Anda di halaman 1dari 38

ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING PPh PASAL 4 (2)

TERHADAP PELAKSANAAN JASA KONTRUKSI


STUDI KASUS PADA PT. X

Disusun Oleh :
ALIFVIA ARUBAH SHOFAA
201011200602
LARAS MAULINA
201011200950

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG

SELATAN 2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT


yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah
Tax Planning dengan judul “ANALISIS PENERAPAN TAX PLANNING PPh
PASAL 4 (2) TERHADAP PELAKSANAAN JASA KONTRUKSI STUDI
KASUS PADA PT.X ”. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Sri
Agustini S.E.,M. Si. selaku dosen pengampu matakuliah Tax Planning yang
membimbing kami dalam tugas makalah ini.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang


setia membantu dalam hal pengumpulan data-data dalam pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat
memberikan infomasi dan manfaat bagi yang membacanya.

Pamulang, 8 Desember 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................i

KATA PENGANTAR..................................................................................ii

DAFTAR ISI................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................1

1.1. Latar Belakang....................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...............................................................................4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian...........................................................4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................5

2.1. Pengertian Pajak.................................................................................5

2.2. Pajak Penghasilan (PPh).....................................................................7

2.3. Pajak Penghasilan Pasal 4 (2).............................................................8

2.4. Perencanaan Pajak (Tax Planning)...................................................11

2.5. SPT Masa PPh Pasal 4 (2)................................................................17

BAB III PEMBAHASAN...........................................................................19

3.1. Gambaran Umum PT X....................................................................19

3.2. Analisis.............................................................................................19

BAB IV PENUTUP.....................................................................................24

4.1 Kesimpulan........................................................................................24

4.2 Saran..................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................26

LAMPIRAN................................................................................................29

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak dalam sebuah negara merupakan sumber terpenting bagi kehidupan


sebuah negara. Pada zaman tradisional kita mengenal upeti yang diartikan sebagai
hadiah yang diberikan oleh rakyat kepada penguasanya baik sifatnya dipaksakan
maupun sukarela sebagai tanda kepatuhan rakyat terhadap rajanya. Upeti biasanya
akan digunakan oleh penguasa untuk kegiatan operasional kerajaan. Selain upeti,
kita mengenal zakat yang dipopulerkan pada zaman Nabi Muhammad SAW. Pada
zaman Nabi dan kholifah, zakat dikelola untuk kepentingan umat di mana aturan
tentang zakat itu sendiri ada pada Alquran dan Hadist. Di era modern sekarang ini,
seakan-akan dunia sepakat biaya operasional pemerintah diambil sektor pajak dan
nonpajak di mana pajak minimal sebesar 85% dari pendapatan negara (Jumaiyah,
2020).

Pembangunan nasional dilaksanakan untuk mengintegrasikan


perekonomian dari daerah ke pusat begitupun sebaliknya, melalui program
pemerintah saat ini yaitu Nawa Cita atau Nawacita yang diambil dari bahasa
sansekerta yang berarti nawa (sembilan) dan cita (harapan, agenda, keinginan).
Pemerintah menginginkan revolusi terhadap bangsa Indonesia untuk menjadi
lebih baik lagi dan salah satu agenda besar pemerintah yang tertuang dalam
Nawacita ialah pembangunan nasional. Agenda ini dapat terealisasi dengan
adanya sumber dana yang besar dan sangat sulit mengintegrasikan seluruh
wilayah indonesia yang merupakan negara kepulauan dan terdiri dari berbagai
suku bangsa yang berbeda- beda. Sumber utama penerimaan negara dalam
menjalankan roda pemerintahan ialah berasal dari pajak. Bisa dikatakan setiap
transaksi yang ada di indonesia selalu berhubungan dengan pajak. (Nurwati, N., &
Anwar, S. 2019).

Dalam withholding tax system yang berlaku saat ini di Indonesia,


kewenangan Dirjen Pajak dalam menentukan jenis-jenis penghasilan yang
merupakan objek withholding tax system. Tidak adanya pembatasan mengenai
1
jenis-jenis yang layak dan tidak layak dikenakan withholding tax system tentunya
akan memberikan keleluasaan bagi pemerintah untuk terus memperluas
pengenaan withholding tax system ini. Alasannya adalah karena penerimaan pajak
akan mudah terkumpul dan tugas pemerintah (Dirjen Pajak) cukup mengawasi
saja dan jika ada yang tidak menjalankan withholding tax system tersebut dengan
benar, maka Dirjen Pajak akan memberikan sanksi administrasi untuk menambah
penerimaan negara. Wujud sistem pemungutan Pajak Penghasilan withholding
tax system di Indonesia salah satunya adalah PPh Pasal 4 ayat (2). (Nurwati, N.,
& Anwar, S. 2019).

Dalam sebuah perusahaan menginginkan usahanya berjalan dengan


lancar, baik dalam upaya menghasilkan barang dan jasa yang di produksinya
serta memenuhi kewajiban perusahaan tersebut sehingga dapat mengoptimalkan
laba. Dengan adanya menghasilkan laba perusahaan dapat mempertahankan
pertumbuhan perusahaannya sehingga dapat bersaing dengan perusahaan lain,
karena laba tersebut dapat ditanam kembali dan digunakan untuk
mempertahankan atau meningkatkan kinerja perusahaan. Namun di samping itu
perusahaan juga mempuyai beban yang dapat mengurangi laba dimana salah
satunya adalah beban pajak (Saumaningsih & Paulina, 2023).

Meminimalkan beban pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai


dari yang masih dalam lingkup peraturan perpajakan sampai dengan yang sudah
keluar dari peraturan perpajakan. Hal tersebut disebabkan karena adanya suatu
perbedaan antara pemerintahan dengan wajib pajak. Tidak ada yang salah
dengan perencanaan pajak (tax planning) untuk menghindari pajak asalkan
menggunakan metode yang legal. Ketika metode ilegal digunakan untuk
mengurangi kewajiban pajak, proses tersebut tidak lagi dianggap sebagai tax
planning , tetapi merupakan tax evasion (Anggraini & Retnani, 2023).
Perencanaan pajak (tax planning) menurut Zain (2003:43) adalah proses
mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa
sehingga utang pajaknya, baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya,
berada dalam posisi paling minimal, sepanjang hal itu dimungkinkan baik oleh

2
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan maupun secara komersial.
Tujuan perencanaan pajak bukanlah untuk menghindari pembayaran pajak, tetapi
merancang atau mengatur agar pajak yang dibayarkan tidak lebih dari yang
seharusnya. Sehingga dapat kita ketahui tujuan pokok perencanaan pajak adalah
untuk mengurangi jumlah atau total pajak yang harus di bayarkan oleh wajib
pajak yang merupakan tindakan legal karena penghematan pajak hanya dilakukan
dengan memanfaatkan hal-hal yang diatur oleh undang-undang perpajakan
sehingga menjadi langkah yang tepat dalam meminimalisir pembayaran beban
pajak penghasilan badan (Kenju et al., 2019).
Maka dari itu, kelompok ini tertarik untuk mengulas perencanaan pajak
yang dilakukan oleh PT. X karena terdapat permasalahan signifikan terkait beban
pajak penghasilan yang cukup besar bagi perusahaan. Dampaknya adalah
terjadinya pengurangan laba bersih setelah pajak yang diterima oleh PT. X.
Dalam mengatasi hal ini, PT. X memutuskan untuk melakukan perencanaan pajak
yang tidak hanya bertujuan untuk mencapai laba maksimal, tetapi juga untuk
meminimalkan pajak penghasilan yang dibayarkan, selaras dengan ketentuan
yang berlaku saat ini, serta menjalankan proses perencanaan tersebut secara legal,
sesuai dengan ketentuan UU No. 36 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah (PP)
No 9 Tahun 2022. Hal ini menarik perhatian kelompok kami untuk menelaah
bagaimana PT. X merencanakan pajak secara tepat dan legal, mempertahankan
profitabilitas perusahaan, namun tetap mematuhi regulasi yang berlaku.
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas kelompok kami merasa
tertarik untuk mengambil berjudul “ANALISIS PENERAPAN TAX
PLANNING PPh PASAL 4 (2) TERHADAP PELAKSANAAN JASA
KONTRUKSI STUDI KASUS PADA PT.X ”.

3
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana analisis penerapan perencanaan pajak (tax planing) PPh pasal
4(2) terhadap pelaksanaan jasa konstruksi studi kasus pada PT. X?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan dari penelitian tersebut maka diharapkan akan
memberikan manfaat bagi berbagai Pihak antara lain :

1. Bagi Penulis

Penelitian ini untuk mengimplementasikan ilmu pengetahuan serta dapat


membantu menambah wawasan dan referensi.

2. Bagi Pembaca

Penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur dan sebagai referensi


pembaca dalam perencanaan pajak (tax planing) PPh Pasal 4 ayat (2)
sesuai dengan perundang-undangan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Pajak

Berdasarkan undang – undang KUP Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 Ayat 1


pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penghasilan negara adalah berasal dari
rakyatnya melalui pungutan pajak, dan atau dari hasil kekayaan alam yang ada di
dalam negara itu (natural resource). Dari sumber itu merupan sumber terpenting
yang memberikan penghasilan kepada negara. Penghasilan tersebut untuk
membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi
individu seperti Kesehatan rakyat, Pendidikan, kesejahteraan dan sebagainya,
Pungutan Pajak merupakan penghasilan masyrakat yang kemudian dikembalikan
lagi kepada masyarakat melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-
pengeluaran bangunan, yang akhirnya digunakan untuk kepentingann seluruh
rakyat masyarakat baik yang membayar pajak maupun tidak.

Menurut (Nabil & Hidayati, 2020) terdapat ciri-ciri yang melekat pada
pengertian pajak yaitu:

1. Pajak dipungut berdasarkan (dengan kekuatan) undang-undang serta


aturan pelaksanaannya.
2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontrapretasi
individu oleh pemerintah.
3. Pajak dipungut oleh negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah.
4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang
dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk
membiayai public investment. Pajak dapat pula membiayai tujuan yang
tidak budgeter, yaitu fungsi mengatur.

5
2.1.1 Subjek Pajak

Menurut Waluyo (2009:89), Subjek pajak dapat diartikan sebagai orang


yang dituju oleh Undang‐Undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan
dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima
atau diperolehnya dalam tahun pajak. Berdasarkan UU PPh pasal 2 ayat (1) No.
36 Tahun 2008, yang menjadi subjek pajak adalah :

1. Orang pribadi Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal
atau berada di Indonesia atau di luar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang
berhak penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak
pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang
berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.
3. Badan Badan berdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama bentuk apapun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.
4. Bentuk Usaha Tetap Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap adalah
bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan di Indonesia.

2.1.2 Objek Pajak

Objek Pajak Mardiasmo (2009:133), menyebutkan bahwa yang menjadi


objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk
menambah kekayaan

6
Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
:

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang


diterima atau diperoleh.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan;
3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak
6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang.
7. Dividen
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
9. Sewa dan penghsilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
11. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
12. Keuntungan selisih kurs mata uang asing
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
14. Premi asuransi
15. Iuran yang diterima tau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
18. Imbalan bunga
19. Surplus Bank Indonesia

2.2 Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan didefinisikan sebagai pajak yang dibebankan pada


penghasilan individu, perusahaan atau badan hukum lainnya. Dasar pengenaan

7
pajak ini berasal dari benda bergerak maupun barang yang tidak bergerak,
penghasilan dari suatu usaha penghasilan pegawai negeri, pensiun dan
pembayaraan rutin. Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam satu tahun pajak. Pajak
Penghasilan (PPh) adalah suatu pungutan resmi yang ditunjukan kepada
masyarakat yang memperoleh penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
tahun pajak untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran negara (Arie, 2023).

2.3 Pajak Penghasilan Pasal 4 (2)

Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan pasal 4 ayat (2) pengertian


pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 adalah pajak penghasilan yang dikenakan pada
wajib pajak pada saat menerima penghasilan, penghasilan tersebuit berupa
penghasilan bunga deposito atau tabungan lainnya, penghasilan dari saham dan
sekuritas lainnya, bunga atau diskonto obligasi dan surat berharga atas
penghasilan bunga obligasi, penghasilan atas hadiah undian, penghasilan atas
persewaan tanah dan atau bangunan, penghasilan atas jasa konstruksi meliputi
perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi dan pengawasan konstruksi,
bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota wajib pajak orang
pribadi, dividen yang diterma ataui diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam
negeri.

Pajak Penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang


Pajak penghasilan Nomor 36 Tahun 2008, untuk penghasilan-penghasilan tertentu
yang ditetapkan Peraturan Pemerintah. Dalam keseharian lebih dikenal dengan
sebutan singkat PPh Final karena memang hampir seluruhnya bersifat final.
Pengertian final dalam konteks PPh Final ini adalah bahwa Wajib Pajak yang
menerima atau memperoleh penghasilan tersebut tidak perlu menghitung lagi PPh
yang terutang atas penghasilan tertentu tersebut di SPT Tahunan PPh. Pelunasan
PPh-nya harus dilakukan pada setiap bulan saat penghasilan tersebut diterima atau
diperoleh. Mekanisme pelunasannya bisa melalui pemotongan oleh pemberi
penghasilan atau harus disetor sendiri oleih Wajib Pajak penerima penghasilan.

8
2.3.1 Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

Objek Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat 2 yang dikenakan pada penghasilan


atau pendapatan tertentu, di antaranya berupa:

1. Peredaran bruto atau omzet penjualan sebuah usaha di bawah Rp4,8 miliar
dalam 1 tahun masa pajak.
2. Bunga obligasi, termasuk obligasi negara, bunga deposito dan juga jenis
tabungan lainnya, serta bunga tabungan koperasi yang dibagikan kepada
tiap-tiap anggotanya.
3. Transaksi surat berharga seperti saham, perdagangan di bursa yang
sifatnya derivatif, pengalihan pusat mitra usaha yang diterima oleh
perusahaan modal usaha.
4. Hadiah undian ataupun lotere.
5. Pengalihan aset dalam bentuk tanah dan atau bangunan, usaha di bidang
jasa konstruksi, sewa tanah dan atau bangunan, serta usaha di bidang real
estate.
6. Pendapatan atau penghasilan tertentu lainnya sesuai ketetapan pemerintah.

2.3.2 Tarif Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)

Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2022 yang berlaku


mulai 21 Februari 2022, tarid PPh pasal 4 Ayat (2) adalah sebagai berikut:

1. 1,75% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan konstruksi,


dilakukan oleh (kontraktor pelaksana) penyedia jasa yang memiliki
sertifikat badan usaha kualifikasi kecil atau sertifikat kompetensi kerja
usaha orang perseorangan

2. 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan konstruksi,


dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa yang tidak memiliki
sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha
perseorangan

9
3. 2,65% c nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan konstruksi,
dilakukan (kontraktor pelaksana) penyedia jasa selain penyedia jasa
sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b (Pekerjaan konstruksi
bersertifikat menengah dan besar)

4. 2,65% x nilai kontraka (tidak termasuk PPN) : untuk pekerjaan konstruksi


terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang memiliki sertifikat badan usaha

5. 4% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk pekerjaan konstruksi


terintegrasi, dilakukan penyedia jasa yang tidak memiliki sertifikat badan
usaha

6. 3,5% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN) : untuk jasa konsultasi


konstruksi, dilakukan (kontraktor perencana/pengawas) penyedia jasa
yang memiliki sertifikat badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja
untuk usaha orang perseorangan

7. 6% x nilai kontrak (tidak termasuk PPN): untuk jasa konsultasi konstruksi,


dilakukan (kontraktor perencana/pengawas) penyedia jasa yang tidak
memiliki badan usaha atau sertifikat kompetensi kerja untuk usaha orang
perseorangan

2.3.3 Pemotongan PPh Pasal 4 Ayat (2)

Pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) dilakukan oleh pihak pemberi


penghasilan. Wajib pajak badan ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4 ayat 2,
sedangkan wajib pajak orang pribadi tidak ditunjuk untuk memotong PPh Pasal 4
ayat 2. Dengan demikian, apabila wajib pajak menerima penghasilan yang
merupakan objek PPh Pasal 4 ayat 2 dan pihak pemberi penghasilan adalah orang
pribadi (bukan pemotong), maka wajib pajak tersebut harus menyetor sendiri PPh
Pasal 4 ayat (2) tersebut, misalnya dalam transaksi sewa atau penjualan tanah dan/
atau bangunan. Badan yang ditunjuk sebaga pemotong PPh Pasal 4 ayat 2 adalah:

a. Koperasi

10
b. Penyelenggara Kegiatan

c. Otoritas Bursa

d. Bendaharawan

2.3.4 Saat Terutang PPh Pasal 4 ayat (2)

a. Penghasilan sewa atas tanah dan atau bangunan sebagai penyewa anda
berkewajiban untuk memotong pajak penghasilan yang terutang pada saat
pembayaran atau terutangnya sewa tergantung peristiwa mana yang lebih
dahulu terjadi.

b. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi sebagai pengguna jasa anda wajib
memotong PPh yang terutang pada saat pembayaran uang muka dan
termin.

2.4 Perencanaan Pajak (Tax Planning)

Perencanaan pajak (tax planning) menurut Zain (2003:43) dalam


Manajemen Perpajakan, adalah proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau
kelompok wajib pajak sedemikian rupa sehingga utang pajaknya, baik pajak
penghasilan maupun pajak-pajak lainnya, berada dalam posisi paling minimal,
sepanjang hali itu dimungkinkan baik oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan maupun secara komersial . Menurut Suandy (2011)
Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam perencanaan pajak. Pada tahap ini
dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat
diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan. Pada umumnya
penekanan perencanaan pajak (tax planning) adalah untuk meminimumkan
kewajiban pajak. Upaya meminimalkan pajak secara eufimisme sering disebut
dengan perencanaan pajak (tax planning).

Umumnya perencanaan pajak merujuk pada proses merekayasa usaha dan


transaksi Wajib Pajak supaya utang pajak berada dalam jumlah yang minimal
tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun perencanaan pajak juga
dapat bersifat positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan
11
secara

12
lengkap, benar, dan tepat waktu sehingga dapat menghindari pemborosan sumber
daya Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan suatu perencanaan pajak atau
yang disebut tax planning yang tepat agar perusahaan membayar pajak seefisien
mungkin sepanjang hal tersebut masih sesuai dengan aturan-aturan perpajakan
yang berlaku.

2.4.1 Bentuk – Bentuk Perencanaan Pajak

Suandy (2003:119) menyebutkan bentuk‐bentuk perencanaan pajak yang


terdiri atas :

1. Mengambil keuntungan dari berbagai pilihan bentuk badan hukum (legal


entity) yang tepat sesuai dengan kebutuhan dan jenis usaha. Bila dilihat
dari perspektif perpajakan kadang pemilihan bentuk badan hukum (legal
entities) bentuk perseorangan, firma dan kongsi (partnership) adalah
bentuk yang lebih menguntungkan dibanding perseroan terbatas yang
pemegang sahamnya perorangan atau badan tetapi kurang 25%, akan
mengakibatkan pajak atas penghasilan perseroan dikenakan dua kali yakni
pada saat penghasilan diperoleh oleh pihak perseroan dan pada saat
penghasilan dibagikan sebagai dividen kepada pemegang saham
perseorangan atau badan yang kurang dari 25%.
2. Memilih lokasi perusahaan yang akan didirikan. Umumnya pemerintah
memberikan semacam insentif pajak/fasilitas perpajakan khususnya untuk
daerah tertentu, banyak pengurangan pajak penghasilan yang diberikan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 undang‐undang No.17 Tahun
2000. disamping itu juga diberikan fasilitas seperti peyusutan dan
amortisasi yang dipercepat, kompensasi kerugian yang lebih lama.
Misalnya: perusahaan memperluas usahanya dengan mendirikan
perusahaan baru didaerah terpencil di Indonesia bagian Timur. Oleh
karena daerah tersebut memiliki potensi ekonomi yang layak
dikembangkan namun sulit dijangkau, maka pemerintah memberikan
beberapa keringanan dalam pajak seperti izin untuk mengurangkan
natura dan kenikmatan (fringe benefit) dari

13
penghasilan bruto seperti yang diatur dalam SE‐29/Pj.4/1995 Tanggal 5
Juni 1995.
3. Mengambil keuntungan sebesar‐besarnya atau semaksimal mungkin dari
berbagai pengecualian, potongan atau pengurangan atas penghasilan kena
pajak yang diperbolehkan oleh undang‐undang.
4. Mendirikan perusahaan dalam satu jalur usaha (corporate company)
sehingga diatur mengenai penggunaan tarif pajak yang paling
menguntungkan antara masing‐masing badan usaha (business entity). Hal
ini bisa dilakukan mengingat bahwa banyak negara termasuk Indonesia
mengatur bahwa pembagian dividen antar corporate (inter corporate
dividend) tidak dikenakan pajak.
5. Mendirikan perusahaan ada yang sebagai profit center dan ada yang
hanya berfungsi sebagai cost center. Dari hal tersebut dapat diperoleh
manfaat dengan cara menyebarkan penghasilan menjadi pendapatan dari
beberapa wajib pajak didalam satu grup begitu juga terhadap biaya
sehingga dapat diperoleh keuntungan atas pergeseran pajak (tax shifting)
yakni menghindari tarif paling tinggi/maksimum.
6. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang ataunatura
dan kenikmatan (fringe Benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk
menghindari lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket). Karena pada
dasarnya pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit)
dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi
pegawai yang menerimanya.
7. Memberikan tunjangan kepada karyawan dalam bentuk uang ataunatura
dan kenikmatan (fringe benefit) dapat sebagai salah satu pilihan untuk
menghindari lapisan tarif maksimum (shif to lower bracket). Karena pada
dasarnya pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan (fringe benefit)
dapat dikurangkan sebagai biaya oleh pemberi kerja sepanjang pemberian
tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak bagi
pegawai yang menerimanya.

14
8. Untuk pendanaan aktiva tetap dapat mempertimbangkan sewa guna usaha
dengan hak opsi (finance lease) di samping pembelian langsung karena
jangka waktu leasing umumnya lebih pendek dari umur aktiva dan
pembayaran leasing dapat dibiayakan seluruhnya. Dengan demikian,
aktiva tersebut dapat dibiayakan lebih cepat dibandingkan melalui
penyusutan jika pembelian dilakukan secara langsung.
9. Melalui pemilihan metode penyusutan yang diperbolehkan peraturan
perpajakan yang berlaku. Jika perusahaan mempunyai prediksi laba yang
cukup besar maka dapat dipakai metode penyusutan yang dipercepat
(saldo menurun) sehingga atas biaya penyusutan tersebut dapat
mengurangi laba kena pajak dan sebaliknya jika diperkirakan pada awal
tahun investasi belum bisa memberikan keuntungan atau timbul kerugian
maka pilihannya adalah menggunakan metode penyusutan yang
memberikan biaya yang lebih kecil (garis lurus) supaya biaya penyusutan
dapat ditunda untuk tahun berikutnya.
10. Menghindari dari pengenaan pajak dengan cara mengarahkan pada
transaksi yang bukan objek pajak.
11. Mengoptimalkan kredit pajak yang di perkenankan, untuk ini wajib pajak
harus jeli untuk memperoleh informasi mengenai pembayaran pajak yang
dapat dikreditkan.
12. Penundaan pembayaran kewajiban pajak dapat dilakukan dengan cara
melakukan pembayaran pada saat mendekati tanggal jatuh tempo. Khusus
untuk menunda pembayaran PPN dapat dilakukan dengan menunda
penerbitan faktur pajak sampai batas waktu yang diperkenankan
khususnya atas penjualan kredit. Perusahaan dapat menerbitkan faktur
pajak pada akhir bulan penyerahan barang (Kep. Dirjen Pajak No:
53/PJ/1994).
13. Menghindari pemeriksaan pajak, periksaan pajak oleh Direktorat jenderal
pajak dilakukan terhadap wajib pajak yang:
a. SPT lebih bayar
b. SPT rugi
c. Tidak memasukkan SPT atau terlambat memasukkan SPT

15
d. Terdapat informasi pelanggaran
e. Memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Dirjen pajak
f. Menghindari lebih bayar dapat dilakukan dengan cara:
1) Mengajukan pengurangan pembayaran lumpsum (angsuran
masa) PPh pasal 25 ke KKP yang bersangkutan, apabila
diperkirakan dalam tahun pajak berjalan akan terjadi kelebihan
pembayaran pajak
2) Mengajukan permohonan pembebasan PPh Pasal 22 impor
apabila perusahaan melakukan impor.
g. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan yang
berlaku. Menghindari pelanggaran terhadap peraturan perpajakan
dapat dilakukan dengan cara menguasai peraturan perpajakan yang
berlaku.

2.4.2 Langkah – Langkah dalam Perencanaan Pajak

Upaya untuk melaksanakan kewajiban perpajakan harus disertai dengan


langkah- langkah manajemen perpajakan secara baik :

1. Memaksimalkan Penghasilan yang Dikecualikan

Dalam UU PPh pasal 4 ayat (3) mengatur mengenai penghasilan yang


dikecualikan sebagai Objek Pajak. Selain penghasilan yang dikecualikan Undang‐
Undang, kita juga harus mengetahui apa saja yang termasuk pengahasilan dalam
undang‐undang agar kita dapat mengetahui dengan pasti dalam tax planning yang
akan dilakukan (Suandy, 2003:131). Lumbantoruan (2005:2), langkah‐angkah
yang dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Mengubah Jenis Penghasilan

Dengan memanfaatkan celah‐celah dari Undang‐Undang perpajakan


yang berlaku, Penghasilan Kena Pajak diupayakan untuk dikecualikan atau
dikurangi jumlah pajaknya.

b. Merencanakan Penghasilan untuk Tahun Berikutnya

16
Untuk meminimumkan pajak tahun bersangkutan, maka pernghasilan
yang diperoleh pada bulan‐bulan terakhir tahun yang bersangkutan
direncanakan sebagi penghasilan tahun depan.

c. Mengambil keuntungan sebesar‐besarnya atau semaksimal

Berbagai pengecualian potongan atas Penghasilan Kena Pajak (PKP)


yang diperbolehkan oleh undang‐undang. Jika diketahui bahwa PKP (laba)
perusahaan besar akan dikenakan tariff pajak tinggi/tertinggi, maka
sebaiknya perusahaan membelanjakan sebagian laba perusahaan untuk hal‐
hal yang bermanfaat secara langsung bagi perusahaan dengan syarat biaya
yang dikeluarkan adalah biaya yang dapat dikurangkan dari PKP
(deductible).

2. Memaksimalkan Biaya‐Biaya Fiskal

Suandy (2003:132), salah satu cara dalam meminimalkan pajak terutang


yang dilakukan dalam tax planning adalah dengan memaksimalkan biaya fiskal.
Biaya fiskal adalah biaya yang menurut Undang‐Undang Perpajakan dapat
dikurangkan dari penghasilan Bruto. Semakin besar biaya fiskal yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto menyebabkan semakin kecil laba bersih
sebelum pajak dan otomatis akan mengurangi pajak terutang. Dalam tax planning
selain memaksimalkan fiskal, hal lain yang harus diperhatikan adalah
meminimalkan biaya yang menurut Undang‐Undang perpajakan tidak dapat
dikurangkan menyebabkan penghasilan sebelum pajak akan lebih besar dan hal itu
menyebabkan pajak terutang juga lebih besar. Oleh karena itu, dalam melakukan
tax planning kita harus mengetahui biaya diperkenankan sebagai pengurang dan
yang tidak diperkenankan sebagai pengurang.

2.4.3 Efesiensi Pajak

Menurut Djuanda, Lubis, dan Irwansyah (2003:80) apabila diinginkan


suatu beban pajak penghasilan yang efisien, maka yang harus dilakukan yaitu:

17
1. Usahakan penghasilan tersebut tidak termasuk pengertian penghasilan
yang dapat dikenakan pajak penghasilamn atau penghasilan yang kena
pajak diganti dengan penghasilan yang tidak kena pajak atau pengenaan
pajaknya ditangguhkan.
2. Tingkatkan biaya‐biaya yang dapat dikurangkan atau biaya tertentu yang
tidak dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak dikurangi dan
dialihkan ke biaya‐biaya yang dapat dikurangi dan dialihkan ke biaya‐
biaya yang dapat dikurangkan.
3. Perpanjang jangka waktu pengenaan pajak atas penghasilan atau
perpendek jangka waktu biaya‐biaya yang dapat dikurangkan.
4. Pertimbangkan antara naiknya penghasilan dengan beban pajak yang
meningkat, atau naiknya biaya tertentu dengan berkurangnya beban pajak,
dan hasil akhir (neto) harus memperbesar laba setelah pajak penghasilan.

2.5 SPT Masa PPh Pasal 4 Ayat (2)

Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 4 ayat 2 merupakan pembayaran pajak


penghasilan final yang dikenakan atas beberapa jenis penghasilan yang
didapatkan dan pemotongan pajaknya bersifat final serta tidak dapat dikreditkan
dengan pajak penghasilan terutang. Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 4 ayat
2 berbentuk Formulir SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2. Batas waktu pembayaran PPh
Pasal 4 ayat 2 adalah tanggal 10 bulan berikutnya, dan batas waktu pelaporan
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 4 ayat 2 adalah tanggal 20. SPT (Surat
Pemberitahuan) Masa Pajak adalah formulir yang harus diisi dan diserahkan
kepada otoritas pajak oleh wajib pajak untuk melaporkan penghasilan,
pengeluaran, dan informasi keuangan lainnya. Pasal 4 ayat 2 dalam SPT Masa
adalah salah satu ketentuan yang mengatur mengenai siapa saja yang diwajibkan
untuk menyampaikan SPT Masa.

PPh Pasal 4 ayat 2 Menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) di


Indonesia menetapkan bahwa wajib pajak yang memperoleh penghasilan tertentu
wajib menyampaikan SPT Masa. Jenis penghasilan yang dimaksud dapat berasal

18
dari berbagai sumber seperti gaji, honorarium, pendapatan dari usaha, investasi,
dan lain sebagainya. Ketentuan Pasal 4 ayat 2 ini memuat kewajiban wajib pajak
untuk melaporkan pendapatannya kepada otoritas pajak dengan mengisi dan
menyampaikan SPT Masa Pajak sesuai dengan jenis penghasilan yang diterima.
Setiap jenis SPT Masa memiliki peraturan khusus mengenai jadwal penyampaian,
formulir yang harus digunakan, serta prosedur lainnya yang harus diikuti sesuai
dengan jenis penghasilan yang dimiliki oleh wajib pajak. Pembuatan dan
pelaporan SPT Masa PPh Mulai April 2022, pembuatan serta pelaporan surat
pemberitahuan masa PPh Pasal 22, 23, 26, Pasal 4 ayat 2, dan pasal 15 wajib
menggunakan e- Bupot Unifikasi.

19
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Perusahaan

PT. X merupakan Perusahan yang bergerak di bidang pemborong proyek


konstruksi. Bidang pemborong proyek konstruksi adalah orang atau suatu badan
usaha yang bergerak atau berbisnis untuk menjalankan proyek pekerjaan
berdasarkan isi kontrak yang sudah disepakati oleh kontraktor dan pemilik proyek.
Hingga bulan Juni tahun 2022 PT. X sudah memiliki jumlah karyawan sebanyak
1.942 karyawan yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. PT X pertama berdiri
sejak tahun 1960.

Kebijakan manajemen untuk mengambil tax planning berupa memberikan


tunjangan kewajiban pajaknya atau gross up method . Oleh karena itu, dengan
adanya kebijakan tersebut tunjangan pajak dapat dibiayakan atau sebagai
pengurang penghasilan bruto perusahaan. PT X berkewajiban untuk menghitung
dan menyetorkan pajak penghasilah (PPh) Pasal 4 ayat 2 sesuai dengan UU No.
36 tahun 2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No 9 Tahun 2022 atas perubahan
PP No. 51 Tahun 2008 dan PP No. 40 Tahun 2009.

3.2 Analisis

3.2.1 Analisis Pajak Penghasilan Pada PT. X

Berdasarkan Pasal 17 ayat (1) bagian b UU No. 7 Tahun 2021 tentang


Harmonisasi Peraturan Perpajakan, tarif pajak yang dikenakan kepada badan
adalah 22%.. Dalam ketentuan yang terdapat dalam peraturan perpajakan tersebut,
disebutkan bahwa pajak yang diperkirakan dalam satu tahun pajak, dilunasi oleh
wajib pajak dalam tahun pajak berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak serta pembayaran pajak oleh wajib pajak sendiri. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka PT X sebagai wajib pajak badan berkewajiban untuk membayarkan
sejumlah pajak atas penghasilan yang diperoleh. Pemotongan pajak tersebut
berdasarkan laba bersih diperoleh dikalikan sesuai tarif yang berlaku yaitu sebesar
22%. penghasilan

20
yang diperoleh. Pemotongan pajak tersebut berdasarkan laba bersih diperoleh
dikalikan sesuai tarif yang berlaku yaitu sebesar 22%. Berdasarkan laporan
keuangan di atas, diketahui jumlah penghasilan yang digunakan sebagai dasar
perhitungan pajak penghasilan badan yaitu:

Laba Usaha Rp 934.164.350


Beban Pajak Penghasilan 22% Rp 205.516.157
Laba Bersih Setelah Pajak Rp 728.648.193

3.2.2 Alternatif Perencanaan Pajak

PT. X merupakan perusahaan yang bergerak dibidang pemborong proyek


konstruksi, yang memiliki tujuan untuk mencapai laba yang maksimal secara
terus‐ menerus. Permasalahan yang muncul dalam perhitungan dan pembayaran
beban pajak bagi perusahaan adalah beban pajak penghasilan tersebut cukup besar
sehingga laba bersih setelah pajak yang diterima oleh PT. X menjadi berkurang.
Untuk itu PT. X diharapkan dapat melakukan perencanaan pajak. Perencanaan
pajak secara umum dapat dilakukan dengan dua cara yaitu (Suandy, 2008:7) :

1. Memenuhi ketentuan perpajakan (lawful)

Upaya perencanaan pajak dengan mematuhi ketentuan perpajakan dan


menggunakan strategi dibidang perpajakan yang digunakan, seperti
memanfaatkan pengecualiaan dan potongan yang diperkenankan maupun
memanfaatkan hal‐hal yang belum diatur dalam peraturan perpajakanyang
berlaku (loopholes).

2. Melanggar peraturan perpajakan (unlawful).

Usaha penghindaran pajak yang dilakukan dengan melanggar ketentuan


perpajakan, seperti memberikan data keuangan palsu.

Berdasarkan uraian di atas, maka PT X dapat melakukan alternatif


perencanaan pajak penghasilan pasal 4 ayat 2 dengan menggunakan metode gross
up. Metode gross up digunakan untuk yang menaikkan nilai atas transaksi jasa,

21
dimana jumlah transaksi dalam kontrak sudah termasuk pajak yang harus
dipungut perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar jumlah pajak yang dipotong dan
dibayarkan oleh perusahaan dapat dibebankan sebagai biaya, karena selama ini
perusahaan membayarkan withholding tax maka jumlah pajak yang dibayarkan ini
tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Oleh sebab itu perencanaan pajak yang
dilakukan oleh PT X adalah dengan menggunakan metode gross up yang
dilakukan sebagai berikut:

1. Pemakaian Jasa Pelaksanaan Konstruksi (Sub Kontraktor)

Pemakaian jasa pelaksana konstruksi (Sub Kontraktor yang memiliki


kualifikasi usaha dapat dihitung melalui transaksi yang berhubungan dengan
jasa tersebut yaitu sebagai berikut: Pemakaian Jasa Sub Kontraktor dengan
nilai transaksi Rp 6.064.361.850

a. Perhitungan Pasal 4 ayat 2 Sebelum di Gross Up


2,65 % x Rp 6.064.361.850 = Rp 160.705.589
Jadi PPh Pasal 4 ayat 2 yang harus di potong sebesar Rp
160.705.589

b. Perhitungan Pasal 4 ayat 2 Setelah di Gross Up


Rp 6.064.361.850 = Rp 6.229.442.064
Gross Up = 97.35%

PPh Pasal 4 ayat 2: = Rp 165.080.214


2,65% x Rp 6.229.442.064
Nilai Bersih = Rp 6.064.361.850
Berdasarkan perhitungan di atas, terlihat perbedaan biaya pemakaian jasa
pelaksana konstruksi (Sub Kontraktor), dimana sebelum dilakukan gross up biaya
pemakaian jasa pelaksana konstruksi (Sub Kontraktor) sebesar Rp 6.064.361.850
kemudian setelah dilakukan gross up biaya pemakaian jasa pelaksana konstruksi
(Sub Kontraktor) meningkat menjadi 6.229.442.064.

22
2. Sewa Gudang

Sewa gedung dapat dihitung melalui transaksi yang berhubungan dengan


jasa tersebut sebesar Rp 101,280,400

a. Perhitungan Pasal 4 ayat 2 Sebelum di Gross Up


10% x 101,280,400 = Rp 10.128.040
Jadi PPh Pasal 4 ayat 2 yang harus di potong sebesar
Rp 10.128.040

b. Perhitungan Pasal 4 ayat 2 Setelah di Gross Up


Rp 101,280,400 = Rp 112.533.778
Gross Up = 90 %

PPh Pasal 4 ayat 2 : = Rp 11.253.377


10% x Rp 112.533.778
Nilai Bersih Rp 123.787.156
Berdasarkan perhitungan di atas, terlihat perbedaan biaya pemakaian jasa
sewa alat kerja, dimana sebelum dilakukan gross up biaya pemakaian jasa sewa
alat kerja sebesar Rp 101,280,400 kemudian setelah dilakukan gross up biaya
pemakaian jasa sewa alat kerja meningkat menjadi Rp 112.533.778

Maka, dihasilkan total selisih pajak sebelum gross up & setelah gross up :

1. Jasa Pelaksanaan konstruksi


Rp. 6.229.442.064 – = Rp. 165.080.214
6.064.361.850
2. Sewa Gudang
Rp. 112.533.778- 101.280.400 = Rp. 11.253.378
Total Rp. 153.826.836

23
3.2.3 Dampak Perencanaan Pajak Terhadap Beban PT. X

Setelah dilakukan perhitungan pajak sehubungan dengan perencanaan


pajak di atas, maka di dapat hasil penghasilan netto dan beban pajak yang harus
dibayar oleh PT X sebagai berikut:

Laba Usaha Sebelum Perencanaan Rp 934.164.350


Laba Usaha
(Rp 934.164.350 –153.826.836) Rp 780.337.514
Beban Pajak Penghasilan
(22% x Rp. 780.337.514) Rp 171.674.253
Laba Bersih Setelah Pajak
(Rp. 934.164.350 -171.674.253) Rp 762.490.097

Penghematan Pajak :

Beban Pajak Sebelum Perencanaan Rp 205.516.157


Beban Pajak Setelah Perencanaan Rp 171.674.253
Jumlah Penghematan Pajak Rp 33.841.904

Peningkatan Laba:

Laba Sebelum Perencanaan Rp 728.648.193


Laba Setelah Perencanaan Rp 762.490.097
Jumlah Peningkatan Laba (Rp 33.841.904)

Berdasarkan perhitungan di atas terlihat penghematan pajak sebesar Rp


33.841.904 seimbang dengan peningkatan laba sebesar Rp 33.841.904.

24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

1. PPh Pasal 4 Ayat 2 yang berlaku dalam industri konstruksi, yang


mencakup pendekatan perhitungan pajak yang berbeda dari sektor lain.
2. Perencanaan pajak (Tax Planning) yang relevan untuk jasa konstruksi,
seperti pengelolaan biaya, pengoptimalan manajemen pajak terhadap
proyek-proyek yang berbeda, dan penerapan kebijakan pengurangan
pajak yang sah.
3. Perhitungan dan pembayaran beban pajak bagi PT X cukup besar
sehingga laba bersih setelah pajak yang diterima oleh PT X menjadi
berkurang.
4. Perencanaan pajak melalui metode gross up pada PPh pasal 4 ayat 2
PT X dapat melakukan penghematan pajak, dimana terlihat bahwa
setelah di lakukan gross up pada PPh pasal 23 terlihat bahwa
penghematan pembayaran pajak PT X sebesar Rp 33.841.904,‐
5. Perencanaan pajak yang dilaksanakan oleh PT X telah menjadikan
dana–dana perusahaan menjadi efektif dan efisien
6. Perencanaan pajak yang akan dilaksanakan oleh PT X telah sesuai
dengan Peraturan Perpajakan. Pelaksanaannya dilakukan dengan
dengan memaksimalkan biaya fiskal. Biaya fiskal adalah biaya yang
menurut Undang‐Undang Perpajakan dapat dikurangkan dari
penghasilan Bruto. Semakin besar biaya fiskal yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto menyebabkan semakin kecil laba bersih
sebelum pajak dan otomatis akan mengurangi pajak terutang.

4.2 Saran
Evaluasi sumber beban pajak untuk memahami faktor-faktor utama
yang menyebabkan besarnya beban pajak pada PT X, mungkin ada
peluang untuk mengoptimalkan struktur pajak atau mengidentifikasi area
di mana

25
penyesuaian dapat dilakukan. Pertimbangkan untuk memperluas strategi
perencanaan pajak ke area lain yang memungkinkan penghematan pajak
tambahan dengan tetap mematuhi peraturan perpajakan. Terus tinjau
strategi perencanaan pajak untuk memastikan bahwa penggunaan dana
perusahaan benar-benar optimal dan sesuai dengan tujuan perusahaan, dan
memastikan perencanaan pajak tidak melanggar aturan perpajakan dan
selaras dengan prinsip-prinsip etika bisnis.

26
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi. 2006. Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam


Penyelesaian Sengketa Pajak. Cet.1. Bandung: PT. Refika Aditama

Ampa. 2011. Implementasi Tax Planning dalam Upaya Meningkatkan


Kinerja Perusahaan Pada PT.Bank Sulsel, Makasar.

Angraini, A., & Retnani, E. D. (2023). ANALISIS PENERAPAN TAX


PLANNING PPH BADAN UNTUK MENGEFISIENSIKAN
PEMBAYARAN PPH BADAN. Jurnal Ilmu dan Riset Akuntansi
(JIRA), 12(2).

Bayu Sarjono. (2017). Analisis Aspek Perpajakan Atas Usaha Jasa


Konstruksi Dalam Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Jurnal Bisnis
Terapan Volume 01, Nomor 02.

Damayanti. 2009. Perpajakan Indonesia ‐ Mekanisme dan. Perhitungan.

Edisi ke‐l.Yogyakarta: ANDI

Daniela Anauskah dan Nurlela Hafidzah . (2018). Penerapan Pemotongan,


Penyetoran, Dan Pelaporan PPh Final Atas Jasa Konstruksi E-Spt
Masa 2017. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, Vol. 4 (1).

Djuanda, Lubis, dan Irwansyah. 2003. Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai


dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama

Gunadi. 2002. Akuntansi Pajak Sesuai dengan Undang‐undang Pajak


Baru. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia Hasibuan. 2004.
Manajemen. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

27
Hidayat, Nita Fhikniati. 2010. Penerapan Tax Planning Atas Pajak
Penghasilan Badan Dalam Upaya Meningkatkan Efisiensi
Pembayaran Beban Pajak Pada PT Agricon Putra Citra Optima.

Hillary S.P Ratuela, Julie J. Sondakh, Anneke Wangkar. (2018). Analisis


Penerapan Pajak Penghasilan Final Pasal 4 ayat 2 atas Jasa
Konstruksi. Jurnal Riset Akuntansi Going Concecrn 13(4), 2018,
856-
866

Jumaiyah dan ADV Wahidullah. 2020. Pajak Penghasilan (Teori, Kasus dan
Praktik), Lautan Pustaka, Yogyakarta.
Kenju, B. S., Elim, I., & Pusung, R. J. (2019). Analisis Perencanaan Pajak
Dalam Perhitungan Pajak Penghasilan Badan Pada Pt. Sinar Cipta
Persada Sejati. Going Concern: Jurnal Riset Akuntansi, 14(4).
Librata, Noviandi. 2010. “Analisis Penerapan Tax Planning dalam Upaya
Meningkatkan Efisiensi Pembayaran Beban Pajak Penghasilan pada
PT. Graha Mitra Sukarami”. Jurnal Fakultas Ekonomi Akuntansi
STIE MDP Palembang.
Lumbantoruan. 2005. Akuntansi Pajak, edisi revisi, Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Mardiasmo. 2009. Perpajakan Edisi Revisi 2009. Yogyakarta. T.T.P

Maulana. 2007. Analisis Potensi dan Upaya Pemungutan Pajak Sarang


Burung Walet di Kota Singkawang. Penelitian dipublikasikan
lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20304745‐T30687%20...pdf

Nurwati, N., & Anwar, S. (2019). PENERAPAN TAX PLANNING ATAS


WITHHOLDING TAX SYSTEM TERHADAP PAJAK
PENGHASILAN BADAN PADA PT. CAT. JURNAL AKUNTANSI
BARELANG, 4(1), 106-122

Pudyatmoko. 2006. Pengantar Hukum Pajak. Yogyakarta: Andy Offset.

Rahayu. 2010. Perpajakan. Konsep, Teori, dan Isu. Jakarta: Kencana

28
Regar. 2005. Pajak Penghasilan 1994, Jakarta: Erlangga

Saumaningsih, F. (2023). Pengaruh Pemahaman Perpajakan, Kebijakan

Pemerintah, dan Implementasi Teknologi Terhadap Efektivitas Tax

Planning. Sanskara Akuntansi dan Keuangan, 1(02), 70-79.

Sekaran, Uma, 1992. Research Methods For Business. New York: John
Willey and Sons,Inc.

Siahaan, Fadjar O.P., 2005. Faktor‐Faktor yang Mempengaruhi Perilaku


Kepatuhan Tax Professional dalam Pelaporan Pajak Badan pada
Perusahaan Industri Manufaktur di Surabaya. Disertasi Program
PascaSarjana Universitas Airlangga. Tidak dipublikasikan.

Suryadi, 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran, Pelayanan, Kepatuhan


Wajib Pajak dan Pengaruhnya terhadap kinerja Penerimaan Pajak.
Jurnal Keuangan Publik Volume 4 No. 1, April 2006, halaman
105‐ 121.
Sumampouw, A. G., & Wangkar, A. (2022). Evaluasi Pemotongan
Penyetoran dan Pelaporan PPh 23 Atas Pendapatan Jasa Pada Cv.
Palakat. Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum (Ekonomi, Sosial,
Budaya, dan Hukum), 5(2), 627-634.

29
LAMPIRAN

30
31
32
33
34
35

Anda mungkin juga menyukai