Anda di halaman 1dari 27

KASUS PADA PENELITIAN FASILITAS 07 & 08

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan Korporasi

Dosen Pengampu : Yulianto S.E.,M.M.

Disusun oleh Kelompok 3 :

Andrian Ananta 221011201866

Dema Yunita 221011201776

Hekmatyar Listiyanto 221011200195

Maria Chrizerly N.M 221011200200

Rendi Setiawan Fatmansyah 221011201642

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI BISNIS

UNIVERSITAS PAMULANG

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan

kesempatan pada kami untuk menyelesaikan makalah mata kuliah Perpajakan

Korporasi. Atas rahmat dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Kasus pada Penelitian Fasilitas 07 & 08” dengan tepat waktu. Makalah

ini disusun untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Perpajakan Korporasi di

Universitas Pamulang. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat

menambah wawasan bagi para pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak

Yulianto S.E.,M.M. selaku dosen pengampu mata kuliah Perpajakan Korporasi.

Dengan adanya tugas yang diberikan dapat menambah pengetahuan dan wawasan

terkait. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan

makalah ini.

Kota Tangerang Selatan, 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ...............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumus Masalah ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4
2.1 PEMAHAMAN MENGENAI FASILITAS 07 & 08 ...................................... 4
2.1.1.Dasar Hukum Kode Fasilitas 07 ............................................................. 4
2.1.2.Dasar Hukum Kode Fasilitas 08............................................................. 4
2.2 SYARAT PENGGUNAAN 07 & 08 ................................................................ 6
2.2.1.Kode Fasilitas 07 ..................................................................................... 6
2.2.2.Kode Fasilitas 08 ..................................................................................... 7
2.3 PERBEDAAN PERLAKUAN FASILITAS 07 & 08 ...................................... 8
2.3.1.Kode Fasilitas 07 ..................................................................................... 8
2.3.2.Kode Fasilitas 08 ..................................................................................... 9
2.4 KASUS YANG SERING TERJADI DI FASILITAS 07 & 08 ..................... 10
2.4.1.Kode Fasilitas 07 ................................................................................... 10
2.4.2.Kode Fasilitas 08 ................................................................................... 11
2.5 DAMPAK DARI FASILITAS 07 & 08 ......................................................... 11
2.5.1.Dampak Ekonomi ................................................................................ 12
2.5.2.Dampak Fiskal ...................................................................................... 12
2.5.3.Dampak Ekonomi ................................................................................ 12
2.5.4.Dampak Fiskal ...................................................................................... 13
2.6 PENYELESAIAN FASILITAS 07 & 08 ....................................................... 14
2.6.1.Kode Fasilitas 07 ................................................................................... 14
2.6.2.Kode Fasilitas 08 ................................................................................... 15
2.7 MENGHITUNG FASILITAS 07 & 08 ......................................................... 16
2.7.1.Kode Fasilitas 07 ................................................................................... 16
2.7.2.Kode Fasilitas 08 ................................................................................... 17
2.8 SANKSI FASILITAS 07 & 08 ....................................................................... 17
2.8.1.Kode Fasilitas 07 ................................................................................... 17
2.8.2.Kode Fasilitas 08 ................................................................................... 19
2.9 CONTOH FAKTUR PAJAK 07 & 08 .......................................................... 20
2.9.1.Kode Fasilitas 07 ................................................................................... 20
2.9.2.Kode Fasilitas 08 ................................................................................... 21
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 22
3.1 KESIMPULAN .............................................................................................. 22
3.2 SARAN ........................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salah satu wujud kemandirian bangsa dalam pembiayaan

pembangunan nasional adalah pajak. Pajak merupakan sumber penerimaaan

negara terbesar dan memiliki kecenderungan semakin meningkat setiap

tahunnya. Selain itu, pembayaran pajak merupakan perwujudan dari

kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk pembiayaan negara

dan pembangunan nasional (Afriyanti, 2014).

Namun, hingga saat ini tax ratio Indonesia masih tergolong rendah.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merilis

Revenue Statistic in Asia and Pacific Economic 2019 yang menempatkan tax

ratio Indonesia di posisi paling bawah (Suwiknyo, 2019). Berdasarkan data

Kementerian Keuangan, tax ratio Indonesia pada tahun 2014 sebesar 13,7%,

2015 sebesar 11,6%, 2016 sebesar 10,8%, 2017 sebesar 10,7%, 2018 sebesar

11,6% dan tax ratio 2019 sebesar 12,2%. OECD menyebut rasio pajak

Indonesia tersebut masih berada di bawah rata-rata OECD sebesar 34,2%

bahkan juga di bawah Afrika yang rata-rata tax ratio-nya sebesar 18,2%.

Sedangkan realisasi penerimaan pajak tahun 2019 mencapai Rp1.332,06

triliun. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah (PPnBM) memberikan kontribusi yang cukup besar bagi total

penerimaan pajak yaitu sebesar 532,91 triliun rupiah atau sebesar 40,007%

dari total penerimaan pajak. Oleh sebab itu, sangat wajar apabila pemerintah

terus berupaya meningkatkan penerimaan negara utamanya penerimaan

pajak. Salah satu jalan yang ditempuh adalah pemberian fasilitas atau
1
kemudahan dalam bidang Pajak Pertambahan Nilai.

Estimasi belanja perpajakan atau tax expenditure yang berasal dari

pemberian kemudahan atau fasilitas dibidang PPN dan PPnBM cenderung

meningkat setiap tahunnya yaitu pada tahun 2016 sebesar 116.326 miliar

rupiah, pada tahun 2017 sebesar 132.848 miliar rupiah, dan pada tahun 2018

sebesar 145.615 miliar rupiah. Belanja perpajakan dari fasilitas PPN dan

PPnBM adalah belanja perpajakan yang terbesar dimana belanja perpajakan

ini mencapai 60 persen dari total estimasi belanja perpajakan yaitu sebesar

192.563 miliar rupiah pada tahun 2016, sebesar 196.821 miliar rupiah pada

tahun 2017, dan sebesar 221.121 miliar rupiah pada tahun 2018 (Badan

Kebijakan Fiskal, 2019). Dengan besarnya belanja perpajakan yang dilakukan

untuk memberikan fasilitas dibidang PPN, tentunya diharapkan dapat

mendorong perekonomian agar tumbuh cukup tinggi dan berkelanjutan

sehingga target penerimaan pajak dapat tercapai.

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut beberapa ahli antara

lain sebagai berikut. Pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan pajak yang

dikenakan atas konsumsi di dalam negeri (di dalam Daerah Pabean), baik

konsumsi barang maupun konsumsi jasa (Waluyo, 2013). Sedangkan menurut

Mardiasmo (Mardiasmo, 2011), pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang

dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam

peredarannya dari produsen ke konsumen (Mardiasmo, 2011).

Menurut Siti Kurnia Rahayu dalam Trimanda (2014): “Pajak

Pertambahan Nilai adalah Pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai

(Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor produksi di setiap

jalur perusahaan dalam menyiapkan dari produsen ke konsumen (Mardiasmo,

2
2011).

1.2 Rumus Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis akan melakukan analisis

terhadap pengertian penelitian fasilitas 07&08, bagaimana prosedurnya dan

contoh kasus yang terjadi. Makalah permasalahan yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah:

1. Apa itu fasilitas 07 & 08?

2. Perbedaan fasilitas tidak dipungut dan dibebaskan

3. Seperti apa contoh kasus yang terjadi dalam penyelidikan fasilitas 07 &

08?

1.3 Tujuan

Berdasarkan pokok permasalahan diatas, maka tujuan dari makalah ini sangat

diharapkan dapat menemukan beberapa hal yang menjadi jawaban dari rumus

masalah diatas yaitu :

1. Pemahaman apa itu Fasilitas 07 & 08

2. Mengetahui bagaimana syarat perbedaan fasilitas tidak dipungut dan

dibebaskan

3. Mengetahui contoh kasus yang sering terjadi di penyelidikan fasilitas

07 & 08

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMAHAMAN MENGENAI FASILITAS 07 & 08


2.1.1 KODE FASILITAS 07
Merupakan kode Faktur Pajak yang digunakan untuk transaksi impor
dan/atau penyerahan Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP), yang tidak dikenakan
pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau fasilitas PPN-nya ditanggung
pemerintah. Meski tidak dikenakan pungutan, Faktur Pajak tetap harus dibuat
karena barang atau jada yang diimpor atau diserahkan tersebut sedari awal
merupakan BKP/JKP. Karena itu, kewajiban pembuatan faktur tetap melekat,
hanya saja menggunakan kode Faktur 07. Seperti diketahui. pembuatan Faktur
Pajak adalah sebuah keharusan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dimana
menurut perundang-undangan perpajakan, Faktur Pajak merupakan bukti pungutan
pajak yang dibuat oleh PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

DASAR HUKUM FASILITAS 07


Penggunaan kode Faktur Pajak 07 diatur dalam Lampiran III Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 tentang Bentuk, Ukuran, Tata
Cara Keterangan, Prosedur Pemberitahuan dalam Rangka Pembuatan, Tata Cara
Pembetulan atau Penggantian, dan Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak. Dalam
lampiran peraturan tersebut, ditegaskan bahwa kode Faktur Pajak 07 digunakan
untuk BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas tidak dikenakan pungutan PPN
atau PPN ditanggung oleh pemerintah. Dimana BKP/JKP yang mendapatkan
fasilitas ini antara lain impor atau penyerahan BKP angkutan tertentu serta
penyerahan JKP tertentu.
Adapun ketentuan lain yang mengatur lebih lanjut mengenai kode faktur ini
ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 69 Tahun 2015 tentang Impor dan
Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat
Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai. Serta, Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 193/PMK.03/2015 yakni tentang Tata Cara
Pemberian Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor dan/atau

4
Penyerahan Alat Angkutan Tertentu dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Terkait Alat
Angkutan Tertentu.

2.1.2 KODE FASILITAS 08


Merupakan kode faktur pajak yang digunakan atas transaksi penyerahan
atau impor Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) yang mendapatkan fasilitas
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penyerahan atau impor
BKP/JKP yang menggunakan kode faktur pajak 08 ini adalah penyerahan atau
impor BKP/JKP yang bersifat strategis dan barang tertentu. Yang dimaksud dengan
barang strategis adalah, barang yang peruntukan menyangkut hidup masyarakat.
Penggunaan kode faktur pajak 08 muncul karena pada dasarnya barang atau jasa
yang diimpor atau diserahkan ini merupakan kategori BKP/JKP. Sehingga, meski
mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, namun tidak menghilangkan kewajiban
pembuatan faktur pajak, karena sekali lagi, yang diserahkan masuk dalam kategori
BKP/JKP. Berbeda dengan barang dan jasa yang atas penyerahannya mendapat
fasilitas tidak dipungut PPN, yang artinya sedari awal beberapa barang dan jasa
tertentu memang tidak dikenakan pungutan PPN. Untuk transaksi ini,
penyerahannya tidak diharuskan membuat faktur pajak. Kode faktur pajak jenis ini
harus dibuat saat melakukan penyerahan BKP/JKP dan harus juga menyertakan
Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, sebagai syarat bahwa impor atau penyerahan
BKP/JKP telah mendapatkan persetujuan mendapatkan fasilitas dibebaskan dari
pungutan PPN. Terhadap faktur pajak yang menggunakan kode faktur pajak ini,
penerima BKP/JKP tidak bisa mengkreditkan perolehan pajak masukan.

DASAR HUKUM FASILITAS 08


 Pasal 16B Undang-Undang PPN No. 8 tahun 1983 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 42 tahun 2009 dan disempurnakan menjadi Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021.
 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang impor/ penyerahan
BKP tertentu yang bersifat strategis.
 Peraturan Menteri Keuangan No. 31/PMK.03/2008 tentang pelaksanaan
PPN yang dibebaskan atas impor/penyerahan BKP tertentu yang bersifat
strategis, sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK Nomor

5
115/PMK.03/2021 Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/ atau Penyerahan
Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, Tata Cara Pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis yang Telah Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
yang Digunakan Tidak Sesuai dengan Tujuan Semula atau
Dipindahtangankan dan Pengenaan Sanksi atas Keterlambatan Pembayaran
Pajak Pertambahan Nilai.
 Keputusan Ditjen Pajak No KEP 234/PJ/2003 tentang tata cara pemberian
dan penatasausahaan PPN yang dibebaskan atas impor/penyerahan BKP
tertentu bersifat strategis yang diekspor dan barang hasil pertanian yang
bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022 tentang Pertambahan Nilai
atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

2.2 SYARAT PENGGUNAAN FASILITAS 07 & 08


2.2.1 Kode 07
Syarat penggunaan kode faktur pajak 07, PKP yang melakukan aktvitas di
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), harus membuat
dokumen Pemberitahuan Perolehan atau Pengeluaran Barang Kena Pajak atau
JasaKena Pajak (PPBJ). Dokumen PPBJ ini dibuat melalui sistem Indonesia
National Single Window (INSW). Pembuatannya dilakukan sebelum perolehan
BKP dan/atau JKP, paling lambat sebelum pemasukan BKP ke kawasan
perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Sebelum mampu memanfaatkan kode
faktur pajak 07, PKP harus membuat dokumen PPBJ kepada beberapa pihak, antara
lain:
 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar.
 PKP yang menyerahkan BKP berwujud.
 Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC)
Dokumen PPBJ ini, menjadi dasar pembuatan faktur pajak oleh PKP yang

6
menyerahkan BKP berwujud kepada pengusaha di KPBPB. PKP yang
menggunakan kode faktur pajak 07 berdasarkan dokumen PPBJ, antara lain:
 PKP di Tempat Lain Dalam Daerah Pabean (TLDDP).
 PKP di Tempat Penibunan Berikat (TPB).
 PKP di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Pembuatan faktur pajak yang menggunakan kode faktur pajak 07 dari dokumen
PPBJ, setidaknya harus memenuhi beberapa syarat, yakni sebagai berikut:
Dokumen PPBJ masih berlaku. Masa berlaku dokumen PPBJ adalah 30 hari
kalender, terhitung sejak tanggal pembuatan PPBJ.
Kode Faktur Pajak yang dibuat adalah kode faktur 07 agar mendapatkan
fasilitas bebas PPN. 2. SPPB BC 4.0 Salah satu syarat PKP dapat membuat faktur
pajak, dengan menggunakan kode faktur pajak 07, adalah memiliki SPPB BC 4.0.
Surat Persetujuan Pemasukan Barang atau SPPB BC 4.0, merupakan dokumen
penetapan persetujuan untuk pemasukan barang pada saat dokumen BC 4.0 sudah
mendapatkan penetapan jalur hijau. Merujuk pada PMK 173/PMK.03/2021, DJP
dan DJBC telah melakukan integrasi dokumen, yakni antara dokumen BC 4.0 dan
kode faktur pajak 07 dalam aplikasi e-Faktur mulai 2022.
Penerbitan faktur pajak oleh PKP penjual di tempat lain dalam daerah
pabean setelah penyerahan dokumen BC 4.0, menjadi lebih mudah. Sistem kerja
intergrasi ini, adalah wajib pajak menyerahkan dokumen BC 4.0 melalui aplikasi
Customs-Excise Information System and Automation (CEISA). Kemudian, Kantor
Pelayanan Bea Cukai menerbitkan Surat Persetujuan Pemasukan Barang
(SPPB).Elemen dokumen BC 0.4 tersebut dikirim ke DJP untuk terlebih dahulu
diisi dalam e-Faktur untuk penerbitan Faktur Pajaknya. Lalu, PKP di tempat lain
dalam daerah pabean dapat menerbitkan faktur pajak menggunakan kode faktur
pajak 07 melalui e-Faktur. Selain itu, PKP yang menerbitkan faktur pajak di tempat
lain dalam daerah pabean tersebut, juga harus melaporkan faktur pajak dengan
Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.

2.2.2 Kode 08
Penggunaan kode faktur pajak 08 muncul karena pada dasarnya barang atau jasa
yang diimpor atau diserahkan ini merupakan kategori BKP/JKP. Sehingga, meski
mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, namun tidak menghilangkan kewajiban

7
pembuatan faktur pajak, karena sekali lagi, yang diserahkan masuk dalam kategori
BKP/JKP. Berbeda dengan barang dan jasa yang atas penyerahannya mendapat
fasilitas tidak dipungut PPN, yang artinya sedari awal beberapa barang dan jasa
tertentu memang tidak dikenakan pungutan PPN. Untuk transaksi ini,
penyerahannya tidak diharuskan membuat faktur pajak. Kode faktur pajak jenis ini
harus dibuat saat melakukan penyerahan BKP/JKP dan harus juga menyertakan
Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, sebagai syarat bahwa impor atau penyerahan
BKP/JKP telah mendapatkan persetujuan mendapatkan fasilitas dibebaskan dari
pungutan PPN. Terhadap faktur pajak yang menggunakan kode faktur pajak ini,
penerima BKP/JKP tidak bisa mengkreditkan perolehan pajak masukan.

PERBEDAAN DAN PERLAKUAN FASILITAS 07 (PPN TIDAK DI


PUNGUT ) DAN FASILITAS 08 (PPN DIBEBASKAN )

2.3.1 KODE 07
07 digunakan untuk penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak
Dipungut kepada selain Pemungut PPN, penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn
BM-nya Ditanggung Pemerintah (DTP) kepada selain Pemungut PPN, dan
penyerahan ke Kawasan Bebas/Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kepada selain
Pemungut PPN. Kode ini digunakan atas Penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn
BM-nya Tidak Dipungut, Ditanggung Pemerintah (DTP), dan Penyerahan ke
Kawasan Bebas/Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) berdasarkan peraturan khusus
yang berlaku, antara lain :
a) Ketentuan yang mengatur mengenai Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Pajak Penghasilan
Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana
Pinjaman/Hibah Luar Negeri.
b) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena
Pajak Berstatus Entrepot Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan
Pengolahan Di Kawasan Berikat (KB).
c) Ketentuan yang mengatur mengenai Tempat Penimbunan Berikat.
d) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Perpajakan di Kawasan
Pengembangan Ekonomi Terpadu.
e) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas
8
Penyerahan Avtur Untuk Keperluan Penerbangan Internasional.
f) Ketentuan yang mengatur mengenai Toko Bebas Bea.
g) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan
Dari Pungutan Bea Masuk.
h) Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung
Pemerintah Atas Penyerahan Minyak Goreng Sawit Di Dalam Negeri.
i) Ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung
Pemerintah Atas Penyerahan Bahan Bakar Nabati Di Dalam Negeri.
j) Ketentuan yang mengatur mengenai Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, Dan
Cukai Serta Pengawasan Atas Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Serta Berada
Di Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan
Pelabuhan Bebas.
k) Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian,
Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah
Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa
Kena Pajak Dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Ke Kawasan Bebas.

2.3.2 KODE 08
08 digunakan untuk penyerahan yang PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak
Dipungut kepada selain Pemungut PPN, Kode ini digunakan atas Penyerahan yang
PPN atau PPN dan PPn BM-nya Tidak Dipungut berdasarkan peraturan khusus
yang berlaku.Ketentuan yang mengatur mengenai Tata Cara Pemasukan dan
Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Yang Telah Ditunjuk Sebagai
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
08 digunakan untuk penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau
PPN dan PPnBM kepada selain Pemungut PPN. Kode ini digunakan atas
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPnBM berdasarkan
peraturan khusu yang berlaku antara lain:
a) Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang
Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
9
b) Ketentuan yang mengatur mengenai Impor dan/atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
c) Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada
Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya.

2.10 KASUS YANG SERING TERJADI DI FASILITAS 07 & 08


2.4.1 KODE 07
 PT Maju Makmur adalah sebuah perusahaan yang memproduksi beras,
mengimpor 100 ton beras untuk dijual ke masyarakat. Impor beras tersebut
tidak dikenakan PPN karena beras merupakan barang strategis.
 PT Lestari Properti adalah sebuah pengembang perumahan, membangun
100 rumah sederhana dengan luas bangunan maksimal 70 meter persegi.
Penyerahan rumah sederhana tersebut tidak dikenakan PPN karena rumah
sederhana merupakan barang strategis.
 Sekolah Dasar Negeri 02, sebuah sekolah negeri, memberikan pendidikan
kepada siswanya. Jasa pendidikan yang diberikan oleh Sekolah Dasar
Negeri 123 tidak dikenakan PPN karena jasa pendidikan merupakan jasa
sosial.
 PT Usaha Motor adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang
transportasi, menyediakan jasa angkutan umum bus untuk masyarakat. Jasa
angkutan umum bus yang disediakan oleh PT Usaha Motor tidak dikenakan
PPN karena jasa angkutan umum merupakan jasa sosial.
 Panti Asuhan Harapan Baru, sebuah panti asuhan yang dikelola oleh
pemerintah, menyewa tanah dan bangunan dari pemerintah untuk
digunakan sebagai tempat tinggal anak-anak panti asuhan. Penyerahan jasa
sewa tanah dan bangunan yang dilakukan oleh pemerintah kepada Panti
Asuhan Harapan Baru tidak dikenakan PPN karena jasa sewa tanah dan
bangunan tersebut merupakan jasa sosial.

10
2.4.2 KODE 08
 Kasus 1: Impor beras
PT Padi Mandiri, sebuah PKP, melakukan impor beras dari Thailand. Beras
tersebut kemudian dijual kepada masyarakat umum. Penyerahan beras
tersebut merupakan penyerahan BKP yang dibebaskan PPN, karena beras
merupakan barang strategis yang dibutuhkan oleh masyarakat.
 Kasus 2: Penyerahan jasa kesehatan di rumah sakit pemerintah
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi merupakan PKP yang
memberikan jasa kesehatan kepada masyarakat. Jasa kesehatan yang
diberikan oleh RSUD Kota Bekasi, seperti pelayanan poliklinik, rawat inap,
dan operasi, merupakan penyerahan JKP yang dibebaskan PPN, karena jasa
tersebut merupakan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk menjaga
kesehatannya.
 Kasus 3: Penyerahan jasa angkutan umum bus
PT Transportasi Maju, sebuah PKP, memberikan jasa angkutan umum bus
kepada masyarakat. Jasa angkutan umum bus tersebut merupakan
penyerahan JKP yang dibebaskan PPN, karena jasa tersebut merupakan jasa
yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk melakukan perjalanan.
 Kasus 4: Penyerahan jasa sewa tanah dan bangunan untuk rumah ibadah
Pemerintah Kota B menyewakan tanah dan bangunan kepada sebuah
yayasan untuk digunakan sebagai tempat ibadah. Penyerahan jasa sewa
tanah dan bangunan tersebut merupakan penyerahan JKP yang dibebaskan
PPN, karena jasa tersebut merupakan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat
untuk beribadah.

2.11 DAMPAK DARI FASILITAS 07 & 08


Dampak PPN fasilitas tidak dipungut dapat dikelompokkan menjadi dua,

yaitu dampak ekonomi dan dampak fiskal.

2.5.1 Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi PPN fasilitas tidak dipungut dapat berupa:

 Peningkatan daya beli masyarakat. Penyerahan BKP atau JKP yang tidak

dipungut PPN akan menjadi lebih murah, sehingga dapat meningkatkan


11
daya beli masyarakat.

 Peningkatan investasi. Fasilitas PPN tidak dipungut dapat mendorong

investasi, karena dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi

 Peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan daya beli masyarakat dan

investasi dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.5.2 Dampak Fiskal

Dampak fiskal PPN fasilitas tidak dipungut dapat berupa:

 Penurunan penerimaan pajak. Fasilitas PPN tidak dipungut dapat

menyebabkan penurunan penerimaan pajak, karena PPN yang seharusnya

terutang tidak dipungut.

 Peningkatan distorsi. Fasilitas PPN tidak dipungut dapat menyebabkan

distorsi, karena tidak semua BKP atau JKP dikenakan PPN.

Dampak PPN fasilitas dibebaskan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu dampak

ekonomi dan dampak fiscal.

2.5.3 Dampak Ekonomi

Dampak ekonomi dari PPN fasilitas dibebaskan dapat berupa:

 Penurunan harga barang dan jasa. Penyerahan BKP atau JKP yang

dibebaskan PPN akan menyebabkan harga barang dan jasa tersebut menjadi

lebih murah, karena tidak dikenakan PPN. Hal ini dapat meningkatkan daya

beli masyarakat dan mendorong konsumsi.

 Peningkatan akses masyarakat terhadap barang dan jasa. Penyerahan BKP

atau JKP yang dibebaskan PPN dapat meningkatkan akses masyarakat

terhadap barang dan jasa tersebut, karena harganya menjadi lebih

terjangkau. Hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 Peningkatan efisiensi ekonomi. Penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan

12
PPN dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, karena biaya produksi atau

penyediaan barang dan jasa tersebut menjadi lebih rendah. Hal ini dapat

mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.5.4 Dampak fiskal

Dampak fiskal dari PPN fasilitas dibebaskan dapat berupa:

 Penurunan penerimaan pajak. Penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan

PPN akan menyebabkan penerimaan pajak PPN menjadi lebih rendah. Hal

ini dapat mengurangi pendapatan negara.

 Peningkatan beban APBN. Penurunan penerimaan pajak PPN dapat

menyebabkan peningkatan beban APBN, karena pemerintah harus

menutupi kekurangan penerimaan tersebut dari sumber-sumber lain.

Secara umum, dampak PPN fasilitas dibebaskan dapat bersifat positif maupun

negatif. Dampak positif dari PPN fasilitas dibebaskan dapat berupa penurunan

harga barang dan jasa, peningkatan akses masyarakat terhadap barang dan jasa, dan

peningkatan efisiensi ekonomi. Dampak negatif dari PPN fasilitas dibebaskan dapat

berupa penurunan penerimaan pajak dan peningkatan beban APBN.

Penerapan PPN fasilitas dibebaskan harus dilakukan dengan hati-hati, agar

dampak positifnya dapat lebih besar daripada dampak negatifnya. Pemerintah harus

melakukan evaluasi secara berkala terhadap penerapan PPN fasilitas dibebaskan,

untuk memastikan bahwa penerapannya tetap sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai.

13
2.12 PENYELESAIAN FASILITAS 07 & 08

2.6.1 KODE 07

Penyelesaian PPN tidak dipungut harus dilakukan dengan memenuhi ketentuan

yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang PPN.

Langkah-langkah penyelesaian PPN tidak dipungut yaitu :

 PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN

harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan

Nilai (SKB PPN) kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP

tersebut terdaftar.

 Permohonan SKB PPN harus diajukan secara tertulis dengan menggunakan

formulir yang telah disediakan oleh KPP.

 Permohonan SKB PPN harus dilengkapi dengan dokumen-dokumen

pendukung yang diperlukan, seperti: Fotokopi identitas diri (KTP atau

paspor) bagi WNI atau fotokopi paspor bagi WNA. Fotokopi NPWP.

Fotokopi dokumen yang menunjukkan bahwa penyerahan BKP atau JKP

tersebut memenuhi ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan di bidang PPN.

 KPP akan menerbitkan SKB PPN dalam waktu paling lama 14 hari kerja

sejak permohonan diterima secara lengkap.

Setelah SKB PPN diterbitkan, PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP

yang dibebaskan PPN harus menerbitkan faktur pajak dengan mencantumkan

keterangan "PPN Tidak Dipungut". Pajak Masukan yang berkaitan dengan

penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan oleh PKP

penerima.

14
2.6.2 KODE 08

Untuk mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan, PKP yang melakukan penyerahan

BKP atau JKP tersebut harus mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas

Pajak Pertambahan Nilai (SKB PPN) kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat

PKP tersebut terdaftar.

Penyelesaian PPN dibebaskan dilakukan dengan cara sebagai berikut:c

 Penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN harus memenuhi

ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang PPN.

Ketentuan tersebut meliputi jenis BKP atau JKP yang dapat dibebaskan

PPN, persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan fasilitas PPN

dibebaskan, dan tata cara pengajuan permohonan fasilitas PPN dibebaskan.

 Penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN harus dilakukan oleh

Pengusaha Kena Pajak (PKP). PKP adalah pengusaha yang melakukan

penyerahan BKP atau JKP yang terutang PPN.

 Penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan

PPN-nya oleh PKP penerima. PPN yang dibayar untuk perolehan BKP atau

JKP yang dibebaskan PPN tidak dapat dikreditkan oleh PKP penerima.c

Untuk mendapatkan mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak

Pertambahan Nilai (SKB PPN) kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP

tersebut terdaftar.

Berikut adalah langkah-langkah pengajuan permohonan SKB PPN:C

 PKP mengisi formulir permohonan SKB PPN yang telah disediakan

oleh KPP.

 Melampirkan dokumen-dokumen pendukung yang diperlukan, seperti:

Fotokopi identitas diri (KTP atau paspor) bagi WNI atau fotokopi

15
paspor bagi WNA. Fotokopi NPWP. Fotokopi dokumen yang

menunjukkan bahwa penyerahan BKP atau JKP tersebut memenuhi

ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang

PPN.

 Menyerahkan permohonan SKB PPN kepada KPP tempat PKP tersebut

terdaftar.

KPP akan menerbitkan SKB PPN dalam waktu paling lama 14 hari kerja sejak

permohonan diterima secara lengkap. Setelah SKB PPN diterbitkan, PKP yang

melakukan penyerahan BKP atau JKP yang dibebaskan PPN harus menerbitkan

faktur pajak dengan mencantumkan keterangan "PPN Dibebaskan". Faktur pajak

tersebut harus diserahkan kepada pembeli atau penerima jasa.

2.13 MENGHITUNG FASILITAS 07 & 08

2.7.1 KODE 07

Berikut adalah contoh perhitungan PPN tidak dipungut:

PT. Maju Usaha melakukan impor beras sebanyak 1.000 kg dengan harga jual

Rp10.000,-/kg. Penyerahan beras tersebut merupakan penyerahan BKP yang

dibebaskan PPN, karena beras merupakan barang strategis yang dibutuhkan

oleh masyarakat.

Nilai penyerahan BKP tersebut adalah:

Nilai Penyerahan = Harga Jual x Jumlah

= Rp10.000,-/kg x 1.000 kg

= Rp10.000.000,-

Pada faktur pajak yang diterbitkan oleh PT. Contoh, kolom PPN diisi dengan

16
keterangan "PPN Dibebaskan".

Dengan demikian, tidak ada perhitungan PPN yang dilakukan dalam kasus ini.

Penyerahan beras tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN.

2.7.2 KODE 08

PT. Jasa Sewa Bangunan menyewakan bangunan kepada PT. Pembeli untuk

digunakan sebagai kantor. Nilai sewa bangunan tersebut adalah

Rp100.000.000,- per tahun. Penyerahan jasa sewa bangunan tersebut

merupakan penyerahan JKP yang dibebaskan PPN, karena jasa sewa bangunan

merupakan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk melakukan kegiatan

usaha.

PPN yang seharusnya terutang atas penyerahan jasa sewa bangunan tersebut

adalah:

PPN = (Rp100.000.000,- x 11%)/100 = Rp11.000.000,-

Oleh karena itu, jumlah PPN yang dibebaskan adalah sebesar Rp11.000.000,-.

2.14 SANKSI FASILITAS 07 & 08

2.8.1 KODE 07

Sanksi PPN tidak dipungut adalah sanksi yang dikenakan kepada PKP yang

melakukan penyerahan BKP atau JKP yang seharusnya dipungut PPN, tetapi tidak

dipungut. Sanksi tersebut diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Pajak

Pertambahan Nilai (UU PPN). Berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU PPN, PKP yang

melakukan penyerahan BKP atau JKP yang seharusnya dipungut PPN, tetapi tidak

dipungut, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari PPN

yang tidak atau kurang dibayar.

17
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari PPN yang tidak atau

kurang dibayar dihitung berdasarkan jumlah PPN yang seharusnya dipungut,

dikurangi dengan jumlah PPN yang telah dibayar. Berikut adalah contoh

perhitungan sanksi PPN tidak dipungut:

Misalkan, PT. Maju Usaha melakukan penyerahan BKP kepada PT.

Pembeli dengan nilai penyerahan Rp1.000.000,-. PPN yang seharusnya dipungut

atas penyerahan tersebut adalah sebesar Rp100.000,-.

PT. Maju Usaha tidak memungut PPN atas penyerahan tersebut.

Oleh karena itu, PT. Maju Usaha dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan

sebesar 100% dari PPN yang tidak atau kurang dibayar, yaitu sebesar Rp100.000,-

x 100% = Rp100.000,-.

Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari PPN yang

tidak atau kurang dibayar, PKP yang melakukan penyerahan BKP atau JKP yang

seharusnya dipungut PPN, tetapi tidak dipungut, juga dapat dikenakan sanksi

pidana. Sanksi pidana tersebut diatur dalam Pasal 39 ayat (1) huruf b UU PPN.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf b UU PPN, PKP yang melakukan penyerahan

BKP atau JKP yang seharusnya dipungut PPN, tetapi tidak dipungut, dipidana

dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).

2.8.2 KODE 08

PT. Manggala merupakan PKP yang melakukan impor besi. Besi tersebut

kemudian dijual kepada PT. Tugu Jaya. Penyerahan besi tersebut merupakan

penyerahan BKP yang dibebaskan PPN, karena besi merupakan barang yang

digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

18
PT. Manggala mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak

Pertambahan Nilai (SKB PPN) kepada KPP tempat PT. Manggala terdaftar.

Namun, permohonan tersebut ditolak oleh KPP, karena PT. Manggala tidak

memenuhi persyaratan untuk mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan.

Sebagai akibatnya, PT. Manggala dikenakan sanksi fasilitas 08 sebesar 100% dari

jumlah PPN yang tidak dibayar. Jumlah PPN yang tidak dibayar tersebut adalah

sebesar:

Harga jual besi x Tarif PPN

= Rp10.000.000 x 10%

= Rp1.000.000

Sehingga, total sanksi fasilitas 08 yang harus dibayar oleh PT. Manggala adalah

sebesar:

Rp1.000.000 x 100%

= Rp1.000.000

19
2.15 CONTOH FAKTUR PAJAK 07 & 08

2.9.1 KODE 07

20
2.9.2 KODE 08

21
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Fasilitas tidak dipungut dan dibebaskan dalam konteks perpajakan

mencerminkan keringanan atau pembebasan atas kewajiban pembayaran pajak

tertentu yang diberikan oleh pemerintah kepada subjek pajak. Fasilitas tidak

dipungut biasanya diberikan ketika suatu transaksi atau jenis usaha tertentu

dikecualikan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau pajak lainnya. Sebaliknya,

Fasilitas dibebaskan dapat merujuk pada pembebasan sebagian atau seluruh

kewajiban pajak yang seharusnya dikenakan, sering kali sebagai stimulus atau

insentif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi atau sektor tertentu. Kedua bentuk

fasilitas ini memiliki tujuan untuk mendukung pelaku usaha atau individu agar lebih

kompetitif, mendorong investasi, dan aktivitas ekonomi tanpa memberikan beban

pajak yang berlebihan.

Dalam hal ini, pemberian fasilitas tidak dipungut dan dibebaskan menjadi

instrumen kebijakan pajak yang dapat membentuk lingkungan bisnis yang lebih

kondusif dan memberikan insentif bagi pengembangan sektor-sektor strategis

dalam perekonomian. fasilitas ini tidak hanya memberikan insentif kepada pelaku

usaha atau subjek pajak, tetapi juga memainkan peran penting dalam mendukung

pertumbuhan ekonomi dan investasi dalam suatu negara.

3.2 SARAN

Dalam rangka mendukung pertumbuhan sektor usaha dan meningkatkan iklim

22
investasi di negara ini, kami mengusulkan adanya fasilitas pajak berupa

pembebasan dan pengecualian dari pembayaran sejumlah pajak tertentu. Fasilitas

ini ditujukan untuk memberikan insentif kepada pelaku usaha yang berkontribusi

pada pembangunan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Beberapa bentuk

fasilitas yang kami usulkan meliputi pembebasan pajak penghasilan (PPh) untuk

investasi tertentu selama periode awal, pengecualian dari Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) pada beberapa jenis transaksi tertentu, dan kemudahan akses terhadap kredit

pajak untuk penelitian dan pengembangan.

Kami percaya bahwa langkah-langkah ini tidak hanya akan mendorong

investasi, tetapi juga menciptakan lingkungan bisnis yang kondusif, yang pada

gilirannya dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi

nasional. Dengan diberlakukannya fasilitas ini, diharapkan dapat tercipta sinergi

antara pemerintah dan sektor swasta untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan secara berkesinambungan.

23
DAFTAR PUSTAKA

Faktur Pajak 070: Pengertian, Dasar Hukum, dan Aturan Pembuatannya - Accurate Online"

https://accurate.id/ekonomi-keuangan/faktur-pajak-070/

Faktur Pajak 080: Pengertian, Dasar Hukum dan Penerapan | OnlinePajak"

https://www.online-pajak.com/tentang-ppn-efaktur/faktur-pajak-080

Kode Faktur Pajak 07, Definisi, Dasar Hukum, dan Syarat Penggunaannya

Halaman 2 – Istilah Ekonomi Katadata.co.id"

https://katadata.co.id/amp/agungjatmiko/ekonopedia/633a447c4df3f/kode-faktur-pajak-

07-definisi-dasar-hukum-dan-syarat-penggunaannya?page=2

Mengenai Istilah PPN Dibebaskan | OnlinePajak" https://www.online-pajak.com/tentang-

ppn-efaktur/ppn-dibebaskan

https://ortax.org/ini-penjelasan-tentang-fasilitas-ppn-tidak-dipungut

https://reputasi.ulm.ac.id/id/index.php/pajak/article/download/5/4

Djuanda, Gustian. Pelaporan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang

mewah. PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Wijaya, Suparna, and Komang Rina Arsini. "Fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan:

Perbedaan dan permasalahan." Publik: Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia,

Administrasi dan Pelayanan Publik 8.1 (2021): 91-104.

24

Anda mungkin juga menyukai