Anda di halaman 1dari 9

LEGAL OPINION

PERLINDUNGAN HUKUM WARGA PULAU REMPANG PERSPEKTIF


HAK ASASI MANUSIA

Disusun Oleh:

Nailah Hana Sausan


8111422550

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
A. FAKTA HUKUM
Pulau Rempang merupakan salah satu pulau kecil di Indonesia dengan luas sekitar
165 km2, sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Undang-undang tersebut
memberikan dasar hukum untuk mengatur wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di
Indonesia. Pulau-pulau kecil seperti Pulau Rempang memiliki nilai ekologis dan sosial
yang penting, dan oleh karena itu perlu dikelola dengan hati-hati untuk memastikan
keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Undang-undang tersebut
memberikan kerangka kerja untuk melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil yang mencakup aspek-aspek seperti konservasi sumber daya alam,
pembangunan berkelanjutan, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan
terkait dengan wilayah ini.
Pembangunan kawasan industri di Pulau Rempang, Kota Batam, telah memunculkan
ketegangan dalam bentuk sengketa tanah yang melibatkan masyarakat setempat,
pemerintah, dan PT. Makmur Elok Graha 1. Program pembangunan ini, yang sebenarnya
dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing Indonesia terhadap Singapura, justru
berujung pada konflik yang disebabkan oleh ketidakpastian hukum terkait kepemilikan
tanah. Di sisi lain, pemberian Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan tersebut
menyebabkan tanah dianggap bukan lagi milik masyarakat.
Pengembangan Rempang Eco City, khususnya dalam sektor pariwisata, akan menjadi
langkah yang bijak jika melibatkan partisipasi langsung dari masyarakat pemilik tanah di
Kampung Tua yang berada di Pulau Rempang. Pendekatan ini lebih sesuai dibandingkan
dengan relokasi masyarakat. Perlu ditekankan bahwa posisi mereka berbeda dengan
masyarakat Pulau Rempang yang melakukan pendudukan tanah bekas perkebunan HGU.
Masyarakat Kampung Tua memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan tanah mereka dan
keterlibatan langsung mereka dalam proyek pengembangan wilayah tersebut akan lebih
relevan dan mempertimbangkan faktor-faktor khusus yang ada di daerah tersebut 2.
Konflik ini menghasilkan permasalahan represif yang termanifestasikan dalam
penyerahan tanggung jawab aparat keamanan terhadap warga sipil. Situasi ini menciptakan
ketegangan antara otoritas keamanan dan masyarakat, memunculkan ketidaksetujuan

1
Satria Ardhi Nugraha, “Menilik Konflik Rempang Dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat,”
Universitas Gajahmada, 2023.
2
Tjahjo Arianto, “Memahami Kasus Pulau Rempang,” Kompas, 2023,
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/13/memahami-kasus-pulau-rempang.
terhadap tindakan yang dianggap represif. Pergeseran dinamika keamanan ke tangan aparat
dapat memunculkan perasaan ketidakamanan dan kekhawatiran di kalangan warga sipil.
Tim Advokasi untuk Kemanusiaan Rempang mengungkapkan bahwa setiap tahap
proses hukum yang dialami oleh warga sipil yang ditangkap berlangsung dengan sangat
cepat. Dimulai dari penangkapan, penyidikan, penetapan tersangka, hingga penahanan,
semuanya dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan pada hari yang sama.
Tindakan penangkapan yang demikian cepat dapat diartikan sebagai bagian dari strategi
yang bertujuan tersembunyi untuk menghilangkan partisipasi publik, dengan cara menekan
dan mengintimidasi kelompok masyarakat yang berupaya menyuarakan aspirasi mereka
demi kepentingan publik.
Hal ini menciptakan situasi di mana warga sipil yang terlibat dalam aktivitas publik
atau menyuarakan pendapatnya merasa terintimidasi dan cenderung enggan berpartisipasi
dalam proses publik. Kecepatan dalam menjalankan proses hukum juga memberikan kesan
bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk menekan atau menghilangkan gerakan masyarakat
yang kritis terhadap kebijakan atau proyek tertentu. Sebagai akibatnya, terlihat perlunya
peninjauan ulang terhadap prosedur hukum yang diterapkan untuk memastikan bahwa hak-
hak dan kebebasan masyarakat tetap terlindungi, tanpa adanya tekanan atau intimidasi yang
merugikan partisipasi publik.
Pada tanggal 7 September 2023, terjadi resistensi dari warga Pulau Rempang
terhadap aparat keamanan setelah negosiasi tidak berhasil, yang mengakibatkan aparat
memutuskan untuk memaksa masuk ke kampung. Saat itu, warga merespons dengan
melemparkan gelas plastik, botol plastik, dan batu, sementara aparat merespons dengan
menggunakan water cannon dan menembakkan gas air mata. Serangan gas air mata ini
bahkan mencapai lingkungan sekolah, termasuk SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang.
Akibatnya, 11 murid dan 1 guru dari SMPN 22 Galang menjadi korban dan dilarikan ke
RSUD Embung Fatimah, sedangkan korban lainnya dirawat di RS Marinir. Peristiwa ini
menciptakan kondisi yang sangat sulit dan menekankan perlunya evaluasi mendalam
terhadap taktik penanganan keamanan agar dapat mencegah dampak serius pada warga sipil
dan lingkungan sekolah.
B. MASALAH HUKUM
Konflik ini mencakup dua permasalahan utama yang patut diperhatikan. Pertama,
pulau Pulau Rempang telah dihuni oleh masyarakat adat yang terdiri dari berbagai suku
seperti Suku Melayu, Suku Laut, dan beberapa suku lainnya selama lebih dari 200 tahun.
Selama periode tersebut, tanah di Pulau Rempang dianggap sebagai kepunyaan eksklusif
masyarakat adat. Namun, pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan Hak Guna Usaha
(HGU) kepada sebuah perusahaan untuk sebagian tanah di Batam 3. Selanjutnya,
pengaturan kepemilikan dan pengelolaan tanah di Batam diperincikan oleh Badan
Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam).
Namun, sayangnya, batas-batas yang jelas mengenai wilayah pengelolaan tanah oleh BP
Batam dan wilayah tanah adat masyarakat tidak pernah diuraikan secara eksplisit. Hal ini
mengakibatkan tumpang tindih dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah, menciptakan
situasi konflik yang membingungkan.
Dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023
tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional dalam Sektor
Perkebunan, tercantum Proyek Pembangunan Rempang Eco City yang memiliki dampak
penting dalam pengembangan sektor ini. Rempang Eco City merupakan salah satu proyek
strategis nasional yang bertujuan untuk menciptakan suatu kawasan perkebunan yang
ramah lingkungan, berkelanjutan, dan berorientasi pada ekonomi, dengan tujuan
meningkatkan daya saing sektor perkebunan di Indonesia.
Bagi penduduk yang harus melepas hak atas tanah mereka untuk proyek
pembangunan, hal ini membawa implikasi signifikan, baik dari segi ekonomi maupun
sosial. Terutama jika lahan tersebut merupakan satu-satunya tempat tinggal dan sumber
penghasilan mereka. Oleh karena itu, pengambilan tanah untuk kepentingan umum dalam
hal pembangunan harus dilakukan dengan mematuhi prinsip-prinsip kemanusiaan,
keadilan, manfaat umum, kepastian hukum, transparansi, kesepakatan, partisipasi,
kesejahteraan, keberlanjutan, dan harmoni sosial 4.
Dalam Pulau Rempang, pandangan penduduknya justru sebaliknya. Mereka
memandang tanah yang mereka tempati sebagai warisan leluhur yang telah menjadi milik
mereka selama 188 tahun terakhir. Dalam pemahaman mereka, tanah tersebut memiliki
makna sejarah yang dalam, diwariskan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu,
masyarakat di Pulau Rempang memiliki ikatan yang sangat kuat dengan lahan tersebut dan
menganggapnya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan mata pencaharian
mereka. Pandangan seperti ini menciptakan perbedaan pandangan yang signifikan antara

3
Nugraha, “Menilik Konflik Rempang Dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak Masyarakat Adat.”
4
Sulasi Rongiyati, “Eksistensi Lembaga Penilai Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
(Existence Of The Land Appraiser In The Land Acqusition For Public Interest),” Negara Hukum: Membangun
Hukum Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan 3, no. 1 (2016): 1–19.
pemerintah dan masyarakat setempat terkait kepemilikan dan penggunaan tanah, yang
kemudian menjadi inti dari konflik yang sedang berlangsung.
Terdapat 45 titik kampung tua yang tersebar di Pulau Rempang. Berdasarkan
informasi yang tercatat dalam Traktat London 1824, keberadaan kampung tua di Batam
dan sekitarnya telah berlangsung selama lebih dari 188 tahun, seiring dengan masa
kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan Pahang Malaya.
Traktat London 1824 sendiri menghasilkan pemisahan wilayah antara Kerajaan Lingga dan
Kerajaan Riau, yang kemudian menjadi jajahan Belanda, sementara wilayah Johor dan
Pahang Malaya menjadi jajahan Inggris 5.
Perkembangan regulasi terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan
peraturan yang terkait telah mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Beberapa
regulasi yang ada dianggap tidak cukup memadai dalam mengakomodir hak-hak pemilik
tanah, sehingga kebutuhan akan undang-undang khusus untuk mengatur masalah ini
semakin mendesak. Dalam menanggapi ketidakpuasan tersebut, pemerintah telah
mengambil langkah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pengadaan Tanah untuk Pembangunan demi Kepentingan Umum. Pemerintah berharap
bahwa undang-undang ini akan memberikan dasar hukum yang kuat untuk memperlancar
proyek-proyek infrastruktur yang diperlukan untuk kepentingan umum dan sekaligus
melindungi hak-hak pemilik tanah. Namun, perlunya penelaahan lebih lanjut untuk
menyelesaikan permasalahan yang terkait dengan kebijakan pengadaan tanah ini, sekaligus
untuk menjaga hak-hak masyarakat pemilik tanah, tetap menjadi prioritas.
C. INVENTARISASI PERATURAN HUKUM
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant On Civil And Political Rights (Kovenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil Dan Politik)
5. Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam
D. ANALISA HUKUM
Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
mengamanatkan bahwa "Setiap individu memiliki hak untuk menerima pengakuan,

5
Arianto, “Memahami Kasus Pulau Rempang.”
jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di mata
hukum." Prinsip ini menandakan komitmen konstitusional Indonesia dalam memastikan
bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di hadapan hukum, tanpa diskriminasi.
Hak-hak tersebut mencakup pengakuan hak-hak individu, jaminan keamanan hukum,
perlindungan, dan perlakuan yang adil. Dengan demikian, pasal ini mencerminkan nilai-
nilai keadilan, kesetaraan, dan perlindungan hukum yang menjadi dasar bagi sistem hukum
Indonesia dalam memenuhi hak-hak mendasar setiap individu.
Pasal 27 dan Pasal 40 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyatakan dengan tegas
bahwa setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk memiliki tempat tinggal.
Penegasan ini menjadi landasan hukum yang mengakui dan melindungi hak fundamental
setiap individu untuk memiliki tempat tinggal, menciptakan dasar yang kuat untuk
memastikan hak ini tidak dapat dicabut atau diabaikan. Hak ini melibatkan aspek penting
kehidupan manusia, seperti keamanan tempat tinggal, privasi, dan kenyamanan, sehingga
menjamin keberlangsungan hidup dan perkembangan manusia sebagai warga negara.
Seiring dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Bill of Rights, yang merangkum
kesepakatan ekonomi, sosial, dan budaya, terdapat penekanan yang signifikan terhadap
tanggung jawab pemerintah untuk menjamin pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya bagi warganya. Prinsip ini mengimplikasikan bahwa pemerintah memiliki
kewajiban untuk memastikan setiap warganya dapat menikmati hak-hak tersebut tanpa
diskriminasi. Oleh karena itu, inisiatif dan kebijakan yang mendukung kesejahteraan
ekonomi, keadilan sosial, dan perkembangan budaya merupakan bagian integral dari peran
pemerintah dalam mewujudkan hak-hak tersebut bagi seluruh warganegara.
Menurut Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1973, Pasal 2 mengatur bahwa
pembinaan, pengendalian, dan pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam ditempatkan di
bawah tanggung jawab entitas berikut:
a. “Badan Pengawas Daerah Industri Pulau Batam;
b. Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam;
c. Perusahaan Perseroan Pengusahaan Daerah Industri Pulau Batam.”
Kampung Tua memiliki perbedaan signifikan dengan pendudukan tanah oleh
masyarakat Pulau Rempang di bekas perkebunan HGU. Tindakan pendudukan yang
dilakukan oleh masyarakat Pulau Rempang tidak secara otomatis mengukuhkan mereka
sebagai pemilik sah tanah tersebut, berbeda dengan Kampung Tua yang memiliki status
tanah yang lebih jelas. Oleh karena itu, pendekatan penyelesaian sengketa antara
masyarakat dan BP Batam perlu memulai dengan menelusuri riwayat tanah melalui
berbagai aspek seperti sejarah, nilai budaya, bukti fisik seperti usia pohon atau tanaman,
serta melibatkan pengakuan dan kesaksian dari masyarakat dan lembaga adat setempat.
Selanjutnya dalam hal tindakan represif apparat, penangkapan yang dilakukan secara
sewenang-wenang sebenarnya telah merusak nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi
dan HAM yang berlaku secara universal. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap
sejumlah Instrumen Internasional, seperti yang diatur dalam Pasal 3 Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas hak
hidup, kebebasan, dan keamanan diri." Selain itu, pelanggaran terhadap ketentuan ini juga
bertentangan dengan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 sebagai
ratifikasi atas International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang
menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas hak hidup, kebebasan, dan keamanan diri.
Tidak ada seorang pun yang boleh ditahan atau ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak
seorang pun boleh dicabut kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan oleh hukum." Pelanggaran terhadap prinsip-prinsip ini menunjukkan
perlunya evaluasi kritis terhadap prosedur penangkapan guna memastikan kepatuhan
terhadap standar HAM dan konstitusi, serta perlindungan hak-hak individu tanpa adanya
penangkapan sewenang-wenang yang merugikan.
Tindakan aparat yang dianggap eksesif dalam insiden tersebut sebenarnya telah
melanggar ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Perkap) No. 1 Tahun 2009 mengenai Penggunaan Kekuatan dalam
Tindakan Kepolisian. Selain itu, pelanggaran juga terjadi terhadap Perkap No. 8 Tahun
2009 yang membahas Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian di Indonesia, serta Perkap No. 8 Tahun 2010 yang
mengatur Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru-Hara.
Sikap yang seharusnya menjadi pedoman bagi penegak hukum terhadap warga sipil
sesuai dengan undang-undang mencakup prinsip-prinsip berikut:
1. Prinsip Keadilan:
Penegak hukum diharapkan untuk menjunjung tinggi prinsip keadilan, yang
mencakup perlakuan yang adil dan setara di bawah hukum bagi semua warga sipil,
tanpa memandang latar belakang, suku bangsa, agama, atau status sosial.
2. Hormat Terhadap Hak Asasi Manusia:
Penegak hukum diwajibkan untuk menghormati dan melindungi hak asasi manusia
warga sipil, termasuk hak atas kehidupan, kebebasan, martabat, dan privasi.
3. Perlindungan Terhadap Kekerasan:
Penegak hukum harus melindungi warga sipil dari segala bentuk kekerasan,
termasuk penindasan fisik atau psikologis.
4. Kepatuhan Terhadap Hukum:
Penegak hukum sendiri harus patuh terhadap hukum dan menjalankan tugas mereka
sesuai dengan hukum yang berlaku.
5. Transparansi dan Akuntabilitas:
Penegak hukum diharapkan bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan
mereka, dengan kewajiban untuk bekerja secara transparan dan melaporkan
tindakan mereka kepada atasan dan otoritas yang berwenang.
6. Komitmen terhadap Kepentingan Publik:
Penegak hukum diharapkan untuk mengutamakan kepentingan publik dan berupaya
menjaga keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan masyarakat.
7. Penegakan Hukum yang Adil:
Penegak hukum diwajibkan untuk melakukan penegakan hukum dengan adil dan
tanpa diskriminasi, menjalankan tugas mereka tanpa pandang bulu dan tanpa
memihak.
8. Kerjasama dan Keterbukaan:
Penegak hukum diharapkan untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak yang
terlibat dalam penegakan hukum dan dengan masyarakat sipil, dengan keterbukaan
dalam berkomunikasi untuk membangun kepercayaan dan mendukung keterlibatan
warga dalam masalah hukum.
9. Pendidikan dan Pelatihan:
Penegak hukum perlu mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang sesuai untuk
memahami prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia serta mengembangkan
keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan tugas mereka dengan baik.
10. Perlindungan Korban:
Penegak hukum diharapkan untuk memastikan perlindungan terhadap korban
tindakan kriminal atau kekerasan, serta memberikan dukungan kepada korban
sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
E. KESIMPULAN
Proyek pembangunan Rempang Eco City, meskipun memiliki potensi untuk
meningkatkan perekonomian masyarakat setempat, memunculkan dilema yang tak bisa
diabaikan terkait hak ulayat masyarakat setempat. Hak ini merupakan elemen integral dari
identitas dan keberlanjutan budaya masyarakat yang telah lama tinggal di kawasan tersebut.
Dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek, penting untuk memberikan perhatian serius
terhadap bagaimana hak-hak ulayat dan hak-hak tanah tradisional dapat dipertahankan dan
dihormati, agar tidak terjadi marginalisasi atau pelecehan terhadap hak-hak tersebut.
Perlakuan eksesif aparat yang terjadi dalam penanganan insiden harus dianggap
sebagai isyarat serius tentang perlunya reformasi dalam penanganan konflik. Evaluasi
mendalam terhadap taktik penegakan hukum, serta pendekatan yang lebih terbuka terhadap
partisipasi publik, menjadi kunci dalam mencegah konflik yang lebih besar di masa depan.
Kesimpulannya, pembangunan ekonomi dan investasi di Pulau Rempang harus selalu
diiringi dengan prinsip-prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan keberlanjutan budaya agar
memberikan dampak positif secara menyeluruh pada masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, Tjahjo. “Memahami Kasus Pulau Rempang.” Kompas, 2023.
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/13/memahami-kasus-pulau-rempang.
Nugraha, Satria Ardhi. “Menilik Konflik Rempang Dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak
Masyarakat Adat.” Universitas Gajahmada, 2023.
Rongiyati, Sulasi. “Eksistensi Lembaga Penilai Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum (Existence Of The Land Appraiser In The Land Acqusition For
Public Interest).” Negara Hukum: Membangun Hukum Untuk Keadilan Dan
Kesejahteraan 3, no. 1 (2016): 1–19.

Anda mungkin juga menyukai