( TEORI SOSIAL )
DOSEN PENGAJAR :
IBU LUTFIA
DISUSUN OLEH :
NIM :
202210017
Puji syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya bisa menyelesaikan makalah tentang "Perspektif Teori Struktural
Konflik".
Tidak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut
memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika
tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari penyusunan
maupun tata bahasa penyampaian dalam karya ilmiah ini. Oleh karena itu, saya dengan rendah
hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat memperbaiki makalah ini.
Saya berharap semoga makalah yang saya susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi
untuk pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i
KATA PENGANTAR....................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................ 4
PENDAHULUAN.................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN...................................................................................................................... 6
BAB III.......................................................................................................................... 12
3.1. KESIMPULAN................................................................................................................. 12
3.2. SARAN........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional. Pemikiran
yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari struktural konflik ini adalah pemikiran Karl Marx. Pada
tahun 1950-an dan 1960-an, struktural konflik mulai merebak. Struktural konflik menyediakan alternatif
terhadap teori struktural fungsional.
Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx
tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada
abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja
miskin sebagai kelas proletar. Kedua kelas ini berada dalam suatu struktur sosial hirarkis, kaum borjuis
melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi ini akan terus berjalan
selama kesadaran semu eksis (false consiousness) dalam diri proletar, yaitu berupa rasa menyerah diri,
menerima keadaan apa adanya tetap terjaga. Ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum
borjuis mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika
kaum proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka.
Ada beberapa asumsi dasar dari struktural konflik ini. Struktural konflik merupakan antitesis dari teori
struktural fungsional, dimana teori struktural fungsional sangat mengedepankan keteraturan dalam
masyarakat. Struktural konflik melihat pertikaian dan konflik dalam sistem sosial. Struktural konflik
melihat bahwa di dalam masyarakat tidak akan selamanya berada pada keteraturan. Buktinya dalam
masyarakat manapun pasti pernah mengalami konflik-konflik atau ketegangan-ketegangan. Kemudian
struktural konflik juga melihat adanya dominasi, koersi, dan kekuasaan dalam masyarakat. Struktural
konflik juga membicarakan mengenai otoritas yang berbeda-beda. Otoritas yang berbeda-beda ini
menghasilkan superordinasi dan subordinasi. Perbedaan antara superordinasi dan subordinasi dapat
menimbulkan konflik karena adanya perbedaan kepentingan.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial. Ketika
struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu terjadi pada titik
ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena adanya konflik-konflik
kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu mencapai sebuah kesepakatan
bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang dilakukan sehingga terciptalah suatu
konsensus.
Menurut struktural konflik, masyarakat disatukan dengan “paksaan”. Maksudnya, keteraturan yang
terjadi di masyarakat sebenarnya karena adanya paksaan (koersi). Oleh karena itu, struktural konflik
lekat hubungannya dengan dominasi, koersi, dan power. Terdapat dua tokoh sosiologi modern yang
berorientasi serta menjadi dasar pemikiran pada struktural konflik, yaitu Lewis A. Coser dan Ralf
Dahrendorf.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk mengetahui berbagai perspektif struktural konflik dari tokoh-tokoh pemikir dan
dampaknya untuk pendidikan dan masyarakat serta mengetahui bagaiman kebijaksaan social
yang terdapat pada masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
De Dreu dan Gelfand (2008) menyatakan bahwa conflict as a process that begins when an
individual or group perceives differences and opposition between itself and another individual or
group about interests and resources, beliefs, values, or practices that matter to. Dari definisi
tersebut tampak bahwa konflik merupakan proses yang mulai ketika individu atau kelompok
mempersepsi terjadinya perbedaan atau opisisi antara dirinya dengan individu atau kelompok
lain mengenai minat dan sumber daya, keyakinan, nilai atau paktik-praktik lainnya.
Robbins (2001) menyebut konflik sebagai a process in which an effort is purposely made by A to
offset the efforts of B by some form of blocking that will result in frustrating B in attaining his or
her goals or furthering his or her interests. Dalam definisi ini tampak bahwa konflik dapat terjadi
ketika usaha suatu kelompok dihambat oleh kelompok lain sehingga kelompok ini mengalami
frustrasi.
Kondalkar (2007) yang mengutip pendapat Thomas menyatakan bahwa konflik sebagai process
that begins when one party perceives that another party has negatively affected something that
the first party cares about. Proses konflik bermula ketika satu partai mempersepsi bahwa partai
lain memiliki afeksi (perasaan) negatif.
Kondalkar (2007) juga melanjutkan bahwa conflict “as a disagreement between two or more
individuals or groups, with each individual or group trying to gain acceptance of its views or
objective over others. Dari pendapat ini Kondalkar melihat bahwa konfil merupakan
ketidaksetujuan (disagreement) antara dua atau lebih individu atau kelompok yang mana masing-
masing individu atau kelompok tersebut mencoba untuk bisa diterima pandangannya atau
tujuannya oleh individu atau keompok lain.
Dari pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu hasil persepsi
individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok merasa berbeda dan perdebaan ini
menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun kepentingan, sehingga perbedaan ini
menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak individu atau kelompok lain.
• Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan.Setiap manusia adalah
individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda
satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang
nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial,
seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik
di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa
terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.
Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh
sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki
kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi
untuk tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal
pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang
menjadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para
petani menbang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat
kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya
diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pecinta lingkungan,
hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada
perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula
menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar
kelompok atau antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok buruh
dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di antara keduanya. Para buruh
menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar
untuk dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung
cepat atau bahkan mendadak, perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Misalnya, pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang mendadak
akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang
biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-
nilai yang berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai kontrak kerja
dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser
menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai
kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pemanfaatan waktu yang
cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan
istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi seara cepat atau mendadak,
akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan akan terjadi upaya
penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehiodupan
masyarakat yang telah ada.
• konflik antara atau dalam peran sosial (intrapribadi), misalnya antara peranan-peranan dalam
keluarga atau profesi (konflik peran (role) )
• Konflik antara kelompok-kelompok sosial (antar keluarga, antar gank).
• meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan
kelompok lain.
• perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa dendam, benci, saling curiga
dll.
• dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik dapat memghasilkan
respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan
kita dan pengertian terhadap hasil tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa
sebagai berikut:
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan menghasilkan percobaan untuk
mencari jalan keluar yang terbaik.
• Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan menghasilkan percobaan untuk
“memenangkan” konflik.
Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan percobaan yang
memberikan “kemenangan” konflik bagi pihak tersebut
Memahami Marx menegani startifikasi sosial tidak lain harus melihat teori klas yaitu “Sejarah
peradaban umat manusia dari dahulu sampai sekarang adalah sejarah pertikaian dan konflik antar
klas.” Marx selalu melihat bahwa hubungan manusia terjadi dari adanya hubungan posisi
masing-masing terhadap sarana produksi. Marx berkeyakinan bahwa posisi dalam struktur sangat
mendorong dalam upaya memperbaiki nasib mereka dengan ditunjukkan adanya klas borjuis dan
klas buruh.
Dari penjelasan tersebut menurut sosiolog pendidikan beraliran Marxian menawarkan bahwa
masalah pertentangan klas menjadi objek kajia (pendidikan). Dari mereka ada poin-poin yang
diajukan, pertama bahwa pendidikan difokuskan pada perubahan yang dibangun dan tumbuh
tanpa adanya tekanan dari klas dominan atau penguasa, yaitu dengan perubahan akan penyadaran
atas klas dominan. Kedua pendidikan diarahkan sebagai arena perjuangan klas, mengajarkan
pembebasan, kesadaran klas, dan perlawanan terhadap kaum borjuis. Masyarakat Pendidikan
Prioritas Kebijakan Strategi Perencanaan
Dalam teori konflik ini begitu jelas dominasi kaum Borjuis pemegang kendali dan kebijakan,
mereka dengan gampang memperoleh status sosial dalam masyarakat. Sebagai contoh ditahun
90-an ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa selama tahun 90-an kebelakang teryata
pendidikan ditentukan oleh status ekonomi para orangtua. Sehingga paling tidak fakta bahwa
teori konflik berlaku di Indonesia.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama
memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran
yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna
adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak
akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa
alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala
pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek
dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan
bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
Ketika diambil sebagai kesepakatan, strategi apa yang diambil oleh masyarakat yang seharusnya
menerima bantuan dan oleh mereka yang memperjuangkan bantuan atas nama keadilan dalam
arti sempit ?
Contending dijelaskan sebagai sebuah usaha memperjuangkan haknya dengan jalan memaksakan
kehendak kepada pihak lain, asumsinya ketika konflik berakhir hanya akan ada satu pemenang.
Yielding merupakan satu keputusan mengalah dalam sebuah konflik, namun hal tersebut bukan
berarti menyerah, melainkan mengulur waktu untuk memperoleh sebuahproblem solving yang
lebih menguntungkan bagi semua pihak.
Withdrawing daninaction berada dalam satu garis dimana salah satu pihak melakukan
penghentian dalam aksi, namun bedanya adalah strategi pertama bersifat permanen, sementara
yang kedua tetap membuka kemungkinan untuk mencari alternatif pemecahan masalah. Dalam
kasus distribusi bantuan, mereka yang mendapatkan prioritas adalah orang yang tidak mampu
secara material maupun intelektual. Kondisi tersebut membatasi akses dan peluang mereka untuk
berjuang melalui caracontending. Asumsinya, wilayah diskusi dan penguasaan sumber daya akan
dikuasai oleh mereka yang mempunyai kemampuan material dan intelektual lebih baik. Apalagi
secara kuantitatif terdapat perbedaan yang signifikan antara mereka yang seharusnya
mendapatkan bantuan dengan mereka yang tidak masuk dalam daftar penerima bantuan. Menarik
diri atau diam juga bukan merupakan pilihan karena menafikkan hak yang seharusnya mereka
terima.
Problem solving pada akhirnya menjadi pilihan walau sebenarnya tidak berjalan dengan adil bagi
mereka. Penguasaan forum sebagaimana disebutkan diatas pada akhirnya memaksa mereka
untuk menerima keputusan yang “adil” untuk memuaskan kepentingan semua pihak. Adanya
gejolak laten yang muncul di masyarakat hendaknya dipahami bahwa kesepakatan-kesepakatan
yang muncul selama ini seringkali merupakan bentuk serangan, strategicontending dari pihak-
pihak yang merasa dirugikan dengan kebijakan yang diperoleh pemerintah. Demi memperoleh
hak yang mereka inginkan, legitimasi forum warga digunakan untuk mengalahkan penerima
bantuan yang seharusnya.
Setiap kebijakan adalah pilihan untuk memperoleh tujuan tertentu. Dalam kasus distribusi
bantuan, adanya prioritas merupakan bentuk yang dipilih karena terdapat disparitas dalam
kerugian. Kebijaksanaan dalam arti yang sebenarnya adalah sikap menerima atas pilihan-pilihan
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Diimplementasikan dalam tindakan yang lebih jauh
adalah secara bersama-sama mengawasi kebijakan yang diambil tersebut agar tidak terdapat
penyelewengan di dalamnya. Tulisan ini masih merupakan sebuah abstraksi dari banyaknya
konflik yang tersimpan di dalam masyarakat. Dengan melihat setiap gejolak yang terjadi
hendaknya masyarakat lebih bijak menyikapi tindakan-tindakan dan kepekakatan yang diambil.
Konflik tidak selalu perlu untuk dimaknai sebagai fenomena negatif, dan melakukan
pengelolaan/managemen konflik terkadang justru akan memberikan sebuah nilai positif bagi
masyarakat.
Di dalam pengelolaan konflik terdapat dimensi pembelajaran dan kesadaran. Hal tersebut
dipengaruhi penekanan managemen pada proses yang dibangun, bukan pada hasil yang ingin
dicapai. Kesadaran paling utama yang muncul adalah perubahan pandangan terhadap nilai-nilai
keadilan dan memunculkan sifat anti kekerasan. Keadilan, sebagai sebuah prinsip yang dijunjung
tinggi oleh masyarakat hendaknya dimaknai sebagai sebuah ketaatan pada komitmen dan aturan
main yang disepakati dalam penyelesaian permasalahan. Namun proses tersebut harus bersifat
tidak membelenggu, bahkan menekan kelompok masyarakat yang lain. Harus bersifat
melindungi, memberdayakan dan membebaskan kesadaran sosial tanpa menghilangkan prinsip
hukum untuk keadilan.
Dengan berbagai macam forum di masyarakat yang memungkinkan adanya komunikasi rutin,
diharapkan masyarakat akan terus terbiasa dalam sebuah dialog yang mengedepankan
perdamaian dan kemanusiaan. Kebijaksanaan masyarakat, sebagai sebuah modal sosial
pembangunan hendaknya tidak lagi dimanfaatkan sebagai sarana memperoleh keuntungan
sepihak dan mengalahkan nilai-nilai positif social capital.
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Perspektif struktural konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional.
Struktural konflik juga mengatakan bahwa konflik itu perlu agar terciptanya perubahan sosial.
Ketika struktural fungsional mengatakan bahwa perubahan sosial dalam masyarakat itu selalu
terjadi pada titik ekulibrium, struktural konflik melihat perubahan sosial disebabkan karena
adanya konflik-konflik kepentingan. Namun pada suatu titik tertentu, masyarakat mampu
mencapai sebuah kesepakatan bersama. Di dalam konflik, selalu ada negosiasi-negosiasi yang
dilakukan sehingga terciptalah suatu konsensus.
konflik adalah suatu hasil persepsi individu ataupun kelompok yang masing-masing kelompok
merasa berbeda dan perdebaan ini menyebabkan adanya pertentangan dalam ide ataupun
kepentingan, sehingga perbedaan ini menyebabkan terhambatnya keinginan atau tujuan pihak
individu atau kelompok lain.
Di dalam buku “Sosiologi Pendidikan” juga disebutkan bahwa kelas bawah tidak akan sama
memperoleh pendidikan di banding dengan klas menegah dan atas, sebagai misal pembelajaran
yang pernah dimiliki oleh klas tengah tidak akan pernah dimenegrti oleh klas bawah, karna
adaya perbedaan pengalaman yang dia daaptkan. Kedua, dalam realitasnya klas bawah tidak
akan semudah memperoleh pendidikan dibading klas menengah yang dengan gampang tanpa
alih-alih taggung jawab lain dalam mempeolehnya. Ketiga, realitas Negara bahwa segala
pengetahuan ditentukan oleh penguasa, karenanya klas proletar yang notabenya sebagai objek
dari kebijakan mendapatkan keilmuan tidak sesuai dengan fakta yang ada, sekaligus merupakan
bukan termasuk bukan bagain dari keinginan siswa dan keahliannya.
DAFTAR PUSTAKA
Bernard, Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta.
http://djauharul28.wordpress.com/2011/06/18/pendidikan-dalam-perspektif-struktural-konflik