Anda di halaman 1dari 18

Pengaruh Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi

atas Pelaksanaan Self Assessment System


terhadap Tindakan Tax Evasion di Kota Padang
AUDIA CITRA PERMITA 1
POPI FAUZIATI 2
RESTI YULISTIA M 3
ARIE FRINOLA MINOVIA 4
Universitas Bung Hatta Padang
Abstract
This study examines the effect of individual taxpayer perception for the
implementation of self assessment system on tax evasion. Population of this
research was individual taxpayer with non-fixed income in Padang. Sample
selected by convenience sampling and collected 70 questionnaires from
responden.
By using simple linear regression, the result of this study shows that the
individual taxpayer perception for the implementation of self assessment
system has positive significant effect on the tax evasion. The results of this
study differ from Suwandhi (2010) who found a negative effect of individual
taxpayer perception on the implementation of self assessment system to tax
evasion in Bandung.
This study found the better the perception of an individual taxpayer for the
implementation of self assessment system (especially those with non-fixed
income in Padang), the higher the tax evasion. Self assessment system that
gives credence to the taxpayer to calculate, pay and tax report itself raises
an opportunity to the taxpayer for tax evasion.
Keywords: Individual Tax Perception, Non-Fixed Income, Self Assessment
System, Tax Evasion

Abstrak
Penelitian ini menguji pengaruh persepsi wajib pajak orang pribadi atas
pelaksanaan sistem self assessment terhadap tindakan penggelapan pajak.
Populasi penelitian ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
berpenghasilan tidak tetap di kota Padang. Sampel dipilih dengan cara
convenience sampling dan dikumpulkan 70 kuesioner dari responden.
Dengan menggunakan regresi linier sederhana, hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan
sistem self assessment berpengaruh positif terhadap tindakan penggelapan
pajak. Hasil penelitian ini berbeda dari Suwandhi (2010) yang menemukan
pengaruh negatif dari persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan
sistem self assessment terhadap penggelapan pajak di Bandung.
Studi ini menemukan semakin baik persepsi wajib pajak orang pribadi atas
pelaksanaan sistem self assessment (terutama bagi mereka yang memiliki
1

audiacitra@yahoo.co.id
pfauziati@yahoo.com
3
resti_yulistia@yahoo.com
4
ariefrinolaminovia@yahoo.com
2

penghasilan tidak tetap di Padang), semakin tinggi penggelapan pajak.


Sistem self assessment yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak
untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak itu sendiri memberikan
kesempatan kepada wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak.
Kata kunci: Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi, Penghasilan tidak tetap,
Sistem Self Assessment, Penggelapan Pajak

1. Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu sumber dana negara yang memberikan kontribusi
terbesar dalam membangun negara. Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan
berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan
negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang,
penerbitan

peraturan

perundang-undangan

baru

di

bidang

perpajakan

guna

meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber pajak lainnya.


Kebijakan ini memberikan hasil yang positif dengan meningkatnya realisasi penerimaan
pajak penghasilan (PPh) tahun 2012 sebesar Rp. 464,66 triliun atau mencapai 90,46%
dari target Rp. 513,65 triliun atau mengalami pertumbuhan 7,79% dibandingkan dengan
realisasi tahun 2011 (Direktorat Jenderal Pajak, 2014).
Meskipun terjadi peningkatan penerimaan pajak, tetapi penerimaan pajak tahun
2012 ini hanya mencapai 90,46% dari target pajak. Kondisi ini menimbulkan
kecurigaan adanya indikasi penggelapan pajak. Kecurigaan ini semakin beralasan
dengan tertangkapnya Gayus Tambunan, seorang petugas pajak yang berkerjasama
dengan wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak. Menurut Suminarsasi dan
Supriyadi (2014), salah satu indikasi adanya penggelapan pajak dapat dilihat dari tidak
tercapainya target penerimaan pajak, dan faktanya dari tiap tahun realisasi penerimaan
pajak terutama PPh, tidak mencapai jumlah yang ditargetkan. Penggelapan pajak (tax
evasion) mengandung arti sebagai usaha yang dilakukan oleh wajib pajak untuk
mengurangi atau sama sekali menghapus hutang pajak yang berdasarkan ketentuan
yang berlaku sebagai pelanggaran terhadap perundang-undangan perpajakan (Rahayu,
2010).
Adanya penggelapan pajak dapat diakibatkan oleh sistem perpajakan (McGee et
al., 2008). Sunarsip (Ipotnews, 2012) mengungkapkan, adanya perbedaan penafsiran
antara wajib pajak (WP) yang menerapkan self assessment system dengan Direktorat
Jenderal Pajak mengenai besaran nilai pajak yang harus dibayar menjadi pemicu utama
terjadinya kejahatan perpajakan.
Keberhasilan Self Assessment System tidak akan tercapai tanpa adanya
kerjasama antara petugas pajak dengan wajib pajak. Sistem ini akan berjalan baik bila
masyarakat memiliki tingkat kesadaran perpajakan secara sukarela (voluntary tax
compliance) yang tinggi. Apabila tingkat kesadaran wajib pajak masih rendah, dapat
menimbulkan berbagai macam masalah perpajakan, salah satunya yaitu penggelapan
pajak (tax evasion) (Suminarsasi dan Supriyadi, 2014).

Menurut Rahayu (2010), hal utama yang melatarbelakangi adanya tindakan


penyeludupan pajak adalah kebutuhan dasar manusia dalam upaya memenuhi
kebutuhan pokok hidupnya. Wajib pajak merasa telah bersusah payah untuk
memperoleh pendapatan tetapi dengan begitu saja dipungut oleh pajak negara. Selain
itu, yang membuat wajib pajak berusaha menyelundupkan pajak antara lain kondisi
lingkungan yang tidak patuh pajak, pelayanan fiskus yang mengecewakan, tarif pajak
yang dianggap terlalu tinggi, dan sistem administrasi perpajakan yang buruk.
Fenomena yang terjadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Padang umumnya
tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi di beberapa wilayah lain di Indonesia.
Masih ada wajib pajak yang tidak mendaftarkan diri padahal wajib pajak tersebut sudah
harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, adanya penunggakan pajak yang dilakukan
oleh wajib pajak, wajib pajak yang tidak melaporkan kewajiban pajaknya dan ada yang
menyampaikan pajaknya dengan tidak benar. Salah satu kasus di Padang yaitu adanya
perusahaan di Padang yang menerbitkan faktur dan memungut pajak dari wajib pajak
dan tidak menyetorkan hasilnya ke kas negara sehingga negara dirugikan sekitar Rp. 1,3
Milyar. Kasus ini sudah dilimpahkan di pengadilan negeri (Padang Ekspres, 2013).
Sunarsip (Ipotnews, 2012) mengungkapkan, terdapat pemahaman yang berbeda
antara wajib pajak dengan Ditjen Pajak dalam penghitungan pajak yang menerapkan
sistem Self Assessment, selisih perhitungan tersebut memunculkan peluang terjadinya
fraud. Tetapi, perbedaan tafsir ini tidak ada pengaruhnya terhadap pelanggaran pidana.
Ilyas dkk (2013) membuktikan bahwa terdapat perbedaan pemahaman antara
wajib pajak dengan fiskus mengenai penggelapan pajak di Padang. Hasil yang sama
juga ditemukan dalam penelitian Sari (2007) di Pekanbaru. Hal ini mengindikasikan
bahwa perbedaan pemahaman dapat menyebabkan wajib pajak dapat terpeleset dalam
perbuatan ilegal dalam pajak (Ilyas dkk, 2013).
Penelitian ini menarik untuk diteliti mengingat adanya temuan penggelapan
pajak di kota Padang. Peneliti terdahulu membuktikan terdapat perbedaan pemahaman
antara wajib pajak badan dengan fiskus mengenai penggelapan pajak di kota Padang
(Ilyas, dkk. 2013) dan di kota Pekanbaru (Sari, 2007). Hal ini menimbulkan pertanyaan
apakah tindakan penggelapan pajak (Tax Evasion) dipengaruhi oleh persepsi wajib
pajak atas pelaksanaan Self Assessment System? Suwandhi (2010) menemukan bahwa
persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system berpengaruh
terhadap tindakan tax evasion. Penelitian ini dilakukan pada wajib pajak pribadi
meskipun selama ini indikasi dilakukannya penggelapan pajak lebih banyak terjadi pada

wajib pajak badan, tetapi tidak tertutup kemungkinan wajib pajak orang pribadi juga
melakukan hal yang sama. Lebih spesifik, wajib pajak pribadi yang diteliti dalam
penelitian ini adalah wajib pajak pribadi yang berpenghasilan tidak tetap seperti
pedagang, penerima upah, dll. Wajib pajak berpenghasilan tidak tetap akan lebih tinggi
melakukan penggelapan pajak dibandingkan berpenghasilan tetap karena biasanya
perusahaan tempat mereka bekerja membantu dalam pengurusan pajak karyawan
tetapnya.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan terutama pada wajib pajak
pribadi untuk dapat meningkatkan kesadaran dan kejujuran dalam membayar pajaknya
dan agar berhati-hati dalam menghitung, mengisi dan melaporkan pajak. Selain itu agar
wajib pajak lebih sering menambah pengetahuan tentang pajak terutama tentang pajak
penghasilan pribadi, mengikuti pelatihan gratis yang diadakan kantor pelayanan pajak
dan aktif bertanya agar tidak terpeleset dalam tindakan tax evasion.

2.

Rerangka Teoritis dan Pengembangan Hipotesis

2.1.

Pelaksanaan Self Assessment System


Self Assessment System dikenal setelah terjadinya reformasi perpajakan pada

tahun 1983 dimana sistem yang dipakai sebelumnya adalah official assessment system.
Menurut Ilyas dan Burton (2012) self assessment system berarti kepada wajib pajak
diberikan kepercayaan sepenuhnya untuk melaksanakan pemenuhan kewajiban
perpajakannya dengan cara menghitung, memperhitungkan, menyetor dan melaporkan
sendiri jumlah pajak yang harus dibayar ke negara.
Rahayu (2010) menyatakan bahwa tata cara pemungutan pajak dengan
menggunakan self assessment system berhasil dengan baik jika masyarakat mempunyai
pengetahuan dan disiplin pajak yang tinggi, dimana ciri-ciri self assessment system
adalah adanya kepastian hukum, sederhana perhitungannya, mudah pelaksanaannya,
lebih adil dan merata, dan perhitungan pajak dilakukan oleh Wajib Pajak.
Menurut Ilyas dan Burton (2012), Prinsip self assessment secara jelas tampak
dalam ketentuan Pasal 12 Undang-Undang No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang telah diubah dengan Undang-undang No 16 Tahun 2009
(Undang-undang KUP) pada dasarnya memiliki makna, yaitu:
1. Agar semua Wajib Pajak bersifak aktif di dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya tanpa perlu menunggu adanya surat ketetapan pajak yang akan
dikeluarkan oleh petugas pajak (fiskus),

2. Penghitungan jumlah pajak yang dibayar untuk sementara dianggap sebagai


perhitungan menurut ketentuan yang berlaku,
3. Fiskus memiliki kewenangan untuk melakukan penghitungan jumlah pajak yang
telah dilaporkan Wajib Pajak sepanjang fiskus memiliki data bahwa Wajib Pajak
belum melaksanakan penghitungan dengan benar. Surat ketetapan pajak akan
diterbitkan setelah melalui proses pemeriksaan dengan cara-cara yang diatur
dalam undang-undang pajak.

2.2.

Penggelapan Pajak (Tax Evasion)


Menurut Rahayu (2010),
Penggelapan pajak atau penyelundupan pajak merupakan usaha aktif Wajib
Pajak dalam hal mengurangi, menghapuskan, manipulasi illegal terhadap utang
pajak atau meloloskan diri untuk tidak membayar pajak sebagaimana yang telah
terutang menurut aturan perundang-undangan.

Penggelapan pajak biasa dilakukan perusahaan dengan cara membuat faktur


palsu, tidak mencatat penjualan atau laporan keuangan palsu. Tetapi praktek
penggelapan pajak seperti ini sering ketahuan sehingga modus penggelapan pajak
menjadi berubah. Perusahaan berusaha menyuap pegawai pajak dalam kaitannya
memperkecil jumlah pajak yang masih harus dibayar atau dalam penyelesaian keberatan
pajak. Motif ini belum bisa diungkap oleh pemerintah (Hutami, 2012).
Menurut Zain (2008), indikator dari penggelapan Pajak yaitu:
a. Tidak menyampaikan SPT
b. Menyampaikan SPT dengan tidak benar
c. Tidak mendaftarkan diri atau menyalahgunakan NPWP atau pengukuhan PKP
d. Berusaha menyuap fiskus.

Penyebab terjadinya tax evasion atau penggelapan pajak adalah (Rahayu, 2010):
1. Kondisi Lingkungan
Lingkungan sosial masyarakat menjadi hal yanag terpisahkan dari manusia
sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu saling bergantung satu sama lain,
begitu juga dalam dunia perpajakan. Jika lingkungan kondisinya baik, masingmasing individu akan termotivasi untuk memenuhi peraturan perpajakan dengan
membayar pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebaliknya jila

lingkungan sekitar kerap melakukan pelanggaran, maka masyarakat saling


meniru untuk tidak mematuhi peraturan dan melakukan perlawanan pajak.
2. Pelayanan Fiskus yang Mengecewakan
Pelayanan aparat pemungut pajak terhadap masyarakat cukup menentukan
dalam pengambilan keputusan wajib pajak dalam membayar pajaknya. Jika
pelayanan yang diberikan oleh aparat pemungut pajak telah memuaskan wajib
pajak, maka wajib pajak menganggap bahwa kontribusinya telah dihargai
meskipun hanya sekedar dengan pelayanan yang ramah, tetapi jika dilakukan
tidak menunjukkan penghormatan atas usaha wajib pajak, masyarakat merasa
malas untuk membayar pajak kembali
3. Tingginya Tarif Pajak.
Pemberlakuan tarif pajak mempengaruhi wajib pajak dalam membayarkan
pajaknya. Pembebanan pajak yang rendah membuat masyarakat tidak terlalu
keberatan untuk memenuhi kewajibannya. Meskipun masih ingin menghindar
dari pajak, mereka tidak akan terlalu membangkang terhadap aturan-aturan
perpajakan. Dengan pembebanan tarif yang tinggi, masyarakat semakin serius
berusaha agar terlepas dari jeratan pajak yang menghantuinya. Wajib pajak ingin
mengamankan hartanya sebanyak mungkin dengan berbagai cara, karena mereka
tengah berusaha untuk mencukupi berbagai kebutuhan hidupnya.
4. Sistem Administrasi Perpajakan yang buruk.
Penetapan sistem administrasi pajak mempunyai peranan penting dalam proses
pemungutan pajak suatu negara. Dengan sistem administrasi yang bagus,
pengelolaan perpajakan akan berjalan lancar dan tidak akan terlalu banyak
menemui hambatan yang berarti.

Menurut Gunadi (2007), beberapa akibat dari perbuatan penggelapan pajak, yaitu:
1. Dalam bidang keuangan.
Penggelapan pajak merupakan pusat kerugian bagi kas negara karena dapat
menyebabkan ketidakseimbangan antara anggaran dan konsekuensi-konsekuensi
lain yang berhubungan dengan itu, seperti kenaikan tarif pajak, keadaan
inflasi.dll.
2. Dalam bidang ekonomi
Penggelapan pajak sangat mempengaruhi persaingan sehat antara para
pengusaha. Maksudnya pengusaha yang melakukan penggelapan pajak dengan

cara menekan biayanya secara tidak wajar. Sehingga perusahaan yang


menggelapkan pajak memperoleh keuntungan yang lebih besar dibandingkan
pengusaha yang jujur.
3. Dalam bidang psikologi
Jika wajib pajak terbiasa melakukan penggelapan pajak, itu sama saja
membiasakan untuk selalu melanggar undang-undang. Karena tujuan wajib
pajak dalam menggelapkan pajak pasti untuk mencari keuntungan yang lebih
besar.
2.3

Pengaruh Self Assessment System dengan Tax Evasion


Prinsip utama pemungutan pajak sebagai wujud dari kewajiban warga negara

untuk ikut membantu pembiayaan negara dan pembangunan nasional adalah dengan
diberikannya kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, melaporkan,
mencatat dan membayarkan jumlah pajak terhutang. Akan tetapi banyak wajib pajak
memanfaatkan kepercayaan yang diberikan dan berfikir untuk melarikan diri dari
kewajiban atau mengurangi jumlah pajak terhutang mereka, bahkan cenderung tidak
membayar pajak. Tindakan tersebut merupakan tindakan penyelundupan pajak (tax
evasion) dimana tindakan ini merupakan tindakan ilegal.
Menurut Sunarsip (Ipotnews, 2012), terjadi penghindaran pajak atau
penggelapan pajak akibat ketidakpastian aturan pengutipan pajak yang menerapkan self
assessment system. Sistem ini memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam
menghitung, membayar, melaporkan sendiri pajak terutangnya sesuai dengan ketentuan
perpajakan, sehingga memicu terjadinya penafsiran yang berbeda antara wajib pajak
dengan Ditjen Pajak, sehingga ada selisih besaran pajak yang mesti dibayar wajib pajak.
Hasil penelitian Sari (2007) di Pekanbaru dan Ilyas, dkk (2013) di Padang membuktikan
bahwa terdapat perbedaan pemahaman antara wajib pajak dengan fiskus mengenai
penggelapan pajak.
Menurut Ilyas dan Burton (2012), pemberian kepercayaan penuh melalui
pelaksanaan sistem self assessment kepada wajib pajak seakan memberi ruang amat
besar dan sangat memungkinkan kalau data dan pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak
ke kantor pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kalaupun itu terjadi
harus diakui bahwa hal itu merupakan konsekuensi logis dari sistem yang diberlakukan.
Slemrod (2007) menemukan bahwa tindakan penggelapan pajak di Amerika
Serikat dan beberapa negara Eropa lainnya terjadi karena adanya ketidakpatuhan wajib
pajak pribadi maupun badan dan rasa kecewa wajib pajak terhadap pelaksanaan sistem

perpajakan di negara mereka masing-masing. McGee et al., (2008) meneliti etika dalam
penggelapan pajak di Hongkong dan Amerika Serikat. Dengan sampel mahasiswa bisnis
di Hongkong dan Amerika, penelitian ini menemukan bahwa responden di Hongkong
dan Amerika Serikat menentang pandangan bahwa penggelapan pajak selalu etis.
Penggelapan pajak terjadi pada negara yang korup dan sistem pajak yang tidak adil.
McGee (2006) menyatakan bahwa penggelapan pajak dianggap suatu hal yang
etis dikarenakan oleh minimnya keadilan dalam penggunaan uang yang bersumber dari
pajak, korupsi pemerintah, dan tidak mendapat imbalan/pengaruh atas pajak yang telah
dibayarkan, yang berakibat kurangnya tingkat pendapatan penerimaan pajak Negara dan
menimbulkan

krisis

kepercayaan

masyarakat

kepada

institusi

terkait

dalam

membayarkan pajaknya. Nickerson, et al (2009) meneliti dimensi skala etis dalam


penggelapan pajak, salah satunya adalah dimensi sistem perpajakan. Peneliti
berargumen bahwa pengelolaan uang pajak yang dapat dipertanggungjawabkan, petugas
pajak yang kompeten dan tidak korup, dan prosedur perpajakan yang tidak berbelit-belit
akan membuat wajib pajak enggan untuk menggelapkan pajak. Akan tetapi, apabila
pengelolaan uang pajak tidak jelas, ditambah lagi petugas pajaknya justru mengorupsi
uang pajak, maka para wajib pajak enggan untuk melaporkan kewajibannya dengan
jujur, mereka akan cenderung untuk menggelapkan pajak.
Penelitian Tarjo dan Kusumawati (2006) di Bangkalan Madura, menemukan
bahwa pelaksanaan self assessment system di Bangkalan belum terlaksana dengan baik,
karena wajib pajak masih banyak yang tidak menghitung sendiri pajak terutangnya
meskipun dalam fungsi membayar sudah baik yaitu menyetorkan pajak terutangnya
sebelum jatuh tempo, tetapi ada wajib pajak yang membayar pajak terutang tidak sesuai
dengan perhitungannya. Dilihat dari fungsi fiskus, ternyata self assessment system di
Bangkalan juga belum terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan informasi
yang tidak merata dan fungsi pengawasannya sulit diukur dari persepsi wajib pajak.
Sedangkan pada fungsi pelayanan, ternyata mereka yang sering datang ke KPP adalah
wajib pajak yang fungsi perhitungannya dilakukan oleh Fiskus.
Sementara dalam penelitian Suwandhi (2010) pada KPP Pratama Bandung
Cibeunying, menemukan pelaksanaan Self Assessment System berkaitan signifikan
dengan tindakan tax evasion pada KPP Pratama Bandung Cibeunying. Keterkaitan
pelaksanaan Self Assessment system dengan tindakan tax evasion juga dipengaruhi oleh
faktor lain yaitu kesadaran yang kurang tentang kewajiban membayar pajak, kondisi
lingkungan, tarif pajak yang semakin tinggi, pelayanan fiskus yang mengecewakan.

Artinya, semakin baik pelaksanaan self assessment system maka tindakan tax evasion
yang terjadi akan semakin rendah. Demikian sebaliknya, semakin buruk pelaksanaan
self assessment system maka tindakan tax evasion akan menjadi tinggi. Sementara
dalam persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system
masih cukup. Artinya pelaksanaan sistem yang dimulai dari pendaftaran NPWP,
perhitungan pajak, penyetoran dan pelaporan SPT oleh wajib pajak sendiri masih belum
berjalan baik. Akan tetapi ada beberapa pelaksanaan yang sudah dianggap baik seperti
proses pendaftaran dan pelayanan yang diberikan fiskus.
Dianutnya Self Asessment system diharapkan dapat menciptakan kesadaran diri
wajib pajak dalam membayar pajak secara sukarela melalui misi dan konsekuensi yang
dibawa oleh self assessment system, karena semakin tinggi kepatuhan sukarela maka
semakin kecil pula kebutuhan mengawasi wajib pajak sehingga penggelapan pajak
dapat diminimalisir. Dengan demikian maka diturunkan sebuah hipotesis bahwa :
H a : Persepsi Wajib Pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system
berpengaruh terhadap tindakan tax evasion

3. Metoda Penelitian
3.1. Sumber Data, Populasi dan Sampel
Penelitian ini menggunakan data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari
responden dengan menyebarkan kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
wajib pajak orang pribadi yang sudah memiliki NPWP dan berpenghasilan tidak tetap di
kota Padang. Sedangkan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah wajib
pajak orang pribadi yang dipilih dengan menggunakan metode Convenience Sampling
yaitu pemilihan sampel berdasarkan kemudahan.
3.2. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel dependen penelitian ini adalah Tax Evasion yaitu suatu tindakan yang
dilakukan oleh wajib pajak dalam menggelapkan atau menghindarkan pajak
terhutangnya secara ilegal. Pengukuran tax evasion menggunakan 5 skala likert, sebagai
berikut: 1 = sangat negatif, 2 = negatif, 3 = ragu-ragu, 4 = positif, 5 = sangat positif.
Terdapat 11 pertanyaan dengan rincian: Tidak menyampaikan pengisian SPT dengan 2
pertanyaan; menyampaikan SPT dengan tidak benar dengan 2 pertanyaan; tidak
mendaftar/ menyalahgunakan NPWP atau pengukuhan PKP dengan 3 pertanyaan; tidak
menyetorkan pajak yang telah dipungut atau dipotong dengan 2 pertanyaan; berusaha
menyuap fiskus dengan 2 pertanyaan.

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Persepsi Wajib
Pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment System, yaitu pemungutan pajak
yang memberikan wewenang, kepercayaan dan tanggung jawab kepada wajib pajak
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besarnya
pajak yang harus dibayar (Waluyo, 2011).
Untuk Persepsi Wajib Pajak orang pribadi atas pelaksanaan Self Assessment
System menggunakan 5 skala likert sebagai berikut: 1 = sangat negatif, 2 = negatif, 3 =
ragu-ragu, 4 = positif, 5= sangat positif. Terdapat 17 pertanyaan dengan rincian untuk
indikator mendaftar dengan 3 pertanyaan; untuk indikator Menghitung dengan 4
pertanyaan; untuk indikator Membayar dengan 2 pertanyaan; untuk indikator Melapor
dengan 4 pertanyaan; untuk indikator Pelayanan fiskus dengan 2 pertanyaan; untuk
indikator Pengawasan dengan 2 pertanyaan.

3.3. Metode Analisis Data


3.3.1. Pengujian Kualitas Data
Uji Validitas dilakukan dengan menggunakan analisis faktor dengan kriteria
suatu item dikatakan valid apabila memiliki Kaiser Meyer Olkin > 0,5 dan faktor
loading > 0,4. Uji reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan teknik Cronbach Alpha
(), dimana suatu instrumen dapat dikatakan handal (reliabel), bila memiliki Cronbach
alpha > 0,6.
3.3.2. Uji Normalitas
Sebelum melakukan uji hipotesis, dilakukan uji normalitas data. Normal atau
tidaknya sebuah data dapat diketahui dengan melihat penyebaran data (titik) pada suatu
sumbu diagonal dari grafik normal Probability Plot. Jika data menyebar di sekitar garis
diagonal dan mengikuti arah garis diagonal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.

3.3.3. Uji Hipotesis


Untuk membuktikan hipotesis yang diajukan maka digunakan analisis regresi
liner sederhana dengan persamaan sebagai berikut:
Y = a + bX + e
Keterangan:
Y =

Tax Evasion

a =

Konstanta

b = Koefisien Regresi
X =

Persepsi Wajib Pajak Orang pribadi atas Pelaksanaan Self Assessment System

e =

Error

4.

Hasil Penelitian

4.1. Demografi Responden


Berdasarkan tabel 1, dari 80 kuisioner yang disebar, yang kembali 70 buah
(87,5%) , sedangkan kuisioner yang tidak kembali sebanyak 10 buah (12,5%), maka
jumlah kuesioner yang dapat dianalisis adalah sebanyak 70 buah.
Tabel 1. Gambaran Umum Proses Penyebaran Kuesioner
Keterangan
Jumlah Kuesioner yang disebarkan
Jumlah Kuesioner yang tidak kembali
Jumlah Kuesioner yang kembali
Total kuesioner yang diolah
Sumber: hasil pengolahan data

Jumlah
(orang)
80
10
70
70

Persentase
(%)
100
12,5
87,5

Tabel 2. Profil Responden Berdasarkan Gender


Keterangan
Jumlah (orang)
Laki Laki
39
Perempuan
31
Total
70
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Jumlah (%)
55,7
44,3
100

Tabel 3. Profil Responden Berdasarkan Usia


Keterangan
18 - 25 Tahun
26 - 35 Tahun
36 - 46 Tahun
> 46 Tahun
Total
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Jumlah
(orang)
19
19
22
10
70

Jumlah (%)
27,15
27,15
31,4
14,3
100

Tabel 4. Profil Responden Berdasarkan Pendidikan


Keterangan
Jumlah (orang)
SMP
1
SLTA
32
Sarjana (S1)
37
Total
70
Sumber: Hasil Pengolahan Data

Jumlah (%)
1,4
45,7
52,9
100

Tabel 5. Profil Responden Berdasarkan Pekerjaan


Keterangan
Jumlah (orang)
Wiraswasta
47
Pedagang
22
Lainnya
1
Total
70
Sumber : Hasil Pengolahan data

Jumlah (%)
67,2
31,4
1,4
100

Selanjutnya karakteristik responden yang menjadi sampel pada penelitian ini,


berdasarkan jenis kelamin; laki-laki 55,7%, perempuan 44,3% (tabel 2), berdasarkan
umur; antara 18-25 tahun 27,15%, antara 26-35 tahun 27,15%, antara 36-46 tahun 31,4
tahun, diatas 46 tahun 14,3%, (tabel 3) berdasarkan pendidikan; SMP sebanyak 1,4%,
SLTA sebanyak 45,7%, sarjana sebanyak 52,9%, (tabel 4) berdasarkan pekerjaan;
wiraswasta 67,2%, pedagang 31,4%,lainnya 1,4% (tabel 5).
4.2. Statistik Deskriptif

Hasil statistik deskriptif dapat dilihat dari tabel 6 berikut:


Tabel 6. Statistik Deskriptif Data
Variabel
N

Kisaran
teoritis

Kisaran
Aktual

Mean

70

17-85

23-83

56.9714

9.06014

70

11-55

17-52

35.1429

6.93298

Valid N
(listwise)

70

Std. Deviation

Sumber : hasil pengolahan data

4.3 Uji Instrumen Data dan Uji Normalitas Data


Pengujian validitas menunjukkan nilai KMO dan faktor loading berada diatas
0,5 dan Cronbach Alpha berada diatas 0,6 yang menunjukkan data lolos uji validitas dan
reabilitas (tabel 7).

Tabel 7. Hasil Uji Validitas dan Reabilitas


Variabel
Persepsi WP orang Pribadi atas
Pelaksanaan Self Assessement System (X)
Tindakan Tax Evasion (Y)
Sumber: Hasil pengolahan data

KMO

Faktor
Loading

Cronbach
Alpha

0,706

0,455-0,769

0,774

0,690

0,422-0,742

0,740

Pengujian normalitas dapat dilihat pada gambar 1 .


Gambar 1 Hasil Uji Normalitas
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: EVA


1.0

Expected Cum Prob

0.8

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

Observed Cum Prob

Dari gambar 1 menunjukkan bahwa data yang ditemukan telah memenuhi


asumsi kenormalan suatu data, karena data yang disebar di sekeliling garis lurus atau
tidak berpencar jauh dari garis lurus. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
persyaratan normalitas terpenuhi.
4.4

Uji Hipotesis
Dari hasil pengujian terlihat bahwa nilai R2 adalah sebesar 0,277, ini berarti

27,7% persepsi Wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment system
memberikan kontribusi dalam mempengaruhi tindakan tax evasion sedangkan sisanya
72,3% di jelaskan oleh variabel lain yang tidak digunakan dalam model penelitian ini.
Berdasarkan pengujian hipotesis diperoleh bahwa persepsi wajib pajak orang
pribadi atas pelaksanaan self assessment system memiliki nilai signifikansi sebesar
0,000 pada alpha 0,05, koefisien persepsi wajib pajak 0,402. Hal ini berarti semakin
baik persepsi wajib pajak atas pelaksanaan self assessment system maka tindakan tax
evasion semakin meningkat di kota Padang (tabel 8).

Tabel 8. Hasil Pengujian Hipotesis


Keterangan
Konstan
Persepsi

Wajib

Pajak

Koefisien

Sig

12,216

0,009

0,402

0,000

Pribadi
R2

0,277

F sig

0,000

Sumber: Hasil Pengolahan Data

Penelitian ini menemukan hal yang menarik yang terjadi pada wajib pajak orang
pribadi di kota Padang. Semakin baiknya persepsi wajib pajak atas pelaksanaan self
assessment system justru semakin meningkatkan penggelapan pajak (tax evasion).
Penelitian ini justru berbeda dengan hasil yang ditemukan oleh Suwandhi (2010) yang
menemukan terdapat pengaruh negatif antara persepsi wajib pajak orang pribadi atas
pelaksanaan self assessment system terhadap tindakan tax evasion di Bandung.
Penerapan self assessment system yang memberikan kepercayaan penuh kepada
wajib pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak terhutangnya sendiri
memberikan peluang yang sangat besar kepada wajib pajak untuk menggelapkan pajak
terhutangnya. Hal inilah yang mengakibatkan peningkatan tindakan tax evasion di kota
Padang. Adanya penyalahgunaan kepercayaan yang diberikan kepada wajib pajak dalam
pelaksanaan self assessment system juga menjadi pemicu tindakan tax evasion tersebut.
Dengan kepercayaan yang telah diberikan, membuat wajib pajak berpikir bahwa data
laporan pajak yang akan dibayarnya tidak akan dihitung ulang lebih terinci oleh petugas
pajak. Selain itu kurangnya pengawasan yang dilakukan fiskus kepada wajib pajak
dalam pelaksanaan self assessment system juga bisa menjadi alasan wajib pajak untuk
melakukan tindakan tax evasion.

5. Kesimpulan, Keterbatasan dan Saran


5.1. Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil pengujian hipotesis dapat
disimpulkan bahwa persepsi wajib pajak orang pribadi atas pelaksanaan self assessment
system berpengaruh positif terhadap tindakan tax evasion di kota Padang. Hasil
pengujian justru menimbulkan hal yang menarik karena semakin baik persepsi wajib

pajak atas pelaksanaan sistem self assessment justru semakin meningkatkan tindakan
tax evasion di kota Padang. Hasil ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan self
assessment system yang memberikan sepenuhnya kepercayaan kepada wajib pajak
untuk menghitung, membayar dan melaporkan pajak terhutangnya sendiri justru lebih
memberikan peluang kepada wajib pajak untuk menggelapkan pajaknya.
Wajib Pajak hendaknya menyadari kewajiban dalam membayar pajak dengan
kejujuran dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar atas kepercayaan yang
diberikan kepada wajib pajak dan juga lebih aktif dalam bertanya atau mengikuti
pelatihan karena penggelapan pajak yang dilakukan wajib pajak juga dapat disebabkan
oleh adanya perbedaan tingkat pemahaman antara wajib pajak dengan fiskus mengenai
konsep dasar penggelapan pajak seperti temuan yang diperoleh oleh Ilyas, dkk (2013).
Sedangkan bagi fiskus, kecenderungan terjadinya tax evasion masih cukup
tinggi. Oleh karena itu seharusnya fiskus mulai memperhatikan sistem dan data wajib
pajak yang lebih terintegrasi dengan menjaring atau mendeteksi kemungkinan
penyelewengan atau penggelapan pajak serta menerapkan dan mengawasi aturan sebaik
mungkin.

5.2. Keterbatasan Penelitian dan Saran


Keterbatasan penelitian yang dilakukan antara lain:
1. Ketidakterbukaan dan ketakutan wajib pajak orang pribadi saat ditanyai/diminta
mengisi kuesioner mengenai pajak.
2. Penelitian ini hanya menguji persepsi wajib pajak atas pelaksanaan self
assessment system, masih ada sejumlah variabel yang juga mempengaruhi
tindakan tax evasion atau penggelapan pajak yang belum dimasukkan kedalam
penelitian
Disarankan pada penelitian selanjutnya untuk menambah variabel lain yang
diduga mempengaruhi tax evasion, seperti keadilan atau menguji mengenai etika
penggelapan pajak (Suminarsasi dan Supriyadi, 2014).

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan. 2014. Siaran Pers Strategi
Pengamanan Penerimaan Pajak tahun 2013. www.pajak.go.id diakses Juni
2014.
Gunadi. 2007. Pajak Internasional Edisi Revisi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia.
Hutami, Sri. 2012. Tax Planning (Tax Avoidance dan tax Evasion) Dilihat dari Teori
Etika. www.ejournal politama.ac.id.
Ilyas, Bobby, Popi Fauziati dan Resti Yulistia M. 2013. Analisis Perbedaaan Tingkat
Pemahaman Wajib Pajak dan Fiskus terhadap Pengetahuan Umum,
Perencanaan, Strategi Perencanaan dan Penggelapan Pajak di Wilayah Kantor
Pelayanan Pajak Padang. Simposium Nasional Akuntansi XVI, Manado.
Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton. 2012. Manajemen Sengketa Dalam Pungutan
Pajak: Analisis Yuridis Terhadap Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Mitra
Wacana Media.
Ipotnews, 2012. Kejahatan Perpajakan Dipicu
www.ipotnews.com, diakses Oktober 2013.

Sistem

Self

Assessment.

McGee, Robert W. 2006. Three Views on the Ethics of Tax Evasion, Journal of
Business Ethics 2006, pp. 15-35.
McGee, Robert W, Simon S. M. Ho, Annie Y. S. Li. 2008. A Comparative Study on
Perceived Ethics of Tax Evasion: Hong Kong vs the United States. Journal of
Business Ethics 77.
Nickerson, Inge, Pleshko dan McGee. 2009. Presenting the Dimensionality of An Ethics
Scale pertaining To Tax Evasion, Journal of Legal, Ethical and Regulatory
Issues, Volume 12, Number 1.
Padang Ekspres. 2013. Pengeplang Pajak Tersudut. www.padangekspres.co.id, diakses
Juni 2014.
Rahayu, Siti Kurnia. 2010. Perpajakan Indonesia: Konsep dan Aspek Formal.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sari, Yulia. 2007. Analisa Tingkat Pemahaman Wajib Pajak Badan dan Fiskus
terhadap Perencanaan Pajak dan Penggelapan Pajak di Wilayah kantor
Pelayanan Pajak Kota Pekanbaru. Skripsi S-1. Fakultas Ekonomi Universitas
Andalas Padang.
Slemrod, Joel. 2007. Cheating Ourselves: The Economics of Tax Evasion. Journal of
Economic Perspectives Volume 21 No. 1: 25-48.

Suminarsasi, Wahyu dan Supriyadi. 2014. Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan dan
Diskriminasi terhadap Persepsi Wajib Pajak mengenai Etika Penggelapan
Pajak (Tax Evasion). www.asp.trunojoyo,ac.id, diakses tanggal 9 Juni 2014.
Suwandhi, Rezki Suhairi. 2010. Persepsi Wajib Pajak Orang Pribadi Atas Pelaksanaan
Self Assessment System Dalam Keterkaitannya Dengan Tindakan Tax Evasion
(Studi Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Cibeunying). Bandung:
Skripsi Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi UNIKOM.
Tarjo dan Kusumawati. 2006. Analisis Perilaku Wajib Pajak Orang Pribadi Terhadap
Pelaksanaan Self Assessment System: Studi Bangkalan. Jurnal JAAI Volume 10
No.1: 101-102.
Undang-Undang Pajak Lengkap Tahun 2012. Jakarta: Mitra Wacana Media.
Waluyo. 2011. Perpajakan Indonesia. Edisi 10 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat.
Zain. 2008. Manajemen Perpajakan. Jakarta: Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai