Anda di halaman 1dari 9

PSIKOLOGI SOSIAL II

KONFLIK

Anggota Kelompok 2

 Daniel Melvin Eka Anggara (209114032)


 Dienti Cahya Permatasari (209114033)
 Bonaventura Ananta.E.D.P. (209114132)
 Jisca Erlangga.I.H.P. (209114190)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


2021
1. PENGERTIAN KONFLIK
Konflik akan selalu mewarnai kehidupan. Dari konflik sangat kecil sampai konflik sangat besar.
Konflik dapat terjadi akibat adanya perbedaan perepsi, berlainan pendapat dan juga karena
ketidaksamaan kepentingan. Jadi konflik merupakan kondisi terjadinya ketidak cocokan antar nilai
ataupun tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada di dalam diri individu maupun dalam
hubungannya dengan orang lain sehingga salah satu atau keduanya akan saling terganggu. Kondisi
tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi
efisiensi dan juga produktivitas kerja.

Menurut Kilman dan Thomas (1978), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar
nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam
hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu
bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas
kerja (Wijono, 1993: p.4).

Menurut Nurdjana (1994) mendefinisikan konflik sebagai akibat situasi dimana keinginan atau
kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau
keduanya saling terganggu.
Konflik bisa sebagai bahan untuk introspeksi, menumbuhkan kekompakan di dalam kelompok,
mengetahui sifat orang lain (sisi positif). Konflik pasti terjadi dalam kehidupan kelompok
(kelompok primer dan sekunder). Kelompok primer yaitu kelompok yang ikatannya begitu kuat,
kelompok yang hampir setiap saat bertemu, dilihat dari kebutuhannya, berkumpul saat
membutuhkan apapun, kelompok yang didasarkan pada genetik, misalnya adalah keluarga, ras,
dsb. Kemudihan kelompok sekunder. Kelompok sekunder anggotanya sekedar berkumpul, bersifat
formal misalnya kelompok kelas d, kelompok osis sekolah, kelompok supporter, mereka
berkumpul membahas hal yang dibutuhkan kelompok, hanya ikatan formal.

Jadi, kita dapat mendefinisikan konflik (conflict) sebagai sebuah proses yang dimulai ketika suatu
pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negative, sesuatu yang
menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam konflik yang
orang alami dalam organisasi ketidakelarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta,
ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspektasi perilaku dan sebagainya. Selain itu, definissi
lain cukup flekibel untuk mencakup beragam tingkatan konflik dari tindakan terangterangan dan
keras ssampai ke bentukbentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat.

Contohnya adalah konflik antara atasan dan bawahan di tempat kerja. Disebabkan karena gaya
kepemimpinan dari atasan. Disini menurut atasan bawahan tidak memberikan kinerja yang
memuaskan sehingga dapat menimbulkan konflik. Kemudihan contoh lainnya adalah konflik di
dalam keluarga yaitu beberapa anggota keluarga saling berebut harta dan warisan. Yang merasa
bahwa bagiannya tidak sesuai dengan yang diharapkan tidak terima akibatnya konflik dalam
keluarga tidak bisa dihindari.

2. TEORI-TEORI KONFLIK
a. Approach-approach Conflict atau konflik mendekat-mendekat yaitu individu dihadapkan pada
dua atau lebih tujuan yang sama-sama mempunyai nilai positif, dimana individu hanya memilih
salah satu diantara beberapa pilihan tersebut. Contohnya misalnya seseorang mendapat undangan
sekaligus untuk menghadiri pesta pada saat yang bersamaan dimana ia bimbang dalam memilih
kedua undangan tersebut karena tidak mungkin dipenuhi kedua-duanya.
b. Approach Avoidance Conflict atau konflik mendekat menjauh dimana obyek yang menjadi
tujuan mempunyai nilai yang positif dan negatif sekaligus. Contohnya misalnya seorang ingin naik
kuda karena menyenangkan tetapi ia takut jatuh.
c. Avoidance-avoidance Conflict atau konflik menjauh-menjauh yaitu individu dihadapkan pada
dua pilihan yang sama-sama negatif dan sama-sama dihindari. Contohnya misalnya seorang murid
yang enggan ke sekolah karena takut pada gurunya dan tidak ingin pula tinggal di rumah karena
takut dimarahi ayahnya.

d. Teori Konflik Lewis A. Coser


Jadi Lewis Coser menilai bahwa konflik memiliki fungsi positif jika dapat dikelola dan
diekspresikan sewajarnya. Teori konflik menurut Lewis A. Coser ini memandang sistem sosial
bersifat fungsional. Menurut Coser, konflik tidak selalu memiliki sifat negatif. Konflik ini juga
dapat mempererat hubungan antar-individu dalam suatu kelompok. Lewis A. Coser meyakini
keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh karena itu, keberadaan konflik dapat
memicu suatu bentuk interaksi dan memicu konsekuensi yang bersifat positif. Selain itu, dengan
adanya konflik juga dapat menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif
dalam aktivitas kelompoknya. Selain itu, Coser juga mengelompokkan konflik sosial menjadi dua
jenis, yaitu konflik realistis dan konflik non-realistis. Konflik Realistis merupakan konflik yang
berdasar dari kekecewaan individu maupun kelompok atas berbagai bentuk permasalahan dalam
hubungan sosial. Sementara itu Konflik non-realistis ada karena terdapat kebutuhan melepaskan
ketegangan dari salah satu ataupun pihak-pihak yang sedang mengalami konflik.
e. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Jadi menurut Ralf Dahrendorf, konflik hanya muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem.
Maka dari itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung
dalam sistem. Dalam pandangan Ralf Dahrendorf konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak
dapat terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan juga mereka yang tidak berkuasa. Pada
awalnya, Ralf Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang digunakan untuk
menganalisis fenomena sosial. Kemudihan, Dahrendorf melihat masyarakat memiliki dua sisi yang
berbeda, yaitu konflik dan juga kerja sama. Jadi berdasarkan pemikiran itu, Dahrendorf
menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural, untuk
menyempurnakan teorinya. Dia pun kemudihan mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk
membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri. Dehrendorf mengaitkan
pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antar kelas
sosial. Ralf Dehrendorf tidak memandang masyarakat sebagai suatu hal yang statis, melainkan
dapat berubah karena adanya konflik sosial.

3. MEKANISME TERJADINYA KONFLIK


1. Konflik yang belum muncul/masih tersembunyi (laten)

Munculnya suatu perasaan atau adanya suatu kondisi emosional. Namun kondisi tersebut tidak
dianggap sebagai hal yang mengganggu atau hal yang perlu dipermasalahkan.
2. Konflik yang mendahului (Antecedent condition)

Ditahapan ini mulai muncul suatu perbedaan mulai dari perbedaan peran, perbedaan nilai-nilai,
dan lain sebagainya.
3. Konflik yang dapat Diamati (Perceived Condition)

Tahapan ini terjadi jika Antecedent condition tidak bisa diselesaikan. Didalam tahap ini, individu
mulai merasa terancam. Konflik akan terus berlanjut jika kedua pihak merasa terancam.
4. Konflik Terwujud dalam Perilaku (Manifest Behavior)

Didalam tahapan ini, seseorang akan melakukan berbagai hal untuk menahan agar tidak terjadi
konflik. Bisa saja perilaku yang muncul adalah mekanisme pertahanan diri. Bentuk lain dari
Manifest behavior adalah tindakan agresif, tindakan argumentatif, atau mungkin saja individu akan
bertindak untuk menyelesaikan masalah
5. Penyelesaian atau Tekanan Konflik

Terdapat dua pilihan yang dapat dilakukan dalam tahapan ini yaitu melakukan tekanan ataupun
mencoba untuk menyelesaikan konflik dengan berbagai cara. Cara-cara yang dapat dilakukan
untuk menyelesaikan konflik ada: tawar-menawar, persuasi, penarikan diri, dan rujuk. Selain itu,
pihak yang berkonflik juga dapat mengambil Tindakan-tindakan agar tidak terjadi lagi konflik di
masa depan.

6. Akibat Penyelesaian Konflik


Jika konflik bisa terselesaikan, maka semua orang yang terlibat dapat merasakan dampak positif
dari penyelesaian konflik tersebut. Akibat dari konflik yang bisa diselesaikan dengan baik adanya
pemikiran inovatif dari individu, individu dapat beradaptasi dengan orang lain dengan
kelompoknya, organisasi lebih damai dan lain-lain.

Namun menurut Wijono (1993), jika konflik tidak selesai secara efektif, maka produktivitas kerja
akan terganggu karena tersebut tidak bisa diselesaikan. Akibat negatif dari penyelesaian konflik
yang tidak berhasil adalah munculnya tekanan pada individu, terganggunya kerja sama dalam
kelompok, komunikasi tidak lancar, dan lain sebagainya.

4. PENYEBAB KONFLIK
Konflik didalam organisasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Faktor Manusia
• Ditimbulkan oleh atasan, terutama karena gaya kepemimpinannya

• Personil yang mempertahankan peraturan-peraturan secara kaku


• Timbul karena ciri-ciri kepribadian individual, antara lain sikap egoistis, temperamental, sikap
fanatic dan sikap otoriter.

2. Faktor Organisasi
a. Persaingan dalam menggunakan sumberdaya

Apabila sumberdaya baik berupa uang, material atau sarana lainnya terbatas atau dibatasi, maka
dapat timbul persaingan dalam penggunaannya. Ini merupakan potensi terjadinya konflik antar
unit/departemen dalam suatu organisasi.
b. Perbedaan tujuan antar unit-unit organisasi

Tiap-tiap unit dalam organisasi mempunyai pesialisai dalam fungsi, tugas dan bidangnya.
Perbedaan ini sering mengarah pada konflik minat antar unit terebut. Misalnya, unit penjualan
menginginkan harga yang relative rendah dengan tujuan untuk lebih menarik konsumen,
sementara unit produksi menginginkan harga yang tinggi dengan tujuan untuk memajukan
perusahaan.

c. Interdependensi Tugas Konflik terjadi karena adanya saling ketergantungan antara satu
kelompok dengan kelompok lainnya. Kelompok yang satu tidak dapat bekerja karena menunggu
hasil kerja dari kelompok lainnya.
d. Perbedaan nilai dan persepsi

Suatu kelompok tertentu mempunyai persepsi yang negative, karena merasa mendapat perlakukan
yang tidak “adil”. Para manajer yang relative muda memiliki persepsi bahwa mereka mendapat
tugas-tugas yang cukup berat, rutin dan rumit, sedangkan para manajer senior mendapat tugas
yang ringan dan sederhana.

e. Kekaburan yurisdiksional
Konflik terjadi karena batas-bata aturan yang tidak jelas yaitu adanya tanggungjawab yang
tumpang tindih.

f. Masalah status
Konflik dapat terjadi karena suatu unit/departemen mencoba memperbaiki dan meningkatkan
status, sedangkan unit/ departemen yang lain menganggap sebagai sesuatu yang mengancam
posisinya dalam status hirarki organisasi.

g. Hambatan komunikasi.
Hambatan komunikasi, baik dalam perencanaan, pengawasan, koordinasi bahkan kepemimpinan
dapat menimbulkan konflik antar unit/ departemen.

5. CARA MENYELESAIKAN KONFLIK


Mengatasi dan menyelesaikan suatu konflik bukanlah suatu yang sederhana. Cepat tidaknya suatu
konflik dapat diatasi tergantung pada kesediaan dan keterbukaan pihak-pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan konflik, berat ringannya bobot atau tingkat konflik tersebut serta kemampuan
campur tangan (intervensi) pihak ketiga yang turut berusaha mengatasi konflik yang muncul.

Solusi pemecahan:
• Rujuk: Merupakan suatu usaha pendekatan dan hasrat untuk kerjasama dan menjalani hubungan
yang lebih baik, demi kepentingan bersama.
• Perusasi: Usaha mengubah posisi pihak lain, dengan menunjukkan kerugian yang mungkin
timbul, dengan bukti factual serta dengan menunjukkan bahwa usul kita menguntungkan dan
konsisten dengan norma dan standar keadilan yang berlaku.
• Tawar menawar: suatu penyelesaian yang dapat diterima kedua pihak, dengan saling
mempertukarkan konsesi yang dapat diterima. Dalam cara ini dapat digunakan komunikasi tidak
langsung, tanpa mengemukakan janji secara eksplisit.

• Pemecahan masalah terpadu: usaha menyelesaikan masalah dengan memadukan kebutuhan


kedua pihak. Proses pertukaran informasi, fakta, perasaan, dan kebutuhan berlangsung secara
terbuka dan jujur. Menimbulkan rasa saling percaya dengan merumuskan alternative pemecahan
secara bersama dengan keuntungan yang berimbang bagi kedua pihak.
• Penarikan diri: Suatu penyelesaian masalah, yaitu salah satu atau kedua pihak menarik diri dari
hubungan. Cara ini efektif apabila dalam tugas kedua pihak tidak perlu berinteraksi dan tidak
efektif apabila tugas saling bergantung satu sama lain.

• Pemaksaan dan penekanan: Cara ini memaksa dan menekan pihak lain agar menyerah, akan lebih
efektif bila salah satu pihak mempunyai wewenang formal atas pihak lain. Apabila tidak terdapat
perbedaan wewenang, dapat dipergunakan ancaman atau bentukbentuk intimidasi lainnya. Cara
ini sering kurang efektif karena salah satu pihak harus mengalah dan menyerah secara terpaksa.

• Interveni (campur tangan) pihak ketiga: Apabila pihak yang bersengketa tidak bersedia berunding
atau usaha kedua pihak menemui jalan buntu, maka pihak ketiga dapat dilibatkan dalam
penyelesaian konflik.
Arbitrase (arbitration): pihak ketiga mendengarkan keluhan kedua pihak dan berfungsi sebagai
hakim yang mencari pemecahan mengikat. Cara ini mungkin tidak menguntungkan kedua pihak
secara sama, tetapi dianggap lebih baik daripada terjadi muncul perilaku saling agresi atau
tindakan destruktif.
Penengahan (mediation): Menggunakan mediator yang diundang untuk menengahi sengketa.
Mediator dapat membantu mengumpulkan fakta, menjalin komunikasi yang terputus,
menjernihkan dan memperjelas masalah serta melapangkan jalan untuk pemecahan masalah secara
terpadu. Efektivitas penegahan tergantung juga pada bakat dan ciri perilaku mediator.

Konsultasi: Tujuannya untuk memperbaiki hubungan antar kedua pihak serta mengembangkan
kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan konflik. Konsultan tidak mempunyai wewenang
untuk memutuskan dan tidak berusaha untuk menengahi. Ia menggunakan berbagai teknik untuk
meningkatkan persepsi dan kesadaran bahwa tingkah laku kedua pihak terganggu dan tidak
berfungsi, sehingga menghambat proses penyelesaian masalah yang menjadi pokok sengketa.

Sedangkan menurut Nader dan Todd dikemukakan mengenai 7 cara penyelesaian sengketa atau
konflik. Ketujuh cara tersebut disajikan berikut ini (Widjaja,2002):

1. Membiarkan saja atau lumping it.


Pihak yang merasakan perlakuan yang tidak adil, gagal dalam upaya untuk menekankan
tuntutannya dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu yang
menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya dengan pihak yang
dirasakan merugikannya. Ini dilakukan karena berbagai kemungkinan seperti kurangnya faktor
informasi mengenai bagaimana proses mengajukan keluhan itu ke peradilan; kurangnya akses ke
lembaga peradilan karena diperkirakan bahwa kerugiannya lebih besar dari keuntungannya.

2. Mengelak (avoidance).
Pihak yang merasa dirugikan memilih untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang
merugikan-nya atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut. Misalnya, dalam
hubungan bisnis, hal semacam ini bisa terjadi. Dengan mengelak, isu yang menimbulkan keluhan
dielakkan saja. Berbeda dengan pemecahan pertama, di mana hubunganhubungan berlangsung
terus, isunya saja yang dianggap selesai. Dalam hal bentuk kedua ini, pihak yang dirugikan
mengelakkannya. Pada bentuk satu hubungan-hubungan tetap diteruskan pada bentuk kedua
hubungan-hubungan dapat dihentikan untuk sebagian atau untuk keseluruhan.

3. Paksaan atau coercion.


Satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang
bersifat memaksakan ini atau ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya
mengurangi kemungkinan penyelesaian secara damai.

4. Perundingan (negotiation).
Dua pihak yang berhadapan merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan atas masalah yang
dihadapi dilakukan oleh mereka berdua. Mereka sepakat tanpa adanya pihak ketiga yang
mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling meyakinkan. Jadi, mereka membuat
aturan mereka sendiri dan tidak memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.

5. Mediasi (mediation).
Pemecahan dilakukan menurut perantara, mediation. Dalam cara ini ada pihak ketiga yang
membantu kedua belah pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak
ketiga ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau ditunjukkan oleh yang
berwenang untuk itu. Baik mediator yang merupakan hasil pilihan kedua pihak, atau karena
ditunjuk oleh orang yang mempunyai kekuasaan, kedua pihak yang bersengketa harus setuju
bahwa jasa-jasa dari seorang mediator akan digunakan dalam upaya mencari peme-cahan. Dalam
masyarakatmasyarakat kecil (paguyuban), bisa saja tokoh-tokh yang berperan sebagai mediator
juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai hakim.
6. Arbitase.
Dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk me-minta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan
sejak semula telah setuju bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu.

7. Peradilan, adjudication.
Di sini pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri pemecahan masalah, lepas dari
keinginan para pihak bersengketa. Pihak ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan
menegakkan keputusan itu artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.
Dari ketujuh cara tersebut di atas, maka kita dapat membagi tiga cara penyelesaian sengketa atau
konflik. Ketiga cara itu meliputi:

1. Tradisional
2. Alternatif Dispute Resolution (ADR)
3. Pengadilan

DAFTAR PUSTAKA:
- Busroh, Firman Freaddy. (2017). Mediasi Sosial dalam Menyelesaikan Konflik Lahan
Milik Masyarakat Adat di Indonesia. Lex Jurnalica,14(1).
- Muspawi, Mohamad. (2014). Manajemen Konflik (Upaya Penyelesaian Konflik dalam
Organisasi). Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Humaniora, 16(2).
- Rosyidi, Hamim. (2012). Psikologi Sosial. Diakses dari:
http://repository.uinsby.ac.id/id/eprint/1287/1/Hamim%20Rosyidi_Psikologi%20sosial.p
df
- Wahyudi, Andri. (2015). Konflik, Konsep Teori, dan Permasalahan. Jurnal Publiciana.

Anda mungkin juga menyukai