Anda di halaman 1dari 8

KERTAS POSISI

Disusun oleh: FPTR Tapteng dan CELGOR Sumut

REJIM PENINDASAN MASIH BERLANJUT DI BUMI TAPTENG Perjuangan Hak Atas Tanah
I. Landasan Pemikiran Masyarakat pedesaan memiliki corak produksi yang tergantung pada alam, seperti air, tanah, dan hasil bumi lainnya. Melalui corak produksi ini, masyarakat pedesaan tentunya tidak dapat lepas dari sumber-sumber produksi pertanian. Dan Indonesia sebagai negara-kebangsaan yang mayoritas penduduknya tersebar di wilayah pedesaan, sudah pasti menggantungkan hidupnya pada alam. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah sistem ekonomi di Indonesia, kondisi kehidupan masyarakat di pedesaan belum mendapat perhatian serius dari pihak pemerintah. Keberpihakan ini tampak dari kebijakan pemerintah yang meminggirkan peran strategis desa dan hasil-hasil produksinya. Pemerintah belum meletakkan landasan dasar kebijakannya pada konstitusi nasional (UUD 1945) dan Pancasila. Malah yang terjadi adalah implementasi kebijakan yang bernuansa kekerasan (violence by policy) dan turut menghancurkan proses pemandirian masyarakat. Bukan hanya itu, karakter yang termanifestasi dalam budaya dan unsur-unsur kreatif masyarakat menjadi hilang dan pada akhirnya menciptakan kebangkrutan nilai-nilai kebangsaan. Pola kebijakan yang bercorak neoliberal menjadi sumber persoalan yang dihadapi warga negara Indonesia (baik di kota maupun desa), dimana peran pemerintah dilumpuhkan oleh kepentingan modal internasional. Transformasi kekuatan modal menjadi prioritas dalam perumusan hingga implementasi kebijakan. Warga negara diajak bertarung dengan kekuatan modal besar sehingga menciptakan kemiskinan dan pengangguran. Tidak hanya itu, proses pemiskinan yang sedang terjadi di Indonesia akhirnya membentuk karakter manusia Indonesia yang patuh terhadap hegemoni kekuatan modal. Pemerintah sebagai lembaga yang diberi tugas dan tanggung jawab dalam konstitusi malah mengambil sikap anti-rakyat dan mengabdi kepada kepentingan modal. Kondisi ini terlihat dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan di tingkat nasional maupun daerah, dimana warga negara hanya dijadikan sebagai objek pembangunan. Perumusan konsep pembangunan tidak pernah melibatkan secara langsung peran masyarakat. Dengan demikian, yang menikmati hasil pembangunan adalah pihak birokrat, elit politik (partai), dan swasta. II. Pembangunan Yang Menyengsarakan Sebagai contoh, dalam pencapaian pembangunan di Kawasan Pantai Barat Propinsi Sumatera Utara, khususnya di Kabupaten Tapanuli Tengah, pemerintah di daerah ini memiliki konsep Tapanuli Growth, dimana konsep ini merupakan jalan untuk memajukan Kawasan Pantai Barat dari yang selama ini masuk dalam peta kemiskinan di Sumatera Utara. Untuk mencapai itu semua, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah membangun beberapa titik konsentrasi penunjang pergerakan ekonomi, seperti pembangunan pembangkit listrik (PLTA Sipan Sihaporas, PLTU Labuhan Angin), pembangunan jalan(jalan Rampa Poriaha Labuhan Angin sepanjang + 30, 50 km; jalan Sihaporas Aek Tolang Aek Horsik/Outer Ringroad Pandan sepanjang 14 km; jalan Sibuluan Terminal Batas Kab. Tapanuli Utara sepanjang 29 km; jalan Sibolga Pandan Bandara FL Tobing sepanjang 17 km; jalan lingkar Kota Pandan Jalur Sarudik Sibuluan III), pembangunan jembatan sebanyak 5 unit di jalan Rampa Poriaha Labuhan Angin, pembangunan pelabuhan (Kargo Oswald Siahaan; perikanan di Area Industri Labuhan Angin), pembangunan Kawasan Industri Terpadu Labuhan Angin, dan pembangunan Kawasan Wisata Patung Anugerah. Komponen pembangunan yang sedang digencarkan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah tersebut tidak sedikit yang menuai kritik dan gugatan dari pihak warga yang menjadi korban pembangunan. Sebagai contoh, pembangunan Kawasan Patung Anugerah yang telah mengorbankan kawasan hutan lindung (register 41). Selain itu, pembangunan jalan-jalan yang dianggap sebagai infrastruktur dasar dalam menyokong percepatan pembangunan di Kabupaten Tapanuli Tengah malah tidak memperhatikan kepentingan ekonomi masyarakat. Warga hanya bisa diam saat tanahnya diklaim dan diserobot oleh pemerintah dengan alasan jalan tersebut untuk kepentingan umum.

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

Padahal, bentuk-bentuk kerakusan ini adalah mekanisme kerja dari sistem kapitalisme global yang bekerja atas dasar kepatuhan pemerintah. Tragedi pemblokiran jalan masuk menuju PLTU Labuhan Angin oleh warga yang sudah memakan waktu satu bulan (sejak Juli hingga kini) merupakan bentuk ketidaksepakatan warga terhadap model pembangunan yang berjalan di kabupaten ini. Melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2002, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah bersama pemerintah Republik Rakyat China (RRC) menyepakati dibangunnya instalasi pembangkit listrik, yaitu PLTU Batu Bara di Kawasan Labuhan Angin dengan kapasitas 2 x 115 MW dan sejak tahun 2007 telah beroperasi di kawasan yang memiliki luas lahan sebesar 6.301 Ha. Pembangunan PLTU Labuhan Angin dengan nilai investasi sebesar 2,2 trilyun dibangun atas kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dengan China National Machinery and Equipment Import Corporation (CMEC). Namun, pembangunan dengan investasi besar ini belum sepenuhnya memperhatikan seluruh aspek kehidupan yang terkandung di dalamnya. Terlihat dari protes yang digencarkan oleh warga di sekitar areal pembangunan jalan menuju PLTU Labuhan Angin yang menuntut hak-hak normatifnya dipenuhi oleh pemerintah. Akan tetapi, hingga kini perjuangan warga belum mendapat titik terang. Beberapa kali pihak Muspida plus di kabupaten ini berjanji untuk membentuk tim mediasi. Namun, hingga kini janji tersebut tinggal janji. Semua proses secara prosedural telah diupayakan oleh warga, seperti melaporkan ke aparat penegak hukum, yakni tersangka pelaku penyerobatan lahan, pelaku pembakaran rumah dan penikaman Saudara Edianto Simatupang, pelaku pembunuhan Saudara Partahian Simanungkalit, dan pemilik PT. Nauli Sawit dan PT. CPA. Selain itu, proses lobi dan pengaduan juga ditempuh oleh warga ke beberapa lembaga negara seperti Kepolisian Sektor, Kepolisian Resort Tapanuli Tengah, Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Komisi Yudisial, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah, Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Departemen Transmigrasi, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). III. Sejarah Kepemilikan Lahan Warga (Transmigrasi) iii.1. Tahun 1979 Sebagai akibat dari konflik Aceh yang terjadi pada tahun 1979, banyak warga yang berada di wilayah Aceh Selatan mengungsi ke Sumatera Utara, tepatnya ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang secara teritori berbatasan langsung dengan Provinsi Aceh. Warga korban konflik ini menjadi pengungsi dengan mendiami Desa Napa Saragi, Kecamatan Manduamas. Dan sebagai bentuk peran serta pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dalam menanggapi korban konflik ini, maka pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah mengeluarkan kebijakan terhadap para korban konflik (pengungsi), yakni program transmigrasi dalam bentuk distribusi lahan seluas 2 hektar untuk setiap kepala keluarga (KK) dengan sasaran program sekitar 180 KK. Program ini diberi nama Program Transmigrasi Korban Konflik Aceh. iii.2. Tahun 1983/1984 Pada tahun 1983/1984 pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah memiliki program transmigrasi yang diperuntukkan kepada penduduk asal Pulau Jawa dan penduduk lokal (Sumatera Utara). Untuk penduduk asal Pulau Jawa, program ini disebut Program Transmigrasi Umum. Dan untuk penduduk lokal asal dari wilayah sekitar Sumatera Utara, program ini disebut program transmigrasi lokal (biasa disebut translok). Bentuk program ini adalah pendistribusian tanah kepada penduduk transmigrasi (peserta) seluas 2 hektar sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh Departemen Transmigrasi. Program transmigrasi ini (transmigrasi umum dan lokal) diberada di Kecamatan Barus (tahun 1992 dimekarkan menjadi dua kecamatan, yakni Kecamatan Manduamas dan Kecamatan Barus; tahun 2002 dua kecamatan hasil pemekaran tersebut kembali dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yakni Kecamatan Barus, Kecamatan Manduamas, dan Kecamatan Sirandorung). Menurut keterangan warga peserta transmigrasi, bahwa pihak Agraria telah mengeluarkan sebanyak tiga ribu sertifikat lahan, namun masih sebagian peserta transmigrasi yang menerima sertifikat tersebut.

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

iii.3 Tahun 1998 Pada tahun 1998 pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah mengeluarkan kebijakan program transmigrasi yang dinamakan Program Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) sebagai tindak lanjut program transmigrasi yang dikeluarkan oleh pihak Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Propinsi Sumatera Utara. Program ini diperuntukkan kepada warga transmigran yang sudah lama tinggal di daerah yang pernah dicanangkan sebagai wilayah transmigrasi atau pembaharuan program transmigrasi yang pernah dijalankan sebelumnya (tahun 1983/1984). Program TSM ini memiliki bentuk program distribusi lahan seluas 2 hektar kepada 816 kepala keluarga (KK) peserta program TSM. Karena program ini merupakan pembaharuan program transmigrasi sebelumnya, maka wilayah sasaran program ini masih berada di wilayah program transmigrasi yang pernah dijalankan sebelumnya (transmigrasi umum dan lokal), yakni di Kecamatan Barus, Kecamatan Manduamas, dan Kecamatan Sirandorung.

IV. Tindak Pelanggaran Hak Atas Tanah oleh Pihak Swasta dan Pemerintah iv. 1. Pihak Swasta (Perusahaan) iv. 1.1. Tahun 1996 Pada tahun 1996, PT. CPA merampas tanah milik warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Aek Lobu dengan luas 210 hektar. Padahal warga telah memiliki alas hak lahan berupa Surat Hak Guna Usaha dari Agraria yang diserahkan melalui Bupati Tapanuli Tengah, Panusunan Pasaribu, pada tahun 1987. Perampasan lahan oleh pihak swasta ini terjadi di Desa Sitardas, Kecamatan Pinangsori. Di desa yang masih berada di Kecamatan Pinangsori, warga yang berada di Desa Simarlelan juga mengalami nasib yang sama seperti warga di Desa Sitardas, yakni perampasan lahan milik warga oleh PT. CPA. Lahan yang telah diusahai oleh penduduk asal Pulau Nias sejak tahun 1960-an dirampas oleh PT. CPA dengan luas 600 hektar. iv. 1. 2. Tahun 2005 Pada tahun 2005, PT. Nauli Sawit merampas tanah milik warga dengan luas sekitar 20an hektar lahan yang sudah diolah dan ditanami karet dan sawit. Tanam-tanaman yang diusahai tersebut dirusak oleh PT. Nauli Sawit sebagai bentuk perampasan secara paksa yang terjadi di Desa Siantar CA, Kecamatan Sosorgadong. iv.1.3. Tahun 2006 Pada tahun 2006, PT. Nauli Sawit merampas tanah milik warga seluas 280-an hektar dan memberikan ganti-rugi yang tidak wajar, yakni sebesar Rp. 400.000 s/d Rp. 800.000,- untuk setiap hektar. Selain itu, PT. Nauli Sawit juga tidak memberikan gantirugi terhadap warga lainnya. Perampasan lahan ini terjadi di Desa Lobutua, Kecamatan Andam Dewi. iv. 2. Pihak Pemerintah iv.2.1. Tahun 1996 Pada tahun 1996, pihak Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah mendirikan Bandar Udara Pinangsori (sekarang Bandar Udara FL. Tobing) yang berada di Kecamatan Pinangsori. Untuk mendirikan bandar udara ini, pemerintah membutuhkan lahan sebagai areal landasan pacu pesawat terbang. Kebutuhan atas lahan untuk bandar udara tersebut mengakibatkan warga kehilangan tanahnya karena perampasan tanah yang dilakukan oleh pemerintah. Sebanyak 41 kepala keluarga (KK) yang tergabung dalam Kelompok Tani Aek Sirara menjadi korban pembangunan Bandar Udara Pinangsori. Di tahun ini juga Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah bersama PT. CPA tidak menindaklanjuti hasil keputusan BPN RI yang telah memulihkan status kepemilikan lahan milik warga sehingga warga Desa Sitardas, Kecamatan Pinangsori, masih menderita akibat kolaborasi kepentingan antara swasta dan pemerintah.

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

iv.2.2. Tahun 2003 Pada Tahun 2003, seorang warga yang bernama Januarba Pakpahan menjadi korban Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing, karena lahan yang dimilikinya seluas 200 hektar dibeli dengan perantara bupati, yakni Johni Lumbantobing yang mengatasnamakan Tuani Lumbantobing. Harga jual-beli lahan tersebut disepakati sebesar Rp. 1 Milyar. Namun, Januarba Pakpahan mengalami kerugian sebesar Rp. 250 juta karena yang dibayarkan oleh Johni Lumbantobing hanya sebesar Rp. 750 juta. Lahan milik Januarba Pakpahan terletak di Desa Aek Raso dan Desa Pamiehe, Kecamatan Sorkam Barat. iv.2.3. Tahun 2006 Pada tahun 2006, Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing memaksa warga menyerahkan lahannya seluas 60 hektar di Desa Maduma, Kecamatan Sorkam Barat. Lahan tersebut telah digarap dan diusahai oleh warga. Sebanyak 25 kepala keluarga menjadi korban kepentingan bupati karena selama ini warga telah menanami lahan tersebut, seperti karet, kelapa, talas, singkong, jagung, dan padi. Tanam-tanaman tersebut dirusak oleh alat-alat berat (escavator) dan tanah diambil paksa. iv.2.4. Tahun 2007 - Lahan Milik Keuskupan Sibolga Pada tahun 2007 Keuskupan Sibolga mengalami nasib seperti yang dialami oleh warga korban perampasan lahan oleh pihak pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Keuskupan Sibolga menjadi korban Camat Sorkam Barat, Rais Kari, AP, yang membatalkan Surat Pelepasan Hak dengan Ganti-Rugi (SPH-GR). Ada 29 SPH-GR yang dimiliki Keuskupan Sibolga sejak tahun 2005 dan dibatalkan secara sepihak seluas 129 hektar. Penyerobotan dilakukan dengan cara membuat pernyataan palsu dari masyarakat yang menyatakan keberatan atas kepemilikan lahan oleh Keuskupan. Cara ini diduga merupakan hasil persekongkolan antara Camat Sosorgadong, Kades Muarabolak, dan Banjir Tarihoran, sebagai oknum preman setempat. Selain manipulasi secara administratif atas lahan oleh pihak camat dan perangkat desa, pihak pemerintah kabupaten juga memakai kelompok preman yang mengintervensi status kepemilikan lahan yang telah dimiliki oleh Keuskupan Sibolga. Banjir Tarihoran merupakan salah satu oknum preman yang secara langsung mengklaim lahan seluas 20 hektar sebagai lahan warisan orangtuanya. Kepala Desa Muarabolak, Alimudin Matondang, yang sebelumnya telah menandatangani SPH-GR dan Surat Pernyataan Kepemilikan Masyarakat. Antara Parsaulian Nadeak (Kepala Desa Muarabolak setelah Alimudin Matondang) dan Banjir Tarihoran (oknum preman dan Ketua Partai Demokrat Kecamatan Sosorgadong) secara bersama-sama menyerobot lahan milik Keuskupan Sibolga dengan cara memasukkan alat berat (escavator) dan melakukan pengolahan, serta mendatangkan pekerja sebanyak 80-an orang yang berasal dari Desa Sipodang dan Desa Muarabolak. Aktivitas ini didukung oleh beberapa orang mandur kebun sawit yang berasal dari Pantai Binasi (yang diindikasikan milik Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing). - Lahan Milik Warga Kepala Desa Muarabolak, Parsaulian Nadeak, mengundang warga untuk mengadakan Partangiangan Boni (Pertemuan Doa untuk mohon berkat atas benih) di halaman Gedung Sekolah Dasar Negeri Muarabolak, yang juga dihadiri oleh Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing. Di penghujung acara, dilakukan rapat tertutup di rumah kepala desa yang bertujuan untuk mengumpulkan tanda tangan dari warga pemilik lahan, sekaligus meminta tanda tangan dari Mananti Gorat, seorang Raja Huta (raja kampung/desa). Maksud dari pengumpulan tanda tangan tersebut adalah untuk menyerahkan lahan milik warga menjadi milik pemerintah kabupaten Tapanuli Tengah. Dan pertemuan Partangiangan Boni tersebut dimanipulasi menjadi acara Penyerahan Tanah kepada Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah yang tertuang dalam keputusan rapat dengan tanggal 7 Februari 2006. Mananti Gorat (raja huta/desa) menolak untuk menandatangani surat yang disodorkan kepadanya untuk menyerahkan lahan miliknya kepada pihak pemerintah Kabupaten

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

Tapanuli Tengah. Namun, terjadi manipulasi tanda tangan dan kesepakatan yang dijadikan sebagai keputusan rapat yang berlangsung pada tanggal 7 Februari 2006. Sementara pertemuan Partangiangan Boni berlangsung pada Bulan Juli 2007. Dan keputusan rapat tersebut ditandatangani oleh Parsaulian Nadeak (Kepala Desa Muarabolak), dimana kepala desa tersebut menjabat sebagai Kepala Desa Muarabolak pada Februari 2007. iv.2.5. Tahun 2008 Lahan warga yang dirampas secara paksa oleh pihak Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah yang berada di Desa Siantar CA dan Desa Muarabolak, Kecamatan Sosorgadong direbut kembali (reclaiming) oleh warga. Namun, pihak Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah langsung menetapkan status lahan tersebut sebagai lahan stanpas dan menempatkan Satpol-PP di lahan tersebut.

V. Kasus Kekerasan dan Pembunuhan v.1. Tahun 2005 Pada tahun 2005 terjadi kasus pembunuhan terhadap Partahian Simanungkalit disinyalir karena pihak keluarga sebelumnya tidak bersedia menyerahkan tanahnya kepada pihak PT. Nauli Sawit yang terjadi di Desa Siantar CA, Kecamatan Sosorgadong. Pihak kepolisian gagal mengungkap pelaku dan otak dibalik kasus pembunuhan Partahian Simanungkalit. v.2. Tahun 2008 Pada tahun 2008, telah terjadi dua kasus yang dialami oleh Edianto Simatupang, yakni kasus pembakaran rumah dan kasus penikaman. Pembakaran rumah Edianto Simatupang diduga terjadi karena aktivitasnya dalam membela hak-hak warga korban kebijakan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan PT. Nauli Sawit. Demikian juga dengan penikaman yang dialami oleh Edianto Simatupang di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara pada saat unjuk rasa warga korban kebijakan Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan PT. Nauli Sawit. Sama halnya dengan kasus pembunuhan Partahian Simanungkalit, dua kasus yang dialami oleh Edianto Simatupang juga gagal diungkap oleh pihak kepolisian di Tapanuli Tengah. VI. Kasus Mutasi Sepihak vi.1. Mutasi Guru Sekolah Dasar Kammal Simamora yang selama ini berprofesi sebagai guru di SD Inpres, Desa Maduma dimutasi ke SD Inpres Sibabangun. Pemutasian Kammal Simamora diindikasikan ada kaitannya dengan persoalan tanah milik Keuskupan Sibolga. Kammal Simamora yang pernah berurusan dalam hal pembelian tanah di Desa Siantar CA, Kecamatan Sosorgadong, karena juga berstatus sebagai sekretaris di Dewan Pastoral Paroki di Tarutung Bolak. vi.2. Mutasi Kepala Sekolah R. Simatupang, S.Pd. yang berprofesi sebagai Kepala Sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Kecamatan Andam Dewi berubah status menjadi guru biasa dan dimutasi ke SMP di Kecamatan Badiri dengan jarak 160 Km dari sekolah sebelumnya. Kebijakan ini sangat tidak manusiawi karena jika dilihat dari letak teritorialnya, seharusnya penempatan guru (tenaga pengajar) tidak memberatkan untuk menjangkau tempat dimana si pengajar melakukan aktivitas belajar dan mengajar. VII. Kasus Kriminalisasi Terhadap 10 orang warga, Pastor Rantinus Manalu dan Robinson Tarihoran Warga mengalami kriminalisasi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) atas tuntutan PT. Nauli Sawit yang menuduh warga telah melakukan pembakaran kantor PT. Nauli Sawit. Atas tuduhan sepihak tersebut, pihak kejaksanaan negeri Kabupaten Tapanuli Tengah menjatuhkan hukuman terhadap 10 orang warga, yaitu Humpol Matondang, Asi Maruli Sitanggang, Muhammad Surif, Bisler Pasaribu, Torang Barasa, Salomo Simamora, Darsono, Napitupulu, Fajar Arifin, Jauruk Rambe, dan Duman Nainggolan. Dalam proses persidangan yang dilakukan terhadap kesepuluh orang warga tersebut, terdapat kejanggalan seperti tidak adanya alat bukti dan saksi dari pihak PT. Nauli Sawit yang hadir. Akan tetapi, pihak pengadilan negeri menetapkan bahwa kesepuluh orang warga tersebut menjadi terdakwa yang melakukan pembakaran kantor milik PT. Nauli Sawit.

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

Selain kriminalisasi terhadap 10 orang warga tersebut, pada bulan April 2010 juga terjadi kriminalisasi terhadap Pastor Rantinus Manalu, Pr. dan Robinson Tarihoran yang dituduh sepihak melakukan pembalakan hutan register 74 oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Tengah. Tuduhan yang ditujukan kepada Pastor Rantinus Manalu, Pr. dan Robinson Tarihoran merupakan upaya kriminalisasi oleh pihak pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah untuk meredam perjuangan warga dalam memperoleh hak-haknya atas tanah yang telah dirampas paksa oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan swasta (PT. Nauli Sawit dan PT. CPA). Kedua orang tersebut ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara atas tuduhan yang diberikan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Tengah dengan tuduhan melakukan perambahan hutan di Desa Holbut Hutaginjang, Kecamatan Barus Utara. VIII. Kasus Pembangunan Jalan Menuju PLTU Labuan Angin (Rampah-Poriaha) Pembangunan PLTU Labuan Angin merupakan salah satu syarat dalam upaya pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah membangun Kawasan Industri Labuan Angin yang terletak di Kecamatan Tapian Nauli. Dan sebagai prasyarat pembangunan PLTU Labuan Angin (yang bersumber dari bahan Batubara), maka dibangun jalan menuju PLTU Labuan Angin. Namun, dalam proses pembebasan lahan milik warga, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah tidak memberikan biaya ganti-rugi lahan. Malah pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah telah melanggar beberapa syarat ketentuan yang harus dilakukan dalam hal pembebasan lahan untuk pembangunan, seperti Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan, Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nasional No. 1 Tahun 1994 (c), Peraturan Mendagri No. 15 Tahun 1975, PP No. 39 Tahun 1973/49/TLN, PP No. 38 Tahun 2007 dan Perpres No. 36 Tahun 2005 dan Perpres No. 65 Tahun 2006. Dengan demikian, dapat diduga bahwa pembangunan PLTU Labuan Angin sarat dengan korupsi megaproyek yang melibatkan pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tapanuli Tengah karena seperti yang telah diatur dalam Kepres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan bahwa pelepasan hak atas tanah harus melalui ganti rugi yang layak serta harus disepakati oleh kedua belah pihak dalam hal gantirugi pembebasan lahan. Sebagai alat legitimasi, Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing, mengeluarkan Surat Bupati No. 620/1005/2010 tertanggal 9 April 2010 perihal Status Jalan Masuk PLTU Labuan Angin yang intinya tidak akan ada klaim dari pihak manapun dalam hal pembebasan lahan untuk jalan menuju PLTU Labuan Angin. Sebelumnya, Tuani Lumbantobing juga mengeluarkan Pengumuman dengan Nomor Surat: No. 620/1282/2001 yang memberitahukan bahwa tidak akan ada ganti-rugi dalam hal pembukaan jalan menuju PLTU Labuan Angin. Jalan Rampah-Poriaha ini berada di Kecamatan Sitahuis dan Kecamatan Tapian Nauli dengan panjang + 30 Km melintasi Desa Aek Raso-Mungkur (Tapian Nauli 1, Tapian Nauli 2, Tapian Nauli 3, dan Tapian Nauli 4). Pembangunan jalan yang mengambil lahan milik warga sepanjang 30 Km ini belum diganti oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah. Justru dalam surat edaran yang ditandatangani oleh Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing, dan Kepala DPRD Kabupaten Tapanuli Tengah memberitahukan bahwa untuk pembangunan jalan tersebut warga harus mendukung dan memberi secara ikhlas lahan yang dimiliki. Dalam upaya menuntut ganti-rugi atas lahan yang dijadikan sebagai jalan menuju PLTU Labuan Angin, warga telah melakukan berbagai bentuk tuntutan terhadap Bupati Tapanuli Tengah, Tuani Lumbantobing, DPRD Tapanuli Tengah, dan pihak kepolisian. Namun, hingga saat ini warga belum mendapatkan kepastian hukum dan hasil ganti-rugi. Dan sudah hampir 2 bulan warga melakukan aksi protes dengan cara menutup/memblokir jalan menuju PLTU Labuan Angin. IX. Pelanggaran atas Konstitusi dan Kekerasan Kebijakan ix.1. Pelanggaran atas Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) Dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, masalah agraria (khususnya tanah) merupakan persoalan utama yang menyebabkan kesengsaraan yang dihadapi mayoritas warga negara. Ekspansi kepentingan kaum penjajah (Belanda, Portugis, Jepang, dan Inggris) di tanah air Indonesia sejatinya adalah karena urusan bagaimana mereka bisa menguasai sumber-sumber agraria. Sistem penjajahan tersebut dalam sejarah pergerakan sebelum kemerdekaan biasa disebut dengan sistem imperialisme dan kolonialisme.

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

Perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia yang terbentuk dalam setiap fase kepemimpinan sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudoyono adalah sejarah pertarungan sistem ekonomi-politik yang berlangsung dalam kekuatan global. Dan sebagai konsekuensinya adalah perubahan sistem politik dan kepemimpinan nasional di Indonesia atas kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang menguasai secara internasional. Wujud dari perubahan tersebut adalah implementasi kebijakan yang diselenggarakan oleh pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan kepentingan kelompok yang berkuasa. Sebagai buktinya adalah model kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah secara nasional dan lokal yang saat ini berpihak kepada investasi asing langsung (foreign direct investment) yang berbentuk pembangunan perusahaan tambang, energi, mineral, dan perkebunan. Kasus yang dialami warga di Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara) merupakan salah satu kasus dari beberapa kasus hasil kebijakan pemerintah di sektor penanaman modal asing dan pemanfaatan sumber daya agraria. Dari kronologi kasus yang telah dipaparkan di atas, terlihat jelas bahwa kebijakan pemerintah di sektor industri dan pengelolaan sumber daya agraria belum sepenuhnya menjalankan amanat konstitusi. Dalam hal ini, pemerintah telah melanggar Hak ekonomi, sosial, dan budaya (Ekosob) yang ditetapkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya ketentuan yang mengatur tentang Hak atas Tanah karena tanah memiliki fungsi sosial dan ekonomi. Dalam Pasal 36 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia disebutkan bahwa: Tidak boleh seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum. Untuk kasus yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Tengah secara jelas terlihat bahwa perampasan tanah miliki warga yang dilakukan oleh pemerintah dan PT. Nauli Sawit telah melanggar UU No. 39 Tahun 1999 karena dalam proses peralihan kepemilikan lahan terjadi manipulasi, intimidasi, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya untuk mengambil alih lahan tersebut. Selain itu, dalam hal peralihan fungsi lahan yang dimiliki warga menjadi sarana dan prasarana untuk pembangunan di Kabupaten Tapanuli Tengah juga mengabaikan ketentuan ganti-rugi yang telah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: Pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya diperbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari kedua bentuk pelanggaran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat unsur dirampas dan unsur sewenang-wenang (Pasal 36 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), serta unsur dengan mengganti kerugian yang wajar (Pasal 37 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Dengan demikian, dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 36 ayat (2) dan Pasal 37 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang dikaitkan dengan kasus perampasan tanah milik warga oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, PT. Nauli Sawit, dan PT. CPA dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hak asasi manusia. ix.2. Pelanggaran atas Hak Politik Pelanggaran atas Hak Politik, khususnya hak untuk berkumpul atau berapat, merupakan upaya untuk meredam perjuangan warga atas tanahnya yang dirampas paksa oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, PT. Nauli Sawit, dan PT. CPA. Sebagai contoh, untuk menuntut ganti-rugi yang dilakukan oleh warga korban pembangunan jalan Rampah-Poriaha yang diperuntukkan bagi PLTU Labuan Angin, warga melakukan aksi protes dan memblokir jalan menuju PLTU Labuan Angin selama 2 bulan. Namun, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah meresponnya dengan menurunkan aparat keamanan (polisi dan tentara) serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) untuk meredam dan membubarkan aksi warga. Selain itu, pihak kepolisian melalui Satpol PP menuduh warga telah merusak fasilitas milik Satpol PP pada saat Satpol PP hadir di lokasi unjuk rasa warga. Tuduhan sepihak yang disampaikan oleh Satpol PP kepada kepolisian resort Tapanuli Tengah ini merupakan satu cara untuk mengkriminalkan warga. Kriminalisasi terhadap warga yang sedang menuntut ganti-rugi tanah milik mereka dan upaya pembubaran aksi warga merupakan bentuk pelanggaran atas Hak Politik, yaitu hak untuk berkumpul dan berapat warga yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

tentang Hak Asasi Manusia. Pasal ini menyebutkan bahwa: Setiap orang berhak berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai. Dalam pasal ini terdapat dua unsur penting, yakni unsur hak berkumpul dan unsur hak berapat. Dengan adanya upaya aparat keamanan (polisi dan tentara) dan Satpol PP untuk melarang atau membubarkan aksi yang dilakukan oleh warga, maka dapat disimpulkan bahwa pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah telah melakukan tindakan melanggar hak asasi manusia. ix.3. Pelanggaran atas Hak Rasa Aman dan Tenteram Peristiwa penikaman yang menimpa relawan Front Pembela Tanah Rakyat (FPTR), Edianto Simatupang pada bulan Agustus 2008 di halaman Kantor Gubernur Sumatera Utara di saat warga korban perampasan tanah oleh pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, PT. Nauli Sawit, dan PT. CPA merupakan bentuk pelanggaran atas Hak Rasa Aman dan Tenteram. Penikaman yang dilakukan oleh oknum pemuda yang memakai pakaian organisasi pemuda reaksioner adalah bentuk hilangnya rasa aman warga karena peristiwa tersebut terjadi di lingkungan kantor pemerintah. Untuk kasus ini, pemerintah Kabupaten Tapanuli Tengah, pemerintah Propinsi Sumatera Utara, dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Medan telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi: Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut mengandung dua unsur penting yang perlu mendapat perhatian, yakni unsur hak atas rasa aman dan unsur hak atas rasa tenteram. Kasus penikaman yang menimpa Edianto Simatupang merupakan bentuk kelalaian pemerintah dalam memenuhi hak atas rasa aman dan tenteram warga. Selain itu, upaya aparat penegak hukum dalam mengungkap pelaku dibalik penikaman tersebut mengalami kegagalan karena tidak berhasil menemukan siapa pelakunya. Selain penikaman, Edianto Simatupang juga mengalami kerugian akibat rumah miliknya beserta perlengkapan rumah tangga yang dibakar oleh orang tidak dikenal. Dalam kasus ini, Edianto Simatupang sebagai warga yang hak-haknya dijamin oleh hukum, justru mengalami rasa tidak aman karena peristiwa pembakaran rumah miliknya diduga sebagai bentuk teror yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab atas pembelaan yang dilakukannya terhadap warga korban perampasan tanah. Dari rangkaian kasus-kasus yang telah dipaparkan dalam kertas posisi ini, terlihat jelas bahwa warga mengalami bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak swasta. Terima Kasih. Tanah untuk Rakyat..!

Kertas Posisi : Rejim Penindasan Masih Berlanjut di Bumi Tapteng

Anda mungkin juga menyukai