Anda di halaman 1dari 28

PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL TEMBAKAU

SEBAGAI SUMBER PENDANAAN PENANGANAN BENCANA


WABAH PENYAKIT AKIBAT PANDEMI COVID-19
(Studi tentang Penerapan Hukum dan Otonomi Daerah
di Kabupaten Madiun)

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


HUKUM DAN OTONOMI DAERAH

Dosen Pengampu:
Dr. SUMARWOTO, SH.I., MH.

Oleh:
NANING NUR CAHYANI
NPM: XXXXXXXXX

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS SURAKARTA
SURAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan makalah tentang: PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL
CUKAI HASIL TEMBAKAU SEBAGAI SUMBER PENDANAAN
PENANGANAN BENCANA WABAH PENYAKIT AKIBAT PANDEMI
COVID-19 (Studi tentang Penerapan Hukum dan Otonomi Daerah di
Kabupaten Madiun).
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Hukum dan Otonomi Daerah di
Program Pascasarjana, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas
Surakarta (UNSA) Surakarta, yaitu: Bapak Dr. Sumarwoto, SH.I., MH.
Penulis mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua, dalam hal menambah pengetahuan dan wawasan tentang
penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagai sumber
pendanaan penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi Covid-
19 di Kabupaten Madiun sebagai suatu kajian Ilmu Hukum dan Otonomi
Daerah. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu
Mata Kuliah Hukum dan Otonomi Daerah di Program Pascasarjana,
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Surakarta (UNSA)
Surakarta yang telah memberikan kesempatan dan dukungan kepada
penulis, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna.
Untuk itu, segala kritik dan saran yang membangun selalu peneliti
harapkan. Selanjutnya, peneliti berharap makalah ini mampu memberikan
manfaat kepada semua pihak.

Surakarta, 14 Januari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................. iii
A. PENDAHULUAN.................................................................................. 1
B. POKOK MASALAH.............................................................................. 7
C. LANDASAN PEMIKIRAN YANG DIGUNAKAN.................................. 7
1. Otonomi Daerah.............................................................................. 7
2. Dana Bagi Hasil............................................................................... 9
3. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dalam Konteks
Penerapan Otonomi Daerah........................................................... 10
4. Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Sebagai
Sumber Pendanaan Penanganan Bencana Wabah
Penyakit Akibat Pandemi Covid-19................................................. 13
D. ANALISIS PERMASALAHAN.............................................................. 14
E. DISKUSI HASIL ANALISA/PEMBAHASAN........................................ 15
F. PENUTUP............................................................................................ 23

iii
A. PENDAHULUAN
Indonesia saat ini dihadapkan pada situasi bencana nasional,
yaitu mewabahnya Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang telah
ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) sebagai pandemi
global yang turut mengancam keselamatan jiwa warga negara serta
merusak perekonomian nasional. Berkaitan dengan terjadinya pandemi
Covid-19 di Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020
tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan
untuk penanganan pandemi Covid-19 dalam rangka menghadapi
ancaman yang membahayakan perekonomian nasional, dan atau
stabilitas sistem keuangan. Berdasarkan data Gugus Tugas
Penanggulangan Covid-19 Nasional, jumlah penderita Covid-19 di
Indonesia per 13 Januari 2021 sudah menyentuh pada angka 858.043
kasus dengan jumlah pasien sembuh 703.464 orang dan 24.951 jiwa
meninggal dunia.
Pemerintah Indonesia telah menyiapkan berbagai strategi untuk
melakukan penanganan, seperti penambahan anggaran di segi
kesehatan, bantuan sosial, dukungan industri, dan pemulihan
perekonomian nasional serta kebijakan di sisi keuangan daerah dan
sektor keuangan. Dalam rangka memastikan ketersediaan anggaran
dengan tetap mempertahankan kesehatan dan kesinambungan
keuangan negara, pemerintah menetapkan perubahan atas Postur dan
Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun Anggaran
2020, yang meliputi Anggaran Pendapatan Negara, Anggaran Belanja
Negara, Surplus/defisit anggaran, dan Pembiayaan Anggaran.
Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 ini ditetapkan dengan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2020.
Tindak lanjut atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
54 Tahun 2020 tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Keuangan No. 19 Tahun 2020 tentang Penyaluran dan Penggunaan

1
DBH, DAU dan DID Tahun Anggaran 2020 Dalam Rangka
Penanggulangan Covid-19 serta Peraturan Menteri Dalam Negeri
(Permendagri) Nomor 20 Tahun 2020 tentang Revisi dan Realokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pandemi Covid-19 yang membutuhkan kebijakan extraordinary
dari Pemerintah tentu berdampak pada postur APBN 2020. Kecemasan
investor atas Covid-19 turut mempengaruhi terjadinya capital outflow di
Indonesia. APBN 2020 juga akan menghadapi tekanan dari sisi
penerimaan pajak, PNBP, bea cukai baik karena kondisi pelaku
ekonomi dan penurunan harga komoditas. Hal ini berimbas pada
penerimaan negara yang turun 10%. Namun, di saat bersamaan,
belanja negara harus naik untuk kesehatan, bansos dan membantu
pelaku usaha agar tidak melakukan PHK besar-besaran. Hal ini
menyebabkan defisit melebar hingga 5%. Pernyataan Menteri
Keuangan sebagaimana dilansir dalam laman kemenkeu.go.id
memperkirakan pendapatan menurun 10%, belanja naik untuk
mendukung sektor kesehatan Rp 75 triliun, safety social net Rp 110
triliun. Belanja yang tinggi untuk perlindungan masyarakat. Perkiraan
defisit dari tadinya 1,76% dari PDB atau Rp 307,2 triliun menjadi 5,07%
atau Rp 853 triliun namun diupayakan di bawah 5%.
Seiring perubahan dampak Covid-19 yang semakin meluas,
diperlukan upaya penanganan bersama antara pemerintah dan
pemerintah daerah melalui realokasi dan refocusing anggaran belanja
APBN dan APBD tahun anggaran 2020 untuk penanganan pandemi
dan dampak Covid-19. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan
penyesuaian APBD tahun anggaran 2020 sesuai pedoman yang telah
ditetapkan dalam Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Keuangan (SKB Mendagri dan Menkeu) Nomor 119/2813/SJ
dan 117/KMK.07/2020 tentang Percepatan Penyesuaian APBD tahun
2020 dalam rangka penanganan Covid-19, serta Pengamanan Daya
Beli Masyarakat dan Perekonomian Nasional dan Peraturan Menteri

2
Keuangan Nomor 35/PMK.07/2020 tentang Pengelolaan Transfer ke
Daerah dan Dana Desa TA 2020. Hasil penyesuaian APBD tersebut
dituangkan dalam Laporan Penyesuaian APBD (Laporan APBD) dan
selanjutnya wajib disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan
Kementerian Dalam Negeri. Guna memastikan komitmen pemerintah
daerah dalam pencegahan/penanganan Covid-19, maka sesuai
ketentuan PMK No.35/PMK.07/2020 di atas bagi pemerintah daerah
yang tidak memenuhi ketentuan Laporan APBD tahun anggaran 2020
dapat dilakukan penundaan penyaluran sebagian DAU dan/atau DBH-
nya.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Kementerian
Keuangan bersama Kementerian Dalam Negeri, telah teridentifikasi
adanya beberapa daerah yang belum menyampaikan Laporan APBD.
Sementara terhadap daerah yang telah menyampaikan laporan
Penyesuaian APBD, telah dilakukan evaluasi dengan
mempertimbangkan potensi penurunan Pendapatan Asli Daerah,
terutama yang berasal dari pajak dan retrbusi daerah, sebagai akibat
dari menurunnya kegiatan masyarakat dan perekonomian. Selain itu,
evaluasi tersebut juga memperhatikan perkembangan pandemi Covid-
19 di masing-masing daerah yang memerlukan pencegahan/
penanganan secara cepat dengan anggaran yang memadai.
Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi tersebut, telah ditetapkan
penundaan sebagian penyaluran DAU bulan Mei 2020 untuk beberapa
daerah dengan memperhatikan pertimbangan dari Kementerian Dalam
Negeri. Ketentuan penundaan tersebut dituangkan dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 10/KM.7/2020.
Untuk menjalankan mandat kebijakan pemerintah di atas, maka
pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota perlu
melakukan strategi dalam pengelolaan APBDnya dalam kaitan
pengucuran anggaran pencegahan penyebaran wabah Covid-19 antara
lain dengan melakukan realokasi APBD untuk menyelenggarakan

3
berbagai kegiatan meliputi pencegahan, penambahan ruangan isolasi
di rumah sakit, disinfektan, tindakan mitigasi, maupun penambahan
kebutuhan layanan dasar seperti logistik.
Seperti halnya yang terjadi pada Pemerintah Daerah Kabupaten
Madiun, diketahui bahwa pada Tahun Anggaran 2020 terjadi penurunan
pendapatan Rp 181.869.697.254,18 dari semula direncanakan sebesar
Rp 1.912.892.978.077,18 menjadi sebesar Rp 1.731.023.280.823,00.
Pendapatan daerah mengalami penurunan berasal dari akumulasi PAD
sebesar Rp 9.409.302.336,18. Akumulasi penerimaan dana
perimbangan Rp 143.349..64.000,00 dan akumulasi penerimaan lain-
lain pendapatan daerah yang sah Rp 29.112.330.918,00. PAD yang
semula direncanakan Rp 219.449.851.124,18 mengalami penurunan
sebesar Rp 9.408.302.336,18 menjadi sebesar Rp 210.041.
548.788,00. Dana perimbangan yang semula direncanakan
Rp 1.290.525.673.000,00 mengalami penurunan Rp 143.349.
064.000,00 menjadi sebesar Rp 1.147.176.609.000,00. Lain-lain
pendapatan daerah yang sah semula direncanakan Rp 402.
917.453.953,00 juga mengalami penurunan Rp 29.112.330.918
menjadi sebesar Rp 373.805.123.035,00. Belanja daerah, dapat
dijelaskan sebagai berikut, belanja daerah mengalami penurunan
Rp 89.125.334.429,91 dari sebelum perubahan sebesar
Rp 1.981.478.483.890,97 menjadi sebesar Rp 1.892.353.149.461,06.
Adapun gambaran yang lebih rinci mengenai belanja daerah sebagai
berikut, anggaran belanja tidak langsung sebelum perubahan
Rp 1.206.370.627.095,23. Sesudah perubahan menjadi
Rp 1.186.460.131.635,55 atau berkurang Rp 19.910.495.459,68.
Anggaran belanja langsung sebelum perubahan Rp 775.107.856.
795,74, sesudah perubahan menjadi Rp 705.893.017.825,51 atau
berkurang sebesar Rp 69.214.838.970,23. Secara rinci, nominal
anggaran belanja tidak langsung maupun belanja langsung yang juga
mengalami perubahan. Penurunan Perubahan APBD ini dipengaruhi

4
banyak faktor, salah satu yang mendasar akibat adanya refocusing
kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang jasa dalam
rangka percepatan penanganan Covid-19 sebagaimana tertuang dalam
Inpres No. 4 tahun 2020.
Berkaitan dengan biaya penanganan pandemi Covid-19,
Pemerintah daerah Kabupaten Madiun telah mengeluarkan Keputusan
Bupati Nomor 188.45/252/4102.013/2020 tentang Status Keadaan
Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Covid-19 di
Kabupaten Madiun. Salah satu keputusan yang ditetapkan berkaitan
dengan pembiayaan penanganan Covid-19 di Kabupaten Madiun,
dinyatakan bahwa segala biaya yang dikeluarkan akibat ditetapkannya
keputusan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2020 pada pos Belanja
Tidak Terduga, Belanja DBHCHT (Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau) dan Belanja DID (Dana Insentif Daerah). Merujuk pada
ketentuan tersebut, maka penggunaan DBHCHT (Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau) sebagai salah satu sumber pendanaan bagi
penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi Covid-19 perlu
dikaji lebih lanjut, terutama berkaitan dengan penerapan hukum dan
semangat penerapan otonomi daerah di Kabupaten Madiun.
Pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2004 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Berkaitan dengan DBHCHT (Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau) dalam konteks hukum dan otonomi daerah,
Suteki dan Putri (2020:126) menguraikan bahwa instrumen otonomi
daerah berusaha membagi tanggung jawab terhadap kewajiban untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat oleh pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah. Salah satu cara untuk mendanai pembangunan di
daerah adalah alokasi pendanaan dari pemerintah pusat yang diberikan

5
kepada pemerintah daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU).
Pengalokasian dana bagi hasil tembakau yang diatur dalam UU Cukai
merupakan salah satu cara pemerintah pusat mendanai pembangunan
di daerah melalui DAU untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Pasal
66A UU Cukai secara tegas menyatakan bahwa salah satu cara
penggunaan alokasi DBHCHT adalah untuk melakukan pembinaan
lingkungan sosial, maka berarti persoalan penaggulangan kemiskinan
dapat menjadi salah satu sasaran program tersebut. Dalam hal ini
hukum, melalui peraturan perundang-undangan sedang menjalani
fungsinya sebagai sarana untuk melakukan rekayasa sosial (law as a
tool of social engineering).
Jika ditinjau dari keberadaannya dalam sumber keuangan dalam
konteks otonomi daerah, Dana Bagi Hasil menurut Sudaryo, dkk.
(2017:97) merupakan salah satu bentuk pendapatan daerah yang
bersumber dari Dana Perimbangan. Berkaitan dengan sumber
pendapatan daerah, komponen terbesar dari Dana Perimbangan
tersebut adalah Dana Alokasi Umum, yaitu dana yang bersumber dari
pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai prioritas nasional.
Ditinjau dari segi hukum, negara ingin memanfaatkan cukai hasil
tembakau dapat menciptakan kesejahteraan sosial. Hal ini sesuai dari
isi UU No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai bahwa UU Cukai disusun
berdasarkan pertimbangan bahwa cukai sebagai pungutan negara yang
dikenakan terhadap barangbarang tertentu yang mempunyai sifat atau
karakteristik sesuai dengan undang-undang merupakan penerimaan
negara guna mewujudkan kesejahteraan bangsa. Kesejahteraan
bangsa menjadi tanggung jawab negara c.q. pemerintah, baik
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten
Madiun sendiri juga telah mengeluarkan Peraturan Bupati Nomor 2
Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Penggunaan Dana Bagi Hasil

6
Cukai Hasil Tembakau Kabupaten Madiun. Pada peraturan Bupati
tersebut salah satunya menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau dapat dipergunakan untuk perencanaan dan peningkatan
pembangunan ekonomi dan sosial.

B. POKOK MASALAH
Merujuk pada uraian di atas, penulis berasumsi bahwa
penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau sebagai sumber
pendanaan penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi
Covid-19 di Kabupaten Madiun seperti yang tertuang pada Keputusan
Bupati Nomor 188.45/252/4102.013/2020 perlu dikaji lagi. Hal ini tidak
terlepas dari penerapannya dilihat dari aspek hukum dan esensi dari
pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Madiun itu sendiri.

C. LANDASAN PEMIKIRAN YANG DIGUNAKAN


Berkaitan dengan penggunaan dana bagi hasil cukai hasil
tembakau sebagai sumber pendanaan penanganan bencana wabah
penyakit akibat pandemi Covid-19 di Kabupaten Madiun, diperlukan
landasan pemikiran tentang hal tersebut. Adapun beberapa landasan
pemikiran tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Otonomi Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat
5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Menurut Suparmoko (2002:61)
mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi,
karena biarpun secara teori terpisah namun dalam praktiknya
keduanya sukar dipisahkan. Desentralisasi pada dasarnya

7
mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ
penyelenggara negara, sedang otonomi daerah menyangkut hak
yang mengikuti. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan
desentralisasi adalah wewenang dari pemerintah pusat yang berada
di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain pendelegasian
kepada pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada
pemerintah atau perwakilan daerah, sedang otonomi daerah yang
merupan salah satu wujud desentralisasi, adapun dalam arti luas,
otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan
daerahnya sendiri.
Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan
sebagai mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan
sebagai berdaya. Otonomi daerah dengan demikian berarti
kemandrian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendri (Ubaedilah, dkk.,
2016:170). Menurut Widjaja (2017:76) bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut pelaksanaannya sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan
perundangundangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah
otonomi sendiri adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah
pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka dapat berpatisipasi
dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakan, dan
pengawasan dalam pengelolaan pemerintah daerah dalam
penggunaan sumber daya pengelola dan memberikan pelayanan

8
prima kepada publik. Pengertian otonomi daerah sendiri adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batasan daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari
pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan
angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelakasanaan desentralisasi (Undang-Undang No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintahan Pusat
dan Pemerintahan Daerah). DBH yang ditransfer pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah terdiri dari (2) dua jenis, yaitu dana bagi
hasil pajak dan dana bagi hasil sumber daya alam. Pola bagi hasil
penerimaan tersebut dilakukan dengan persentase tertentu yang
didasarkan atas daerah penghasil.
Penerimaan dana bagi hasil pajak bersumber dari: 1) Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), 2) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) dan 3) Pajak penghasilan pasal 25 dan pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN) dan pajak
penghasilan pasal 21. Sedangkan penerimaan dana bagi hasil
sumber daya alam bersumber dari: 1) Kehutanan, 2) Pertambangan
Umum, 3) Perikanan, 4) Pertambangan Minyak Bumi, 5)
Pertambangan Gas Bumi dan 6) Pertambangan Panas Bumi. Dasar
hukum dana bagi hasil antara lain:

9
a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Biaya Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan.
b. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan
c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1982 tentang Pajak Penghasilan
d. Undang-Undang Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan
e. Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan
Keuangan Daerah.
f. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.
3. Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dalam Konteks
Penerapan Otonomi Daerah
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau atau (DBHCHT)
merupakan dana yang tidak dapat dipisahkan dari konsep Dana Bagi
Hasil (DBH) secara umum yakni konsep otonomi daerah dan
desentralisasi.”Konsep tersebut dijabarkan dalam Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
intinya adalah pelimpahan wewenang kepada daerah untuk
mengatur semua urusan rumah tangga sendiri kecuali dalam empat
sektor yakni sektor pertahanan dan keamanan, politik luar negeri,
kebijakan moneter, dan agama. Salah satu konsekuensi adanya
kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut adalah
pelimpahan kekuasaan dan tugas dalam hal keuangan dari
Pemerintah pusat ke Pemerintah daerah. Dengan adanya
konsekuensi tersebut maka Undang-undang tentang Otonomi
Daerah yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah
Daerah dan diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 33 Tahun

10
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah. Undang-undang ini menyatakan bahwa kegiatan
otonomi daerah mewajibkan adanya perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah meliputi pembagian
keuangan yang adil, transparan dan proporsional sesuai dengan
kebutuhan, kondisi dan potensi daerah.
Pada Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah pasal 1 ayat (19) menjelaskan bahwa: dana perimbangan
adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi. Kemudian dijelaskan kembali dalam
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah pasal
10 ayat (1) tentang dana perimbangan, dimana dana perimbangan
terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi
khusus.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah pasal 1 ayat (20) menjelaskan bahwa Dana Bagi Hasil
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi. Selanjutnya di dalam Undang-undang tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah pasal 11 ayat (2) merinci Dana Bagi Hasil bersumber dari
pajak, yakni Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea perolehan Hak

11
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan Pajak Penghasilan (PPh).
Kemudian pasal 11 ayat (3) merinci Dana Bagi Hasil Bersumber dari
Sumber Daya Alam, yaitu kehutanan, pertambangan umum,
perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi,
dan pertambangan panas bumi.
Namun, di dalam undang-undang tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah tidak
mencantumkan pendapatan negara dari cukai hasil tembakau
sebagai salah satu sumber dana bagi hasilnya. Jika dilihat dari
konsep dana bagi hasil sebagai bagian dari dana perimbangan
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi,
seharusnya cukai hasil tembakau masuk kedalam Undang-undang
Perimbangan Keuangan. Realitanya, DBHCHT diatur secara terpisah
dalam Undang-undang Cukai Tahun 2007 Pasal 66A tentang alokasi
dana bagi hasil cukai hasil tembakau. Dimana Pasal 66A ayat (1)
menjelaskan bahwa alokasi negara dari cukai hasil tembakau yang
dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil
tembakau sebesar 2% (dua persen) yang digunakan untuk mendanai
peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan
lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan/atau
pemberantasan barang kena cukai ilegal. Kemudian ayat (2)
menjelaskan alokasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau
sebagaimana ditetapkan berdasarkan realisasi alokasi cukai hasil
tembakau pada tahun berjalan. Ayat (3) menjelaskan bahwa
Gubernur mengelola dan menggunakan dana bagi hasil cukai hasil
tembakau dan mengatur pembagian dana bagi hasil cukai hasil
tembakau kepada bupati/walikota di daerahnya masing-masing
berdasarkan besaran kontribusi alokasi cukai hasil tembakaunya.
Ayat (4) menjelaskan pembagian dana bagi hasil cukai hasil
tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
persetujuan Menteri, dengan komposisi 30% (tiga puluh persen)

12
untuk provinsi penghasil, 40% (empat puluh persen) untuk
kabupaten/kota daerah penghasil, dan 30% (tiga puluh persen) untuk
kabupaten/kota lainnya.
Pemerintah Kabupaten Madiun sendiri juga telah mengeluarkan
Peraturan Bupati Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Kabupaten
Madiun. Pada peraturan Bupati tersebut salah satunya menyatakan
bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dapat dipergunakan
untuk perencanaan dan peningkatan pembangunan ekonomi dan
sosial.
4. Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Sebagai
Sumber Pendanaan Penanganan Bencana Wabah Penyakit
Akibat Pandemi Covid-19
Berkaitan dengan biaya penanganan pandemi Covid-19,
Pemerintah daerah Kabupaten Madiun telah mengeluarkan
Keputusan Bupati Nomor 188.45/252/4102.013/2020 tentang Status
Keadaan Tertentu Darurat Bencana Wabah Penyakit Akibat Covid-
19 di Kabupaten Madiun. Salah satu keputusan yang ditetapkan
berkaitan dengan pembiayaan penanganan Covid-19 di Kabupaten
Madiun, dinyatakan bahwa segala biaya yang dikeluarkan akibat
ditetapkannya keputusan dibebankan pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Kabupaten Madiun Tahun Anggaran 2020.
Salah satunya adalah pada pos Belanja DBHCHT (Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau).
Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau (DBHCHT)
merupakan dana yang bersifat khusus dari Pemerintah Pusat yang
dialokasikan ke Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi ataupun
Pemerintah Kabupaten/Kota) yang merupakan penghasil cukai hasil
tembakau. Hal ini sesuai dengan Peraturan Daerah yang mengatur
tentang dana daerah penghasil cukai dan pembagiannya.

13
Berkaitan dengan penggunaan dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau sebagai sumber pendanaan penanganan bencana wabah
penyakit akibat pandemi Covid-19, pemerintah melalui Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.07/2020 tentang
Penggunaan, Pemantauan, dan Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai
Hasil Tembakau menyatakan bahwa CHT yang digunakan minimal
50% untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), dapat digunakan
oleh Pemerintah Daerah untuk kegiatan pencegahan dan/atau
penanganan Covid-19. Di dalam beleid tersebut dinyatakan bahwa
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) dan Dana Bagi
Hasil Sumber Daya Alam (DBHSDA) dapat digunakan oleh
pemerintah daerah untuk penanganan dan pencegahan penularan
Covid-19. Penyelamatan masyarakat dari penularan Covid-19
menjadi prioritas utama dan menjadi kunci utama bagi pemulihan
ekonomi.

D. ANALISIS PERMASALAHAN
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagai
sumber pendanaan penanganan bencana wabah penyakit akibat
pandemi Covid-19 menghadapkan pemerintah sebagai penyelenggara
negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya
pada situasi yang dilematis. Di satu sisi, cukai rokok mempunyai posisi
strategis untuk menyokong APBN (termasuk APBD) khususnya dapat
digunakan untuk melakukan pembinaan lingkungan sosial (misalnya
program pengentasan kemiskinan), di sisi lain pemerintah, khususnya
pemerintah daerah membutuhkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
Tembakau sebagai sumber pembiayaan penanganan pandemi Covid-
19. Kebutuhan pembiayaan penanganan pandemi Covid-19 sangat
tinggi, namun harapan perolehan ”uang” dari sistem industri rokok tetap
pula didambakan oleh jutaan penduduk, termasuk oleh Pemda (APBD)
di daerah produsen rokok dan tembakau. Keadaan demikian sering

14
menggiring pada statemen yang menyatakan bahwa cukai rokok itu
adalah tax of sin. Oleh karena itu, perlu adanya kajian tentang
kebijakan pengaturan (formulasi) penggunaan alokasi Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) terkait dengan sumber dana bagi
penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi Covid-19 di
Kabupaten Madiun.

E. DISKUSI HASIL ANALISA/PEMBAHASAN


Krisis kesehatan akibat Covid-19 membawa dunia ke dalam resesi
ekonomi. Kondisi tersebut sejatinya akan menyebabkan ekonomi dunia
menanggung beban dalam bentuk perlambatan ekonomi sebagai
dampak Covid-19. Oleh sebab itu, krisis kesehatan akibat Covid-19
bertambah dengan potensi munculnya krisis ekonomi (Joseph, 2020:3).
Dengan demikian, melihat kondisi negara Indonesia saat ini bahwa
dampak ekonomi yang terjadi akibat dari Covid-19 misalnya dapat
terlihat dari data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada kuartal I tahun 2020 hanya sebesar 2,97%
(dua koma sembilan puluh tujuh persen) Year-on-Year (YoY) (BPS,
2020:1). Pertumbuhan ekonomi tersebut mengalami penurunan
dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2019 YoY yaitu
sebesar 5,07% (lima koma nol tujuh persen) dan kuartal IV-2019 yaitu
sebesar 4,97% (empat koma sembilan puluh tujuh persen). Data Badan
Pusat Statistik mencatat pada 5 Agustus 2020 bahkan menyebut
terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan II-2020
sebesar -5,32 persen. Kondisi yang menunjukkan dampak Covid-19
terhadap perekonomian yang cukup signifikan bahkan dianggap dapat
mengarah kepada resesi ekonomi.
Kondisi tersebut membuat pemerintah Indonesia kemudian
melakukan berbagai pilihan-pilihan hukum atas dasar kebijakan yang
ditujukan dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Salah satunya
melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang

15
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid-19)  dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang. Kehadiran undang-undang
tersebut kemudian memberikan dampak baik yang berisfat substantif
maupun prosedural dalam segi tata kelola pemerintahan yang salah
satunya yaitu kebijakan pengelolaan keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah yang mengalami beberapa transformasi khususnya
dalam konteks refocussing dan realokasi, yaitu pemusatan kembali
serta pengalihan terhadap APBD (Anggaran Pendapat Belanja
Daerah).
Perlu di pahami bahwa penanganan pandemi Covid-19 sebagai
keadaan darurat suatu negara sejatinya dapat didasarkan kepada 3
(tiga) pendekatan yaitu (Vlieg, et.al., 2017:3): (1) pelayanan kesehatan
(health services), (2) pemenuhan kebutuhan fiskal (fulfillment of fiscal
needs), (3) percepatan penanganan dalam kegiatan sosial (acceleration
of handling in social activities). Ketiga pendekatan tersebut sejatinya
tercermin dalam beberapa produk hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19. Seperti
kehadiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan.
Kemudian, dalam bidang ekonomi terdapat Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis
Sistem Keuangan. Kedua peraturan tersebut memang dapat ditujukan
dalam menjalankan proses penanganan bencana kedaruratan seperti
saat Covid-19 ini, sedangkan dalam konteks kedaruratan pilihan
kedaruratan suatu negara itu dapat dilihat dari 3 (tiga) bentuk, antara
lain yaitu (Ginsburg dan Versteeg, 2020:2): (1) The declaration of a
state of emergency under the constitution, (2) The use of existing

16
legislation with public health or national disaster (legislative model),
(3) The passing of new emergency legislation. Indonesia sendiri
menggunakan model yang kedua yaitu menggunakan undang-undang
yang ada dengan memperhatikan kesehatan masyarakat (model
legislatif). Hal ini dibuktikan dengan kehadiran Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease
2019 (Covid-19)  dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem
Keuangan Menjadi Undang-Undang yang kehadiran undang-undang
tersebut dibentuk dalam menghadapi kondisi kedarurat akibat Covid-19
yang dilami oleh Indonesia.
Selanjutnya berdasarkan data yang diperoleh dari Satuan Tugas
Penanganan Covid-19 mencatat pada bulan Januari 2021 jumlah
penderita Covid-19 di Indonesia sudah menyentuh pada angka 858.043
kasus dengan jumlah pasien sembuh 703.464 orang dan 24.951 jiwa
meninggal dunia. Melihat kondisi tersebut, dalam hal ini selain
pemerintah Indonesia melakukan pemenuhan hak atas kesehatan
terhadap setiap orang yang terdampak pandemi Covid-19 juga
terhadap pemenuhan fiskal (fulfillment of fiscal needs) melalui
kehadiran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Kehadiran undang-
undang tersebut kemudian berimplikasi terhadap  perubahan terkait
postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2020
yaitu dalam pendapatan negara, belanja negara serta pembiayaan.
Kemudian, pemerintah mengalokasikan dana sebesar 56,57 triliun
rupiah dari dana APBN untuk menangani dampak penyebaran (Covid-
19). Di samping itu, dalam menghadapi dampak tersebut, realisasi
transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) juga dilakukan dari dana
APBN, sampai dengan Maret 2020 mencapai 174,50 triliun rupiah yang
meliputi transfer ke daerah  sebesar 167,30 triliun dan dana desa 7,20
triliun. Dengan demikian, kondisi tersebut akan mempengaruhi jalannya

17
hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam menangani
pandemi Covid-19, yaitu terkait dengan hubungan keuangan dalam
mekanisme pendanaan yang saat ini difokuskan sebagai upaya untuk
dalam menangani pandemi Covid-19.
Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
berdasar kepada pemahaman bahwa daerah memiliki hak untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan daerah. Berjalannya hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah tidak terlepas dari konsep
desentralisasi fiskal. Dalam proses desentralisasi fiskal pemerintah
daerah diberikan kekuasaan untuk meningkatkan dan mempertahankan
sumber daya keuangan untuk memenuhi tanggung jawab daerah
tersebut. Melakukan refocusing atau pemusatan kembali dana APBD
serta proses realokasi misalnya dilakukan pemerintah daerah sebagai
solusi dalam melakukan penanganan pandemi Covid-19. Realokasi
APBD dapat dipahami sebagai proses perubahan atau mengalihkan
arah tujuan dari suatu kebijakan anggaran yang digunakan berdasarkan
kebutuhan yang menyangkut proses pendanaan dalam kebijakan
tersebut. Terhadap proses refocusing dana APBD misalnya, jumlah
dana belanja tidak terduga yang dilakukan pemerintah daerah
mencapai angka 24,74 triliun rupiah dan terhadap belanja bantuan
sosial sebesar 38,00 triliun rupiah. Dana tersebut digunakan
pemerintah daerah sebagai upaya untuk menekan dampak pandemi
Covid-19.
Dalam melaksanakan refocusing dan realokasi dana APBD oleh
pemerintah daerah tidak terlepas dari kehadiran Instruksi Menteri
Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2020. Selain itu,
terdapat pula beberapa peraturan terkait yang melandasi pelaksanaan
refocusing dan realokasi dana APBD oleh pemerintah daerah. Oleh
karena itu, tulisan ini mencoba untuk menjelaskan terkait bagaimana
proses refocusing dan realokasi dana APBD, khususnya pada pos

18
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Kabupaten Madiun dalam
pengelolaan keuangan daerah dapat berjalan serta dapat dijadikan
sebagai upaya dalam menanggulangi pandemi Covid-19. Jika ditinjau
dari keberadaannya, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau
(DBHCHT) merupakan salah satu bentuk pendapatan daerah yang
bersumber dari Dana Perimbangan. Berkaitan dengan sumber
pendapatan daerah, komponen terbesar dari Dana Perimbangan
tersebut adalah Dana Alokasi Umum, yaitu dana yang bersumber dari
pendapatan APBD yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
sesuai prioritas nasional.
Secara umum dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah
pemerintah daerah terikat oleh beberapa aturan terkait. Salah satunya
adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.  Hadirnya
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah
merupakan bagian dari subsistem keuangan negara serta menjadi
konsekuensi adanya pembagian tugas dalam hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan daerah. Berjalannya proses perimbangan
keuangan tersebut dapat dilihat dengan kehadiran Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD). APBD ini kemudian menjadi
dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.
Dalam melakukan penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
(APBD) dapat dilalui melalui proses perencanaan dan penganggaran
dalam pengelolaan keuangan daerah. Perencanaan dan
pengganggaran sendiri merupakan proses yang paling krusial dalam
penyelenggaran pemerintahan di daerah. Dengan demikian,
perencanaan dan penganggaran dijadikan suatu proses yang
terintegrasi karena output dari perencanaan terhadap pengelolaan
keuangan daerah adalah penganggaran, termasuk dalam melakukan

19
penyusunan APBD yang kemudian harus ditetapkan melalui peraturan
daerah.
Sejatinya Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
didalamnya memuat 3 (tiga) komposisi, yaitu: pendapatan daerah,
belanja daerah, dan pembiayaan. Terhadap pendapatan daerah
mempunyai 3 (tiga) bagian utama, yaitu: (1) Pendapatan asli daerah
(PAD), (2) Dana perimbangan, (3) Lain-lain pendapatan daerah yang
sah. Ketiga bagian ini yang kemudian memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap proses refocusing dan realokasi dana APBD, diikuti
oleh belanja daerah dan pembiayaan juga ikut menentukan proses
pelaksanaan refocusing dan realokasi dana APBD tersebut. Dengan
melakukan proses refocusing dan realokasi terhadap dana APBD,
maka akan membawa perubahan terhadap struktur anggaran APBD
tesebut. Dalam melakukan perubahan struktur anggaran APBD dapat
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan kemudian
mempertimbangkan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal
316 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa perubahan
terhadap struktur anggaran dalam APBD dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan alasan-alasan, yaitu sebagai berikut:
1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum
APBD;
2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran
antar unit, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
3. Keadaan yang menyebabkan sisa lebih perhitungan anggaran tahun
sebelumnya, harus digunakan untuk pembiayaan dalam tahun
anggaran berjalan;
4. Keadaan darurat dan/atau keadaan luar biasa.
Dasar untuk melakukan perubahan struktur anggaran APBD ini
pada dasarnya hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam satu tahun,
namun dikecualikan dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan

20
perubahan lebih dari 1 (satu) kali dengan syarat sebagaimana diatur
dalam Pasal 316 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah. Syarat tersebut menghendaki bahwa
harus adanya estimasi penerimaan atau pengeluaran dalam APBD
yang mengalamai kenaikan atau penurunan sebesar 50% (lima puluh)
persen. Di samping itu, perubahan tersebut juga dilakukan secara
teknis dengan wewenang yang dimiliki oleh kepala daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dengan demikian, Gubernur,
Bupati/Wali Kota memiliki tanggung jawab serta otoritas dalam
melakukan pengelolaan keuangan daerah terhadap perubahan
anggaran APBD.
Oleh sebab itu, kekuasaan pengelolaan keuangan daerah
dilaksanakan oleh masing-masing kepala satuan kerja pengelola
keuangan daerah selaku pejabat pengelola anggaran pendapatan dan
belanja daerah dan dilaksanakan oleh kepala satuan keja perangkat
daerah (SKPD). Kemudian, memperhatikan pula fungsi stabilisasi
terhadap proses penggunaan instrumen kebijakan pemerintah daerah
dalam mengatur keuangan daerah yang dimiliki oleh DPRD.
Selanjutnya, perubahan struktur anggaran APBD, khususnya pada
penggunaan pos DBHCHT tersebut juga ditetapkan melalui rancangan
peraturan daerah tentang perubahan ABPD setelah ditetapkannya
peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaaan APBD
tahun sebelumnya.
 Namun, saat ini dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2020 kemudian memberikan ketentuan lain mengenai
pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu
(refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, yaitu untuk selanjutnya diatur dengan
Peraturan Menteri Dalam Negeri, mengingat dampak dari adanya
pandemi Covid-19 ini dapat dinilai sebagai keadaan darurat dan luar
biasa, sehingga memerlukan penanganan yang cepat.

21
Sejatinya proses pencegahan dan pengendalian Covid-19 harus
ditempatkan pada prioritas yang paling utama dalam segala kebijakan
pemerintahan. Kehadiran keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri
Dan Menteri Keuangan RI Nomor 119/2814/SJ Nomor
177/KMK/07/2020 memberikan beberapa ketentuan penting terhadap
upaya melakukan percepatan penanganan Covid-19 yang berkaitan
dengan penggunaan APBD, antara lain sebagai berikut:
1. Mewajibkan kepada kepala daerah untuk melakukan penyesuaian
target pendapatan daerah dalam APBD melalui 2 (dua) cara, yaitu:
Pertama, penyesuaian pendapatan transfer ke daerah dan dana
desa (TKDD). Kedua, penyesuaian pendapatan asli daerah.
2. Kepala daerah harus melakukan penyesuaian belanja daerah dalam
rangka pencegahan dan penanganan pandemi Covid-19 terdiri dari 3
(tiga) cara, yaitu: (1) Belanja bidang kesehatan seperti pengadaan
alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis serta penyediaan sarana
dan peralatan layanan kepada masyarakat dan penanganan pasien.
(2) Penyediaan jaringan pengamanan sosial (social safety net)
seperti pemberian bantuan sosial kepada masyarakat kurang
mampu. (3) Penanganan dampak ekonomi.
3. Kepala daerah harus melakukan pengutamaan penggunaan
anggaran dan metode pelaksanaan kegiatan dan anggaran melalui
realokasi penggunaan anggaran honorarium, bantuan sosial dan
hibah untuk kemudian dialihkan menjadi anggaran bantuan sosial
kepada masyarakat miskin yang mengalami penurunan daya beli
akibat pandemi Covid-19.
Selanjunya, terhadap proses refocusing atau pemusatan dana
APBD dapat dilakukan oleh: (1) perangkat daerah yang secara
fungsional terkait dengan antisipasi dan penanganan dampak
penularan Covid-19 di provinsi/kabupaten/kota. (2) Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang melaksanakan fungsi sebagai
penanggulangan bencana di bawah koordinasi Badan Penanggulangan

22
Bencana Daerah (BPBD). Adapun terhadap pelaksanaan refocusing ini
dilakukan melalui penggunaan Belanja Tidak Terduga (BTT),
mengingat BTT ini dapat dilakukan pada masa tanggap darurat
bencana melalui pengajuan rencana kebutuhan belanja oleh perangkat
daerah. Dalam melakukan refocusing dan realokasi dana APBD pada
pos DBHCHT untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19
sebagai wujud adanya pertanggungjwaban daerah, maka pemerintah
daerah juga memiliki kewajiban untuk melakukan: (1) Laporan
penyesuaian APBD, (2) Laporan pencegahan dan/atau penanganan
Covid-19 yang berisi laporan kinerja bidang kesehatan untuk
pencegahan dan/atau penanganan Covid-19 dari pemerintah daerah
serta laporan bantuan sosial untuk pemberian bantuan sosial dan/atau
ekonomi kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.

F. PENUTUP
Berdasarkan uraian terkait proses refocusing dan penggunaan
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagai sumber pendanaan
penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi Covid-19 di
Kabupaten Madiun, penulis memberikan kajian terhadap 2 (dua) hal
penting, yaitu:
1. Pertama, saat melakukan proses refocusing serta penggunaan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau maka akan memberikan
perubahan terhadap struktur anggaran APBD, sehingga pemerintah
daerah dalam hal ini harus tetap memperhatikan otoritas serta
kewenangannya dalam mengelola keuangan daerah serta tetap
menjaga fungsi stabilisasi terhadap pengelolaan keuangan daerah.
Mengingat mekanisme untuk kemudian melakukan refocusing dan
penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau pada masa
pandemi Covid-19 memberikan pengaturan arah kebijakan yang
baru.

23
2. Kedua, terhadap pelaksanaan refocusing dan penggunaan Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau sebagai sumber pendanaan
penanganan bencana wabah penyakit akibat pandemi Covid-19 di
Kabupaten Madiun harus secara tepat dilaksanakan oleh pemerintah
daerah sesuai dengan kebutuhan daerah dalam menanggulangi
dampak yang terjadi akibat Covid-19. Di samping itu, pemerintah
Kabupaten Madiun juga harus tetap melakukan penyesuaian
terhadap anggaran APBD yang kemudian mengalami perubahan
akibat proses refocusing dan realokasi dengan memberikan laporan
penyesuaian tersebut kepada pemerintah pusat sebagai bentuk dari
pertanggungjawaban daerah dalam melaksanakan pengelolaan
keuangan daerah. Tujuannya terhadap proses perubahan struktur
anggaran dalam APBD dapat dilakukan dengan tetap
memperhatikan kebutuhan daerah yang bersifat prioritas serta
kesesuaian dengan arah dan kebijakan yang berlaku saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

BPS (Badan Pusat Statistik). 2020. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia


Triwulan I-2020. Berita Resmi Statistik No. 39/05/Th. XXIII. Jakarta:
Badan Pusat Statistik.
Ginsburg, Tom dan Versteeg, Milai. 2020. “The Bound Executive:
Emergency Powers During The Pandemic”. Virgina Public and Legal
Theory Research Paper, 52: 747.
Sudaryo, Yoyo, dkk. 2017. Keuangan di Era Otonomi Daerah. Yogyakarta:
ANDI Offset.
Suparmoko. 2002. Ekonomi Publik untuk Keuangan dan Pembangunan
Daerah. Edisi 1. Yogyakarta: ANDI Offset.
Suteki dan Putri, Nastiti Rahajeng. 2020. Kebijakan Pengaturan
Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Dalam
Program Pembinaan Lingkungan Sosial Guna Pengentasan
Kemiskinan. Administrative Law & Governance Journal. Volume 3
Issue 1. hal. 124-152.
Ubaedilah, dkk. 2016. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta:
Indonesia Center for Civic Education.
Vlieg, Willemijn L. et.al. 2017. “Comparing National Infectious Disease
Surveillance System: China and the Netherlands”. BMC Public
Health, Edisi 17:415..

24
Widjaja. 2017. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

25

Anda mungkin juga menyukai