Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TAX PLANNING PPH BADAN


(Disusun Untuk Memenuhii Tugas Mata Kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak)

Dosen Pengampu:
Saprudin

Disusun Oleh:
Lahmiarty 2110313120011
Najmi ‘Aziza 2110313320017
Rina 2110313120028

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Tax Planning PPH Badan” ini
dengan tepat waktu.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menyelesaikan
tugas dosen pada mata kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak. Selain itu, juga
guna memberikan wawasan serta pengetahuan kepada para pembaca tentang
bagaimana perhitungan Pajak pada suatu Badan.
Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada Bapak Saprudin selaku
dosen mata kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak yang membimbing kami dalam
pengerjaan tugas makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari bahwa masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran membangun dari
berbagai pihak untuk kesempurnaan makalah ini.

Banjarmasin, 13 April 2024

Kelompok 6

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Tujuan Pembelajaran ................................................................................ 7
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 8
2.1 Laba Fiskal vs Laba Komersial ................................................................ 8
2.2 Tax Planning Dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan .................. 16
2.3 Formula Perhitungan Pajak Penghasilan ................................................ 28
2.4 Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh Pasal 25 ........... 29
PENUTUP ............................................................................................................. 31
3. 1 Simpulan ................................................................................................. 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 32

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam hal pelaksanaan perpajakan, kepentingan Wajib Pajak akan berbeda
dengan pemerintah. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil-kecilnya,
karena akan mengurangi kemampuan ekonomisnya; sedangkan pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah sebagian besar
dari pajak. Wajib pajak dapat menggunkan manajemen pajak untuk menerapkan
peraturan secara benar, mengefisienkan laba, dan meminimalkan beban pajak.
Manajemen pajak meliputi perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian dan pengawasan. Upaya untuk meminimalkan pajak sering
disebut sebagai teknik perencanaan pajak. Teknik ini merujuk pada proses rekayasa
usaha dan transaksi, agar utang pajak bereda dalam jumlah minimal, tetapi masih
dalam bingkai peraturan.
Perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang menekankan
kepada pengendalian setiap transaksi yang memiliki konsekuensi pajak. Tujuan
tindakan ini adalah mengefisienkan jumlah pajak yang di transfer ke pemerintah,
melalui penghindaran pajak/tax avoidance, bukan penyelundupan pajak/tax evasion
(Mohammad Zain, 2003).
Dalam hal pelaksanaan administrasi perpajakan, terdapat perbedaan
kepentingan antara wajib pajak dengan pemerintah. Wajib pajak berusaha untuk
membayar pajak sekecil mungkin karena dengan membayar pajak berarti
mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di lain pihak pemerintah
memerlukan dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah, yang sebagian
besar berasal dari penerimaan pajak. Adanya perbedaan kepentingan ini
menyebabkan Wajib Pajak cenderung untuk mengurangi jumlah pembayaran pajak,
baik secara legal maupun illegal, hal ini dimungkinkan jika ada peluang yang dapat
dimanfaatkan baik karena kelemahan peraturan pajak maupun sumber daya
manusia (fiskus).
Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan peraturan perpajakan secara
benar dan usaha efisiensi laba usaha serta untuk meminimalisasi beban pajak, Wajib

4
Pajak dapat menggunakan salah satu cara di dalam perpajakan yang dikenal dengan
manajemen pajak, yaitu suatu upaya memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar
melalui perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan
pengawasan mengenai perpajakan, sehingga beban pajak yang ditanggung
perusahaan dapat diminimalkan guna memperoleh laba dan likuiditas yang
diharapkan tanpa melanggar Undang-Undang yang berlaku. Upaya untuk
meminimalisasi pajak ini sering disebut dengan teknik perencanaan pajak. Teknik
ini merupakan bagian dari manajemen pajak yang merujuk pada proses merekayasa
usaha dan transaksi Wajib Pajak agar hutang pajak berada dalam jumlah yang
minimal tetapi masih dalam bingkai peraturan perpajakan. Namun perencanaan
pajak juga dapat berkonotasi positif sebagai perencanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan secara lengkap, benar dan tepat waktu sehingga dapat menghindari
pemborosan sumber daya. Bila hal ini telah dilakukan, tidak bisa dimungkiri
pelaksanaan administrasi perpajakan yang efisien dapat kita peroleh.
Prinsip efisiensi yang diterapkan dalam badan usaha untuk mengurangi
segala macam biaya juga diterapkan untuk pajak. Berdasarkan kenyataan bahwa
peraturan perpajakan sedemikian kompleks dan dinamis, maka untuk mengurangi
beban pajak diperlukan suatu manajemen pajak yang antara lain melalui fungsi
perencanaan pajak (Basri Musri, 2004).
Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang dihitung berdasarkan
peraturan perpajakan dan dikenakan atas penghasilan kena pajak perusahaan.
Terdapat perbedaan antara perhitungan pajak versi PSAK dengan versi fiskal, tetapi
perbedaan tersebut tidak perlu dipertentangan karena masing-masing memiliki
tujuan penggunaan yang berbeda, meski pengukuran profitnya diperoleh dari
sumber data yang sama, yakni laporan keuangan komersial.
Menyusun perencanaan pajak PPh Badan tidak bisa berjalan sendiri-
sendiri tanpa memfaktorkan jenis-jenis pajak lainnya, karena perhitungan PPh
badan memiliki keterkaitan atau interdependensi dengan PPh Pasal 21, PPh Pasal
23/26, PPh Final dan juga PPN.
Contoh:
• Total omzet penjualan dalam SPT PPh badan harus sama dengan total omzet
penjualan yang ada dalam akumulasi SPT masa PPN bulan terakhir (masa

5
pajak) pada akhir tahun pajak. Jika terjadi perbedaan, perlu dilakukan equaliasi
atau rekonsiliasi.
• Ketika perusahaan memilih apakah menerapkan metode net atau gross up pada
saat menghitung PPh Pasal 21, keputusan itu akan berpengaruh pada besarnya
PPh Badan.
• Pengeluaran biaya gaji upah, honorarium, dan sebagainya yang menyangkut
kesejahteraan karyawan yang tercantum dalam SPT PPh Badan tahun yang
bersangkutan harus sama dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh Pasal 21
berupa penghasilan bruto yang dibayarkan kepada pegawai dan penerima
penghasilan lainnya. Jika terjadi perbedaan, perlu dilakukan equalisasi atau
rekonsiliasi.
• Pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan kepada pegawai adalah non
deductible exspenses, tidak bisa diperlakukan sebagai biaya fiscal sesuai pasal
9 ayat (1) huruf e UU PPh, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan PMK-82/PMK.03/2011.
• Di dalam laporan keuangan/neraca terdapat Pajak Penghasilan Pasal 22/23/26
yang menjadi dasar perhitungan PPh Badan yang terutang. Bila pendapatan
perusahaan sudah dikenakan PPh final, tidak dihitung lagi sebagai penghasilan
kena pajak yang terutang PPh Badan, contohnya adalah pendapatan bunga
deposito bank.
Perhitungan PPh sesungguhnya mencakup periode satu tahun pajak,
namun demikian, berdasarkan ketentuan UU PPh dalam tahun berjalan terdapat
kewajiban untuk mengangsur Pajak Penghasilan. Dengan demikian, terdapat 2
(dua) perencanaan pajak yang perlu diperhatikan yaitu perencanaan pajak yang
ditujukan kepada Pajak Penghasilan yang terutang (untuk cakupan satu tahun pajak)
dan perencanaan pajak yang ditujukan untuk efisiensi angsuran Pajak Penghasilan.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang akan kami bawakan berdasarkan latar
belakang diatas adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan laba fiskal dan juga laba komersial?

6
2. Bagaimana tax planning dalam rangka mengefisienkan PPh Badan?
3. Bagaimana cara perhitungan pajak penghasilan?
4. Bagaimana proses untuk mengajukan permohonan pengurangan pembayaran
angsuran PPh Pasal 25?

1.3 Tujuan Pembelajaran


Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan pembelajaran dalam
pemabahsan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan laba fiskal dan juga laba
komersial.
2. Untuk mengetahui tax planning seperti apakah yang dapat digunakan dalam
rangka mengefisienkan PPh badan.
3. Untuk mengetahui bagaimana cara perhitungan pajak penghasilan.
4. Untuk mengetahui proses apa saja yang harus dilalui dalam pengajuan
permohonan pengurangan pembayaran angsuran PPh Pasal 25.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Laba Fiskal vs Laba Komersial


Laporan keuangan komersial yang berupa neraca dan laba-rugi disusun
berdasarkan prinsip akuntansi yang lazim diterima dalam praktik. Laporan
keuangan komersial dapat diubah menjadi laporan keuangan fiscal dengan
melakukan koreksi seperlunya atau penyesuaian melalui suatu rekonsiliasi antara
standar akuntansi dan ketentuan perpajakan.
Pada dasarnya yang membedakan laporan keuangan fiskal dengan laporan
keuangan komersial adalah bahwa penyusunan laporan keuangan fiskal didasarkan
pada penerapan mekanisme atau prinsip taxable dan deductible.
Prinsip taxable (dapat dipajaki) dan deductible (dapat dikurangi)
merupakan prinsip yang lazim diterapkan dalam perencanaan pajak, yang pada
umumnya mengubah penghasilan yang merupakan objek pajak menjadi
penghasilan yang tidak merupakan objek pajak, serta mengubah biaya yang tidak
boleh dikurangkan menjadi biaya yang boleh dikurangkan, atau sebaliknya,
didasarkan pada ketentuan perpajakan, dengan konsekuensi terjadinya perubahan
pajak terutang akibat pengubahan tersebut.
Prinsip taxability deductibility yang dianut dalam melakukan
penghitungan Penghasilan Kena Pajak dengan benar dan tepat, pada dasarnya
adalah penjabaran dri ketentuan perpajakan yang diterapkan pada Pasal 4 ayat 1 dan
2 (penghasilan) dan Pasal 6 ayat 1 (biaya deductible), serta Pasal 9 ayat 1 (biaya
non deductible) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang diubah terakhir kali
dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai Pajak Penghasilan, beserta
peraturan pelaksanaannya, yakni:
1) Penghasilan yang menjadi objek (taxable income)
Penghasilan yang menjadi objek diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008.
Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk

8
konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium,
komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk
lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c. Laba usaha;
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, termasuk:
1. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
3. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang;

9
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi;
h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak;
q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;
r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
s. Surplus Bank Indonesia.
2) Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final diatur dalam
Pasal 4 ayat 2 UU PPh No. 36 tahun 2008. Penghasilan dibawah ini dapat
dikenakan pajak bersifat final:
a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lain, bunga obligasi dan
surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
kepada anggota koperasi orang pribadi.
b. Berupa hadiah undian.
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasanganya yang diterima
oleh perusahaan modal ventura.

10
d. Penghasilan dan transaksi pengalihan harta berupa tanah dan atau
bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan pesewaan tanah dan
atau bangunan; dan penghasilan tertentu lainya, yang diatur dengan atau
berdasarkan peraturan pemerintah.
3) Penghasilan yang bukan objek pajak (Non taxable income)
Penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam pasal 4 ayat 3 UU
PPh No. 36 Tahun 2008, sebagai berikut:
a. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak, atau
sumbangan wajib keagamaan.
b. Harta hibah yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil.
c. Warisan.
d. Harta, termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau
sebagai pengganti penyertaan modal.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari
wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diberihkan oleh atau wajib
pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau wajib pajak yang
menggunak norma perhitungan khusus (deemed profit) sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15;
f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa.
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas
sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia dengan syarat :

11
1. Dividenn berasal dari cadangan laba ditahan.
2. Bagi perseroan terbatas, BUMN, dan BUMD yang menerima dividen
, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
h. Iuran yang diterima atau dioperoleh dana pensiun yang pendirianya telah
disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai.
i. Penghasilan daroi modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana
dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan.
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif.
k. Dihapus.
l. Pengahasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan
usaha tersebut:
1. Merupakan usaha mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
m. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuanya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
n. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang
bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan
pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membeidanginya,
yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan
pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu
paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang

12
ketentuanya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
o. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu, yang ketentuanya diatur lebih
lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
4) Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expense)
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam
Pasal 6 UU PPh No. 36 Tahun 2008.
a. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. Biaya pembelian bahan.
2. Berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,
honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk uang.
3. Bunga, sewa, dan royalti.
4. Biaya perjalanan.
5. Biaya pengolahan limbah.
6. Premi asuransi.
7. Biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
8. Biaya administrasi.
9. Pajak, keculain PPh.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain
yang mempunyai manfaat lebih dari satu tahun sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendirianya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan.
d. Kerugian karena penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki.
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing.
f. Penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia.
g. Biaya beasiswa, magan dan pelatihan.

13
h. Piutang yang nyatanya tidak dapat ditagih dengan syarat:
1. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.
2. Wajib pajak harus menyerahkan daftar piutang tang tidak dapat
ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak.
3. Telah diserahkan perkara penagihanya kepada pengadilan negeri.
4. Syarat, sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk
penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k, yang pelaksanaanya diatur lebih lanjut
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
i. Sumbangan dalam rangka penangulangan bencana nasional yang
ketentuan ya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan
di Indonesia yang ketentuanya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
k. Pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuanya diatur dengan
peraturan pemerintah.
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuanya diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
5) Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expense).
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur
dalam Pasal 9 UU PPh No. 36 tahun 2008 sebagai berikut:
a. Pembagian laba dengan nama dan bentuk apa pun seperti dividen.
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:
1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hakm opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan pajak piutang.
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial
yang dibentuk oleh BPJS.
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.

14
4. Cadangan bkiaya rekilamasi untuk usaha pertambangan.
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan.
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan
limbah industri.
d. Premi asuransi perusahaan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi beasiswa yang dibayar oleh wajib pajak orang
pribadi, keculai dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihutang
sebagai penghasilan bagi wajib pajak yang bersangkutan.
e. Pergantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan.
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai
imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
g. Harta yang dihibahkan.
h. Pajak Penghasilan.
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib
pajak atau menjadi prang tanggunganya.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
k. Sanksi administrasi brupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di
bidang perpajakan.
l. Pengeluaran yang mempunya masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak boleh
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi.
m. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan objek pajak.
n. Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara pengahasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
o. Pajak yang ditanggung oleh pemeberi penghasilan, kecuali PPh Pasal 26
ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak
Penghasilan tersebut ditambahkan dalam perhitungan dasar untuk
pemotongan pajak.

15
p. Kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki atau tidak diperhunakan
dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang merupakan objek pajak.

2.2 Tax Planning Dalam Rangka Mengefisiensikan PPh Badan


Beberapa upaya yang bisa dilakukan wajib pajak dalam mengefisiensikan
pembayaran PPh Badan :
1) Pemilihan sistem pembukuan yang tepat
a. Metode penghitungan penghasilan dan biaya (stelsel akrual vs stelsel kas)
Menurut stelsel akrual, penghasilan diakui pada waktu diperoleh
dan biaya diakui pada waktu terutang, jadi, tidak tergantung kapan
penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
− Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan
penghasilan adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode
persentasi tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai
dalam bidang konstruksi dan metode laian yang dipakai dalam bidang
usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real
estate.
− Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak
terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
meskipunpembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau
belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
Menurut stesel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan
pabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode
tertentu, serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar
telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan
stelsel campuran. Oleh karena itu, untuk penghitungan pajak
Penghasilan dengan memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:

16
1) Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus
meliputi seluruh penjulan baik yang tunai maupun yang bukan.
Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan
seluruh pembelian dan persediaan.
2) Dalam memperoleh harta yang disusutkan dan hak-hak yang
dapat diamortisasi, biaya-biaya yang harus dikurangkan dari
penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan
amortisasi
3) Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas
(konsisten).
Apabila dibandingkan antara stelsel akrual dan stelsel kas,
menurut versi perpajakan, dalam hal biaya administrasi biaya dan umum
pada basis akrual dibebankan pada saat timbulnya kewajiban, sedangkan
basis kas biaya tersebut baru dilaporkan pada saat terjadinya pembayaran.
Dari segi strategi perpajakan, lebih menguntungkan memilih basis akrual
daripada basis kas.
b. Analisis perbandingan pembukuan dengan pencatatan
Wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib
menyelenggarakan pembukuan. Pengecualian diberikan pada Wajib Pajak
Orang Pribadi :
1) Yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai
dengan ketentuan peraturan perpajakan diperbolehkan menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto ; dan
2) Wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
Semua wajib pajak badan dan bentuk usaha tetap diwajibkan
menyelenggarakan pembukuan, kecuali bagi wajib pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran bruto tetrtentu diwajibkan untuk menyelenggarakan
pembukuan.

17
Pencatatan itu terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur
tentang peredaran atau penerimaan bruto dan atau penghasilan bruto yang
digunakan sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang,
termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenai pajak
yang bersifat final, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Bagi wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan
pekerjaan bebas, pencatatan meliputi : peredaran atau penerimaan
bruto dan penerimaan penghasilan lainnya.
b. Bagi wajib pajak orang pribadi yang semata-mata menerima
penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya
mengenai :
Penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan
objek Pajak Penghasilan.
c. Pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan atau
yang dikenai pajak yang bersifat final.
Besarnya peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun wajib pajak orang
pribadi yang boleh menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Netto sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak enghasilan
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Pasal 14 ayat 2
UU Nomor 36 tahun 2008, menjadi kurang dari Rp. 4.800.000.000.000
Untuk melihat mana yang paling menguntungkan bagi wajib
pajak, apakah menggunakan pembukuan atau pencatatan, berikut ini
contoh analisis perbandingan pembukuan dan pencatatan.
Perhitungan Rugi Laba Tahun 2011
Kantor Notaris Badu
Pos Perkiraan Pencatatan Pembukuan
Penghasilan Bruto 900.000.000 900.000.000
Biaya 3M 720.000.000
Laba Bersih usaha 495.000.000 180.000.000
PTKP (mis.TK/1) 18.480.000 18.480.000
Penghasilan Kena Pajak 476.520.000 161.520.000

18
PPh Terutang 23.836.000 8.076.000

Norma pengitungan Penghasilan neto untuk Notaris di Jakarta = 55%


Perhitungan penghasilan neto notaris di Jakarta dengan Norma 55% : 55%
x Rp 900.000.000 = Rp 495.000.000
Bila diasumsikan rate of return adalah 15%, maka laba bersih usaha
(pembukuan) = 15% x Rp 900 juta = Rp 180 juta
Dari contoh perhitungan diatas, lebih menguntungkan bagi
Notaris Badu membuat pembukuan daripada harus menggunkaan norma
penghitungan penghasilan neto dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya, karena PPh terutangnya lebih rendah.
Keuntungan menyelenggarakan pembukuan dapat dilihat dari
perbandingannya dengan pencatatan berikut ini :
Uraian Pencatatan Pembukuan
Harga Pokok dan Tidak Boleh Bisa diperhitungkan
biaya usaha Diperhitungkan (Pengeluaran yang
deductible)
Kompensasi kerugian Tidak Boleh Bisa dokompensasikan
Diperhitungkan ke tahun berikutnya
Penetapan Penghasilan Sesuai Norma Sesuai kondisi riil :
Kena Pajak Penghitungan penghasilan
Penghasilan Neto pengeluaran
deductible
Bila perusahaan PPh tetap harus PPh nihil
mengalami kerugian dibayar sesuai norma

2) Pemilihan metode penyusustan aktiva tetap dan amortisasi aktiva tidak


berwujud
Metode penyusutan aktiva tetap diatur dalam PSAK NO.16 berbeda
dengan akuntansi komersial yang memperbolehkan perusahaan menggunakan
metode garis lurus (straight line methode), metode saldo menurun (diminishing
balance method), metode jumlah unti (sum of the unit method), metode

19
penyusutan aset dipilih berdasrakan ekspektasi pola konsumsi manfaat
ekonomis masa depan dari aset, maka untuk tujuan perpajakan perusahaan
hanya boleh memilih metode garis lurus atau metode saldo menurun.
Sesuai pasal 11 Undang Nomor 7 tahun 1983 yang diubah terakhir
kali dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 mengenai Pajak
Penghasilan, di mana metode penyusutan yang diperbolehka berdasarkan
ketentun ini, dilakukan dengan :
a. Metode garis lurus atau straight line method
Metode ini menghasilkan pembebanan yang tetap selama masa
umur manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah; atau
b. Metode saldo menurun atau diminishing balance method
Metode ini menghasilkan pembebanan yang menurun selama
masa umur manfaat dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai
sisa buku.
Masing-masing metode penyusutan tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangannya dan pilihan penggunaannya tergantung pada kepentingan
pemakainya (user). Misalnya untuk kepentingan pemegang saham (dividen)
lebih cenderung menggunakan metode penyusutan garis lurus karena akan
lebih menguntungkan bagi wajib pajak dari segia laba komersialnya.
Dibandingkan dengan metode garis lurus, metode saldo menurun akan
menghasilkan beban penyusutan lebih besar pada tahun awal pembelian atau
perolehan aktiva tetap dan kemudian akan makin menurun pada tahun-tahun
berikutnya (walaupun pada akhir umur ekonomis aktiva tersebut jumlah
akumulasi penyusutan kedua metode tersebut akan sama) sehingga perolehan
profit pada tahun pertama akan lebih rendah. Namun bila kedua metode
tersebut dilihat dari future value atas penyusutan fiskalnya, maka hasilnya akan
berbeda.
3) Memilih metode penilaian persediaan yang tepat.
Sesuai pasal 10 ayat (6) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang
diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 mengenai
pajak penghasilan, di mana metode penilaian persediaan yang dibolehkan
berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

20
❖ Penilaian persediaan barang hanya boleh menggunakan harga perolehan.
❖ Penilaian pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok hanya
boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau dengan cara mendahulukan
persediaan yang didapat pertama (FIFO).
❖ Penggunaan metode penilaian persediaan harus dilakukan secara taat asas.
4) Pemilihan pemberin kesejahteraan kepada karyawan dalam bentuk natura atau
cash.
Pemberian natura atau kenikmatan untuk kesejahteraan karyawan
tidak cocok dalam kondisi sebagai berikut:
1. Pada perusahaan yang sedang menderita kerugian.
2. Pada perusahaan yang dikenakan PPh badan secara final.
Terdapat banyak cara untuk mengoptimalkan kesejahteraan
karyawan, dengan memanfaatkan peluang efesiensi beban pajak yang
berkaitan dengan pengeluaran biaya berikut ini:
(1) PPh pasal 21 karyawan
Pilihan terhadap metode PPh 21 Pasal 21 karyawan dapat
berupa :
❖ Bila beban PPh Pasal 21 sepenuhnya menjadi tanggungan
karyawan.
❖ Bila karyawan diberi tunjangan PPh pasal 21.
❖ Bila PPh Pasal 21 ditanggung oleh perusahaan.
(2) Pengobatan/kesehatan karyawan
Terdapat beberapa cara yang dilakukan oleh perusahaan
dalam memberikan fasilatas pengobatan untuk kesehatan
karyawannya.
a. Reimbursement kwitansi biaya medikal dari dokter/klinik/rumah
sakit.
b. Karyawan diberi tunjangan pengobatan atau kesehatan (mediccal
allowance) setiap bulan, sakit maupun tidak sakit.
c. Karyawan berobat di rumah sakit/klinik/dokter langganan dan
pengembalian obat dari apotik langganan.
d. Perusahaan mendirikan rumah sakit/klinik berikut dokter.

21
(3) Pembayaran Premi asuransi untuk pegawai
Sesuai pasal 6 ayat (1) a UU PPh No. 36 Tahun 2008,
pembayaran premi asuransi oleh pemberi kerja untuk kepentingan
pegawainya boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan (deductible),
tetapi bagi pegawai yang bersangkutan premi tersebut merupakan
penghasilan (taxable).
(4) Iuran Pensiun dan Iuran JHT/THT yang dibayar oleh Perusahaan
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan
iuran yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya tidak
atau belum disahkan oleh Menteri Keuangan tidak boleh dibebankan
sebagai biaya.
(5) Perumahan untuk karyawan
Beberapa alternative fasilitas perumahan yang diberikan oleh
perusahaan karyawannya untuk kesejahteraan karyawannya:
• Penempatan pada rumah dinas yang dibuat/dibeli oleh perusahaan
• Penempatan pada rumah dinas yang disewa oleh perusahaan
• Perusahaan memberikan penggantian sewa rumah dinas yang
dibayar oleh karyawan, penggantian ini dimasukkan ke dalam
tunjangan perumahan bagi pegawai
• Perusahaan memberikan tunjangan perumahan kepada karyawan
Perlakuan Perpajakan
Dasar acuannya adalah pasal 4 (3) hujuf d jo pasal 9 ayat 1
huruf d UU No 7 tahun 1983 yang telah dubah terakhir kalinya dengan
UU No 36 tahun 2008 tentang PPh, yakni:
• Pembayaran untuk pekerjaan/jasa dalam bentuk natura kepada
karyawan tidak dapat dipotongkan sebagai biaya perusahaan
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak dari perusahaan yang
bersangkutan, sedangkan bagi karyawan yang menerima
pemberian tersebut tidak merupakan penghasilan

22
• Jika diberikan dalam bentuk uang, maka apa yang diterima oleh
karyawan yang bersangkutan merupakan penghasilan, dan bagi
perusahaan yang bersangkutan merupakan biaya.
(6) Transportasi untuk Karyawan
Dasar pengaturannya adalah Surat Dirjen Pajak No.S-
1215/PJ.23/1984 yang ditegaskan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak
No.42/PJ.23/1984, dengan menyatakan bahwa masalah transportasi
secara keseluruhan telah diatur dalam Surat Direktur Jenderal Pajak
kepada Menteri Tenaga Kerja R.I tanggal 7 Juni 1984 nomor S-
336/PJ.23/1984, yang intinya adalah sebagai berikut:
• Biaya eksploitasi kendaraan antar jemput karyawan merupakan
biaya perusahaan dan bukan merupakan penghasilan bagi
karyawan.
• Seluruh biaya eksploitasi dan depresiasi untuk kendaraan
perusahaan yang dikuasai/dipegang oleh karyawan tertentu/dibawa
pulang setelah jam kerja merupakan biaya perusahaan dan bagi
karyawan bukan merupakan penghasilan karena merupakan
kenikmatan.
• Tunjangan transport yang diberikan kepada karyawan untuk
keperluan pergi dan pulang kantor merupakan penghasilan bagi
karyawan dan biaya bagi perusahaan.
• Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya biaya
transport, hotel, dan sebaginya merupakan biaya perusahaan dan
bukan penghasilan karyawan, sepanjang jumlahnya tidak
mengandung unsur pengeluaran untuk keperluan pribadi.
(7) Pakaian seragam untuk Karyawan
Kriteria yang diisyaratkan oleh fiskus mengenai pemberian
natura ini adalah sebagai berikut:
• Pemberian natura yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
pemberi kerja dan bukan merupakan penghasilan bagi pegawai
yang menerimanya adalah:

23
a) Pemberian/penyediaan makanan dan atau minuman bagi
seluruh pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan.
b) Penggantian/imbalan dalam bentuk natura / kenikmatan yang
diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah
tertentu dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah
untuk mendorong pembangunan didaerah tersebut.
c) Pemberian natura/kenikmatan yang merupakan keharusan
dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamata
kerja atau karena sifat pekerjaan tersebut mengharuskannya.
• Pemberian natura yang merupakan keharusan dalam pelaksanaan
pekerjaan sebagi sarana keselamatan kerja/karena sifat pekerjaan
tersebut mengharuskannnya, meliputi pakaina dan peralatan
untuk keselamatan kerja, pakaian seragam satpam. Pengertian
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan terkait dengan
keamanan/keselamatan pekerja yang diwajibkan oleh
Departemen tenaga kerja dan transmigrasi/pemerintah daerah
setempat (Peraturan Dirjen Pajak No. PER-51/PJ./2009)
(8) Perjalanan Dinas Karyawan
Biaya dalam rangka menjalankan tugas perusahaan, misalnya
biaya tiket pesawat, hotel, transportasi , dan sebagainya merupakan
biaya perusahaan dan bukan penghasilan karyawan, sepanjang
jumlahnya tidak mengandung unsur-unsur untuk keperluan pribadi.
Namun, dalam praktiknya, ada pemberian uang saku
(travelling Allowwence) yang didalamnya terdapat komponen biaya
perjalanan dinas, dan karena pemeberian ini dibayarkan secara tunai
sebagai uang saku, maka pemebrian tersebut dikategorikan sebagai
penghasilan bagi karyawan yang bersangkutan. Bila perusahaan
menginginkan agar travelling allowence tersebut dapat dibiayakan
(deductable) dalam laporan keuangan fiskal perusahaan, maka
travelling allowence tersebut harus dimasukkan dalam SPT PPh Pasal

24
21 atas nama karyawan yang bersangkutan sebagai unsur tambahan
penghasilannya yang dikenai PPh Pasal 21.
(9) Bonus dan jasa Produksi
Ada beberapa trik yang harus diperhatikan dalam pemberian
bonus dan grafitikasi, tantiem dan jasa produksi kepada komisaris,
direksi, atau pegawai sebagai berikut:
• Dalam pemberian bonus dan grafitikasi, tantiem dan jasa
produksi tersebut, biusa diperlakukan sebagai biaya perusahaan
bilaman dibebankan dalam biaya tahun berjalan. Namun bila
dibebankan ke dalam pos laba ditahan, maka tidak bisa diakui
sebagai biaya perusahaan.
• Tantiem adalah bagian keuntungan yang diberikan kepada direksi
dan komisaris dari pemegang saham yang didasarkan kepada
persentase tertentu dari laba perusahaan setelah kena pajak, tidak
dapat dibebankan sebagai biaya dalam menghitung Penghasilan
kena Pajak dan bagi penerimanya merupakan penghasilan dan
dikenakan PPh Pasal 21.
• Untuk keperluan perencanaan pajak, harus dihindari pembeyaran
gaji, bonus, gratifikasi jasa produksi yang melebihi kewajaran
kepada pemegang saham yang juga menjadi komisaris atau
pegawai karena pembayaran tersebut merupakan dividen dan
tidak boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan, sehingga
dipotong PPh Pasal 25/26.
(10) Pemberian Natura di daerah tertentu dan atau terpencil
Pemberian natura atau kenikmatan di daerah
tertentu/terpencil, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.
83/PMK.03/2009 dan Peraturan Dirjen Pajak No.51/PJ./2009.
1. Pengertian daerah tertentu atau terpencil:
• Daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang
layak dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada
umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh
transportasi umum, baik melalui darat, laut maupun udara

25
sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia
menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanaman modal
menanggung risiko yang cukup tinggi dan masa
pengembalian yang relatif panjang.
• Termasuk daerah perairan laut dengan kedalaman lebih dari
50m yang di dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
2. Pemberian natura atau kenikmatan yang boleh dibebankan
sebagai biaya adalah:
• Pemberian atau penyediaan makanan dan/ atau minuman
bagi seluruh Pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan, meliputi:
1) pemberian makanan dan/ atau minuman yang disediakan
oleh pemberi kerja di tempat kerja.
2) pemberian kupon makanan dan/ atau minuman bagi
Pegawai yang karena sifat pekerjaannya tidak dapat
memanfaatkan pemberian, meliputi pegawai bagian
pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya.
• Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau
kenikmatan yang diberikan berkenaan dengan pelaksanaan
pekerjaan di daerahh tertentu dalam rangka menunjang
kebijakan pemerintah untuk mendorong pembangunan di
daerah tersebut.
3. Penggantian atau imbalan adalah sarana dan fasilitas di lokasi
kerja untuk:
1) tempat tinggal, termasuk perumahan bagi Pegawai dan
keluarganya;
2) pelayanan kesehatan;
3) pendidikan bagi Pegawai dan keluarganya;
4) peribadatan;
5) pengangkutan bagi Pegawai dan keluarganya;
6) olahraga bagi Pegawai dan keluarganya tidak termasuk
golf, power boating, pacuan kuda, dan terbang layang,

26
sepanjang sarana dan fasilitas tersebut tidak tersedia,
sehingga pemberi kerja harus menyediakannya sendiri.
Pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan
keharusan dalam pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana
keselamatan kelja atau karena sifat pekerjaan tersebut
mengharuskannya, meliputi; pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan
(satpam), sarana antat jemput pegawai, serta penginapan untuk
awak kapal, dan yang sejenisnya.
4. Pengeluaran perusahaan dalam bentuk natura di atas bukan
merupakan penghasilan karyawan.
5. Penetapan daerah tertentu diberikan untuk jangka waktu 5
(lima) tahun, yang berlaku sejak tahun pajak diterbitkannya
keputusan dapat diperpanjang 1 (satu) kali. Jangka waktu
perpanjangan adalah 5 (lima) tahun.
6. Permohonan keputusan tentang penetapan daerah
tertentu/terpencil diajukan kepada Kantor Wilayah DJP yang
membawahi KPP tempat Wajib Pajak yang bersangkutan
terdaftar.
5) Memilih metode pemotongan PPh Pasal 21 yang tepat
Terdapat 3 metode yang dapat digunakan untuk memotong PPh Pasal
21, yaitu:
a. Metode Net, memperhitungkan tunjangan pajak yang diberikan
perusahaan dalam menghitung PPh Pasal 21 karyawan.
b. Metode Gross, pemotongan PPh pasal 21 dilakukan langsung dari gaji
bruto karyawan tanpa memperhitungkan tunjangan pajak yang diberikan
perusahaan.
c. Metode Gross-Up, merupakan kombinasi dari metode gross dan net.
Dimana gaji bruto karyawan dinaikkan terlebih dahulu dengan tunjangan
pajak sebelum dipotong PPh Pasal 21.

27
2.3 Formula Perhitungan Pajak Penghasilan
1 Jumlah seluruh penghasilan (worldwide income) Pasal 4 ayat 1
2 -/-: Penghasilan yang bukan objek PPh (non Pasal 2 ayat 3
taxable)
Penghasilan bruto (1-2)
3 -/-: Biaya fiskal yang boleh dikurangkan Pasal 6 ayat 1, Ps.
4 (deductible) 11&11A
(Koreksi biaya fiskal yang tidak boleh Pasal 9 ayat 1 & 2
dikurangkan dari total biaya)
5 Penghasilan neto (3-4)
6 -/-: Kompensasi kerugian Pasal 6 ayat 2
7 Penghasilan Tidak Kena Pajak (WPOP) Pasal 7 ayat 1
8 Penghasilan Kena Pajak/PhKP (taxable income)
9 (5-6-7) Pasal 17 dan 31E
Tarif PPh Pasal 17 dan 31E
10 Pajak Penghasilan terutang (tarif x PhKP)
11 -/-: kredit pajak Pasal 21 (WPOP) Ps. 22,
23, 24, 25
12 PPh kurang bayar/lebih bayar (10-11) Pasal 28, 28A, 29

Dengan adanya UU PPh No. 36 Tahun 2008 tersebut tarif PPh Badan yang
berlaku adalah tarif tunggal sebesar 25% semenjak tahun 2010, 2011, 2012,
sehingga untuk meminimalisasi PPh Badan yang terutang, strategi perencanaan
pajak di optimalkan dengan upaya meminimalkan beban pajak dan memaksimalkan
biaya fiskal yang dapat dikurangkan serta memaksimalkan penghasilan yang
ditangguhkan atau dikecualikan dari pengenaan pajak.
Perencanaan pajak bersifat dinamis, membutuhkan keahlian dalam bidang
perencanaan pajak dengan cara mendalami dan mempelajari masalahnya secara
berkesinambungan, serta melakukan penelitian yang kontinyu yang dipadu dengan
terapan ide-ide dan teknik-teknik perencanaan pajak. Begitu juga interaksi dengan
undang-undang pajak yang juga menyangkut pendekatan internal dan alternatif-
alternatif kebijakan yang dapat mengarahkan ke tujuan meminimalkan beban pajak,

28
karena perencanaan pajak itu pada hakikatnya merupakan hasil penelitian yang
didesain untuk suatu kejadian atau transakasi finansial sehingga dalam
penstrukturan fakta-fakta hasil penelitian tersebut harus dilakukan secara berhati-
hati sebelum peristiwanya terjadi.
Secara bertahap dianjurkan melakukan langkah-langkah berikut ini:
- Mempelajari pokok permasalahannya secara komprehensif
- Review keinginan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan pengeluaran
pajak minimal atau berupa keuntungan bebas pajak (tax exemption) melalui
tindakan atau persyaratan yang ditemukan.
- Mencari data sebanyak mungkin berkenaan dengan permasalahan tersebut.
- Teliti dan tentukan fakta-fakta yang relevan, kemudian buat asumsi-asumsi
yang harus disusun dan tentukan peraturan perpajakan yang sesuai dengan
situasi semacam itu.

2.4 Mengajukan Permohonan Pengurangan Pembayaran Angsuran PPh Pasal


25
Kenaikan pembayaran angsuran PPh pasal 25 disebabkan adanya:
1) SKPKB PPh Badan tahun sebelumnya yang terbit pada tahun berjalan,
2) Kenaikan laba pada tahun yang lalu,
3) Kenaikan pada RKAP tahun berjalan (untuk BUMN/D)
Sebagaimana diatur di dalam Keputusan Dirjen Pajak No. Kep-
537/PJ,/2000, apabila sesudah 3 bulan atau lebih berjalannya suatu tahun pajak,
perusahaan dapat menunjukan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut kurang dari 75% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan
besarnya PPh Pasal 25, perusahaan dapat mengajukan permohonan pengurangan
besarnya PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat perusahaan
terdaftar. Pengajuan permohonan pengurangan besarnya PPh Pasal 25 sebagaimana
dimaksud di atas harus disertai dengan penghitungan besarnya PPh yang akan
terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang akan diterima atau diperoleh dan
besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak yang
bersangkutan.

29
Apabila dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya surat
permohonan perusahaan, Kepala KPP tidak memberikan keputusan, permohonan
tersebut dianggap diterima dan perusahaan dapat melakukan pembayaran PPh Pasal
25 sesuai dengan penghitungannya untuk bulan-bulan yang tersisa dari tahun pajak
yang bersangkutan. Apabila dalam tahun pajak berjalan perusahaan mengalami
peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak
tersebut lebih dari 150% dari PPh yang terutang yang menjadi dasar penghitungan
besarnya PPh Pasal 25, besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dari
tahun pajak yang bersangkutan harus dihitung kembali berdasarkan perkiraan
kenaikan PPh yang terutang tersebut oleh perusahaan sendiri atau Kepala KPP
terdaftar.

30
BAB III
PENUTUP

3. 1 Simpulan
Perencanaan pajak yang efektif dapat dihasilkan melalui analisis terhadap
laporan keuangan dengan cara melakukan koreksi yang maksimal terhadap laporan
keuangan seperti dengan penyesuaian biaya-biaya komersil dapat dimaksimalkan
untuk dikoreksi fiskal dengan mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.

31
DAFTAR PUSTAKA

Linawati, et. al. 2015. Analisis Perencanaan Pajak Penghasilan Dalam


Meminimalisir Koreksi Fiskal. Jurnal STIE MDP Palembang
Pohan, Chairil Anwar. 2016. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak
dan Bisnis. Penerbit Gramedia Pustaka Umum
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
Zain, M. 2003. Manajemen Perpajakan. Penerbit Salemba Empat

32

Anda mungkin juga menyukai