Anda di halaman 1dari 18

ESSAY

PERKEMBANGAN POTENSI KONFLIK BERNUANSA SARA


YANG TERJADI DIBERBAGAI LOKASI DI TANAH AIR

Pendahuluan
Meningkatnya intensitas dan keluasan konflik sosial era reformasi di Indonesia,
tidak dapat disangkal telah mencengangkan banyak kalangan. Ketercengangan ini tentu
saja sangat bisa dipahami, karena sejarah bangsa Indonesia selama ini lebih banyak
ditandai oleh ciri-ciri bangsa nan ramah, bangsa nan penuh toleransi, namun pasca Orde
Baru masyarakat Indonesia justru menunjukkan karakter beringas dengan tingkat
kekerasan yang menembus batas rasa kemanusiaan. Hal ini telah menimbulkan konflik di
berbagai bidang. Dalam cara pandang tertentu, konflik bisa dipahami sebagai realitas
keniscayaan yang hadir dalam masyarakat. Cara nalar ini ingin memberikan pandangan
bahwa dalam tubuh masyarakat, konflik tidak dimaknai sebagai akibat atau residu (sisa
buangan) dari tindakan atau peristiwa tertentu. Konflik hadir justru inheren dalam
karakteristik tubuh sosial masyarakat. Secara konseptual, konflik lebih dipahami sebagai
kerangka kerja inheren hidup dalammasyarakat. Namun memang di awal, perlu jeli untuk
membedakan apakah konflik yangdimaksudkan adalah sebuah entitas tafsir dari ontology
perkembangan dan eksistensi masyarakat, atau konflik yang dibaca secara awam sebagai
dinamika pertentangan danpermusuhan yang merusak sendi-sendi kehidupan kolektif
sebagai sebuah bangsa, tentunya harus disepakati yang menjadi kegelisahan dan
keprihatinan tentu saja pada poin pengertian kedua yakni konflik yang telah berubah
menjadi tindakan destruktif bagi peradaban manusia dan masyarakat.
Telah lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka, seluruh rakyat Indonesia merajut tali
asih, bahu membahu merebut kemerdekaan dari tangan penjajahan dengan
mengorbankan jiwa, raga, harta benda dan air mata yang tidak ternilai. Akhirnya, setelah
bangsa Indonesia merebut kemerdekaan yang diproklamirkan oleh Soekarno-Hatta, kini
menjadi tugas kita untuk mengisi kemerdekaan itu dengan membangun bersama seluruh
komponen masyarakat. Namun, ketika kita sedang melakukan pembangunan diberbagai
bidang dalam mengisi kemerdekaan, bangsa ini nyaris selalu dibayangi konflik berupa
bentrok antar kelompok massa, yang dipicu berbagai masalah sosial budaya. Keadaan ini
menggambarkan masih banyak kelompok masyarakat yang dalam pergaulan sosialnya
kurang memahami etika sosial, yang mengakibatkan terjadinya benturan sosial antar
masyarakat. Terjadinya konflik antar kelompok masyarakat maupun pemuda hampir selalu
mengisi pemberitaan berbagai media di tanah air. Amuk massa atas dasar Suku, Agama,
2

Ras dan Antar Golongan (SARA) mudah tersulut di tengah-tengah masyarakat, seperti
berbagai kejadian di Sampit, Ambon, Tanjung Balai, Medan dan banyak tempat lainya,
baik dalam skala kecil hingga skala nasional. Adapun contoh konflik yang terjadi berupa
skala nasional seperti; Kejadian 5 Agustus 2016 di Pontianak, Kalimantan Barat serta
konflik Papua 2019 dimana terjadi perkelahian atau tawuran antar kelompok remaja
berbeda suku, yang sudah terjadi kesekian kalinya. Kondisi ini merupakan gambaran
nyata yang harus menjadi perhatian semua pihak, dimana kita juga harus membenahi
sikap dalam hidup bermasyarakat guna menciptakan rasa nasionalisme. Harus diakui
bahwa disamping masih belum banyak partisipasi keterlibatan masyarakat yang bersedia
menjadi penyampai informasi dalam upaya mengajak seluruh anggota masyarakat
mengenai pentingnya kerukunan antar umat, dalam upaya menjaga stabilitas keamanan,
ketertiban, kondusifitas serta menolak segala bentuk tindakan anarkis di tengah kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Maraknya peristiwa bentrokan massa dibeberapa daerah, mengindikasikan adanya
pihak - pihak atau para provokator yang berada di tengah masyarakat. Mereka dengan
sengaja memanfaatkan setiap insiden sekecil apapun yang terkait SARA dengan
menggunakan media sosial guna memprovokasi massa. Kondisi ini diperburuk dengan
kondisi masyarakat kita yang gampang terpicu emosi. Disamping jajaran aparat negara
diakui atau tidak, kurang intens dalam memberikan “counter propaganda” serta kalah
cepat dalam merespon berbagai isu yang dihembuskan oleh provokator yang semakin
marak di media sosial. Provokator menyampaikan pesan yang menyesatkan dan
mengajak masyarakat untuk melakukan aksi kekerasan yang bernuansa SARA. Dari
uraian latar belakang di atas, dapat diambil beberapa pokok persoalan yang harus di
pecahkan berkaitan dengan berbagai potensi konflik yang bernuansa SARA yang terjadi
diberbagai lokasi di tanah air seperti konflik yang terjadi di Sampit, Ambon dan Papua
meliputi : Pertama, Bagaimana benang merah akar masalah dari pembelajaran konflik
yang telah terjadi dimasa lalu, serta lesson learned apa yang dapat diambil mengingat
cukup banyaknya korban dan berlarutnya konflik tersebut ? Kedua, Bagaimana menurut
sudut pandang pasis, apa yang harus dilakukan oleh pasis selaku dansatkowil dalam
menghadapi situasi berkembang seperti konflik sosial dimasa lalu melalui langkah-langkah
manajemen konflik serta dihadapkan dengan perkembangan IT /Infomasi dan Teknologi?
Mendasari latar belakang dan pokok-pokok persoalan tersebut diatas, telah
diuraikan tentang berbagai potensi konflik yang bernuansa SARA yang terjadi diberbagai
lokasi di tanah air. Mengacu pada 3 (tiga) konflik yang terjadi di Sampit, Ambon dan
3

Papua, maka yang menjadi rumusan permasalahannya adalah “Bagaimana


menghentikan kekerasan SARA guna membangun Nasionalisme sejati?”.
Dari penjelasan diatas, maka Pentingnya penulisan essay ini adalah untuk mencari
cara menghentikan kekerasan SARA dan bentrokan massa guna membangun
Nasionalisme sejati guna mencegah konflik terulang kembali dan menjadi konflik yang
berkepanjang agar menghindari adanya keinginan untuk memisahkan dari dari NKRI.
Sedangkan pembahasan pokok permasalahan penulis menggunakan metode deskriptif
analisis serta dengan menggunakan pendekatan studi kepustakaan.
Nilai guna dari penulisan essay ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
tentang upaya penyelesaian konflik bernuansa agama yang bertujuan untuk memberi
masukan/sumbang pikiran kepada Pimpinan Atas sebagai penentu kebijakan tentang
bagaimana upaya penyelesaian konflik bernuansa SARA dengan menggunakan
manajemen konflik. Maksud dan Tujuan dari tulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran mengenai cara menuntaskan potensi konflik yang terjadi di daerah-daerah
wilayah Indonesia guna mencegah konflik berkepanjangan serta menghindari adanya
disintegrasi bangsa serta untuk mengetahui persoalan utama yang selama ini terjadi
hingga timbulnya konflik di masyarakat yang belum tuntas hingga saat ini dan sewaktu-
waktu terjadi konflik di masyarakat serta cara Pendekatan yang dapat diambil dalam
menyelesaikan persoalan historis yang ada melalui menejemen konfik, guna terwujudnya
Indonesia yang sejahtera aman dan damai dalam bingkai NKRI. Adapun tujuan dari
penulisan ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi organisasi TNI AD dalam
menganalisa sejauhmana cara menuntaskan potensi konflik yang terjadi di daerah-daerah
wilayah Indonesia guna mencegah konflik berkepanjangan yang menjurus kepada
disintegrasi bangsa.. Tulisan essay ini dibatasai pada benang merah dan akar masalah
dari pembelajaran konflik yang telah terjadi dimasa lalu, serta lesson learned apa yang
dapat diambil mengingat cukup banyaknya korban dan berlarutnya konflik tersebut serta
yang harus dilakukan oleh Dansatkowil dalam menghadapi situasi berkembang seperti
konflik sosial dimasa lalu melalui langkah-langkah manajemen konflik serta dihadapkan
dengan perkembangan IT/Infomasi dan Teknologi.

Pembahasan
Indonesia dikenal sebagai suatu sosok masyarakat yang pruralistik yang memiliki
banyak kemajemukan dan keberagaman dalam hal agama, tradisi, kesenian, kebudayaan,
4

cara hidup dan pandangan nilai yang dianut oleh kelompok-kelompok etnis dalam
masyarakat Indonesia. pada suatu sisi pluralistik dalam bangsa Indonesia bisa menjadi
positif dan konstruktif tetapi disisi lain juga bisa menjadi sebuah kekuatan yang negatif dan
destruktif yang dapat berakibat pada disintegrasi bangsa seperti contoh pada konflik di
Sampit, konflik di Ambon serta konflik yang terjadi di Papua. Kenyataannya sejarah
masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism. Hal ini adalah
realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya
religious pluralism dalam masyarakat Indonesia, yang mengutamakan toleransi dalam
berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari latarbelakang dan
pembahasan diatas maka perlunya mendiskusikan dengan menjabarkan persoalan-
persoalan tersebut diatas :
Pertama, Benang merah akar masalah dari pembelajaran konflik yang telah
terjadi dimasa lalu, serta lesson learned apa yang dapat diambil mengingat cukup
banyaknya korban dan berlarutnya konflik tersebut.
Data/fakta, Konflik Sampit bukanlah insiden yang terjadi begitu saja, karena
sebelumnya telah terjadi beberapa insiden antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar
terakhir terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban
tewas. Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program
transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran mencapai 21% populasi Kalimantan
Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari
masyarakat suku Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan
warga Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini
seperti perkayuan, penambangan dan perkebunan, Berbagai cerita menjelaskan
terjadinya insiden kerusuhan tahun 2001. Salah satu versi mengklaim bahwa ini
disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor yang beredar di
tengah masyarakat adalah, kebakaran disebabkan oleh warga Madura. Selanjutnya
sekelompok masyarakat suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman
Madura. Profesor Usop, dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian
oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka
diserang. Selain itu, juga beredar informasi bahwa seorang warga Dayak disiksa dan
dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada
17 Desember 2000.
Konflik Ambon merupakan konflik sektarian berlatar belakang SARA mulai tahun
1999 dan menewaskan sekitar 5000 orang. Konflik berawal dari seorang pemuda Muslim
5

dari keturunan Bugis, yang dikenal sebagai seorang preman, meminta uang kepada sopir
angkot yang beragama Kristen dari Mardika yang mengakibatkan perkelahian. Hal ini
berujung hingga pemuda mardika membawa parang untuk membunuh Preman tersebut.
Namun preman tersebut yang berhasil kabur, dan berkata kepada warganya bahwa ia
akan dibunuh oleh orang Kristen. Tanpa berpikir panjang, warga marah atas kejadian
tersebut dan mulai menyerang desa Mardika dengan parang, tombak, dan senjata tajam
lainnya. Tidak hanya itu, ratusan rumah di desa Mardika pun dibakar beserta Gereja
Silale. Atas terbakarnya Gereja Silale, warga dari kampung-kampung sekitar Mardika
marah dan ikut menyerang kembali warga Muslim. Akibat konflik SARA ini, banyak warga
korban, ratusan rumah hancur, fasilitas umum, hingga gereja setempat. Konflik ini juga
merambat ke beberapa daerah hingga pada akhirnya, kota Ambon menjadi porak poranda
dan menyebabkan perpecahan antara daerah kawasan Muslim dengan kawasan Kristen.
Pada Juli 1999, suasana di Ambon sudah mulai tenang dan membaik. Tetapi hal ini tidak
bertahan lama karena adanya ketegangan pemilu di daerah Poka dan meluas ke bagian
Ambon lainnya. Masyarakat juga semakin waspada akan situasi dan akhirnya menyiapkan
senjata untuk melindungi diri seperti parang. Di Ambon, hanya tersisa satu desa yang
masyarakatnya masih tetap berbaur, yaitu desa Wayame. Konflik kemudian bermula lagi
di Pulau Seram dan Pulau Buru, dimana pada saat itu warga telah siaga. Setelah
kunjungan Presiden dan Wakil Presiden ke Ambon, kerusuhan memuncak dan memanas
di beberapa wilayah di Ambon. Konflik ini berakhir dengan hilangnya banyak nyawa dan
ratusan yang terluka. Setelah dilaksanakannya rekonsiliasi, kondisi di kota Ambon
mereda. Selanjutnya, mulai muncul gerakan-gerakan Jihad yang berpusat di Yogyakarta,
Jakarta, dan Bogor. Hal ini meresahkan masyarakat Ambon, terutama kaum Kristen serta
memanaskan kembali keadaan Ambon yang sempat mereda. Selanjutnya, hal ini
menyebabkan kerusuhan mulai merebak dan berkepanjangan. Konflik yang terjadi karena
kesalahpahaman ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab
demi kepentingan kelompok tertentu. Isu SARA yang menjadi akar permasalahan konflik
tersebut berujung pada Ambon yang porak poranda dan berdampak pada kemiskinan dan
kesengsaraan bagi warga.
Konflik Papua, Terdapat sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan
tahun 2019, salah satu versi mengklaim bahwa konflik ini berawal dari percekcokan antara
murid dari berbagai ras di sekolah yang sama, di Malang, Surabaya. Secara sistimatis,
kejadian tersebut menimbulkan dampak kerusuhan hampir di seluruh kota di Papua mulai
pertengahan Agustus 2019 hingga akhir September 2019. Rentetan kerusuhan pecah di
tanah Papua pertama kali di Manokwari, Papua Barat, pada 19 Agustus 2019. Kedamaian
6

di Kota Injil terkoyak di siang itu. Demo warga yang semula damai berubah anarkistis.
Kerusuhan berikutnya pecah di kota-kota lain seperti Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai dan
Jayapura. Kemudian pada bulan September, kerusuhan kembali terjadi di Jayapura dan
Wamena. Pemicu kerusuhan berulang di Bumi Cenderawasih yakni karena ada kasus
rasial dan hoaks yang memicu protes luas di sana. Polisi melakukan angkut paksa 43
Orang dari Asrama Mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Beredar kabar bahwa
adanya perobekan bendera Merah putih oleh sekepompok mahasiswa asal Papua yang
menimbulkan reaksi dari masyarakat sekitar atas kejadian tersebut. Selanjutnya, berbagai
kelompok disebut-sebut menunggangi aksi protes dan mendalangi kerusuhan di berbagai
lokasi berbeda di Papua. Sejumlah poin penting dalam rentetan kerusuhan di Papua yang
terjadi dalam dua bulan tersebut. Kerusuhan di bulan Agustus berkembang dari kasus
asrama Papua, di Surabaya yang menimbulkan kerusuhan di Manokwari dan sejumlah
daerah lain di Papua, bukan tanpa sebab. Berkembang isu di Papua adanya berita seolah-
olah adanya aksi protes terhadap dugaan persekusi dan rasisme yang dilakukan oleh
organisasi masyarakat (ormas) dan oknum aparat terhadap, mahasiswa Papua di Malang,
Surabaya dan Semarang. Tentunya, kita semua tidak menginginkan terulang kembali
berbagai konflik yang bernuansa SARA, namun apabila hal tersebut tidak ditangani
dengan baik dan komprehensif oleh pemerintah dan seluruh komponen masyarakat, maka
bukan tidak mungkin hal yang sama akan kembali terjadi di masa yang akan datang.
Sehingga hal ini perlu menjadi bahan kajian Pasis Seskoad sesuai kapasitas tugasnya
masing-masing dengan melengkapi data dan fakta yang ada.
Harapan/keinginan, terjadinya konflik tidak terlepas dari adanya dalang atau
provokatornya tidak pernah diusut tuntas. Sehingga wajar jika masyarakat menuntut
pemerintah bertindak tegas menangkap provokatornya. Dari berbagai kerusuhan, teror,
fitnah dan pembunuhan memang sedang melanda bangsa kita sehingga untuk
menghadapi berbagai bencana yang diakibatkan konflik tersebut, maka semua pihak
hendaknya senantiasa waspada. Sebab berbagai cara akan dilakukan oleh provokator
untuk mengadu domba antarumat beragama, antarsuku dan antar etnis sehingga
persatuan dan kesatuan menjadi rapuh. Oleh karena itu, setiap umat berragama
senantiasa berpekgang teguh pada ajaran agamanya mereka tidak akan terjebak pada
isu-isu yang melayang. Konflik antarumat beragama yang berkepanjangan kalau terus
dibiarkan akan menjadi petaka yang cukup besar yang dapat mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa. Ancaman disintegrasi bangsa sudah dekat dihadapan mata, manakala
konflik antar umat beragama tidak segera diatasi. Padahal para tokoh pendiri bangsa ini
awal kemerdekaan bisa menjadikan perbedaan agama sebagai perekat tali persatuan
7

bangsa. Simbul negara Garuda Pancasila dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yakni
komitmen menjalin keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Analisa, dalam rangka itu maka penulis mencoba dan berusaha menggali
mengenai Benang merah akar masalah dari pembelajaran konflik yang telah terjadi
dimasa lalu antara lain sebagai Faktor-faktor penyebab timbulnya pertikaian antar
kelompok komunitas antara lain adalah faktor sosial & budaya yang merupakan faktor
pemicu, dan faktor ekonomi dan politik yang dianggap sebagai faktor akar masalah.
Tulisan ini diharapkan dapat mengungkapkan pola pertikaian yang terjadi di wilayah
maupun daerah di Indonesia melalui berbagai kondisi dan faktor-faktor khas yang
mempengaruhi terjadinya pertikaian selama ini dan yang membentuk pola pertikaian
tersendiri yang khas dan berbeda dengan apa yang terdapat di daerah lain seperti di
Jawa, Aceh, Poso, Ambon, Kalimantan, dan Papua serta masyarakat dunia lainnya.
Faktor Sosial-Budaya Penyebab Terjadinya Pertikaian. Faktor ini, yang dianggap sebagai
faktor pemicu (trigger factors) bagi sebagian terbesar pertikaian di Kalimantan, Ambon dan
Papua, antara lain terdiri dari (1) media identifikasi, Kelompok etnis tidak dapat
dipisahkan dari identitas fisik dan bukan fisik atau karakteristik biologisnya sendiri yang
berbeda dengan kelompok etnis lain yang mampu baik dalam berkembang biak dan
bertahan, maupun dalam menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh dan
dapat dibedakan dari kelompok etnis lain, yaitu pengakuan sosial karena masing-masing
terdapat persamaan ke dalam dan perbedaan ke luar dalam nilai-nilai budaya, termasuk di
dalamnya adalah nilai-nilai keagamaan dan bahasa. Demikian halnya Melayu dan Dayak
untuk Kalbar dan Banjar untuk Kaltim dan Kalsel serta Dayak untuk Kalteng, maupun di
Ambon serta Papua juga sama selain merupakan suatu kelompok etnis,, juga merupakan
sebuah media identifikasi bagi para anggota kelompok etnis minoritas yang tampaknya
menyumbang tidak saja bagi tampilnya kelompok etnis dominan sebagai kelompok yang
mampu menampung para anggota dari berbagai-bagai kelompok etnis yang merasa kecil.
(2) identifikasi etnis keagamaan (ethnic-religio identification), Di Kalimantan, Ambon
mapun Papua kedua faktor sosial budaya ini tidak berdiri sendiri. Mereka secara bersama-
sama tampaknya membentuk pola pertikaian antar komunitas yang khas terjadi di daerah
ini melalui solidaritas dan kesadaran etnis. Di 3 provinsi ini identifikasi etnis, khususnya
mereka yang berdomisili di kawasan pedalaman dimana pertikaian itu terjadi, cenderung
mengarah pada kelompok etnis. Adalah benar, ke dalam, anggota kelompok etnis atau
komunitas pedalaman mengenal dan mengakui bahwa mereka orang-orang pedalaman,
tetapi ke luar, mereka masing-masing mengidentifikasikan secara etnis sebagai satu
kelompok etnis: Dayak, Ambon maupun Papua maupun daerah lainnya secara
8

keseluruhan. Ada kesan masing-masing komunitas ini masing-masing adalah tunggal,


homogen. (3) karakter gerakan sosial, Reaksi terhadap tekanan dan himpitan dari luar
yang berpengaruh terhadap berbagai sendi kehidupan sosial, ekonomi dan budaya,
masyarakat pedalaman, khususnya masyarakat Dayak di kalimantan dan masyarakat
yang ada di Ambon serta Papua, baik berupa keterpurukan dan marginalisasi yang timbul
dari dominasi dan ketidakadilan di bidang ekonomi oleh kongsi dan pengusaha Cina,
maupun intervensi kolonialistis dan imperialistis dan penyebaran agama yang
menghancurkan nilai-nilai budaya setempat yang dilakukan oleh para zending dan
misionaris (seperti terjadi di Kaltim, Kalsel dan Kalteng), menimbulkan gerakan sosial yang
memakan waktu ribuan tahun (millenarian movement). Gerakan sosial (social movement)
atau gerakan etnis keagamaan (ethno-religio movement) yang jumlahnya cukup banyak di
Pulau Kalimantan, Ambon dan Papua, pada dasarnya dibagi menjadi 2 (dua) bagian
besar, yaitu : (1) Gerakan etnis keagamaan yang mengandung konflik fisik; (2) Gerakan
etnis keagamaan yang tidak mengandung konflik fisik. (4) hubungan antara sikap
keagamaan dengan pandangan terhadap eksistensi sumberdaya alam dan terhadap
martabat manusia, Anggota kelompok etnis Dayak yang ada di Kalimantan maupun di
Ambon serta Papua memeluk berbagai-bagai agama resmi yang diakui oleh Pemerintah,
dan agama nenek moyang mereka seperti Kaharingan dan semacam Animisme. Akan
tetapi sebagian besar dari mereka menganut Agama Katolik. Berbeda dengan ajaran
agama Protestan dan Islam, Katolik tampaknya lebih cenderung “membumikan” agama.
Ini berarti bahwa ajaran agama ini lebih mungkin masih memberikan ruang budaya
(cultural space) yang lebih luas bagi penganutnya untuk menjalin hubungan dengan,
mengakui, mempraktekkan dan mempertahankan kebiasaan, adat istiadat, tradisi nenek
moyang, nilai-nilai budaya dan orientasi nilai budaya lama. Selain itu, agama ini masih
memberikan toleransi yang cukup besar bagi pesta atau upacara-upacara adat (customary
party) dan memberikan tempat bagi berkembangnya kearifan setempat (local wisdom).
Ruang budaya yang lebih luas yang diberikan oleh Katolik terhadap penganutnya
mendorong sebagian terbesar anggota kelompok etnis Dayak Kalbar, etnis yang ada di
Ambon serta etnis yang ada di Papua maupun di daerah lain di Indonesia untuk memiliki
kepedulian yang relatif besar terhadap SDA, lingkungan dan kelestarian mereka. Begitu
besarnya rasa memiliki orang-orang pedalaman terhadap SDA dan lingkungannya,
sehingga mereka memiliki semacam prinsip dan motto budaya yang perlu dilaksanakan
dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti: “hutan adalah dunia kita”, “hutan adalah
pasar swalayan (supermarket)” (Alqadrie,1990; 1994), yang dapat dimanfaatkan
secukupnya untuk keperluan sehari-hari, tanpa dihancurkan. Dalam rangka otonomi
9

daerah dengan menerapkan desentralisasi kebijakan pembangunan kehutanan, hutan


seharusnya dapat “dijual” dengan tanpa merusak dan menghancurkannya melalui
perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan lintas sektoral, termaksuk di
dalamnya mengembangkan obyek dan kegiatan pariwisata di sekitar dan di luar kawasan
hutan sebagai pagar pengaman (bumper).
Kendala/kelemahan bangsa Indonesia memiliki kehidupan bergama yang sangat
majemuk, maka untuk menghindari pertentangan dan konflik antar umat beragama telah
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang RI No.39 tahun 1999
tentang HAM, yang melandasari pembangunan bidang agama dan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, sasaran bidang agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa ternyata arahnya masih memiliki kendala berpa tantangan yang harus dihadapi
antara lain : belum optimalnya pendayagunaan potensi berbagai organisasi dan lembaga
kemasyarakat dalam masyarakat, masih perlu ditingkatkan pemerataan dan kualitas
pendidikan dan pengetahuan agama dan keagamaan sebagai bagian dari tanggungjawab
bersama, masih terdapatnya kesulitan dalam membina para penganut aliran kepercayaan
terhadap tuhan Yang Maha Esa agar tidak bersikap tertutup serta kekurangmampuan
masyarakat untuk lebih memahami, mendalami, dan menghayati serta mengamalkan
ajaran dan nilai-nilai agama. Tantangan tersebut harus dihadapi bersama antar pemeluk
agama agar terciptanya kerukunan umat bergama, sehingga dapat saling menghormati
satu sama lain. Karena itu untuk mengatasi dan menghindari konflik terutama yang
berhubungan dengan kesenjangan ekonomi, perbedaan kepentingan, perbedaan suku-
bangsa atau perbedaan ras, sehingga dari perbedaan yang ada diantara masyarakat dan
umat beragama yang berbeda-beda dapat diatasi dengan adanya dialog yang senantiasa
dilakukan untuk menjalin kerukunan antar umat beragama.
Dinamika kekerasan dengan mobilitas yang sangat tinggi dan masif, rupanya jauh
lebih menguras energi banyak orang untuk melihat berbagai aspek yang berkaitan dengan
perkembangan konflik dan kekerasan. Tendensi demikian semakin mengental ketika
pemberitaan tentang konflik di Sampit kalimantan, konflik Maluku serta konflik yang terjadi
di Papua, lalu terjebak dalam bias dan perang informasi media selama berlangsungnya
konflik. Semua media lokal bahkan tenggelam dalam pembelahan berdasarkan garis
agama. Hal serupa terjadi pada banyak publikasi buku dan jurnal yang kerap terjerat pada
kepentingan apologetis masing-masing kelompok. Karenanya selama berlangsungnya
konflik, media dan jurnalist kerap dianggap sebagai salah satu provokator pelanggeng
konflik. Bukan saja media lokal, tetapi juga media nasional. Ditengah pertarungan
pemberitaan yang cenderung mengedepankan headline kekerasan untuk dikonsumsi
10

publik, upaya berbagai pihak untuk penghentian konflik dan membangun interaksi damai
seakan lolos dari sergapan jurnalis. Padahal upaya-upaya demikian senantiasa
berlangsung secara paralel dengan berkembangnya dinamika konflik. Berbagai upaya
penyelesaian yang dilakukan mengalami nasib yang kurang lebih sama. Hal ini antara lain
disebabkan karena sensitifitas konflik bernuansa agama turut memecahkan seluruh
birokrasi pemerintahan serta institusi lainnya di daerah, berdasarkan garis Islam dan
Kristen. Kondisi serupa bahkan turut menginfeksi aparat keamanan lokal dari unsur TNI
maupun POLRI. Meskipun demikian upaya-upaya yang dilakukan tidak pernah surut,
terutama yang dilakukan kemudian dalam kolaborasi dengan berbagai kelompok
penggagas rekonsiliasi lainnya. Upaya pemerintah dan masyarakat lakukan dalam
mengatasi konflik di Kalimantan, Ambon serta Papua maupun di daerah diseluruh wilayah
Indonesia Secara sadar realitas konflik di Sampit, Maluku-Ambon serta di Papua
membuka perspektif kita pada sejumlah kesalah-kaprahan dalam proses rancang bangun
konstruksi masyarakat yang selama ini kita geluti. Dengan belajar dari realitas konflik pula
kita didorong untuk bukan saja melakukan suatu proses rekonstruksi terhadap puing-puing
keterpurukan rakyat Sampit, Maluku-Ambon dan Papua, tetapi juga suatu proses
‘membuat kembali’ (remaking) dengan mengandaikan terjadinya suatu revitalisasi yang
transformatif. Terhadap maksud ini, maka penghampiran kultural perlu mendapat tempat
utama, dengan mempertimbangkan bahwa telah sekian lama Sampit, Maluku-Ambon
serta Papua kehilangan perangkat kohesifitas masyarakat. Penghampiran kultural
kemudian dibarengi dengan pengembangan sumber daya yang inovatif dan transformatif,
pada gilirannya akan mengeliminir potensi-potensi konflik laten yang terus mengayun di
bawah bentangan masa depan daerah konflik maupun daerah di seluruh Indonesia. Dari
aspek kebudayaan, konflik yang terjadi di Sampit, Maluku (Ambon) mapun di Papua serta
di wilayah lain di Indonesia hanyalah salah satu ikon dari problematik pembangunan
Indonesia, yang telah sekian lama menghilangkan ruang bagi terjadinya sebuah dialog
kebudayaan yang jujur dan setara. Realitas ini mengimbas hampir seluruh model
pengembangan pembangunan yang dipilih. Realitas keberagamaan Kalimantan, Maluku
(Ambon) serta Papua dalam hoistoritasnya bahkan tidak secara jelas meninggalkan jejak
terjadinya sebuah dialog kebudayaan, antara intervensi agama dengan penganut lokalnya.
Hal ini mengkondisikan agama untuk cenderung hidup dalam ruang hampa, yang tanpa
sadar mengalienasi manusia Kalimatan (sampit) Ambon-Maluku serta Papua dari bangun
kosmologisnya. Fenomena pasca konflik yang menarik untuk diamati, selain disatu sisi
terjadi kristalisasi aktualitas komunitas pada simbol-simbol agama yang dianut. Namun
disisi lain mulai muncul gerakan kembali ke adat dan budaya dalam dinamika yang
11

bergerak perlahan, tapi mendesak mengisi ruang-ruang publik pasca konflik. Interaksi
publik yang marak berkembang pasca konflik fisik dimaraki oleh ornamen-ornamen
kultural yang secara spontan dihadirkan komunitas basis, sebagai indikator untuk
menandai apresiasi mereka terhadap kebersamaan. Realitas ini patut ditangkap dan
diakomodir untuk membingkai seluruh proses pasca konflik fisik. Terutama untuk
mengeliminir potensi-potensi konflik yang tersimpan pada memori kolektif publik. Tentunya
pilihan dialog kebudayaan pasca konflik fisik tak bisa diacu sebagai satu-satunya model
penyelesaian konflik dan rekonstruksi masyarakat Maluku, Sampit dan Papua ke depan.
Pilihan ini mengandung kelemahan, bilamana dilaog kebudayaan tak terbuka terhadap
revitalisasi dirinya sendiri. Terutama berkaitan dengan gelombang pluralisme yang
berkembang seiring geliat modernisme dan globalisasi. Ia bukan satu-satunya pilihan.
Tetapi ia merupakan salah satu pilihan yang tepat untuk memandang Sampit, Maluku
serta Papua ke depan.
Kedua, Apa yang harus dilakukan selaku dansatkowil dalam menghadapi
situasi berkembang seperti konflik sosial dimasa lalu melalui langkah-langkah
manajemen konflik serta dihadapkan dengan perkembangan IT /Infomasi dan
Teknologi. Berkaitan dengan hal tersebut maka upaya pencegahan perlu dilakukan dalam
rangka mengeliminir berbagai dampak yang ditimbulkan berupa kerugian materiil maupun
non materiil. Berkaitan dengan hal tersebut maka keberadaan Satkowil termasuk Korem,
Kodim, Koramil sampai dengan Babinsa dan jajaranya yang tergelar di seluruh wilayah
melalui kegiatan pemberdayaan wilayah pertahanan yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya sangat menentukan dalam menunjang keberhasilan pencegahan konflik yang
terjadi di daerah dengan mengacu pada berbagai aturan perundang-undangan sebagai
landasan/acuan dalam mengintensifkan perannya.
Keberadaan Satkowil selama ini, dihadapkan pada masih terjadinya konflik
walaupun tidak secara langsung akibat kegagalan dalam Binter yang dilaksanakan
sesuai tugas dan fungsinya. Namun setidaknya, kita dapat melihat bahwa peranan
Satkowil masih sangat kurang dalam menciptakan Ruang, Alat, Kondisi Juang (RAK
Juang) serta mewujudkan Kemanunggalan TNI-Rakyat di Sampit Kalimatan, Ambon
Maluku serta Papua maupun di daerah lain di Indonesia, sehingga kejadian konflik
seringkali terjadi tanpa dapat diduga dan dilaksanakan pencegahan sebelumnya. Bahkan
kecenderungan konflik terus meluas. Hal ini terjadi karena adanya berbagai keterbatasan
dari Satkowil sendiri. Berikut akan dijelaskan upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan implementasi tugas Satkowil dalam mengatasi konflik yang terjadi di daerah
di wilayah Indonesia: Pertama, Pengetahuan dan pemahaman manajemen konflik.
12

Untuk mengatasi berbagai permasalahan, kendala dan kelemahan yang dihadapi oleh
Satkowil dalam mengatasi konflik yang terjadi selama ini maka diperlukan adanya upaya
meningkatkan wawasan Pengetahuan dan pemahaman Manajemen Konflik dikalangan
SDM personel Satkowil melalui pendidikan, latihan dan penataran sebagai berikut : (1)
Dansatkowil bersama-sama dengan satuan dan jajaran dibawahnya dengan
meningkatkan daya nalar dan analisis dikalangan aparat Satkowil (Korem, Kodim, Koramil
dan Babinsa) terhadap dinamika konflik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat melalui
Pemberian studi kasus konflik untuk dipecahkan melalui pendekatan konflik yang
senantiasa terjadi dan dihadapi di daerah-daerah dan sekitarnya. Pemecahan masalah
yang dihasilkan dari masukan aparat selanjutnya dihimpun dan dijadikan sebagai konsep
pemecahan masalah konflik yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk diterapkan saat
terjadi konflik di daerah; Penugasan kepada aparat Satkowil untuk mengumpulkan berita-
berita tentang konflik komunal yang terjadi di daerah-daerah dalam bentuk kliping-kliping
koran termasuk pendapat dan analisis para pakar yang ada dalam berita, sebagai media
untuk pembelajaran bagi mereka dalam meningkatkan daya nalar dan analisisnya
terhadap permasalahan konflik; penugasan kepada seluruh aparat Satkowil untuk
menyusun konsep pemecahan konflik komunal dalam bentuk tulisan telaahan staf maupun
tulisan-tulisan militer lainnya, sesuai dengan kondisi permasalahan konflik yang seringkali
terjadi dan dihadapi di daerah tanggung jawabnya; (4) Dansatkowil merumuskan
kebijakan dan program pembinaan mental dan latihan penanggulangan konflik bersifat
simulasi 2 (dua) pihak untuk membentuk ketenangan sikap, pengendalian emosi dan
kematangan dalam mengambil suatu tindakan ketika konflik berlangsung di daerah
masing-masing belum sepenuhnya dimiliki aparat Satkowil dari mulai aparat Korem
sampai dengan Kodim Koramil dan Babinsa sebagai berikut: (a) Memprogramkan
kegiatan pembinaan mental bagi seluruh aparat Satkowil secara rutin dan bergiliran baik
terpusat di Bintal Kotama maupun secara langsung di satuan-satuan guna meningkatkan
ketahanan mental bagi aparat Korem apabila di daerahnya terjadi konflik yang
membutuhkan adanya ketenangan dan bersikap; Memprogramkan kegiatan pelatihan
penanggulangan konflik secara rutin, mandiri maupun gabungan dengan unsur Pemda,
Kepolisian di daerah melalui metode Geladi Posko I maupun Geladi Lapangan yang
bersifat simulasi/pendekatan situasi konflik yang nyata dan berlangsung 2 (dua) pihak;
Mengadakan pemutaran video rekaman kasus konflik melalui multimedia dihadapan
seluruh aparat Satkowil selanjutnya diberikan penugasan di tempat, tentang bagaimana
sikap dan tindakan yang harus dilakukan setiap aparat Satkowil menghadapi situasi konflik
yang terjadi sesuai tayangan yang ada dalam video tersebut; (5) Dansatkowil menyusun
13

kebijakan dan program pembentukan Kodim, Koramil maupun penempatan pos-pos


Babinsa untuk mengcover seluruh daerah yang ada didaerah. Diupayakan 1 Kabupaten
dapat dibentuk 1 Kodim dengan Koramil dan Babinsa yang disebarkan secara merata
keseluruh daerah. Kedua, Pencegahan konflik di daerah. Satkowil pada dasarnya
memiliki kemampuan cukup memadai untuk dapat melaksanakan langkah-langkah
pencegahan konflik yang terjadi didaerah. Namun nampaknya dalam pelaksanaannya
dilapangan masih seringkali kecolongan karena lemahnya kegiatan-kegiatan pencegahan
yang dilakukan menyangkut: (1) Kegiatan deteksi dini, temu cepat dan lapor cepat
terhadap gejala-gejala yang mengarah pada terjadinya konflik di daerah yang dilakukan
oleh aparat Korem masih menemui hambatan; (2) Kemampuan intelter aparat Korem
terbatas karena latar belakang pendidikan Intelijen yang terbatas, lingkup tugas Korem
pada Binter sehingga analisis dan daya nalar/naluri intelijen kurang terlatih; (3)
Kemampuan menjaring masyarakat sebagai Bapul/mitra terbatas dengan sulitnya Korem
mendapatkan informasi dari masyarakat tentang gejala konflik, serta belum banyaknya
agen-agen di masyarakat yang berhasil dibina oleh Korem; (4) Kesadaran temu cepat
dan lapor cepat masyarakat terhadap gejala-gejala yang mengarah pada terjadinya konflik
yang masih terbatas.Beragam permasalahan pencegahan konflik yang masih kurang
tersebut, menjadikan konflik dengan latar belakang yang menjadi penyebabnya seringkali
terjadi tanpa dapat terdeteksi, malah kecenderungan konflik terus semakin meluas ke
daerah-daerah lainnya. Keterbatasan ini disebabkan karena intensitas kegiatan deteksi
dini, temu cepat, lapor cepat sebagai bentuk kemampuan intelijen teritorial termasuk naluri
intelijen belum sepenuhnya dapat difahami dan dikuasai oleh aparat Korem sebagai
Satkowil, serta masih minimnya intensitas kegiatan pembinaan kemampuan intelijen
yang dilaksanakan oleh unsur Komandan satuan masing-masing. Sejalan dengan tugas
Binter yang melekat pada satuan Korem, pelaksanaan pencegahan konflik pada dasarnya
sudah dilaksanakan walaupun belum sepenuhnya dapat mencegah terjadinya konflik
secara menyeluruh. Kegiatan intelijen teritorial merupakan kegiatan yang cukup efektif
untuk dimaksimalkan keberadaannya dalam rangka meningkatkan deteksi dini, temu
cepat dan lapor cepat guna pencegahan terjadinya konflik di daerah. Oleh karenanya
sangat penting bagi Satkowil untuk merumuskan program dan kegiatan intensifikasi
kegiatan intelijen teritorial yang didukung oleh ketersediaan aparat yang memiliki
pengetahuan dasar intelijen dan naluri intelijen memadai. Untuk mewujudkan hal tersebut
maka diperlukan adanya berbagai upaya dan kegiatan sebagai berikut : (1) Dansatkowil
(Danrem, Dandim maupun Danramil) menyusun program dan kegiatan kegiatan deteksi
dini, temu cepat dan lapor cepat dalam menyikapi setiap gejala konflik yang terjadi di
14

wilayah sebagai berikut :a) Deteksi dini diarahkan pada usaha untuk pendeteksian awal
tentang adanya potensi yang mengarah pada terjadinya suatu konflik di daerah tanggung
jawabnya; b) Temu Cepat diarahkan untuk menemukan secara cepat segala bentuk
tindakan maupun aksi-aksi masyarakat baik berupa propaganda, isu-isu maupun
selebaran yang dilakukan sekelompok oknum yang dapat memancing terjadinya konflik
komunal di daerah; c) Lapor cepat dimana setiap aparat Satkowil (Korem, Kodim dan
Koramil) ditekankan untuk memberikan laporan secara cepat kepada komandan satuan
maupun pihak berwenang lainnya ketika menemukan suatu gejala yang mengarah pada
terjadinya konflik di daerah; (2) Danrem melakukan kerjasama dengan Dansatintel baik
Deninteldam maupun Dansatgas Intel Bais TNI yang terdapat di daerah untuk
mengadakan pembekalan naluri intelijen bagi seluruh aparat Korem untuk kepentingan
pencegahan konflik komunal dengan mengasah kemampuan aparat Korem melalui
identifikasi tanda-tanda maupun gejala-gejala mencurigakan di daerah tanggung jawabnya
yang mengarah pada terjadinya konflik komunal di daerah; (3) Pemberian pendidikan
Intelijen bagi aparat Satkowil di Pusdikintel. Untuk kepentingan ini, maka Dansatkowil
perlu menginventarisir aparatnya yang ada di satuan yang sama sekali belum memiliki
pendidikan intelijen. Dimana aparat-aparat tersebut selanjutnya diajukan untuk mengikuti
kegiatan pendidikan maupun kursus intelijen; (4) Dansatkowil pemberian penugasan
sementara kepada aparat Korem untuk bertugas di satuan Intelijen baik di satuan
Deninteldam maupun Satgas Intel Bais TNI, atau melalui perekrutan personel Satuan
Intelijen untuk bertugas di Korem; (5) Danrem merumuskan program dan kegiatan
pembentukan jaring intel sebagai mitra ditengah-tengah masyarakat untuk kepentingan
deteksi dini konflik. Jaring intelijen yang sudah berhasil direkrut dan dibentuk selanjutnya
terus menerus dibina guna kelancaran kegiatan intelijen territorial; (6) Dansatkowil
menyusun jadwal dan program pembinaan kesadaran masyarakat yang perlu dilakukan
oleh Intelrem yang tersebar di daerah dengan tujuan agar masyarakat memiliki kesadaran
yang tinggi untuk melaporkan setiap gejala konflik yang timbul ditengah-tengah
masyarakat kepada aparat Korem maupun aparat Kepolisian. Ketiga, Sinergitas dan
keterpaduan pencegahan Konflik dengan Instansi terkait. Sinergitas dan keterpaduan
pencegahan Konflik antara Satkowil dengan Instansi terkait sampai dengan sejauh ini
belum dapat diwujudkan. Hal tersebut terjadinya karena keterbukaan dalam penanganan
konflik-konflik yang terjadi selama ini belum sepenuhnya dapat diwujudkan antara Korem,
unsur Pemda dengan unsur Kepolisian di daerah. Sikap egoisme sektoral diantara
masing-masing institusi masih seringkali menghambat kelancaran penanganan konflik di
daerah. Dalam setiap konflik yang terjadi di daerah, koordinasi antara Aparat Pemerintah
15

daerah, Kepolisan dan Korem belum dapat dilaksanakan dengan lancar. Disamping itu,
pemahaman UU RI No.34 tahun 2004 maupun Undang-undang RI No. 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konfilk Sosial yang kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Inpres RI No 2 Tahun 2013 dan Nota Kesepahaman Kapolri dan Panglima TNI belum
sama antara Polri, Korem dengan Pemda. Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu
dilakukan berbagai upaya sebagai berikut : (1) Dansatkowil melaksanakan berbagai
kegiatan antara lain: Mempersiapkan konsep pengerahan kekuatan kedaruratan bagi
satuan Korem dan Kodim jajarannya yang akan diterjunkan ke daerah konflik,
Pembenahan mekanisme koordinasi dengan unsur Polri dan Pemda yang terlibat dalam
penanggulangan konflik di daerah, Membangun pusat informasi dan data sebagai sarana
informasi dan komunikasi darurat di daerah konflik yang tergelar secara on-line di seluruh
komputer Korem, Kodim, Pemda, Polri di daerah; (3) Mengoptimalkan sistim Komando
Pengendalian yang berbasis teknologI untuk kelancaran dan keberhasilan Korem dalam
mengatasi konflik didukung oleh keterpaduan komunikasi yang tersedia di masing-masing
unsur yang terlibat dalam penanganan konflik di daerah; (4) Dansatkowil bersama-sama
dengan Komandan Satuan jajarannya menyusun program pembentukan dan
pembangunan pusat pengendalian konflik di Pusat dan di daerah melalui :Pembangunan
Pusat Pengendalian Operasional Taktis (RUPUSKODALTIS) sebagai sarana pos
komando dan pengendalian penanganan konflik sosial di daerah yang didalam
Rupuskodal tersebut terdapat perwakilan dari Korem, Kodim, Koramil, Babinsa, Pihak
Pemda dan Kepolisian serta unsur dari masyarakat yang bekerja setiap hari untuk
memantau perkembangan situasi wilayah, sehingga setiap gejala konflik sosial di daerah
dapat segera diantisipasi.

Penutup
Dari serangkaian penjelasan diatas mengenai latar belakang, permasalahan-
permasalahan yang dihadapi, faktor-faktor yang mempengaruhi serta pemecahan
persoalan yang ditawarkan maka penulis dapat menyimpulkan bahwa Sampai dengan
saat ini daerah-daerah yang rawan konflik yang dilatarbelakangi dan menyentuh
permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam. Oleh karenanya
untuk mencegah terjadinya konflik di masa mendatang diperlukan adanya upaya
komprehensif dari pemerintah didukung oleh Satkowil dengan mengarahkan pada usaha
mewujudkan pemahaman dan pengamalan ideologi Pancasila ditengah-tengah
masyarakat, mewujudkan kestabilan politik di daerah dengan implementasi otonomi
khusus secara konsisten dan konsekuen, percepatan roda pembangunan ekonomi guna
16

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah, mewujudkan harmonisasi hubungan


sosial budaya di kalangan warga masyarakat serta mewujudkan stabilitas keamanan yang
mantap dan terkendali oleh Satkowil bersama-sama dengan Kepolisian setempat.
Peranan Satkowil dalam pencegahan konflik di masa mendatang dapat diwujudkan
apabila wawasan pengetahuan aparat Kowil tentang manajemen konflik termasuk
ketrampilan penanggulangan konflik dapat meningkat, didukung oleh intensifnya kegiatan
intelijen teritorial guna pencegahan konflik, adanya Prosedur dan Mekanisme Penanganan
Konflik yang dapat mengakomodir peran dan tugas Satkowil.
Sinergitas dan keterpaduan pencegahan Konflik Satkowil dengan Instansi terkait
dapat diwujudkan apabila antara Satkowil, unsur Pemda dengan unsur Kepolisian di
daerah memiliki pemahaman dan cara pandang yang sama terhadap berbagai aturan
perundangan yang mengatur tentang peran TNI dan Polri, adanya sikap keterbukaan
untuk saling bekerjasama satu sama lain serta terbentuk Kodal dan Puskodal Terpadu di
daerah yang difungsikan sebagai Pos pengendalian konflik di daerah. Untuk itu
disarankan (1) Perlunya unsur pimpinan untuk merumuskan program pendidikan maupun
kursus manajemen konflik bagi seluruh aparat Kowil dalam penyelenggaraan pendidikan
di Pusdikter ataupun Lemdik lainnya; (2) Perlunya unsur pimpinan untuk menyusun
Mekanisme Kodal Terpadu yang menggabungkan unsur Korem, Pemerintah daerah dan
unsur Polri di daerah dalam rangka pengendalian konflik di daerah tanggung jawab
Satkowil.
Demikian pembahasan essay mengenai Perkembangan potensi konflik bernuansa
sara yang terjadi diberbagai lokasi di tanah air, semoga bermanfaat dan dijadikan bahan
pertimbangan unsur pimpinan TNI di masa yang akan datang.
ALUR PIKIR
PERKEMBANGAN POTENSI KONFLIK BERNUANSA SARA
YANG TERJADI DIBERBAGAI LOKASI DI TANAH AIR

LANDASAN PEMIKIRAN

 IDIIL, PANCASILA
 KONSTITUSIONAL, UUD ‘45
 KONSEPTUAL, WANUS, HANNAS
PERSOALAN YG DITEMUKAN  UU RI NO.3/2002, UU RI NO.34/2004 KEAMANAN
 TEORI KONFLIK NASIONAL
 Pertama, Bagaimana benang  TEORI MANAJEMEN KONFLIK TERJAGA
merah akar masalah dari
pembelajaran konflik yang telah
terjadi dimasa lalu, serta lesson
learned apa yang dapat diambil
KONDISI mengingat cukup banyaknya korban
POTENSI KONFLIK dan berlarutnya konflik tersebut ? PROSES KONDISI
POTENSI KONFLIK KONFLIK DI
BERNUANSA SARA DAERAH
SAAT INI  Kedua, Bagaimana menurut YG DIHARAPKAN
sudut pandang pasis, apa yang harus TERATASI
dilakukan oleh pasis selaku
dansatkowil dalam menghadapi
situasi berkembang seperti konflik
sosial dimasa lalu melalui langkah- PERKEMBANGAN LINGSTRA
langkah manajemen konflik serta
dihadapkan dengan perkembangan  GLOBAL
IT/Infomasi dan Teknologi?  REGIONAL
 NASIONAL
 PELUANG & KENDALA
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.academia.edu/4381769/
Konflik_SARA_di_Indonesia_sofian_munawar_asgart
2. https://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/Layout_Politik
%20Identitas.pdf
3. https://core.ac.uk/download/pdf/34212341.pdf
4. http://eprints.uny.ac.id/18477/3/BAB%20I%2009416241028.pdf
5. https://ejournal.undip.ac.id/index.php/politika/article/download/4938/4477
6. http://www.ejournal.radenintan.ac.id/index.php/TAPIs/article/download/1513/1246
7. https://www.liputan6.com/citizen6/read/3869107/sara-adalah-isu-sensitif-berikut-
arti-dan-penjelasannya

Anda mungkin juga menyukai