Anda di halaman 1dari 4

Nama : Romeo Novaldy

NIM : 21010000125

Tugas : Analisa Kasus Pulau Rempang

Dosen Pengajar : FADILLA DWI LAILAWATI , S.H., M.Kn.

Analisa Kasus Pulau Rempang

1. Posisi Hukum Pulau Rempang

Menurut salah satu warga di Pulau Rempang, yaitu Gerisman Ahmad, di Pulau Rempang
terdapat 16 kampung permukiman warga asli. Warga asli Pulau Rempang adalah suku
Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, yang diyakini sudah tinggal di Pulau
Rempang sejak 1834. Keberadaan Orang Darat di Pulau Rempang ini disebutkan dalam
sejumlah arsip kolonial Belanda.

Pada 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P Wink mengunjungi


Orang Darat di Pulau Rempang. Catatan mengenai kunjungannya tersebut tertuang dalam
artikel bertajuk Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari
1930 atau Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari
1930. Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa sejarah Pulau Rempang tidak
terlepas dari penaklukkan yang dilakukan Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada
1784.

Pulau Rempang dulunya belum termasuk dalam Otorita Batam. Barulah setelah Keppres
No. 28 Tahun 1992 dikeluarkan, wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah
Pulau Batam, Pulau Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau sekitarnya, sehingga dulu
ada istilah yang cukup populer, yaitu Barelang yang berarti Batam, Rempang, dan
Galang.

Pulau Rempang sebenarnya merupakan milik dari Pemerintah Kota Batam, Provinsi
Kepulauan Riau. Menurut berbagai sumber rencananya pada tahun 2014 pulau ini akan
dimasuki oleh investor setelah izinnya dikeluarkan pada tahun 2001. Awalnya, lahan di
Pulau Rempang akan dikelola oleh PT MEG, yang merupakan bagian dari Artha Graha
Grup milik Tommy Winata. PT MEG diberi konsesi selama 30 tahun untuk mengelola
kawasan tersebut, dan akan diperpanjang hingga 80 tahun.
2. Alasan Konflik

Kejadian ini berawal pada hari Kamis 7 September 2023 ketika pihak berwajib datang ke
lokasi untuk melakukan pembersihan dan pengosongan lahan. Namun, lokasi tersebut
ternyata telah dihuni oleh sejumlah warga terlebih dulu tinggal di daerah tersebut.
Kericuhan pun tidak dapatdihindarkan dan insiden ini juga dilaporkan telah menimbulkan
korban jiwa.

Ini mengakibatkan bentrokan antara pihak kepolisian dan masyarakat yang tinggal di
sekitar Pulau Rempang tidak dapat dihindari. Para warga setempat meyakini bahwa tanah
di Pulau Rempang tersebut adalah tanah ulayat yang harus dipertahankan. Salah satu akar
konflik Pulau Rempang adalah masalah kepemilikan tanah. Masyarakat setempat telah
mengklaim hak kepemilikan atas sebagian besar pulau ini selama bertahun-tahun,
sementara pemerintah daerah juga memiliki klaim atas wilayah tersebut. Kedua belah
pihak sering kali memiliki pandangan yang berbeda mengenai legalitas kepemilikan
tanah ini, sehingga konflik pun muncul.

3. Analisa Kasus

Konflik lahan di Pulau Rempang berawal dari persetujuan investasi pada 2001.
Mampukah pemerintah kita menyelesaikan persoalan dengan damai dan berkeadilan?
Pemerintah keliatannya sering kali terlalu terobsesi dengan capaian target investasi yang
ambisius, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan yang lebih luas.
Kasus Pulau Rempang adalah contoh nyata. Investasi besar yang diumumkan sebagai
proyek strategis nasional sering kali mengesampingkan hak dan aspirasi masyarakat
setempat. Salah satu masalah mendasar dalam kasus Rempang adalah kurangnya
keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan. Aspirasi
masyarakat Pulau Rempang sangat jelas, mereka tidak menolak investasi, tetapi 16
kampung tua—yang sudah dihuni turun temurun, diperkirakan sejak abad 19—agar
tetap ada dan eksis berdampingan dengan proyek strategis nasional tersebut.

Apakah opsi ini pernah dibahas dengan masyarakat? Nyatanya tidak , Jangan sampai
masyarakat hanya menjadi penonton dari mega proyek ratusan triliun rupiah yang
digadang-gadang akan menarik potensi tenaga kerja ratusan ribu pencari kerja.
Pembangunan di Pulau Rempang kian terlihat usang dan terkesan tidak melibatkan
partisipasi masyarakat setempat, yang berujung pada konflik dengan aparat keamanan.
Masyarakat adat tak perlu takut dan khawatir akan keadilan dalam konflik yang
terjadi saat ini, bisa dilihat dari UUD 1945 Pasal 18 (B) ayat (2) dan ayat (3), yang
menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya.

Masyarakat hukum adat akan tetap dilindungi asalakan memiliki bukti bukti yang sah
atas kepemilikan wilayah tersebut. Selain itu dalam pengadaan tanah untuk
pembangunan (PTUP), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 juga telah
menyebutkan bahwa masyarakat hukum adat merupakan salah satu dari pihak yang
berhak menerima ganti kerugian (penjelasan Pasal 40).

UU tersebut juga menyebutkan bahwa ganti kerugian atas tanah ulayat dapat berupa
tanah pengganti, permukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh
masyarakat hukum adat tersebut.

Permasalan dari masyarakat suku asli Rempang mereka tidak memliki surat legalitas
lahan (beberapa hanya memiliki legalitas bangunan) dikarenakan dari dulu semua ada
dibawah otoritas Batam. Sehingga mereka tidak dapat membuktikan kepemilikan
penuh tanah tersebut juga yang mana sebagai syarat untuk mendapat hak yang telah
dijanjikan oleh pemerintahan.

4. Solusi Penyelesaian

Dalam upaya penyelesaian konflik Pulau Rempang, penting untuk mengadakan dialog
antara pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan masyarakat setempat. Langkah-
langkah transparansi dalam hal kepemilikan tanah dan proses pembangunan yang
melibatkan masyarakat dapat membantu mengurangi ketegangan. Selain itu, solusi
yang adil yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak perlu ditemukan, dan
kompromi mungkin diperlukan untuk mencapai perdamaian.

Dalam konteks ini, penting juga untuk melibatkan ahli hukum dan ahli pertanahan
guna menyelesaikan klaim kepemilikan tanah secara hukum, sehingga ada kejelasan
mengenai status tanah di Pulau Rempang. Dengan demikian, konflik ini dapat diatasi
dan masyarakat setempat serta pemerintah dapat bekerja sama untuk merencanakan
pembangunan yang berkelanjutan dan berdampak positif bagi semua pihak yang
terlibat.

Pelajaran yang dapat kita ambil adalah hukum formal yang ditegakan melalui hukum
positif di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi rule of law, ternyata belum
mampu mewujudkan keadilan yang substansial, diharapkkan nantinya penegakan
hukum formal dapat ditegakan seadil adilnya agar masalah-masalah seperti ini tidak
terjadi lagi. Butuh kolaborasi antara Masyarakat dan pemerintah agar dapat
terciptanya Atmosfer hukum yang baik di Masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai