Anda di halaman 1dari 16

KONFLIK DI ASIA TENGGARA

2.1 Konflik Perbatasan dan Kajian Hukum Internasional

Menurut Nadeak (t.t.), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik
perbatasan. Pertama, kurangnya pengawasan terhadap wilayah sendiri merupakan salah satu
faktor terjadinya sengketa wilayah teritorial. Perbatasan negara menjadi tempat yang krusial,
sehingga perlu dilakukan penjagaan ketat agar tidak terjadi pelanggaran antar wilayah
perbatasan. Kedua, kurangnya perhatian pemerintah terhadap masyarakat yang tinggal di wilayah
perbatasan. Kesenjangan ekonomi antara masyarakat yang tinggal di daerah yang menjadi pusat
pemerintahan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan begitu besar. Kemiskinan
banyak mewarnai kehidupan masyarakat perbatasan, sebab rendahnya sumberdaya manusia dan
minimnya program-program pembangunan di wilayah tersebut. Sehingga hal tersebut
dapatmelemahkan kekuatan masyarakat perbatasan dan integrasinya dengan negara. Ketiga,
sikap pemerintah yang kurang tanggap terhadap wilayahnya, terutama pada wilayah perbatasan.
Kendala yang dihadapi pemerintah adalah terlalu luasnya teritori dan kurangnya infrastruktur
yang ada, sehingga membatasi pemerintah untuk mengelola wilayah. Keempat, faktor perjanjian
batas wilayah yang tidak komprehensif. Dalam konsepsi hukum internasional, cakupan wilayah
suatu negara adalah seluruh wilayah yang diwariskan oleh pihak kolonial. Ambiguitas rezim
yang ada menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda oleh setiap negara. Kelima, adanya
campur tangan dari pihak luar dengan kepentingan tertentu yang menyebabkan terjadinya konflik
perbatasan.

Perbatasan dapat dipahami sebagai garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara
dengan negara lainnya diatas permukaan bumi (Starke, 1989: 245). Perbatasan menjadi penanda
kedaulatan suatu negara atas wilayah yang dimilikinya, sehingga negara memberikan perhatian
khusus berupa penempatan petugas penjaga perbatasan di wilayah yang berdekatan dengan
perbatasan wilayah negara lain. Perbatasan wilayah antar negara yang berdekatan cenderung
mengalami konflik, apabila terjadi perbedaan pemahaman terhadap letak perbatasan wilayah.
Penarikan batas darat suatu negara ditetapkan berdasarkan koordinat titik-titik yang telah
disepakati dalam perundingan batas antarnegara yang terkait. Perbatasan wilayah dapat dipahami
dalam dua hal, yaitu perbatasan alamiah dan buatan (Starke, 1989: 246-7). Perbatasan alamiah
berkaitan gunung, sungai, pesisir pantai, hutan, danau, dan gurun yang membagi wilayah dua
negara atau lebih. Sedangkan, perbatasan buatan berkaitan dengan tanda yang merujuk pada
garis perbatasan imajiner dan tanda yang sejajar dengan garis lintang atau garis bujur. Tanda
tersebut biasanya berupa tugu, kawat berduri, dinding beton, atau border sign post. Titik
koordinat tersebut telah disepakati secara bersama oleh negara-negara terkait dalam forum
perundingan batas.

Selain batas wilayah darat, terdapat juga batas wilayah laut yang diatur oleh hukum laut
internasional. Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa telah berhasil mewujudkan hukum laut
internasional melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang
telah ditandatangani oleh 117 negara di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982.
UNCLOS mengatur kewenangan sebuah negara pantai terhadap wilayah laut (laut teritorial, zona
tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen) dan juga mengatur tata cara penarikan
garis batas maritim jika terjadi tumpang tindih klaim antara dua atau lebih negara bertetangga.
Hal ini biasa terjadi di wilayah laut yang berdampingan. Hukum laut memberikan hak kepada
negara pantai untuk memiliki laut wilayah sejauh 12 mil laut, dan zona ekonomi eksklusif serta
landas kontinen sejauh 200 mil laut yang diukur dari garis pangkalnya bahkan untuk landas
kontinen jaraknya bisa mencapai 350 mil laut (Starke, 1989: 245). Konvensi ini juga mengatur
sistem penyelesaian sengketa, dimana negara-negara peserta berkewajiban untuk tunduk pada
salah satu daripada lembaga penyelesaian sengketa sebagai berikut : Mahkamah Internasional
(ICJ), Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut, Arbitrasi Umum atau Arbitrasi
Khusus.Terdapat beberapa landasan atau prinsip hukum internasional yang digunakan dalam
menyelesaikan konflik perbatasan, diantaranya adalah prinsip uti possidetis(kepemilikan
awal),prinsip keadilan, prinsip tentang sejarah awal administratif dan persetujuan terkait wilayah
yang bersangkutan, serta adanya naskah peraturan, perintah dan keputusan administratif,
dokumentasi peta dan ciri luar geografis yang menjadi bahan pertimbangan dalam memutuskan
sengketa perbatasan wilayah suatu negara (Starke, 1989: 245).

2.2. Konflik Pulau Sipadan dan Ligitan

Secara geografis, Pulau Sipadan dan Ligitan terletak di Selat Makassar. Pulau Sipadan berada 15
mil laut dari pantai daratan Sabah Malaysia dan 40 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik,
Kalimantan Utara. Sedangkan pulau Ligitan terletak 12 mil laut dari pantai daratan Sabah
Malaysia dan 57,6 mil laut dari pantai timur Pulau Sebatik (www.lib.ui.ac.id). Konflik Indonesia
dengan Malaysia ini berawal pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara
kedua negara, kedua negara tersebut secara bersamaan memasukkan pulau Sipadan dan Ligitan
dalam batas-batas wilayahnya.

Sehubungan dengan masalah ini, kedua negara pada tanggal 22 September 1969 menyetujui
Memorandum of Understanding (MoU) yang menetapkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
dalam status quo yang berarti tidak boleh ditempati, diduduki maupun dimanfaatkan baik oleh
Indonesia maupun Malaysia (Ratnaningrum, 2010). Diberlakukannya status quo ini ditujukan
agar kestabilan kedua negara maupun negara ASEAN yang berada di sekelilingnya tidak
terganggu.

Namun kedua negara memahami pengertian tersebut berbeda. Malaysia memahami status quo
bahwa kedua pulau tersebut tetap berada dibawah kepemimpinan Malaysia sampai
persengketaan selesai. Sedangkan pihak Indonesia memahami bahwa adanya status quo berarti
kedua pulau tidak boleh ditempati atau tidak dalam kepemimpinan kedua negara hingga
persengketaan selesei (Puspita, t.t). Berbeda dengan Indonesia yang mentaati hukum
internasional, Malaysia justru memanfaatkan kondisi tersebut dengan mendirikan fasilitas
pariwisata di dua kepulauan tersebut. Mengetahui hal tersebut Indonesia langsung mengirimkan
protes kepada Malaysia bahwa kedua kepulauan tersebut sedang dalam kondisi sengketa dan
tidak diperbolehkan untuk menduduki wilayah tersebut. Keadaan bertambah parah ketika
Malaysia mulai memasukkan kedua pulau tersebut pada perpetaan wilayahnya pada tahun 1979.

Situasi yang semakin parah ini membuat Presiden Soeharto sebagai wakil dari Indonesia dan
Perdana Menteri Mahathir Muhammad sepakat untuk mencari solusi dari permasalahan ini
kepada ICJ. Setelah pertemuan kedua negara melalui ICJ ini terbentuklah suatu perjanjian atas
adanya perdamaian antara Malaysia dan Indonesia serta sesegera mungkin ICJ memberikan
kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan ini berdasarkan bukti-bukti yang ada. Dengan dibawanya
sengketa wilayah ini melalui ICJ justru memperlemah posisi Indonesia. Pada tahun 2002,
Indonesia dan Malaysia memberikan argumennya terkait dengan persengketaan wilayah tersebut
berdarkan bukti-bukti yang dimiliki. Pada argumen yang disampaikan Indonesia, Indonesia
menyatakan bahwa bukti kepemilikannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan Perjanjian
Belanda-Inggris tahun 1981 dimana garis batas kedua negara adalah di pantai timur Pulau
Kalimantan yang terus memotong ke pulau Sebatik yang menempatkan kedua pulau tersebut
dibawah kepemilikan Belanda. Sedangkan argumen yang disampaikan oleh Malaysia dengan
bukti-bukti yang ada bahwa Malaysia sejak tahun 1971 telah membuktikan pemberian
perlindungan terhadap kedua wilayah tersebut seperti mengeluarkan perlindungan Penyu, adanya
pembangunan mercusuar di Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada tahun 1962 (Steven, 2009:
45). Pernyataan yang disampaikan Indonesia dan Malaysia ini membuat Mahkamah Hukum
Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan secara resmi berada
dibawakepemilikan Malaysia terbukti dengan keefektifan Malaysia yang melakukan perawatan
atas kedua pulau tersebut.

Kasus serupa juga terjadi di kawasan perairan Ambalat, di mana Malaysia melakukan klaim
terhadap perairan tersebut. Pemerintah Indonesia merespon tindakan yang dilakukan oleh
Malaysia dengan jalan pengirima pasukan militer. Pemerintah Malaysia melakukan klaimnya
atas perairan tersebut didasarkan pada peta mereka yang mereka buat sendiri pada tahun 1979.
Hal ini pun tidak bisa deiterima oleh pemerintah Indonesia. Hingga tahun 2013, masih sering
terjadi pelanggaran perbatasan oleh Malaysia di perairan Republik Indonesia. Sehingga Konflik
ini laksana bom waktu.

2.3 Konflik Laut Cina selatan dan Kepulauan Spratly 

Sengketa Laut Cina Selatan ini melibatkan banyak negara sehingga penyelesaiannya menjadi
sangat rumit dan berlangsung berlarut-larut. Sengketa ini juga mempunyai latar belakang yang
cukup rumit sehingga belum terjadi kesepakatan diantara negara-negara bersengketa.Kepulauan
Spratly terletak dikelilingi oleh beberapa negara yaitu, Indonesia, Malaysia, Vietnam, Brunei
Darussalam, Cina, Taiwan, dan Filipina. Kepulauan Spratly pada awalnya adalah sebuah pulau
yang tidak berpenghuni dan sebenarnya bukan merupakan yang layak huni. Hal ini disebabkan
kebanyakan pulau ini hanyalah berupa gugusan karang-karang laut. Namun klaim wilayah
kepemilikan terhadap kepulauan Spratly mulai bermunculan karena kepulauan Spratly ini
mempunyai banyak potensi keuntungan sumber daya alamseperti kandungan minyak yang
melimpah dan letak kepulauan spratly yang strategis. Selain kandungan minyak yang melimpah,
terdapat pula kandungan gas alam yang ada di wilayah Laut Cina Selatan. Kekayaan alam yang
dimiliki membuat beberapa negara yang bersengketa atas wilayah kepulauan Spratly ini
bersikeras untuk mengakui dan mengklaim atas wilayah tersebut. Kawasan kepulauan Spratly ini
juga merupakan kawasan yang terletak di lintasan laut yang strategis karena berada di lintas layar
dan perdagangan antar negara. Faktor ini juga kemudian menjadi faktor pendukung negara-
negara yang bersengketa untuk semakin bernafsu mengklaim atas kepulauan Spratly ini, karena
siapapun yang resmi memiliki kepulauan Spratly ini, maka negaranya akan memperoleh
keuntungan ekonomi dari hasil kapal-kapal yang melewati dan melintasi kepulauan spratly untuk
melakukan. Sebagai salah satu perairan paling sibuk di dunia, tentunya membawa keuntungan
bagi negara-negara yang wilayah lautnya dilewati (Nugraha, 2012).

Kepulauan Spratly merupakan kepulauan yang berada di Laut Cina Selatan. Kepulauan ini
berbatasan langsung dengan Negara-negara Asia seperti negara Cina, Vietnam, Taiwan, Filipina,
Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Letak Geografis kepulauan Spratly adalah 4 derajat
LU – 11derajat 31’ LU dan 109 derajat BT -117 derajat BT (Heinzig, 2010). Kepulauan Spratly
diperkirakan memiliki luas sekitar 244.700 km2 dan terdiri atas kurang lebih sekitar 350 Pulau.
Wilayah ini merupakan batas langsung negara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan negara-
negara ASEAN. Kepulauan Spratly terletak di sebelah Selatan RRT dan Taiwan, sebelah
tenggara Vietnam, sebelah Barat Filipina, sebelah utara Indonesia, Malaysia dan Brunei
Darussalam. Setidaknya terdapat 6 negara bersengketa dan mengklaim wilayah kepulauan
Spratly ini menjadi bagian dari wilayah negara mereka, keenam negara tersebut adalah RRT,
Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Proses salingmengklaim initelah berlangsung sejak tahun 1947. Pemerintah negara RRT epublik
Rakyat Cina adalah yang pertama kali mengklaim wilayah Laut Cina Selatan ini.RRT kemudian
membuat peta resmi yang tidak hanya mengklaim pulau-pulau yang ada di wilayah Laut Cina
Selatan seperti kepulauan Spratly dan juga kepulauan Paracels, tetapi juga memberi tanda
sebelas garis putus-putus di seputar wilayah Laut Cina Selatan (Permatasari, t.t). Kekayaan alam
yang terdapat di wilayah Laut Cina Selatan adalah penyebab utama perebutan dan klaim wilayah
ini.Klaim yang dikeluarkan RRT mengenai wilyah Laut Cina Selatan ini terbentang sekitar
kurang lebih ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan.Pemerintahan di ibukota
Beijing mengatakan bahwa hak RRTatas kawasan Laut Cina Selatan tersebutberawal mula dari
2.000 tahun yang lalu.Secara spesifik mereka juga mengklaim bahwa kawasan kepulauan Spratly
dan kepulauan Paracels merupakan bagian dari milik RRT dan merupakan bagian dari teritorinya
sejak abad ke-17.

Akibat perebutan klaim wilayah atas Laut Cina Selatan beserta Kepulauan Spratly antara
RRTdan negara-negara lain yang bersengketa, terjadi insiden antara Angkatan Laut Cina dan
Angkatan Laut Vietnam pada sekitar tahun 1988. Insiden ini terjadi berawal ketikakapal
Angkatan Laut Vietnam yang sedang berlayar dan melintas diwilayah  Laut Cina Selatan
mendapat intervensi dari kapal perang Angkatan Laut milik RRT, sehingga kerusuhan dan
pertengkaran diantara RRT dan Vietnam pun tidak dapat dihindari. Dalam kerusuhan ini
Angkatan Laut Vietnam kehilangan sekitar 70 prajuritya (Sulaeman, 2014). Akibat dari insiden
kerusuhan antara RRT dan Vietnam ini, Vietnam akhirnya memutuskan untuk mengakhiri
hubungan diplomatiknya dengan RRT (Suharna, 2012). Konflik saling mengklaim atas wilayah
kedaulatan Kepulauan Spratly juga terjadi pada Filipina. Konflik ini telah menimbulkan
beberapa bentrokan lain pada tahun 1995 yang bermula ketika Angkatan Laut Filipina mencoba
untuk membongkar bangunan milik RRT. Ketegangan antara RRT dan Filipina pun berlanjut
ketika RRT merespon tindakan pembongkaran bangunan RRT tersebut dengan jalan
mengirimkan kapal perangnya ke wilayah Kepulauan Spratly. Filipina pun menanggapi respon
tersebut dengan mencoba untuk menempatkan pasukan militer mereka untuk menangkap para
nelayan pencari ikan milik RRT yang berada di sekitar Kepulauan Spratly dibagian Timur.
Namun, konflik antara RRT dan Filipina atas klaim wilayah Kepulauan Spratly tidak sampai
menimbulkan bentrokan yang gawat seperti yang terjadi antara RRT dengan Vietnam. Konflik
ini untuk sementara dapat diredam lewat jalur diplomatik antar kedua Negara (Suharna, 2012).

Dalam menanggapi kasus sengketa di Laut Cina Selatan ASEAN telah berupaya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan tersebut secara damai. Meskipun masih jauh dari penyelesaian yang
sebenarnya. Karakter yang dimiliki oleh Laut Cina Selatan lebih rumit dikarenakan disana terdiri
atas pulau-pulau karang termnasuk pulau yang di sengketakan. Sehingga menyulitkan penentuan
batas landas kontinen. Permasalahan di Laut Cina Selatan menjadi semakin rumit tatkala terdapat
campur tangan asing yang berada diluar konflik tersebut, seperti Amerika Serikat. Dalam
Konvensi Batas Landas Kontinen 1958 (Usman, 1981: 331) ditetapkan prinsip bahwa penetapan
Batas Landas Kontinen dinatara negara-negara pantainya, terdapat di pasal 6. Yaitu penentuan
Batas Landas Kontinen ditentukan secara bersama-sama. Jika persetujuan secara bersama tidak
dapat dicapai maka cara lain yang ditempuh adalah dengan menggunakan garis tengah atau
median line bagi daerah yang berhadapan, dan garis jarak yang sama atau equidistance line bagi
daerah yang berdampingan.Dalam melihat sengketa di Laut Cina Selatan kepemilikan terhadap
pulau-pulau tersebut sangatlah menentukan, sebuah negara untuk mendapatkan ZEE lebih luas di
tengah samudera.

Dalam penyelesaian konflik Laut Cina Selatan, cara damai adalah cara utama yang terus di
upayakan oleh ASEAN dan juga RRT, hingga disepakatilah Declaration on Conduct of the
Parties in South China Sea (DOC) yang disepakati di Kamboja, pada 4 November 2002. Untuk
kemudian yang terakhir adalah disepakatinya  Guidelines forthe Implementation of the DOC,
yang menjadi awal pembahasan dari Code of Conduct, atau tata aturan berperilaku di Laut Cina
Selatan pada tahun 2011. Hal ini merupakan sebuah progressif dimana pada tahun yang sama
terjadi peningkatan Hubungan Diplomatik antara ASEAN dan RRT dengan diresmikannya
ASEAN-China Centre (ACC).

2.4 Konflik Thailand – Kamboja

Thailand dan Kamboja awalnya merupakan dua negara Asia Tenggara yang memiliki hubungan
yang baik dan jarang terlibat pertikaian. Hal ini mungkin dikarenakan kedua negara tersebut
memiliki banyak persamaan, seperti persamaan agama dan sistem pemerintahan. Keduanya
merupakan negara yang berbatasan secara langsung, yaitu wilayah Preah Vihear berbatasan
dengan wilayah Sisaket di bagian Timur Laut Thailand. Ketika merdeka tahun 1953, Kamboja
mulai mengangkat permasalahan kepemilikan Kuil Preah Vihear dengan Thailand. Hubungan
kedua negara sempat tegang setelah Thailand mengirim tentaranya ke kuil tersebut. Thailand
bahkan sempat mengamankan sebagian arca dan obyek kuil ke negerinya. Setelah upaya
diplomatik gagal, kedua negara telah sepakat menyerahkan permasalahan ini ke Mahkamah
Internasional (MI), dalam putusannya tertanggal 15 Juni 1962 (The Hague Judgment of 15 June
1962), Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Kamboja sebagai pemilik Kuil Preah
Vihear dan akibatnya Thailand harus menarik pasukan militernya maupun para penjaga yang
dikerahkan di sekitar kuil atau disekitar wilayah kedaulatan Kamboja.

Keputusan Mahkamah Internasional tersebut adalah bersifat mengikat dan final artinya para
pihak yang bersengketa di hadapan Mahkamah Internasional tidak dapat melakukan banding atas
putusan yang telah dikeluarkan. Mahkamah Internasional mendasarkan putusannya pada peta
yang dibuat sekelompok ahli yang dibentuk atas kesepakatan antara Pemerintah Perancis dan
Pemerintah Siam, yaitu the Commission of Delimitation. Dalam putusannya, Mahkamah
Internasional tidak dengan tegas menetapkan garis batas kedua negara. Mahkamah Internasional
hanya menetapkan siapa yang memiliki kedaulatan atas kuil tersebut (Sari, 2008).

Pada bulan Juli 2008 Kuil Preah Vihear yang diperkirakan yang telah berumur 900 tahun
dimasukkan dalam daftar warisan budaya dunia (Word Heritage List) oleh UNESCO. Hal ini
disambut gembira oleh Pemerintah Kamboja, namun memicu masalah di Thailand (Sinar
Harapan, 7 Oktober 2008). Akibatnya, terjadilah kontak senjata antara tentara militer Kamboja
dengan tentara militer Thailand di perbatasan dekat Kuil Preah Vihear yang menjadi jantung
sengketa antara kedua negara. Baku tembak yang pecah antara tentara militer kedua negara
terjadi pada tanggal 15 Oktober 2008 yang mengakibatkan tewasnya dua orang tentara Kamboja
dan melukai lima orang tentara Thailand, dan kemudian baku tembak untuk kedua kalinya terjadi
pada tanggal 3 April 2009, akibat kontak senjata tersebut telah menewaskan dua orang tentara
militer Thailand dan mengakibatkan sepuluh orang tentara militer lainnya mengalami luka-luka
(Sari, 2008).

Berbagai upaya, baik secara bilateral, regional, maupun internasional dilakukan dalam rangka
menyelesaikan konflik ini, atau setidaknya meredakan ketegangan an. Perbedaan persepsi kedua
negara dalam upaya penyelesaian semakin menghambat terciptanya resolusi konflik. Mengingat
kekalahannya di Mahkamah Internasional 1962, Thailand hanya mau menyelesaikan konflik
dalam level bilateral (Raharjo, 2011). Sementara itu, Kamboja lebih percaya diri melibatkan
pihak luar, baik PBB maupun ASEAN (Raharjo, 2011).

Hun Sen mengatakan bahwa baku tembak di dekat kuil Preah Vhiear adalah perang bukan lagi
konflik antar tentara, sehingga mekanisme bilateral tidak akan bekerja. Kamboja kemudian
meminta Dewan Keamanan (DK) PBB untuk mengerahkan pasukan pemelihara perdamaian
PBB ke perbatasan itu. DK menyatakan bahwa perannya akan dibatasi dengan cara mendukung
usaha-usaha regional dan usaha-usaha bilateral untuk merundingkan penyelesaian konflik
tersebut. PBB kemudian memutuskan akan mengadakan perundingan di New York yang akan
dihadiri Menlu Thailand Kasit Piromya, Hun Sen, dan Menlu Marty Natalegawa dari Indonesia
sebagai ketua ASEAN pada 14 Februari 2011 (Raharjo, 2011). Piromya mengatakan bahwa
pasukan pemelihara keamanan PBB tak diperlukan dan bahwa pemerintahnya ingin
menyelesaikan isu secara bilateral.

Secara formal, Thailand dan Kamboja sebenarnya sudah mau duduk bersama dalam pertemuan
yang difasilitasi ASEAN seperti yang yang dilakukan pada 22 Februari 2011 di Jakarta, dengan
hasil sepakat untuk menerima tim pemantau dari Indonesia (Raharjo, 2011). Hasil pertemuan ini
juga menyepakati pertemuanJoint Border Committee (JBC) di Bogor pada April 2011 yang
melibatkan menteri pertahanan kedua negara (Raharjo, 2011). Kamboja cenderung mendukung
keputusan ini, sedangkan Thailand menunjukkan sikap berbeda. Menteri Pertahanan Thailand,
Prawit Wongsuwan, menyatakan tidak akan menghadiri JBC dan menolak kehadiran tim
pemantau dari Indonesia di wilayah yang disengketakan karena dianggap sebagai wujud campur
tangan pihak luar (Raharjo, 2011). Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perbedaan pandangan
dalam domestik Thailand, antara kementerian luar negeri dan kementerian pertahanan.

Penanganan konflik yang diserahkan ke ASEAN akan mengedepankan jalur diplomasi dalam
menyelesaikan konflik. Namun pertempuran antar militer kedua negara kembali pecah pada
akhir April 2011, dan bahkan pertempuran ini meluas ke Candi Ta Moan dan Ta Krabey
(Raharjo, 2011). Walaupun penyelesaian konflik dengan mendudukkan Thailand dan Kamboja
secara bersama belum menunjukkan hasil, Indonesia melalui kementerian luar negeri terus
bergerak mencari celah dengan mengadakan pertemuan informal secara terpisah dengan
Kamboja dan Thailand.

Sulitnya terciptanya perdamaian di antara kedua negara lebih dikarenakan sikap Thailand yang
masih tidak konsisten terkait dilema internalnya. Indonesia oleh karenanya harus lebih intensif
melobi pihak Thailand, tidak hanya menteri luar negerinya tetapi seluruh pihak yang
berkepentingan dalam kabinet Thailand, terutama harus bisa mendekati militer Thailand yang
punya pengaruh besar dalam peta politik Thailand. PM Thailand pun harus melakukan
koordinasi internal kabinetnya mutlak diperlukan untuk bisa merumuskan posisi Thailand
sebagai satu kesatuan sehingga usaha untuk menegosiasikan kepentingan nasional masing-
masing negara menjadi keputusan yang win-win solution bisa lebih mudah diwujudkan. Selain
itu, Indonesia juga harus berani mengadakan diplomasi tingkat tinggi antar kepala negara. Dalam
hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta pemimpin negara ASEAN lainnya
seharusnya memberikan perhatian yang lebih terhadap isu ini tanpa harus terjebak pada
ketakutan terhadap tuduhan intervensi (Raharjo, 2011).

Pertemuan trilateral antara Menlu Indonesia Marty Natalagewa, Menlu Thailand Kasit Piromya
dan Menlu Kamboja Hor Namhong, memastikan bahwa Thailand dan Kamboja memastikan
untuk tetap menyelesaikan masalah konflik mereka dengan cara damai. Yudhoyono
merekomendasikan agar Thailand dan Kamboja merundingkan tiga hal penting penyelesaian
damai konflik dalam satu paket, yaitu mengaktifkan General Border Committee (perundingan
perbatasan pertahanan kedua negara), melihat kembali nokta kesepakatan tahun 2000, dan
penempatan tim peninjau Indonesia di perbatasan sesuai kesepakatan yang disetujui pada bulan
Februari 2011. Hun Sen menambahkan bahwa penyelesaian konflik di sekitar kuil Preah Vihear
diserahkan kepada ASEAN, sedangkan konflik di Candi Ta Moan dan Ta Krabey akan
diselesaikan secara bilateral.

2.5 Konflik Teluk Bengal Antara Myanmar-Bangladesh

Konflik Teluk Bengal terjadi antara negara Myanmar, yang terletak di Asia Tenggara dan negara
Bangladesh yang terletak di Asia Selatan. Latar belakang terjadinya hal ini dikarenakan belum
adanya kesepakatan garis batas landas kontinen antara dua negara tersebut. Hal tersebut
diperparah dengan, eksploitasi minyak yang dilakukan oleh Myanmar di perairan Teluk
Benggala, tanpa persetujuan dari Bangladesh. Sehingga konflik Myanmar dan Bangladesh ini
dilatar belakangi oleh sengketa sebidang wilayah yaitu teluk Benggala yang terletak dalam
perairan sepanjang tepi barat Myanmar dan sekitar 93 km barat daya pulau St. Martin.Atau jika
ditarik lebih jauh, ketegangan antara pemerintah Myanmar dan Bangladesh berpusat pada
sengketa cadangan minyak yang akan dieksploitasi dan belum disepakatinya perbatasan teritorial
ini. Konflik perbatasan ini, semakin menambah daftar panjang konflik yang terjadi di Asia
Tenggara. Wilayah Asia Tenggara sebagian besar merupakan wilayah perairan, sehingga
geografi maritim kain kompleks.

Di dalam menyikapi kasus persengketaan Teluk Bengal yang terjadi antara Myanmar dan
Bangladesh yang telah berlagsung selama 3 dekade, tentunya kedua negara tersebut telah
melakukan berbabagai usaha resolusi konflik baik dengan melibatkan organisasi-organisasi
internasional seperti ASEAN dan PBB yang turut andil menyelesaikan konflik tersebut melalui
kebijakan-kebijakannya. Beberapa pertemuan pun dibuat termasuk melalui negosiasi atau jalur
perundingan bilateral antar kedua negara yang terjadi di Dhaka untuk membicarakan upaya
penyelesaian sengketa  dalam usaha menetapkan batas maritim namun pertemuan tersebut
berakhir tanpa hasil termasuk. Dan dalam lingkup ASEAN sendiri, Myanmar yang menjadi
negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas
maritimnya melalui jalur Mahkamah Internasional. Sehingga kemudian sengketa kedua negara
ini dilakukan dengan upaya konsiliasi dengan menunjuk ITLOS sebagai konsiliator. Kedua belah
pihak menerima yurisdiksi International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) untuk
sengketa mereka. Myanmar pada tanggal 4 November 2009 dan Bangladesh pada tanggal 12
Desember 2009 secara resiprokal menyepakati bahwa klaim ini akan dibawa ke ITLOS. Peran
ITLOS dalam penyelesaian sengketa di Teluk Benggala antara Myanmar dan Bangladesh
menggunakan penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dalam kerangka
UNCLOS 1982 dimana menggunakan penyelesaian sengketa secara damai yaitu, menggunakan
sarana-sarana penyelesaian sengketa sebagaimana diatur pada Pasal 33 Ayat 1 Piagam PBB. 
Adapun deklarasi kedua negara tersebut yakni 1) Deklarasi Myanmar menyatakan:  Sesuai
dengan Pasal 287, ayat 1, 1982 Inggris Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS),
Pemerintah Myanmar dengan ini menyatakan bahwa menerima yurisdiksi Pengadilan
Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Myanmar dan Bangladesh
yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua negara di Teluk Benggala. 2)
Deklarasi Bangladesh menyatakan: Berdasarkan Pasal 287, ayat 1, 1982 PBB Konvensi tentang
Hukum Laut, Pemerintah Bangladesh menyatakan bahwa ia menerima yurisdiksi Pengadilan
Internasional untuk Hukum Laut untuk penyelesaian sengketa antara Bangladesh dan Myanmar
yang berkaitan dengan delimitasi batas maritim antara kedua Negara  di Teluk Benggala (Menas
Associates, n.d).

Berdasarkan hasil kesepakan kedua negara serta berdasarkan suara yang telah disepakati, maka
keputusan ITLOS dalam menangani kasus persengketaan ini yaitu; 1.)Dalam hal Delimitasi laut
teritorial, Keputusan Pengadilan menerima keputusan klaim Bangladesh dan memberikan efek
penuh di Pulau St Martin di wilayah delimitasi laut teritorial; 2.) Dalam hal Delimitasi Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen Dalam 200 Mil, keputusan Pengadilan jika
dilihat dari status dan akibat yang harus diberikan kepada Pulau St Martin, ITLOS berpendapat
bahwa tidak ada aturan umum dan keadaan tertentu yang dianggap penting; 3.) Dalam hal
Delimitasi Landas Kontinen Di Luar 200 Mil, keputusan Pengadilan dalam hal ini adalah
pertama kalinya bahwa pengadilan internasional harus menangani hukum dan praktek Delimitasi
Landas Kontinen di luar 200 mil (Menas Associates, n.d).  Sedangkan berdasarkan keputusan
arbitrase mengenai sengketa yang terjadi antara Myanmar dan Bangladesh, keputusan ITLOS
mengatakan bahwa Bangladesh memenangkan arbitrase,namun Bangladesh harus menyerahkan
klaim atas sejumlah besar ZEE dan beberapa blok gas ke Myanmar. Pengadilan juga
menyarankan Myanmar dan Bangladesh untuk saling menjaga wilayah kedaulatannya masing-
masing agar upaya penyelesaian sengketa yang sudah kedua negara lakukan tidak sia-sia
sehingga kedua negara dapat menjadi negara yang saling menguntungkan antar negara dan
diharapkan keputusan ini menjadi kemenangan kedua negara. Mengingat keputusan telah
mengakhiri masalah yang telah menghambat perkembangan ekonomi kedua negara selama lebih
dari 3 dekade.

2.6 Konflik Vietnam-Kamboja

Latar belakang awal kemunculan konflik di Kamboja dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor
pertama bahwa adanya berbagai kepentingan dari pihak asing di Kamboja. Pihak asing yang
terlibat dalam proses pembentukan bangsa Kamboja ini cenderung mengambil keuntungan dari
Kamboja. Kamboja merupakan negara yang terletak di bagian timur laut Asia Tenggara dan
merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Thailand, Vietnam, dan Laos. Sekitar abad
ke-10 sampai abad ke-14, wilayah Kamboja berada di bawah kejayaan Kerajaan Khmer. Namun,
sejak abad ke-14, Thailand dan Vietnam menginvasi dan berusaha untuk menguasai Kamboja
terus menerus selama 4 abad. Thailand melihat bahwa Kamboja memiliki pangsa pasar yang
sangat potensial bagi perdagangan kedua negara tersebut. Vietnam kemudian ingin menyatukan
wilayah Indocina di bawah kepemimpinannya yang didukung oleh Perancis. Kamboja kemudian
menjadi bagian dari French Protectorate atau perlindungan Perancis dan bagian dari French
Indochina atau bagian dari koloni Perancis. Awal tahun 1940-an, tepatnya pada saat Perang
Dunia II, Kamboja menjadi wilayah perebutan bagi Perancis dan Jepang. Jepang berhasil
merebut Kamboja dari perancis pada tahun 1940, tetapi kemudian kembali menjadi wilayah
perlindungan Perancis sampai tahun 1953 karena Jepang yang menyerah pada sekutu. Negara
superpower seperti Amerika Serikat, Uni Soviet dan Cina juga memliki kepentingan terhadap
Kamboja, di mana Cina memberikan dukungan kepada pemerintahan Democratic Kampuchea di
bawah pimpinan Pol Pot dan Pangeran Sihanouk untuk mengusir Vietnam yang didukung oleh
Uni Soviet untuk keluar dari Kamboja. Sedangkan, Amerika Serikat melihat Kamboja sebagai
wilayah yang strategis untuk membendung komunisme Vietnam Utara pada Perang Indocina
tahun 1965-1975 dengan jalan membangun aliansi dengan negara-negara kawasan Indocina
seperti Vietnam Selatan, Thailand dan Kamboja di bawah pemerintahan Lon Nol (Runtukahu,
2009).

Faktor kedua yaitu adanya implikasi kebijakan rezim Pol Pot yang menyebabkan konflik
berkepanjangan di Kamboja. Sebagai tindakan awal, Pol Pot membagi masyarakat di Kamboja
menjadi 5 kategori yakni petani, pekerja, borjuis, kapitalis dan feudalis sehingga kebijakan-
kebijakan yang ditetapkan kemudian mengubah seluruh elemen masyarakat di Kamboja.
Kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim Pol Pot tersebut kemudian mengundang
berbagai reaksi antara negara-negara sekitarnya. Reaksi yang cukup keras disampaikan oleh
Vietnam bahwa Vietnam merasa kebijakan rezim Pol Pot telah merugikan warga keturunan
Vietnam di Kamboja. Akibatnya, terjadilah intervensi Vietnam di Kamboja sebagai akar dari
konflik di Kamboja. Tindakan Vietnam yang melakukan intervensi didasari atas perlakuan tidak
manusiawi yang dilakukan oleh rezim Pol Pot terhadap puluhan ribu warga keturunan Vietnam
dan khususnya para anggota partai komunis pro Vietnam yang juga pernah berkoalisi
menumbangkan Lon Nol pada tahun 1975. Tindakan tersebut dianggap Vietnam telah melewati
batas toleransi pihak Vietnam sehingga Vietnam merasa terpaksa untuk menyerang pemerintahan
Pol Pot guna menyelamatkan rakyatnya (Runtukahu, 2009).

Pada awal tahun 1979, inervensi Vietnam secara resmi mengambil alih pemerintahan di
Kamboja dan kemudian membangun negara boneka Vietnam di Kamboja. Vietnam yang berhasil
mengambil alih Kamboja membentuk pemerintahan baru yang dikenal sebagai People’s
Republic of Kampuchea (PRK) yang dipimpin oleh Presiden Heng Samrin dan Hun sen sebagai
Perdana Menteri. Berdirinya PRK sebagai pemimpin Kamboja mendapat dukungan dari Uni
Soviet dan Laos. Namun, PRK gagal untuk mendapatkan dukungan dari dunia internasional
khususya PBB. Hal ini disebabkan oleh intervensi militer yang dilakukan Vietnam mengundang
reaksi negatif dari dunia internasional. PBB dan kebanyakan negara lainnya menolak untuk
mengakui rezim Heng Samrin sebagai pemerintahan yang sah di Kamboja (Runtukahu, 2009).

ASEAN sebagai organisasi regional menganggap intervensi dan invansi yang dilakukan Vietnam
terhadap Kamboja tidak sesuai dengan visi ASEAN untuk menjadikan suatu komunitas Asia
Tenggara yang damai dan hal ini juga telah mengancam keamanan negara anggota ASEAN yang
berbatasan langsung dengan Kamboja, yakni Thailand. Untuk penyelesaian konflik tersebut,
ASEAN memanfaatkan pengaruhnya melalui lobi dengan anggota komunitas internasional dan
melakukan mobilisasi dukungan melalui diplomasi koleftif di forum internasional. Upaya
ASEAN tersebut kemudian berhasil tersalurkan saat PBB menggelar International Conference
on Kampuchea (ICK) pada bulan Juli 1981. Namun, harapan ASEAN terhadap ICK dalam
penyelesaian konflik tersebut dinilai kurang sukses karena konferensi ini tidak berhasil untuk
menghadirkan negara-negara tertentu. Hal ini disebabkan oleh terpecahnya sikap negara-negara
tertentu yang mendukung pemerintahan yang dibentuk oleh Vietnam, dan pihak-pihak oposisi
yang bertentangan (Runtukahu, 2009).

Konflik di Kawasan Asia Selatan

Dunia telah menyaksikan proliferasi perjanjian perdagangan regional (Regional Trading Agreement, RTA)
selama 2 dekade terakhir. Sejak tahun 1990, hampir 250RTA telah disepakati secara resmi. Dalam tahun-
tahun terakhir telah menjadi periode paling produktif dalam sejarah RTA, dengan sebanyak 43RTA yang
dinotifikasi ke WTO. Substansi RTAcukup heterogen yang mencerminkan kekuatan ekonomi, politik,
sosial, dan budaya. Hasil RTA telah membuka peluang pasar dan perdagangan baru, semakin frustrasi
dengan negosiasi perdagangan multilateral (misalnya, WTO). Kerjasama semacam itu juga menjadi
upaya untuk membangun c kekuatan negosiasi atau mengurangi perdagangan ilegal dan
penyelundupan. Berbagai perjanjian regional itu bahkan bisa mencerminkan model ekspor kerjasama
regional seperti Uni Eropa bagi blok regional lainnya. Keragaman perjanjian tersebut menggambarkan
dengan jelas bahwa RTAtelah mempromosikansesuatu lebih dari sekedar perdagangan atau, dalam hal
ini, integrasi ekonomi. RTA harus dilihat secara inklusif sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan
sosial-ekonomi dan stabilitas politik di kawasan tertentu.

Karena pertambahan jumlah RTA maka kesepakatan tersebut kemudian menimbul efek kawasan secara
eksternal dan internal. Mungkin aspek yang paling signifikan dan agak diabaikan adalah hubungan
antara RTA dengan stabilitas politik, yang isu terakhir ini menjadi salah satu penentu utama dari
terjadinya konflik antar dan intra negara dalam suatu wilayah Tulisanini berfokus pada wilayah Asia
Selatan dan menguji konteks politik dan ekonomi strategis RTA dijalankan. Asia Selatan merupakan
wilayah strategis yang penting dimana negara memiliki sejarah integrasi serta konflik. Di era kolonial,
sebagian besar wilayah Asia Selatan berada di bawah kekuasaan Inggris. India, negara terbesar di
wilayah ini adalah ekonomi tunggal yang terintegrasi dengan baik pada saat itu. Dengan pecahnya
wilayah kolonial India menjadi Pakistan dan India (1947), dan kemudian memecah lebih lanjut dari
Pakistan ke Bangladesh (1971), integrasi ekonomi regional melemah . Pada saat yang sama,negara-
negara di kawasan ini mengalami ketegangan dan konflik dalam jangka waktu yang lama.

Asia Selatanmerupakan wilayah yang rawanterhadap konflik ketegangan politik. India, sebagai
negarayang terbesar dan secara geografis telah mengembangkan perbedaan dengan sebagian besar
negara tetangganya yang lebih kecil. Ketegangan cenderung muncul kembali secara periodik dan tidak
mengijinkan suasana saling percaya. Mencerminkan ketegangan ini, sebuah laporan Uni Eropa
menyimpulkan bahwa tingkat risiko politik dalam konteks investasi perdagangan di Asia Selatan
termasuk tinggi. Laporan ini hanya menampilkan dua anggota SAARC (South Asia Agremeent Regional
Cooperation) dengan risiko politik terkecil, yaitu Maladewa dan Bhutan. Negara-negara lain dianggap
rapuh, dengan nilai rata-rata stabilitas jauh di bawah rata-rata global (Komisi Eropa 2005).

Aspekyang perlu dicatat adalah bagaimana ketidakstabilan internal dan eksternal akibat ketegangan dan
konflik menimbulkan efek ketidakstabilan politik dan ekonomi. Pada hakekatnya, jalinan konflik intra
dan antar negara telah menunda reformasi ekonomi dan politik dalam negeri, dan menghambat
integrasi ekonomi dan perdagangan regional. Tulisan ini menyajikan gambaran konflik di wilayah
tersebut dengan fokus pada periode ketika negara-negara Asia Selatan sedang membuat upaya untuk
meningkatkan pengaturan perdagangan regional. Penting untuk dicatat bahwa semua konflik bilateral
selama periode ini telah bersifat India-sentris, yang mencerminkan sebagian besar aspirasi hegemonik
India dan didukung oleh supremasi militer negara ini di wilayah itu.

India dan Pakistan

Hubungan antara India dan Pakistan, 2 negara terbesar di kawasan ini, mewujudkan ketidakstabilan
regional yang permanen. Kedua negara telah terkunci dalam konflik yang berkepanjangan - baik terbuka
atau terselubung, karena perpecahan pada tahun 1947, yang merupakan kendala terbesar untuk
integrasi ekonomi regional. Sejak permulaan tahun 1980-an ditandai konflik terselebung dibandingkan
dengan konflik aktif. Setelah kalah dalam perang yang menentukan ke India pada tahun 1971 yang
mengakibatkan pemisahan Bangladesh dari Pakistan, Pakistan mengambil sikap lebih kalemdan bersedia
kompromi tentang Kashmir, yang memungkinkan kedua negara untuk mengatasi masalah ekonomi dan
perdagangan. Berbagai upaya diplomatik akhirnyamendorong terbentuknya SAARC pada tahun 1985.

Namun,karena watak dasar yang keras dan didorong oleh dinamika agama dan militer dalam sejarah,
menyebabkan penurunan yang signifikan dalam hubungan tersebut pada akhir 1980-an. Gerakan
separatis Kashmir mendapatkan momentum di Kashmir India pada akhir 1980-an. Segera setelah itu,
Pakistan mulai memberikan dukungan politik dan militer kepada pemberontak. Dukungan tersebut terus
membuat kedua belah pihak berselisih sepanjang 1990-an. India terus menerus menyalahkan Pakistan
atas kerusuhan di Kashmir, menuduh memberikan pelatihan dan mengirimkan agen untuk bergabung
dengan pelaku pemberontakan.

Masalah keamanan antara Pakistan dan India mencapai puncaknya pada tahun 1998, ketika kedua belah
pihak melakukan uji coba senjata nuklir, yang kemudian memperkenalkan dimensi yang sangat stabil
dengan paradigma keamanan. Pada tahun 1999, Pakistan dan India terlibat dalam konfrontasi
bersenjata di wilayah Kargil, Kashmir. Meskipun konflik berakhir di jalan buntu, Kargil menandai konflik
pertama antara dua negara yang memiliki senjata nuklir dan membawa banyak orang untuk menyadari
potensi bencana nuklir. Ketegangan mencapai titik tertinggi pada tahun 2002 ketika India menyalahkan
Pakistan karena telah merekayasa serangan teroris pada parlemen India. Kedua belah pihak
menemukan diri mereka di tengah-tengah kebuntuan salama 10 bulan, dengan mengumpulkan jutaan
tentara di perbatasan India-Pakistan, suatu bentuk membuat mobilisasi militer terbesar dalam sejarah di
wilayah ini. Mengingat tekanan internasional yang kuat, pelucutan senjata akhirnya tercapai sebelum
konflik meningkat lebih tidak terkendali.

Di tengah ketegangan tersebut, Pakistan dan India telah melakukan beberapa upaya untuk memulai
proses perdamaian guna menyelesaikan perselisihandiantara mereka. Inisiatif utama dilakukan sebelum
Perang Kargil pada tahun 1999, ketika kedua belah pihak menandatangani "Deklarasi Lahore", dan pada
tahun 2001 ketika Presiden Pakistan Parvez Musharraf membuat sebuah upaya yang gagal untuk
memprakarsai upaya perdamaian. Proses perdamaian merupakan upaya terbaru oleh kedua belah pihak
untuk melakukan perbaikan hubungan. Sementara upaya saat ini telah berlangsung lebih insentif
dibandingkan era sebelumnya tetap saja ketegangan India-Pakistan masih tinggi. Semua berakar pada
kecurigaan antara kedua belah pihak yang tidak berubah dan masalah yang luar biasa besar yang belum
terpecahkan. Bahkan jika tawaran perdamaian saat ini tetap diupayakan, akan membutuhkan puluhan
tahun sebelum Pakistan dan India mulai saling percaya.

India dan Sri Lanka


Pada 1980-an, Sri Lanka perlahan-lahan berada di bawah cengkeraman konflik etnis antara mayoritas
Sinhala dan separatis minoritas Tamil guna memperoleh kemerdekaan dari Utara Sri Lanka. India
memiliki minat alami dalam masalah ini, mengingat populasi Tamil yang cukup besar di India Selatan.
Pada awal 1983 India berusaha, meskipun tidak berhasil, untuk memediasi konflik di Sri Lanka.

Kekerasan etnis di Sri Lanka menyebabkan ketegangan serius antara India-Sri Lanka karena pemerintah
India secara terbuka mulai bersimpati dengan orang Tamil Sri Lanka. Macan Pembebasan Elam Tamil
Elam (LTTE), sebuah organisasi militan, dilaporkan didanai oleh negara bagian Tamil Nadu, fakta yang
ditoleransi oleh New Delhi. Selain itu, pada tahun 1987, ketika pemerintah Sri Lanka berusaha untuk
mendapatkan kembali kontrol atas wilayah utaranya melalui blokade ekonomi, India menyelamatkan
orang Tamil. Pada bulan Juli tahun 1987, India memutuskan untuk mengirim Pasukan Pemeliharaan
Perdamaian India (IPKF) ke Sri Lanka di bawah perjanjian yang berusaha untuk melucuti Tamil dan
mencapai perdamaian.

Perjanjiantersebut menimbulkan kemarahan lebih lanjut antara etnis Sinhala Sri Lanka yang melihat hal
ini sebagai upaya India untuk membangun hegemoninya atas Sri Lanka. Hubungan antara India dan Sri
Lanka mencapai titik nadir pada tahun 1989 ketika pemerintah Sri Lanka menuntut penarikan IPKF.

Mengingat bahwa ketegangan India-Sri Lanka mencapai klimaks pada saat SAARC dalam masa
pertumbuhan, dampak terhadap pengelolaan kawasan menjadi jelas. India memboikot KTT SAARC 1991
di Kolombo, menyebabkan penundaan pertemuan tersebut. Penundaan pertemuan tingkat tinggi
tersebut hanya satu hari sebelum dilaksanakan dan berlangsung tiba-tiba, diselingi ketegangan antara
Sri Lanka dan India.

Sejak awal 1990-an, sementara tetap mendukung gerakan Tamil, India telah menahan diri untuk
melakukan intervensi langsung. India juga mulai resmi mendukung posisi pemerintah Sri Lanka. Selain
itu, kedua belah pihak telah meningkatkan kerjasama di sektor lain, yang mengarah ke peningkatan yang
signifikan dalam hubungan mereka. Sementara gerakan separatis Tamil memang menciptakan iritasi
kecil dari waktu ke waktu, India tampaknya benar-benar tertarik pada solusi damai untuk masalah ini.
Secara keseluruhan, kecurigaan Sri Lanka atasdesain hegemonik India telah berkurang secara
substansial, sehingga hubungan antara kedua negara menjadi lebih ramah.

India dan Bangladesh

Terlepas dari kenyataan bahwa India mendukung separatis Pakistan Timur, yang akhirnya memperoleh
kemerdekaan menjadi negara Bangladesh, hubungan kedua negara tetap terjalin. Meskipun kedua belah
pihak merumuskan perjanjian ekonomi dan perjanjian tahunan terbarukan pada isu pembagian sumber
daya air, sejumlah kekhawatiran tetap muncul. Sebuah kekhawatiran yang dirasakan Bangladeshserupa
dengananggota SAARC lainnya, yaitu kecurigaan atas upaya India untukmemberikan pengaruh langsung
terhadap tetangganya.

Secara khusus, di awal 1990-an, hubungan India-Bangladesh memburuk akibat sengketa Barrage
Farakka, di mana India telah membangun sebuah kanal pengumpan untuk mengalihkan air. Ketegangan
muncul di permukaan karena tidak ada solusi permanen yang ditermukan untuk masalah yang luar biasa
besar. Pada tahun 2001, India dan Bangladesh melakukan konfrontasitentang perbatasan. Konflik
berpusat di sekitar wilayah perbatasan yang disengketakan dekat desa Pyrdiwah tapi tetap dikerahkan
pasukan perbatasan di kedua sisi (Gencatan Senjata 2001). Pulau sungai Muhurichar juga diklaim oleh
kedua negara. Namun, masalah ini tetap mengemuka sejak tahun 1985.

Pada akhir 1980-an, India berusaha untuk membangun pagar di perbatasan internasional India-
Bangladesh untuk menghentikan imigran ilegal yang mengalir ke Benggala Barat. Masalah ini telah
mencapai tingkat yang serius di masa lalu. Akhir-akhir ini, India juga menuduh Bangladesh bersekutu
dengan Pakistan dan bertindak sebagai saluran untuk operasi teroris anti-India. Bangladesh, di sisi lain,
menyalahkan India atas dukungan pemberontak anti-Dhaka, Chakma.

India dan Nepal

Hubungan India-Nepal juga penuh dengan ketegangan meskipun kedua belah pihak tidak membolehkan
hubungan mereka secara keseluruhan untuk dijadikan sandera atas perbedaan mereka. Persamaan
India-Nepal adalah contoh klasik dari manuver politik kekuasaan besar terhadap kekuasaan yang lebih
kecil di mana Nepal, berusaha maksimal untuk mempertahankan postur yang independen, meskipun
secara ekonomi tergantung pada India. Sebagian besar masalah antara kedua belah pihak didasarkan
pada kekhawatiran ekonomi.

Hubungan India-Nepal cukup tegang ketika SAARC dibentuk. India telah menolak tawaran Nepal
mengenai zona keamanan internasional (Murthy 1999). Akuisisi Nepal atas persenjataan Cina
menghasilkann protes resmi yang kuat dari pemerintah India, khawatir akan kehilangan pengaruhnya di
Katmandu. Pada tahun 1988, Nepal menolak untuk mengakomodasi tuntutan India di untuk meninjau
perjanjian diantara kedua negara. Nepal mengambil pendekatan garis keras, dan setelah berakhirnya
perjanjian pada tahun 1989, menghadapi blokade ekonomi dari India, suatu perkembangan yang
menyebabkan eskalasi lebih lanjut ketegangan India-Nepal.

Baru-baru ini, kesepakatan damai dalam hubungan bilateral telah muncul. Meskipun India dan Nepal
juga memiliki perselisihan teritorial yang mencakup wilayah seluas 75 kilometer persegi akan tetapi
masalah itu belum berdampak terhadap hubungan Indo-Nepal ke tingkat yang signifikan.

Sejak awal 1990-an, memburuknya situasi ekonomi dan politik di Nepal telah memaksa untuk
melakukan perbaikan hubungan dengan India. Pada tahun 1990, hubungan keamanan khusus antara
kedua negara dipulihkan dan pada pertengahan 1990-an, perjanjian perdagangan dan transit baru
ditandatangani bersama dengan perjanjian ekonomi lainnya. India juga telah mendukung pemerintah
Nepal dalam memerangi pemberontakan Maois yang sedang berlangsung di negeri ini, sebuah fakta
yang telah lebih meningkatkan hubungan antara kedua negara.

Sabtu, 22 Desember 2012

Korea Utara vs Korea Selatan

          Korea Utara vs Korea Selatan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional karena konflik ini
melewati batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
          Korea Utara vs Korea Selatan, disebabkan karena korea selatan bersikeras melakukan latihan
militer di wiliyah sengketa, sekitar puluhan kilometer dari pulau Yeonpyeong dan Korea Utara tanpa
peringatan meluncurkan roket ke arah Korea Selatan dan di balas kembali oleh Korea Selatan. (versi
tahun 2010) Saat ini tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan konfrontasi.

China vs Taiwan

          China vs Taiwan, termasuk ke dalam jenis konflik internasional karena konflik ini melewati
batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
          China vs Taiwan, disebabkan karena terjadi perang saudara di China daratan antara Partai
Nasionalis Kuomintang dan Partai Komunis. Perang yang berakhir di tahun 1949 ini dimenangkan oleh
kubu komunis yang kemudian membuat Kuomintang tergusur dan lari ke Taiwan. Di Taiwan,
Kuomintang yang dipimpin oleh Chiang Kai-shek kemudian mendirikan pemerintahan yang tetap
diberi nama Republik China. Chiang Kai-shek mendirikan pemerintahan ini dengan tujuan untuk tetap
mempertahankan filosofis nasionalis, dan berusaha membangun kekuatan untuk pada akhirnya
kembali merebut China daratan. Saat ini tingkatan konfliknya masih dalam tingkatan post konflik yang
dimana Partai nasionalis Kuomintang melarikan diri ke Taiwan dan berdasarkan sokongan A.S, maka
Pulau Taiwan dipisahkan dari Tanah Besar China.

Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan

         Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, termasuk ke dalam jenis konflik
internasional karena konflik ini melewati batas-batas negara dan melibatkan 2 negara di dalamnya.
         Klaim kepemilikan Takeshima antara Jepang dan Korea Selatan, disebabkan karena letak pulau
ini yang berada di antara Jepang dan korea Selatan, kedua negara mengklaim pulau tersebut
berdasarkan letak geografis serta historis atas kepemilikan pulau tersebut. Pulau ini kaya akan biota
laut dan sumber gas alam. Pulau ini juga mencerminkan kepribadian dari kedua negara secara
simbolik.sehingga muncul perdebatan kepemilikan atas pulau tersebut. saat ini tingkatan konfliknya
masih dalam tingkatan outcome yang dimana Jepang pernah meminta Korea Selatan agar membawa
sengketa ini ke Mahkamah Internasional pada tahun 1954 dan 1962, namun keduanya ditolak oleh
Korea Selatan.

Konflik antara etnis muslim Uyghur dengan etnis Han dan pemerintah China
Jenis konflik : Konflik internal, horizontal dan vertikal
Tingkatan konflik:

1. Pre konflik
Konflik ini sudah terjadi pada tahun 1980-an, Xinjiang adalah daerah dengan sumber daya alam yang
berlimpah, mulai dari minyak, batubara, dan gas alam, letak xinjiang pun sangat strategis.
Penduduknya adalah dari muslim Uyghur dan etnis Han (mayoritas, hal ini yang di sinyalir menjadi
awal dari konflik ini, karena muslim Uyghur berada di daerah yang sangat strategis sebagaimana yang
di sebutkan oleh Anshari Thayib dalam bukunya Islam di China dan oleh Dr. Suffian Mansur, dosen
sejarah Universitas Malaysia. Jadi, konflik ini awalnya bukan merupakan konflik agama antar muslim
dan non-muslim, tetapi lebih kepada perebutan sumber-sumber daya alam dan hal ini di dukung
dengan turut campurnya pemerintahan China yang berpihak kepada salah satu etnis.

2. Konfrontasi
Pada tahun 1990, pemerintah China melarang pembangunan masjid dan madrasah. Hal ini berujung
pada konfik kekerasan antara umat muslim Uyghur dengan pemerintahan. Pemerintah pun melarang
muslim Uyghur berpuasa. Hal ini membuat muslim Uyghur mulai melawan dan terjadi beberapa
konfrontasi.

3. Krisis
5 Juli 2009, merupakan puncak dari konflik antara dua etnis ini, muslim Uyghur yang di sinyalir
sebagai sebuah gerakan perjuangan yang ingin memisahkan diri dari China. Diberitakan bahwa
sedikitnya 140 orang tewas dan 828 orang terluka. Hal ini melibatkan muslim Uyghur dan etnis Han
(pemerintah). ini juga merupakan sebuah penyelesaian konflik secara kohersif tapi juga sebagai
puncak dari konflik antara muslim Uyghur dan etnis Han yang sudah terjadi beberapa tahun ini.

KONFLIK JEPANG-CHINA (klaim Kepulauan Diaoyu/Senkaku)

Aktor yang Terlibat :


Jepang, China, Amerika Serikat.

1. Pre Conflict :
Saling klaim wilayah. Kepulauan Diaoyu/Senkaku tidak dikembalikan ke Tiongkok (China & Taiwan)
setelah Amerika meninggalkan Okinawa (1972) sehingga Jepang mengklaim kepulauan tersebut
adalah miliknya. Ketidakpedulian China (setelah beberapa lama Amerika meninggalkan Okinawa dan
menyerahkannya ke Jepang) terhadap kepualauan Diaoyu/Senkaku membuat Jepang berlarut-larut
dan pengelolaan pulau tersebut lebih banyak dilakukan oleh Jepang.

2. Confrontation :
Eksplorasi dimulai di area kepualauan Diaoyu/Senkaku dan China menemukan fakta bahwa kepulauan
tersebut kaya akan sumber daya alam. Mulailah China kembali mempermasalahkan kepulauan
tersebut. Disisi lain, Jepang pada September 2012 lalu membeli 3 pulau dari kepulauan
Diaoyu/Senkaku sehingga mendapat kecaman keras dari pemerintah China.

3. Crisis :
Belum terjadi perang fisik, namun hubungan bilateral kedua negara semakin memburuk.
4. Outcome :
Belum ada usaha untuk meredam konflik. Kedua negara hanya unjuk kekuatan militer untuk saling
menakuti sehingga “perdamaian” masih bisa terjaga. Diharapkan penyelesaian masalah ini mampu
dilakukan dengan cara damai.

Anda mungkin juga menyukai