Anda di halaman 1dari 12

PENGGELAPAN PAJAK OLEH PT.

INDOSAT
Oleh : Naufaal Surya Dwimulya

Abstrak

Pajak merupakan salah satu unsur terpenting dalam


menunjang anggaran peneriman negara. Anggapan
bahwa pajak merupakan beban menyebabkan Wajib Pajak
akan selalu berusaha untuk meminimalkan besar pajak
terhutang yang harus dibayar dan dalam mencapai
keinginannya tersebut rawan terhadap kecurangan-
kecurangan seperti penggelapan pajak. Banyaknya kasus
penggelapan pajak di Indonesia secara tidak langsung
akan membentuk persepsi Wajib Pajak mengenai perilaku
penggelapan pajak. Banyaknya kasus penggelapan pajak
di Indonesia menyebabkan kerugian yang besar bagi
negara. Hal ini menyebabkan tindakan penggelapan pajak
menjadi etis atau wajar dilakukan mengingat banyaknya
tindakan yang tidak seharusnya dilakukan oleh aparatur
pajak. Tujuan penelitian ini yaitu untuk memeroleh bukti
empiris pengaruh keadilan pajak, sistem
perpajakan,diskriminasi, pengetahuan Wajib Pajak, dan
intensitas pemeriksaan pajak di indonesia mengenai
penggelapan pajak.

A. Pendahuluan
1. Pengertian Pajak
Menurut Adam Smith (1898:302), pajak adalah “a contribution
from the citizen to support of the state”. Sedangkan Sommerfeld
(1983:1) mendefinisikan pajak sebagai “any nonpenal yet compulsory
transfer of resources from the private to public sector, levied on the basis
of predetermined criteria and without receipt of specific benefit of equal
value, in order to accomplish some of a nation’s economic and social
objectives.” Dan Bastable (1993:263) menyatakan bahwa pajak adalah
“a compulsory contribution of the wealth of a person or body of persons
for service of the public powers.”
Dari kalangan dalam negeri, Rochmat Soemitro (1994:23) menyatakan
bahwa pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan
dari sektor partikulir ke sektor pemerintah) berdasarkan undang-undang
(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (tegen
prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum.” Sementara menurut Djajaningrat, pajak
adalah “kewajiban untuk menyerahkan sebagian dari kekayaan kepada
negara disebabkan oleh suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang
memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut
peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan,
tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung, untuk memelihara
kesejahteraan umum”. Dari berbagai definisi tentang pajak di atas, dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa pajak memiliki beberapa aspek dasar:
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;
2. Sifatnya dapat dipaksakan
3. Tidak ada kontraprestasi yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak;
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik pemerintah pusat
maupun daerah; dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
pemerintah (rutin dan pembangunan) bagi kepentingan
masyarakat umum.

Dari berbagai definisi mengenai pajak, terdapat beberapa


tanggapan dari para pakar dan praktisi perpajakan. Rochmat Sumitro4
menyatakan bahwa pajak sebenarnya utang, yaitu utang anggota
masyarakat kepada masyarakat. Utang ini menurut hukum adalah
perikatan (verbintenis). Meskipun pajak itu letaknya di bidang hukum
publik, tetapi erat sekali hubungannya dengan hukum perdata dan hukum
adat. Di sisi lain, pemenuhan kewajiban pajak akan berdampak pada aspek
ekonomi, dari mikroekonomi hingga makroekonomi. Sehingga apabila
anggota masyarakat memenuhi kewajiban pajaknya dengan baik,
mekanisme ekonomi dalam masyarakat akan berjalan dengan baik.
Sementara itu, Abdul Asri Harahap (2004: 174) mengkritik
pemahaman dasar tentang pajak dengan mengungkap bahwa definisi pajak
dan implementasinya perlu dibenahi dengan upaya agar kesadaran moral
dan aspek ketuhanan dalam membayar pajak disuntikkan pada kesadaran
“sekuler” perpajakan yang lebih mengedepankan hubungan kontraktual
antara pemerintah dengan rakyat.

2. Fungsi Pajak
Safri Nurmantu (2003: 30) menyatakan bahwa pajak memiliki dua
fungsi, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend. Pajak berfungsi
budgeter, yaitu untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya
sesuai dengan undang-undang yang berlaku yang pada waktunya akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara, yaitu
pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, dan bila ada sisa
(surplus) akan digunakan sebagai tabungan pemerintah. Sedangkan fungsi
regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut digunakan
sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Meski demikian, dalam pandangan Richard Burton dan Wirawan
B. Ilyas terdapat pula fungsi lain dari pajak yang saat ini mengemuka,
yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi. Fungsi demokrasi
menyatakan bahwa pajak merupakan salah satu penjelmaan atau wujud
sistem gotong-royong, termasuk kegiatan pemerintahan dan pembangunan
demi kemaslahatan manusia. Sebagai implementasinya, pajak memiliki
konsekuensi untuk memberikan hak-hak timbal-balik yang meskipun tidak
diterima langsung, tetapi diberikan kepada warga negara pembayar pajak.
Demikian selanjutnya, hingga pajak akan berfungsi redistribusi, yaitu
mengimplementasikan unsur pemerataan dan keadilan dalam masyarakat.
Bila pajak diterapkan dengan baik maka dapat dipastikan terjadi beberapa
dampak pajak terhadap perekonomian dan berbagai aspeknya.
Secara umum, struktur perekonomian (tanpa pajak) terdiri dari
Pendapatan Nasional, Konsumsi dan Tabungan. Bila seluruh tabungan
digunakan untuk investasi, maka tidak akan pernah terjadi inflasi maupun
deflasi. Tetapi, mungkin terjadi tidak semua tabungan digunakan untuk
investasi sehingga berakibat pada kelesuan ekonomi, deflasi dan
pengangguran. Atau sebaliknya, jumlah tabungan lebih rendah dari jumlah
investasi, yang berakibat pada kegairahan ekonomi dan inflasi.
Pajak merupakan sumber pendapatan bagi negara yang berfungsi
untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Fungsi tersebut
disebut dengan fungsi budgetair. Dengan fungsi ini maka aparatur pajak
akan berusaha untuk meningkatkan penerimaan negara sebanyak-
banyaknya. Namun demikian penerimaan pajak tidak dapat mencapai
target yang telah ditentukan. Hal ini dapat disebabkan adanya tindakan
wajib pajak untuk meminimalkan pajak melalui berbagai cara salah
satunya adalah dengan penggelapan pajak (tax evasion).
Penggelapan pajak di Indonesia sudah menjamur luas. Setiap tahun
diperkirakan jumlah pajak yang dihindari sekitar Rp110 triliun yang
dilakukan baik oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan. Selama
tahun 2010-2014 jumlah kerugian negara dan mengalir secara ilegal ke
luar negeri mencapi Rp910 triliiun. Jumlah tersebut setara dengan 45%
pertambahan jumlah uang beredar dalam peride yang sama di Indoensia
yang jumlahnya Rp2.032 triliun (Himawan, 2017). Munculnya kasus-
kasus tersebut memunculkan pemikiran negatif tentang pajak. Salah
satunya dalam hal kepercayaan wajib pajak terhadap petugas pajak yang
mulai menurun yang disebabkan karena uang atas pembayaran pajak yang
dikeluarkan oleh wajib pajak ternyata disalahgunakan oleh petugas pajak
yaitu masuk ke tabungan pribadi petugas pajak. Hal ini merupakan salah
satu yang dapat mempengaruhi persepsi wajib pajak mengenai
penggelapan pajak (tax evasion).

B. Pembahasan
1. Profil
IM3 merupakan salah satu merk jual sebuah perusahaan penyedia
jasa dan jaringan telekomunikasi di Indonesia, yaitu PT Indosat Tbk.
Perusahaan ini menawarkan saluran komunikasi untuk pengguna telepon
genggam dengan pilihan pra bayar maupun pascabayar dan IM3
merupakan salah satu merk jual yang memiliki banyak pelanggan.
IM3 diduga melakukan penggelapan pajak dengan cara
memanipulasi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai ( SPT
Masa PPN) ke kantor pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan
Desember 2002. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, dapat
direstitusi atau ditarik kembali. Karena itu, IM3 melakukan restitusi
sebesar Rp 65,7 miliar. 750 penanam modal asing (PMA) terindikasi tidak
membayar pajak dengan cara melaporkan rugi selama lima tahun terakhir
secara berturut-turut. Dalam kasus ini terungkap bahwa pihak manajemen
berkonspirasi dengan para pejabat tinggi negara dan otoritas terkait dalam
melakukan penipuan akuntansi. Manajemen juga melakukan konspirasi
dengan auditor dari kantor akuntan publik dalam melakukan manipulasi
laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi, sehingga merugikan
banyak pihak dan pemerintah. Kemungkinan telah terjadi mekanisme
penyuapan (bribery) dalam kasus tersebut.
Secara rinci berita yang dikutip dalam suatu media tertentu,
dijabarkan sebagai berikut :
a. Tenaga Pengkaji Bidang Pembinaan dan Penertiban Sumber
Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak, Djangkung
Sudjarwadi, menyatakan bahwa Ditjen Pajak akan mengusut
laporan adanya penggelapan pajak yang dilakukan PT Indosat
Multimedia (IM3). Menurut master hukum dari Harvard Law
School tersebut, adanya laporan dari Wakil Ketua Komisi VI
Dewan Perwakilan Rakyat, M Rosyid Hidayat, bahwa IM3 telah
menggelapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Rp 174
miliar, merupakan informasi yang harus ditindaklanjuti aparat
Ditjen Pajak. Dalam pandangan Djangkung, informasi apapun
yang berkaitan tentang penyimpangan pajak, baik yang
dilakukan wajib pajak maupun aparat pajak sendiri akan
ditindaklanjuti secara serius oleh pihak Ditjen Pajak.
b. Adanya bantahan dari Direktur Utama IM3, Yudi Rulianto, kata
Djangkung, tidak menyebabkan permasalahan menjadi selesai.
Pengusutan tetap diperlukan untuk mencari tahu duduk
permasalahan yang sebenarnya dengan memeriksa wajib pajak
yang bersangkutan dan memeriksa kebenaran laporan atau
pengaduan yang diterima. Hal ini sesuai dengan amanah
Undang-Undang No 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan yang menyatakan bahwa Ditjen Pajak
berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan
pemenuhan kewajiban wajib pajak
c. Proses pengusutan tersebut, menurut Djangkung, saat ini sudah
dilimpahkan ke Kantor Wilayah VII Direktorat Jenderal Pajak.
Hal ini dikarenakan kantor pusat IM3 berada di wilayah kerja
Kanwil VII. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, M Rosyid
Hidayat mengungkapkan kecurigaan adanya dugaan korupsi
pajak atau penggelapan pajak yang dilakukan PT Indosat
Multimedia (IM3). Rosyid mengungkapkan, IM3 melakukan
penggelapan pajak dengan cara memanipulasi Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
ke kantor Pajak untuk tahun buku Desember 2001 dan
Desember 2002. Untuk SPT masa PPN 2001 yang dilaporkan ke
kantor pajak pada Februari 2002 dilaporkan bahwa total pajak
keluaran tahun 2001 sebesar Rp 846,43 juta. Sedangkan total
pajak masukan sebesar Rp 66,62 miliar sehingga selisih pajak
keluaran dan masukan sebesar Rp 65,77 miliar. Sesuai aturan,
jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, maka
selisihnya dapat direstitusi atau ditarik kembali. Karena itu, IM3
melakukan restitusi sebesar Rp 65,7 miliar.
d. Menurut Rasyid, selintas memang tidak terjadi kejanggalan dari
hal tersebut. Namun, jika lampiran pajak masukan dicermati,
IM3 menyebut adanya pajak masukan ke PT Indosat sebesar Rp
65,07 miliar. Namun setelah dicek ulang, dalam SPT Masa PPN
PT Indosat, ternyata tidak ditemukan angka pajak masukan yang
diklaim IM3. Padahal seharusnya angka Pajak Masukan IM3
tersebut muncul pada laporan pajak keluaran PT Indosat untuk
tahun buku yang sama. Bahkan, PT Indosat hanya melaporkan
pajak keluaran sebesar Rp 19,41 miliar yang sebagian besar
berasal dari transaksi dengan PT Telkom bukan dengan IM3.
e. Hal serupa juga dilakukan pada 2002, bahkan nilainya lebih
besar. Untuk SPT Masa PPN 2002 per Desember 2002, IM3
melaporkan kelebihan pajak masukan sebesar Rp 109 miliar.
Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
nomor 00008/407/02/051/03 uang tersebut.
2. Penyebab Penggelapan Pajak
Penyebab/faktor pemicu pelanggaran dibedakan atas 3 hal yaitu :
a. Tekanan (Unshareable pressure/ incentive) yang merupakan
motivasi seseorang untuk melakukan fraud. Motivasi melakukan
fraud, antara lain motivasi ekonomi, alasan emosional
(iri/cemburu, balas dendam, kekuasaan, gengsi) dan nilai
(values).
b. Adanya kesempatan/peluang (Preceived Oppotrunity) yaitu
kondisi atau situasi yang memungkinkan seseorang melakukan
atau menutupi tindakan tidak jujur.
c. Rasionalisasi (Rationalization) atau sikap (Attitude), yang paling
banyak digunakan adalah hanya meminjam (borrowing) asset
yang dicuri.
Dalam kasus penggelapan pajak oleh IM3 dapat disebabkan oleh
beberapa hal, antara lain:
a. Faktor kompetensi bukan menjadi penyebab utama terjadinya
kecurangan.
Para akuntan yang terlibat dalam kasus kecurangan di atas
tidak diragukan lagi kemampuannya karena akuntan di
perusahaan besar yang sudah go public. Kecurangan tersebut
terjadi karena akuntan tidak mampu mempertahankan
profesionalitasnya dan lebih memilih untuk melanggar etika
profesi. Alasannya bisa beragam, bisa karena faktor materi,
faktor tekanan dari pihak manajemen, maupun buruknya sistem
dan prosedur yang diterapkan
b. Dilema etika dapat menjadi faktor munculnya kecurangan dalam
pekerjaan.
Dilema etika yang dialami oleh akuntan publik muncul
dikarenakan adanya saling ketergantungan antara klien dan KAP
(klien yang membayar fee auditor). Begitu pula dilema etika
yang dihadapi akuntan internal perusahaan.

3. Solusi Kasus Penggelapan Pajak


Dalam kasus IM3 tersebut dijelaskan bahwa IM3 diduga
melakukan penggelapan pajak dengan cara memanipulasi Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan
Manajemen juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan
publik dalam melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya
dan korporasi. Jika memang terbukti melakukan hal tersebut jelas IM3
telah melanggar prinsip-prinsip Good Corporate Governence (CGC-suatu
komitmen, aturan main serta praktik penyelenggaraan bisnis secara sehat
dan beretika: Transparasi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi,
dan Kesetaraan). IM3 melanggar diantaranya prinsip transaparasi, yang
mana terdapat kewajiban bagi para pengelola untuk menjalankan prinsip
keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi secara
lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan.
Selain itu, IM3 juga melanggar prinsip akuntabilitas yang mana para
pengelola berkewajiban untuk membina sistem akuntansi yang efektif
untuk menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya.
Terkait dengan masalah pihak manajemen berkonspirasi dengan
para pejabat tinggi negara dan otoritas terkait dalam melakukan penipuan
akuntansi, 1 lagi prinsip GCG yang dilanggar yaitu prinsip kemandirian
yaitu keadaan dimana para pengelola dalam mengabil suatu keputusan
bersifat professional, mandiri, bebas dari konflik kepentingan dan bebas
dari tekanan/pengaruh dari manapun yang bertentangan dengan
perundangundangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan yang sehat. Dan
berbicara tentang prinsip, prinsip terakhir yang di langgar adalah prinsip
responsibility (pertanggungjawaban), dan tanggung jawab ini mempunyai
5 dimensi yaitu dimensi ekonomi,hukum, moral, social, dan spiritual.
Solusi yang dapat diterapkan pada kasus penggelapan pajak oleh
IM3 antara lain:
a. Pelaku
1) Para pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu
mengendalikan diri mereka masing-masing untuk tidak
memperoleh keuntungan secara ilegal.
2) Seharusnya akuntan internal perusahaan maupun akuntan
publiktetap bersikap objektif dan independen serta tidak
terpengaruh oleh manajemen. Akuntan internal sebaiknya
bertanggung jawab secara langsung kepada pemilik dan
bukan pada manajemen perusahaan, karena hal ini dapat
mengurangi tekanan yang dihadapi oleh akuntan internal.
3) Pengembangan tanggung jawab sosial.
Pelaku bisnis ini dituntut untuk peduli dengan keadaan
masyarakat. Jadi, dalam keadaan apapun para pelaku bisnis
harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap
tanggung jawab terhadap masyarakat sekitar di lingkungan
usaha mereka.
4) Pentingnya pendidikan etika bagi para akuntan sebagi bekal
dalam menghadapi potensi kecurangan.
Pelanggaran etika akan terus terjadi jika tidak ada
pemahaman yang mendalam dari akuntan terhadap
pentingnya untuk memegang teguh etika profesi. Bisa jadi
mereka tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh
kecurangan yang mereka lakukan. Salah satu cara untuk
menekan jumlah akuntan yang menyimpang serta
menanamkan kesadaran akan pentingnya menerapkan kode
etik profesi adalah dengan melakukan sosialisasi intensif
tentang profisionalitas dan kode etik akuntan dalam
lingkungan kerja. Misalnya, secara rutin IAI sebagai lembaga
akuntan terbesar di Indonesia menyelenggarakan pelatihan
dan seminar untuk meningkatkan kompetensi dan kesadaran
terhadap kode etik profesi kepada anggotanya.
b. Pemerintah
Sebaiknya pemerintah lebih mengetatkan pengawasan
pajak kepada perusahaan-perusahaan besar dan tidak tebang
pilih dalam menyelesaikan penggelapan pajak. Pemerintah
Indonesia masih sangat lemah dalam memberantas
penggelapan pajak-pajak. Ditambah lagi maraknya oknum-
oknum pemerintah yang mudahnya menerima suap dari
perusahaan-perusahaan yang ingin menggelapkan uang pajak
mereka. Pemerintah seharusnya menerapkan hukuman yang
berat untuk perusahaan yang menggelapkan pajaknya dan
menghukum berat oknum yang menerima suap, serta
perusahaan harusnya sadar akan kewajibannya membayar
pajak.
Dalam kasus ini, pihak pemerintah dan DPR juga perlu
segara membentuk tim auditor independen yang kompeten
dan kredibel untuk melakukan audit investigatif atau audit
forensik untuk membedah laporan keuangan dari 750 PMA
yang tidak membayar pajak. Korporasi multinasional yang
secara sengaja terbukti tidak memenuhi kewajiban.

C. Kesimpulan
IM3 diduga melakukan penggelapan pajak dengan cara memanipulasi Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dan Manajemen
juga melakukan konspirasi dengan auditor dari kantor akuntan publik dalam
melakukan manipulasi laba yang menguntungkan dirinya dan korporasi. Jika
memang terbukti melakukan hal tersebut jelas IM3 telah melanggar prinsip-
prinsip Good Corporate Governence. Prinsip-prinsip yang dilanggar IM3 antara
lain: prinsip transaparasi, prinsip akuntabilitas, prinsip kemandirian, prinsip
responsibility (pertanggungjawaban).
DAFTAR PUSTAKA
Lukaswongso. 22 Desember 2011. “Pandangan Etika Terhadap Praktik Bisnis
yang Curang”. Sumber elektronik dari
http://lukaswongso.wordpress.com/2011/12/22/pandangan-
etikaterhadap-praktek-bisnis-yang-curang/
Tempo. 4 November 2003. “Ditjen Pajak Akan Usut Dugaan Penggelapan Pajak
IM3”. Sumber elektronik dari
http://www.tempo.co/read/news/2003/11/04/05627427/Ditjen-
PajakAkan-Usut-Dugaan-Penggelapan-Pajak-IM3
Ancok, Jamaluddin., “Mengapa Orang Kurang Antusias Membayar Pajak”,
Makalah Seminar Perpajakan di Padang, 8 Februari 1988.
Bird, Richard M., “Managing the Reform Process”, Draft paper for World Bank
course on Practical Issues of TaM Policy in Developing Countries,
April 28-May 1, 2003.
Dharmayanti, N. (2017) ‘Pengaruh Keadilan, Sistem Perpajakan, Dan
Pemeriksaan Pajak Terhadap Persepsi Mahasiswa Mengenai Etika
Penggelapan Pajak (Studi Kasus Pada Mahasiswa Universitas
Islam Syekh -Yusuf Tangerang)’, Skripsi Fakultas Ekonomi
Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang.
Faradiza, S. A. (2018) ‘Persepsi Keadilan, Sistem Perpajakan dan Diskriminasi
Terhadap Etika Penggelapan Pajak’, Jurnal Ilmu Akuntansi, 11(1),
pp. 53–74. doi: 10.15408/akt.v11i1.8820.

Anda mungkin juga menyukai