Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS KEBIJAKAN MONETER MELALUI FENOMENA ATAU

STUDY KASUS MASA PANDEMI COVID-19


Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah Moneter Policy
Dosen Pengampu : Mega Mariska, S.E.,M.E

Disusun Oleh:

Kelompok 12

Putra Kurniawan 2151020242


Ririn Selas Mervina 2151020264
Riza Alvira 2151020267

PRODI PERBANKAN SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN INTAN LAMPUNG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang karena berkat rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-
Nya sehingga dapat menyelesaikan makalah tentang “ANALISIS KEBIJAKAN MONETER
MELALUI FENOMENA ATAU STUDY KASUS MASA PANDEMI COVID 19” ini dengan
baik, meskipun dapat dipastikan banyak kekurangan didalamnya tetapi semoga dapat berguna
dalam proses belajar kita. Dan Alhamdulillah makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu sesuai
dengan yang diharapkan saya ucapakan terimakasih kepada ibu Mega Mariska,S.E.,M.E selaku
dosen pengampu mata kuliah Moneter Policy yang senantiasa membimbing kami dalam
penyusunanan makalah ini.

Dalam Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Moneter Policy
dengan tujuan agar mahasiswa dan mahasiswi memahami dan mengetahui materi dari makalah
tersebut. Tentunya makalah ini masih jauh dari kata sempurna, saran dan kritik yang sifatnya
membangun sangat saya harapkan.Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini bisa menjadi
bahan bacaan dan menjadi referensi dalam pembelajaran Lembaga dan Keuangan Syariah.

Bandar Lampung, 19 Mei 2023

Kelompok 12

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2
1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. .3


2.1 Dampak Pandemi terhadap stabilitas moneter di Indonesia………………..3
2.2 Indikator Kebijakan Moneter di masa pandemi…………………………….6
2.3 Efektivitas kebijakan moneter pada masa pandemi………………………..11

BAB III PENUTUP. ........................................................................................ 15


3.1 Kesimpulan. ................................................................................................ 15

DAFTAR PUSTAKA. ..................................................................................... 17

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pandemi merupakan kondisi penyebaran jenis penyakit tertentu yang terjadi lebih dari satu negara.
Wabah ini telah menyebar hampir seluruh bagian wilayah di dunia. Kondisi pandemi
menggambarkan suatu keadaan penyebaran penyakit yang di luar kendali. Penyebaran Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) melebihi kapasitas epidemi. Hal tersebut menjadikan status penyebaran
COVID-19 telah menjadi wabah pandemi.

Untuk menjaga stabilitas moneter, Indonesia menerapkan kebijakan makroprudensial dan


mikroprudensial sejak tahun 2000 Menurut Rapat Dewan Gubernur BI (September 2020), nilai
tukar Rupiah relatif terkendali di tegah tingginya tekanan pada Agustus-September 2020. Hingga
16 September 2020, nilai tukar Rupiah tercatat depresiasi 1,58% secara point to point
dibandingkan dengan akhir Juli 2020, atau terdepresiasi 6,42% dari akhir Desember 2019.
Pelemahan Rupiah pada Agustus-September 2020 antara lain dipengaruhi masih tingginya
ketidakpastian pasar keuangan, baik karena faktor global maupun sejumlah risiko domestik. Ke
depan, BI memandang nilai tukar Rupiah berpotensi kembali menguat seiring levelnya yang secara
fundamental masih undervalued didukung inflasi yang rendah dan terkendali, deficit transaksi
berjalan yang rendah, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia
yang menurun. BI terus memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah sesuai dengan
fundamentalnya dan bekerjanya mekanisme pasar, melalui efektivitas operasi moneter dan
ketersediaan likuiditas di pasar.

Penyebaran virus ini memberikan dampak negatif terhadap aktivitas perdagangan,pariwisata,


transportasi, bahkan hampir semua sektor. Penutupan banyak aktivitasekonomi, termasuk
penutupan operasi pabrik-pabrik yang ada, menyebabkan rendahnyatingkat persediaan secara
umum. Maka seperti yang digambarkan dalam teoripermintaan, ketika persediaan berkurang
sementara permintaan meningkat maka akanterjadi inflasi. Indonesia sendiri pernah memiliki
sejarah panjang terhadap inflasi. Bahkan tahun1960-an, tingkat inflasi di Indonesia mencapai 600
persen yang berimbas pada krisisekonomi. Krisis ekonomi itu sendiri terlihat dari kondisi beberapa

1
indikator makro, misalnya melemahnya nilai tukar mata uang. Kondisi saat nilai tukar rupiah
cenderungmelemah dari waktu ke waktu seringkali menimbulkan ekspektasi bahwa Indonesiaakan
kembali mengalami krisis moneter.

Saat bank indonesia secara bertahap menurunkan suku bunga acuan, indikator uang beredar
mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Berada pada angka 6.136,6 triliun rupiah pada
desember 2019, pertumbuhan uang beredar meningkat signifikan menjadi 6.900 triliun rupiah pada
bulan yang sama di tahun 2020. Jika ini dikaitkan dengan penurunan suku bunga yang ditetapkan
bank indonesia, maka hal ini menjadi suatu hal yang konsisten. Hal ini karena, penurunan suku
bunga diharapkan merespon masyarakat agar memanfaatkan pinjaman di bank (untuk produktif
atau konsumtif), yang selanjutnya akan terjadi pertumbuhan uang beredar. Namun, apalah artinya
jika masyarakat banyak memiliki uang (karena pertumbuhan uang beredar), namun tidak
berdampak pada pertumbuhan ekonomi riil (barang dan jasa). Munculnya fenomena dari
pengamatan sederhana ini, menarik untuk dikaji bagaimana distribusi uang beredar yang ada di
masyarakat. Indikator pertumbuhan uang beredar biasanya memiliki hubungan yang positif
dengan tingkat inflasi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja Dampak pandemi terhadap stabilitas moneter di Indonesia ?
2. Apa saja Indikator kebijakan moneter pada masa pandemi ?
3. Apa saja Efektivitas kebijakan moneter di masa pandemi ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Dampak pandemi terhadap stabilitas moneter di Indonesia
2. Untuk mengetahui Dampak kebijakan moneter pada masa pandemi
3. Untuk mengetahui efektivitas kebijakan moneter di masa pandemi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dampak Pandemi terhadap stabilitas moneter di Indonesia


A. Pandemi Covid-19 dan Dampaknya

Indonesia melaporkan kasus COVID-19 pertama yang dikonfirmasi pada 2 Maret 2020. Pemerintah
mengadopsi berbagai tindakan penahanan, termasuk larangan sementara perjalanan udara dan laut
domestik dan internasional, pemeriksaan di pelabuhan masuk, penutupan sekolah, dan pembatasan
lain pada acara publik. Pemerintah juga melarang tradisi mudik pada dua hari raya. Upaya karantila
lokal (PSBB) dilakukan untuk menekan penyebaran virus dari Jakarta dan daerah berisiko tinggi
lainnya. Aktivitas ekonomi di Indonesia dibuka kembali. Pada bulan Juni, Indonesia mulai
melonggarkan beberapa langkah penahanan. Kota Jakarta memulai fase transisi dari pembatasan
sosial skala besar pada tanggal 5 Juni dan selanjutnya melonggarkan pembatasan pada mal (pada 15
Juni) dan taman serta area rekreasi (pada 20 Juni). Namun, kota Jakarta telah memperpanjang fase
transisi dari pembatasan sosial skala besar hingga 10 September dengan tidak adanya penurunan
berkelanjutan dalam kasus virus baru setiap hari. Pada 9 September, Gubernur Jakarta
mengumumkan bahwa pembatasan sosial skala besar akan diperketat lebih lanjut untuk menahan
penyebaran virus. 1

Pertumbuhan Indonesia, menurut IMF (2020), semakin melambat pada kuartal kedua tahun 2020
menjadi -5,3 persen y / y (dari 3 persen Q1: 2020) atau -25 persen q / q, saar, sebagian besar didorong
oleh penurunan konsumsi dan investasi karena langkah-langkah penahanan menyebabkan gangguan
pada mobilitas dan aktivitas. Tekanan eksternal mereda di bulan April dan Mei, meskipun beberapa
volatilitas tetap ada. Dalam kebijakan fiskal, selain dua paket fiskal pertama sebesar Rp33,2 triliun
(0,2 persen dari PDB), pemerintah Indonesia mengumumkan paket tambahan sebesar Rp 405 triliun
(2,6 persen dari PDB) pada tanggal 31 Maret 2020 yang kemudian diperluas menjadi Rp677,2 triliun
(4,2 persen dari PDB) pada 4 Juni 2020, sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional

1
Al-Kharaj, “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Stablitas Moneter Indonesia”, Jurnal Ekonomi, Vol.3 No.1
(2021), hal 19.

3
(PEN). . Paket fiskal terdiri dari (i) dukungan kepada sektor perawatan kesehatan untuk
meningkatkan kemampuan pengujian dan pengobatan untuk kasus COVID-19; (ii) peningkatan
manfaat dan cakupan yang lebih luas dari skema bantuan sosial yang ada untuk rumah tangga
berpenghasilan rendah seperti bantuan makanan, transfer tunai bersyarat, dan subsidi listrik; (iii)
perluasan tunjangan pengangguran, termasuk bagi pekerja di sektor informal, (iv) keringanan pajak,
termasuk untuk sektor pariwisata dan individu (dengan pagu pendapatan); dan (v) penurunan
permanen tarif pajak penghasilan badan dari 25 persen menjadi 22 persen pada tahun 2020-2021
dan 20 persen mulai tahun 2022. Selain kebijakan pajak dan belanja, paket fiscal termasuk suntikan
modal ke BUMN dan subsidi bunga, kredit penjaminan, dan dana restrukturisasi pinjaman untuk
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Di bidang kebijakan moneter, BI telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 100 bps secara
kumulatif pada bulan Februari, Maret, Juni, dan Juli 2020 menjadi 4 persen. BI juga mengumumkan
langkah-langkah lain untuk meringankan kondisi likuiditas, antara lain: (i) penurunan rasio GWM
bank; (ii) meningkatkan durasi maksimum untuk operasi repo dan reverse repo (hingga 12 bulan);
(iii) memperkenalkan lelang repo harian; (iv) meningkatkan frekuensi lelang FX swap tenor 1, 3, 6
dan 12 bulan dari tiga kali seminggu menjadi lelang harian; dan (v) meningkatkan ukuran operasi
pembiayaan kembali mingguan utama sesuai kebutuhan. 2

BI, menurut IMF (2020), juga menyesuaikan regulasi makroprudensial untuk memudahkan kondisi
likuiditas dan mendukung stabilitas pasar obligasi. Perpres tersebut telah memperluas kewenangan
BI untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dalam menghadapi guncangan COVID-19, antara lain
dengan memfasilitasi bantuan likuiditas BI kepada perbankan, mengizinkan BI untuk membeli
obligasi pemerintah di pasar perdana, dan mendanai lembaga penjamin simpanan. (LPS) untuk
masalah solvabilitas bank. Pemerintah dan BI mengumumkan pada 6 Juli skema pembagian beban
untuk membantu mendanai respons ekonomi terhadappandemi. Skema tersebut, yang diharapkan
dapat diterapkan hanya pada tahun 2020, mencakup (i) pembelian obligasi pemerintah oleh BI
dengan kupon sebesar kebijakan BI untuk membiayai belanja prioritas barang publik seperti

2
Al-Kharaj, “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Stablitas Moneter Indonesia”, Jurnal Ekonomi, Vol.3 No.1
(2021), hal 23.

4
kesehatan dan perlindungan sosial; (ii) biaya bunga anggaran dari dukungan pengeluaran untuk
perusahaan.

akan disubsidi oleh transfer BI ke anggaran; dan (iii) BI akan bertindak sebagai pembeli pilihan
terakhir untuk obligasi mata uang lokal jangka panjang untuk membiayai pengeluaran lainnya.
Pemerintah menerbitkan obligasi pertama dengan skema bagi hasil pada 6 Agustus. BI memberikan
pendanaan kepada LPS melalui transaksi repo dan pembelian obligasi pemerintah milik LPS.

BI juga telah mengambil langkah-langkah untuk lebih memperkuat pendalaman keuangan, akses ke
layanan keuangan, dan operasi moneter, antara lain dengan memfasilitasi kolaborasi antara industri
perbankan dan perusahaan Fintech, mendukung pembayaran digital di berbagai sektor, dan
memperkenalkan instrumen yang sesuai dengan syariah. Untuk meredakan volatilitas pasar saham,
regulator OJK telah memperkenalkan kebijakan pembelian kembali saham baru (memungkinkan
perusahaan yang terdaftar untuk membeli kembali saham mereka tanpa pemegang saham
sebelumnya.

Hasil penelitian Junaedi dan Faisal (2020) menyimpulkan bahwa pandemic berdampak pada pasar
modal di Indonesia. Selama pandemic, pergerakan indek saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Jakarta dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal. Secara internal kondisi pandemic Covid-
19 dan kebijakan social distancing (WFH dan PSBB) di dalam negeri mempenagruhi dinamika pasar
modal (terindikasi dari pergerakan indek IHSG di BEJ). Secara eksternal, pandemic Covid-19 di
Cina dan Spanyol ikut mempengaruhi dinamika pasar modal di Indonesia (indeks IHSG). Demikian
juga dinamika pasar saham di Hongkong (Hangseng), London (FTSE100) dan News York
(NASDAQ). Pandemi coronavirus di Indonesia, Cina, dinamika pasar saham Nasdaq di New York,
dan kebijakan social dintancing (WFH dan PSBB) berdampak negative terhadap pergerakan indeks
saham IHSG. Sementara pandemic di Spanyol, dinamika pasar modal di Hongkong (Hangseng) dan
London (FTSE100) justru berdampak positif terhadap kondisi pasar modal di Indonesia (BEJ).

5
2.2 Indikator Kebijakan Moneter di masa pandemic

A. Produk Domestik Bruto pada Masa Pandemi Covid 19

Produk Domestik Bruto pada tahun 2020 mengalami pertumbuhan negatif di angka (-2,07) persen
(c-to-c). Angka negatif ini menjadi yang pertama sejak terakhir kali Indonesia mengalaminya pada
tahun 1998. Dilihat dari perspektif lapangan usaha, lini sektor penghitungnya berada diangka
negatif kecuali sektor pertanian yang masih menunjukkan angka positif 1,75 persen. Diantara
sektor-sektor pendukung tersebut, sektor perdagangan dan reparasi mengalami penurunan paling
tajam yaitu -3,72 persen. Sektor yang mengalami penurunan tajam selanjutnya adalah sektor
konstruksi sebesar -3,26. Kemudian sektor lain yang mengalami penurunan adalah sektor industri
pengolahan serta sektor pertambangan dan penggalian masing-masing sebesar -2,93 persen dan -
1,95 persen. Sementara, sektor lainnya menyumbang penurunan PDB sebesar -1,97 persen.3

Di sektor industri pengolahan, penurunan juga terjadi diakibatkan oleh beberapa hal. Supply bahan
baku terutama impor menjadi terbatas karena menurunnya produksi bahan baku dari negara asal.
Daya beli masyarakat yang menurun, membuat produksi dikurangi pada tingkat yang efisien.
Pembatasan jam kerja juga mempengaruhi kapasitas produksi di bawah angka normal.Sektor
pertambangan dan penggalian mengalami penurunan, meskipun angkanya masih lebih baik dari
tiga sektor yang diuraikan sebelumnya. Kebutuhan barang hasil tambang dan galian yang menurun
seiring kebutuhan berbagai sector hasil tambang yan diturunkan. Penurunan kebutuhan ini akibat
terhentinya proyek secara sementara dalam masa pandemi. Meskipun sebetulnya kapasitas
produksi masih dapat ditingkatkan, namun penjualan yang rendah karena permintaan yang
menurun tetap menjadi faktor pemicu menurunnnya pertumbuhan sector pertambangan dan
penggalian.

3
Lathif Hanafir Rifqi, “Analisis Indikator Makro Ekonomi Pada Masa Pandemi Covid-19”,
Jurnal STEI Ekonomi (JEMI), Vol.31 No.1 (Juni, 2022), hal. 22.

6
B. BI Rate pada Masa Pandemi Covid-19

Sejak 2019, BI rate mununjukkan angka yang menurun. Berada pada angka 6% pada januari 2019,

suku bunga turun atau tetap secara bertahap dengan nilai akhir pada angka 3,75% di bulan Desember

2020. BI rate rata-rata pada tahun 2019 adalah 5,63% kemudian turun signifikan pada tahun 2020

dengan ratarata 4,25%. BI rate rata-rata di tahun 2020 memiliki nilai rata-rata paling kecil yaitu

4,25%. Ini merupakan rata-rata terendah dari tahun-tahun sebelumnya. Sejatinya suku bunga yang

rendah akan menstimuli investor untuk bergairah memanfaatkan fasilitas pinjaman dengan jasa

rendah. Namun, kondisi perekonomian yang penuh ketidakpastian membuat nilai investasi sangat

dipengaruhi oleh faktor lain selain tingkat suku bunga.4

BI melihat perekonomian Indonesia perlu terus dipulihkan agar mengalami pertumbuhan positif
setelah terpuruh akibat pandemi covid 19. Penuruan ini diharapkan dapat diikuti oleh lembaga
keuangan, sehingga angka pembiayaan untuk sektor produktif prioritas terus meningkat. Jika
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi, kebijakan suku bunga tidak pernah
mengalami kenaikan sejak januari 2019. BI terus menurunkan atau mempertahankan suku bunga

4
Lathif Hanafir Rifqi, “Analisis Indikator Makro Ekonomi Pada Masa Pandemi Covid-19”,
Jurnal STEI Ekonomi (JEMI), Vol.31 No.1 (Juni, 2022), hal.24.

7
karena melihat potensi sektor produktif yang dapat tumbuh secara cepat setidaknya selama tahun
2019. Penuruan suku bunga pada tahun 2020 tetap konsisten dilakukan dengan
mempertimbangkan perekonomian yang lesu karena pandemi covid 19. Kebijakan ini juga
konsisten dengan angka inflasi yang rendah pada tahun 2020.

Berbeda dengan tahun 2017 dan 2018, inflasi yang tinggi menyebabkan bank Indonesia cenderung
menaikkan angka suku bunga. Gairah masyarakat Indonesia yang tumbuh tinggi sehingga produksi
dan konsumsi meningkat membuat kebutuhan domestic naik signifikan. Kondisi ini memicu
meningkatknya angka pinjaman uang di bank sehingga menambah uang beredar yang selanjutnya
berdampak pada inflasi. BI rate sejak 2019 selalu diturunkan secara bertahap dengan rata-rata
menetapkan angka 0,25 basis poin sebagai angka peubah. Penurunan ini masih dalam batas kehati-
hatian agar industri kuangan tidak mengalami keterkejutan. Keterkejutan akan berdampak pada
persaingan pasar keuangan yang tidak sehat. Salah satu akibatnya adalah munculnya spekulan
pasar uang yang mamanfaatkan perubahan suku bunga yang drastis.

C. Uang Beredar pada Masa Pandemi Covid-19

uang adalah alat tukar yang bertujuan mempercepat pertukaran barang dan jasa. Jika pertukaran
dapat berjalan dengan cepat, maka akan terjadi percepatan pertumbuhan produksi dan konsumsi,
selanjutnya menaikkan pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia adalah pihak yang menjadi
penanggung jawab dalam peredaran uang di Indonesia. Peredaran uang dikontrol dengan
memperhatikan neraca moneter (Ascarya: 2002). Mekanisme kerja neraca moneter adalah melihat
perbandingan antara perubahaan sektor riil dan sektor moneter agar terjadi keseimbangan.
Ketidakseimbangan akan memunculkan masalah makro ekonomi. Jika supppy uang terlalu tinggi
terhadap nilai pertumbuhan sector riil, maka akan terjadi inflasi. Sebaliknya, jika supply uang
beredar rendah, maka sektor riil tidak dapat berjalan dengan cepat, sehingga terjadi perlambatan
ekonomi.

8
Jumlah uang beredar dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Jumlah Uang beredar tahun
2020 menunjukkan pertumbuhan yang cukup tajam dibandingkan dengan pertumbuhan diantara
tahuntahun sebelumnya. Kenaikannya sekitar 700an triliun rupia yang pada beberapa tahun
sebelumnya kenaikan tidak ada yang lebih dari 500 triliun dalam perbandingan year on year (yoy).
Fenomena ini konsisten dengan penurunan BI rate yang dilakukan BI mulai tahun 2019 hingga
tahun 2020. 5

BI rate memicu bank-bank menurunkan suku bunga, sehingga pembiayaan diharapkan


meningkat.Namun, jika ini dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi, maka tujuan bank Indonesia
dalam menurunkan suku bunga belum tercapai. Hal ini merujuk pada penelitian yang menemukan
korelasi positif antara uang beredar dengan pertumbuhan ekonomi (Zakiah & Usaman: 2019). Ada
signal bahwa uang yang beredar di masyarakat digunakan untuk kegiatan yang tidak produktif.
Hal ini ditunjukkan dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang cukup tinggi pada masa pandemi,
sementara nilai kredit menurun jauh. Kondisi ini diperkirakan karena masyarakat terlulu berhati-
hati dalam mengalokasikan uangnya, sehingga uang beredar yang tumbuh hanya “mengendap” di
bank. Hal itu dikuatkan dengan angka kredit yang menurun cukup drastis di tahun 2020.
Kesimpualnnya. Pertumbuhan uang beredar menaik sejalan dengan pertumbuhan dana pihak
ketiga.

5
Lathif Hanafir Rifqi, “Analisis Indikator Makro Ekonomi Pada Masa Pandemi Covid-19”,
Jurnal STEI Ekonomi (JEMI), Vol.31 No.1 (Juni, 2022), hal.26.

9
Fenomena masyarakat yang lebih memilih menempatkan dananya pada giro, deposito atau
tabungan(sebagai DPK) merupakan cerminan dari ketidakpastian ekonomi sektor riil. Mereka rela
mendapatkan nilajasa lebih sedikit dari hasil deposito daripada harus menanggung kerugian jika
berinvestasi pada proyek yang berisiko. Pandemi covid-19 membuat ketidakpastian yang luar
biasa sehingga dana-dana yang tersediamengendap di bank. Hal seperti ini pun harus dicermati
oleh industri keuangan yang mana mereka mengalami penurunan pendapatan akibat permintaan
kredit yang rendah. Sementara, mereka harusmembayar jasa dari dana piohak ketiga sesuai
ketentuan.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi nasional tidak bisa hanya mengandalkan
kebijakan moneter sebagai suatu alat. Kebijakan fiskal harus tetap dikedepankan sebagai suatu
kebijakanyang memiliki dampak riil dalam waktu yang relatif lebih singkat daripada kebijakan
moneter. Kebijakanmoneter biasanya memiliki lag waktu untuk mencapai harapan yang
dikhendaki. Meskipun, BI telahmenerbitkan BI7DRR yang mana proses pencairan likuiditas
pembeli SBI memiliki waktu yang lebihsingkat (kelipatan 7 hari).

D. Inflasi pada Masa Pandemi Covid-19


Inflasi pada tahun 2020 menunjukkan angka terendah yaitu 1,68 persen. Sejak era reformasi nilai
ini merupakan yang paling rendah. Selama tahun 2020 terjadi 9 bulan mengalami inflasi dan 3
bulan mengalami deflasi. Ketiga bulan yang mengalami deflasi adalah bulan juli, agustus, dan
september. Di ketiga bulan tersebut pembatasan kegiatan masyarakat sedang digalakkan oleh
pemerintah sehingga berdampak pada lambatnya perekonomian. Bulan juli dan agustus yang
biasanya memiliki nilai inflasi tinggi karena kebutuhan pendidikan dan rekreasi, tahun ini
mengalami deflasi. Ada dugaan bahwa beberapa masyarakat menunda pendidikan dikarenakan
tidak puas dalam menjalani pendidikan secara daring. Di samping itu, pada bulan juli dan agustus
yang biasanya sektor rekreasi, olahraga dan budaya menyumbang angka inflasi tinggi. Pada tahun
2020 nilainya menurun karena pembatasan kegiatan masyarakat. Pusat rekreasi banyak yang
ditutup sementara, industri olahraga nasional ditunda, serta parade kebudayaan juga ditiadakan.

10
Lesunya ekonomi akibat pandemi diduga menjadi penyebab utama angka inflasi yang rendah.
Meskipun sebetulnya angka inflasi yang kecil adalah nilai yang diharapkan oleh otoritas moneter,
namun disisi lain angka inflasi yang rendah biasanya menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang
rendah pula. Transaksi barang dan jasa diperkirakan melambat karena banyak perusahaan yang
mengurangi produksinya. Hal ini juga dikarenakan masyarakat yang cenderung mengurangi
konsumsi dikarenakan menurunnya pendapatan.

2.3 Efektivitas kebijakan moneter pada masa pandemi


Transmisi kebijakan moneter merupakan penelitian yang sangat menarik karena menegaskan
apakah sebuah kebijakan yang dilakukan sudah tepat atau tidak dalam menjawa permasalahan
pekrekonomian. Penelitian mengenai ini cukup banyak dilakukan di dalam maupun luar negeri.
Beragam penelitian dengan pendekatan yang berbeda mencoba membuktikan jalur nilai tukar
sebagai intermediari yang mempengaruhi perekonomian segara agregat. Rodrik melakukan
penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar dan menemukan bahwa
perubahan nilai tukar menstimulasi pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Sementara itu Rossi
menyatakan bahwa walaupun fluktuasi nilai tukar sulit untuk diprediksi menggunakan model
ekonomi namun jalur ini lebih baik daripada jalur lainnya.6

6
Pareto, “Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia Jalur Nilai Tukar pada Masa Pandemi Covid-19”, Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol.3 No.2 (Desember 2020) hal.40.

11
Jalur nilai tukar juga merupakan jalur yang digunakan di Singapura dalam mengontrol
perekonomiannya, ini dikarenakan nilai tukar lebih efektif untuk mencapai target yang diharapkan.
Perubahan nilai tukar di Singapura berdampak lebih terhadap keseluruhan variabel moneter
lainnya, dan inovasi perubahan nilai tukar merupakan sumber yang lebih penting dari fluktuasi
output, dibandingkan goncangan pada tingkat bunga dalam mempengaruhi ekonomi makro sebuah
negara. Sementaraitu, hal sama juga terjadi di Malaysia, jalur nilai tukar lebih dipertimbangkan
dalammempengaruhi perdagangan di Malaysia yang berakibat terhadap pertumbuhan ekonomi.
Lebih lanjut, Guinigundo menyatakan bahwa Pilipina memiliki tujuan moneter utama berupa
target inflasi dengan tindakan pengendalian melalui jalurnilai tukar yang berdampak pada
perdagangan internasional, investasi jangka panjang,tingkat harga dan nilai tukar yang diharapkan.

Di Indonesia juga dilakukan penelitian mengenai transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar.
Chaidir dan Arini melakukan penelitian mengenai guncangan indikator Makro ekonomi terhadap
transmisi kebijakan moneter jalur nilai tukar. Hasilnya adalah bahwajalur nilai tukar hanya mampu
menjelaskan variasi inflasihanyasebesar 3,15 persensaja.Lebih jauh penelitian ini menyebutkan
bahwa Bank Indonesiasebagai otoritas moneter tertinggi dituntut untuk dapat mendeteksi
volatilitas nilai tukaragar inflasi dapat dikendalikan pada tingkat terkendali. Selain itu, penelitian
yang dibangun oleh Maski menunjukkan bahwa nilai tukar sebagai variabel target dinilai kurang
efektif karena perekonomian Indonesiarentan terhadap perubahan ekonomi internasional karena
Indonesia menganut rezimkontrol devisa bebas.

Lebih lanjut,Wahyudi, dkk mengkaji komparasi jalur kebijakan moneter dalam kerangka
Inflation Targeting Framework di Indonesiaperiode 2005-2016 dengan menggunakan model ECM
menunjukkan bahwa jalur nilaitukar dan jalur suku bunga lebih lemah pengaruhnya dalam
mengendalikan inflasi dibandingkan jika dilakukan melalui jalur kredit.Sebaliknya, jalur nilai
tukar lebih efektif dibandingkan jalur tingkat bunga.Melalui jalur nilai tukar, inflasi yang
ditargetdapat dipengaruhi dalam waktu empat bulan sementara jika dilakukan melalui jalur suku
bunga akan memakan waktu selama 5 bulan.

12
A. Transmisi Kebijakan Moneter Jalur Nilai Tukar
Mekanisme transmisi kebijakan moneter mengacu pada peranan uang dalam perekonomian
sebagaimana yang dijelaskan dalam quantity theory of money. Hal ini menjelaskan bagaimana
kebijakan moneter ditransmisikan melalui besaran moneter tertentu untuk mencapai tingkat inflasi
yang diinginkan. Mekanisme transmisi kebijakan moneter yang diterapkan bank sentral biasanya
menggunakan instrumen moneter, misalnya melalui operasi pasar terbuka ataupun cadangan bank.
Adapun transmisi kebijakan moneter yang umum digunakan di Indonesia meliputi jalur kredit,
jalur suku bunga, jalur harga aset, jalur ekspektasi inflasi, dan jalur nilai tukar.7

Dalam kenyataannya, mekanisme transmisi kebijakan moneter merupakan sebuah hal yang sangat
kompleks sehingga kerap disebut dengan “black box”. Hal ini disebabkan karena transmisi
dimaksud banyak dipengaruhi oleh perubahan strategi dan kebijakan moneter yang dikeluarkan
oleh bank sentral, perbankan, dan para pelaku ekonomi lainnya. Selain itu kebijakan moneter juga
dipengaruhi oleh lamanya tenggat waktu sejak kebijakan moneter ditempuh(lag), dan perubahan
jalur-jalur transmisi moneter itu sendiri sendiri.

Bicara mengenai mekanisme transmisi kebijakan moneter tentu mengacu pada peranan uang dalam
perekonomian sebagaimana yang dijelaskan oleh quantity theory ofmoney. Teori ini dikemukakan
oleh Irving Fisher untuk menggambarkan hubungan langsung yang sistematis antara pertumbuhan
jumlah uang beredar dan inflasi, yang dinyatakan dalam suatu identitas yang dikenal sebagai “the
equation of exchange”dimanajumlah uang beredar (M) dikalikan dengan tingkat perputaran
uang/velocity(V)sama dengan jumlah output atau transaksi ekonomi (T) dikalikan dengan tingkat
harga(P). Dengan kata lain, dalam keseimbangan, jumlah uang beredar yang digunakan
dalamseluruh kegiatan ekonomi (MV) sama dengan jumlah output yang ditransaksikan
(PT).secara lebih jauh, teori ini menyimpulkan bahwa permintaan uang oleh masyarakatditujukan
untuk keperluan transaksi.

7
Pareto, “Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia Jalur Nilai Tukar pada Masa Pandemi Covid-19”, Jurnal
Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol.3 No.2 (Desember 2020), hal.39

13
Jalur nilai tukar menunjukkan bahwa pergerakan nilai tukar paling berpengaruh bagi
perekonomian sebuah negara khususnya negara yang menganut system perekonomian terbuka
dengan sistem nilai tukar fleksibel. Kebijakan moneter yang kontraktif akan mendorong suku
bunga nominal dalam negeri meningkat. Pada saat suku bunga dalam negeri meningkat sementara
suku bunga internasional tidak berubah, maka interest rate differential akan meningkat. Hal inilah
yang kemudian akan mendorong masuknya investasi luar negeri. Akibatnya, nilai tukar akan
terapresiasi dengan penukaran dana investasi ke bentuk mata uang rupiah. Kondisi ini akan
menyebabkan kegiatan ekspor menurun sementara kegiatan impor meningkat, sehingga transaksi
berjalan dalam neraca pembayaran akan meningkat pula. Pada akhirnya, laju inflasi akan menurun
lebih terkendali.

Mekanisme transmisinya adalah sebagai berikut. Pertama, operasi moneter oleh bank sentral akan
mempengaruhi perkembangan nilai tukar secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh
langsung terjadi sehubungan dengan operasi moneter melalui jual beli valas dengan tujuan
stabilisasi nilai tukar. Pengaruh tidak langsung terjadi dimana bank sentral melakukan operasi
pasar terbuka dan mempengaruhi besaran suku bunga dalam negeri yang selanjutnya akan
mempengaruhi besarnya aliran dana dari dan keluar negeri.

Pada tahap berikutnya, perubahan nilai tukar tentu saja secara otomatis akan berpengaruh terhadap
perkembangan harga barang dan jasa dalam negeri. Jika nilaitukar meningkat, maka
kecenderungan impor akan tinggi sementara besaran ekspor biasanya akan menurun. Sebaliknya
saat nilai tukar melemah maka besaran ekspor yang akan meningkat sementara besaran impor akan
turun. Perubahan ini serta merta akan berdampak terhadap output akhir suatu negara dan juga
tingkat inflasi.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Secara simultan, stabilitas nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh variabel pandemic (kasus, kematian,
eksembuhan dan kebijakan penanganan pandemic, jumlah uang beredar (M1, M2), operasi pasar
(konvensional dan syariah), suku bunga acuan (BI-rate), tingkat infllasi cadangan devisa, indeks
saham keuangan. Variabel-variabel bebas tersebut berkorelasi dengan nilai tukar rupiah dengan
koefisien korelasi R35 | Volume 3 Nomor 1 2021 20.927073. Artinya dapat menjelaskan
dinamika nilai kurs dolar terhadap rupish sebesar 92,71%. Sisanya, sebesar 7,29% dipengaruhi
oleh variabel lain yang tidak diteliti.

1. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia merosot pada angka negatif di tahun 2020 (masa
pandemi covid 10) yaitu sebesar (-2,07) %. Angka ini merupakan yang terburuk sejak era
reformasi (setelahtahun 1998). Diukur dari perspektif lapangan usaha, semua komponen
bernilai negatif kecuali sektorpertanian. Sektor yang mengalami pertumbuhan negatif
adalah (a) perdagangan dan reparasi; (b)pertambangan dan penggalian; (c) industri
pengolahan; (d) konstruksi; dan (e) lainnya. Dilihat dariperspektif pengeluaran hanya
konsumsi pemerintah yang menunjukkan angka positif. Sementara komponen lain
menyumbang angka negatif yaitu (a) konsumsi rumah tangga; (b) konsumsi LNPRT; (c)
PMTB; dan (d) ekspor dan impor.
2. BI rate pada angka 3,75 % pada Desember 2020 atau terendah sejak krisis 1997. Sejak
januari 2019 sampai dengan Desember 2020 BI rate selalu berada pada posisi turun atau
bertahan yang mana pada januari 2019 BI rate pada angka 6%. Pada 2020, bank Indonesia
menurunkan BI rate untuk menstimuli sektor usaha produktif prioritas agar memanfaatkan
pinjaman pada lembaga keuangan dengan jasa yang rendah. Hal ini bertujuan agar
perekonomian nasional kembali pulih meskipun masih dalam kondisi pandemi covid-19.
3. Uang beredar menunjukkan angka peningkatan yang tinggi pada desember 2020 sebesar
6.900 triliun rupiah dibandingkan pada bulan yang sama pada tahun 2019 sebesar 6.136
triliun rupiah. Angka kenaikan yang sangat tinggi dibanding dengan kenaikan pada tahun-
tahun sebelumnya yang tidak ada mencapai selisih kenaikan lebih dari 500 triliun rupiah

15
di setiap tahunnya. Kenaikan uang beredar ini cukup ironi jika dibandingkan dengan
penurunan pertumbuhan ekonomi dan jumlah kredit. Jumlah permintaan kredit terkontraksi
pada angka negatif akibat ketidakpastian usaha karena masa pandemic. covid-19.
Perusahaan atau investor lebih memilih menempatkan dananya dalam bentuk deposito,
tabungan, atau giro (sebagai DPK) meskipun memiliki tingkat keuntungan relatif sedikit.
Hal ini dinaggap lebih baik daripada menanggung risiko kerugian jika dana diinvestasikan
pada proyek yang mengalami ketidakpastian.
4. Inflasi pada tahun 2020 berada pada angka terendah yaitu 1,68 persen dibandingkan
beberapa tahun terakhir. Di tahun tersebut terdapat tiga bulan yang mengalami angka
deflasi yaitu juli, agustus, dan september. Sementara, pada bulan lainnya mengalami angka
inflasi meskipun nilai cenderung lebih rendah jika dibandingkan pada bulan yang sama di
tahun sebelumnya. Dilihat dari sisi pengeluaran, terdapat dua kelompok yang megalami
andil negatif yaitu : (a) transportasi; serta (b) informasi, komunikasi, dan jasa keuangan.
Sementara, kolompok lainnya menyumbang angka inflasi positif yaitu : (a) pakaian dan
alas kaki; (b) perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga; (c) perlengkapan,
peralatan dan pemeliharaan rutin rumah tangga; (d) kesehatan; (e) rekreasi, olahraga, dan
budaya; (f) pendidikan; (g) restoran; (h) perawatan pribadi dan lainnya.

Transmisi kebijakan moneter di Indonesia melalui jalur nilai tukar efektif dalammempengaruhi
sasaran akhir kebijakan moneter yakni inflasi. Adapun waktu(kelambanan) yang diperlukan untuk
mempengaruhi inflasi adalahduabulan setelahkebijakan moneter dikeluarkan. Besaran moneter
yang berpengaruh secara signifikanadalah suku bunga SBI dan nilai tukar. Dengan demikian,
keputusan pemerintah untukmenggunakan jalur nilai tukar dalam mengendalikan stabilitas harga
(inflasi) pada masapandemi covid-19 sudah tepat. Meskipun demikian, perlu juga dilakukan
penelitianlanjutan untuk memperhatikan jalur transmisi yang lain agak tercipta harmonisasi yang
baik dalam mempengaruhi perekonomian aggregat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Kharaj, “Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Stablitas Moneter Indonesia”, Jurnal Ekonomi,
Vol.3 No.1 (2021).

Pareto, “Efektivitas Transmisi Kebijakan Moneter Indonesia Jalur Nilai Tukar pada Masa Pandemi
Covid-19”, Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol.3 No.2 (Desember 2020)

Lathif Hanafir Rifqi, “Analisis Indikator Makro Ekonomi Pada Masa Pandemi Covid-19”,
Jurnal STEI Ekonomi (JEMI), Vol.31 No.1 (Juni, 2022).

17
18

Anda mungkin juga menyukai