Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

KONFLIK POLITIK, AGAMA DAN SOSIAL


(KEMASYARAKATAN DAN KELUARGA)

OLEH :
DECAPRYO RIVIAN BELO – XII IPA 1
SMAN 2 MANOKWARI
JL. PERTANIAN WOSI DALAM, MANOKWARI, PAPUA
BARAT
KODE POS : 98312
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
Karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para


pembaca. Namun terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran
yang bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik
lagi.

MANOKWARI, 29 AGUSTUS 2021

PENYUSUN
DAFTAR ISI :

Halaman Judul / Cover....................................................................................

Kata Pengantar................................................................................................

Daftar Isi..........................................................................................................

BAB I : Pendahuluan.......................................................................................

A. Latar Belakang......................................................................................
B. Rumusan Masalah.................................................................................
C. Tujuan...................................................................................................
D. Manfaat.................................................................................................

BAB II : Pembahasan.....................................................................................

A. Konflik Politik......................................................................................
B. Konflik Agama.....................................................................................
C. Konflik Sosial.......................................................................................

BAB III : Penutup...........................................................................................

A. Kesimpulan...........................................................................................
B. Kritik & Saran......................................................................................

Daftar Pustaka.................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga
konflik bersifat inheren artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu,
dimana saja dan kapan saja.

Dalam pandangan ini, masyarakat merupakan arena konflik atau arena pertentangan dan
integrasi yang senantiasa berlangsung. Oleh sebab itu, konflik dan integrasi sosial merupakan
gejala yang selalu mengisi setiap kehidupan sosial. Hal-hal yang mendorong timbulnya
konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

Di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan
yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak, tujuan dan sebagainya.
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, akan tetapi ada juga
yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan
merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari
model kekerasan yang terkecil hingga peperangan.

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama
dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial
mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui
dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional.

Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan
pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber
pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.

Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial


yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa
memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.

Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung
dengan melibatkan orang-orang atau kelompok kelompok yang saling menantang dengan
ancaman kekerasan.

Menurut lawang konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang
langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu
tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik
dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan
kelompok lain dalam proses perebutan sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan
budaya) yang relatif terbatas.
Dari berbagai pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa konflik adalah
percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat
dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang
dengan ancaman kekerasan.

Konflik dalam sejarah sebuah negara bukanlah hal yang baru lagi. Konflik dalam
kehidupan bernegara dapat di klasifikasikan secara sederhana menjadi tiga, yaitu konflik
politik, agama, dan sosial. Konflik pada umumnya terjadi karena perbedaan tertentu baik
tujuan, kepentingan, atau hal-hal lainnya yang dapat menyebabkan pihak yang berkonflik
marah dan terganggu.

Konflik pada dasarnya sangat mengancam keutuhan sebuah negara, terlebih lagi pada
negara kita Indonesia yang beragam. Namun, dari konflik yang pernah terjadi di harapkan
dapat di jadikan pelajaran bagi generasi muda. Jadi, saya membuat makalah ini selain untuk
memenuhi tugas sekolah saya, tapi juga dapat menjadi pembelajaran dan acuan untuk
kehidupan kita kedepannya.

B. Rumusan Masalah
 Apa saja konflik politik, agama, dan sosial yang pernah terjadi dalam sejarah
Indonesia ?
 Bagaimana konflik politik, agama, dan sosial tersebut terjadi (Kisahnya) ?
 Apa pelajaran yang dapat di ambil dari konflik politik, agama, dan sosial tersebut ?

C. Tujuan
 Untuk mengetahui konflik politik, agama, dan sosial yang pernah terjadi dalam
sejarah Indonesia.
 Untuk mengetahui bagaimana konflik politik, agama, dan sosial tersebut terjadi
(Kisahnya).
 Untuk mengetahui pelajaran yang dapat di ambil dari konflik politik, agama, dan
sosial tersebut.

D. Manfaat
Seperti yang sudah saya sebutkan kalau manfaat makalah ini adalah untuk sebagai sumber
pembelajaran dan pengetahuan, serta sebagai acuan untuk mencegah konflik serupa di masa
yang akan datang.
BAB II : PEMBAHASAN

A. Konflik Politik
Dalam studi ilmu-ilmu sosial dikenal dua pendekatan yakni pendekatan struktural -
fungsional (konsensus) dan struktural-konflik. Pendekatan konsensus berasurnsi masyarakat
mencakup bagian-bagian yang berbeda fungsi tetapi saling berhubungan satu sama lain
secara fungsional. Sementara itu pendekatan konflik berasumsi bahwa masyarakat mencakup
berbagai bagian yang rnemiliki kepentingan yang saling bertentangan. Di samping itu
masyarakat terintegrasi dengan suatu paksaaan dari kelompok dominan sehingga rnasyarakat
selalu dalam keadaan konflik.

Konflik dibedakan meniadi dua, yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik yang
tak berwujud kekerasan. Konflik yang rnengandung kekerasan, pada umumnya terjadi dalam
masyarakat negara yang belum memiliki konsensus dasar mengenai dasar dan tujuan negara
dan mengenai rnekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga.

Konflik yang tak berwujud kekerasan dapat ditemui pada masyarakat-negara yang
memiliki konsensus mengenai dasar dan tujuan negara dan mengenai mekanisme pengaturan
dan penyelesaian konflik yang melembaga.

Jadi konflik politik secara longgar dapat dirumuskan sebagai perbedaan pendapat,
persaingan, dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok ataupun organisasi
dalam upaya rnendapatkan dan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang
dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Secara sempit konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga
masyarakat yang diarahkan untuk memenangkan kebijakan umum dan pelaksanaannya, juga
perilaku penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur hubungan-
hubungan di antara partisipan politik (Surbakti: L992, 151) Sedangkan Maswadi Rauf (2001:
19) menyatakan konflik politik bukanlah konflik individu karena lsu yang dipertentangkan
dalam konflik politik adalah isu publik yang menyangkut kepentingan orang banyak, bukan
kepentingan satu orang tertentu.

Berikut contoh-contoh konflik politik dalam sejarah Indonesia:

1. Konflik penolakan revisi UU KPK dan KUHP (2019)

Pada tahun 2019, terjadi demonstrasi besar-besaran yang dilakukan mahasiswa dan
masyarakat untuk menolak revisi UU KPK dan KUHP karena isinya yang melemahkan
lembaga KPK dan terlalu mencapuri urusan personal. Akibatnya terjadi konflik antara aparat
dan demonstran.

Aksi demo tolak Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan KUHPdi
Bandung berakhir ricuh, Senin (23/9/2019). Akibatnya, sejumlah mahasiswa dan anggota
kepolisian mengalami luka-luka. Seperti diketahui, menjelang malam, para mahasiswa masih
berkumpul di depan Gedung DPRD Jabar sambil berorasi dan bernyanyi. Lalu, tiba-tiba
mahasiswa dan aparat kepolisian terlibat bentrokan. Aksi saling dorong antara mahasiswa dan
polisi kemudian terjadi.

Berikut ini fakta lengkapnya:

1. Mahasiswa kepung Gedung DPRD Tolak RUU KPK dan KUHP

Massa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bandung menggelar aksi di


kantor DPRD Jawa Barat di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (23/9/2019).
Sebelumnya, para mahasiwa berkumpul di Monumen Perjuangan. Aksi tersebut dilakukan
sebagai bentuk penolakan terhadap Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan
KUHP. Para mahasiswa lalu melakukan aksi bakar ban di depan Gedung DPRD sambil
melakukan orasi.

"Kita menolak RUU KPK, RUU KUHP, itu menjadi tujuan besar kita. Aspirasi
masyarakat sudah lama terbungkam karena tidak didengar DPR," kata Limas Kiswandi,
perwakilan massa Presiden Mahasiswa Universitas Pasundan

2. Diwarnai aksi bakar ban dan lempar batu

Suasana semakin memanas saat mahasiswa meminta untuk bertemu dengan anggota
DPRD Jabar. Sempat terjadi aksi saling dorong antara mahasiswa dengan aparat kepolisian
tepat di pintu masuk Gedung DPRD Jabar. Para mahasiswa yang merangsek masuk mendapat
hadangan dari petugas. Insiden itu juga diwarnai pelemparan dari mulai botol air kemasan,
sepatu, hingga batu. Ratusan aparat keamanan masih bersiaga di Gedung DPRD Jabar.
Sebuah mobil water canon pun disiapkan di pintu masuk. Perwakilan mahasiswa bersama
polisi berupaya menenangkan massa lewat pengeras suara.

3. Selepas maghrib, mahasiswa bentrok dengan polisi

Bentrokan kembali terjadi usai maghrib. Saat itu, para mahasiswa yang masih
berkumpul di depan Gedung DPRD Jabar sambil berorasi dan bernyanyi, terlibat bentrok
dengan polisi. Tak jelas apa pemicu kericuhan tersebut, namun para mahasiswa dan polisi
terlibat saling dorong kemudian terjadi saling lempar batu. Akibatnya, sejumlah petugas
kepolisian dan beberapa mahasiswa. Bahkan, terlihat seorang mahasiswa dari pers mahasiswa
seketika pingsan lantaran terkena lemparan batu. Untuk membubarkan massa, para polisi lalu
menurunkan mobil water canon dan menembakkan gas air mata.

4. Polisi gelar patroli pasca-bentrokan

Pasca-bentrokan, sekitar pukul 18.30, para mahasiswa mulai berhamburan


meninggalkan Gedung DPRD Jabar. Dari pantauan di lapangan, Senin malam suasana di
lokasi bentrokan berangsur-angsur kondusif. Seperti diketahui, ribuan mahasiswa datang
secara bergelombang sejak pukul 14.00 WIB ke gedung DPRD Jabar. Para mahasiswa lalu
melakukan aksi bakar ban di depan Gedung DPRD sambil melakukan orasi.
"Kita menolak RUU KPK, RUU KUHP. Itu menjadi tujuan besar kita. Aspirasi
masyarakat sudah lama terbungkam karena tidak didengar DPR," kata Limas Kiswandi,
perwakilan massa Presiden Mahasiswa Universitas Pasundan.

2. Konflik dengan KKB di Papua

Konflik di Papua terjadi dari tahun ke tahun, yang melibatkan pihak KKB (Kelompok
Kriminal Bersenjata) yang ingin memerdekakan Papua dari Indonesia. Akibatnya sering
terjadi insiden penembakan atau pembunuhan dari pihak KKB, terutama kepada karyawan PT
Freeport yang ada di Papua.

Saya ambil salah satu peristiwa :

Kasus penembakan di Nduga Papua mengorbankan puluhan warga sipil. Pada tanggal
1 dan 2 Desember 2018, warga sipil yang bekerja dalam proyek pembangunan jembatan
Trans Papua menjadi korban bersenjata oleh Kelompok Kriminal Bersenjata-Organisasi
Papua Merdeka (KKB-OPM). Penembakan yang dilakukan oleh KKB-OPM tersebut diduga
karena seorang pekerja pembangunan jembatan Trans Papua mengambil foto upacara
perayaan HUT Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) yang
membuat mereka marah dan berimbas kepada pekerja lainnya (Kompas.com, 3 Desember
2018).

Namun di informasi lain mengatakan, penembakan yang dilakukan oleh KKB-OPM


terhadap pekerja Trans Papua merupakan pemberontakan terhadap upaya pemerintah dalam
melakukan pembangunan infrastruktur yang tidak tentu dapat menyelesaikan permasalahan
status Papua yang ingin merdeka (BBC.com, 5 Desember 2018). Terkait penembakan
terhadap pekerja pembangunan jembatan Trans Papua banyak media berpacu memberitakan
peristiwa tersebut.

3. Konflik Reformasi Mei 1998

Konflik politik besar pernah terjadi pada Mei 1998, yang melibatkan mahasiswa
demonstran dengan pihak aparat. Akibatnya beberapa mahasiswa tewas terbunuh. Konflik ini
kerap disebut sebagai Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi. Konflik ini berujung pada
mundurnya presiden Soeharto usai 32 tahun menjabat dan dimulainya era Reformasi.

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada tanggal 12 Mei 1998, terhadap
mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini
menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta,Indonesia serta puluhan
lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana (1978-1998), Heri Hertanto
(1977 - 1998), Hafidin Royan (1976 - 1998), dan Hendriawan Sie (1975 - 1998). Mereka
tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala,
tenggorokan, dan dada. Peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti ini juga
digambarkan dengan detail dan akurat oleh seorang penulis sastra dan jurnalis, Anggie Dwi
Widowati dalam karyanya berjudul Langit Merah Jakarta.
Latar Belakang Kejadian

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis
finansial Asia sepanjang 1997-1999. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-
besaran ke Gedung Nusantara, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan
aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30. Namun aksi
mereka dihambat oleh blokade dari Polri dan militer datang kemudian. Beberapa mahasiswa
mencoba bernegosiasi dengan pihak Polri.

Akhirnya, pada pukul 17.15, para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak
majunya aparat keamanan. Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah
mahasiswa. Para mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di
Universitas Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras. Satuan pengamanan yang berada di lokasi
pada saat itu adalah Brimob, Batalyon Kavaleri 9, Batalyon Infanteri 203, Artileri Pertahanan
Udara Kostrad, Batalyon Infanteri 202, Pasukan Anti Huru Hara Kodam serta Pasukan
Bermotor. Mereka dilengkapi dengan tameng, gas air mata, Steyr, dan SS-1.

Pada pukul 20.00 dipastikan empat orang mahasiswa tewas tertembak dan satu orang
dalam keadaan kritis. Meskipun pihak aparat keamanan membantah telah menggunakan
peluru tajam, hasil otopsi menunjukkan kematian disebabkan peluru tajam. Hasil sementara
diprediksi peluru tersebut hasil pantulan dari tanah peluru tajam untuk tembakan peringatan.

Kronologi Rentang Waktu Kejadian

10.30 -10.45

Aksi damai civitas akademika Universitas Trisakti yang bertempat di pelataran parkir
depan gedung M (Gedung Syarif Thayeb) dimulai dengan pengumpulan segenap civitas
Trisakti yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pejabat fakultas dan universitas serta karyawan.
Berjumlah sekitar 6000 orang di depan mimbar.

10.45-11.00

Aksi mimbar bebas dimulai dengan diawali acara penurunan bendera setengah tiang
yang diiringi lagu Indonesia Raya yang dikumandangkan bersama oleh peserta mimbar
bebas, kemudian dilanjutkan mengheningkan cipta sejenak sebagai tanda keprihatinan
terhadap kondisi bangsa dan rakyat Indonesia sekarang ini.

11.00-12.25

Aksi orasi serta mimbar bebas dilaksanakan dengan para pembicara baik dari dosen,
karyawan maupun mahasiswa. Aksi/acara tersebut terus berjalan dengan baik dan lancar.

12.25-12.30

Massa mulai memanas yang dipicu oleh kehadiran beberapa anggota aparat keamanan
tepat di atas lokasi mimbar bebas (jalan layang) dan menuntut untuk turun (long march) ke
jalan dengan tujuan menyampaikan aspirasinya ke anggota MPR/DPR. Kemudian massa
menuju ke pintu gerbang arah Jl. Jend. S. Parman.

12.30-12.40

Satgas mulai siaga penuh (berkonsentrasi dan melapis barisan depan pintu gerbang)
dan mengatur massa untuk tertib dan berbaris serta memberikan himbauan untuk tetap tertib
pada saat turun ke jalan.

12.40-12.50

Pintu gerbang dibuka dan massa mulai berjalan keluar secara perlahan menuju
Gedung MPR/DPR melewati kampus Untar.

12.50-13.00

Long march mahasiswa terhadang tepat di depan pintu masuk kantor Wali Kota
Jakarta Barat oleh barikade aparat dari kepolisian dengan tameng dan pentungan yang terdiri
dua lapis barisan.

13.00-13.20

Barisan satgas terdepan menahan massa, sementara beberapa wakil mahasiswa (Senat
Mahasiswa Universitas Trisakti) melakukan negoisasi dengan pimpinan komando aparat
(Dandim Jakarta Barat, Letkol (Inf) A Amril, dan Wakalpolres Jakarta Barat). Sementara
negoisasi berlangsung, massa terus berkeinginan untuk terus maju. Di lain pihak massa yang
terus tertahan tak dapat dihadang oleh barisan satgas samping bergerak maju dari jalur
sebelah kanan. Selain itu pula masyarakat mulai bergabung di samping long march.

13.20-13.30

Tim negosiasi kembali dan menjelaskan hasil negosiasi di mana long march tidak
diperbolehkan dengan alasan kemungkinan terjadinya kemacetan lalu lintas dan dapat
menimbulkan kerusakan. Mahasiswa kecewa karena mereka merasa aksinya tersebut
merupakan aksi damai. Massa terus mendesak untuk maju. Di lain pihak pada saat yang
hampir bersamaan datang tambahan aparat Pengendalian Massa (Dal-Mas) sejumlah 4 truk.

13.30-14.00

Massa duduk. Lalu dilakukan aksi mimbar bebas spontan di jalan. Aksi damai
mahasiswa berlangsung di depan bekas kantor Wali Kota Jakbar. Situasi tenang tanpa
ketegangan antara aparat dan mahasiswa. Sementara rekan mahasiswi membagikan bunga
mawar kepada barisan aparat. Sementara itu pula datang tambahan aparat dari Kodam Jaya
dan satuan kepolisian lainnya.

14.00-16.45

Negoisasi terus dilanjutkan dengan komandan (Dandim dan Kapolres) dengan pula
dicari terobosan untuk menghubungi MPR/DPR. Sementara mimbar terus berjalan dengan
diselingi pula teriakan yel-yel maupun nyanyian-nyanyian. Walaupun hujan turun massa
tetap tak bergeming. Yang terjadi akhirnya hanya saling diam dan saling tunggu. Sedikit
demi sedikit massa mulai berkurang dan menuju ke kampus.

Polisi memasang police line. Mahasiswa berjarak sekitar 15 meter dari garis tersebut.

16.45-16.55

Wakil mahasiswa mengumumkan hasil negoisasi di mana hasil kesepakatan adalah


baik aparat dan mahasiswa sama-sama mundur. Awalnya massa menolak tetapi setelah
dibujuk oleh Bapak Dekan FE dan Dekan FH Usakti, Adi Andojo SH, serta ketua SMUT
massa mau bergerak mundur.

16.55-17.00

Diadakan pembicaraan dengan aparat yang mengusulkan mahasiswa agar kembali ke


dalam kampus. Mahasiswa bergerak masuk kampus dengan tenang. Mahasiswa menuntut
agar pasukan yang berdiri berjajar mundur terlebih dahulu. Kapolres dan Dandim Jakbar
memenuhi keinginan mahasiswa. Kapolres menyatakan rasa terima kasih karena mahasiswa
sudah tertib. Mahasiswa kemudian membubarkan diri secara perlahan-lahan dan tertib ke
kampus. Saat itu hujan turun dengan deras.

Mahasiswa bergerak mundur secara perlahan demikian pula aparat. Namun tiba-tiba
seorang oknum yang bernama Mashud yang mengaku sebagai alumni (sebenarnya tidak
tamat) berteriak dengan mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor ke arah massa. Hal ini
memancing massa untuk bergerak karena oknum tersebut dikira salah seorang anggota aparat
yang menyamar.

17.00-17.05

Oknum tersebut dikejar massa dan lari menuju barisan aparat sehingga massa
mengejar ke barisan aparat tersebut. Hal ini menimbulkan ketegangan antara aparat dan
massa mahasiswa. Pada saat petugas satgas, ketua SMUT serta Kepala kamtibpus Trisakti
menahan massa dan meminta massa untuk mundur dan massa dapat dikendalikan untuk
tenang. Kemudian Kepala Kamtibpus mengadakan negoisasi kembali dengan Dandim serta
Kapolres agar masing-masing baik massa mahasiswa maupun aparat untuk sama-sama
mundur.

17.05-18.30

Ketika massa bergerak untuk mundur kembali ke dalam kampus, di antara barisan
aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor pada
mahasiswa sehingga sebagian massa mahasiswa kembali berbalik arah. Tiga orang
mahasiswa sempat terpancing dan bermaksud menyerang aparat keamanan tetapi dapat
diredam oleh satgas mahasiswa Usakti.

Pada saat yang bersamaan barisan dari aparat langsung menyerang massa mahasiswa
dengan tembakan dan pelemparan gas air mata sehingga massa mahasiswa panik dan
berlarian menuju kampus. Pada saat kepanikan tersebut terjadi, aparat melakukan
penembakan yang membabi buta, pelemparan gas air mata dihampir setiap sisi jalan,
pemukulan dengan pentungan dan popor, penendangan dan penginjakkan, serta pelecehan
seksual terhadap para mahasiswi. Termasuk Ketua SMUT yang berada di antara aparat dan
massa mahasiswa tertembak oleh dua peluru karet dipinggang sebelah kanan.

Kemudian datang pasukan bermotor dengan memakai perlengkapan rompi yang


bertuliskan URC mengejar mahasiswa sampai ke pintu gerbang kampus dan sebagian naik ke
jembatan layang Grogol. Sementara aparat yang lainnya sambil lari mengejar massa
mahasiswa, juga menangkap dan menganiaya beberapa mahasiswa dan mahasiswi lalu
membiarkan begitu saja mahasiswa dan mahasiswi tergeletak di tengah jalan. Aksi
penyerbuan aparat terus dilakukan dengan melepaskan tembakkan yang terarah ke depan
gerbang Trisakti. Sementara aparat yang berada di atas jembatan layang mengarahkan
tembakannya ke arah mahasiswa yang berlarian di dalam kampus.

Lalu sebagian aparat yang ada di bawah menyerbu dan merapat ke pintu gerbang dan
membuat formasi siap menembak dua baris (jongkok dan berdiri) lalu menembak ke arah
mahasiswa yang ada di dalam kampus. Dengan tembakan yang terarah tersebut
mengakibatkan jatuhnya korban baik luka maupun meninggal dunia. Yang meninggal dunia
seketika di dalam kampus tiga orang dan satu orang lainnya di rumah sakit beberapa orang
dalam kondisi kritis. Sementara korban luka-luka dan jatuh akibat tembakan ada lima belas
orang. Yang luka tersebut memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.

Aparat terus menembaki dari luar. Puluhan gas air mata juga dilemparkan ke dalam
kampus.

18.30-19.00

Tembakan dari aparat mulai mereda, rekan-rekan mahasiswa mulai membantu


mengevakuasi korban yang ditempatkan di beberapa tempat yang berbeda-beda menuju RS.

19.00-19.30

Rekan mahasiswa kembali panik karena terlihat ada beberapa aparat berpakaian gelap
di sekitar hutan (parkir utama) dan sniper (penembak jitu) di atas gedung yang masih
dibangun. Mahasiswa berlarian kembali ke dalam ruang kuliah maupun ruang ormawa
ataupun tempat-tempat yang dirasa aman seperti musholla dan dengan segera memadamkan
lampu untuk sembunyi.

19.30-20.00

Setelah melihat keadaan sedikit aman, mahasiswa mulai berani untuk keluar adari
ruangan. Lalu terjadi dialog dengan Dekan FE untuk diminta kepastian pemulangan mereka
ke rumah masing- masing. Terjadi negoisasi antara Dekan FE dengan Kol.Pol. Arthur
Damanik, yang hasilnya bahwa mahasiswa dapat pulang dengan syarat pulang dengan cara
keluar secara sedikit demi sedikit (per 5 orang). Mahasiswa dijamin akan pulang dengan
aman.
20.00-23.25

Walau masih dalam keadaan ketakutan dan trauma melihat rekannya yang jatuh
korban, mahasiswa berangsur-angsur pulang.

Yang luka-luka berat segera dilarikan ke RS Sumber Waras. Jumpa pers oleh
pimpinan universitas. Anggota Komnas HAM datang ke lokasi.

01.30

Jumpa pers Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoedin di Mapolda Metro Jaya.
Hadir dalam jumpa pers itu Pangdam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin, Kapolda
Mayjen (Pol) Hamami Nata, Rektor Trisakti Prof. Dr. R. Moedanton Moertedjo, dan dua
anggota Komnas HAM AA Baramuli dan Bambang W. Soeharto.

4. Konflik dengan GAM di Aceh

GAM atau Gerakan Aceh Merdeka merupakan kelompok separatis yang ingin
memisahkan diri dari NKRI. Konflik dengan GAM di provinsi Aceh ini pun berlangsung
lama sejak dulu dan menimbulkan banyak kerugian. Konflik baru mulai reda sejak tahun
2006.

Gerakan Aceh Merdeka atau GAM adalah gerakan separatisme bersenjata yng
bertujuan agar Aceh terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). GAM
dibentuk pada 4 Desember 1976 dan dipimpin oleh Hasan di Tirto. Akibat adanya perbedaan
keinginan antara pemerintah RI dan GAM, konflik yang terjadi sejak 1976 hingga 2005 ini
telah menjatuhkan hampir 15.000 jiwa. Organisasi tersebut membubarkan gerakan
separatisnya setelah terjadi Perjanjian Damai 2005 dengan pemerintah Indonesia. GAM
kemudian berganti nama menjadi Komite Peralihan Aceh.

Penyebab :

Konflik yang terjadi di Aceh disebabkan oleh beberapa hal, yaitu perbedaan pendapat
tentang hukum Islam, ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh, dan peningkatan
jumlah orang Jawa di Aceh.

Dalam konflik tersebut, GAM melalui tiga tahapan, yaitu tahun 1977, 1989, dan 1998.
Sebelumnya, pada 4 Desember 1976, pemimpin GAM, Hasan di Tiro bersama beberapa
pengikutnya melayangkan perlawanan terhadap pemerintah RI. Perlawanan tersebut mereka
lakukan di perbukitan Halimon di kawasan Kabupaten Pidie. Sejak saat itu, konflik antara
pemerintah RI dengan GAM terus berlangsung.
Perkembangan

1. 1977

GAM pertama kali mengibarkan bendera perang dengan melakukan gerilya. Namun,
pemerintah pusat berhasil menetralisir kelompok tersebut. GAM mengalami kegagalan dalam
perang gerilya.

2. 1989

Pada 1989, GAM memperbarui aktivitasnya. GAM didukung oleh Libya dan Iran
dengan mengerahkan sekitar 1.000 tentara. Pelatihan yang diberi dari luar negeri ini berarti
bahwa tentara GAM sudah jauh lebih tertata dan terlatih dengan baik. Melalui ancaman
terbaru ini, Aceh dinyatakan sebagai Daerah Operasi Militer Khusus (DOM). Desa-desa yang
diduga menampung para anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka diculik dan
disiksa. Diyakini terdapat 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi selama DOM
berlangsung.

3. 1998

Tahun 1998, Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia.


Kedudukannya kemudian digantikan oleh Presiden Jusuf Habibie. Semasa kepemimpinan
Habibie, ia menarik pasukan dari Aceh untuk memberi ruang bagi GAM dalam membangun
kembali organisasinya.

Namun, pada 1999, kekerasan justru semakin meningkat. GAM memberontak


terhadap pejabat pemerintah dan penduduk Jawa yang didukung oleh penyelundupan senjata
besar-besaran dari Thailand oleh GAM.

Kemudian, memasuki tahun 2002, kekuatan militer dan polisi di Aceh juga
berkembang menjadi kurang lebih sebanyak 30.000. Setahun kemudian, jumlahnya melonjak
menjadi 50.000. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh GAM mengakibatkan beberapa
ribu kematian warga sipil.Untuk mengatasi GAM, pemerintah melancarkan serangan besar-
besaran tahun 2003 di Aceh, di mana keberhasilan semakin terlihat.

Penyelesaian

Pada 26 Desember 2004, bencana gempa bumi dan tsunami besar menimpa Aceh.
Kejadian ini memaksa para pihak yang bertikai untuk kembali ke meja perundingan atas
inisiasi dan mediasi oleh pihak internasional. Selanjutnya, tanggal 27 Februari 2005, pihak
GAM dan pemerintah RI memulai tahap perundingan di Vantaa, Finlandia. Pada 17 Juli
2005, setelah berunding selama 25 hari, tim perunding Indonesia berhasil mencapai
kesepakatan damai dengan GAM di Vantta, Finlandia. Penandatanganan kesepakatan damai
dilangsungkan pada 15 Agustus 2005. Proses perdamaian selanjutnya dipantau oleh tim yang
bernama Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN. Semua
senjata GAM yang berjumlah 840 diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005.
Kemudian, pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan Dawood,
menyatakan bahwa sayap militer Tentara Neugara Aceh (TNA) telah dibubarkan secara
formal.

Tambahan : Isi/beberapa poin dari perjanjian

 Adanya otonomi khusus untuk Aceh


 Pelucuran GAM
 Ditariknya tentara Indonesia
 Misi Pemantau Aceh
 Diadakannya Pilkada

5. Konflik pemberontakan PKI di Madiun (1948)

Contoh konflik politik yang cukup dikenal adalah pemberontakan yang dilakukan PKI
di Madiun pada tahun 1948. Konflik melibatkan pihak PKI dan TNI. Konflik ini pun jadi
pemicu terjadinya konflik lain yang melibatkan PKI, puncaknya pada tahun 1965.

Sejak merdeka sampai awal tahun 1948, PKI masih bersikap mendukung pemerintah,
yang kebetulan memang dikuasai oleh golongan kiri. Namun ketika golongan kiri terlempar
dari pemerintahan, PKI menjadi partai oposisi dan bergabung dengan partai serta organisasi
kiri lainnya dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang didirikan Amir Syarifuddin pada
bulan Februari 1948. Pada awal September 1948 pimpinan PKI dipegang Muso. Ia membawa
PKI ke dalam pemberontakan bersenjata yang dicetuskan di Madiun pada tanggal 18
September 1948 (Taufik Abdullah dan AB Lapian, 2012).

Berbagai upaya dilakukan oleh PKI untuk meraih kekuasaan. Di bawah pimpinan
Musso, PKI berhasil menarik partai dan organisasi kiri dalam FDR bergabung ke dalam PKI.
Partai ini lalu mendorong dilakukannya berbagai demonstrasi dan pemogokan kaum buruh
dan petani. Sebagian kekuatankekuatan bersenjata juga berhasil masuk dalam pengaruh
mereka. Muso juga kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengecam pemerintah
dan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang ditengahi Amerika
Serikat (AS). Pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Sovyet yang
komunis. Padahal saat itu AS dan Uni Sovyet tengah mengalami Perang Dingin. Pemerintah
Indonesia telah melakukan upaya-upaya diplomasi dengan Muso, bahkan sampai
mengikutsertakan tokoh-tokoh kiri yang lain, yaitu Tan Malaka, untuk meredam gerak
ofensif PKI Muso. Namun kondisi politik sudah terlampau panas, sehingga pada pertengahan
September 1948, pertempuran antara kekuatan-kekuatan bersenjata yang memihak PKI
dengan TNI mulai meletus. PKI dan kelompok pendukungnya kemudian memusatkan diri di
Madiun. Muso pun kemudian pada tanggal 18 September 1948 memproklamirkan Republik
Soviet Indonesia.

Presiden Soekarno segera bereaksi, dan berpidato di RRI Yogjakarta :

“…Saudara-saudara ! camkan benar apa artinja itu : Negara Republik Indonesia jang
kita tjintai, hendak direbut oleh PKI Muso. Kemarin pagi PKI Muso, mengadakan coup,
mengadakan perampasan kekuasaan di Madiun dan mendirikan di sana suatu pemerintahan
Sovyet, di bawah pimpinan Muso. Perampasan ini mereka pandang sebagai permulaan untuk
merebut seluruh Pemerintahan Republik Indonesia. …Saudara-saudara, camkanlah benar-
benar apa artinja jang telah terdjadi itu. Negara Republik Indonesia hendak direbut oleh PKI
Muso !

Rakjat jang kutjinta ! Atas nama perdjuangan untuk Indonesia Merdeka, aku berseru
kepadamu : “Pada saat jang begini genting, dimana engkau dan kita sekalian mengalami
percobaan jang sebesar-besarnja dalam menentukan nasib kita sendiri, bagimu adalah pilihan
antara dua : ikut Muso dengan PKInja jang akan membawa bangkrutnja cita-cita Indonesia
Merdeka, atau ikut Soekarno-Hatta, jang Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin
Negara Republik Indonesia jang merdeka, tidak didjadjah oleh negeri apa pun djuga.

…Buruh jang djudjur, tani jang djudjur, pemuda jang djudjur, rakyat jang
djudjur,djanganlah memberikan bantuan kepada kaum pengatjau itu. Djangan tertarik siulan
mereka ! …Dengarlah, betapa djahatnja rentjana mereka itu ! (Daud Sinyal, 1996).

Di awal pemberontakan, pembunuhan terhadap pejabat pemerintah dan para


pemimpin partai yang anti komunis terjadi. Kaum santri juga menjadi korban. Tetapi pasukan
pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi kemudian berhasil mendesak mundur
pemberontak. Puncaknya adalah ketika Muso tewas tertembak. Amir Syarifuddin juga
tertangkap. Ia akhirnya dijatuhi hukuman mati. Tokoh-tokoh muda PKI seperti Aidit dan
Lukman berhasil melarikan diri. Merekalah yang kelak di tahun 1965, berhasil menjadikan
PKI kembali menjadi partai besar di Indonesia sebelum terjadinya peristiwa Gerakan 30
September 1965. Ribuan orang tewas dan ditangkap pemerintah akibat pemberontakan
Madiun ini. PKI gagal mengambil alih kekuasaan.

Dari kisah di atas, apa hal terpenting dari peristiwa pemberontakan PKI di Madiun ini
bagi sejarah Indonesia kemudian ?

Pertama, upaya membentuk tentara Indonesia yang lebih profesional menguat sejak
pemberontakan tersebut. Berbagai laskar dan kekuatan bersenjata “liar” berhasil
didemobilisasi (dibubarkan). Dari sisi perjuangan diplomasi, simpati AS sebagai
penengah dalam konflik dan perundingan antara Indonesia dengan
Belanda perlahan berubah menjadi dukungan terhadap Indonesia, meskipun hal ini tidak juga
bisa dilepaskan dari strategi global AS dalam menghadapi ancaman komunisme.

6. Konflik pemberontakan G30S/PKI (1965)

Peristiwa G30S/PKI jadi salah satu sejarah kelam konflik yang pernah terjadi di
Indonesia. G 30 S PKI merupakan singkatan dari Gerakan 30 September yang dilakukan oleh
Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibat konflik ini ada 6 pejabat tinggi militer Indonesia dan
beberapa tokoh lain yang dibunuh sebagai upaya kudeta oleh PKI.

Setidaknya terdapat enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965 ini :
1. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD).
Dikemukakan antara lain oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim, dan Coen Hotsapel, teori ini
menyatakan bahwa G30S hanyalah peristiwa yang timbul akibat adanya persoalan di
kalangan AD sendiri. Hal ini misalnya didasarkan pada pernyataan pemimpin Gerakan, yaitu
Letnan Kolonel Untung yang menyatakan bahwa para pemimpin AD hidup
bermewahmewahan dan memperkaya diri sehingga mencemarkan nama baik AD. Pendapat
seperti ini sebenarnya berlawanan dengan kenyataan yang ada. Jenderal Nasution misalnya,
Panglima Angkatan Bersenjata ini justru hidupnya sederhana.

2. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA). Teori
ini berasal antara lain dari tulisan Peter Dale Scott atau Geoffrey Robinson. Menurut teori ini
AS sangat khawatir Indonesia jatuh ke tangan komunis. PKI pada masa itu memang tengah
kuat-kuatnya menanamkan pengaruh di Indonesia. Karena itu CIA kemudian bekerjasama
dengan suatu kelompok dalam tubuh AD untuk memprovokasi PKI agar melakukan gerakan
kudeta. Setelah itu, ganti PKI yang dihancurkan. Tujuan akhir skenario CIA ini adalah
menjatuhkan kekuasaan Soekarno.

3. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS.


Menurut teori ini G30S adalah titik temu antara keinginan Inggris yang ingin sikap
konfrontatif Soekarno terhadap Malaysia bisa diakhiri melalui penggulingan kekuasaan
Soekarno, dengan keinginan AS agar Indonesia terbebas dari komunisme. Dimasa itu,
Soekarno memang tengah gencar melancarkan provokasi menyerang Malaysia yang
dikatakannya sebagai negara boneka Inggris. Teori dikemukakan antara lain oleh Greg
Poulgrain.

4. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September. Teori yang dikemukakan antara


lain oleh Anthony Dake dan John Hughes ini beranjak dari asumsi bahwa Soekarno
berkeinginan melenyapkan kekuatan oposisi terhadap dirinya, yang berasal dari sebagian
perwira tinggi AD. Karena PKI dekat dengan Soekarno, partai inipun terseret. Dasar teori ini
antara lain berasal dari kesaksian Shri Biju Patnaik, seorang pilot asal India yang menjadi
sahabat banyak pejabat Indonesia sejak masa revolusi. Ia mengatakan bahwa pada 30
September 1965 tengah malam Soekarno memintanya untuk meninggalkan Jakarta sebelum
subuh. Menurut Patnaik, Soekarno berkata “sesudah itu saya akan menutup lapangan
terbang”. Di sini Soekarno seakan tahu bahwa akan ada “peristiwa besar” esok harinya.
Namun teori ini dilemahkan antara lain dengan tindakan Soekarno yang ternyata kemudian
menolak mendukung G30S. Bahkan pada 6 Oktober 1965, dalam sidang Kabinet Dwikora di
Bogor, ia mengutuk gerakan ini.

5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30
September (teori chaos). Dikemukakan antara lain oleh John D. Legge, teori ini menyatakan
bahwa tidak ada dalang tunggal dan tidak ada skenario besar dalam G30S. Kejadian ini hanya
merupakan hasil dari perpaduan antara, seperti yang disebut Soekarno : “unsur-unsur
Nekolim (negara Barat), pimpinan PKI yang keblinger serta oknum-oknum ABRI yang tidak
benar”. Semuanya pecah dalam improvisasi di lapangan.
6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI Menurut teori ini tokoh-tokoh PKI
adalah penanggungjawab peristiwa kudeta, dengan cara memperalat unsur-unsur tentara.
Dasarnya adalah serangkaian kejadian dan aksi yang telah dilancarkan PKI antara tahun
1959-1965. Dasar lainnya adalah bahwa setelah G30S, beberapa perlawanan bersenjata yang
dilakukan oleh kelompok yang menamakan diri CC PKI sempat terjadi di Blitar Selatan,
Grobogan, dan Klaten. Teori yang dikemukakan antara lain oleh Nugroho Notosusanto dan
Ismail Saleh ini merupakan teori yang paling umum didengar mengenai kudeta tanggal 30
September 1965.

Namun terlepas dari teori mana yang benar mengenai peristiwa G30S, yang pasti
sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai pada tahun 1959, Indonesia memang
diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai
penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok
politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan
saat itu : AD dengan PKI.

Juli 1960 misalnya, PKI melancarkan kecaman-kecaman terhadap kabinet dan


tentara. Ketika tentara bereaksi, Soekarno segera turun tangan hingga persoalan ini sementara
selesai. Hal ini kemudian malah membuat hubungan Soekarno dengan PKI kian dekat
(Crouch, 1999 dan Ricklefs, 2010 ).

Bulan Agustus 1960 Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang merupakan
partai pesaing PKI, dibubarkan pemerintah. PKI pun semakin giat melakukan mobilisasi
massa untuk meningkatkan pengaruh dan memperbanyak anggota. Partai-partai lain seperti
NU dan PNI hingga saat itu praktis telah dilumpuhkan (Feith, 1998).

Tahun 1963, situasi persaingan semakin sengit, baik di kota maupun di desa. PKI
berusaha mendesak untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih besar. Oleh karena itu, strategi
ofensif yang dipilih untuk memenuhi harapannya.

Di tingkat pusat, PKI mulai berusaha dengan sungguh-sungguh untuk duduk dalam
kabinet. Mungkin PKI merasa kedudukannya sudah cukup kuat. Pada tahun-tahun
sebelumnya partai ini umumnya hanya melancarkan kritik terhadap pemerintah khususnya
para menteri yang memiliki pandangan politik berbeda dengan mereka.

Di bidang kebudayaan, saat sekelompok cendekiawan anti PKI memproklamasikan


Manifesto Kebudayaan (“Manikebu”) yang tidak ingin kebudayaan nasional didominasi oleh
suatu ideologi politik tertentu (misalnya komunis), Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat)
yang pro PKI segera mengecam keras. Soekarno ternyata menyepakati kecaman itu. Tidak
sampai satu tahun usianya, Manikebu dilarang pemerintah.

Sedangkan di daerah, persoalan-persoalan yang muncul tampaknya malah lebih pelik


lagi karena bersinggungan dengan konflik yang lebih radikal. Hal ini
sebagian merupakan akibat dari masalah-masalah yang ditimbulkan oleh program di bidang
agraria (landreform/UU Pokok Agraria 1960), dimana PKI segera melancarkan apa yang
disebut sebagai kampanye aksi sepihak. Aksi ini merupakan upaya mengambilalih tanah
milik pihak-pihak mapan di desa dengan paksa dan menolak janji-janji bagi hasil yang lama.
“Tujuh Setan Desa” karenanya dirumuskan oleh PKI, yang terdiri dari tuan tanah jahat, lintah
darat, tukang ijon, tengkulak jahat, kapitalis birokrat desa, pejabat desa jahat dan bandit desa.
“Setan Desa”menurut versi PKI ini, menurut Tornquist, ujung-ujungnya merujuk pada para
pemilik tanah (Tornquist, 2011).

Adegan-adegan protespun berlangsung bahkan radikalisme dipraktikkan hingga upaya


menurunkan lurah serta aksi protes terhadap para sesepuh desa. Dalam aksi pengambilalihan
tanah --terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga Bali, Jawa Barat dan Sumatera
Utara-- massa PKI-pun terlibat dalam pertentangan yang sengit dengan, tentu saja, para tuan
tanah, juga kaum birokrat dan para pengelola yang berasal dari kalangan tentara. Para tuan
tanah kebetulan pula kebanyakan berasal dari kalangan muslim yang taat dan pendukung
PNI. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan PKI, khususnya di Jawa Timur, segera saja
berhadapan muka dengan para santri NU.

Di kota-kota tindakan liar juga bukan tidak terjadi. Ini misalnya tergambar dalam
cerita mengenai istri seorang dokter terkenal di Solo, yang akan pergi ke suatu resepsi. Ia,
yang mengenakan kebaya lengkap dengan sanggul besar dan sepatu hak tinggi, digiring oleh
ratusan tukang becak di tengah terik matahari ke kantor polisi untuk menyelesaikan
pertikaian harga becak. Adegan serupa pernah juga terjadi di berbagai kota. Ada pula para
kepala desa yang sudah tua disidangkan di depan pengadilan rakyat (Ong Hok Ham,1999).

Selama tahun 1964, perlawanan terhadap aksi sepihak semakin lama semakin kuat.
Kekerasan jadinya semakin kerap terjadi. Di Jawa Timur tindak balasan anti PKI dipelopori
oleh kelompok pemuda NU, yaitu Ansor.

Hubungan angkatan darat dengan PKI sendiri pada masa itu juga kian memanas.
Sindiran dan kritik kerap dilontarkan para petinggi PKI terhadap AD. Pada bulan-bulan awal
tahun 1965 PKI “menyerang” para pejabat anti PKI dengan menuduhnya sebagai kapitalis
birokrat yang korup. Demonstrasi-demonstrasi juga dilakukan untuk menuntut pembubaran
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Maka hingga pertengahan tahun 1965 atau sebelum
pecah kudeta di awal Oktober, kekuatan politik di ibukota tampaknya sudah semakin
bergeser ke kiri. PKI kian berada di atas angin dengan perjuangan partai yang semakin
intensif.

Usul pembentukan angkatan ke-5 selain AD-AUAL-Polisi yang dikemukakan oleh


PKI pada Januari 1965, diakui memang semakin memperkeruh suasana terutama dalam
hubungan antara PKI dan AD. Tentara telah membayangkan bagaimana 21 juta petani dan
buruh bersenjata, bebas dari pengawasan mereka. Bagi para petinggi militer gagasan ini bisa
berarti pengukuhan aksi politik yang matang, bermuara pada dominasi PKI yang hendak
mendirikan pemerintahan komunis yang pro RRC (Republik Rakyat Cina yang komunis) di
Indonesia (Southwood dan Flanagan, 2013). Usulan ini akhirnya memang gagal
direalisasikan.

PKI lalu meniupkan isu tentang adanya Dewan Jenderal di tubuh AD yang tengah
mempersiapkan suatu kudeta. Di sini, PKI menyodorkan “Dokumen Gilchrist” yang
ditandatangani Duta Besar Inggris di Indonesia. Isi dokumen ditafsirkan sebagai isyarat
adanya operasi dari pihak Inggris-AS dengan melibatkan our local army friend (kawan-
kawan kita dari tentara setempat) untuk melakukan kudeta. Meski kebenaran isi dokumen ini
diragukan dan Jenderal Ahmad Yani kemudian menyanggah keberadaan Dewan Jenderal ini
saat Presiden Soekarno bertanya kepadanya, namun pertentangan PKI dengan angkatan darat
kini tampaknya telah mencapai level yang akut. Bulan itu juga, Pelda Sujono yang berusaha
menghentikan penyerobotan tanah perkebunan tewas dibunuh sekelompok orang dari BTI
dalam peristiwa Bandar Betsy di Sumatera Utara. Jenderal Yani segera menuntut agar mereka
yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy diadili. Sikap tegasnya didukung penuh oleh
organisasi-organisasi Islam, Protestan dan Katolik.

Sementara itu di Mantingan, PKI berusaha mengambil paksa tanah wakaf Pondok
Modern Gontor seluas 160 hektar. Sebuah tindakan yang tentu saja semakin
membuat marah kalangan Islam. Apalagi empat bulan sebelumnya telah terjadi peristiwa
Kanigoro Kediri, dimana BTI telah membuat kacau peserta mental Training Pelajar Islam
Indonesia dan memasuki tempat ibadah saat subuh tanpa melepas alas kaki yang penuh
lumpur lalu melecehkan Al Quran.

Suasana pertentangan antara PKI dengan AD dan golongan lain non PKI pun telah
sedemikian panasnya menjelang tanggal 30 September 1965. Apalagi pada bulan Juli
sebelumnya Soekarno tiba-tiba jatuh sakit. Tim dokter Cina yang didatangkan DN Aidit
untuk memeriksa Soekarno menyimpulkan bahwa presiden RI tersebut kemungkinan akan
meninggal atau lumpuh. Maka dalam rapat Politbiro PKI tanggal 28 September 1965,
pimpinan PKI pun memutuskan untuk bergerak.

Dipimpin Letnan Kolonel Untung, perwira yang dekat dengan PKI, pasukan
pemberontak melaksanakan “Gerakan 30 September” dengan menculik dan membunuh para
jenderal dan perwira di pagi buta tanggal 1 Oktober 1965. Jenazah para korban lalu
dimasukkan ke dalam sumur tua di daerah Lubang Buaya Jakarta. Mereka adalah : Letnan
Jenderal Ahmad Yani (Menteri/Panglima AD), Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal
Soeprapto, Mayor Jenderal MT. Haryono, Brigadir Jenderal DI Panjaitan, Brigadir Jenderal
Sutoyo Siswomiharjo dan Letnan Satu Pierre Andreas Tendean. Sedangkan Jenderal Abdul
Haris Nasution berhasil lolos dari upaya penculikan, namun putrinya Ade Irma Suryani
menjadi korban. Di Yogyakarta Gerakan 30 September juga melakukan penculikan dan
pembunuhan terhadap perwira AD yang anti PKI, yaitu : Kolonel Katamso dan Letnan
Kolonel Sugiono.

Pada berita RRI pagi harinya, Letkol Untung lalu menyatakan pembentukan “Dewan
Revolusi”, sebuah pengumuman yang membingungkan masyarakat. Dalam situasi tak
menentu itulah Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal
Soeharto segera berkeputusan mengambil alih pimpinan Angkatan Darat, karena Jenderal
Ahmad Yani selaku Men/Pangad saat itu belum diketahui ada dimana. Setelah berhasil
menghimpun pasukan yang masih setia kepada Pancasila, operasi penumpasan Gerakan 30
September pun segera dilakukan. Bukan saja di Jakarta, melainkan hingga basis mereka di
daerah-daerah lainnya. Dalam perkembangan berikutnya, ketika diketahui bahwa Gerakan
September ini berhubungan dengan PKI, maka pengejaran terhadap pimpinan dan pendukung
PKI juga terjadi. Bukan saja oleh pasukan yang setia pada Pancasila tetapi juga dibantu oleh
masyarakat yang tidak senang dengan sepak terjang PKI. G30S/PKI pun berhasil ditumpas,
menandai pula berakhirnya gerakan dari Partai Komunis Indonesia.

7. Konflik karena pemberontakan DI/TII

Konflik politik pernah terjadi lewat gerakan pemberontakan DI/TII yang ingin
menjadikan Republik Indonesia menjadi negara Islam. Gerakan ini berkembang dan
menyebar di beberapa wilayah, khususnya Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh serta
menyebabkan terjadinya beberapa konflik politik.

Cikal bakal pemberontakan DI/TII yang meluas di beberapa wilayah Indonesia


bermula dari sebuah gerakan di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo. Ia dulu
adalah salah seorang tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Adalah perjanjian Renville
yang membuka peluang bagi Kartosuwiryo untuk lebih mendekatkan cita-cita lamanya untuk
mendirikan negara Islam.

Salah satu keputusan Renville adalah harus pindahnya pasukan RI dari daerahdaerah
yang diklaim dan diduduki Belanda ke daerah yang dikuasai RI. Di Jawa Barat, Divisi
Siliwangi sebagai pasukan resmi RI pun dipindahkan ke Jawa Tengah karena Jawa Barat
dijadikan negara bagian Pasundan oleh Belanda. Akan tetapi laskar bersenjata Hizbullah dan
Sabilillah yang telah berada di bawah pengaruh Kartosuwiryo tidak bersedia pindah dan
malah membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Vakum (kosong)-nya kekuasaan RI di Jawa
Barat segera dimanfaatkan Kartosuwiryo. Meski awalnya ia memimpin perjuangan melawan
Belanda dalam rangka menunjang perjuangan RI, namun akhirnya perjuangan tersebut
beralih menjadi perjuangan untuk merealisasikan cita-citanya. Ia lalu menyatakan
pembentukan Darul Islam (negara Islam/DI) dengan dukungan TII, di Jawa Barat pada
Agustus 1948.

Persoalan timbul ketika pasukan Siliwangi kembali balik ke Jawa Barat.


Kartosuwiryo tidak mau mengakui tentara RI tersebut kecuali mereka mau bergabung dengan
DI/TII. Ini sama saja Kartosuwiryo dengan DI/TII nya tidak mau mengakui pemerintah RI di
Jawa Barat. Maka pemerintahpun bersikap tegas. Meski upaya menanggulangi DI/TII Jawa
Barat pada awalnya terlihat belum dilakukan secara terarah, namun sejak tahun 1959,
pemerintah mulai melakukan operasi militer.

Operasi terpadu “Pagar Betis” digelar, dimana tentara pemerintah menyertakan juga
masyarakat untuk mengepung tempat-tempat pasukan DI/TII berada. Tujuan taktik ini adalah
untuk mempersempit ruang gerak dan memotong arus perbekalan pasukan lawan. Selain itu
diadakan pula operasi tempur dengan sasaran langsung basis-basis pasukan DI/TII. Melalui
operasi ini pula Kartosuwiryo berhasil ditangkap pada tahun 1962. Ia lalu dijatuhi hukuman
mati, yang menandai pula berakhirnya pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo.

Di Jawa Tengah, awal kasusnya juga mirip, dimana akibat persetujuan Renville
daerah Pekalongan-Brebes-Tegal ditinggalkan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan aparat
pemerintahan. Terjadi kevakuman di wilayah ini dan Amir Fatah beserta pasukan Hizbullah
yang tidak mau di-TNI-kan segera mengambil alih.

Saat pasukan TNI kemudian balik kembali ke wilayah tersebut setelah Belanda
melakukan agresi militernya yang kedua, sebenarnya telah terjadi kesepakatan antara Amir
Fatah dan pasukannya dengan pasukan TNI. Amir Fatah bahkan diangkat sebagai koordinator
pasukan di daerah operasi Tegal dan Brebes. Namun ketegangan karena berbagai persoalan
antara pasukan Amir Fatah dengan TNI sering timbul kembali. Amir Fatah pun semakin
berubah pikiran setelah utusan Kartosuwiryo datang menemuinya lalu mengangkatnya
sebagai Panglima TII Jawa Tengah. Ia bahkan kemudian ikut memproklamirkan berdirinya
Negara Islam di Jawa Tengah. Sejak itu terjadi kekacauan dan konflik terbuka
antara pasukanAmir Fatah dengan pasukan TNI.

Tetapi berbeda dengan DI/TII di Jawa Barat, perlawanan Amir Fatah tidak terlalu
lama. Kurangnya dukungan dari penduduk membuat perlawanannya cepat berakhir.
Desember 1951, ia menyerah.

Selain Amir Fatah, di Jawa Tengah juga timbul pemberontakan lain yang dipimpin
oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal sebagai Kyai Sumolangu. Ia didukung oleh laskar
bersenjata Angkatan Umat Islam (AUI) yang sejak didirikan memang berkeinginan
menciptakan suatu negara Indonesia yang berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Meski
demikian, dalam perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan, awalnya AUI bahu
membahu dengan Tentara Republik dalam menghadapi Belanda. Wilayah operasional AUI
berada daerah Kebumen dan daerah sekitar pantai selatan Jawa Tengah.

Namun kerjasama antara AUI dengan Tentara RI mulai pecah ketika pemerintah
hendak melakukan demobilisasi AUI. Ajakan pemerintah untuk berunding ditolak Kyai
Sumolangu. Pada akhir Juli 1950 Kyai Sumolangu melakukan pemberontakan. Sesudah
sebulan bertempur, tentara RI berhasil menumpas pemberontakan ini. Ratusan pemberontak
dinyatakan tewas dan sebagian besar berhasil ditawan. Sebagian lainnya melarikan diri dan
bergabung dengan pasukan TII di Brebes dan Tegal. Akibat pemberontakan ini kehancuran
yang diderita di Kebumen besar sekali. Ribuan rakyat mengungsi dan ratusan orang ikut
terbunuh. Selain itu desa-desa juga mengalami kerusakan berat.

Pemberontakan Darul Islam di Jawa Tengah lainnya juga dilakukan oleh Batalyon
426 dari Divisi Diponegoro Jawa Tengah. Ini adalah tentara Indonesia yang anggota-
anggotanya berasal dari laskar Hizbullah. Simpati dan kerjasama mereka dengan Darul Islam
pun jadinya tampak karena DI/TII juga berbasis pasukan laskar Hizbullah. Cakupan wilayah
gerakan Batalyon 426 dalam pertempuran dengan pasukan RI adalah Kudus, Klaten hingga
Surakarta.Walaupun dianggap kuat dan membahayakan, namun hanya dalam beberapa bulan
saja, pemberontakan Batalyon 426 ini juga berhasil ditumpas.

Selain di Jawa Barat dan Jawa Tengah, pemberontakan DI/TII terjadi pula di
Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Kahar Muzakkar. Pada tahap awal,
pemberontakan ini lebih disebabkan akibat ketidakpuasan para bekas pejuang gerilya
kemerdekaan terhadap kebijakan pemerintah dalam membentuk Tentara Republik dan
demobilisasi yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Namun beberapa tahun kemudian
pemberontakan malah beralih dengan bergabungnya mereka ke dalam DI/TII Kartosuwiryo.

Tokoh Kahar Muzakkar sendiri pada masa perang kemerdekaan pernah berjuang di
Jawa bahkan menjadi komandan Komando Grup Sulawesi Selatan yang bermarkas di
Yogyakarta. Setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949 ia lalu ditugaskan ke daerah asalnya
untuk membantu menyelesaikan persoalan tentang Komando Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) di sana. KGSS dibentuk sewaktu perang kemerdekaan dan berkekuatan 16 batalyon
atau satu divisi. Pemerintah ingin agar kesatuan ini dibubarkan lebih dahulu untuk kemudian
dilakukan re-organisasi tentara kembali. Semua itu dalam rangka penataan ketentaraan.
Namun anggota KGSS menolaknya.

Begitu tiba, Kahar Muzakkar diangkat oleh Panglima Tentara Indonesia Timur
menjadi koordinator KGSS, agar mudah menyelesaikan persoalan. Namun Kahar Muzakkar
malah menuntut kepada Panglimanya agar KGSS bukan dibubarkan, melainkan minta agar
seluruh anggota KGSS dijadikan tentara dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ini
langsung ditolak karena pemerintah berkebijakan hanya akan menerima anggota KGSS yang
memenuhi syarat sebagai tentara dan lulus seleksi. Kahar Muzakkar tidak menerima
kebijakan ini dan memilih berontak diikuti oleh pasukan pengikutnya. Selama masa
pemberontakan, Kahar Muzakkar pada tanggal 7 Agustus 1953 menyatakan diri sebagai
bagian dari Negara Islam Indonesia Kartosuwiryo.

Pemberontakan yang dilakukan Kahar memang memerlukan waktu lama untuk


menumpasnya. Pemberontakan baru berakhir pada tahun 1965. Di tahun itu, Kahar Muzakkar
tewas tertembak dalam suatu penyergapan.

Pemberontakan yang berkait dengan DI/TII juga terjadi di Kalimantan Selatan.


Namun dibandingkan dengan gerakan DI/TII yang lain, ini adalah pemberontakan yang
relatif kecil, dimana pemberontak tidak menguasai daerah yang luas dan pergerakan pasukan
yang besar. Meski begitu, pemberontakan berlangsung lama dan berlarut-larut hingga tahun
1963 saat Ibnu Hajar, pemimpinnya, tertangkap.

Timbulnya pemberontakan DI/TII Kalimantan Selatan ini sesungguhnya bisa


ditelusuri hingga tahun 1948 saat Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV,
sebagai pasukan utama Indonesia dalam menghadapi Belanda di Kalimantan Selatan, telah
tumbuh menjadi tentara yang kuat dan berpengaruh di wilayah tersebut. Namun ketika
penataan ketentaraan mulai dilakukan di Kalimantan Selatan oleh pemerintah pusat di Jawa,
tidak sedikit anggota ALRI Divisi IV yang merasa kecewa karena diantara mereka ada yang
harus didemobilisasi atau mendapatkan posisi yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.
Suasana mulai resah dan keamanan di Kalimantan Selatan mulai terganggu. Penangkapan-
penangkapan terhadap mantan anggota ALRI Divisi IV terjadi. Salah satu alasannya adalah
karena diantara mereka ada yang mencoba menghasut mantan anggota ALRI yang lain untuk
memberontak.
Diantara para pembelot mantan anggota ALRI Divisi IV adalah Letnan Dua Ibnu
Hajar. Dikenal sebagai figur berwatak keras, dengan cepat ia
berhasil mengumpulkan pengikut, terutama di kalangan anggota ALRI Divisi IV yang
kecewa terhadap pemerintah. Ibnu Hajar bahkan menamai pasukan barunya sebagai Kesatuan
Rakyat Indonesia yang Tertindas (KRIyT). Kerusuhan segera saja terjadi. Berbagai
penyelesaian damai coba dilakukan pemerintah, namun upaya ini terus mengalami kegagalan.
Pemberontakan pun pecah. Akhir tahun 1954, Ibnu Hajar memilih untuk bergabung dengan
pemerintahan DI/TII Kartosuwiryo, yang menawarkan kepadanya jabatan dalam
pemerintahan DI/TII sekaligus Panglima TII Kalimantan. Konflik dengan
tentara Republik pun tetap terus berlangsung bertahun-tahun. Baru pada tahun 1963, Ibnu
Hajar menyerah. Ia berharap mendapat pengampunan. Namun pengadilan militer
menjatuhinya hukuman mati. Daerah pemberontakan DI/TII berikutnya adalah Aceh. Ada
sebab dan akhir yang berbeda antara pemberontakan di daerah ini dengan daerah-daerah DI/
TII lainnya.

Di Aceh, pemicu langsung pecahnya pemberontakan adalah ketika pada tahun 1950
pemerintah menetapkan wilayah Aceh sebagai bagian dari propinsi Sumatera Utara. Para
ulama Aceh yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menolak hal ini.
Bagi mereka, pemerintah terlihat tidak menghargai masyarakat Aceh yang telah berjuang
membela republik. Mereka menuntut agar Aceh memiliki otonomi sendiri dan mengancam
akan bertindak bila tuntutan mereka tak dipenuhi. Tokoh terdepan PUSA dalam hal ini adalah
Daud Beureuh. Pemerintah pusat kemudian berupaya menempuh jalan pertemuan. Wakil
Presiden M. Hatta (1950), Perdana Menteri M. Natsir (1951), bahkan Soekarno (1953?)
menyempatkan diri ke Aceh untuk menyelesaikan persoalan ini, namun mengalami
kegagalan. Akhirnya pada tahun 1953, setelah Daud Beureuh melakukan kontak dengan
Kartosuwiryo, ia menyatakan Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia yang
dipimpin Kartosuwiryo. Konflik antara pengikut Daud Beureuh dengan
tentara RI pun berkecamuk dan tak menentu selama beberapa tahun, sebelum
akhirnya pemerintah mengakomodasi dan menjadikan Aceh sebagai daerah istimewa pada
tahun 1959. Tiga tahun setelah itu Daud Beureuh kembali dari pertempuran yang telah
selesai. Ia mendapat pengampunan.
B. KONFLIK AGAMA :
Konflik agama adalah suatu pertikaian antar agama baik antar sesama agama, maupun
dengan agama lain. Setiap agama memiliki cara beribadah yang berbeda beda, perbedaan itu
dipersatukan dengan Pancasila. Akan tetapi seringkali masih terjadi konflik antar umat
beragama, hal itu terjadi karena kita kurang memahami nilai nilai yang terkandung dalam
pancasila. Sebenarnya semua itu adalah hal yang wajar, tinggal bagaimana cara kita
menyikapi hal tersebut.

Peranan agama dalam kehidupan sehari hari itu sangatlah penting, supaya kita bisa
membatasi atau bahkan tidak melakukan hal hal yang dilarang oleh agama. Dan peranan
agama juga berpengaruh bagi masyarakat sekitar supaya tidak mucul rasa mencurigai suatu
agama tersebut dan hal itu dapat menumbuhkan kerukunan antar umat beragama.

Konflik antar umat beragama muncul sejak dulu. Konflik agama terjadi karna perbedaan
konsep yang dijalankan oleh pemeluk agama itu sendiri. Munculnya penilaian satu kelompok
dengan kelompok lainnya biasanya menjadi pemicu konflik umat beragama, setiap orang
boleh memiliki pendapat/penilaian sendiri tetapi alangkah baiknya kita tidak memprovokasi
atau terprovokasi oleh orang lain supaya konflik dapat berkurang. Apabila kita merasa ingin
mengetahui lebih dalam salah satu agama, maka tanya lah pada pemimpin dari agama
tersebut supaya kita bisa mengetahui bagaimana agama tersebut, jangan kita menyimpulkan
sendiri bagaimana agama tersebut karna itu juga akan menimbulkan konflik.

Beberapa tahun terakhir ini banyak umat agama yang menjatuhkan agama lain dan
mengunggulkan agama nya sendiri, menganggap agama nya lebih tinggi daripada agama
lainnya. Kita harus mencegah hal itu terjadi lagi, karena pada dasarnya setiap agama
memiliki cara beribadah yang berbeda satu dengan yang lainnya, setiap agma juga memiliki
keunikan yang berbeda satu dengan lainnya tetapi tujuannya tetap satu yaitu TUHAN .

Dalam menjalani kehidupan pasti akan terjdi gesekan gesekan yang akan menimbulkan
konflik dantara masyarakat, biasanya ada kaitannya dengan agama. Masalah konflik agama
menjadi tanggung jawab bersama, perlu adanya kerjasama untuk menyelesaikan konflik
agama ini. Hubungan antar agama sangatlah penting bagi kehidupan, hubungan antar agama
diartikan sebagai bentuk solidaritas antar umat beragama. Hal itu ditunjukkan dalam
kehidupan yang hermonis, damai, sejahtera tanpa ada konflik dan tercipta kerukunan dalam
umat beragama. Kerukunan akan tercipta jika kita dapat memahami arti sebuah perbedaan
dan mengerti hakekat manusia sebagai makhluk sosial, dimana kita sebagai manusia tidak
bisa hidup sendiri tanpa ada bantuan dari orang lain. Perbedaan adalah sesuatu yang indah
apabila kita dapat memahami nya.
Berikut contoh konflik antar agama yang pernah terjadi di Indonesia :

1. Konflik poso

Konflik ini membuktikan bahwa perbedaan kepercayaan menyulut konflik yang


meluas. Konflik poso menjadi salah satu konflik yang berlangsung dalam waktu yang lama
seperti juga latar belakang tragedi allepo . Salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya
peran pemerintah dalam mengembalikan situasi menjadi kondusif. Konflik poso menjadi
salah satu konflik yang berlangsung lama. Fase pertama berlangsung pada bulan desember
1998, kemudian berlanjut bulan april 2000, dan yang terbesar pada bulan mei hingga juni
2000. Pada tanggal 20 desember 2001, deklarasi malino ditandatangani oleh kedua belah
pihak yang bertikai dan diinisiasi ooleh Jusuf Kala. Stelah penandatanganan perjanjian
tersebut situasi di Poso berangsur angsur pulih.

2. Konflik Ambon

Konflik antar agama terjadi diambon tahun 1999, merupakan konflik yang berasal
dari kaum muslim dan nasrani yang menghuni wilayah tersebut. Konflik ini dipicu oleh
insiden pemalakan yang dilakukan oleh salah satu pemuda muslim terhadap warga nasrani .
konflik ini semakin berkembang sat isu isu menyebar dan membkar amarah kedua belah
pihak. Kemudian mucul insiden kerusuhan setelah kunjungan presiden, adanya gerakan
jihad, front kedaulatan Maluku yang merupakan pewaris Republik Maluku Selatan kelompok
tersebut berusaha mengadvokasi kaum separatis dari negara yang didominasi muslim
kemudian RMS dianggap sebagai gerakan yang memperburuk konflik agama. Dan adanya
unsur lain yaitu isu SARA, isu ini menjadi pemicu untuk mengadu domba kedua belah pihak.
Insiden ini menyebabkan 12 orang tewas dan ratusan lainnya luka luka. Namun, konflik ini
segera mereda setelah dilakukan rekonsiliasi dilakukan oleh pemerintah setempat

3. Konflik Tolikara

Konflik ini terjadi karena umat Gereja Injil Indonesia menyerang umat Islam yang
sedang shalat Idul Fitri di Markas Korem di Tolikara dan aparat keamanan tidak berdaya
menghadapi massa Gidi.

Konflik yang terjadi di Tolikara papua dipicu oleh pembakaran sebuah masjid oleh
para jemaat gereja injil indonesia. Tidak dijelaskan apa yang memicu pembakaran tersebut
seperti pengendalian konflik sosial . Namun, insiden itu bertepatan saat akan dilaksanakan
sholat idul fitri. Akibat konflik ini, 2 orang warga tewas dan 96 rumah warga muslim dibakar.
Upaya rekonsiliasi yang cepat dilakukan, membuat konflik ini cepat dapat diredam. Serta
tidak menimbulkan dampak yang meluas.
4. Konflik Aceh

Konflik ini terjadi di daerah Singkil tahun 2015. Konflik ini terjadi karena adanya
penyerangan terhadap rumah ibadah yang tidak memiliki izin. Aceh menjadi salah satu
provinsi yang diberi hal istimewa untuk dapat menjalankan hukum syariat islam. Hal ini
adalah upaya pemerintah untuk melerai keinginan masyarakat sporadis yang ingin
memerdekakan diri dan mendirikan negara khilafah. Oleh karenanya Aceh diberikan gelar
daerah istimewa Nangroe Aceh Darussalam. Konflik antar agama pernah terjadi, tepatnya di
daerah Singkil pada tahun 2015. Konflik ini diawali dengan demonstrasi umat muslim.
Dalam demonstrasi tersebut umat muslim menuntut pemerintah untuk membongkar sejumlah
gereja kristen yang berdiri seperti dampak konflik agama . Namun, akhirnya konflik tersebut
dapat terselesaikan dengan baik. Serta kerukunan antar umat beragama di Aceh tetap
terpelihara hingga kini.

5. Konflik Situbondo

Konflik ini terjadi tahun 1996. Kerusuhan ini terjadi karena warga tidak puas atas
hukuman yang diberikan kepada seorang penista agama islam. Kemudian penista agama
disembunyikan di dalam gereja, ada pihak pihak yang memaksa masuk ke dalam gereja,
sekolah katolik dan kios kios tionghoa dan menimbulkan kerusakan.

Peristiwa tersebut terjadi pada 10 oktober 1996. Konflik ini dipicu karena adanya
ketidakpuasaan atas hukuman yang diterima oleh seorang penghina agama islam. Kemudian
si penista agama ini disembunyikan didalam gereja seperti juga akibat konflik paletina dan
israel . Hal itulah yang kemudian memicu timbulnya kerusuhan. Dimana ada pihak pihak
yang memaksa masuk ke gereja gereja, sekolah khatolik, dan juga toko milik orang tionghoa
di situbondo. Kondisi demikian tentu membuat timbulnya pengerusakan. Kondisi ini kembali
berangsur membaik setelah adanya perdamaian antara kedua belah pihak.

6. Tahun 1996, 5 gereja dibakar oleh 10000 massa di Situbondo karena adanya konflik yang

disebabkan oleh kesalahpahaman.

7. Bentrok di kampus Sekolah Tinggi Theologi Injil Arastamar (SETIA)

Karena adanya kesalahpahaman dengan masyarakat setempat akibat kecurigaan


masyarakat setempat kepada salah satu mahasiswa SETIA yang dituduh mencuri, dan setelah
diusut polisi tidak ditemukan bukti apapun. Ditambah lagi adana preman provokator yang
melempari masjid dan masuk ke asrama putri kampus tersebut. Dan akhirnya meluas ke arah
agama, ujung-ujung nya ada pemaksaan penutupan kampus tersebut secara anarkis olh
masyarakat sekitar.
8. Konflik di Lampung Selatan

Lampung, juga pernah mengalami konflik antar agama. Tepatnya di Kabupaten Lampung
Selatan, Kota Kallianda terjadi konflik berdarah yang melibatkan masyarakan desa
Balinuraga dan Desa Agom. Desa Balinuraga mayoritas dihuni oleh penduduk dengan agama
Budha. Sedangkan Desa Agom mayoritas dihuni umat muslim. Pada dasarnya konflik ini
bukan didasari oleh hal yang bersifat dan berhubungan dengan keyakinan yang dianut seperti
juga latar belakang konflik suriah . Penyebab yang menyulut konflik ini adalah adanya gadis
Desa Agom yang digoda oleh pemuda dari Desa Balinuraga. Kejadian tersebut lalu menyulut
amarah warga desa Agom sehinga mengunakan cara kekerasan dengan menyerang warga
Balinuraga. Tidak terima dengan hal tersebut warga Baliuraga membalas menyerang. Aksi
yang menimbulkan reaksi, beberapa pihak diturunkan untuk meredam suasana. Kemudian
setelah melalui proses mediasi akhirnya konflik ini dapat terselesaikan, dan kondisi kembali
kondusif.

9. Konflik Sampang (Pengikut Ahlus Sunnah Wal Jamaah VS Penganut Islam Syiah)

Konflik antar agama yang selanjutnya terjadi di Dusun Nangkernang, Desa Karang
Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Madura Jawa Timur. Penyerangan terjadi
pada 2012 silam yang menyebabkan dua orang warga syi’ah tewas dan enam mengalami luka
berat dan puluhan lainnya mengalami luka berat seperti penyebab israel dan palestina
perang . Konflik ini sebenarnya sudah berlangsung lama, sejak tahun 2004. Klimaksnya
adalah aksi pembakaran rumah ketua Ikatan Jamaah Ahl Al-Bait (IJABI) dan 2 rumah jamaah
syi’ah serta sebuah mushola yang digunakan sebagai sarana ibadah. Aksi tersebut dilakukan
oleh sekitar 500 orang yang mengklaim diri sebagai pengikut Ahlus Sunnah Wal-Jamaah.
C. KONFLIK SOSIAL
Menurut Soerjono Soekanto:Konflik sosial itu sendiri suatu proses sosial dimana individu
atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan
dengan disertai ancaman dan kekerasan. Menurut Lewis A. Coser: Konflik sosial adalah
perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan status, kuasa, dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Pihak-pihak yang sedang berselisih
tidak hanya bermaksud untuk memperoleh sumber-sumber yang diinginkan, tetapi juga
memojokkan, merugikan atau menghancurkan lawan mereka. Sedangkan menurut Leopold
von Wiese: Konflik sosial adalah suatu proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok
manusia berusaha untuk memenuhi apa yang menjadi tujuannya dengan jalan menentang
pihak lain disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. Dan menurut Duane Ruth-
Heffelbower:Konflik sosial adalah kondisi yang terjadi ketika dua pihak atau lebih
menganggap ada perbedaan „posisi‟ yang tidak selaras, tidak cukup sumber, dan/atau
tindakan salah satu pihak menghalangi, mencampuri atau dalam beberapa hal membuat
tujuan pihak lain kurang berhasil.

Jadi secara gampang, konflik sosial adalah pertentangan dan perselisihan yang terjadi di
kehidupan bermasyarakat baik antar individu maupun antar kelompok karena perbedaan latar
belakang dan tujuan.

Berikut contoh konflik sosial yang pernah terjadi di Indonesia :

1. Konflik antar suku di Sampit (2001)

Konflik sosial di Sampit menjadi contoh konflik sosial yang terkenal yang terjadi pada
tahun 2001. Konflik ini terjadi karena adanya perselisihan antara pendatang dari suku Madura
dengan suku Dayak asli. Akibatnya terjadi pertumpahan darah pun yang tak bisa dihindarkan.
Konflik ini pun memakan banyak korban jiwa.

Konflik rasial yang pernah terjadi di Indonesia selanjutnya adalah pertikaian antara etnis
dan etnis mandura di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Penyebab pasti konflik ini memang
belum dapat dipastikan, konflik ini muncul dari rentetan insiden yang sebelumnya pernah
muncuk antara warga Dayak dan Madura. Akhirnya, konflik pun pecah Februari 2001 saat
dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak, konflik sampit ini semakin parah
dan berlangsung sepanjang tahun.

Cerita awal, konflik ini muncul pertama kali di Kota Sampit Kalimatan Tengah pada
tanggal 18 Februari 2001 yang akhirnya meluas ke seluruh provinsi, tak terkecuali Palangka
Raya. Konflik yang melibatkan antara Suku Dayak asli dan warga Madur yang tinggal di
kawasan Kota Sampit ini memakan korban kurang lebih 500 orang meninggal dunia. Bukan
itu saja, lebih dari 100 ribu warga Madura kehilanggan tempat tinggal. Dari peristiwa tersebut
juga ditemukan banyak warga Mandura yang dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.

Terdapat berbagai cerita tentan penyebab konflik sampit ini, salah satu versi menjelaskan
bila konflik ini muncul dikarenakan sebuah peristiwa pembakaran sebuah rumah warga
Dayak. Dan rumor yang beredar waktu itu pun menyebutkan jika kebakaran itu dilakukan
oleh salah satu warga Madura. Mendengar berita itu, kemudian menjadikan anggota suku
Dayak belas dendam dengan cara yang sama yaitu membakar rumah-rumah di pemukiman
Madura.

Versi lain penyebab konflik sampit menjelaskan, peristiwa ini muncul dari seorang warga
Dayak yang disiska lalu dibunuh oleh sekelompok warga Madura pasca terjadi sengketa judi
di Desa Kerengpagi pada 17 Desember tahun 2000.

2. Konflik antara FPI dan GMBI di Jawa Barat (2017)

Konflik sosial juga pernah terjadi di provinsi Jawa Barat pada tahun 2017 lalu yang
melibatkan dua organisasi masyarakat berbeda, yakni ormas Islam FPI dan ormas GMBI.
Meski tidak ada korban jiwa dalam konflik ini, namun terdapat banyak kerugian material
yang di peroleh akibat kejadian ini.

3. Konflik antar suku di Lampung Tengah (2012)

Konflik sosial pernah berlangsung di daerah Lampung Tengah, yang melibatkan


perseteruan warga dari suku Jawa dengan Suku Lampung. Konflik tersebut terjadi di
Kampung Jawa yang diakibatkan adanya perilaku kasar warga suku Lampung yang
melakukan pembakaran rumah dan juga pembunuhan.

4. Konflik sosial di Kabupaten Mesuji

Konflik di Kabupaten Mesuji di provinsi Lampung terjadi karena adanya perebutan


tanah register antara pihak perusahaan dengan masyarakat setempat. Konflik ini juga
memakan korban karena salah satu pihak memilih jalan kekerasan dengan menyewa preman
untuk menyingkirkan lawannya.

5. Konflik perebutan lahan di Rembang

Konflik sosial pernah terjadi di Kabupaten Rembang di Jawa Tengah yang didasari
perseteruan antaa petani yang berada di persawahan dengan perusahaan pertambangan.
Konflik dilandasi perebutan lahan persawahan oleh perusahaan tambang pada petani lokal di
Rembang.

6. Konflik di Flores Timur karena batas desa (2013)

Konflik di Flores Timur terjadi pada tahun 2013 di dua desa di Kabupaten Flores Timur,
provinsi Nusa Tenggara Timur. Penyebabnya saling berebut material yang berada di batas
desa yang diklaim oleh kedua warga desa sebagai pemilik. Konflik menimbulkan kerugian
materi dan juga korban jiwa.

7. Konflik sosial di Sumbawa Besar

Konflik sosial pernah juga terjadi di Kabupaten Sumbawa Besar di provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB), yang berjenis konflik horizonal. Latar belakang dari timbulnya
konflik ini adalah adanya perselisihan atau perbedaan budaya dan suku yang ada dalam
masyarakat.

8. Konflik Entnis Tionghoa dan Jawa Di Surakarta

Meskipun Indonesia dikenal sebagai negara yang dikenal kaya akan suku, bahasa,
budaya, dan agama tak bisa dilepaskan dari konflik ras dan juga etnis. Pada tahun 1998
tercatat sejarah semapt terjadi contoh konflik rasial antara etnis Tionghoa dan suku Jawa asli
yang berada diwilayah Surakarta.

Penyebab konflik antara golongan ini dikarenakan adanya anggapan jika etnis Tionghoa
tidak masuk sebagai bagian warga negara Indonesia. Situasi tersebut menjadi kian parah
dengan krisis moneter yang terjadi pada masa itu. Konflik antar dua ras dan etnis tersebut
akhirnya menyebabkan kerusuhan yang meluas hingga menyebabkan penjarahan berbagai
took dan juga pembakaran fasilitas umum.
BAB III : PENUTUP

A. KESIMPULAN :
Kesimpulan yang sederhana namun bermakna yang dapat saya tarik adalah :

Konflik yang adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar
anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara
saling menantang dengan ancaman kekerasan, baik politik, sosial, dan agama muncul karena
adanya dorongan kepentingan, tujuan, dan amarah. Dalam hal politik, ada pihak yang ingin
berkuasa atau memanipulasi pemerintahan. Dalam hal sosial, ada pihak tertentu yang merasa
terusik atau ingin mencapai tujuan tertentu. Sedangkan dalam hal agama, ada pihak yang
merasa murka karena merasa di lecehkan atau ada yang memang tidak suka/terganggu.

Hal ini memberi kita pelajaran untuk betul-betul mengamalkan semboyan Bhineka
Tuggal Ika dan Pancasila agar tidak tumbuh rasa dalam diri kita untuk menganut paham lain
atau serakah sehingga ingin memicu konflik. Atau agar kita mampu menghadapi perbedaan
masyarakat dengan bijaksana. Semua itu agar konflik-konflik di atas tidak terulang lagi.

B. KRITIK & SARAN :


Singkat saja, saya berharap kritik yang membangun dari pembaca terutama Ibu Guru dan
juga saran untuk terus membantu saya dalam tugas-tugas kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA :
 8Poerwodarminto, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1984,
hal 735. 9Damsar, Pengantar Sosiologi Konplik,Fajar Interpratama Offset,
Jakarta, 2010, hal. 52 10Ibid,
 BUKU DASAR ILMU POLITIK (BAB 10)
 AGAMA DAN KONFLIK DALAM MASYARAKAT DI INDONESIA
 Abbas Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Ke
ETC...

Anda mungkin juga menyukai