Anda di halaman 1dari 24

REKONSILIASI FISKAL

Diajukan untuk memenuhi dan melengkapi salah satu tugas dalam mata kuliah Perpajakan
Magister Akuntansi Pascasarjana Universitas Widyatama

Dosen: Dr. Diana Sari, S.E., M.Si., Ak. QIA.

Disusun Oleh :

Aris Gustiana 1616102024

Fanny Apriyanti1616102028

Lilis Setiatin 1616102023

Program Magister Akuntansi


Universitas Widyatama
2017

0
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pajak merupakan salah satu penerimaan negara yang memegang peranan penting

karena merupakan komponen yang terbesar dan sumber dana dalam negeri untuk

membiayai berbagai keperluan pembangunan nasional. Menurut Dr. N. J Feldmann,

definisi pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan atau terutang pada

penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya

kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran

umum (Siti Resmi, 2014).

Wajib Pajak dengan pemerintah memiliki kepentingan yang berbeda dalam hal

pembayaran pajak. Wajib Pajak berusaha membayar pajak sekecil mungkin karena

dengan membayar pajak berarti mengurangi kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Di lain

pihak, pemerintah memerlukan dana sebanyak-banyaknya dari penerimaan pajak untuk

membiayai pengeluaran pemerintah.

Karena adanya perbedaan kepentingan, maka dengan self assesment system

Wajib Pajak cenderung berusaha meminimalisasi jumlah pembayaran pajak. Upaya

untuk meminimalisasi pembayaran pajak ini disebut dengan perencanaan pajak.

Perencanaan pajak yang baik adalah perencanaan yang sesuai dengan peraturan

perpajakan yang berlaku.Untuk memenuhi kewajiban tersebut, Wajib Pajak harus

melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak sesuai dengan peraturan


2

perpajakan yang berlaku. Perusahaan harus menyusun laporan keuangan fiskal untuk

kepentingan pembayaran pajak.

Tujuan utama dari laporan keuangan fiskal adalah untuk menghitung

penghasilan kena pajak. Secara umum terdapat beberapa perbedaan antara prinsip

akuntansi komersial dengan prinsip akuntansi pajak, terutama dalam hal pengakuan

pendapatan dan beban. Laporan keuangan komersial yang telah disusun oleh perusahaan

dapat diubah menjadi laporan keuangan fiskal dengan cara melakukan koreksi

seperlunya atau penyesuaian dengan peraturan perpajakan melalui proses rekonsiliasi

fiskal (Iswahyudi, 2005). Sesuai dengan self assessment system yang dianut oleh

Undang-undang Pajak Penghasilan, maka koreksi fiskal harus dilakukan sendiri oleh

Wajib Pajak.

Untuk memperhitungkan besarnya jumlah pajak yang harus disetor, perusahaan

harus melakukan penyesuaian antara laba komersial (laba berdasarkan perhitungan

akuntansi) dengan laba fiskal (laba berdasarkan peraturan perpajakan) dengan

menambahkan atau mengurangkan, baik perbedaan tetap maupun perbedaan

waktu/temporer.

Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi fiskal atas laporan laba

rugi komersial menurut Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dengan laporan laba rugi

menurut Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang diangkat dalam

makalah ini adalah sebagai berikut:

1) Apakah yang dimaksud Rekonsiliasi Fiskal?


2) Apa saja jenis-jenis koreksi fiskal?
3

3) Bagaimana teknik Rekonsiliasi Fiskal?


4) Apa fungsi SPT Tahunan WP Badan form 1771?

1.3. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adala sebagai berikut:

1) Untuk memberi penjelasan mengenai Rekonsiliasi Fiskal.


2) Untuk menguraikan jenis-jenis koreksi fiskal.
3) Untuk menjelaskan teknik Rekonsiliasi Fiskal.
4) Untuk menjelaskan fungsi SPT Tahunan WP Badan form 1771.

BAB II

PEMBAHASAN
4

2.1. Pengertian Rekonsiliasi Fiskal

Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU

KUP), Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas dan

semua Wajib Pajak Badan wajib menyelenggarakan pembukuan, kecuali Wajib Pajak

Orang Pribadi yang diperbolehkan menghitung penghasilan neto menggunakan Norma

Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Berdasarkan Pasal 14 ayat (2) Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh), Wajib Pajak Orang Pribadi yang boleh

menggunakan NPPN adalah yang omzetnya tidak melebihi Rp. 4,8 Miliar dalam

setahun. Jadi Rekonsiliasi Fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak yang menyelenggarakan

pembukuan. Wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan pada akhir tahun akan

menyusun laporan keuangan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan berdasarkan dari laporan

laba rugi komersial yang disusun oleh Wajib Pajak. Laba (rugi) komersial tersebut

dilakukan koreksi fiskal sehingga menghasilkan laba (rugi) fiskal atau sering disebut

penghasilan neto fiskal.

Rekonsiliasi fiskal pada hakikatnya adalah merupakan proses untuk

mendapatkan angka laba fiskal atau laba kena pajak dengan melakukan penyesuaian-

penyesuaian terhadap laba komersial atau laporan laba rugi. Proses rekonsiliasi fiskal ini

umumnya dilakukan oleh Wajib Pajak yang berbentuk perusahaan. Rekonsiliasi yang

dilakukan akan menghasilan koreksi fiskal yang akan mempengaruhi besarnya laba

kena pajak serta Pajak Penghasilan (PPh) terutang.

Rekonsiliasi dilakukan terhadap pos-pos biaya dan pos-pos penghasilan dalam

Laporan keuangan Komersial, antara lain :


5

1) Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang dikenakan PPh Final.


2) Rekonsiliasi terhadap penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.
3) Wajib Pajak mengeluarkan biaya-biaya yang sebenarnya tidak boleh menjadi

pengurang penghasilan bruto.


4) Wajib pajak menggunakan metode pencatatan yang berbeda dengan ketentuan

pajak.
5) WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk

mendapatkan pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang

bukan Objek Pajak serta pendapatan yang dikenakan PPh non Final.

Koreksi fiskal adalah koreksi perhitungan pajak yang diakibatkan oleh adanya

perbedaan pengakuan metode, manfaat, dan umur, dalam menghitung laba secara

komersial atau dengan secara fiskal. Koreksi fiskal dilakukan karena adanya perbedaan

antara laba atau rugi menurut perhitungan akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal (

berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 dan Undang-Undang Nomor 17

Tahun 2000 ), maka sebelum menghitung Pajak Penghasilan yang terutang, terlebih

dahulu laba/rugi komersial tersebut harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

Dengan demikian, untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat

pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar

Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu

harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Koreksi fiskal tersebut dilakukan baik terhadap

penghasilan maupun terhadap biaya-biaya (pengurang penghasilan bruto).

Hubungan antara perbedaan permanen dan perbedaan waktu pada alokasi Pajak

Penghasilan Interperiode serta metode tangguhan yang digunakan di PSAK No. 46

terlihat pada bagan sebagai berikut:

Pajak
Penghasilan
6

Tidak ada alokasi Ada alokasi pajak


pajak interperiode interperiode

Perbedaan Perbedaan Waktu


permanen

REKONSILIASI Alokasi Parsial Alokasi


Komprehensif

Penghasilan Kena Metode Pajak Neto Metode Kewajiban Metode Tangguhan


Pajak (PSAK 46)

Kewajiban Pajak Aktiva Pajak


PPh terutang Tangguhan
Tangguhan

Gambar 2.1. Hubungan antara perbedaan permanen dan waktu pada Pajak Penghasilan

2.2. Jenis-Jenis Koreksi Fiskal

Jenis koreksi fiskal di sini merupakan jenis jenis perbedaan antara akuntansi

komersial dengan ketentuan fiskal (UU Nomor 10 Tahun 1994 dan UU Nomor 17

Tahun 2000). Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan

maupun biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang

menyebabkan terjadinya koreksi fiskal, yaitu:

2.2.1. Beda Tetap

Beda tetap merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya

antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya


7

permanen artinya koreksi fiskal yang dilakukan tidak akan diperhitungkan dengan laba

kena pajak tahun pajak berikutnya.

Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena beda tetap terjadi karena :

a) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut

Undang-undang PPh bukan merupakan penghasilan, contohnya dividen atau

bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak

dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik

Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat

kedudukan di Indonesia dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang

ditahan serta kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling

rendah 25% (Pasal 4 ayat 3 UU PPh).


b) Menurut akuntansi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut

Undang-undang PPh telah dikenakan PPh Final, contohnya:

1) Bunga Deposito dan Tabungan lainnya

2) Penghasilan berupa hadiah undian

3) Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/ atau

bangunan,

4) Penghasilan dari usaha jasa konstruksi dan

5) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan

6) dan sebagainya (Pasal 4 ayat 2 UU PPh)

Dalam hal pengakuan biaya/beban koreksi karena beda tetap terjadi karena

menurut akuntansi komersial merupakan biaya, sedangkan menurut Undang-undang

PPh bukan merupakan biaya yang dapat mengurangi penghasilan bruto, misalnya:

a) Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan ;

1) yang bukan objek pajak


8

2) yang pengenaan pajaknya bersifat final

3) yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan

b) Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang

diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan


c) Pajak Penghasilan
d) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana

berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di

bidang perpajakan.
e) Biaya-biaya lainnya yang menurut Undang-undang PPh tidak dapat dibebankan

(Pasal 9 ayat 1 UU PPh)

Koreksi atas beda tetap penghasilan akan menyebabkan koreksi negatif atau

koreksi positif. Koreksi negatif artinya penghasilan yang diakui oleh akuntansi

komersial namun secara fiskal harus dikoreksi baik itu karena bukan merupakan objek

pajak maupun karena telah dikenakan PPh final, menyebabkan laba kena

pajak berkurang yang akhirnya akan menyebabkan PPh terutang lebih kecil. Sedangkan

koreksi atas beda tetap biaya akan menyebabkan koreksi positif artinya biaya yang

diakui oleh akuntansi komersial namun secara fiskal harus dikoreksi, akan

menyebabkan laba kena pajak bertambah yang akhirnya akan menyebabkan PPh

terutang menjadi lebih besar.

2.2.2. Beda Waktu

Beda Waktu merupakan perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun biaya

antara akuntansi komersial dengan ketentuan Undang-undang PPh yang sifatnya

sementara artinya koreksi fiskal yang dilakukan akan diperhitungkan dengan laba kena

pajak tahun-tahun pajak berikutnya. Dalam hal pengakuan penghasilan koreksi karena

beda waktu terjadi karena :


9

Penerimaan penghasilan cash basis untuk lebih dari satu tahun. Secara akuntansi

komersial penghasilan tersebut harus dialokasi sesuai dengan masa perolehannya sesuai

dengan prinsip matching cost with revenue. Sedangkan menurut Undang-undang PPh,

penghasilan tersebut harus diakui sekaligus pada saat diterima.

Dalam hal pengakuan biaya koreksi karena beda waktu terjadi karena :

a) Perbedaan metode penyusutan, dimana menurut Undang-undang PPh metode

penyusutan yang diperbolehkan hanya metode garis lurus dan saldo menurun
b) Perbedaan metode penilaian persediaan, dimana menurut Undang-undang PPh

metode penilaian persediaan yang diperbolehkan hanya metode rata-rata dan

FIFO
c) Penyisihan piutang tak tertagih, dimana menurut Undang-undang Penyisihan

piutang tak tertagih tidak diperkenankan kecuali untuk usaha-usaha tertentu dan

sebagainya

Koreksi atas beda waktu penghasilan akan menyebabkan koreksi positif pada

saat penghasilan diterima dan akan menyebabkan koreksi negatif pada tahun-tahun

berikutnya. Koreksi positif ini akan menyebabkan laba kena pajak akan bertambah,

sedangkan koreksi negatif tahun-tahun berikutnya akan menyebabkan laba kena pajak

akan berkurang.

Koreksi atas beda waktu biaya dapat menyebabkan koreksi positif maupun

koreksi negatif tergantung dari metode yang digunakan.

1) Koreksi Positif

Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya pengurangan

biaya yang telah diakuai dalam laporan laba rugi secara komersial menjadi semakin

kecil apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya penambahan

Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal positif diantaranya:


10

a) Biaya yg dikeluarkan untuk kepentingan pemegang saham

b) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan

c) Pengeluaran dalam bentuk natura

d) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kpd pemegang saham

e) Sumbangan atau bantuan

f) Pajak Penghasilan

g) Sanksi administrasi (Pajak)

h) Penyusutan/amortisasi

i) Dan lain lain

2) Koreksi Negatif

Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan

biaya yang telah diakui dalam laporan laba rugi secara komersial sehingga semakin

besar apabila dilihat secara fiskal, atau yang akan mengakibatkan adanya pengurangan

Penghasilan Kena Pajak. Koreksi fiskal negatif diantaranya:

a. Penyusutan/amortisasi

b. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya

c. Dan lain - lain

Penyusutan bisa menimbulkan koreksi negatif atau positif tergantung hasil

perhitungan apa lebih besar atau malah lebih kecil.Untuk lebih mendalami koreksi fiskal

kita dapat juga membaca laporan audit akuntan publik atas laporan keuangan suatu

perusahaan. Setiap perusahaan akan mempunyai pos yang berbeda atas koreksi

fiskalnya.

2.3. Teknik Rekonsiliasi Fiskal


11

a) Jika suatu penghasilan diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut

fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan mengurangkan sejumlah penghasilan

tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, yang berarti mengurangi laba

menurut akuntansi.
b) Jika suatu penghasilan tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui menurut

fiskal, rekonsiliasi dilakukan dengan menambahkan sejumlah penghasilan

tersebut pada penghasilan menurut akuntansi, yang berarti menambah laba

menurut akuntansi.
c) Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak diakui

sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan

dengan mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari biaya

menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi.


d) Jika suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut akuntansi tetapi diakui

sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal, rekonsiliasi dilakukan

dengan menambahkan sejumlah biaya atau pengeluaran teersebut pada biaya

menurut akuntansi yang berarti mengurangi laba menurut akuntansi.

2.4. Format Rekonsiliasi Fiskal

Laba menurut Laporan Keuangan komersial .. Rp xxx

Koreksi Positif (Ditambah)

Pengeluaran yg tidak dapat dikurangkan.. Rp xxx

Pengeluaran berkaitan penghasilan yang bukan objek pajak Rp xxx

Pengel.berkaitan pengh. yg telah dikenakan pjk brsfat final Rp xxx.

Beda penghitungan antara PSAK dan PPh . Rp xxx.

Total koreksi positif Rp xxx


12

Koreksi Negatif (Dikurangi)

Penghasilan yang bukan objek pajak Rp xxx

Penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final. Rp xxx

Beda penghitungan antara PSAK dan PPh... Rp xxx

Total koreksi negatif Rp. xxx

Penghasilan Kena Pajak menurut fiskal. Rp xxx

PPh terutang Rp xxx

Laba setelah PPh.. Rp. xxx

Perbedaan dimasukkan sebagai koreksi positif apabila:

a) Pendapatan menurut fiskal lebih besar dari pada menurut akuntansi atau suatu

penghasilan diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui menurut akuntansi.


b) Biaya atau pengeluaran menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi

atau suatu biaya atau pengeluaran tidak diakui menurut fiskal tetapi diakui

menurut akuntansi.

Perbedaan diakui sebagai koreksi negatif apabila:

a) Pendapatan menurut fiskal lebih kecil dari pada menurut akuntansi atau suatu

penghasilan tidak diakui menurut fiskal (bukan objek pajak) tetapi diakui

menurut akuntansi.
b) Biaya atau pengeluaran menurut fiskal lebih besar dari pada menurut akuntansi

atau suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut fiskal tetapi tidak diakui

menurut akuntansi.
c) Suatu pendapatan telah dikenakan pajak penghasilan bersifat final.

2.5. Fungsi SPT Tahunan WP Badan Form 1771


13

SPT digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau

pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/ atau harta dan

kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Secara

garis besar SPT dikelompokkan menjadi 2 macam, yaitu untuk Wajib Pajak Orang

Pribadi dengan kode formulir SPT 1770 dan Wajib Pajak Badan dengan kode formulir

SPT 1771.

2.5.1 Jenis Formulir SPT Tahunan PPh Badan

Formulir SPT Tahunan PPh Badan ada dua jenis; yaitu SPT dengan kode 1771

dan SPT berkode 1771/$. SPT 1771 diperuntukkan untuk WP Badan pada umumnya

yang meliputi WP Badan yang berbentuk hukum: PT, CV, perseroan lainnya, BUMN/D,

koperasi, yayasan dan lain-lain. Selain itu masih terdapat golongan WP tertentu yang

juga diwajibkan mengisi dan menyampaikan SPT 1771, yaitu :

a) WP Orang Pribadi Luar Negeri yang berstatus sebagai BUT;


b) WP Badan yang semata-mata hanya memperoleh atau menerima penghasilan

yang telah dikenakan PPh Final;


c) WP Kontrak Investasi Kolektif (KIK).

Mulai tahun pajak 2000 diperkenalkan bentuk baru SPT Tahunan PPh Badan

dengan kode formulir 1771/$. Jenis SPT Tahunan ini diperuntukkan bagi WP Badan

yang telah diijinkan menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata

uang Dollar Amerika Serikat. Pada dasarnya elemen-elemen pada SPT 1771/$ sama

dengan SPT 1771, kecuali adanya penambahan kolom mata uang US$.

2.5.2 Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Badan


14

SPT Tahunan PPh Badan (baik 1771 maupun 1771/$) terdiri dari dua bagian

utama, yaitu Induk SPT (dua halaman) dan lampiran-lampirannya (lima macam

lampiran). Adapun tata cara pengisian dimulai dari mengisi lampirannya terlebih dahulu

baru kemudian Induk SPT nya. Kode dan nama formulir SPT dapat diikhtisarkan dalam

tabel berikut.

Kode Formulir

No. 1771 1771/$ Nama Formulir Keterangan

1. 1771 1771/$ SPT Tahunan PPh WP Badan Induk SPT

2. 1771-I 1771-I/$ Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal Lampiran I

Perincian Harga Pokok Penjualan,


1771- 1771-II/ Biaya Usaha Lainnya Dan Biaya Dari
3. II $ Luar Usaha Lampiran II

1771- 1771-III/
4. III $ Kredit Pajak Dalam Negeri Lampiran III

1771- 1771- - PPh Final- Penghasilan Yang Tidak


5. IV IV/$ Termasuk Objek Pajak Lampiran IV

1771- 1771-V/ - Daftar Pemegang Saham / Pemilik


6. V $ Modal Dan Jumlah Dividen Yang Lampiran V

Dibagikan- Daftar Susunan Pengurus


Dan Komisaris

- Daftar Penyertaan Modal Pada


Perusahaan Afiliasi- Daftar Pinjaman
1771- 1771- Dari / Kepada Pemegang Saham Dan
7. VI VI/$ Atau Perusahaan Afiliasi Lampiran VI

Formulir 1771-I atau 1771-I/$ (Lampiran I)

Formulir ini berisi penghitungan penghasilan neto fiskal. Secara garis besar, formulir ini

terdiri dari :

1) Penghasilan Neto Komersial;


15

Bagian ini diisi dengan laba komersial sesuai dengan laporan laba-rugi

komersial.Unsur-unsurnya rneliputi peredaran usaha (penjualan), harga pokok

penjualan, biaya usaha, serta penghasilan dan biaya di luar usaha.

2) Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan yang tidak termasuk objek pajak;

Bagian ini diisi dengan total penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final dan

yang bukan objek pajak dari Formulir 1771-IV atau 1771-IV/$. Penghasilan yang

dikenakan PPh Final dan yang tidak termasuk objek pajak merupakan unsur pengurang

dalam penghitungan penghasilan neto fiskal.

3) Penyesuaian fiskal positif;

Koreksi positif ini sudah dikelompokkan dalam beberapa kategori sesuai Pasal 9

ayat (1) UU PPh. Koreksi-koreksi yang tidak tertampung dalam salah satu kategori

dapat dimasukkan ke dalam penyesuaian fiskal positif lainnya.

4) Penyesuaian fiskal negatif;

Koreksi yang diisikan di sini adalah koreksi negatif selain koreksi atas

penghasilan yang telah dikenakan PPh Final dan penghasilan yang bukan objek pajak.

5) Fasilitas penanaman modal berupa pengurangan penghasilan neto;

Bagian ini diisi dengan fasilitas pengurangan penghasilan neto dari Lampiran

Daftar Fasilitas penanaman Modal yang diberikan oleh Pemerintah sesuai dengan PP

No. 147/2000 dan PP No. 148/2000.misalnya fasilitas pengurangan penghasilan neto

sampai dengan 30% dari jumlah penanaman modal yang dilakukan

(investmentallowance).

Formulir 1771-II atau 1771-II/$ (Lampiran II)


16

Formulir ini berisi perincian harga pokok penjualan, biaya usaha lainnya dan biaya dari

luar usaha, yaitu bahan baku, bahan penolong, gaji, upah, bonus, gratifikasi,

honorarium, THR, dan sebagainya, bunga pinjaman, royalti, sewa, imbalan sehubungan

dengan jasa, penyusutan dan amortisasi, cadangan piutang tak tertagih, air, listrik dan

telepon. Jumlah yang dimasukkan di sini adalah jumlah sesuai pembukuan komersial.

Sebagian dari biaya-biaya ini akan dikoreksi secara fiskal. Oleh karena itu, aturan yang

terkait adalah sama dengan aturan yang disebutkan dalam uraian Lampiran I.

Formulir 1771-lll atau 1771-III/$ (Lampiran III)

Formulir ini diisi dengan kredit pajak dalam negeri yang terdiri dari rincian bukti

pungut/potong PPh Pasal 22 serta PPh Pasal 23 yang dipungut/dipotong oleh pihak lain

yang tidak bersifat final. Apabila jumlah bukti-bukti pemotongan/pemungutan PPh

harus dimasukkan yang cukup banyak, dapat dibuat beberapa lembar atau menggunakan

lampiran tersendiri.

Formulir 1771-IV atau 1771-IV/$ (Lampiran IV)

Formulir ini berisi daftar penghasilan yang dikenakan PPh yang bersifat final, baik yang

dipotong oleh pihak lain maupun disetor WP sendiri, dan penghasilan yang tidak

termasuk objek pajak. Jumlah yang diisikan dalam formulir ini adalah jumlah bruto atau

nilai transaksinya.Namun, khusus untuk penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final,

hanya dilaporkan atas jumlah pajak yang telah dipotong atau disetor sendiri oleh WP.

Agar PPh Final yang dipotong pihak lain dapat dipertanggungjawabkan, WP diwajibkan

untuk menyimpan dan mengadministrasikan bukti potong tersebut selama 10 tahun.

Formulir 1771-V atau 1771-V/$ (Lampiran V)


17

Formulir ini terdiri dari dua bagian, yaitu A, yang merupakan Daftar pemegang

Saham/Pemilik Modal, dan bagian B berupa Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris.

Khusus WP Badan yang tidak dimiliki atas dasar penyertaan modal (misalnya KIK

Reksadana) diisi dengan Tidak Ada. Bagi WP masuk bursa (go public), pemegang

saham publik tidak pertu dirinci per nama, tetapi dinyatakan secara kumulatif, kecuali

apabila kepemilikan sahamnya mencapai 50% atau lebih dari jumlah modal disetor.

Daftar susunan Pengurus dan Komisaris diisi secara lengkap, tetapi tidak termasuk

tingkat manajer ke bawah.Misalnya untuk PT hanya sampai tingkat direktur, untuk

koperasi hanya sampai tingkatan anggota badan pengurus.

Formulir 1771-VI atau 1771-VI/$ (Lampiran VI)

Formulir ini berisi Daftar Penyertaan Modal Pada Perusahaan Afiliasi dan Daftar

pinjaman Dari / Kepada Pemegang Saham Dan Atau Perusahaan Afiliasi.Kedua daftar

tersebut harus diisi dengan angka saldo akhir tahun berdasarkan laporan keuangan

komersial yang dilampirkan di SPT Tahunan.Penyertaan modal dan pinjaman yang

dari/ke pihak yang memenuhi kriteria hubungan istimewa baik langsung maupun tidak

langsung.

Bagi WP yang tidak mempunyai penyertaan modal atau penyertaan modalnya tidak

memenuhi kriteria hubungan istimewa, serta WP yang tidak mempunyai pinjaman

dari/kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, cukup mengisi daftar

dengan pernyataan Tidak Ada.

Formulir 1771 atau 1771/$ (Induk SPT)

Formulir ini sebaiknya diisi paling akhir setelah semua lampiran SPT Tahunan terisi

lengkap. Secara umum, tata cara pengisian Induk SPT dapat dijelaskan sebagai berikut :
18

a) Data umum WP Badan diisi sesuai dengan data yang dimiliki perusahaan sesuai

dengan kartu NPWP. Khusus untuk BUT dicantumkan pula negara domisili

kantor pusatnya.
b) Pembukuan/Laporan Keuangan dipilih Diaudit atau Tidak Diaudit dengan

memberikan tanda silang (X). Khusus untuk opini akuntan diisi dengan angka 1

untuk Wajar Tanpa Pengecualian, 2 untuk Wajar Dengan Pengecualian, 3 untuk

Tidak Wajar, atau 4 untuk Tidak Ada Opini.


c) Nama dan NPWP Kantor Akuntan Publik dan Kantor Konsultan Pajak diisi

apabila WP memanfaatkan jasa-jasa tersebut.


d) Penghasilan Kena Pajak, PPh Terutang, Kredit Pajak dan PPh Kurang/Lebih

Bayar diisi dengan memindahkan angka-angka yang sesuai dengan lampiran-

lampirannya (Lampiran I s.d. VI).

Hal-hal lain yang bersifat khusus adalah :

1) Huruf A2 diisi jika terdapat kompensasi kerugian dan harus dibuatkan

penghitungan lampiran khusus penghitungan kompensasi kerugian fiskal;


2) Huruf B5 diisi jika terdapat pengurangan atau pengembalian pajak atas

penghasilan yang terutang di luar negeri (PPh Pasal 24) yang ssbelumnya telah

dikreditkan pada tahun pajak sebelumnya;


3) Huruf C7 diisi jika perusahaan memperoleh fasilitas PPh ditanggung Pemerintah

atas penghasilan dari proyek Pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan atau

pinjaman luar negeri yang dikenakan pajak yang bersifat tidak final;
4) Huruf C10 diisi dengan kredit pajak yang dibayar sendiri pleh WP yang terdiri

dari PPh Pasal 25, Fiskal Luar Negeri, dan PPh atas pengalihan hak atas tanah

dan atau bangunan.


5) Permohonan diisi dengan tanda silang (X) pada salah satu kotak yang sesuai

dengan permohonan yang dimaksud.


6) Penghitungan angsuran PPh Pasal 25 diisi berdasarkan data yang ada sesuai

dengan ketentuan Pasal 25 UU PPh.


19

7) Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan yang bukan objek pajak diisi dari

Lampiran IV.
8) Lampiran diberi tanda silang (X) sesuai dengan lampiran-lampiran khusus yang

sesuai.

Format lampiran khusus tersebut dapat dilihat dalam Buku Petunjuk Pengisian

SPT Tahunan PPh Badan, yang meliputi :

1) Surat Setoran Pajak (SSP) lembar ke-3 PPh Pasal 29; Wajib dilampirkan oleh

semua WP, kecuali apabila tidak ada setoran akhir tahun (NIHIL/LB). Bila WP

melakukan pembayaran dengan media e-payment melalui kantor penerima

pembayaran yang ditunjuk, lampirkan bukti pembayaran pajak yang sah sebagai

pengganti SSP lembar ke-3.


2) Laporan Keuangan (lengkap);
3) Wajib dilampirkan oleh semua WP tanpa kecuali.Dalam hal pembukuan/laporan

keuangan diaudit oleh Akuntan Publik, lampirkan laporan keuangan yang telah

diaudit.
4) Daftar Penyusutan dan Amortisasi Fiskal;
5) Wajib dilampirkan oleh semua WP sesuai dengan bentuk formulir terlampir,

kecuali apabila WP tidak memiliki dan mempergunakan harta berwujud dan atau

tidak berwujud/pengeluaran lainnya sebagai aktiva tetap yang pembebanannya

harus dilakukan dengan penyusutan/amortisasi.


6) Perhitungan Kompensasi Kerugian Fiskal;
7) Wajib dilampirkan oleh WP yang mempunyai hak kompensasi kerugian fiskal

dari tahun-tahun pajak yang lalu, sesuai bentuk formulir terlampir.


8) Pernyataan Transaksi Dalam Hubungan Istimewa;
9) Wajib dilampirkan oleh WP yang melakukan transaksi-transaksi tertentu dengan

pihak-pihak yang memiliki hubingan istirnewa atau perusahaan

afiliasi (intragroup transaction).


10) Daftar Fasilitas Penanaman Modal;
11) Wajib dilampirkan oleh WP yang memperoleh fasilitas penanaman modal.
12) Daftar Cabang Utama Perusahaan;
20

13) Wajib dilampirkan oleh WP yang mempunyai kantor-kantor cabang atau tempat-

tempat usaha utama di berbagai lokasi.


14) SSP lembar ke-3 PPh Pasal 26 ayat (4);
15) Wajib dilampirkan oleh semua WP BUT (selain perusahaan

pelayaran/penerbangan asing dan perwakllan dagang asing), kecuali apabila

tidak ada pajak terutang. Dalam hal WP melakukan pembayaran dengan

media e-payment melalui kantor penerima pembayaran yang.ditunjuk, lampirkan

bukti pembayaran pajak yang sah sebagai pengganti SSP lembar ke-3.
16) Penghitungan PPh Pasal 26 ayat (4);
17) Wajib dilampirkan oleh semua WP BUT meskipun pajak tidak terutang.
18) Surat Kuasa Khusus;
19) Wajib dilampirkan oleh WP yang pengisian SPT Tahunannya dikuasakan kepada

pihak lain yang berkompeten. Pernyataan diisi dengan tempat, tanggal, nama

lengkap, NPWP, jabatan/kedudukan, serta tanda tangan orang yang berwenang.


21

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari hasil pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1) Rekonsiliasi Fiskal, yaitu suatu mekanisme untuk menyesuaikan laporan

keuangan komersial perusahaan menjadi sesuai dengan ketentuan perpajakan

yang berlaku.
2) Secara umum terdapat dua perbedaan pengakuan baik penghasilan maupun

biaya antara akuntansi komersial dengan perpajakan (fiskal) yang menyebabkan

terjadinya koreksi fiskal, yaitu beda tetap (permanen) dan beda waktu

(sementara). Beda waktu dibedakan menjadi koreksi positif dan negatif.


3) Teknik rekonsiliasi fiskal dilakukan dengan cara; Jika suatu penghasilan diakui

menurut akuntansi tetapi tidak diakui menurut fiskal, maka kurangkan sejumlah

penghasilan tersebut dari penghasilan menurut akuntansi, begitupun sebaliknya,

dan Jika suatu biaya atau pengeluaran diakui menurut akuntansi tetapi tidak

diakui sebagai pengurang penghasilan bruto menurut fiskal rekonsiliasi

dilakukan dengan mengurangkan sejumlah biaya atau pengeluaran tersebut dari

biaya menurut akuntansi, yang berarti menambah laba menurut akuntansi,

begitupun sebaliknya.
4) Formulir SPT Tahunan PPh Badan ada dua jenis; yaitu SPT dengan kode 1771

dan SPT berkode 1771/$. SPT 1771 diperuntukkan untuk WP Badan pada

umumnya yang meliputi WP Badan yang berbentuk hukum : PT, CV, perseroan

lainnya, BUMN/D, koperasi, yayasan dan lain-lain.


22

3.2. Saran

Dengan adanya Rekonsiliasi Fiskal diharapkan para Wajib Pajak dapat

memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan. Sedangkan bagi pemerintah diharapakan dapat meningkatkan pengawasan

dalam penyelenggaraan pembayaran pajak.


23

DAFTAR PUSTAKA

Resmi, Siti. 2014. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat

Sari, Diana. 2017. Perpajakan & Rekonsiliasi Fiskal. Bandung

https://staff.blog.ui.ac.id/martani/files/2013/11/Rekonsiliasi-Fiskal.pptx

http://www.academia.edu/10331545/Rekonsiliasi_Fiskal

https://www.scribd.com/doc/128470516/Pajak-Koreksi-Fiskal

Anda mungkin juga menyukai