Anda di halaman 1dari 19

Menilik Target Penerimaan Pajak Melalui Perspektif

Veda Vyasa : Mengumpulkan Pajak Tanpa Rasa Sakit atau


Menyengat Seperti Lebah?

DOSEN PENGAMPU :
Prof. Dr. Nizarul Alim, S.E., M.Si., Ak., CA
Dr. Prasetyono, S.E., M.Si., Ak., CFrA., CSRS
Alexander Anggono, S.E., M.Si., PhD., CFrA., CSRS., CRP

Oleh :
Nurul Kamariah (220251100006)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Penulis dari India (Deb, 2021) mengutip suatu kisah dalam kitab Mahabarata,
dimana disebutkan oleh Veda Vyasa bahwa seorang raja seharusnya memungut pajak
dari warganya seperti lebah yang sedang mengumpulkan nektar dari bunga yaitu
tanpa rasa sakit. Hal ini bermakna warga negara sebagai Wajib Pajak yang taat
terhadap undang-undang dan aturan perpajakan, seharusnya membayarkan pajak
secara suka rela tanpa ada paksaan ataupun ancaman. Seharusnya, Wajib Pajak
menjalankan kewajibannya atas dasar kesadaran untuk ikut terlibat dalam
pembangunan negara. Namun, praktik di lapangan justru sebaliknya. Seolah tidak
sejalan dengan paham Veda Vyasa di atas, dimana seorang pemimpin seharusnya
mengumpulkan pajak dari warganya seperti lebah yang mengumpulkan nektar dari
bunga, melainkan mereka terkesan seperti lebah yang menyengat dan menyakiti
warga negara sebagai Wajib Pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Sehingga hal ini berdampak pada menurunnya angka kesadaran warga negara untuk
ikut berpartisipasi dalam pembangunan nasional.
Beberapa studi menunjukkan bahwa walaupun pembayar pajak (dalam hal ini
Wajib Pajak) menghindari risiko dan bersikap rasional, para petugas pajak
memperlakukan mereka sebagai penghindar potensial (Yitzhaki, 1974) dan
menerapkan tindakan pemaksaan yang diizinkan secara hukum untuk memastikan
kepercayaan wajib pajak yang jujur terhadap mereka (Turner, 2005). Individu
mengambil berbagai tindakan untuk mengurangi kewajiban pajak mereka. Beberapa
diantaranya adalah kegiatan “penghindaran pajak” yang legal dan beberapa mengacu
pada tindakan yang ilegal dan disengaja untuk mengurangi kewajiban pajak mereka
secara hukum (Alm, 2012).
Kacurangan pajak dan penghindaran pajak merupakan dua topik yang selalu
melekat dengan Wajib Pajak. Penghindaran pajak merupakan fenomena universal
yang terjadi di semua masyarakat dan sistem ekonomi termasuk negara maju dan
negara berkembang (Chau & Leung, 2009). Padahal kenyataannya, Wajib Pajak
bukanlah aktor tunggal dalam sistem perpajakan. Keberadaan Wajib Pajak dalam
sistem perpajakan didampingi oleh konsultan pajak dan petugas pajak (Mangoting et
al., 2017). Literatur menunjukkan bahwa sistem perpajakan yang kompleks memiliki
lebih banyak kemungkinan penghindaran pajak dan memiliki kepatuhan pajak yang
lebih rendah (Cowell, 1990).
Fischer et. al., (1992) dalam (Chau & Leung, 2009) mengidentifikasi empat faktor
kepatuhan pajak yakni sebagai berikut :
1. Demografis (umur, jenis kelamin, dan pendidikan);
2. Peluang ketidakpatuhan (tingkat pendapatan, sumber pendapatan dan
pekerjaan);
3. Sikap dan persepsi (keadilan pajak, sistem dan pengaruh rekan); dan
4. Sistem/struktur pajak (kompleksitas sistem pajak, kemungkinan deteksi, denda
dan tarif pajak).
Fischer et. al., (1992) dalam (Chau & Leung, 2009) lebih lanjut mengungkapkan
bahwa variabel demografis secara tidak langsung mempengaruhi kepatuhan wajib
pajak dengan dampaknya pada peluang dan sikap dan persepsi ketidak patuhan.
Peluang ketidakpatuhan dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak secara langsung
melalui tingkat pendapatan, sumber pendapatan dan pekerjaan secara tidak langsung
melalui sikap dan persepsi. Selanjutnya, Fischer menyarankan keadilan sistem pajak
dan pengaruh teman sebaya untuk mengubah sikap dan persepsi pembayar pajak
terhadap kepatuhan pajak. Terakhir, efektivitas sistem perpajakan dipengaruhi oleh
kompleksitas sistem perpajakan, probabilitas deteksi, denda serta tarif pajak.
Selain itu, beberapa peneliti juga meneliti kepatuhan pajak yang dikaitkan dengan
budaya. Budaya merupakan ide yang kompleks (Bani-Mustafa et al., 2020). Dimensi
budaya Hofstede telah digunakan untuk memahami kepatuhan pajak dan bagaimana
hal itu dapat mempengaruhi moral pembayar pajak. Ketika mencoba mengklarifikasi
persamaan dan perbedaan di antara budaya-budaya di seluruh dunia, empat dimensi
budaya Hofstede menunjukkan pengakuan atas nilai-nilai inti yang berbeda di antara
berbagai masyarakat. Empat dimensi tersebut meliputi individualisme, penghindaran
ketidakpastian, maskulinitas dan jarak kekuasaan (Tsakumis et al., 2007). Sebuah
analisis cross-section dari 39 negara dilakukan untuk menemukan hubungan antara
budaya dan komitmen dalam membayar pajak (Bani-Mustafa et al., 2020), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa apabila suatu komunitas atau negara memiliki jarak
kekuasaan dan individualisme, masyarakat akan lebih cenderung untuk membenarkan
kecurangan pajak karena tidak merasa ikut terlibat dalam proses legislasi dan
menyebabkan mereka tidak memiliki komitmen untuk membayar pajak. Selain itu,
tingkat individualisme yang tinggi akan menimbulkan rasa tidak nyaman terhadap
perpajakan karena mereka tidak melihat perpajakan sebagai keuntungan langsung
bagi mereka. Temuan selanjutnya adalah adanya hubungan negatif antara
penghindaran ketidakpastian dan kecurangan pajak. Hal ini menunjukkan bahwa
individu cenderung membayar pajak mereka untuk menghindari konsekuensi negatif
di masa depan.
Dalam penelitiannya (Baldry, 1986) menunjukkan bahwa meskipun tergoda untuk
menghindari pembayaran pajak, bertaruh pada penghindaran pajak tampaknya
memiliki efek yang luar biasa karena sebagian besar pembayar pajak akan selalu
membayar pajak mereka. Selain itu, tingkat penggelapan pajak berbeda sesuai dengan
tarif pajak. Temuan terakhirnya menunjukkan bahwa penghindaran pajak sangat
dipengaruhi oleh pengakuan ketidaksetaraan kompensasi antara jumlah pajak yang
dibayarkan dan bagaimana negara menggunakan pendapatan pemerintah.
Kecurangan pajak telah menjadi pandemi sekaligus dilema yang semakin
meningkat di sejumlah negara, masalah ini terjadi pada setiap masyarakat dan
struktur ekonomi lintas masyarakat yang sedang berkembang dan maju (Bani-
Mustafa et al., 2020). Penghindaran pajak merupakan masalah yang ambigu dan
rumit sehingga sangat sulit untuk membedakan alasan yang paling signifikan untuk
masalah tersebut (Richardson, 2008). Berbagai alasan penghindaran pajak
diantaranya terkait dengan indikator timbal balik yaitu Wajib Pajak sebagai pembayar
pajak membandingkan manfaat layanan dan fasilitas yang disediakan oleh pemerintah
dengan jumlah pajak yang dibayarkan, selain itu alasan akuntabilitas dan fakta
tentang pendapatan pajak yang tidak dibelanjakan secara adil untuk program sosial
juga menimbulkan kurangnya kepercayaan kepada administrator pajak (Chau &
Leung, 2009; Mangoting et al., 2017; VOGEL, 1974). Tarif pajak yang tinggi juga
menjadi alasan dibalik penghindaran pajak (Chau & Leung, 2009; Mangoting et al.,
2017). Beberapa peneliti mencoba untuk melakukan penelitian dan mencoba untuk
menemukan akar dari penyebab kecurangan pajak dan penghindaran pajak.
Sebagai negara yang menganut Self Assessment System, Wajib Pajak menjalankan
kewajiban perpajakannya sendiri dan petugas pajak bertindak sebagai penguji atas
kepatuhan perpajakan. Dengan menggunakan sistem tersebut, dituntut adanya
keaktifan dan sifat mandiri serta kesadaran Wajib Pajak untuk menjalankan
kewajibannya. Kelemahan dari sistem tersebut adalah memberi peluang kepada
Wajib Pajak melalui Konsultan untuk bertindak tidak jujur dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan dalam undang-undang perpajakan ataupun melakukan praktik
pajak yang illegal. Konsultan pajak adalah kepanjangan tangan pemerintah sebagai
agent of development, tetapi di sisi lain, konsultan pajak dapat melemahkan
kepatuhan Wajib Pajak dengan motivasi-motivasi yang mengarah pada tindakan
penghindaran pajak secara agresif (Mangoting et al., 2017). Profesional pajak di
Amerika Serikat selalu menemukan diri mereka di situasi yang ambigu, dimana
mereka diharapkan membantu klien meminimalkan kewajiban perpajakan sekaligus
membantu pemerintah dalam mengumpulkan bagian yang adil dari pendapatan pajak
(Fogarty & Jones, 2014). Selain itu, sistem tersebut juga dimanfaatkan oleh “oknum”
petugas pajak. Undang-undang perpajakan yang rumit dan kompleks menyebabkan
timbulnya risiko multitafsir dan ambiguitas yang kemudian dimanfaatkan oleh
“oknum” petugas pajak untuk bebas dalam mengambil keputusan sekaligus
keuntungan dari situasi tersebut (Mangoting et al., 2017).
Kita menyadari bahwa Self Assessment System sejatinya masih belum siap
diterapkan di Indonesia karena masih minimnya edukasi dan kesadaran Warga
Negara Indonesia tentang perarutan perundang-undangan salah satunya undang-
undang perpajakan. Namun, Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan dalam Pasal 81 bahwa
setiap orang akan dianggap mengetahui tentang peraturan perundang-undangan
dengan diterbitkannya lembaran-lembaran resmi sebagaimana yang telah disebutkan
dalam pasal tersebut (Indonesia, 2011). Internal Revenue Service (IRS) di Amerika
Serikat menyadari bahwa Self Assessment System memiliki kelemahan sehingga
mereka menyusun berbagai macam mekanisme pencegahan kecurangan pajak sebagai
bentuk antisipasi sekaligus untuk mendukung pelaksanaan sistem tersebut
(Mangoting et al., 2017).
Kecurangan adalah bagian dari tindak kejahatan sebagai akibat dari adanya
pelanggaran atau tindakan melawan undang-undang dan menimbulkan adanya
kerugian baik bagi negara maupun orang lain. Kecurangan pajak sebagai relitas sosial
tidak serta merta timbul atas kontribusi tunggal dari Wajib Pajak itu sendiri
melainkan merupakan hasil hubungan antara unsur-unsur dalam sistem perpajakan
yaitu kebijakan dan ketentuan undang-undang perpajakan, hubungan antara Wajib
Pajak dengan petugas pajak, hubungan anatara Wajib Pajak dengan konsultan pajak,
serta hubungan diantara Wajib Pajak dengan Wajib Pajak lainnya (Mangoting et al.,
2017). Fenomena kecurangan pajak merupakan suatu realita dalam sebuah sistem
perpajakan suatu negara yang tidak bisa dipahami tanpa menguak dan menggali
rahasia yang bersembunyi di balik realitas itu sendiri (Mangoting et al., 2017).
Dalam penelitiannya, Donald R. Cressey (Cressey, 1950, 1953) menghipotesiskan
tiga kriteria untuk pelanggaran pidana kepercayaan yaitu pertama masalah keuangan
yang tidak dapat dibagikan, kedua pengetahuan tentang cara kerja perusahaan tertentu
dan peluang untuk melanggar posisi kepercayaan dan yang ketiga adalah kemampuan
untuk menyesuaikan persepsi diri seseorang sedemikian rupa sehingga melanggar
kepercayaan ini dianggap bukan merupakan perilaku kriminal. Lebih lanjut, Cressey
menghipotesiskan bahwa agar kecurangan terjadi, masing-masing dari tiga kriteria
harus ada yakni tekanan yang dirasakan, peluang yang dirasakan dan rasionalisasi.
Tekanan yang dirasakan dan tidak dapat dibagikan kepada orang lain akan
menciptakan motif kejahatan. Peluang yang dirasakan merupakan persepsi bahwa ada
kelemahan kontrol dan kemungkinan untuk tertangkap atau terungkap kecil. Oleh
sebab itu, peluang yang dirasakan membutuhkan kemampuan untuk melakukan
tindakan dan melakukannya tanpa terdeteksi. Rasionalisasi memandang bahwa
individu yang melakukan kecurangan ingin tetap berada dalam zona kenyamanan
moral mereka. Oleh karena itu, fraudster biasanya berusaha untuk membenarkan
tindakannya sebelum mereka melakukan tindakan fraud pertama (Dorminey et al.,
2012).
Saat ini, pajak dijadikan sumber pendanaan utama di Indonesia. Tidak heran setiap
tahunnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu meningkatkan target penerimaan
pajak. Di tahun 2022, realisasi penerimaan pajak mencapai 115,6% dari target yang
ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau sebesar Rp 1.717,8 triliun. Penacapain tersebut mengalami
pertumbuhan dibandingkan pertumbuhan pajak di tahun 2021 sebesar 34,3%
(Anonim, (2023, April 1) Menkeu : Kinerja Penerimaan Negara Luar Biasa Dua
Tahun Berturut-turut). Target penerimaan yang terus meningkat setiap tahunnya
kemungkinan dapat menimbulkan adanya tekanan karena hal tersebut berhubungan
dengan tunjangan kinerja para pegawai yang bekerja dibawah naungan Direktorat
Jenderal Pajak. Seperti yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 37
Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 bahwa Pegawai yang memiliki jabatan di
lingkungan Dirjen Pajak akan diberikan tunjangan kinerja setiap bulan, dan lebih
lanjut dalam Pasal 2 Ayat 4 persentase besaran tunjangan yang akan didapat,
dijabarkan berdasarkan taget yang tercapai dimana capaian tersebut disampaikan
dalam laporan kinerja keuangan pemerintah. Dalam lampirannya, lebih lanjut
dijabarkan besaran tunjangan yang akan didapatkan berdasarkan peringkat jabatan.
Albrecht et al. (1984) percaya bahwa fraud sulit diprediksi dan pelaku fraud
sebagai sebuah kelompok yang sulit untuk diprofilkan. Albrecht et al. (1984)
mengusulkan skala fraud yang bergantung pada dua komponen Fraud Triangle yaitu
tekanan dan peluang, tetapi menggantikan rasionalisasi dengan integritas individu.
Integritas individu dapat disimpulkan dari perilaku masa lalu misalnya integritas
seseorang dapat tercermin dari keputusan maupun proses dalam pengambilan
keputusan. Lebih penting lagi, integritas individu dapat mempengaruhi kemungkinan
bahwa seseorang merasionalisasi perilaku yang tidak pantas (Dorminey et al., 2012).
Tekanan dalam teori fraud triangle tampaknya tidak selalu mengarah pada
kebutuhan finansial yang tidak dapat dibagikan. Thomas M. Coughlin, mantan wakil
ketua Walmart dan teman pribadi pendiri Sam Walton mengundurkan diri dari
Dewan Direksi Walmart pada tanggal 24 Januari 2005 karena tuduhan fraud.
Dokumen yang ditinjau oleh Wall Street Journal menunjukkan bahwa Coughlin
secara berkala meminta bawahannya membuat faktur palsu agar Walmart membayar
pengeluaran pribadinya. Ada sekitar lusinan transaksi yang dipertanyakan selama
lima tahun diantaranya sepatu bot buaya seharga US$ 1.359 yang dibuat khusus
untuk Coughlin, kandang anjing seharga US$ 2.509 yang ditempatkan di rumahnya di
Arkansas, dan lain-lain hingga transaksi yang dipertanyakan berjumlah sekitar US$
100.000 hingga US$ 500.000. Setahun sebelum Coughlin mengundurkan diri,
kompensasi tahunan yang diterimanya lebih dari US$ 6 juta (Dorminey et al., 2012).
Kasus lainnya datang dari mantan CEO dan CFO Tyco International. Dennis
Kozlowski dan Mark Swartz diputuskan oleh pengadilan Manhattan bahwa mantan
dua eksekutif tersebut bersalah karena telah mencuri sebesar US$ 170 juta dari Tyco
melalui penyalahgunaan program pinjaman dan bonus tidak sah. Mereka juga
mengambil sebesar US$ 430 juta dengan menggelembungkan saham perusahaan
secara artifisial melalui laporan keuangan yang salah saji. Selain kompensasi
eksekutif, mantan CEO tersebut secara rutin meminta perusahaan membayar kegiatan
seni, pesta, dan olahraga langka yang tidak terkait dengan bisnis Tyco (Dorminey et
al., 2012).
Komponen tekanan atas kebutuhan finansial yang tidak dapat dibagikan dalam
fraud triangle tidak ada di dalam dua contoh kasus tersebut. Uang dan ego tampaknya
menjadi motivasi umum untuk tindakan fraud. Kriteria tekanan fraud triangle telah
disesuaikan untuk fokus pada motivator seperti insentif moneter, bonus, dan/atau opsi
saham (Dorminey et al., 2012).
Menilik kembali Ketentuan tunjangan pada Perpres No. 37 Tahun 2015 tentang
Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak, dimana besaran
tunjangan yang akan didapat berdasarkan peringkat jabatan dimana pejabat dengan
peringkat jabatan mencapai 15 dengan Jabatan Eselon I akan mendapatkan tunjangan
sebesar Rp 117.375.000,- per bulan jika realisasi penerimaan mencapai 95% dari
taget atau lebih, dan jabatan paling rendah yaitu Pelaksana dengan peringkat jabatan 4
akan mendapatkan tunjangan sebesar Rp 5.361.800,- per bulan, dan hal tersebut dapat
dianggap sebagai unsur “tekanan” sekaligus dapat menjadi motivasi bagi mereka
yang bernaung dibawah lembaga tersebut, baik motivasi yang mungkin bisa bersifat
positif atau negatif.
Model pengambilan keputusan etis dalam organisasi biasanya mengasumsikan
bahwa keputusan dipengaruhi oleh berbagai pengaruh individu, organisasi, dan
masyarakat (Shafer & Simmons, 2011). Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa
budaya organisasi yang menekankan dan menghargai perilaku etis dimana pemimpin
organisasi berfungsi sebagai panutan dan dapat mengurangi kemungkinan praktisi
pajak akan terlibat dalam tindakan yang terlalu agresif. Berbicara mengenai konteks
masalah etika dengan intensitas moral yang relatif rendah, pertimbangan utilitarian
seperti imbalan yang akan diperoleh dari perilaku tampak sangat menonjol dalam
proses pengambilan keputusan praktisi pajak (Shafer & Simmons, 2011).
Pemerintah India melalui Kementerian Keuangan (MoF) menetapkan target nilai
uang tetap per wilayah geografis untuk petugas pajak. Dalam menetapkan targetnya,
Pemerintah India tidak menggunakan data analitik berdasarkan volume dan sifat
transaksi perbankan. Hal yang tidak kalah menarik, sistem perpajakan India
memberdayakan petugas pajak untuk menyampaikan pemberitahuan dalam diskresi
mereka (kebebasan mengambil keputusan sendiri) karena berbagai alasan mulai dari
kecurigaan penggelapan pajak, ketidaksesuaian dalam catatan resmi hingga kesalahan
aritmatika dan wajib pajak diharapkan untuk menanggapi dalam waktu 30 hari. Kisah
pajak India dengan keras menunjukkan bahwa penetapan pajak berbasis wilayah
geografis tidak realistis dan hal tersebut menimbulkan adanya tekanan berlebihan
kepada petugas pajak (Deb, 2021).
Sistem yang ditetapkan oleh Pemerintah India telah melahirkan terorisme pajak.
Istilah “terorisme pajak” di India muncul di tahun 2014 ketika undang-undang Pajak
Penghasilan diamandemen secara retrospektif untuk memungut pajak kepada
Vodafone dan pada akhirnya menimbulkan adanya persepsi yang berkembang di
dunia bisnis bahwa petugas pajak melecehkan pembayar pajak yang jujur karena
tuntutan dalam memenuhi target pendapatan yang telah ditentukan sebelumnya yang
tidak realistis (Deb, 2021). Terorisme pajak disebut sebagai memberikan tekanan
ilegal kepada Wajib Pajak oleh otoritas untuk mengumpulkan pendapatan tambahan
atau untuk menciptakan hambatan dalam cara mereka dengan menegakkan ketentuan
yang berbeda dari undang-undang yang keras karena kemungkinan besar tidak
membayar pajak dapat terjadi dalam bentuk ketidakpatuhan pajak atau penghindaran
pajak (Blaufus et al., 2016).
Para pejabat di India diberdayakan dengan berbagai pilihan mulai dari melayani
pemberitahuan, melakukan penggeledahan, penyitaan dokumen, menyimpan saham
sebagai gadai, lampiran aset dan property untuk menjatuhkan denda yang berlebihan
dan bahkan penuntutan. Para Wajib Pajak menuduh bahwa para petugas pajak
menggunakan wewenangnya untuk meminta dokumen dan mereka diharapkan untuk
menyimpan semua dokumen yang relevan untuk jangka waktu yang tidak realistis
seperti 10 tahun atau bahkan lebih (Deb, 2021). Selain itu, “pendekatan layanan dan
klien” antara petugas pajak dan Wajib Pajak telah menciptakan hubungan saling
percaya, saling menghormati, dan kerjasama yang telah meningkatkan kepatuhan
pajak sukarela daripada kepatuhan yang dipaksakan. Namun, pendekatan antara
petugas pajak dan Wajib Pajak juga dapat menimbulkan adanya hubungan “kong-
kalikong”, karena petugas pajak dihadapkan pada dualisme kepentingan saat
berhadapan dengan Wajib Pajak yaitu kepentingan pribadi dan kepentingan negara
(Mangoting et al., 2017).
Dari paparan latar belakang penelitian di atas, peneliti tertarik untuk memfokuskan
area penelitian pada dampak target penerimaan pajak terhadap niat untuk melakukan
tindakan fraud. Peneliti memandang bahwa “target penerimaan pajak” merupakan
bentuk tekanan yang dapat menimbulkan niat untuk melakukan perilaku fraud.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana target penerimaan pajak mempengaruhi niat untuk melakukan fraud?
1.3 TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh target penerimaan pajak terhadap niat untuk
melakukan fraud.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 FENOMENA KECURANGAN PAJAK


Dikisahkan dalam mitologi Yunani, perlawanan terhadap pajak telah membentuk
sejarah global sejak zaman Theseus. Perlawanan pajak adalah usahanya yang telah
berhasil untuk membunuh Minotaur dan membebaskan para pemuda Athena dari
penindasan Raja Minos (Seltman, 1953). Tindakan perlawanan terhadap pajak
lainnya datang dari kisah Boston Tea Party (Sinnot, 1993). Dimana, Inggris yang
pada saat itu menduduki Amerika memberlakukan pajak terhadap komoditas teh.
Aturan yang ditetapkan oleh Inggris tersebut memicu gelombang protes warga
Amerika yang kemudian berujung pada usaha untuk mendapatkan kemerdekaan.
Boston tea party merupakan bagian integral dari revolusi Amerika yang mengarah
pada pembentukan Amerika Serikat.
Berbicara mengenai tindakan perlawanan terhadap pajak, hal ini mengingatkan kita
pada pioneer dalam literatur penggelapan pajak dan kepatuhan pajak. Jauh sebelum
Model Allingham dan Sandmo (1972), sebuah teori dikembangkan oleh (Becker,
1968) tentang penegakan hukum atas tindakan kriminal dari sudut pandang ekonomi,
dimana teori ini merupakan cikal bakal lahirnya model tersebut.
Pengambilan keputusan untuk berbuat kriminal didasari oleh probabilitas tindakan
kriminal tersebut akan terdeteksi dan seberapa besar ancaman pinaltinya (Becker,
1968). Teori tersebut kemudian diadopsi oleh Allingham dan Sandmo di tahun 1972.
Model Allingham dan Sandmo (1972) dalam (Ritsatos, 2014) mengembangkan model
keputusan pembayar pajak (untuk menghindari atau tidak) sebagai usaha untuk
memaksimalkan utilitas dalam kondisi ketidakpastian. Model tersebut memberikan
penjelasan yang komprehensif tentang perilaku “homoeconomicus” dalam kondisi
ketidakpastian. Model ini kemudian dijadikan pioneer dalam literatur penggelapan
pajak dan kepatuhan pajak, meskipun model tersebut masih memiliki kelemahan
dengan tidak mampu untuk memprediksi penghindaran pajak yang tinggi untuk
pembayar yang “rasional” (Ritsatos, 2014).
Sintetis temuan menunjukkan beragam faktor yang mempengaruhi penggelapan
pajak dan keputusan kepatuhan pajak seperti utilitas yang diharapkan, probabilitas
deteksi, sumber dan tingkat pendapatan, tingkat denda, moral pajak, kepercayaan
pada organisasi, norma sosial, efek teman sebaya, religiusitas, kekuatan mekanisme
pencegahan, dan keadilan yang dirasakan dari sistem perpajakan (Levaggi &
Menoncin, 2013; Mangoting et al., 2017; Rablen, 2010; Ritsatos, 2014).
Ketidakpatuhan pajak merupakan kegagalan wajib pajak untuk mengakomodasi
tanggung jawab pajak baik yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja
(James & Alley, 2002). Ketidakpatuhan pajak merupakan perilaku atau sikap yang
bertentangan dengan kepatuhan pajak (Sinnasamy et al., 2015). Contoh
ketidakpatuhan pajak adalah penggelapan pajak dan penghindaran pajak yang
berdampak negatif pada kepatuhan pajak dan pemungutan pajak.
Penghindaran pajak didefinisikan oleh Internal Revenue Service (IRS) sebagai
kesalahan penyajikan fakta material yang disengaja, yang dilakukan oleh wajib pajak
(individu atau perusahaan) dengan tujuan khusus untuk menghindari pajak yang
diketahui atau diyakini terhutang. Penghindaran (atau pengurangan) pajak tidak dapat
disamakan dengan penggelapan pajak. Peghindaran pajak bisa jadi merupakan
serangkaian tindakan ekonomi legal yang diambil untuk membantu individu
mengurangi kewajiban pajak mereka sendiri (Ritsatos, 2014).
Penghindaran pajak (tax evasion) adalah sejenis kejahatan yang membuat wajib
pajak mengambil risiko yang dapat dihindari (Watanabe, 1986). Penghindaran pajak
(tax evasion) merupakan tindakan ilegal yang melanggar hukum dan menyimpang
dari norma sosial yang mengatur bahwa pajak harus dibayar (Korndörfer et al., 2014).
Allingham dan Sadmo (1972) dalam (Hasseldine & Hite, 2003) pioneer yang
memperkenalkan model ekonomi tradisional dan penghindaran pajak (tax evasion)
berasumsi bahwa keputusan pembayar pajak didasarkan pada keyakinan mereka
tentang kemungkinan deteksi dan sanksi hukum jika terdeteksi.
Pembahasan mengenai kecurangan pajak sering kali dikaitan dengan wajib pajak
dan konsultan. Padahal keberadaan wajib pajak didampingi tidak hanya oleh
konsultan pajak, tetapi juga petugas pajak (Mangoting et al., 2017). Kecurangan
pajak telah menjadi pandemi sekaligus dilema yang semakin meningkat di sejumlah
negara, masalah ini terjadi pada setiap masyarakat dan struktur ekonomi lintas
masyarakat yang sedang berkembang dan maju (Bani-Mustafa et al., 2020).
Penghindaran pajak merupakan masalah yang ambigu dan rumit sehingga sangat sulit
untuk membedakan alasan yang paling signifikan untuk masalah tersebut
(Richardson, 2008).
Kerangka kepatuhan pajak yang diajukan oleh (Kirchler et al., 2008) menyebutkan
bahwa iklim pajak dalam suatu masyarakat dapat bervariasi dalam sebuah kontinum
antara iklim antagonistic dan iklim sinergis. Dalam iklim antagonistik, pembayar
pajak dan otoritas pajak saling bertentangan, sedangkan dalam iklim sinergis mereka
akan bekerja sama. Iklim antagonistik dianalogikan oleh (Kirchler et al., 2008)
sebagai “polisi dan perampok”. Dimana, dalam iklim tersebut otoritas pajak
memandang pembayar pajak sebagai “perampok” yang mencoba mengelak kapan pun
mereka bisa dan perlu ditahan, pembayar pajak merasa dianiaya oleh penguasa
(“polisi”) dan merasa berhak untuk bersembunyi. Dalam iklim antagonistik, akan
tercipta adanya jarak sosial yang cenderung besar dengan sedikit rasa hormat dan
sedikit perasaan positif terhadap otoritas. Kepatuhan sukarela cenderung diabaikan
dan individu cenderung menggunakan pertimbangan yang “rasional” atas biaya dan
keuntungan dari penghindaran.
Berbeda dengan iklim yang sinergis, dimana gagasan bahwa otoritas pajak
melakukan layanan untuk masyarakat dan merupakan bagian dari komunitas yang
sama dengan wajib pajak. Pendekatan otoritas dapat digambarkan sebagai sikap
“layanan dan klien”. Otoritas bertujuan untuk menjalankan prosedur yang transparan
dan memperlakukan pembayar pajak secara hormat dan suportif. Contohnya di Swiss,
perlakuan ramah dan penuh hormat terhadap pembayar pajak oleh otoritas telah lama
diakui sebagai sarana penting untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Dalam iklim
sinergis, jarak sosial cenderung rendah, kepatuhan sukarela cenderung kuat dan
individu cenderung tidak mempertimbangkan kemungkinan untuk menghindar dan
lebih mungkin menyumbangkan bagian mereka karena rasa kewajiban (Kirchler et
al., 2008).
Dua iklim berbeda tersebut seolah-olah menggambarkan kisah salam kitab
Mahabarata dimana dikisahkan oleh Veda Vyasa bahwa seorang raja seharusnya
memungut pajak dari dari warganya seperti lebah yang sedang mengumpulkan nektar
dari bunga yaitu tanpa rasa sakit (iklim sinergis), alih-alih menimbulkan rasa sakit,
tekanan dan ancaman seperti lebah yang menyengat (iklim antagonistik).
Oleh sebab itu, hal ini menarik untuk dikaji lebih lanjut untuk mempelajari
hubungan diantara pembayar pajak dalam hal ini wajib pajak dengan otoritas pajak.
Dimana di akhir tulisan, penulis berharap benang kusut kecurangan pajak terutama di
Indonesia dapat terurai.
2.2 SISTEM DAN OTORITAS PERPAJAKAN
Tiga unsur sistem perpajakan menurut (Mansury, 1994) yakni kebijakan
perpajakan, ketentuan perundang-undangan, dan aspek administrasi perpajakan.
Kontribusi terciptanya penghindaran pajak sebagai realitas sosial merupakan hasil
interaksi sosial antara pembayar pajak dengan unsur-unsur yang terdapat dalam
sistem perpajakan yaitu kebijakan dan ketentuan undang-undang perpajakan,
hubungan antara wajib pajak dengan konsultan pajak, dan hubungan diantara wajib
pajak dengan pembayar pajak lainnya (Mangoting et al., 2017).
Perpajakan diklasifikasikan sebagai alat fundamental dan krusial dalam mengelola
pendapatan nasional terutama di sebagian negara besar, negara maju dan negara
berkembang (Tabandeh et al., 2013). Oleh karena itu, tidak heran jika sumber
pendapatan yang berasal dari pajak dijadikan sarana yang paling penting dalam
membiayai pengeluaran pemerintah. Namun, masyarakat enggan untuk membayar
pajak sehingga menimbulkan masalah bagi otoritas pajak untuk memungut dan
mengenakan pajak dimana saja dan tepat waktu (Alm et al., 2004).
Literatur menunjukkan bahwa sistem perpajakan yang kompleks memiliki banyak
kemungkinan penghindaran pajak dan kepatuhan pajak yang paling rendah
dibandingkan dengan sistem pajak yang sederhana (Cowell, 1990). Peraturan yang
tidak praktis dan “pelecehan” oleh petugas pajak telah menghambat investasi,
mendorong penghindaran pajak dan menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang
rendah (Jerbashian & Kochanova, 2016). Sistem pajak yang dianggap tidak adil
kecenderungan akan meningkatkan ketidakpatuhan terhadap pajak, sebaliknya sistem
yang dirasakan adil dapat meningkatkan kepercayaan dan secara berurutan
meningkatkan kepatuhan sukarela (Kirchler et al., 2008).
Self assessment system dapat didefinisikan sebagai administrasi rezim pajak
dimana penilaian kewajiban pajak pembayar pajak (wajib pajak) sebagian besar
didasarkan pada informasi yang diberikan secara sukarela oleh wajib pajak. Rezim ini
didasarkan pada pelaporan kewajiban pajak yang adil, jujur dan sukarela (Marshall et
al., 1997). Payne (1993) dalam (James & Alley, 2002) menyebutkan bahwa terkadang
Internal Revenue Service (IRS) Amerika Serikat mengandalkan penegakan hukum
yang berlebihan atau metode hukuman yang terlalu berat untuk memastikan
kepatuhan terhadap self assessment system. Namun seiring berjalannya waktu, IRS
berdasarkan pernyataan Wakil Presiden Al Gore dan Menteri Keuangan AS Robert E.
Rubin tentang “Kita harus memiliki IRS yang berada di pihak wajib pajak” dimana
keberadaannya adalah memberikan bantuan dan menganggap pembayar pajak sebagai
“pelanggan” karena tujuan utama perpajakan adalah untuk memberikan keuntungan
daripada menghukum warga negara (James & Alley, 2002).
Terdapat empat prinsip dalam melaksanakan pemungutan perpajakan diantaranya
adalah equity (prinsip keadilan), certainty (prinsip kepastian), convience (prinsip
kelayakan) dan economy (prinsip ekonomi). Dalam prinsip kelayakan, pajak yang
dipungut oleh otoritas pajak kepada pembayar pajak seharusnya tidak memberatkan
dan hal ini sejalan dengan self assessment system. Dengan memperhatikan kelayakan
para pembayar pajak, mereka akan dengan senang hati dan tulus dalam memenuhi
kewajiban perpajakannya (Khalimi & Iqbal, 2020).
Self assessment system menuntut adanya keaktifan dan sifat mandiri serta
kesadaran Wajib Pajak untuk menjalankan kewajibannya (Mangoting et al., 2017).
Namun, tampaknya sistem tersebut masih belum tepat atau siap untuk diterapkan di
Indonesia. Walaupun terdapat Direktorat Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan
Masyarakat di Lingkungan Dirjen Pajak yang memiliki tugas untuk melakukan
penyuluhan dan pelayanan perpajakan kepada wajib pajak, namun tidak semua wajib
pajak paham akan administrasi dan perundang-undangan perpajakan yang rumit. Self
assessment system dapat mengantarkan pembayar pajak pada perbuatan yang
melanggar ketentuan UU perpajakan karena minimnya pengetahuan mereka.
Sosialisasi dan edukasi terkait ketentuan perundang-undangan perpajakan masih
minim, selain itu pertugas pajak dianggap masih belum maksimal dalam
menginterpretasikan ketentuan perundang-undangan perpajakan (Mangoting et al.,
2017).
Otoritas pajak memainkan peran mendasar dalam memastikan kepatuhan pajak di
antara wajib pajak dengan mematuhi aturan dan peraturan pajak (Sinnasamy et al.,
2015). Sejauh ini, upaya dalam menegakkan kepatuhan perajakan di Indonesia masih
mengandalkan implementasi sanksi dan efektifitas pemeriksaan pajak. Namun,
lambat laun dua metode ini sudah tidak lagi ditakuti oleh para pembayar pajak
(Mangoting et al., 2017). Hal ini tentu mempengaruhi tingkat kepatuhan pembayar
pajak dan dapat menyebabkan efek berantai hingga menurunnya tingkat pendapatan
dari sektor pajak.
Cara yang cukup ekstrim ditempuh oleh pemerintah demi tetap menjaga stabilitas
penerimaan dari sektor pajak dengan menetapkan Peraturan Presiden Nomor 37
Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak. Penulis memandang, aturan tersebut menimbulkan adanya tekanan bagi
otoritas pajak mengingat target penerimaan pajak yang terus meningkat setiap
tahunnya dan menimbulkan adanya teror pajak bagi pembayar pajak. Selanjutnya
mengenai hal tersebut akan dibahas lebih mendalam pada pembahasan berikutnya.
2.3 TARGET PENERIMAAN PAJAK DAN TUNJANGAN KINERJA
Agar kecurangan terjadi, masing-masing dari tiga kriteria harus ada yakni tekanan
yang dirasakan, peluang yang dirasakan dan rasionalisasi (Cressey, 1950, 1953).
Tekanan yang dirasakan dan tidak dapat dibagikan kepada orang lain akan
menciptakan motif kejahatan. Peluang yang dirasakan merupakan persepsi bahwa ada
kelemahan kontrol dan kemungkinan untuk tertangkap atau terungkap kecil. Oleh
sebab itu, peluang yang dirasakan membutuhkan kemampuan untuk melakukan
tindakan dan melakukannya tanpa terdeteksi. Rasionalisasi memandang bahwa
individu yang melakukan kecurangan ingin tetap berada dalam zona kenyamanan
moral mereka. Sehingga fraudster biasanya berusaha untuk membenarkan
tindakannya sebelum mereka melakukan tindakan fraud pertama (Dorminey et al.,
2012). Namun, meskipun Cressey percaya bahwa dia telah menemukan hipotesis
yang menjelaskan pelanggaran kepercayaan, dirinya juga mengakui bahwa sebuah
contoh kasus yang ditemukan mungkin tidak akan mengandung ketiga elemen yang
dihipotesiskan. Oleh sebab itu, dirinya menyarankan agar di masa depan hipotesisnya
harus dipelajari lebih lanjut.
Kasus Thomas M. Coughlin, Dennis Kozlowski dan Mark Swartz nampaknya
menjelaskan bahwa tidak semua tekanan yang dirasakan didasarkan atas kebutuhan
atau dorongan masalah finansial yang tidak dapat dibagikan sebagaimana yang telah
dihipotesiskan oleh Cressey. Komponen tekanan atas kebutuhan finansial yang tidak
dapat dibagikan dalam fraud triangle tidak ada di dalam dua contoh kasus tersebut.
Uang dan ego tampaknya menjadi motivasi umum untuk tindakan fraud. Kriteria
tekanan fraud triangle telah disesuaikan untuk fokus pada motivator seperti insentif
moneter, bonus, dan/atau opsi saham (Dorminey et al., 2012).
Jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia, setiap tahunnya Pemerintah
menetapkan target penerimaan pajak yang harus dicapai. Dimana, target penerimaan
tersebut dikaitkan dengan tunjangan yang akan didapatkan oleh petugas dan pejabat
yang bernaung di bawah Direktorat Jenderal Pajak. Peraturan Presiden Nomor 37
Tahun 2015 tentang Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak disebutkan dalam Pasal 2 Ayat 1 bahwa Pegawai yang memiliki jabatan di
lingkungan Dirjen Pajak akan diberikan tunjangan kinerja setiap bulan, dan lebih
lanjut dalam Pasal 2 Ayat 4 persentase besaran tunjangan yang akan didapat,
dijabarkan berdasarkan taget yang tercapai dimana capaian tersebut disampaikan
dalam laporan kinerja keuangan pemerintah. Besaran tunjangan yang akan didapat
berdasarkan peringkat jabatan dimana pejabat dengan peringkat jabatan mencapai 15
dengan Jabatan Eselon I akan mendapatkan tunjangan sebesar Rp 117.375.000,- per
bulan jika realisasi penerimaan mencapai 95% dari taget atau lebih, dan jabatan
paling rendah yaitu Pelaksana dengan peringkat jabatan 4 akan mendapatkan
tunjangan sebesar Rp 5.361.800,- per bulan. Lebih lanjut peneliti sajikan terkait target
dan realisasi penerimaan pajak tahun 2019 hingga 2020 yang berhasil dirangkum dari
berbagai sumber, sebagai berikut :
Dalam Triliun Rupiah (Rp.)
2019 2020 2021 2022
Target APBN 1.577,56 1.198,82 1.229,60 1.485,00
Realisasi Pendapatan 1.546,14 1.285,20 1.231,87 1.716,80
Persentase 98,0% 107,2% 100,2% 115,6%
Tabel 1. Data Realisasi Penerimaan Pajak Tahun 2019 s/d 2022

Dapat di lihat pada Tabel 1 bahwa realisasi penerimaan pajak terus mengalami
peningkatan dari tahun 2019 hingga tahun 2022. Puncaknya, realisasi penerimaan
pajak tembus hingga 115,6% dan hal ini tentu membuat Menteri Keuangan Sri
Mulyani “full senyum”. Tidak hanya Menteri Keuangan, seluruh petugas dan pejabat
di bawah naungan Dirjen Pajak juga turut berbahagia dengan pencapaian tersebut
karena sesuai janji yang dituangkan dalam Perpres No. 37/2015 apabila target
mencapai 95% atau lebih, mereka akan mendapatkan tunjangan sesuai dengan apa
yang sudah disampaikan dalam Perpres tersebut.
Target penerimaan pajak tidak hanya berlaku di Indonesia saja. Pemerintah India
menetapkan target pendapatan per wilayah geografis untuk petugas pajak, hal ini
tidak didasarkan pada volume dan sifat transaksi perbankan dan tidak didasarkan
pada data analitik apapun (Deb, 2021).
Para petugas pajak India diberdayakan untuk menyampaikan pemberitahuan dalam
diskresi mereka karena berbagai alasan mulai dari kecurigaan penggelapan pajak,
ketidaksesuaian dalam catatan resmi hingga kesalahan artimatika dan wajib pajak
diharapkan untuk menanggapi dalam waktu 30 hari (Deb, 2021). Sistem ini tidak jauh
berbeda dengan yang berlaku di Indonesia. Dimana wajib pajak yang memiliki nilai
transaksi PPN yang tinggi di masukkan ke dalam ranking 10 besar wajib pajak atau
yang disebut wajib pajak prioritas. Tidak jarang juga, demi mencapai target, para
account representative acap kali menjadikan mereka “langganan” untuk diteliti
SPTnya dan jika nantinya ditemukan ketidakcocokan data ataupun hal yang
mencurigakan, penelitian SPT akan berlanjut ke ranah pemeriksaan SPT. Karena
berbagai alasan, transaksi wajib pajak diteliti seperti setoran bank di atas INR 10
lakh, transaksi bernilai tinggi melalui kartu kredit melebihi INR 2 lakh, investasi
reksa dana di atas INR 2 lakh dan bahkan pelepasan property rumah dengan nilai INR
20 lakh ke atas (Deb, 2021).
UU KUP memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk melakukan
pemeriksaan guna melakukan evaluasi kepatuhan kewajiban perpajakan wajib pajak
sekaligus menjalankan fungsi pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban
perpajakan. Namun, hal ini menimbulkan potensi timbulnya kecurangan perpajakan
dimana pada saat proses pemeriksaan, “oknum” petugas pajak dapat memberikan
penawaran kepada wajib pajak untuk meminimalkan atau mengurangkan hutang
pajak hasil pemeriksaan sebelum ditetapkannya Surat Ketetapan Pajak atau SKP saat
melakukan Pembahasan Hasil Akhir Pemeriksaan (PHAP) (Mangoting et al., 2017).
Intensitas pertemuan wajib pajak dan petugas pajak juga menimbulkan “hubungan
istimewa” yang disebut dengan hubungan “tahu sama tahu”. Petugas pajak tahu
bahwa wajib pajak tidak sepenuhnya jujur atas data pajak yang disampaikan dalam
SPTnya. Walaupun pembayar pajak menghindari risiko dan bersikap rasional, para
petugas pajak memperlakukan mereka sebagai penghindar potensial (Yitzhaki, 1974).
Sehingga, “oknum” petugas pajak memanfaatkan situasi tersebut didasarkan
hubungan “tahu sama tahu” dengan harapan wajib pajak membantu mereka dalam
mencapai “reward” yang dijanjikan dalam Perpres No. 37/2015 sebagai imbalan atas
kebaikan mereka dalam membantu merealisasikan kemauan wajib pajak untuk
meminimalkan hutang pajaknya. Wajib pajak sengaja membiarkan kesalahan
pajaknya agar nantinya saat dilakukan pemeriksaan, mereka akan menemukan
kesalahan yang sebenarnya telah disiapkan dan berharap agar petugas pajak tidak
berupaya untuk mencari-cari kesalahan (Mangoting et al., 2017).
Kisah pajak India dan Indonesia tidak jauh berbeda. Penetapan target yang
dianggap tidak realistis menyebabkan timbulnya terror pajak. Pemerintah
memberikan tekanan berlebihan kepada petugas pajak dan pada gilirannya mereka
melakukan pemerasan (Deb, 2021). Istilah teror di sini tidak mengarah pada spektrum
politik melainkan diarahkan pada kejahatan keuangan dimana aktivitas berbasis target
telah berubah menjadi “teror”. Terorisme pajak telah disebut sebagai memberikan
tekanan ilegal kepada wajib pajak oleh otoritas untuk mengumpulkan pendapatan
tambahan atau untuk menciptakan hambatan dalam cara mereka dengan menegakkan
ketentuan yang berbeda dari undang-undang yang keras karena kemungkinan besar
bentuk ketidakpatuhan pajak atau penghindaran pajak dapat terjadi (Blaufus et al.,
2016).
Tulisan ini mencoba untuk menggali fenomena kecurangan pajak dari perspektif
yang berbeda. Dimana target penerimaan pajak dianggap sebagai unsur tekanan yang
menyebabkan otoritas pajak melakukan segala macam cara guna memenuhi target
tersebut dan menyebabkan teror, baik pembayar pajak maupun petugas pajak. Di
akhir tulisan, peneliti berharap agar nantinya ada perbaikan sistem dan administrasi
perpajakan demi terciptanya iklim yang sinergis, dimana pembayar pajak tidak lagi
dipandang sebagai penghindar potensial melainkan sebagai klien, dan kisah dalam
kitab Mahabarata tentang memungut pajak bagai mengumpulkan nektar dari bunga
dapat terealisasi di Indonesia.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 MODEL PENELITIAN


Penelitian ini menggunakan metode studi kasus. Studi kasus merupakan suatu
penyelidikan yang mencakup seluruh informasi yang relevan mengenai suatu gejala
tertentu (Manan, 2021). Model ini digunakan guna mempelajari suatu fenomena yang
ganjil atau menarik dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam terkait
hal tersebut. Tujuan dilakukannya studi kasus adalah untuk menjelaskan pertanyaan
“mengapa” dan secara komprehensif memaparkan alasan dan cara objek penelitian
tersebut terjadi dalam bentuk sebuah laporan yang komprehensif dan mendalam.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah pendekatan
autobiografi. Pendekatan autobiografi adalah pendekatan yang menghimpun atau
mengumpulkan pendapat dari masing-masing anggota lembaga sosial terhadap
fenomena tersebut (Manan, 2021). Melalui pendekatan tersebut, peneliti dapat
mengumpulkan gagasan-gagasan dari tiap-tiap anggota lembaga sosial secara intensif
dan selanjutnya dapat dijadikan bahan triangulasi guna menguji validitas dan
realibilitas data yang telah dikumpulkan.
3.2 POPULASI DAN SAMPEL
Populasi dalam sebuah penelitian tidak harus terdiri dari kumpulan manusia,
namun dapat pula terdiri dari berbagai objek atau benda alam yang penting untuk
dipelajari karena memiliki karakteristik tertentu (Manan, 2021). Populasi penelitian
ini adalah seluruh petugas pajak yang bekerja dibawah naungan Direktorat Jenderal
Pajak, konsultan pajak yang memiliki pengalaman kerja sebagai konsultan pajak dan
bekerja dibawah badan hukum, serta wajib pajak baik badan maupun orang pribadi.
Berbagai kendala dalam penelitian mengakibatkan ketidak mungkinan untuk
melakukan penelitian kepada seluruh anggota populasi. Sehingga seorang peneliti
harus memilih sampel yakni beberapa anggota dari populasi yang dianggap mampu
untuk mewakili karakteristik dari seluruh populasi, sehingga pada akhirnya sampel
tersebut dapat mewakili keseluruhan populasi (Manan, 2021). Sampel yang
digunakan dalam penelitian ini adalah petugas pajak yang bekerja dibawah naungan
Direktorat Jenderal Pajak, memiliki pengalaman kerja minimal tiga tahun,
diutamakan memiliki pengalaman berinteraksi dengan wajib pajak. Sampel konsultan
pajak dipilih berdasarkan kriteria seperti bekerja dibawah naungan badan hukum
resmi atau terdaftar, memiliki pengalaman setidaknya tiga tahun, memiliki
pengalaman menghandle klien wajib pajak badan dan wajib pajak orang pribadi,
memiliki pengalaman berinteraksi dengan petugas pajak. Sampel wajib pajak
ditentukan berdasarkan kriteria wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan
yang menjalankan kewajiban perpajakan baik tanpa ataupun dengan bantuan
konsultan pajak, memiliki pengetahuan yang cukup mengenai aturan, ketentuan dan
wawasan pajak, dan memiliki pengalaman berinteraksi dengan petugas pajak.
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data dalam penelitian studi kasus yang sering digunakan
adalah observasi dan wawancara bebas (Manan, 2021). Penelitian dilakukan dengan
melakukan wawancara pada petugas pajak KPP Pratama Se-Madura, konsultan
pajak, dan wajib pajak. Wawancara terbuka dilakukan guna mengumpulkan informasi
terkait pendapat, pandangan dan dampak yang ditimbulkan dari target penerimaan
pajak serta regulasi yang mengikatnya.
Pelaksanaan pengumpulan data dalam penelitian studi kasus dapat dilakukan
dengan bantuan teknologi media rekam (Manan, 2021). Dalam mengumpulkan data,
peneliti memilih untuk menggunakan media alat tulis untuk mencatat poin-poin
penting selama proses wawancara dan juga bantuan media alat rekam agar dalam
melakukan wawancara, peneliti dapat lebih fokus pada alur percakapan dan leluasa
dalam mengungkapkan data.
Data wawancara yang telah diperoleh selanjutnya ditranskripsi. Data yang
diperoleh selanjutnya akan dianalisa dengan menggunakan teknik analisis mikro
(micro analysis). Analisis mikro merupakan analisis secara mendetail terhadap data
yang ditranskripsi guna mendapatkan kategori (konsep, properti dan dimensinya)
serta hubungan antar kategori tersebut (Effenrin et al., 2018). Pada tahapan ini
peneliti mulai “membaca” apa yang tertuang pada hasil transkripsi. Tidak hanya
membaca data hitam diatas putih (data yang tertulis secara harfiah) namun juga
mencari tau apa makna dibalik yang tertulis. Nuansa yang tertangkap indera peneliti
saat melakukan wawancara seperti intonasi suara, gerak tubuh, dan mimik muka)
dapat membantu meningkatkan sensitivitas dalam melihat apa yang ada dibalik teks.
Langkah selanjutnya adalah kategori sentral atau selective coding. Kategori sentral
merepresentasikan jawaban dari pertanyaan penelitian yang tengah dilakukan, terdiri
dari hasil atau temuan dari analisis yang telah dilakukan kemudian diintegrasikan
menjadi sebuah model atau teori baru (Effenrin et al., 2018). Dan terakhir adalah
pemodelan guna menjelaskan fenomena secara tuntas.
DAFTAR PUSTAKA

Alm, J. (2012). Measuring, explaining, and controlling tax evasion: lessons from theory,
experiments, and field studies. International Tax and Public Finance, 19(1), 54–77.
https://doi.org/10.1007/s10797-011-9171-2
Alm, J., Martinez-vazquez, J., & Schneiderb, F. (2004). Taxing the hard-to-tax: lessons
from theory and practice. Taxing the Hard-to-Tax, 121–158.
http://books.google.co.uk/books?id=fWGoPYH-OnoC
Anonim. (2023). Menkeu : Kinerja Penerimaan Negara Luar Biasa Dua Tahun Berturut-
turut. Diakses 01 April 2023 dari https://www.kemenkeu.go.id/informasi-
publik/publikasi/berita-utama/Kinerja-Penerimaan-Negara-Luar-Biasa.
Baldry, J. C. (1986). Tax evasion is not a gamble. Economics Letters, 22(4), 333–335.
https://doi.org/10.1016/0165-1765(86)90092-3
Bani-Mustafa, A., Al Qudah, A., Damrah, S., & Alameen, M. (2020). Does culture
influence whether a society justifies tax cheating? Journal of Financial Crime.
https://doi.org/10.1108/JFC-03-2020-0031
Becker, G. S. (1968). Crime and Punishment: An Economic Approach. Economic
Analysis of the Law: Selected Readings, 255–265.
https://doi.org/10.1002/9780470752135.ch25
Blaufus, K., Hundsdoerfer, J., Jacob, M., & Sünwoldt, M. (2016). Does legality matter?
The case of tax avoidance and evasion. Journal of Economic Behavior and
Organization, 127, 182–206. https://doi.org/10.1016/j.jebo.2016.04.002
Chau, G., & Leung, P. (2009). A critical review of Fischer tax compliance model : A
research synthesis. Journal of Accounting and Taxation, 1(2), 034–040.
Cowell, F. A. (1990). Tax sheltering and the cost of evasion. Oxford Economic Papers,
42(1), 231–243. https://doi.org/10.1093/oxfordjournals.oep.a041937
Cressey, D. R. (1950). The Criminal Violation of Financial Trust. American Sociological
Review, 15(6), 738–743.
Cressey, D. R. (1953). Other people’s money; a study of the social psychology of
embezzlement. In Other people’s money; a study of the social psychology of
embezzlement. Free Press.
Deb, R. (2021). Limning India’s tax terrorism saga. Vilakshan - XIMB Journal of
Management, 18(2), 202–215. https://doi.org/10.1108/xjm-08-2020-0094
Dorminey, J., Scott Fleming, A., Kranacher, M. J., & Riley, R. A. (2012). The evolution
of fraud theory. Issues in Accounting Education, 27(2), 555–579.
https://doi.org/10.2308/iace-50131
Effenrin, S., Darmadji, S. H., & Tan, Y. (2018). Metode Penelitian Akuntansi :
Mengungkap Fenomena dengan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. In Graha
Ilmu (Vol. 53, Issue 9).
Fogarty, T., & Jones, D. A. (2014). Between a rock and a hard place: How tax
practitioners straddle client advocacy and professional responsibilities. In
Qualitative Research in Accounting and Management (Vol. 11, Issue 4).
https://doi.org/10.1108/QRAM-06-2013-0024
Hasseldine, J., & Hite, P. A. (2003). Framing, gender and tax compliance. Journal of
Economic Psychology, 24(4), 517–533. https://doi.org/10.1016/S0167-
4870(02)00209-X
Indonesia, R. (2011). Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
http://ridum.umanizales.edu.co:8080/jspui/bitstream/6789/377/4/Mu�oz_Zapata_A
driana_Patricia_Art�culo_2011.pdf
James, S., & Alley, C. (2002). Tax Compliance , Self-Assessment and Tax
Administration School of Business and Economics , University of Exeter. Journal
of Finance and Management in Public Services, 2(2), 27–42.
http://hdl.handle.net/10036/47458
Jerbashian, V., & Kochanova, A. (2016). The impact of doing business regulations on
investments in ICT. Empirical Economics, 50(3), 991–1008.
https://doi.org/10.1007/s00181-015-0953-8
Khalimi, K., & Iqbal, M. (2020). Hukum Pajak Teori Dan Praktik. In AURA CV. Anugrah
Utama Raharja (Vol. 1, Issue 69).
Kirchler, E., Hoelzl, E., & Wahl, I. (2008). Enforced versus voluntary tax compliance:
The “slippery slope” framework. Journal of Economic Psychology, 29(2), 210–225.
https://doi.org/10.1016/j.joep.2007.05.004
Korndörfer, M., Krumpal, I., & Schmukle, S. C. (2014). Measuring and explaining tax
evasion: Improving self-reports using the crosswise model. Journal of Economic
Psychology, 45, 18–32. https://doi.org/10.1016/j.joep.2014.08.001
Levaggi, R., & Menoncin, F. (2013). Optimal dynamic tax evasion. Journal of Economic
Dynamics and Control, 37(11), 2157–2167.
https://doi.org/10.1016/j.jedc.2013.06.007
Manan, A. (2021). METODE PENELITIAN ETNOGRAFI (C. I. Salasiyah (ed.)). AcehPo
Publishing.
Mangoting, Y., Sukoharsono, E. G., Rosidi, & Nurkholis. (2017). Menguak Dimensi
Kecurangan Pajak. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 121, 274–290.
https://doi.org/10.18202/jamal.2017.08.7054
Mansury, R. (1994). Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia, Uraian
Umum dan Tentang Siapa-siapa yang Dituju untuk Dikenakan Pajak. Bina Rena
Pariwara.
Marshall, R., Smith, M., & Amstrong, R. W. (1997). Self‐assessment and the tax audit
lottery : The Australian experience. Managerial Auditing Journal, 12(1), 9–15.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.1108/02686909710155957
Rablen, M. D. (2010). Tax evasion and exchange equity: A reference-dependent
approach. Public Finance Review, 38(3), 282–305.
https://doi.org/10.1177/1091142110367858
Richardson, G. (2008). The relationship between culture and tax evasion across countries:
Additional evidence and extensions. Journal of International Accounting, Auditing
and Taxation, 17(2), 67–78. https://doi.org/10.1016/j.intaccaudtax.2008.07.002
Ritsatos, T. (2014). Tax evasion and compliance; From the neo classical paradigm to
behavioural economics, a review. Journal of Accounting and Organizational
Change, 10(2), 244–262. https://doi.org/10.1108/JAOC-07-2012-0059
Seltman, C. (1953). Theseus and the Minotaur of Knossos. The South African
Archaeological Bulletin, 8(32), 98. https://doi.org/10.2307/3887320
Shafer, W. E., & Simmons, R. S. (2011). Effect of Organizational Ethical Culture on the
Ethical Decision of Tax Practitioners in Mainland China. The Eletronic Library,
24(5), 647–668. https://doi.org/10.1108/0913571111139193
Sinnasamy, P., Bidin, Z., & Ismail, S. S. S. (2015). A Proposed Model of Non-
compliance Behaviour on Excise Duty: A Moderating Effects of Tax Agents.
Procedia - Social and Behavioral Sciences, 211(September), 299–305.
https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.11.038
Sinnot, R. W. (1993). The Boston Tea Party.
Tabandeh, R., Jusoh, M., Nor Ghani, N. G. Bin, & Zaidi, M. A. S. (2013). Causes of tax
evasion and their relative contribution in malaysia: An artificial neural network
method analysis. Jurnal Ekonomi Malaysia, 47(1), 99–108.
Tsakumis, G. T., Curatola, A. P., & Porcano, T. M. (2007). The relation between national
cultural dimensions and tax evasion. Journal of International Accounting, Auditing
and Taxation, 16(2), 131–147. https://doi.org/10.1016/j.intaccaudtax.2007.06.004
Turner, J. C. (2005). Explaining the nature of power: A three-process theory. European
Journal of Social Psychology, 35(1), 1–22. https://doi.org/10.1002/ejsp.244
VOGEL, J. (1974). Taxation and Public Opinion in Sweden: an Interpretation of Recent
Survey Data. National Tax Journal, 27(4), 499–513.
https://doi.org/10.1086/ntj41861983
Watanabe, S. (1986). Income Tax Evasion : A Theoretical Analysis. 201–202.
Yitzhaki, S. (1974). A Note on Income Tax Evasion : A Theorical Analysis. Journal of
Public Economics, 3, 201–202. https://doi.org/10.1007/bf02298834

Anda mungkin juga menyukai