Nim : 202110050311067
Kelas : 5B
Tahun 2001 merupakan awal mula terjadinya konflik lahan di Pulau Rempang. Pada
saat itu BP Batam beserta pemerintah pusat mencetuskan Hak Pengelolaan Lahan (HPL)
yang ditujukan kepada pihak perusahaan swasta. PT Makmur Elok Graha lah yang
memegang Hak Pengelola Lahan (HPL) tersebut. Sebagian besar masyarakat yang terlanjur
mendiami Kawasan Pulau Rempang mendapati nasib pelik atas status kepemilikan lahan. Hal
tersebut juga dialami oleh nelayan yang sudah bertahun-tahun mendiami Pulau Rempang
yang sulit memegang sertifikat kepemilikan lahan. Berjalan hingga beberapa tahun konflik
lahan belum muncul karena PT Makmur Elok Graha belum turun langsung dan mengelola
lahan di Pulau Rempang. Ketika kerjasama antara pemerintah pusat, BP Batam serta PT
Makmur Graha selaku pemegang HPL mulai menjalankan proyek Rempang Eco City, mulai
muncullah konflik lahan. Proyek Rempang Eco City merupakan proyek yang diprediksi
sebagai penarik ivestasi tinggi di Kawasan tersebut.
Rencana proyek Rempang Eco City sudah direncanakan sejak tahun 2004. Namun
pembangunan Rempang Eco City baru mulai dilaksanakan pada tahun 2023. Berdasarkan
Peraturan Menko Bidang Perekonomian Indonesia Nomor 7 tahun 2023 proyek Rempang
Eco City masuk kedalam Program Strategis Nasional tahun 2023. Proyek Rempang Eco City
ditargetkan dapat menarik investasi mencapai RP 381 triliun di tahun 2080. Pulau Rempang
juga bakal dijadikan sebagai lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia. Pabrik kaca tersebut
dimiliki oleh perusahaan China Xinyi Group. Diperkirakan proyek pabrik kaca tersebut
menarik investasi mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.
BP Batam memperkirakan sekitar 7.572 hektare atau 45,89 persen luas Pulau
Rempang yang akan menjadi lokasi proyek tersebut. Saat ini luas Pulau Rempang sendiri
sebesar 16.500 hektare. Nyaris setengah dari luas Pulau Rempang yang dibangun proyek
mengakibatkan sejumlah warga harus direlokasikan. Muhammad Rudi selaku Kepala BP
Batam menerangkan bahwa pemerintah siap untuk memberikan kompensasi kepada
masyarakat berupa rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi.
Faktanya hanya ada 16 kampung yang tergusur dalam proyek ini yang dimana hanya
10 persen dari luas total Pulau Rempang. Pembangunan proyek tersebut masih bisa berjalan
tanpa harus menggusur pemukiman masyarakat. Masyarakat Pulau Rempang yang diwakili
oleh Tokoh Masyarakat, Gerisman Ahmad menyebutkan bahwa masyarakat setuju dan
mendukung penuh pembangunan proyek yang diprediksi dapat meningkatkan perekonomian
Pulau Rempang asal tidak menggusur pemukiman masyarakat. Masyarakat setempat diyakini
telah mendiami Pulau Rempang sejak tahun 1834 yang saat ini identik dikenal sebagai
masyarakat Melayu Pesisir. Adanya identitas serta jati diri yang tidak ingin hilang, maka
masyarakat setempat memohon agar tidak digusur.
Konflik lahan ini muncul juga karena pemerintah menganggap masyarakat di Pulau
Rempang sebagai masyarakat illegal atas dasar status lahan Pulau Rempang sebagai Kawasan
Hutan Produksi Konversi (HPK). Faktanya masyarakat Pulau Rempang sudah tinggal di
Pulau tersebut sebelum kemerdekaan Indonesia. Sekitar tahun 1970-an Pulau Rempang
ditetapkan menjadi Pelabuhan bebas. Namun, sebagian besar masyarakat Pulau Rempang
hanya memegang hak guna bangunan saja, sedangkan untuk mendapat sertifikat tanah harus
melalui proses yang Panjang seperti halnya di Pulau Batam dan hanya diberikan untuk
masyarakat asli Pulau Batam. Adanya tudingan pemerintah mengakibatkan konflik semakin
memanas, karena pemerintah tidak memiliki hak untuk menyatakan masyarakat Pulau
Rempang merupakan Masyarakat illegal dan juga tidak adanya dasar keputusan dari
pengadilan.
Memanasnya konflik lahan di Pulau Rempang pecah pada 7 September 2023 karena
adanya pengukuran lahan dan pemasangan patok oleh BP Batam. Tindakan penolakan
masyarakat dimulai dengan memblokade jembatan penghubung Pulau Batam dan Rempang.
Masyarakat dengan sengaja merobohkan beberapa pohon untuk menutup akses jalan masuk
Pulau Rempang. Tak hanya itu beberapa masyarakat juga membakar ban.
Kesimpulannya jika masyarakat Pulau Rempang tidak mendapat keadilan hak dan
kompensasinya dari lahan yang digusur maka masyarakat Pulau Rempang telah kehilangan
Hak Asasi nya sebagai Manusia yang dengan sengaja dirampas oleh pemerintah dan pihak
terlibat lain yang ingin mengambil keuntungan sendiri. Kita ketahui saat ini kondisi
masyarakat Pulau Rempang hanya sebagai nelayan yang tidak seluruhnya dapat mencukupi
kebutuhan saat ini.