu menyelesaikan kasus perpajakan pada
PT EK PRIMA SURABAYA dengan melakukan konsolidasi untuk penghapusan
tagihan pajak selama tahun 2015-2016.
2. Jika dilihat dari sudut penyelenggara Negara yang menerima suap, Handang
selaku Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Pajak Direktorat Penegakan
Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, terbukti telah
melakukan pelanggaran etika perpajakan dengan menerima setiap ajakan dari
pihak manapun untuk melakukan tindakan yang diketahui atau patut diketahui
melanggar peraturan perundang undangan perpajakan serta melakukan rekayasa
atau perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perpajakan.
19

REVIEW ARTIKEL NASIONAL


Judul : Pengalaman Memoderasi Pengaruh Idealisme dan Komitmen pada
Keputusan Etis Konsultan Pajak di Wilayah Provinsi Bali
Penulis : Made Gede Wirakusuma
Publikasi : Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis (JIAB), 2019. ISSN: 2303-1018

1. Latar Belakang (Area of Interest)


Seringkali kasus pelaporan pajak muncul akibat kurangnya pemahaman
wajib pajak atas aturan perpajakan sehingga peran konsultan pajak sangat diperlukan
oleh wajib pajak, terlebih lagi ketika ada kebijakan baru terkait perpajakan oleh
pemerintah Indonesia, seperti Tax Amnesty Juli 2016 lalu. Kecenderungan wajib
pajak membutuhkan konsultan pajak dengan tujuan untuk akurasi pelaporan, untuk
meminimalkan pajak, adanya ketakutan terhadap sanksi, termasuk juga karena alasan
ketidakcukupan waktu. Dengan demikian, profesi konsultan pajak menjadi sangat
penting namun dilematis karena berbagai kebutuhan wajib pajak berpotensi
bertentangan dengan peraturan sehingga dapat mempengaruhi kredibilitas dan
integritas diri.
Achmad (2014) menyatakan bahwa Profesi ideal konsultan pajak harus
memiliki independensi, profesionalisme, dan integritas dalam menjalankan bisnis
jasanya. Blanthorne et al. (2014) menyatakan bahwa adanya masalah dual agency
pada hubungan antara konsultan pajak dengan klien; di satu sisi konsultan pajak
perlu membina hubungan baik dengan klien, namun disisi lain konsultan pajak
memiliki kewajiban untuk mematuhi peraturan pajak. Dilema etis bagi konsultan
pajak adalah harus membuat suatu keputusan yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip profesinya sementara imbalan ekonomis cukup material dan mempengaruhi
kelanjutan jasa yang diberikan.
Dilema etika bagi suatu profesi dapat diatasi dengan beberapa faktor, seperti
orientasi etika yang dibentuk oleh idealisme diri agar mampu menjaga independensi
dan integritas diri dalam membuat suatu keputusan. Sementara dilemma etika dapat
diatasi dengan komitmen profesional yang mengandung loyalitas pada profesi yang
dimiliki oleh individu. Di sisi lain, pengalaman juga memberikan dampak pada setiap
20

keputusan yang diambil oleh konsultan pajak. Konsultan pajak yang berpengalaman
cenderung akan lebih berani dan lebih cepat dalam mengambil keputusan, mengingat
pengalaman yang dimiliki dalam hal perpajakan. Namun sebaliknya, konsultan pajak
dengan pengalaman yang tidak terlalu lama akan lebih berhati-hati dalam
pengambilan keputusan karena kurangnya pengalaman tersebut.
Beberapa penelitian terkait keputusan etis telah dilakukan sebelumnya,
seperti penelitian Shaub et al. (1993); Fallah (2006); Gusti dan Syahril (2007); Aziza
dan Salim (2007); Januarti (2011); Abdurrahman dan Yuliani (2011); Uyar dan Ozer
(2011); dan Ashari (2013). Terdapat inkonsistensi hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa keputusan etis seorang professional (konsultan pajak) sehingga menjadi
sebuah fenomena yang menarik untuk diungkapkan lebih lanjut. Penelitian ini
menguji adanya peran pengalaman yang dapat memperkuat pengaruh idealisme dan
komitmen professional pada keputusan etis yang dibuat oleh konsultan pajak di
wilayah Bali.
2. Fenomena (Phenomena)
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/ PMK.03/2014 Pasal 28 dan 29
mengatur pengawasan yang sangat ketat bagi para konsultan pajak. Telah terbukti
beberapa konsultan pajak yang ada di kota-kota besar harus dibekukan dan bahkan
dicabut ijinnya karena klien yang ditangani terbukti melanggar ketentuan perpajakan
dan berkasus pidana.Selain pelanggaran kode etik yang menjurus pada pelanggaran
pidana, terdapat pelanggaran etik lain juga seperti perebutan klien meskipun sudah
diatur secara jelas dalam AD/ART IKPI tentang Kode Etik Konsultan Pajak.
3. Rumusan Masalah (Research Questions)
Apakah ada peran pengalaman yang dapat memperkuat pengaruh idealisme dan
komitmen professional pada keputusan etis yang dibuat oleh konsultan pajak di
wilayah Bali?
4. Tinjauan Pustaka
a. Landasan Teori (Theory Foundation)
Teori Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Development)
Teori Teori perkembangan moral kognitif (Cognitive Moral Development) oleh
Kohlberg (1969) dengan tahapan perkembangan moral seseorang yakni antara
lain:
21

Level 1 : Pre-Conventional. Menghindari pelanggaran aturan untuk menghindari


hukuman atau kerugian. Kekuatan otoritas superior menentukan “right”.
Mengikuti aturan ketika sesuai dengan kepentingan pribadi dan membiarkan pihak
lain melakukan hal yang sama. “right” didefinisikan dengan equal exchange, suatu
kesepakatan yang fair.
Level 2 : Conventional. Memperlihatkan stereotype peilaku yang baik. Berbuat
sesuai dengan apa uyang diharapkan pihak lain. Mengikuti aturan hukum dan
masyarakat (sosial, legal, dan system keagamaan) dalam usaha untuk memelihara
kesejahteraan masyarakat.
Level 3 : Post-Conventional. Mempertimbangkan kebaikan masyarakat, akan
tetapi masih menekankan aturan dan hukum. Bertindak sesuai dengan pemilihan
pribadi prinsip etika keadilan dan hak (perspektif rasionalitas individu yang
mengakui sifat moral).
b. Hipotesis Penelitian (Hypothesis)
Adapun hipotesis-hipotesis dalam penelitian ini, yakni antara lain:
H1 : Pengalaman memperkuat pengaruh idealisme pada keputusan etis
konsultan pajak yang terdaftar di Wilayah Provinsi Bali.
H2 : Pengalaman memperkuat pengaruh komitmen pada keputusan etis
konsultan pajak yang terdaftar di Wilayah Provinsi Bali.
5. Metodologi Penelitian (Methodology)
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan kepada para konsultan pajak bersertifikasi di
wilayah Provinsi Bali sebagai responden penelitian. Bali sebagai wilayah yang
memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi dengan tingkat heterogenitas
pengusaha atau usaha, sudah tentu membutuhkan jasa para konsultan pajak guna
memenuhi kewajiban kepada Negara.
b. Jenis dan Sumber Data
Jenis data berdasarkan sifatnya dalam penelitian ini adalah data kualitatif
yang dikuantifikasi. Berdasarkan sumbernya, penelitian ini menggunakan data
primer berupa data yang dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner.
22

c. Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi penelitian ini adalah para konsultan pajak yang ada di seluruh
wilayah provinsi Bali.Sampel penelitian ditentukan dengan metode purposive
random sampling yaitu konsultan pajak di wilayah Bali yang bersertifikasi.
d. Identifikasi Variabel
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah keputusan etis, sementara
variabel independen adalah idealism dan komitmen professional, sedangkan
variabel pemoderasi adalah pengalaman dari para konsultan pajak.
e. Definisi Operasional Variabel
Pengukuran variabel menggunakan skala Likert empat poin untuk
mengukur sikap, pendapat, dan persepsi responden tentang fenomena sosial, dan
jika skala ini digunakan dalam pengukuran akan menghasilkan data interval atau
rasio (Sugiyono,2009).
1) Pembuatan Keputusan Etis (Y)
Variabel pembuatan keputusan etis (Y) diukur dengan menggunakan
empat skenario kasus yang merupakan modifikasi dari pengukuran pembuatan
keputusan etis dalam penelitian Abdurrahman dan Yuliani (2011), dengan
indikator Fleksibilitas, Kepatuhan terhadap peraturan, Pemenuhan kepentingan
klien, dan Sabotase klien rekan seprofesi.
2) Idealisme (X1)
Penelitian yang dilakukan oleh Januarti (2011) membuat pernyataan
untuk pengukuran idealisme dengan mengacu pada suatu hal yang dipercaya
oleh individu yang tidak melanggar nilai-nilai moral, dengan indikator Evaluasi
tindakan, Toleransi, Tindakan fisik dan psikologis, dan Penilaian moral.
3) Komitmen (X2)
Komitmen profesional diukur dengan menggunakan enam item
pernyataan yang dikembangkan dari penelitian Januarti (2011), dengan
indikator Kesadaran dan sukarela, Kebanggaan padaprofesi, Motivasi,
Pengorbanan, Pengembangan diri, dan Kepedulian pada profesi.
4) Pengalaman (X3)
Variabel pengalaman diukur dengan menggunakan 4 indikator yang
dikembangkan Gusnardi (2003) meliputi, jabatan, lama bekerja, peningkatan
23

keahlian, pelatihan yang pernah diikuti, serta jumlah klien (wajib pajak) yang
pernah ditangani.
f. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah Moderated Regression Analysis (MRA).
Sebelum dilakukan pengujian, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yaitu
Uji Normalitas, dan Heteroskedastisitas.
6. Hasil dan Pembahasan Penelitian (Findings)
Adapun hasil penelitian yakni antara lain:
a. Uji Validitas menunjukkan tidak ada masalah dengan validitas setiap pernyataan
yang dikandung instrumen untuk mengukur semua variabel dalam penelitian
ini.Untuk uji reliabilitas instrumen menunjukkan nilai Cronbach Alpha di atas
0,70 sehingga dapat disimpulkan bahwa semua variabel dalam penelitian ini
adalah andal/reliabel.
b. Hasil uji normalitas menunjukkan nilai Kolmogorov-Smirnov adalah 0,448 dan
koefisien Asymp.sig (2-tailed) = 0,988, lebih besar dari α= 0,05 artinya, semua
variabel dalam penelitian ini berdistribusi normal. Uji heteroskedastisitas
dianalisis melalui uji Glejser dan menunjukkan variabel idealisme, komitmen
profesional dan skeptisme profesional tidak berpengaruh signifikan terhadap
pembuatan keputusan etis, karena signifikansi setiap variabel bebas lebih dari
taraf nyata (a) yaitu 5%. Jadi dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi
heteroskedastisitas.
c. Analisis model fit (kelayakan model) menunjukkan nilai Adjusted R square (R2)
yang memadai sebesar 0,441 yang berarti bahwa variasi variabel keputusan etis
dijelaskan sebesar 44,1% oleh variasi variabel idealism, komitmen professional,
pengalaman dan interaksi idealism-pengalaman serta interaksi komitmen-
pengalaman. Nilai F sebesar 15,069 dengan nilai signifikansi 0,000 yang lebih
kecil dari 5% mengindikasikan bahwa variabel idealisme, komitmen professional,
pengalaman dan interaksi idealism-pengalaman serta interaksi komitmen-
pengalaman berpengaruh secara serempak pada pembuatan keputusan etis pada
tingkat signifikansi 5%, atau dapat dikatakan model fit.
d. Pengujian Hipotesis 1 menunjukkan koefisien regresi interaksi
idealisme*pengalaman bernilai positif dengan signifikansi 0.042 (lebih kecil dari
24

5%) mengindikasikan adanya pengaruh pengalaman konsultan pajak pada


hubungan idealisme dan keputusan etis. Semakin tinggi idealisme seorang
konsultan pajak maka akan semakin tinggi mempengaruhi keputusan etis yang
dibuatnya seiring dengan semakin berpengalamannya konsultan pajak tersebut.
e. Hipotesis kedua (H2) menyatakan bahwa pengalaman memoderasi pengaruh
komitmen profesional pada pembuatan keputusan etis konsultan pajak di wilayah
Bali. Hasil pengujian menunjukkan pengalaman tidak memperkuat pengaruh
komitmen profesional pada pembuatan keputusan etis. Dengan kata lain,
tingginya komitmen dari konsultan pajak terhadap profesinya, tidak
mempengaruhi keputusan yang dibuatnya akan semakin etis tanpa memperhatikan
tingkat pengalaman yang dimiliki.
7. Simpulan (Conclusions)
Berdasarkan hasil pengujian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan
bahwa (1) Pengalaman konsultan pajak memperkuat secara positif hubungan antara
idealisme dan pembuatan keputusan etis. Semakin tinggi idealisme seorang
konsultan pajak maka akan semakin tinggi mempengaruhi keputusan etis yang
dibuatnya seiring dengan semakin berpengalamannya konsultan pajak tersebut. (2)
Pengalaman tidak memperkuat pengaruh komitmen profesional pada pembuatan
keputusan etis. Tingginya komitmen dari konsultan pajak terhadap profesinya, tidak
mempengaruhi keputusan yang dibuatnya akan semakin etis sekalipun tingkat
pengalaman yang dimiliki cukup tinggi. Namun demikian, terdapat hubungan positif
yang mencerminkan bahwa sesungguhnya semakin tinggi komitmen professional
seorang konsultan pajak maka akan semakin tinggi pertimbangan etis dalam
pembuatan keputusannya, seiring pula dengan tingginya tingkat pengalaman yang
dimiliki.
8. Pengembangan (Further Research)
Berdasarkan respon dari responden terkait idealisme, maka perlu
ditingkatkan pemahaman seorang konsultan pajak dalam menerapkan peraturan
perpajakan yang berlaku sehingga diharapkan mampu menjaga idealism dalam
menjalankan profesinya. Demikian pula terkait pengalaman, konsultan pajak
diharapkan untuk meningkatkan jumlah wajib pajak dan tingkat kompleksitas wajib
pajak yang ditangani. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengembangkan
25

penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pembuatan keputusan etis


konsultan pajak dengan memperhatikan kondisi eksternal atau lingkungan.
9. Critical Review
a. Strong Points
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Berdasarkan penelitian tersebut, jika ditinjau dari segi penulisan. Peneliti
sudah mencantumkan abstraksi dengan sangat ringkas, padat dan jelas.
Sehingga memudahkan semua pihak yang bersangkutan untuk mengetahui
inti dari penelitian tersebut.
b) Berdasarkan penelitian tersebut, hasil penelitian sudah menjawab sesuai
dengan apa yang sudah dihipotesiskan terlebih dahulu.
2) Ditinjau dari Segi Materi
a) Berdasarkan penelitian tersebut jika ditinjau dari segi materi, peneliti sudah
sangat jelas menjelaskan mengenai teori utama (grand theory) yang
digunakan. Dimana dalam penelitian ini menggunakan teori perkembangan
moral kognitif (Cognitive Moral Development).
b) Ditinjau dari segi materi, sudah menjelaskan dengan jelas dan ringkas
mengenai hubungan teori utama dan pokok permasalahan yang terjadi.
Penulisan hipotesis sudah cukup jelas, dimana hipotesis dalam penelitian ini
sudah menjelaskan bagaimana proses untuk memperoleh hipotesis tersebut.
c) Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini sudah sesuai dengan
rumusan masalah yang diteliti. Dimana dalam penelitian ini teknik analisis
data yang digunakan adalah Moderated Regression Analysis (MRA).
b. Weakness Points
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Berdasarkan penelitian tersebut, jika ditinjau dari segi penulisan penelitian
ini belum menunjukkan konsistensi antara rumusan masalah, hipotesis, hasil
penelitian dan kesimpulan penelitian. Dimana penelitian ini tidak
mencantumkan dengan jelas yang menjadi rumusan masalahnya.
26

2) Ditinjau dari Segi Materi


a) Berdasarkan penelitian tersebut, jika ditinjau dari segi materi. Peneliti belum
menjelaskan fenomena yang menjadi alasan untuk meneliti penelitian ini
kembali.
c. Point to be Improvement
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Ditinjau dari segi penulisan, untuk peneliti selanjutnya yang ingin meneliti
topik ini lebih lanjut sebaiknya menunjukkan konsistensi antara antara
rumusan masalah, hipotesis, hasil penelitian dan kesimpulan penelitian.
2) Ditinjau dari Segi Materi
a) Ditinjau dari segi materi, diharapkan peneliti selanjutnya menjelaskan lebih
rinci mengenai fenomena yang menjadi alasan untuk meneliti penelitian ini
kembali.
27

REVIEW ARTIKEL INTERNASIONAL


Judul : The Influence of Ethical Codes of Conduct on Professionalism in Tax
Practice
Author : Darius Fatemi, John Hasseldine, Peggy Hite
Publikasi : Journal of Business Ethics, 2018

1. Fenomena (Phenomena)
Kode etik asosiasi profesional berlaku untuk semua anggota tetapi praktisi
pajak secara khusus berperan dalam peran unik dalam melayani kepentingan publik
dengan akuntabilitas mereka kepada klien dan agen pajak. Sebagai contoh, di
Inggris, tujuh badan profesional bersama-sama menyusun dan mengadopsi
pernyataan perilaku profesional terkait perpajakan berdasarkan Kode IESBA, yang
terdiri dari prinsip dan standar etika mendasar dalam perpajakan dan pedoman
tentang apa yang diharapkan dari anggota. Identitas akuntan profesional (dan secara
implisit sikap dan perilaku profesional mereka) merupakan fenomena kompleks yang
bersumber dari berbagai khalayak dalam masyarakat dan profesi akuntansi.
Dari perspektif global, misi IFAC yang dinyatakan adalah untuk "melayani
kepentingan publik", namun skandal perusahaan yang berulang seperti Enron, krisis
keuangan global, dan pengungkapan penghindaran pajak perusahaan, telah
memimpin profesi akuntansi, khususnya di AS, untuk mendapat kritik atas
kurangnya profesionalisme yang dirasakan perusahaan besar. Kritik ini baik di pasar
jasa audit dan di pasar jasa pajak. Carnegie dan Napier (2010, hlm. 371) mencatat
bahwa kritik terhadap akuntan dan auditor tahun 1990-an adalah bahwa mereka
bukan lagi orang integritas dan mereka menggambarkan ketegangan (atau
keseimbangan tujuan yang bersaing) antara integritas profesional dan advokasi klien
dengan menyarankan bahwa gagasan "menyenangkan klien" lebih diutamakan
daripada melindungi kepentingan publik, dan jika ada pertanyaan tentang integritas
akuntan, ini akan menyebabkan konsekuensi yang lebih luas untuk profesionalisasi
akuntansi.
28

2. Rumusan Masalah (Research Question)


Berdasarkan uraian latar belakang penlitian yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah apakah pengaruh intervensi singkat pada rekomendasi
praktisi pajak kepada klien mereka?
3. Dasar Teori (Theoretical Foundation)
a. Konteks Profesionalisme Akuntansi dan Etis Kode Etik
Richardson (2018, p. 128) mencatat bahwa pandangan sosiologis tradisional dari
profesi adalah bahwa mereka adalah “kelas pekerjaan yang berbeda yang dapat
dikenali oleh sifat mereka (misalnya, penggunaan kode etik, pengaturan diri,
sistem pendidikan dan kredensial) dan ketergantungan mereka pada pengetahuan
khusus dan rahasia”. Pada tingkat konseptual yang luas, Brouard et al. (2017)
memberikan kerangka pembentukan identitas akuntan profesional yang menurut
mereka dipengaruhi oleh interaksi masyarakat (pemerintah, klien, masyarakat
umum, media) melalui stereotip / citra dengan profesi akuntan (terdiri dari
asosiasi akuntan profesional, kantor akuntan dan pemberi kerja lainnya).
b. Prinsip Integritas
Spalding dan Lawrie (2017) mencatat bahwa kode IESBA telah mengadopsi
pendekatan berbasis prinsip (bukan berbasis aturan), yang tidak berlaku
langsung untuk anggota badan profesional tertentu, melainkan badan anggota
IFAC di seluruh dunia diperlukan untuk mematuhi kode yang tidak kurang ketat
dari prinsip-prinsip yang termasuk dalam Kode Etik IESBA. Kode IESBA
secara jelas menyatakan: “Prinsip integritas membebankan kewajiban kepada
semua anggota untuk bersikap terus terang dan jujur dalam semua hubungan
profesional dan bisnis. Integritas juga menyiratkan transaksi yang adil dan
kejujuran”.
4. Hipotesis Penelitian
H1 : Keunggulan standar etika profesional akan memengaruhi rekomendasi klien
praktisi pajak
H2 : Praktisi pajak yang dilengkapi dengan standar etika Integritas akan membuat
rekomendasi klien yang lebih konservatif daripada yang dilengkapi dengan
standar etika Advokasi.
29

H3 : Ketika praktisi pajak diprioritaskan dengan kedua etika standar, mereka akan
membuat rekomendasi klien yang lebih (kurang) konservatif ketika Integritas
(Advokasi) diutamakan terlebih dahulu, dibandingkan dengan saat Advokasi
(Integritas) diutamakan terlebih dahulu.
5. Metodologi Penelitian (Methodology)
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 132 akuntan professional yang
bekerja terutama di bidang pajak. Perusahaan internasional didistribusikan kuesioner
ke kantor pajak di berbagai wilayah negara, sedangkan sesi NASBA diadakan di
Chicago dan New Orleans. Ada dua versi kuesioner dibuat, satu dalam bentuk kertas
(digunakan di NASBA dan oleh salah satu perusahaan internasional) dan yang
lainnya dikonversi ke platform online menggunakan Survey Monkey. Peneliti
menggunakan desain 1 × 5 antara subjek untuk menguji hipotesis, dan peserta secara
acak ditugaskan ke salah satu dari lima kondisi eksperimental yang bervariasi
apakah, dan yang mana, bilangan prima untuk advokasi dan integritas disajikan.
Peneliti menggunakan kasus real estat yang tidak ambigu di mana para ahli dari luar
telah sepakat bahwa perlakuan konservatif (mengklasifikasikan pendapatan sebagai
biasa) lebih akurat daripada perlakuan agresif (mengklasifikasikan keuntungan
sebagai modal). Pesertanya diminta untuk membuat rekomendasi tentang apakah
klien maudiperlakukan sebagai dealer atau investor terkait dengan penjualan banyak
real estat. Peserta diminta untuk membuat rekomendasi apakah klien akan
diperlakukan sebagai dealer atau investor sehubungan dengan penjualan kavling real
estat. Variabel dependen utama mengukur rekomendasi yang diinginkan setiap
peserta mengenai status dealer atau investor. Perlu juga dicatat bahwa variabel
dependen mewakili perilaku yang diinginkan.
6. Hasil Penelitian (Findings)
Skala Advokasi dan Pertanyaan Latar Belakang
Untuk mengontrol sikap advokasi secara umum, kami mengukur skala advokasi
dalam penelitian ini untuk memastikan penugasan acak kepada kelompok perlakuan
efektif, dan peneliti tidak menemukan perbedaan yang signifikan antara kelompok
peneliti pada skala advokasi. Selain itu, skala advokasi untuk sikap umum tidak
secara signifikan berkorelasi dengan variabel hasil peneliti. Yang penting, skala
30

advokasi tidak disajikan kepada peserta kami sampai mereka telah membuat
keputusan dan mencatatnya dalam instrument.
Variebel Dependen
Kami mengukur variabel hasil dengan variabel dependen utama kami, niat
perilaku untuk merekomendasikan status investor (RECO), serta variabel pendukung
utamanya, probabilitas yang dirasakan bahwa pengadilan akan memandang klien
sebagai investor (COURT). Hipotesis pertama menguji apakah intervensi singkat,
dalam bentuk bilangan prima untuk standar etika profesional, mempengaruhi
keputusan profesional pajak. Dalam pengujian ini, kami memeriksa variabel
dependen utama, RECO, yang menunjukkan rekomendasi praktisi agar Jim Hunt
mengambil pengembalian pajaknya. Kami juga menemukan pengaruh yang sedikit
signifikan untuk COURT, yang menunjukkan kemungkinan yang dirasakan bahwa
jika diajukan ke pengadilan, pengadilan akan menemukan Jim Hunt sebagai investor.
Advokasi vs. Integritas
Pengujian hipotesis kedua, membandingkan hasil dari mereka yang diunggulkan
dengan Integritas dengan yang diunggulkan dengan Advokasi. Peneliti tidak
menemukan perbedaan statistik antara kedua kelompok ini. Untuk RECO, peserta
yang disajikan dengan standar Integritas memberikan respons rata-rata - 1,19. Peserta
yang disajikan dengan standar Advokasi memberikan tanggapan rata-rata - 0,96.
Kedua kelompok menunjukkan kecenderungan untuk menganggap Jim Hunt sebagai
dealer. Uji t sampel independen menunjukkan bahwa kelompok Advokasi dan
Integritas secara statistik serupa. Untuk COURT, peserta diberikan standar Integritas
memberikan respon rata-rata 37,67%. Peserta yang disajikan dengan standar
Advokasi memberikan rata-rata respon 39,09%. Sekali lagi, kedua kelompok
menunjukkan kecenderungan untuk menganggap Jim Hunt sebagai dealer.
Efek Pesanan dari Standar Gabungan
Pengujian hipotesis ketiga, membandingkan hasil-hasil yang diunggulkan
dengan standar Advokasi dan Integritas (dengan Advokasi disajikan pertama) dengan
yang dipersiapkan dengan standar Advokasi dan Integritas (dengan Integritas
disajikan terlebih dahulu). Peneliti menemukan perbedaan statistik yang signifikan
antara kedua kelompok ini. Untuk RECO, peserta yang disajikan dengan standar
Integritas pertama-tama memberikan respons rata-rata - 1,60. Peserta disajikan
31

dengan standar Advokasi pertama memberikan tanggapan rata-rata - 0,29


menunjukkan ambiguitas pada kasus yang tidak ambigu yang telah ditentukan.
Kedua kelompok menunjukkan kecenderungan untuk menganggap Jim Hunt sebagai
dealer. Namun, uji t sampel independen menunjukkan kedua kelompok berbeda
secara statistik. Untuk COURT, peserta yang disajikan dengan standar Integritas
pertama memberikan tanggapan rata-rata 26,46%. Peserta yang disajikan dengan
standar Advokasi pertama memberikan rata-rata respon 49,25%. Sekali lagi, kedua
kelompok menunjukkan kecenderungan untuk menganggap Jim Hunt sebagai dealer,
namun ketika Advokasi diajukan terlebih dahulu, hampir setengahnya percaya bahwa
kasus yang 'tidak menguntungkan' akan menguntungkan di pengadilan.
7. Kesimpulan (Conclusions)
Peneliti menggunakan kasus pajak yang telah diuji sebelumnya untuk
mengklasifikasikan penjualan tanah real estat sebagai capital gain, di mana wajib
pajak dianggap sebagai investor, atau sebagai pendapatan biasa, di mana wajib pajak
dianggap sebagai dealer. Peneliti menyelidiki dampak intervensi Integritas dan
Advokasi, baik secara terpisah maupun kombinasi, pada penilaian para pemeriksa
pajak. Penelitian ini adalah yang pertama memberikan bukti bahwa
mengomunikasikan standar etika profesional memang berpengaruh pada keputusan
praktisi. Terutama, peneliti mengamati efek urutan untuk mereka yang terpapar pada
kedua bilangan prima. Peserta yang melihat Integritas terlebih dahulu, diikuti oleh
Advokasi, lebih cenderung menganggap wajib pajak sebagai dealer daripada mereka
yang melihat Advokasi terlebih dahulu, diikuti oleh Integritas. Selain dari asosiasi
akuntansi profesional, penelitian ini memiliki implikasi bagi KAP dalam hal program
pelatihan staf mereka. Memperkuat kebutuhan akan integritas sambil
menyeimbangkan tujuan advokasi klien sebagai bagian dari program pelatihan dan
pengembangan, dapat mengurangi risiko perusahaan dari eksposur ke posisi pajak
yang dapat ditargetkan oleh badan pajak pemerintah.
8. Pengembangan (Further Research)
Penelitian selanjutnya harus terus berfokus pada efek mengkomunikasikan
semua standar etika, tidak hanya untuk integritas dan advokasi, yang dikeluarkan
oleh asosiasi anggota IFAC di seluruh dunia tentang penilaian dan keputusan etis
dari anggota profesional mereka. Penelitian sebelumnya dan temuan kami
32

menunjukkan bahwa konteks keputusan dapat menjadi masalah, sehingga pekerjaan


di masa depan tidak boleh dibatasi hanya pada satu bidang akuntansi tetapi harus
mencakup audit eksternal, pajak, konsultasi dll. Akhirnya, pembuat standar harus
mempertimbangkan cara yang paling efektif di mana mereka standar etika dapat
dikomunikasikan kepada akuntan profesional.
9. Critical Review
a. Strong Points
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Jurnal penelitian disajikan secara ringkas dan cukup dapat untuk
dipahami.
2) Ditinjau dari Segi Materi
a) Sampel yang digunakan dan langkah-langkah pengukuran instrument
penelitian disajikan dengan jelas
b) Peneliti menyajikan hipotesis penelitian secara eksplisit
c) Peneliti menyajikan keterbatasan penelitian sebagai landasan untuk
pengembangan penelitian selanjutnya.
d) Desain penelitian disajikan dalam penelitian sehingga lebih mudah
mengetahui variabel yang digunakan.
b. Weakness Points
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Dalam penelitian ini rumusan masalah tidak disajikan secara eksplisit.
2) Ditinjau dari Segi Materi
a) Penelitian ini tidak menjelaskan dasar teori secara eksplisit dan tegas.
b) Pengukuran untuk setiap variabel yang digunakan tidak disajikan secara
eksplisit, sehingga cukup sulit untuk mengetahuinya.
c) Teknik analisia yang digunakan dalam penelitian ini tidak disajikan
dengan jelas
d) Pembahasan tidak disajikan dengan cukup jelas apakah penelitian ini
menerima atau menolak hipotesis
c. Points to be Improved
1) Ditinjau dari Segi Penulisan
a) Peneliti dapat menyajikan rumusan masalah secara eksplisit.
33

2) Ditinjau dari Segi Materi


a) Peneliti dapat menampilkan teori utama yang digunakan secara eksplisit.
b) Peneliti dapat menambahkan ukuran yang digunakan untuk menilai
masing-masing variabel yang digunakan
c) Peneliti selanjutnya dapat menambah standar etika lainnya untuk diuji.

Anda mungkin juga menyukai