Anda di halaman 1dari 12

KONTROVERSI PEREBUTAN WILAYAH

INDONESIA-MALAYSIA
Jl. Tanah Baru Jl. Kemiri Jaya No.99, Beji, Kecamatan Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16421

X OTKP 7

Materi ini dibuat oleh Kelompok 2


yang beranggotakan :
1. Arini Nurjanah
2. Deswita Umrotul H
3. Fionna Amelia
4. Hana Sahira
5. Mawar Datul S
6. Rika Desmawati
7. Reigina Tifanni
Wilayah perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan
Negara lain (UU No.43 Th 2008) Wilayah perbatasan juga merupakan salah satu kawasan
strategis, dimana kawasan yang secara nasional menyangkut hajar hidap orang banyak, baik
dilihat dari kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan bankam. Daerah yang begitu
penting karena merupakan halaman depan dari sebuah rumah, sehingga perlu dijaga dan
diberi hiasan agar indah. Namun pada umumnya daerah perbatasan belum mendapat
perhatian yang serius dalam hal pembangunan.

Batas Negara adalah garis yang memisahkan antara dua Negara. Batas Negara biasanya
dibatasi oleh tanda-tanda alam, yaitu seperti: pegunungan, laut, sungai, rawa, gurun, hutan,
dan sebagainya. Kondisi Indonesia sangat unik karena lebih dari 4 negara yang menjadi
tetangga, yaitu: Australia, Malaysia, Singapura, Filipina. Papua New Guinea, Thailand, India,
Vietnam, Republik Palau, dan Timor Timur (Timor Leste) yang baru menjadi tetangga kita.

Dalam upaya menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah, maka wilayah perbatasan ini harus
dipertahankan, jangan sampai ada suatu pelanggaran yang mengakibatkan kerugian salah satu
pihak. Dalam politik strategi nasional Indonesia, mempertahankan keutuhan wilayah
Republik Indonesia adalah "survival", artinya tidak bisa tidak harus diperjuangkan demi
keutuhan wilayah RI. Sejengkal tanah harus diperjuangkan dengan taruhan nyawa.
BAB I
Awal Mula Konflik
Negara Indonesia berbatasan langsung dengan negara Malaysia di pulau Kalimantan. Sebagai
negara yang sama-sama berada di Asia Tenggara, keduanya memiliki beberapa kesamaan
juga perbedaan. Diantaranya seperti rasa persaudaraan yang kuat antar masyarakat, adat
istiadat gotong royong, banyaknya budaya-budaya peninggalan leluhur, juga dengan wilayah
geografisnya yang hanya memiliki 2 musim, yakni musin penghujan dan kemarau.

Namun, dibalik persamaan kedua negara eksotis tersebut. Tak jarang kedua penduduk dari
negara tersebut menimbulkan perseteruan. Misalnya seperti tentang senjata tradisional
Indonesia yang belum lama diklaim oleh masyarakat Malaysia sebagai senjata tradisional
mereka, lalu saling beradu argumen dengan membanding-bandingkan etnis tiap negara.
Namun, contoh perseteruan yang paling berpengaruh antara 2 negara adalah perebutan
wilayah. Wilayah yang mereka perebutkan yakni, perbatasan di laut Sulawesi yaitu pulau
Sipadan dan pulau Ligitan.

Tidak ada satupun negara di dunia yang tidak memiliki batas dengan negara lain, batas
tersebut dapat berupa batas darat, udara maupun batas laut. Batas wilayah negara di darat
merupakan batas yang memiliki peran penting karena sebagian besar penduduk dunia tinggal
di darat. Indonesia mempunyai batas darat dengan Malaysia di Pulau Kalimantan. Perbatasan
darat tersebut terletak di Provinsi Kalimantan Barat dan Provinsi Kalimantan Timur.
Perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan masih menyisakan
sepuluh titik yang bersengketa, lima diantaranya terletak di Provinsi Kalimantan Barat.

Hal ini dapat terjadi karena belum adanya kesepakatan antara kedua negara. Ketidakjelasan
dasar hukum antara Indonesia dan Malaysia mengenai batas wilayah darat kedua negara ini
merupakan salah satu penyebab sengketa batas wilayah tersebut dapat terjadi. Penelitian ini
mencoba untuk menganalisis apa yang menjadi dasar hukum dari penentuan batas wilayah
darat antara Indonesia dan Malaysia yang terletak di Pulau Kalimantan. Hasil yang diperoleh
adalah, dasar hukum batas wilayah darat Indonesia dan Malaysia MOU tahun 1973 yang
berorientasi kepada Traktat London buatan Belanda dan Inggris saat masih menjajah
Indonesia dan Malaysia. Selain itu, penelitian ini juga akan menganalisis tentang cara
penyelesaian sengketa batas wilayah darat antara Indonesia dan Malaysia di Pulau
Kalimantan. Dan hasil yang diperoleh adalah, negosiasi adalah cara yang paling tepat untuk
menyelesaikan sengketa batas darat antara Indonesia dan Malaysia.
BAB II
Reaksi Dan Perdebatan Dua Negara
Seperti konflik-konflik sebelumnya yang telah Indonesia dan Malaysia debatkan diantaranya
seperti penagkapan neyalan tradisional di selat malaka (Sumatra), pengungsian politik dari
Malaysia ke Indonesia, bahkan hingga konfrontasi yabg menolak kehadiran Federasi Negara
Malaysia. Namun berbeda dengan masalah sebelumnya, masalah klaim garis perbatasan
antara Indonesia dan Malaysia telah terjadi sejak masa kolonial Belanda di Indonesia dan
masa kolonial Inggris di Malaysia.

Pada tanggal 17 Oktober 1969 negara Indonesia dan Malaysia melakukan perjanjian untuk
menentukan batas landas kontinen antara kedua negara tersebut. Perjanjian ini menghasilkan
putusan persetujuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang
penetapan garis batas landas kontinen antara kedua negara yang telah ditandatangani oleh
delegasi delegasi pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia di Kuala Lumpur.
Perjanjian ini, ditandatangani pada tanggal 27 Oktober 1969. Perjanjian ini diratifikasi oleh
Indonesia dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 89 Tahun
1969.

Landas Kontinen merupakan dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah
permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah
daratannya hingga pinggiran luar tepi kontinen atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil
laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen
tidak mencapai jarak tersebut. Keberadaan landas kontinen ini memberikan hak-hak berdaulat
untuk negara pantai yang wilayahnya meliputi landas kontinen tersebut. Hak berdaulat
tersebut antara lain untuk mengeksploirasi dan mengeksploitasi sumber kekayaan alam di
landas kontinen (Pasal 77 UNCLOS ayat 1).

Tiga belas tahun setelah adanya perjanjian antara Indonesia dengan Malaysia dilaksanakan
tepatnya pada tahun 1982, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan Konvensi
Hukum Laut di Janewa. Konvensi ini diadakan karena kemajuan yang semakin pesat dalam
bidang teknologi kelautan, seperti teknologi penambangan dasar laut dan tanah di bawahnya
yang sudah menjangkau pada jarak dan kedalaman yang sangat jauh, dan masih banyak yang
lainnya. Selain itu, Negara-negara di dunia saat itu, secara pribadi maupun bersama mulai
memperkenalkan pranata hukum laut yang baru, seperti zona ekonomi ekslusif, zona
ekonomi, zona perikanan, dan berbagai klaim lainnya. Keadaan tersebut membuat Negara-
negara di dunia berlomba-lomba dalam menguasai lautan serta mengeksploitasi sumber daya
alamnya."

Klaim-klaim sepihak yang dilakukan oleh negara-negara dunia ini disebabkan karena kurang
jelasnya hukum laut internasional yang mengatur saat itu. Hukum laut tersebut adalah
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1958 dan 1960. Adanya
permasalahan dan ketidakpastian mengenai hukum laut tersebut menjadi dasar
diselenggarakannya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ketiga. Hasil dari adanya
konvensi ini adalah lahirnya UNCLOS (United Nations Convention On The Law of The Sca)
1982 yang ditandatangani di Montego Bay, Jamaika, pada tanggal 10 Desember 1982. Pada
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa ketiga ini, kemudian muncul wilayah perairan baru
yaitu Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Sebagai salah satu anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia kemudian meratifikasi


UNCLOS 1982 dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 1985 Tentang
Pengesahan United Nations Convention On The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Dengan diratifikasinya UNCLOS 1982 oleh
Indonesia, maka Indonesia menyatakan tunduk pada peraturan-peraturan yang termuat di
dalam UNCLOS 1982. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia sebagai salah satu anggota
PBB juga turut meratifikasi UNCLOS 1982 Pada tanggal 14 Oktober 1996. Diratifikasinya
UNCLOS ini membuat Malaysia pun tunduk pada ketentuan ketentuan UNCLOS 1982.

Tahun 2011, terjadi sebuah insiden di Selat Malaka. Insiden tersebut melibatkan dua negara
yaitu Indonesia dan Malaysia. Kronologi insiden ini diawali dengan adanya dua kapal
berbendera Malaysia yang menangkap ikan di Wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEE) di wilayah Selat Malaka. Kedua kapal tersebut kemudian tertangkap oleh Kapal
Pengawas Hiu 001 milik Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan
Kementerian Kelautan Perikanan pada 7 April 2011. Kapal yang ditangkap Antara lain KM.
KF 5325 GT 75, 80 dengan nahkoda berinisial KLA, dan kapal KM. KF 5195 GT 63, 80
yang dinahkodai NHOI. Kedua kapal ini ditangkap karena tidak memiliki SIUP (Surat Izin
Usaha Perikanan) dan SIPI (Surat Izin Penangkapan Ikan) dari Pemerintah Republik
Indonesia. Keduanya juga menggunakan alat penangkap ikan terlarang, yaitu Trawl. Setelah
tertangkapnya dua kapal tersebut, kemudian digiring ke Pelabuhan Belawan.

Penggiringan kedua kapal ini tidak berlangsung lancar, di tengah perjalanan terdapat tiga
helikopter Malaysia yang menghalangi proses penangkapan tersebut
BAB III
Poin-Poin Konflik
Semenjak kedua negara telah merdeka, tercatat ada empat isu serius perbatasan yang menjadi
diskursus di media massa. Yaitu (1) Sengketa pulau Sipadan dan Ligitan yang dimenangkan
oleh negara Malaysia melalui pengadilan internasional (International Tribute to Justice- ITJ)
tanggal 17 Desember 2012 (Herdiani, 2012). (2) Klaim Malaysia terhadap blok Ambalat yang
dipertimbangkan sebagai ancaman kekuatan politik dan militer Indonesia (Burhani, 2008). (3)
Perdebatan patok garis perbatasan sepanjang batas teritorial provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara di negara Indonesia yang berbatasan dengan negara
bagian Sarawak dan Sabah di Malaysia. Dan isu terbaru, (4) Klaim Malaysia yang
membangun tiang pancang rambu suar dalam wilayah Indonesia Tanjung Datu, Kalimantan
Barat.

Herdiani (2012) mencatat bahwa paska kemenangan kasus Sipadan-Ligitan, Malaysia


meningkatkan kekuatan-an militernya di perbatasan. Situasi ini merupakan dilema sekuritas
kedua negara yang serumpun namun berupaya memodernisasi dan meningkatkan kekuatan
militernya untuk mengantisipasi ancaman dari negara lain. Sehingga konflik area perbatasan
memaksa kekuatan militer untuk melakukan militerisasi, misalnya di Ambalat sebagai bagian
untuk menjaga kedaulatan negara masing-masing (Lumenta, 2012). Apalagi terdapat 10 titik
yang masih berstatus outstanding border problem (OBP) sepanjang 2.004 km di perbatasan
Pulau Kalimantan (Lestari, 2013). Sepuluh titik perbatasan yang masih dianggap bermasalah
tersebut adalah (1) Tanjung Datu, (2) D400, (3) Gunung Rayak, (4) Sungai Buah, (5) Batu
Aum, (6) C500 sampai C600, (7) B2700 sampai B3100, (8) Sungai Simantipal, (9) Sungai
Sinapat, dan (10) Pulau Sebatik.

Indonesia menunjuk Menteri Sekretaris Negara ketika itu, Moerdiono , dan Malaysia
menugaskan wakil perdana menterinya yaitu Anwar Ibrahim untuk mewakili Malaysia dalam
perundingan. Presiden Soeharto dari Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir
Mohammad, di Yogyakarta pada Juni 1998.
BAB IV
Pasal Hukum Yang Bersangkutan
Pasal-pasal yang bersangkutan diantaranya, (1) Blok Ambalat yang diklaim Indonesia dan
Malaysia adalah milik Indonesia berdasarkan ketentuan Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang
diikuti Prp No. 4/1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 yang
sudah diratifikasi oleh Indonesia Undang-Undang No.6 Tahun 1996 tentang perairan
Indonesia, Peraturan pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dan peraturan pemerintah No. 37 Tahun 2008
Tentang perubahan Atas pemerintah No.38 Tahun 2002 Tentang Daftar Koordinat Geografis
Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Sedangkan Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik garis
pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan. (2) Cara
penyelesaian sengketa terkait pengklaiman Blok Ambalat antara Indonesia dan Malaysia
dilakukan berdasarkan Pasal 1, 2 dan 33 Piagam PBB tentang penyelesaian sengketa secara
damai dengan cara negosiasi. Sebagai Negara Kepulauan yang besar, Indonesia memiliki
potensi nilai strategis dari bidang kelautan dalam mendukung pembangunan nasional. Maka
Indonesia harus mampu memainkan peran strategis sesuai amanat UUD 1945 dalam Pasal 33
Ayat (3) yang menyatakan bahwa Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.

Garis pangkal juga merepresentasikan batas perairan pedalaman yang berada di sebelah
dalam garis pangkal ke arah daratan (landward) jelas terlihat bahwa memahami konsep
penentuan garis pangkal sangat penting dalam delimitasi batas maritim (Arsana, 2007:11).

1. Garis Pangkal Normal

Garis pangkal normal dijelaskan dalam pasal 5 UNCLOS sebagai garis air rendah (the
low water) di sepanjang pantai seperti terlihat pada peta skala besar yang diakui oleh negara
bersangkutan. Sebagai pengertian umum, garis pangkal normal bisa disamakan dengan garis
air rendah disepanjang pantai benua dan/atau pulau (Arsana, 2007:12).

2. Garis Pangkal Lurus Berkaitan dengan garis pangkal lurus


Pasal 7 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa garis pangkal lurus (untuk laut teritorial)
bisa digunakan jika garis pantai benar-benar menikung dan memotong kedalam atau
bergerigi, atau jika pulau tepi di sepanjang pantai yang tersebar tepat di sekitar garis pantai.
Garis pangkal lurus adalah garis yang terdiri atas segmen-segmen lurus menghubungkan
titik-titik tertentu yang memenuhi syarat. Pasal 7 UNCLOS juga mengatakan bahwa garis
pangkal lurus bisa diterapkan karena adanya delta di pantai yang tidak stabil tetapi garis
pantainya juga harus dalam keadan benar-benar menjorok dan terpotong ke dalam, atau harus
terdapat pulau tepi seperti yang disebutkan sebelumnya (Arsana, 2007:14).

3. Garis Pangkal Kepulauan Berdasarkan Pasal 46 UNCLOS 1982

Negara kepulauan adalah Negara yang seluruhnya terdiri dari suatu atau lebih
kepulauan. Adapun yang dimaksud dengan kepulauan ialah sekumpulan pulau-pulau,
perairan yang saling bersambung bersambung (inter-connecting waters), dan karakteristik
ilmiah lainnya dalam pertalian yang sedemikian eratnya sehingga membentuk satuan intrinsik
geografi ekonomi, dan politis atau secara historis memang dipandang demikian (Munawar,
1995:5).

Garis pangkal kepulauan juga cara formal diakui eksistensinya dalam UNCLOS 1982,
tegasnya dalam Bab/Bagian IV Pasal 46-54, yang secara khusus mengatur tentang negara
kepulauan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa garis pangkal kepulauan ini khususnya
hanya diterapkan oleh negara kepulauan, meskipun secara geografis negara itu berbentuk
kepulauan, maka negara yang demikian. tidak menetapkan garis pangkal kepulauan. Negara
itu hanya bisa menerapkan garis pangkal normal dan garis pangkal lurus dalam pengukuran
lebar laut teritorial (Parthana, 1990:77).

Tentang garis pangkal kepulauan secara khusus diatur dalam Pasal 47 ayat 1-9 Ayat (1)
UNCLOS 1982, menegaskan hak negara kepulauan untuk menetapkan garis pangkal
kepulauan. Selanjutnya ditegaskan tentang cara menarik garis pangkal kepulauan, yakni
dengan menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar. Syarat garis lain adalah
seperti yang ditegaskan pada ayat (2) pada UNCLOS 1982, bahwa panjang garis pangkal
kepulauan tidak boleh melebihi dari 100 mil laut, kecuali hingga 3% dari jumlah seluruh
garis pangkal yang mengelilingi setiap kepulauan diperkenankan melebihi dari panjang
tersebut hingga pada panjang maksimum 125 mil laut (UNCLOS, 1982:18).

Hal ini sesuai dengan Pasal 47 ayat (6) dalam UNCLOS 1982 yang menegaskan tentang
perairan di negara kepulauan yang terletak antara dua bagian dari suatu negara tetangganya
yang secara langsung berada dalam posisi berdampingan. Pada perairan kepulauan itu, negara
tetangga memiliki hak-hak serta kepentingan-kepentingan lainnya yang secara sah memang
ada jauh sebelumnya, dan secara tradisional dilaksanakan oleh negara tetangga di dalam
perairan (Parthiana, 1990:78). tersebut

4. Garis pangkal penutup teluk

Pada pasal 10 UNCLOS 1982 menentukan pendefinisian garis penutup teluk. Pasal ini
mengatur metode penentuan jenis teluk dan menegaskan bahwa teluk itu harus ditutup
dengan garis pangkal lurus. Faktor relevan yang mempengaruhi adalah bentuk teluk, luas
teluk, dan nilai sejarah teluk tersebut bagi negara pantai yang bersangkutan. Mengenai
bentuknya Pasal 10 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa teluk adalah bagian laut yang secara
jelas teramati menjorok ke daratan yang jarak masuknya dan lebar mulut teluknya memenuhi
perbandingan tertentu yang memuat wilayah perairan bukan sekedar lekukan (Arsana,
2007:19).

5. Garis Pangkal Indonesia Sebagai negara kepulauan

Indonesia menerapkan garis pangkal kepulauan atau archipelagic baseline. Garis


pangkal kepulauan ini merupakan sistem garis pangkal yang melingkupi kepulauan
Indonesia. Meski demikian dalam kenyataannya akan tetap ada garis pangkal normal yang
diterapkan untuk suatu wilayah, karena tidak memungkinkan ditarik segmen garis lurus. Oleh
karena itu, sistem garis pangkal melingkupi Seluruh Negara Indonesia merupakan gabungan
antar segmen garis pangkal lurus dan garis pangkal normal (Arsana, 2007:21).

Ditinjau dari hukum laut internasional, Malaysia bukanlah negara Kepulauan oleh karena itu
tidak dibenarkan menarik garis pangkal demikian sebagai penentuan batas laut wilayah dan
landas kontinennya. Malaysia hanyalah negara pantai biasa yang hanya dibenarkan menarik
garis pangkal normal (biasa) dan garis pangkal lurus apabila memenuhi persyaratan-
persyaratan, yaitu terdapat deretan pulau atau karang di hadapan daratan pantainya dan harus
mempunyai ikatan kedekatan dengan wilayah daratan Sabah untuk tunduk pada rezim hukum
perairan pedalaman sesuai dengan pasal 5 KHL 1958 tentang Laut Teritorial dan zona
ekonomi eksklusif dan sesuai dengan pasal 7 KHL 1982 (Jenewa, 1958 pasal 5, dan
UNCLOS, 1982 pasal 7).
Meski demikian, pada landas kontinen (dasar laut) Laut Sulawesi memang sudah terjadi
eksplorasi sumber daya laut berupa pemberian konsesi oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun
1960an kepada perusahaan asing yang tidak pernah diprotes secara langsung oleh Malaysia
sampai dengan tahun 2002. Sejalan dengan itu, Malaysia juga telah menyatakan klaimnya
atas kawasan tertentu di Laut Sulawesi melalui Peta 1979 meskipun kenyataannya peta itu
diprotes tidak saja oleh Indonesia tetapi juga negara tetangga lainnya dan dunia internasional.
Klaim oleh Indonesia dalam bentuk pemberian blok konsesi sejak tahun 1960an dan klaim
terkait oleh Malaysia tentu akan menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan
delimitasi batas maritim di Laut Sulawesi, selain mengacu pada UNCLOS yang lahir
belakangan. Bagi Indonesia, batas-batas blok konsesi yang sudah ada sejak tahun 1960an dan
tidak ditolak oleh Malaysia tentu akan menjadi pegangan atau acuan utama dalam
menetapkan batas maritim di Laut Sulawesi.

Sementara itu, Malaysia yang kini menjadi pemilik sah Sipadan dan Ligitan akan mengambil
keuntungan dari posisi kedua pulau tersebut. Meski Malaysia bukan negara kepulauan seperti
Indonesia, secara teoritis Sipadan dan Ligitan tetap berhak atas kawasan maritim seperti
dinyatakan dalam UNCLOS, Pasal 121. Namun demikian, Indonesia tegas menyatakan
Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya sebab dari segi historis, Ambalat merupakan
wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia. Terlebih
berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi RI
dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984, Blok Ambalat diakui dunia
sebagai milik Indonesia.
Dari kasus perebutan wilayah antara Indonesia dan Malaysia, kita dapat memetik suatu
pembelajaran. Lewat kasus tersebut, kita harus saling berteguh dan bersatu dalam hal
mempertahankan wilayah di negara Indonesia. Sesuai dengan Pancasila sila ketiga, kita harus
bersatu. Kita bertumpah darah untuk mempertahankan wilayah negara kami secara bersama-
sama, sesuai dengan kebiasaan kami yang selalu bergotong-royong. Harapannya pada tahun-
rahun ke depannya, pemuda-pemudi Indonesia berkontribusi aktif dalam mempertahankan
wilayah negara mereka. Saatnya pada generasi muda berperan dalam negaranya. Bhineka
Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Bersatu dalam mempertahankan NKRI tanpa
membedakan perbedaan dari setiap masyarakat. Karena kami Indonesia, kami satu.

Perebutan wilayah menjadi suatu konflik yang sangat penting bagi negara. Ingatkah kalian
mengenai kasus klaim keris sebagai senjata Malaysia? Bukankah itu membahayakan negara
kita? Negara kita memang memiliki jutaan budaya, adat istiadat, serta peninggalan yang
indah dan bermacam-macam. Namun apakah kalian rela satu dari peninggalan indah kami
diklaim negara lain? Disinilah peran para generasi muda dibutuhkan. Generasi terdahulu
sangat mengharapkan gerak para pemuda-pemudi. "Persatuan Indonesia." Bersatulah untuk
negeri Indonesia. Bukalah mata dan hati kalian, lihatlah peran para pahlawan pada tahun-
tahun lalu. Berkat para kerja keras dan pengorbanan mereka, Indonesia bisa berdiri seperti
sekarang bebas tanpa jajahan siapapun. Tunjukkan bahwa masyrakat Indonesia masih sama
seperti dulu, bahkan jauh lebih kuat, bersatu, dan maju daripada generasi terdahulu.Ingatlah,
bahwa Indonesia yang kaya harus tetap kaya hingga akhir hayat.
Daftar Pusaka

Maulidya, Yuseini. 2018. Penyelesaian Sengketa Laut Antara Indonesia dan Malaysia di
Wilayah Selat Malaka Menurut Hukum Laut Internasional. Jurnal. Surabaya: Universitas
Negeri Surabaya :
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://jurnal.unej.ac.id/
index.php/eJLH/article/download/7731/6330/
&ved=2ahUKEwi4tMqA34z7AhUrldgFHbLlAoYQFnoECCQQAQ&usg=AOvVaw2izDpA
EDDlZz6rbhzYSqJu
Yustina, Dwi Jayanti. 2014. Penyelesaian Sengketa Atas Wilayah Darat Antara Indonesia
dan Malaysia. Dalam : http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/
557
Klisliani, Serpin. 2018. Penyelesaian Sengketa Antara Indonesia dan Malaysia Terkait
Pengklaiman Blok Ambalat Ditinjau Dari Hukum Internasional. Jurnal. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha :
https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jatayu/article/view/28724/16203

Anda mungkin juga menyukai