Anda di halaman 1dari 15

MELIHAT PERMASALAHAN REMPANG

DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG

Oleh:
PUGUH KALBUADI
NIM : 20232111033

PAPER
Untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan
Tugas Mata Kuliah Business Law & GRC
Indonesia Banking School

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


INDONESIA BANKING SCHOOL
2023
MELIHAT PERMASALAHAN REMPANG
DARI BERBAGAI SUDUT PANDANG
OLEH: PUGUH KALBUADI
NIM: 20232111033
PROGRAM MAGISTER MANAGAMENT IBS

puguhkalbuadi@gmail.com

ABSTRAK

REMPANG merupakan pulau yang terletak di wilayah Pemerintahan Kota Batam, Provinsi Riau
dan menjadi pulau terbesar kedua, yang dihubungkan enam Jembatan Barelang. Barelang
merupakan sebuah singkatan dari Batam, Rempang, dan Galang. Pulau Rempang di Batam
dalam Provinsi Kepulauan Riau ini dalam waktu dekat akan dijadikan lokasi Mega Proyek
Rempang Eco City. Sebuah kawasan perdagangan, industri, pariwisata, dan real estate.
Rempang Eco City ini juga termasuk dalam kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas (KPBPB) Batam yang diharapkan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional.
Peristiwa bentrok warga Pulau Rempang dengan aparat kepolisian di Batam, Kepulauan Riau
terkait Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco-City Rempang, menjadi hal yang
disesalkan banyak pihak. Apalagi peristiwa tersebut berujung adanya penangkapan dan korban
luka termasuk anak-anak. Kondisi ini menambah catatan hitam negara melakukan tindakan
represif terhadap masyarakat adat yang mempertahankan hak dasar mereka. Apakah ada
harapan bagi warga Pulau Rempang? Apakah ada solusi yang adil dan bijak bagi konflik lahan
di pulau tersebut? Apakah ada jalan tengah yang dapat mengakomodasi kepentingan dan
aspirasi semua pihak? Apakah ada mimpi yang dapat menjadi kenyataan bagi Pulau
Rempang? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang masih menggantung di udara, menunggu
jawaban yang belum terlihat. Pulau Rempang, antara mimpi dan realita.

Kata Kunci : Rempang, Proyek Strategis Nasional, Bentrok, Solusi

PENDAHULUAN

Pulau Rempang memiliki luas wilayah sekitar 16.583 hektar, yang terdiri
dari dua kelurahan, yaitu Rempang Cate dan Sembulang. Menurut data Badan
Pusat Statistik, Pulau Rempang dihuni oleh 7.512 penduduk. Di Pulau
Rempang terdapat 16 kampung permukiman warga asli. Warga asli Pulau
Rempang adalah suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat, yang
diyakini sudah tinggal di Pulau Rempang sejak 1834. Keberadaan Orang Darat
di Pulau Rempang ini disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda.
Dilansir dari Kemdikbud, Pulau Rempang dulunya belum termasuk
dalam Otorita Batam. Barulah setelah Keppres No. 28 Tahun 1992 dikeluarkan,
wilayah kerja Otorita Batam diperluas meliputi wilayah Pulau Batam, Pulau
Rempang, Pulau Galang, dan pulau-pulau sekitarnya. Pulau Rempang
terhubung dengan pulau-pulau lain melalui Jembatan Barelang. Jembatan
Barelang adalah jembatan yang saling menyambung dan dibangun untuk
memperluas Otorita Batam sebagai regulator daerah industri Pulau Batam.

Sumber: Kompas.com

Pada tanggal 7 September 2023, terjadi bentrokan antara warga Pulau


Rempang dengan petugas gabungan dari TNI, Polri, Ditpam Badan
Pengusahaan, dan Satpol PP di Jembatan 4 Barelang, Kota Batam, Kepulauan
Riau. Berbagai video dan gambar di media sosial tersebar dengan begitu cepat,
diantaranya saat polisi menembakkan gas air mata yang mengakibatkan
sejumlah siswa sekolah dibawa ke rumah sakit. Begitupun sejumlah siswa
sekolah di dekat lokasi bentrokan melakukan evakuasi. Beberapa masyarakat
pun sempat mengalami pingsan, sesak nafas, bahkan luka dengan berlumuran
darah.
Kerusuhan yang terjadi di Rempang tersebut memiliki kaitan dengan
rencana megainvestasi yang bernama Rempang Eco City. Proyek ini sendiri
akan digarap oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam bersama perusahaan
swasta PT Makmur Elok Graha (MEG). Berdasarkan situs BP Batam, Rempang
Eco-City akan didirikan di lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen
dari total luas Pulau Rempang. Kawasan tersebut akan digunakan sebagai
kawasan industri, perdagangan, dan wisata yang terintegrasi. Nilai investasi
Rempang Eco-City diperkirakan mencapai Rp 381 triliun.
Selain itu, Proyek Eco City ini sudah ditetapkan sebagai Proyek
Strategis Nasional (PSN) lewat Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7
Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar
Proyek Strategis Nasional. Demi PSN Eco City itu, maka Warga yang mendiami
di Pulau Rempang, Pulau Galang, dan Pulau Galang Baru tersebut harus
direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan
antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.

METODE PENULISAN MAKALAH

Metode penulisan makalah yang digunakan adalah studi literatur.


Mengutip Kompas.com, metode penelitian studi literatur adalah serangkaian
kegiatan berkaitan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat, serta mengelolah bahan penelitian. Danial dan Warsiah
memaparkan, studi literatur merupakan penelitian yang mengumpulkan
sejumlah buku, majalah yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian
tersebut. Secara garis besarnya, metode penelitian studi literatur digunakan
untuk menyelesaikan persoalan dengan menelusuri sumber tulisan yang
pernah dibuat sebelumnya. Studi literatur biasa juga disebut studi kepustakaan
dalam penelitian kualitatif.
Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti dengan tujuan utama
yaitu mencari dasar pijakan / fondasi untuk memperoleh dan membangun
landasan teori, kerangka berpikir, dan menentukan dugaan sementara atau
disebut juga dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat
menggelompokkan, mengalokasikan mengorganisasikan, dan menggunakan
variasi pustaka dalam bidangnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, para
peneliti mempunyai pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap
masalah yang hendak diteliti.
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Pulau Rempang


Pulau Rempang merupakan salah satu dari tiga pulau besar yang
terhubung dengan jembatan Barelang, yaitu Batam, Rempang, dan Galang.
Nama Barelang sendiri merupakan singkatan dari ketiga pulau tersebut.
Jembatan Barelang dibangun pada tahun 1992, sebagai bagian dari konsep
pengembangan kawasan Batam, Bintan, dan Karimun (BBK), yang
diinisiasi oleh BJ Habibie, mantan Presiden RI dan mantan Menteri Riset
dan Teknologi.
Sebagian Besar Pulau Rempang merupakan kawasan hutan di
bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pulau ini
memiliki potensi sumber daya alam, seperti minyak bumi, gas alam, batu
bara, dan pasir kuarsa.
Selain itu, pulau ini juga memiliki kekayaan budaya dan sejarah,
seperti makam-makam leluhur masyarakat Melayu, situs-situs peninggalan
Belanda dan Jepang, serta kearifan lokal dalam mengelola lingkungan.
Pulau Rempang sudah dihuni oleh masyarakat lokal dan
pendatang jauh sebelum terbentuknya BP Batam pada Oktober 1971,
berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 41 Tahun 1973. BP
Batam merupakan lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan
lahan di pulau-pulau yang termasuk dalam kawasan BBK, termasuk Pulau
Rempang.
Terdapat 45 titik Kampung Tua di Pulau Rempang. Membaca
catatan sejarah Traktat London 1824, keberadaan Kampung Tua di Batam
dan sekitarnya sudah berlangsung lebih dari 188 tahun lalu, seiring dengan
kejayaan Kerajaan Lingga, Kerajaan Riau, Kerajaan Johor, dan Kerajaan
Pahang Malaya.
Traktat London 1824 telah memisahkan Kerajaan Lingga dan
Kerajaan Riau masuk sebagai jajahan Belanda, sementara Johor dan
Pahang Malaya masuk jajahan Inggris.
B. BP BATAM DAN REMPANG ECO CITY
Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 merupakan dasar
pembubaran Otorita Batam dan pembentukan Badan Pengusahaan
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (selanjutnya
disebut BP Batam) sebagai pengganti Otorita Batam. Selain itu, peraturan
ini juga mengatur terkait hak pengelolaan yang sebelumnya diberikan
kepada Otorita Batam. Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor
46 Tahun 2007, hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan
Otorita Batam dan hak pengelolaan atas tanah yang menjadi kewenangan
Pemerintah Kota Batam yang berada di Kawasan Perdagangan Bebas dan
Pelabuhan Bebas Batam beralih kepada BP Batam sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, hak pengelolaan Kota
Batam dimiliki oleh BP Batam. Menurut Maria S.W. Sumardjono, praktik
keberadaan hak pengelolaan dan landasan hukumnya terus berkembang
dengan berbagai ekses dan permasalahannya.
Rencana pembangunan Rempang Eco City sebetulnya sudah
berjalan sejak tahun 2004, yang ditandai dengan adanya nota
kesepahaman antara Pemkot Batam dan Otorita Batam dengan PT MEG.
Nota kesepahaman ini terkait rencana pembangunan kota wisata
di Rempang dan Galang. PT MEG, yang merupakan anak perusahaan
Grup Artha Graha milik Tommy Winata, mendapatkan konsesi kerja selama
80 tahun.
Sayangnya, rencana tersebut harus tertunda lantaran adanya
masalah pembebasan lahan. Warga Pulau Rempang menolak untuk
melepaskan tanah yang mereka tempati, dengan alasan bahwa tanah
tersebut sudah menjadi warisan turun-temurun dari leluhur mereka.
Warga juga merasa tidak mendapatkan kompensasi yang layak
dari pemerintah dan pengembang. Selain itu, warga juga khawatir akan
dampak negatif dari pembangunan kota wisata, seperti kerusakan
lingkungan, hilangnya mata pencaharian, dan terancamnya identitas
budaya.
Rencana pembangunan Rempang Eco City kembali mengemuka
pada tahun 2023, setelah proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis
Nasional (PSN) pemerintah pusat berdasarkan Permenko Bidang
Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun
2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. PSN
merupakan proyek-proyek yang dianggap penting untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. PSN juga mendapatkan prioritas dalam hal
perizinan, pendanaan, dan pengawasan.
Proyek Rempang Eco City memiliki nilai investasi sebesar Rp 381
triliun sampai dengan tahun 2080, dan ditargetkan dapat menyerap 306.000
orang tenaga kerja. Proyek ini akan mengubah permukaan Pulau Rempang
menjadi kawasan pengembangan terintegrasi untuk industri, jasa/komersial,
agro-pariwisata, residensial, dan energi baru dan terbarukan (EBT). Proyek
ini juga mengusung konsep ramah lingkungan, dengan mengedepankan
penghematan energi, pengelolaan sampah, dan pelestarian ekosistem.
Untuk merealisasikan proyek ini, BP Batam berencana merelokasi
sekitar 7.500 jiwa penduduk Pulau Rempang, yang tersebar di 11 desa.

C. BENTROK WARGA
Sebelum pemberitahuan penggusuran yang disampaikan BP
Batam (lembaga yang bertanggung jawab untuk investasi Eco-City
Rempang), masyarakat tidak tahu menahu perihal rencana negara ingin
membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata di pulau tersebut.
Masyarakat Pulau Rempang mayoritas memiliki mata pencaharian
sebagai nelayan, kegelisahan mereka bertambah bukan hanya persoalan
ruang untuk hidup, tetapi juga persoalan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Jika mereka di gusur secara paksa, maka mereka akan
kehilangan mata pencaharian. Mereka juga takut jika mega proyek Eco-City
Rempang itu rampung, tak di izinkan lagi melaut di sekitaran proyek
tersebut. Negara terkesan diam-diam dan secara sepihak memutuskan
untuk membangun kawasan industri di pulau tersebut.
Masyarakat Pulau Rempang meminta pembangunan proyek
tersebut dilakukan tanpa penggusuran karena keberadaan kampung adat
hanya sebagian kecil (sekitar 10 persen) dari total luas lahan Pulau
Rempang.
Masyarakat berpandangan pembangunan kawasan bisa dilakukan
tanpa menggusur warga. Apalagi, untuk kepentingan pariwisata,
masyarakat bisa diajak berpartisipasi.
Namun, proses pengosongan lahan dipaksakan untuk memenuhi
tengat penyerahan lahan kepada PT MEG pada 28 September 2023.
Bentrok warga dengan aparat pun terjadi pada 7 September 2023 yang
berujung penggunaan gas air mata. Rentetan peristiwa selanjutnya,
sejumlah warga ditahan polisi.
Peristiwa bentrok warga Pulau Rempang dengan aparat
kepolisian di Batam, Kepulauan Riau terkait Pembangunan Proyek
Strategis Nasional (PSN) Eco-City Rempang, menjadi hal yang disesalkan
banyak pihak. Apalagi peristiwa tersebut berujung adanya penangkapan
dan korban luka termasuk anak-anak.
Berdasarkan data korban yang disampaikan oleh Solidaritas
Nasional untuk Rempang dalam Final Temuan Awal Investigasi atas
Peristiwa Kekerasan dan Dugaan Pelanggaran HAM 7 September 2023,
Pulau Rempang, terdapat setidaknya 10 murid SMPN 22 dan seorang guru
perempuan yang dibawa ke RS Embung Fatimah, serta sebagian besar
korban murid lainnya dibawa oleh TNI ke RS Marinir (klinik kesehatan di
dalam Yoniv 10 Marinir). Menurut pemaparan Humas RS Embung Fatimah,
10 murid dan guru tersebut datang sekitar pukul 14.00 WIB. 10 murid
tersebut mengalami shock berat, tegang, dan beberapa sesak nafas berat.
Seorang guru perempuan juga mengalami hal yang serupa, namun karena
memiliki penyakit asma, efek gas air mata mengakibatkan guru tersebut
pun tidak dapat bernafas hingga pingsan.
Penembakan gas air mata yang serampangan, mengakibatkan
pula ibu dan anak yang tinggal di sekitar jalur harus berlarian
mengevakuasi diri.
Peristiwa 7 September 2023 juga menimbulkan korban dari
kelompok Lanjut Usia (Lansia). Salah satunya yakni Ridwan, Lansia
berumur 60 tahun, yang videonya viral di media sosial karena berlumuran
darah. Berdasarkan data yang dikumpulkan, setidaknya terdapat 20 Orang
luka berat dan ringan yang terdiri dari berbagai kelompok.
Salah satu temuan penting tim Solidaritas Nasional untuk
Rempang yakni bahwa dalam kerusuhan tanggal 7 September 2023 lalu,
kental sekali peran unsur birokrat yang ada di baliknya. Hal ini disebabkan
oleh carut marutnya tata kelola Batam sebagai suatu kota. Walikota yang
saat ini menjabat yakni Muhammad Rudi juga merupakan Kepala BP
Batam. Hal ini jelas berbahaya mengingat jabatan administratif yang
diemban akan bias dengan tugasnya sebagai Kepala BP yang bertugas
Merencanakan, Mengorganisasikan, Melaksanakan, Mengawasi, dan
Mengevaluasi Pelaksanaan Kegiatan Pengelolaan dan Pelayanan Informasi
di Lingkungan Badan Pengusahaan Batam. Konsekuensinya, seorang
Walikota hanya akan cenderung berpihak pada kelompok pemodal belaka.
Sementara warga yang memiliki masalah - seharusnya difasilitasi dan
dicarikan solusinya oleh jabatan seperti halnya Walikota, akan sulit
terwujud.

Sumber: Solidaritas Nasional untuk Rempang


D. FENOMENA GUNUNG ES KONFLIK AGRARIA
Meningkatnya konflik agraria seperti di Pulau Rempang tidak
lepas dari mengalirnya arus investasi asing ke Indonesia. Reformasi agraria
mendesak dilakukan untuk melindungi masyarakat terdampak proyek
karena investasi.
Membaranya konflik di Rempang merupakan puncak dari gunung
es konflik agraria yang semakin kronis di Indonesia. Sejak lebih dari satu
dekade terakhir, terjadi peningkatan kasus konflik agraria hingga di titik
yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menunjukkan urgensi terhadap revisi
Undang-Undang Pokok Agraria yang mulai tampak usang.
Hingga minggu ketiga September 2023, kasus di Pulau Rempang,
Kepulauan Riau, masih memanas. Berdasarkan telaah Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat indikasi pelanggaran HAM
yang dilakukan aparat terhadap warga lokal yang menolak direlokasi. Meski
kini sudah agak mereda, konflik di Pulau Rempang masih belum
menemukan titik temu.
Secara singkat, gesekan terjadi akibat warga menolak relokasi
untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City. Proyek yang masuk ke
dalam Program Strategis Nasional ini akan menggusur 16 kampung tua
yang berada di lingkungan proyek. Padahal, warga setempat telah tinggal
secara turun-temurun di lokasi tersebut.
Apa yang terjadi di Rempang ini bukanlah bersifat kasuistik.
Catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan
peningkatan konflik agraria di Indonesia. Pada 2022 tercatat 212 kasus
konflik agraria. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, sebanyak
207 kasus.

E. ALTERNATIF SOLUSI MASALAH KASUS REMPANG


Pada tanggal 25 September 2023 Presiden Joko Widodo
menggelar rapat terbatas dengan Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia, di
Istana Kepresidenan. Dalam konferensi pers usai ratas, Bahlil
mengungkapkan bahwa presiden meminta agar penyelesaian konflik Pulau
Rempang diselesaikan secara kekeluargaan dengan tetap mengedepankan
hak-hak dan kepentingan masyarakat sekitar di mana lokasi pembangunan
diadakan.
Dia menjelaskan, dari 17 ribu hektare area Pulau Rempang,
hanya sekitar 8.000 hektare lahan yang bisa dikelola. Sementara,
pembangunan industri di Pulau Rempang hanya akan menggunakan 2.300
hektare lahan yang ada.
“Dari 17.000 hektare areal Pulau Rempang, yang bisa dikelola
hanya 7.000 (hektare) lebih hingga 8.000 (hektare), selebihnya hutan
lindung. Dan kami fokus pada 2.300 hektare tahap awal untuk
pembangunan industri yang sudah kami canangkan tersebut untuk
membangun ekosistem pabrik kaca dan solar panel,” ujar Bahlil.
Dia juga menegaskan, berdasarkan hasil pertemuannya dengan
tokoh-tokoh masyarakat di Pulau Rempang, sudah disepakati bahwa tidak
ada penggusuran dan relokasi di Pulau Rempang, melainkan hanya
pergeseran.
“Kami telah melakukan solusi posisi Rempang itu bukan
penggusuran, bukan juga relokasi, tapi adalah pergeseran. Kalau relokasi
dari Pulau A ke Pulau B. Tadinya kita mau geser relokasi dari Rempang ke
Galang. Tetapi sekarang hanya dari Rempang ke kampung yang masih ada
di Rempang,” tukasnya.
Secara total, ada lima kampung terdampak proyek strategis
nasional (PSN) Rempang Eco City, yakni Blongkek, Pasir Panjang,
Simpulan Tanjung, Simpulan Hulu, dan Pasir Merah. Masyarakat akan
dipindahkan ke Tanjung Banun yang jaraknya tak lebih dari tiga km dari
lokasi kampung lamanya.
Menurut Bahlil, sudah ada 300 dari total 900 kepala keluarga (KK)
yang bersedia dipindahkan. Pemerintah juga memberikan kompensasi
terhadap warga yang dipindah. Nantinya, setiap KK akan mendapatkan
rumah tipe 45 di Tanjung Banun, dan bagi warga yang rumahnya lebih
besar dari tipe 45, akan mendapat tambahan uang tunai. Rumah-rumah
baru itu, lanjut Bahlil, saat ini sedang dibangun, dan warga terdampak
dipastikan juga akan mendapat bantuan uang tunai selama proses
pembangunan berlangsung.
“Sambil menunggu rumah, namanya ada uang tunggu
Rp1.200.000 per orang dan uang kontrak rumah Rp1.200.000 per KK. Jadi
kalau satu KK ada empat orang, maka dia mendapatkan uang tunggu
Rp4.800.000 dan uang kontrak rumah Rp1.200.000,” terangnya.
Bahlil menyatakan, nantinya kampung tempat warga direlokasi
bakal menjadi kampung percontohan yang lebih tertata, baik dari segi
infrastruktur jalan, puskesmas, air bersih, hingga sekolah, termasuk
pelabuhan untuk perikanan.
Pemerintah memiliki peran penting dalam menentukan
kewenangan seperti apa yang dapat menjadi jalan tengah antara berbagai
pihak terlibat. Karena di samping hukum konstitusional, Indonesia sebagai
negara multikultural memiliki hukum adat dan hukum agama sebagai
bagian dari masyarakat. Pengakuan akan adanya hukum adat, masyarakat
adat, dan tanah adat menjadi krusial untuk menemui titik terang dari konflik
Rempang.
Tak hanya pemerintah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun ikut
menanggapi kasus yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, untuk
rencana pembangunan Rempang Eco Park dengan mengeluarkan tausiyah
(rekomendasi) secara resmi. Salah satu point dari 15 rekomendasi dalam
tausiyah MUI yaitu Keputusan pengembangan Rempang Eco-City yang
dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional sebagaimana diatur dalam
Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek
Strategis Nasional yang disahkan pada tanggal 28 Agustus 2023
merupakan bentuk proses pembangunan yang tidak mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya yang dijamin konstitusi.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM
mengeluarkan sikap terkait dengan bentrok yang terjadi di Pulau Rempang,
Batam akibat pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang
Eco City. Sikap pertama, meminta agar Presiden Joko Widodo dan Menteri
Kooridinator bidang Perekonomian Republik Indonesia untuk mengevaluasi
dan mencabut proyek Rempang Eco City sebagai PSN. "Presiden juga
didesak untuk mengevaluasi dan mencabut PSN yang memicu konflik dan
memperparah kerusakan lingkungan.
Solidaritas Nasional untuk Rempang yang terdiri dari YLBHI,
WALHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, Konsorsium Pembaruan
Agraria (KPA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Trend Asia,
juga menerbitkan 7 (tujuh) rekomendasi, dimana point Pertama, meminta
agar Presiden Jokowi untuk segera menghentikan proyek eco-city dan
mencabut status Proyek Strategis Nasional di Pulau Rempang, Batam,
Kepulauan Riau.

KESIMPULAN

Peningkatan tren konflik agraria perlu dijadikan alarm keras untuk


mengingatkan urgensi pembaharuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pasalnya, peraturan ini sudah berusia lebih dari 60 tahun. Padahal UU tersebut
mengatur sumber daya paling vital dan sangat terbatas, yakni tanah, yang
kemudian berdampak pada hajat hidup jutaan masyarakat. Tanpa payung
hukum yang jelas, besar kemungkinan kasus Rempang kembali terjadi di
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Masyarakat di kawasan-kawasan proyek
strategis yang akan dibangun rentan mengalami persekusi dan dilanggar hak
hidupnya. Ujungnya, selain masyarakat, para investor pun akan dirugikan
karena lemahnya kepastian hukum di Indonesia soal agraria.
Kasus Rempang Tanah Batam, ketika dianalisis dari sudut pandang
sosiologi hukum, mengungkap kompleksitas konflik yang melibatkan hak
kepemilikan tanah dan pertimbangan etika serta keadilan dalam hubungan
antara masyarakat dan Badan Pengusaha (BP) Batam. Konflik ini
mencerminkan bagaimana faktor sosial, budaya, dan ekonomi berperan dalam
konflik hukum seperti ini. Dalam keseluruhan analisis sosiologi hukum terhadap
kasus Rempang, penting untuk mengakui bahwa penyelesaian konflik tidak
hanya tentang penerapan hukum, tetapi juga tentang memahami akar
penyebab sosial dan budaya serta upaya untuk mencapai keadilan yang
komprehensif bagi semua pihak yang terlibat (Kompasiana.com, Kajian
Sosiologi Hukum "Kasus Rempang Tanah Batam”).
Tujuan pendirian negara adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Kasus Rempang jelas
menunjukkan pemerintah gagal menjalankan mandat dari konstitusi tersebut.
Selain itu, negara gagal menjalankan Pasal 33 yang menyebutkan
bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Sebagai negara Merdeka, sudah sepantasnya melindungi dan menjamin hak-
hak dasar warga negaranya konflik Rempang tersebut secara jelas
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, konstitusi, dan hak asasi manusia.
Ini bukan soal relokasi dan ganti rugi, tapi juga soal sejarah dan
identitas masyarakat Pulau Rempang yang sarat dengan nilai historis. Negara
seharusnya lebih peka terhadap hak-hak masyarakat rentan (Masyarakat
Hukum Adat), karena mereka lah negara ini ada, karena semangat perjuangan
mereka lah negara ini Merdeka.
Rempang seakan menjadi tumbal untuk investasi. Mengutip Riyan A.
Safrizal dalam tulisannya di https://modusaceh.co/news/konflik-rempang-hak-
hidup-masyarakat-adat-tumbal-investasi/index.html, terdapat tiga poin penting
yang harus dipenuhi negara untuk masyarakat Rempang. Pertama persoalan
ruang untuk hidup. Negara wajib menghargai nilai-nilai historis masyarakat
Rempang, berdasarkan Pasal 18 B UUD 1945. Kedua negara harus menjamin
masyarakat Rempang tidak kehilangan mata pencahariannya, akibat dampak
proyek PSN tersebut. Ketiga negara harus bertindak lebih responsif dan
humanis terhadap masyarakat Rempang yang menyuarakan hak-haknya. Dan
yang tidak kalah penting adalah memastikan 7 (tujuh) point rekomendasi
Solidaritas Nasional untuk Rempang wajib ditindaklanjuti sebagaimana tertuang
dalam dokumen Final Temuan Awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan
Dugaan Pelanggaran HAM 7 September 2023, Pulau Rempang.
DAFTAR PUSTAKA

https://batam.tribunnews.com/topic/kisruh-rempang
Khoirul Rosyadi. 2016. Kewenangan Badan Pengusahaan Batam pada Pengelolaan
Lahan di Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang. Journal of Law and
Policy Transformation. Volume 1, number 1, June 2016. ISSN: 2541-3139.
Kompas.com. 2023. Sikap PP Muhammadiyah Terkait Bentrok di Rempang: Minta
Jokowi Cabut PSN Rempang Eco City dan Tarik Pasukan".
https://nasional.kompas.com/read/2023/09/14/13494981/8-sikap-pp-
muhammadiyah-terkait-bentrok-di-rempang-minta-jokowi-cabut-psn.
law.ugm.ac.id. 2023. Hak Atas Pembangunan: Refleksi dari Konflik Agraria Rempang
dan Proyek Strategis Nasional (PSN). https://law.ugm.ac.id/hak-atas-
pembangunan-refleksi-dari-konflik-agraria-rempang-dan-proyek-strategis-
nasional-psn/
Litbang Kompas. 2023. Kasus Rempang Puncak Gunung Es Konflik Agraria.
https://www.kompas.id/baca/riset/2023/09/29/kasus-rempang-puncak-gunung-es-
konflik-agraria
Litbang Kompas. 2023. Rempang, Proyek Strategis Nasional, dan Luka Sosial.
https://www.kompas.id/baca/riset/2023/09/18/rempang-proyek-strategis-nasional-
dan-luka-sosial
Rahmad Romadlon. 2023. Kajian Sosiologi Hukum "Kasus Rempang Tanah
Batam”.https://www.kompasiana.com/rahmadromadlon7388/650ad5a34addee65
d1595522/kajian-sosiologi-hukum-kasus-rempang-tanah-batam
Riyan Auliyanda Safrizal. 2023. Konflik Rempang: Hak Hidup Masyarakat Adat Tumbal
“investasi. https://modusaceh.co/news/konflik-rempang-hak-hidup-masyarakat-
adat-tumbal-investasi/index.html
Solidaritas Nasional Untuk Rempang, 2023. Keadilan Timpang di Pulau Rempang.
Temuan Awal Investigasi atas Peristiwa Kekerasan dan Dugaan Pelanggaran
HAM 7 September 2023, Pulau Rempang.
Tjahjo Arianto. 2023. Memahami Kasus Pulau Rempang.
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/13/memahami-kasus-pulau-rempang
UGM.ac.id. 2023. Menilik Konflik Rempang dan Pengakuan Pemerintah Atas Hak-Hak
Masyarakat Adat. https://ugm.ac.id/id/berita/menilik-konflik-rempang-dan-
pengakuan-pemerintah-atas-hak-hak-masyarakat-adat/
Voi. 2023. Mencari Solusi untuk rempang. https://voi.id/tulisan-seri/314523/mencari-
solusi-untuk-pulau-rempang

Anda mungkin juga menyukai