Anda di halaman 1dari 4

Review

Kasus Rempang
Nayla Hadziqotus Sa’adah

Jakarta, CNN Indonesia – Bentrokan pecah antara warga Rempang, Batam,


Kepulauan Riau dengan aparat gabungan dari TNI, Polri, dan Ditpam Badan
Pengusahaan (BP) Batam pada Kamis (7/9). Peristiwa itu terjadi akibat konflik lahan
atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City. Rencana pembangunan
kawasan Rempang Eco City mencuat sejak 2004. Kala itu PT. Makmur Elok Graha
menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah melalui BP Batan dan
Pemerintah Kota Batam bekerja sama. Kini, pembangunan Rempang Eco City
masuk dalam Program Strategis Nasonal tahun ini sesuai Permenko Bidang
Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargertkan bisa menarik investasi
hingga Rp 381 trlliun pada 2080. Sejumlah warga terdampak pun harus direlokasi
demi pengembangan proyek ini. Sebagai kompensasi, Kepala BP Batam
Muhammad Rudi menyatakan pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp 120
juta dengan luas tanah 500 meter persegi.

Dalam konteks peristiwa ini ada keterkaitan dengan Pancasila, dan Konstitusi
Undang Undang yaitu :
1. Pancasila sudah menekankan akan pentingnya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Maka pembangunan Rempang Eco City ini harus menjamin
bahwa semua pihak termasuk masyarakat tetap mendapatkan keadilan dan
hak hak mereka.
2. Undang undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 9 Ayat (1) UU Pengadaan
Tanah menyatakan “ Penyelenggaraan pengadaa tanah untuk kepentingan
umum memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunana dan
kepentingan masyarakat.” Kepentingan pembangunan Eco City ini harus
didefinisikan dengan benar dan mempertimbangkan keseimbangannya untuk
masyarakat.
3. Dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pembangunan
Rempang Eco City dan juga yang akan menjadi lokasi pabrik kaca
terbesar kedua milik perusahaan China Xinyi Group harus bisa
dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sebagai wujud “sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
4. Dalam Undang undang Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 28I Ayat (3) UU
Pengadaan Tanah menyatakan “Identitas budaya dan hak masyarakat
tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban"
Warga Rempang menolak pindah karena mereka sudah lama tinggal di lokasi
tersebut secara turun temurun dan beranggapan bahwa itu merupakan warisan
usang nenek moyang mereka.
5. Jika warga rempang sudah direlokasi pemerintah harus berperan sebagai
fasilitator dalam proyek investasi tersebut seperti yang dinyatakan oleh
Kepala BP Batam Muhammad Rudi bahwa pemerintah menyiapkan rumah
tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi sebagai
bentuk kompensasi masyarakat yang telah direlokasi dan sebagai wujud
keadilan.

Sumber
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20230912125946-12-997897/duduk-
perkara-konflik-pulau-rempang.
https://edura.unj.ac.id/edura-news/?p=6219

Anda mungkin juga menyukai