Anda di halaman 1dari 9

Fenomena Keadilan Dalam Pengenaan Sanksi

Perpajakan
Dosen Pengampu: Ismawati Haribowo, S.E., M.Si.

Mata Kuliah: Perencanaan Pajak

OLEH :

ANIS HANIFAH (11170820000002)

NURI FITRI SALSABILA ILAHI (11170820000009)

NADHIR KHAIRUNNISA (11170820000058)

AVINDA PUSPITASARI (11170820000090)

KELOMPOK 10

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Puji syukur kami atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Analisis Kredit ini
sesuai dengan harapan dan selesai tepat pada waktunya.

Dibuatnya makalah ini bertujuan agar setiap pembaca dapat mengerti dan menambah
pengetahuannya. Penulis menyadari segala kekurangan dari makalah ini, baik materi maupun
bahasa, namun demikian penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan wawasan
yang lebih bagi setiap pembaca.

Kami sebagai penulis makalah ini menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang ada kaitannya dengan penyempurnaan
makalah ini sangat kami harapkan dari pembaca. Kritik dan saran sekecil apapun akan kami
perhatikan dan pertimbangkan guna perbaikan di masa datang.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Semoga makalah ini mampu memberikan
manfaat dan mampu memberikan nilai tambah kepada para pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Ciputat, 16 April 2020


1. Pendahuluan

Pengenaan bunga 2% per tanpa adanya batas waktu dalam Pasal 19 ayat (1)
Undang- Undang KUP dianggap bertentangan dengan adanya kepastian hukum yaitu
mengenai tenggang waktu pengenaan bunga penagihan, serta pelaksanaan UU tersebut
dianggap bertentangan dengan asas keadilan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal
27, 28D dan 28I UUD 1945 . Langkah reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah
yang meliputi pembaruan kebijakan dana administrasi perpajakan berhasil mendorong
peningkatan penerimaan pajak secara signifikan. Akan tetapi masih banyak kendala yang
dihadapi, yaitu dalam bidang administrasi pemungutan pajak, pemeriksaan pajak,
keberatan pajak, keadilan pajak, serta kepatuhan wajib pajak. Pembaruan kebijakan
perpajakan dilaksanakan antara lain melalui amandemen UU PPh, UU PPN & PPnBM,
UU KUP, dan UU Pajak lainnya.Karena menjadi salah satu sumber penting dalam
pembiayaan negara, maka peran penerimaan pajak masih perlu ditingkatkan. Pelaksanaan
system perpajakan harus lebih efektif dan efisien, dan memiliki daya saing yang tinggi.
Gagalnya upaya meningkatkan kepatuhan (tax compliance) wajib pajak dan hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pajak disebabkan oleh kegagalan dalam
menciptakan iklim perpajakan yang kondusif dan kompetitif.

2. Muatan keadilan di bidang perpajakan


Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Pemungutan pajak ditetapkan
dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya hal ini tidak bisa dilakukan secara
semena-mena, karena harus tetap mematuhi ketentuan lain dalam Pasal 28D UUD 1945.
sejalan dengan itu, maka dibuatlah UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas
UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Arah dan
tujuan perubahan undang undang tentang Ketentuan Umum dan tata cara Perpajakan (KUP)
ini mengacu pada kebijakan pokok sebagai berikut :
a. Meningkatkan efisiensi pemungutan pajak dalam rangka mendukung penerimaan
negara.
b. Meningkatkan pelayanan, kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat guna
meningkatkan daya saing dalam bidang penanaman modal, dengan tetap mendukung
pengembangan usaha kecil dan menengah.
c. Menyesuaikan diri terhadap tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta
perkembangan di bidangt eknologi informasi.
d. Meningkatkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e. Menyederhanakan prosedur administrasi perpajakan.
f. Meningkatkan penerapan prinsip self assessment secara akuntabel dan konsisten
g. Mendukung iklim usaha kearah yang lebih kondusif dan kompetitif.

Dilaksanakannya kebijakan pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan


negara dalam rangka menengah dan panjang. Dalam bukunya yang bejudul An Inquiry Into
The Nature and Causes of The Wealth of Nations, Adam Smith mengemukakan salah satu
dari empat prinsip yang disebut dengan Four Maxims or Canons dengan menempatkan azas
equility / equity di urutan teratas kemudian diikuti azas certainty, convenience, dan
efficiency.
Menurutnya pajak itu harus adil dan merata, dikenakan kepada orang-orang pribadi atau
subjek pajak, sebanding dengan kemampuannya untuk membayar (ability to pay) pajak
tersebut dan seimbang dengan manfaat atau penghasilan yang diterima dan yang
dinikmatinya dibawah perlindungan pemerintah. Terdapat 5 prinsip dibidang perpajakan yang
tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yaitu:
1) Transparan.
2) Disiplin.
3) Adil (equity).
4) Efisien.
5) Efektif

3. Pokok Masalah dalam Pengenaan Sanksi Perpajakan


Dengan semakin betambahnya learning curve dari fungsionaris perpajakan, barik dari pihak
legislative maupun eksekutif dalam memasyarakatkan pembaharuan Undang-Undang
Perpajakan hasil reformasi perpajakan sejak tahun 1983, aspek keadilan terhadap masyarakat
wajib pajak harus semakin di kedepan kan. Negara tidak ada bila tidak ada masyarakat. Dan
pundi-pundi negara juga tidak akan terisi bila tidak ada yang bayar pajak. Jadi, masyarakat
harus di dudukkan sebagai mitra pembangunan, bukan hanya subjek pajak semata, sehingga
terjadinya suatu interaksi antara fiscus dan masyarakat wajib pajak yang saling menghidupi
(symbiosis mutualistis).
Mari kita tinjau lebih dalam dalil-dalil yang terdapat dalam UU Nomor 28 Tahun
2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 06 Tahun 1983 tentang KUP Pasal 25 ayat (9)
dan Pasal 27 (5d) yang menyatakan:

1. Pasal 25 ayat (9): “Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan
Sebagian, wajib pajak dikenal sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima
puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan, dikurangi dengan
pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.”

Dalam kasus di mana pengadilan pajak tidak dapat memenuhi semua banding pajak
atau bahkan kalah, wajib pajak diharuskan membayar sanksi pajak Pasal 25 ayat (9).

Komentar:

- Ketentuan dari pasal di atas sangat merugikan hal konstitusional wajib pajak., karena
adanya sanksi yang sangat memberatkan yang dijatuhkan terlebih dahulu secara
imperative, tanpa melalui “proses hukum dalam proses mencari keadilan hukum”.

Dengan demikian, dalil tersebut (ketentuan Pasal 25 ayat (9) jelas bertentangan
bahkan telah melanggar Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 27 Ayat (1) serta Pasal 28D Ayat
(1) UUD 1945 seperti diuraikan dalam pembahasan “aspek juridis-keadilan dalam
UUD 1945” di bawah ini.

- Ironisnya, dalam pembentukan UU, tidak terkecuali UU di bidang perpajakan, kita tahu
bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang dimanifestasikan dalam
UUD 1945, memberikan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan mensyaratkan
pemenuhan hak-hak konstitusi demi tercapainya keadilan bagi setiap warga negara.
Dalam contoh di atas, hak-hak konstitusi wajib pajak terabaikan. Jika “proses hukum
dalam proses mencari keadilan hukum”adalah hak setiap warga negara, bagaimana
mungkin penggunaan hak yang dijamin secara konstitusional oleh UUD 1945, pada
proses awal telah “dijatuhi” ancaman sanksi yang sangat memberatkan ? Apakah ini yang
dimaksudkan keadilan di mata hukum?
2. Pasal 27 ayat 5D: Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan Sebagian,
wajib pajak dikenal sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% dari jumlah pajak
berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan Keberatan.
Komentar:

- Pasal ini bisa membangkrutkan atau memati-surikan wajib pajak pemohon. Ibarat sudah
jatuh ketimpa tangga. Denda sebesar 100% dihitung dari pokok pajak plus bunga yang
sudah ditetapkan dalam Surat Keputusan Keberatan pajak, sehingga pengenaan denga
bunganya jadi berlipat-lipat. Apakah ini yang dimaksudkan keadilan di mata hukum?
Bagaimana fungsi keadilan hukum itu menempatkan masyarakat wajib pajak sebagai
mitra pembangunan jika hukum itu sendiri membuatnya mati suri? Bila perusahaan
diibaratkan tanaman buah, yang diambil oleh pajak masih sebatas buahnya saja, tanaman
masih bisa berbuah lagi, tapi bila batangnya ditebas (denda sebesar 100%), tanaman pasti
mati, karena praktis cash flow (urat nadi) perusahaan macet.
3. Pasal 13 ayat (2): Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan hurud e
ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan, paling lama
24 bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan diterbitkannya Surat KetetapanPajak
Kurang Bayar.

Seperti terlihat dalam ilustrasi di bawah ini, di tahap awal pada saat diterbitkannya
SKPKB, fiscus sudah memperhitungkan pokok pajak ditambah bunga dari Pasal 13 ayat 2
sebesar 2% perbulan paling lama 24 bulan, setelah terbitnya Surat Keputusan Keberatan
dengan pengenaan Pasal 25 ayat 9, berarti terjadi penambahan pengenaan sanksi atas sanksi
ex. Pasal 13 ayat 2 UU KUP. Boleh saja pemerintah menegakkan fungsi budgetair nya, tapi
harusnya perilaku hukum itu benar-benar mengayomi masyarakat agar tidak terjatuh dalam
perangkap seperti praktik lintah darat (bunga berbunga).

4. Pengejewantahan butir 1 dan 2 UU di atas dianggap bertentangan dengan Pasal 27,28


d, dan 28I UUD 1945, asas keadilan pajak, serta keadilan social dari sila kelima
Pancasila. Ilustrasi tentang adanya sanksi yang merugikan hak konstitusional dan
sangat memberatkan wajib pajak pemohon atas pengenaan sanksi Pasal 25 ayat 9 UU
No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU KUP No. 06 Tahun 1983,
adalah sbb:
Uraian PerhitunganMenurutFiskus Rp
Pokok Pajak (PPh Badan 2009) 200.000.000.000
Sanksi Administratif Pasal 13 ayat 2 menurut SKPKB: 48.000.000.000
2% perbulan maksimal 48%
Jumlah Pajak yang harus dibayar menurut SKPKB 248.000.000.000
- Pembayaran Pajakterutang sebelum mengajukan 0
Keberatan
- Pembayaran Pajak terutang setetlah mengajukan 0
Keberatan
Jumlah pajak yang masih terutang 248.000.000.000
Denda Pasal 25 ayat 9 sebesar 50% 124.000.000.000
Total Pajak yang harus dibayar setelah pengenaan 372.000.000.000
Denda pada Pasal 25 ayat 9

Dari table di atas dapat dicatat hal-halberikut:


1) Jumlah Pajak yang masih terutang pada tingkat keberatan harus ditambah sanksi
denda sesuai ketentuan Pasal 25 ayat 9 UU No. 28 KUP Tahun 2007 yang
besarnya 50% dari jumlah pajak yang masih terutang tersebut. Pembebanan sanksi
yang sangat memberatkan ini dilakukan tanpa melalui “proses mencari keadilan
hukum”, yang merupakan hal fundamental wajib pajak.
2) Pengenaan sanksi administrasi ex. Pasal 13 ayat 2 KUP 2007 sebesar 48% yang
timbul karena Surat KeteranganPajak Kurang Bayar (SKPKB), diterbitkan 2 tahun
setelah tahun pajak yang bersangkutan (2009).
3) Pengenaan sanksi Psal 25 ayat 9 UU No 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga
atas UU No. KUP 6 Tahun 1983 mengandung pengenaan sanksi atas sanksi ex.
Pasal 13 ayat 2 UU KUP

4. Aspek Juridis dalam Pengenaan Sanksi Perpajakan


1. Aspek Juridis – Fiskal
Latar belakang sejarah timbulnya ketentuan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat
(5D) Undang-Undang KUP adalah pengejewantahan dari ketentuan Pasal19 ayat (1)
Undang-Undang KUP mengenai bunga penagihan sebesar 2% per bulan tanpa batas
waktu.Selengkapnya Pasal 19 ayat 1:

“Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat KetetapanPajak


Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan
Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat
jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak
atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2%
per bulan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai
dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat TagihanPajak, dan
bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan”

Dalam penjelasan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 25 ayat (9)
dinyatakan bahwa:

“ Dalam hal keberatan wajib pajak ditolak atau dikabulkan Sebagian, dan wajib
pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan
keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum
mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan Penagihan dengan Surat Paksaakan
dilaksanakan apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajak tersebut.
Disamping itu, wajib pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar
50%.”

Contoh:

Untuk tahun pajak 2010, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 200.000.000.000
diterbitkan terhadap PT X;

Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, wajib pajak hanya menyetujui


pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp 100.000.000.000, kemudian melunasi
sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp 100.000.000.000. Wajib pajak PT X selanjutnya
mengajukan keberatan atas koreksilainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan
Sebagian keberatan Wajib Pajak sehingga jumlah pajak yang masih harus dibayar
menjadi Rp 150.000.000.000.

Dalam hal ini, wajib pajak PT X tidak dikenai sanksi administrasi


sebagaimana diatur dalam pasal 19, tetapi dikenai sanksi sesuai dengan ayat ini (Pasal
25 ayat (9)), yaitu sebesar 50% x (Rp 150.000.000.000 – Rp 100.000.000.000) = Rp
250.000.000.
2. Aspek Juridis – Keadilan Dalam UUD 1945
Sebagai hukum pajak formal, bagaimanapun juga UUD 1945 harus menjadi
acuan normatif yang sangat penting dalam penyusunan KetentuanUmum dan Tata
Cara Perpajakan (KUP), seperti pada pasal-pasal berikut ini:

 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”.
 Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”.
 Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan , jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”.
 Pasal 28 I ayat (5) UUD 1945: “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia dengan prinsip Negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak
asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan per undang-
undangan.”

Setiap pertimbangan yang diambil untuk memberikan muatan keadilan pajak


dalam hukum pajak formal, sebaiknya memperhatikan rambu-rambu hukum tersbut
sebagai refleksi penegakanhukum (law enforcement) yang demokratis bagi segenap
masyarakat umumnya.

Anda mungkin juga menyukai