Anda di halaman 1dari 3

Kelompok 1

Nama : Fiona Febriani Fauziyyah (221340000241)

Wiwik Daryati (221340000233)

Myeco Daniel Aditiyo (231340000312)

Sabila Alifia Nur Hidayah (231410000862)

Putri Sherli Tria Amanda (231410000837)

Proyek strategis Nasional yang berujung konflik di Rempang


Batam
Batam, 7dan 11 september 2023

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengindikasikan


kuat terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam serangkaian peristiwa bentrok
penolakan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.

Pembangunan kawasan Rempang Eco-City merupakan salah satu


program strategis nasional yang dimuat dalam Permenko Ekuin Nomor 7
Tahun 2023. Berbentuk pembangunan Rempang Eco City, lokasi pabrik yang
dioperasikan oleh produsen kaca China, Xinyi Glass Holdings Ltd. Perusahaan itu
telah berkomitmen membangun pabrik pengolahan pasir kuarsa senilai US$11,5
miliar dan menjadikannya sebagai pabrik kaca kedua terbesar dunia setelah di
China.Program Strategis Nasional ini dari awal perencanaannya tidak
partisipatif sekaligus abai pada suara masyarakat adat 16 Kampung Melayu
Tua di Pulau Rempang yang sudah eksis sejak 1834. Jadi wajar masyarakat di
lokasi tersebut menolak rencana pembangunan ini. BP Batam, Menko Ekuin,
Kepala BKPM, dan K/L yang terlibat dalam proses ini merumuskan program
tanpa persetujuan masyarakat.

Konflik ini terjadi Karena Tindakan aparat Kepolisian, BP Batam dan


TNI yang memaksa masuk ke wilayah masyarakat adat Pulau Rempang ,
untuk melakukan pemasangan Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi. Karena
sedari awal tujuan kegiatan tersebut untuk merelokasi atau menggusur warga
dari tanah adatnya, Program yang mengakibatkan bentrokan dan berpotensi
menghilangkan hak atas tanah, dan identitas adat masyarakat di 16 Kampung
Melayu Tua di Rempang . Kegiatan ini merupakan pemantik bentrokan yang
mengakibatkan paling tidak 6 orang warga ditangkap, puluhan orang luka,
beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas
air mata.

Apa yang dilakukan warga Rempang merupakan upaya


mempertahankan hak dasarnya untuk hidup, hak untuk mempertahankan
kampung halaman nenek moyang mereka. Sehingga apa yang yang dilakukan
tim gabungan keamanan ini bukan untuk Indonesia, bukan untuk melindungi,
dan mengayomi masyarakat adat. Tindakan tersebut hanya sekedar membela
investasi yang akan menggusur masyarakat adat.

Atas dasar peristiwa ini Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian


mengatakan, ada indikasi pelanggaran HAM, tetapi pernyataan tersebut masih
perlu di dalami fakta-faktanya oleh komnas HAM

Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombong menambahkan,


setidaknya ada enam indikasi terjadinya pelanggaran HAM dalam konflik
Rempang.

"Pertama hak atas rasa aman dan bebas dari diskriminasi. Ada penggunaan
kekuatan berlebihan. Kemudian juga penggunaan gas air mata yang tidak terukur
sehingga menyebabkan korban," kata Uli. Kemudian

Kedua adalah hak atas memperoleh keadilan, ada pembatasan akses


terhadap bantuan hukum 8 tersangka yang sudah dibebaskan ketika proses
penyelidikan dan penyidikan.

Ketiga, hak atas tempat tinggal yang layak, ini terkait dengan rencana
relokasi. Hal ini berkaitan dengan HAM, karena rencana relokasi berdampak
secara langsung terhadap perkampungan Melayu Kuno.

"Keempat, adalah hak anak dan perlndungan anak, ada siswa SDN 24 dan
SMPN 22 yang terdapak penggunaan gas air mata," kata Uli.

Kelima, hak atas kesehatan. Dalam kasus Rempang, pemerintah berupaya


pengosongan puskesmas dan tenaga kesehatan di Pulau Rempang. "Dan memang
terkonfirmasi, ada upaya pengosongan Puskesmas di Pulau Rempang dan Tenaga
kesehatan di Pulau Rempang sehingga faskes tidak bisa berfungsi maksimal, dan
kedepannya mungkin juga faskes akan dipindahkan, tapi ini butuh pendalaman,"
imbuh Uli.

Terakhir, terkait dengan bisnis dan HAM, Proyek Strategis Nasional ini
akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat di Pulau Rempang terutama
masyarakat adat Melayu.
Pemenuhan hak hidup masyarakat di keluran rempang dan galang harus
berada dia atas nilai infestasi pada realisasi mega proyek rempang ECO-City,
relokasi oleh BP Batam berpotensi menghilangkan budaya asli masyarakat melayu
pesisir yang mendiami kawasan rampang dan galang, pemerintah bisa merelokasi
dari sisi ekonomi tapi tidak bisa merelokasi dari sisi sosial dan budaya sebab
budaya tidak bisa dinilai melalui angka(uang)

Pembangunan rempang ECO-City seharusnya memiliki desain yang dapat


menyatukan pembangunan tanpa mengangu kawasan asli pemukiman, untuk
mencengah hilangnya budaya local untuk itu perlu keseimbangan antar
pembangunan dengan kawasan pemukiman asli penduduk local yang seharusnya
menjadi salah satu potensi dalam sector pengembangan periwisata berbasis
kebudayaan local.

Anda mungkin juga menyukai