Anda di halaman 1dari 3

ERA BARU HUBUNGAN OTORITAS PAJAK

DENGAN WAJIB PAJAK


(DOSEN PENGAJAR : Dr. Darwis Lannai, SE.,MM.,Ak.,CA.,ACPA )

Disusun Oleh:

Baby Yuliandani Wijorse


(0009.04.27.2019)
Jurusan/Prodi Akuntansi

MAGISTER AKUNTANSI PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA


MAKASSAR
2020
Judul buku : Era Baru Hubungan Otoritas Pajak Dengan Wajib pajak

Penulis : Darussalam, Danny Septriadi, B. Bawono Kristiaji, dan Denny Vissaro

Penerbit : DDTC

Tahun terbit : Agustus 2019

Buku ini memuat pandangan penulis tentang bagaimana seharusnya hubungan antara
otoritas pajak dengan wajib pajak dibangun. Terdapat beberapa persoalan dalam sistem pajak di
Indonesia yang belum diatasi dengan tepat. Tidak hanya itu, ini juga mengindikasikan terdapat
permasalahan yang bersifat mendasar dan membutuhkan pembenahan, apakah itu dari sisi
kebijakan, hukum, maupun administrasi.
Mengatasi setiap permasalahan tersebut bukanlah hal mudah. Paling tidak terdapat lima
tantangan situasi pajak di Indonesia. Pertama, rendahnya kepatuhan pajak di Indonesia; Kedua,
tentang struktur penerimaan pajak Indonesia yang kurang berimbang dan didominasi oleh
penerimaan dari PPN serta PPh Badan; Ketiga, adanya shadow economy. Hal ini tidak dapat
dilepaskan dari masih banyaknya sektor-sektor yang sulit untuk dipajaki (sektor informal, black
market, UKM, dan sebagainya); Keempat, kapasitas otoritas pajak. Kualitas dan kinerja sistem
pajak sangatlah tergantung dari pihak yang menjalankan administrasi pemungutan pajak.
Pada akhir tahun 2016, Pemerintah membentuk tim reformasi pajak melalui Keputusan
Menteri Keuangan Nomor KMK- 885/KMK.03/2016 tentang Pembentukan Tim Reformasi
Perpajakan. Maksud dan tujuan pembentukan Tim Reformasi adalah untuk mempersiapkan dan
mendukung pelaksanaan reformasi pajak yang mencakup aspek organisasi dan SDM, teknologi
informasi, basis data dan proses bisnis, serta peraturan perundang-undangan.
Jika melihat dari persoalan yang ada pada sektor pajak di Indonesia, agenda Tim
Reformasi sejatinya sudah tepat dan mampu mengidentifikasi hal-hal yang harus dibenahi.
Penting bagi pemerintah untuk menetapkan desain dan kerangka reformasi pajak sedari awal
sebelum menentukan pembenahan-pembenahan yang perlu dilakukan.
Dalam mencapai babak baru hubungan tersebut, penulis memaparkan paradigma baru
yang perlu dimiliki para pemangku kepentingan dalam sistem pajak. Selain itu, penulis juga
menjelaskan bagaimana sistem pajak perlu dibangun dalam koridor hubungan baru tersebut.

Kepatuhan kooperatif merupakan paradigma baru hubungan wajib pajak dan otoritas
pajak yang dilandasi oleh transparansi dan partisipasi (keterbukaan). Bagi wajib pajak,
kepatuhan kooperatif memberikan berbagai manfaat. Manfaat yang bisa diperoleh tersebut pada
hakikatnya selaras dengan kondisi yang ingin dicapai reformasi pajak Indonesia 2017-2020,
yaitu sistem pajak yang berkepastian hukum, efisien, efektif, dan berkeadilan.52 Dengan
demikian, paradigma kepatuhan kooperatif seharusnya menjadi kerangka utama reformasi pajak
di Indonesia.
Perwujudan kebijakan pajak yang partisipatif dan stabil dapat menjadi langkah awal yang
menentukan dalam mewujudkan kepatuhan wajib pajak yang bersifat kooperatif. Desain pajak
yang demikian merepresentasikan tiga prinsip dasar yang diperlukan untuk membangun budaya
kepatuhan tersebut, yaitu netralitas, kredibilitas, dan kepastian. Ketiga prinsip ini
diimplementasikan melalui empat aspek: perumusan kebijakan yang partisipatif, pengelolaan
fiskal yang kredibel, pemisahan kekuasaan, dan keseimbangan antara upaya optmalisasi
penerimaan dengan menjaga daya saing dan dinamika perekonomian.
Perumusan kebijakan yang partisipatif akan meningkatkan kepercayaan masyarakat,
pelaku bisnis, dan pihak berkepentingan lainnya terhadap pemerintah. Keterlibatan ini tidak
hanya akan memperbesar tingkat penerimaan (acceptability) dari suatu kebijakan di mata
masyarakat secara umum, tetapi juga membantu pemerintah untuk memenuhi hak- hak wajib
pajak serta mengakomodasi berbagai ide dan pandangan secara konstruktif untuk menghasilkan
solusi kebijakan yang lebih ideal.

Selanjutnya, pengelolaan fiskal yang kredibel juga turut membangun persepsi publik
akan kapabilitas pemerintah dalam mencapai tujuan-tujuannya dengan cara yang tepat tanpa
mencederai pemenuhan hak-hak wajib pajak. Untuk itu, penetapan target penerimaan dengan
prosedur yang jelas serta melibatkan pihak-pihak yang relevan menjadi sangat penting. Dengan
demikian, perencanaan anggaran untuk membiayai pembangunan menjadi lebih terukur dan
memiliki risiko yang rendah akan terjadinya perubahan perencanaan yang dapat mengganggu
stabilitas pembangunan. Kemampuan pemerintah dalam mewujudkan hal ini akan sangat
menentukan kepercayaan masyarakat akan kredibilitas pemerintah dalam menjaga stabilitas dan
kesinambungan fiskal.
Lalu, pemenuhan prinsip pemisahan kekuasaan juga menjadi penting dalam rangka
menjaga perilaku serta objektivitas unit- unit pemerintah yang terlibat dalam perumusan
kebijakan pajak. Prinsip ini juga berperan untuk mencegah diskresi pemerintah yang berisiko
mengganggu hubungan antara otoritas administrasi pajak dan masyarakat. Dengan begitu, akan
tercipta sistem pajak yang menjaga keseimbangan antara pencapaian optimalisasi penerimaan
dan mendukung perekonomian dan investasi. Perwujudan hal ini akan menjadi pondasi
kepercayaan masyarakat untuk melibatkan dirinya untuk mewujudkan kerangka kepatuhan yang
kooperatif.
Harapan penulis adalah agar buku ini dapat menjadi referensi bagi otoritas pajak,
pengambil kebijakan fiskal, kalangan akademisi, bisnis,serta para konsultan dan praktisi.

Anda mungkin juga menyukai