Anda di halaman 1dari 27

1

TEORI STRUKTURAL KONFLIK

MAKALAH
Diajukan guna memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Teori Sosial dan Budaya

Dosen Pengampu:
Jefri Riesky Triyanto, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh:

Hofidatul Wilda (210210302018)


Erna Paramitha (210210302021)
Hemi Fatmawati (210210302023)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2024
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
Teori Struktual Konflik dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Teori Sosial Budaya. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Bapak Jefri Riesky Triyanto, S. Pd., M. Pd. Selaku dosen pengampu Mata Kuliah
Teori Sosial Budaya ini. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca untuk penyempurnaan makalah ini.

Jember, 12 Maret 2024

Penulis
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ................................................................................................................ 3
BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 4
1. 1 Latar Belakang ............................................................................................... 4
1. 2 Rumusan Masalah.......................................................................................... 6
1. 3 Tujuan ............................................................................................................. 6
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 6
2. 1 PROPOSISI BEBERAPA TEORI KONFLIK........................................... 6
2. 2 TEORI MENURUT BEBERAPA AHLI .................................................. 11
2. 3 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN STRUKTURAL FUNGSIONAL
DAN TEORI KONFLIK .................................................................................... 19
2. 4 ANALISIS STUDI KASUS JURNAL ........................................................ 22
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 23
KESIMPULAN.......................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 26
4

BAB I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Sejarah lahirnya teori konflik berawal dari kritik tajam terhadap teori
fungsionalisme yang berkembang dan begitu dominan dalam sosiologi. Pengusung
teori konflik mengkritik tajam teori fungsionalisme yang mendefinisikan
perkembangan dan perubahan sosial secara linear atau statis. Teori konflik
menganggap bahwa perkembangan dan perubahan sosial tidaklah disusun atas dasar
struktur yang statis, melainkan struktur yang tersusun secara dinamis atau dialektis,
yang ditandai dengan adanya proses, hubungan, dinamika, konflik, dan kontradiksi.
Teori konflik merupakan suatu alternatif pendekatan dari teori fungsional
dalam menganalisa struktur suatu masyarakat; teori konflik ini semakin populer dan
penting dalam kehidupan teori-teori sosial modern. Dilihat dari perspektive kebulatan,
teori tersebut kurang utuh. Perbedaan pendapat di antara penganut teori konflik dalam
banyak hal lebih tajam dibandingkan dengan perbedaan antara penganut teori konflik
dengan penganut teori lain. Namun diantara teori-teori yang dapat diklasifikasikan ke
dalam teori konflik, memiliki kesamaan dalam beberapa asumsi dan konsep dasar.
Kesemuanya itu menciptakan cara-cara yang berbeda dalam melihat dalam
menganalisis masyarakat. Makalah ini difokuskan untuk membahas akar-akar teori
konflik. Makalah ini akan menguraikan asal-muasal lahirnya teori konflik dengan
mendeskripsikan teori dan pemikiran para tokoh pengusung (The Founding Fathers)
teori konflik.
Teori ini dipaparkan dalam rangka memahami dinamika yang terjadi di dalam
masyarakat. Di dalam realitas masyarakat, konflik sebagai hal yang harus ada dan
kehadirannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Adanya perbedaan kekuasaan dapat
dipastikan menjadi sumber konflik dalam sebuah sistem sosial, terutama masyarakat
yang kompleks dan heterogen. Tidak hanya itu, sumber daya yang langka (terutama
sumber daya ekonomi) di dalam masyarakat akan membangkitkan kompetisi di antara
pelaku ekonomi yang memperebutkannya dan bukan mustahil berujung pada pertikaian
akibat persoalan distribusi sumber daya tersebut yang tidak pernah merata. Kelompok-
kelompok kepentingan yang berbeda dalam sistem sosial akan saling mengejar tujuan
yang berbeda dan saling bersaing. Kondisi semacam ini, dalam banyak kasus kerap
menyebabkan terjadinya konflik terbuka, sebagaimana dinyatakan oleh Lockwood
dalam Jonathan Turner (1978), bahwa kekuatan kekuatan yang saling bersaing dalam
mengejarkepentingannya masing-masing akan melahirkan mekanisme
ketidakteraturan sosial (social disorder). Ruth A. Wallace dan Alison Wolf
sebagaimana dikutip oleh Sutaryo, 1992, dalam bukunya Contemporary Saciological
5

Theory: Continuing The Classical Tradition, menyatakan bahwa: Conflict theory is


major alternative to functionalism as an approach to analyzing the general structure
of societies, and it is increasingly popu lar and important in modern sociology
(Sutaryo, 1992)
Dalam konteks ini, Paul B. Horton dan Chester L. Hunt menyatakan dalam bukunya
Sociology, bahwa para teoretisi konflik memandang suatu masyarakat itu dapat
menjadi satu karena terikat bersama oleh kekuatan-kekuatan kelompok atau kelas yang
dominan dalam masyarakat. Berbeda dengan anggapan para fungsionalis yang
memandang nilai-nilai bersama atau konsensus anggota masyarakat menjadi suatu
ikatan pemersatu, maka dalam pandangan teoretisi konflik, konsensus itu merupakan
ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan nilai-nilai tertentu yang
mereka inginkan (Horton & Chester L. Hunt, 1987).
Teori konflik merupakan salah satu teori dalam paradigma fakta sosial. Teori
konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi.
Teori ini mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel.
Kontribusi pokok dari teori konflik Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya
konflik kelas pekerja. Adapun teori konflik Simmel berpendapat bahwa kekuasaan,
otoritas, atau pengaruh merupakan sifat dari kepribadian individu yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik. Misalnya, ketika orang frustrasi di kelas bawah atau
kelas pekerja, mungkin bermusuhan dengan yang makmur. Begitu juga anggota-
anggota kelompok minoritas akan bermusuhan dengan struktur kekuasaan yang sudah
mapan.
Teori Konflik berakar pada pemikiran tiga tokoh teori konflik, yakni : Karl
Marx, Max Webber dan George Simmel. Meskipun ketiga tokoh tersebut dikenal
sebagai pioneer yang melahirkan teori konflik, masing-masing menyusun proposisi
yang berbeda-beda tentang realitas konflik di masyarakat dan unit analisis yang
berbeda pula. Kelahiran Teori konflik tidak dapat dipisahkan dari teori Kelas yang
digagas oleh Karl Marx (George Ritzer, 1996 : 63-90). Menurut Marx sejarah
masyarakat hingga kini merupakan sejarah perjuangan kelas. (Kamanto, 1997 : 238).
Munculnya kapitalisme itu dapat menyebabkan terjadinya pemisahan tajam antara
mereka yang menguasai alat produksi dan mereka yang hanya mempunyai tenaga. Hal
ini dapat dilihat dari adanya hubungan sosial yang melembagakan sifat ketergantungan
pada mereka yang mengontrol serta menguasai sumber-sumber ekonomi atau
tergantung apa yang disebutnya sebagai the mode of economic production. Mereka
yang mengontrol dan menguasai sumbersumber ekonomi dalam jumlah besar berada
pada puncak strata atau kelas atas. Sedangkan mereka yang hanya memiliki sedikit atau
bahkan tidak punya sama sekali berada pada kelas bawah.(George : 62)
6

1. 2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana proposisi Teori Konflik ?
2. Bagaimana definisi Teori Struktural Konflik menurut para ahli Karl Marx,
Max Weber, Lewis A Coser, Ralf Dahrendorf?
3. Apa persamaan dan perbedaan struktural fungsional dan teori konflik?

1. 3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari teori-teori yang sudah dijelaskan oleh para
ahli tersebut.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan struktural fungsional dengan
teori konflik.
7

BAB II PEMBAHASAN

2. 1 PROPOSISI BEBERAPA TEORI KONFLIK


Penganut teori konflik menunjukkan persepsi yang sangat berbeda dengan
kalangan fungsionalis dalam memahami masyarakat. Jika kalangan fungsionalis
melihat adanya saling ketergantungan dan kesatuan di dalam masyarakat, maka
kalangan penganut teori konflik justru melihat masyarakat merupakan arena di mana
satu kelompok dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan "power" dan
mengontrol, bahkan melakukan penekanan bagi saingan-saingan mereka.
Jika kalangan fungsionalis melihat hukum atau undang-undang sebagai sarana
untuk meningkatkan integrasi sosial, maka para penganut teori konflik melihat undang-
undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk menegakkan dan
memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan kelompok tertentu di atas
pengorbanan kelompok lainnya.
Menurut Allison dan Wallace, teori konflik memiliki tiga asumsi utama, di
mana satu dengan yang lain saling berhubungan (Sutaryo, 1992). Asumsi utama teori
konflik menegaskan, manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan
mereka berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.
Asumsi kedua menunjukkan, "power" (kekuasaan) bukanlah sekadar barang
langka dan terbagi secara tidak merata, sehingga merupakan sumber konflik,
melainkan juga sebagai sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Asumsi kedua ini
menempati posisi sentral bagi perspektif teori konflik. "Power" dipandang sebagai
"core" dari social relationships. Analisis ini pada gilirannya memusatkan perhatiannya
pada masalah distribusi sumber-sumber. Sebagian orang memperoleh atau menguasai
sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali. Asumsi ketiga,
ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang digunakan oleh berbagai
kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.
Ideologi itu merupakan aspek dari groups interest.
Teori konflik banyak dikembangkan oleh para ahli, tetapi apabila dirunut secara
historis, elemen-elemen dasarnya berakar pada pemikiran dua sosiolog besar, yaitu
Karl Marx dan Max Weber. Keduanya memang menunjukkan perbedaan pendapat,
bahkan tak jarang saling memperdebatkan pokok-pokok pikirannya, akan tetapi
keduanya sama-sama menaruh perhatian terhadap dua hal utama, yaitu: (1) the way
social positions bestow more or less power on their incumbents; dan (2) the role of
8

ideas in creating or undermining the legitimacy of social position (Wallace and Alison
Wolf, 1986: 64).
Berikut ini disajikan beberapa proposisi teori konflik sebagai berikut (lihat:
Sutaryo, 1992: 31-6)

1. Proposisi Pertama
"The more unequal the distribution of scarce resources in a system, the greater
will be the conflict of interest between dominant and subordinate segments in a
system". Artinya, semakin tidak merata distribusi sumber di dalam suatu sistem, akan
semakin besar konflik kepentingan antara segmen dominan dan segmen lemah di dalam
suatu sistem.
Dalam proposisi ini, Marx memandang bahwa tingkat ketidakmerataan
distribusi sumber, terutama kekuasaan, merupakan determinan konflik kepentingan
objektif di antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak memiliki
kekuasaan. Proposisi ini secara langsung mengikuti asumsi Marx bahwa, "Di dalam
semua struktur sosial, distribusi kekuasaan yang tidak merata pasti akan menimbulkan
konflik kepentingan antara mereka yang memiliki kekuasaan dan mereka yang tidak
memiliki kekuasaan" (Turner, 1978: 131).
Menurut Marx, kesadaran akan konflik kepentingan dapat menyebabkan
mereka yang lemah mulai mempertanyakan keabsahan pola distribusi sumber yang ada
sekarang. Kondisi-kondisi yang mengubah kesadaran untuk mempertanyakan masalah
keabsahan distribusi sumber diintisarikan dalam proposisi-proposisi berikut.

2. Proposisi Kedua
"The more subordinate segments become aware of their the collective interests,
the more likely they are to question the legitimacy of the une- qual distribution of scarce
resources"
Proposisi ini dengan jelas menyatakan, apabila segmen yang lebih lemah
(subordinate) semakin menyadari akan kepentingan kolektif mereka, maka akan
semakin besar kemungkinannya mereka itu akan mempertanyakan keabsahan
distribusi sumber yang tidak merata. Proposisi tersebut masih diperinci lagi menjadi
semakin spesifik sebagai berikut:
a. "The more social changes wrought by dominant segments disrupt existing
relations among subordinates, the more likely are the latter to become aware of
their true collective interests." Pengertian nya adalah apabila perubahan sosial
yang diciptakan oleh segmen dominan semakin mengacaukan hubungan yang
ada di antara segmen-segmen yang lebih lemah (subordinates), maka semakin
9

besar kemungkinannya segmen yang lemah itu menjadi sadar akan kepentingan
kolektif mereka.
b. The more practices of dominant segments create alienation dispositions among
subordinates, the more likely are the latter to become aware of their true
collective interests. Artinya, apabila praktik praktik dari segmen dominan
semakin menimbulkan disposisi keterasingan di antara segmen yang lebih
lemah tersebut menjadi sadar akan kepentingan kolektif mereka.
c. "The more members of subordinate segments can communicate their
grievances to each other, the more likely they are to become aware of their true
collective interests" Pengertiannya adalah apabila para anggota segmen yang
lebih lemah semakin bisa melontarkan keluhan mereka satu sama lain, maka
semakin besar kemungkinan nya mereka menjadi sadar akan kepentingan
kolektif mereka.
1. The more spatial concentration of members of subordinate groups, the
more likely are they to communicate their grievances." Pengertian yang
terkandung di dalamnya adalah semakin renggang konsentrasi para
anggota kelompok yang lebih lemah, maka semakin besar
kemungkinannya bahwa mereka akan melontarkan keluhan-keluhan
mereka.
2. "The more subordinates have access to educational media, the more
diverse the means of their communication, and their more likely are they
to communicate their grievances." Pengertian yang terkandung di
dalamnya adalah apabila kalangan yang lebih lemah/subordinates
semakin memiliki akses untuk menjangkau media pendidikan, maka
semakin bermacam-macam sarana bagi komunikasi mereka. dan
semakin besar pula kemungkinan mereka melontarkan keluhan keluhan
mereka.
d. The more subordinate segments can develop unifying systems of beliefs, the
more likely they are to become aware of their true col lective interests" Artinya,
apabila segmen yang lebih lemah dapat mengembangkan kesatuan sistem-
sistem keyakinan, maka semakin besar kemungkinannya mereka menjadi sadar
terhadap kepentingan kolektif mereka.
1. "The greater the capacity to recruit or generate ideological
spokespersons, the more likely ideological unification." Artinya, se-
makin besar kemampuan untuk merekrut atau membangkit- kan juru
bicara ideologis, maka semakin besar kemungkinan terjadinya
penyatuan ideologi mereka.
10

2. "The less the ability of dominant groups to regulate the socialization


processes and communication." Pengertiannya adalah semakin kecil
kemampuan kelompok-kelompok dominan untuk mengatur proses-
proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem, maka
semakin besar kemungkinan terjadinya penyatuan ideologis di kalangan
subordinate groups

3. Proposisi Ketiga
"The more subordinate segments of a system are aware of their collec- tive
interests, the greater their questioning of the legitimacy of the dis- tribution of
scarce resources, and the more likely they are to organize and initiate overt
conflict against dominant segments ofs system.
Artinya, apabila segmen yang lemah (subordinate) di dalam suatu
sistem semakin sadar akan kepentingan kelompok mereka, maka semakin besar
kemungkinan mereka mempermasalahkan keabsahan distribusi sumber-
sumber, dan semakin besar pula kemungkinannya mereka mengorganisasi
untuk memulai konflik secara terang-terangan terhadap segmen-segmen
dominan suatu sistem.
Proposisi ini dipecah menjadi tiga anak proposisi sebagai berikut:
1. "The more the deprivations subordinates move from ar an absolute to relative
basis, the more likely they are to organize and initiate conflict." Artinya,
semakin besar kesenjangan dari kalangan lemah (subordinate) bergeser dari
dasar absolute ke dasar relatif, maka semakin besar kemungkinannya mereka
mengorganisasi diri dan memulai konflik.
2. "The less the ability of dominant groups to make manifest their collective
interests, the more likely are subordinate groups to organize and initiate conflict
Artinya, apabila kelompok dominan semakin kehilangan kemampuannya untuk
merumuskan kepentingan-kepentingan kolektif mereka, maka semakin besar
kemungkinannya kelompok subordinate mengorganisası dan mencetuskan
konflik
3. "The greater the ability of subordinate groups to develop a leadership structure,
the more likely they are to organize and initiate conflict Artinya, semakin besar
kemampuan kelompok-kelompok subordinat dalam mengembangkan struktur
kepemimpinan, ma ka semakin besar kemungkinan mereka mengorganisasi diri
dan memprakarsai konflik (lihat: Turner, 1978)

4. Proposisi Keempat
11

"The more subordinate segments are unified by a common belief and the mare
developed their political leadership structure, the more the dominant and
subjugated segments of a system will become polarized"

Proposisi ini mengandung pengertian, apabila segmen-segmen subordinate


semakin dipersatukan oleh keyakinan umum dan semakin berkembang struktur
kepemimpinan politik mereka, maka segmen dominan dan segmen yang dikuasai
yang lebih lemah akan semakin terpolarisasi.
1. "The more polarized the dominant and subjugated, the more violent will be
the ensuing conflict." Proposisi ini mengisyaratkan bahwa, apabila antara
segmen dominan dan segmen yang dikuasai/yang lebih rendah itu semakin
terpolarisasi, maka akan semakin keras konflik yang terjadi.
2. "The more violent the conflict, the greater will be the structural change of
the system and redistribution of scarce resources Proposisi ini mengandung
pengertian, semakin keras suatu konflik, maka akan semakin besar
perubahan struktural suatu sistem dan redistribusi sumber-sumber.

2. 2 TEORI MENURUT BEBERAPA AHLI


1. TEORI KONFLIK PERSPEKTIF KARL MARX
Salah satu tokoh pencetus teori konflik adalah Karl Marx (1818 – 1830),
ia lahir di Kota Trier, di Rhineland bagian Negara Jerman. Ia melanjutkan studi
di Berlin untuk menjadi seorang filsuf. ia menerbitkan buku The German
Ideology (1832). Lalu bersama dengan Fredich engels yang merupakan sama –
sama pendiri filsafat marxisme, mereka menyusun sebuah buku yang berjudul
Communist Manifesto pada tahun 1848. Sebagai seorang mahasiswa, filsafat
sangat mempengaruhi dirinya, dia adalah penganut Hegel, walaupun tak
sepenuhnya sependapat dengan beliau, marx mengakui bahwa pemikiran Hegel
lah yang mempengaruhi gagasan serta pemikiran beliau.
Sejatinya, Karl Marx selalu mengecam atas keadaan ekonomi dan
ketimpangan sosial yang berada di sekelilingnya dan ia berpendapat bahwa
masyarakat tidak mungkin dapat diperbaiki secara tidak menyeluruh.
Menurutnya, masyarakat harus diubah secara radikal melalui pendobrakan
secara menyeluruh dan total dalam segala sendi – sendinya. Untuk keperluan
itu,ia kemudian menyusun teori sosial yang menurut dia didasari oleh hukum
ilmiah dan karena itu pasti akan terlaksana. Untuk membedakan dengan ajaran
sosialis utopis, ia menamakan teorinya dengan istilah sosialisme ilmiah.
12

Teori Konflik yang dikemukakan oleh Karl Marx menegaskan, bahwa


teori ini dipicu dalam hubungan pertentangan antar kelas borjuis yang melawan
kelas proletariat dalam merebut hak-hak ekonomi (alat produksi). Karl Marx
menegaskan bahwa terdapat dua kelas yang saling bertentangan ini di dalam
masyarakat pada abad ke – 19, yaitu: kelas borjuis dan kelas proletar.
● Borjuis
Yang dimana kelas borjuis ialah nama dari pemilik modal perseorangan
(kapitalis), para kapitalis ini memiliki alat – alat produksi dan
mempekerjakan para buruh dengan diberi upah. Konflik antar kelas
proletar dan borjuis adalah realitas dari kontradiksi materialisme yang
sesungguhnya. Kontradiksi ini semakin lama semakin berkembang
yang menjadi kontradiksi konflik kapitalisme dengan pekerja.
● Proletar
Sedangkan kelas proletariat (buruh) adalah istilah yang digunakan
untuk mengidentifikasi kelas sosial yang rendah. Mereka adalah orang
– orang yang tidak memiliki alat produksi dan modal sendiri. Sehingga
proletariat menggunakan jasanya untuk bekerja kepada kaum borjuis.

Namun dalam sistem produksi kapitalis, kedua kelas ini berada dalam
suatu struktur sosial yang hierarki, pada dasarnya kepentingan antara kedua
kelas itu secara objektif berlawanan dengan satu sama lain. Di dalam setiap
kelas sosial, setiap kelasnya memiliki suatu kepentingan sendiri, dan
kepentingan tersebut ditentukan oleh situasi yang objektif. Maka dari itu, buruh
tidak bisa hidup jika tidak bekerja, dan sebaliknya, para pemilik pabrik tetap
bertahan lama bila mereka tidak memiliki pendapatan hidup. Ia dapat hidup dari
modal yang ia miliki selama alat produksi masih bekerja, ataupun ia dapat
menjual pabrik dan alat produksinya. Sistem produksi kapitalis ini keduanya
saling bergantung satu sama lain namun tidak seimbang.
Karl Marx (dalam Turner, 1998) memberikan pernyataan tentang
kehidupan sosial, antara lain:
A. Masyarakat diibaratkan sebagai panggung yang di dalamnya memiliki
berbagai macam pertentangan.
B. Negara dipandang sebagai salah satu pelaku yang aktif dalam pertentangan
dan negara selalu berpihak kepada kekuatan yang dominan.
C. Paksaan (coercion) dalam wujud hukum diilustrasikan sebagai faktor
utama untuk memelihara lembaga-lembaga sosial, seperti kepunyaan milik
13

pribadi (property), perbudakan (slavery), dan kapital yang menimbulkan


ketidaksamaan hak dan kesempatan.
D. Adanya kelas-kelas dipandang sebagai kelompok-kelompok sosial yang
mempunyai kepentingan sendiri yang bertentangan satu sama lain, sehingga
konflik tak dapat dihindarkan lagi.

2. TEORI KONFLIK PERSPEKTIF MAX WEBER


Weber mengistilahkan konflik sebagai suatu sistem "otoritas" atau
sistem "kekuasaan. Perbedaan antara otoritas dan kekuasaan yaitu sebagai
berikut. Kekuasaan cenderung menaruh kepercayaan pada kekuatan, sedangkan
otoritas adalah kekuasaan yang dilegitimasikan, yaitu kekuasaan yang telah
mendapat pengakuan umum. Titik tolak untuk melihat kekuasaan dan otoritas
tidaklah berbeda jauh antara Parsons dan Weber yang melihat hal itu sebagai
suatu keharusan. Keduanya setuju bahwa "fungsi" dari kekuasaan adalah untuk
mengintegrasikan sebuah unit, mendorong pemenuhan yang gagal dilakukan
oleh norma norma dan nilai-nilai. Parson menekankan aspek integratif, yakni
kekuasaan dan otoritas menemukan kebutuhan dari keseluruhan sistem.
Menurut Weber, suatu "asosiasi yang harus dikoordinasi" adalah setiap
organisasi di mana otoritas itu ada (yang secara praktis harus melibatkan semua
organisasi), dan keberadaan otoritas itu sendiri menciptakan kondisi-kondisi
untuk konflik. Menyangkut hal itu Dahrendorf mengatakan bahwa kekuasaan
dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan, karena mereka yang
memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahankan status quo.
Menurut Weber, tindakan manusia itu didorong oleh kepentingan-
kepentingan, tetapi bukan saja oleh kepentingan yang bersifat material seperti
dikatakan Marx, melainkan juga oleh kepentingan-kepentingan ideal. Diakui
bahwa orang pertama-tama ingin mengamankan kehidupan materielnya, akan
tetapi ia juga memerlukan makna yang dapat diberikan kepada situasi hidupnya
dan kepada pengalaman pengalaman kehidupan yang konkret. Bagi siapa pun
yang menderita, merasa perlu untuk memahami mengapa dirinya menderita,
demikian pula bagi siapapun yang bahagia, merasakan perlunya memberikan
dasar pembenar bagi kebahagiaannya itu.
Suatu hal yang tidak boleh dilupakan adalah Weber melihat masyarakat
sebagai kenyataan yang sangat kompleks. Weber memang tidak berusaha
menjawab pertanyaan tentang apa yang membuat masyarakat menjadi kompak,
melainkan dia melihat dan menjelaskan bahwa dalam perjalanan sejarah suatu
waktu muncul kekompakan sosial dalam masyarakat, sesudahnya muncul
14

konflik dan perpecahan yang berkeping-keping, kemudian muncul perubahan


sosial dalam suatu institusi sosial. Di dalam masyarakat memang ada saat
dimana konflik muncul, ada saat di mana terjadi integrasi yang sangat baik.
Sepanjang manusia itu adalah seorang individu yang dengan bebas memberikan
arti dan interpretasi terhadap kenyataan yang ada di luarnya, dan sepanjang
tatanan-tatanan yang ada dalam masyarakat itu menuntut penyesuaian dari
individu, maka konflik akan selalu mungkin terjadi (lihat: Lawang, 1986: 33).
Pernyataan-pernyataan Weber itu tentu saja dapat mengingatkan bahwa
konflik adalah suatu realitas sosial yang menyertai kehidupan sosial manusia.
Oleh karena itu, haruslah senantiasa disadari agar kita tidak terbuai dalam
mimpi yang membayangkan keadaan masyarakat tanpa ketegangan, tanpa
percekcokan, ataupun tanpa perang. Konflik itu eksis dan hidup bersama
kehidupan sosial masyarakat.
Asumsi yang mendasari teori konflik antara lain: (1) hubungan sosial
memperlihatkan adanya ciri-ciri suatu sistem, dan di dalam hubungan tersebut
ada benih-benih konflik kepentingan; (2) fakta sosial merupakan suatu sistem
yang memungkinkan menimbulkan konflik; (3) konflik merupakan suatu gejala
yang ada dalam setiap sistem sosial; (4) konflik cenderung terwujud dalam
bentuk bipolar; (5) konflik sangat mungkin terjadi terhadap distribusi sumber
daya yang terbatas dan kekuasaan; dan (6) konflik merupakan suatu sumber
terjadinya perubahan pada sistem sosial.
Weber memiliki pandangan yang jauh lebih pesimistis, bahwa
pertentangan merupakan salah satu prinsip kehidupan sosial yang sangat kukuh
dan tidak dapat dihilangkan. Pada waktu ke depan, masyarakat kapitalis dan
sosialis akan selalu bertarung memperebutkan berbagai macam sumber daya.
Karena itu, konflik sosial merupakan ciri permanen dari semua masyarakat
yang semakin kompleks, tetapi bentuk tingkatan kekerasan yang diambil secara
substansial sangat bervariasi. Weber mengatakan, konflik dalam
memperebutkan sumber daya ekonomi merupakan ciri dasar kehidupan sosial,
tetapi dia berpendapat banyak tipe tipe konflik lain yang terjadi. Weber
menekankan dua tipe. Dia menganggap konflik dalam arena politik sebagai
sesuatu yang sangat fundamental. Kehidupan sosial dalam kadar tertentu
merupakan pertentangan untuk memperoleh kekuasaan dan dominasi oleh
sebagian individu dan kelompok tertentu terhadap yang lain, dan dia tidak
menganggap pertentangan untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Sebaliknya, dia melihat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan
15

tidak terbatas pada organisasi-organisasi politik formal, tetapi juga terjadi pada
setiap tipe kelompok, seperti organisasi keagamaan dan pendidikan.
Tipe konflik kedua yang sering sekali ditekankan oleh Weber adalah
konflik dalam hal gagasan dan cita-cita. Dia berpendapat, orang sering
tertantang untuk memperoleh dominasi dalam hal pandangan dunia mereka,
baik itu berupa doktrin keagamaan, filsafat sosial, ataupun konsepsi tentang
bentuk gaya hidup kultural yang terbaik. Lebih dari itu, gagasan dan cita-cita
tersebut bukan saja hanya dipertentangkan, melainkan dijadikan senjata atau
alat dalam pertentangan lainnya, misalnya pertentangan politik. Jadi, orang
dapat berkelahi untuk memperoleh kekuasaan, dan pada saat yang sama
berusaha saling meyakinkan satu sama lain bahwa bukan kekuasaan itu yang
mereka tuju, melainkan kemenangan prinsip-prinsip yang secara etis dan
filosofis benar. Jadi, Weber berpendapat bahwa gagasan bukan semata hasil
dari kondisi-kondisi material yang ada, melainkan keduanya memiliki
signifikansi kausalnya sendiri-sendiri.
Teori konflik melihat kapan dan bagaimana mereka menciptakan
solidaritas, kapan mereka mendominasi dengan cara memberikan undang-
undang, dan kapan semua proses itu disusun sehingga melahirkan suatu
perlawanan. Weber menganalisis dominasi dalam perkumpulan buruh hingga
proses pengontrolan perjuangan yang tersembunyi. Analisis itu dilanjutkan
oleh Dahrendorf tahun 1950-an dengan berusaha menggeneralisasikan pada
model konflik organisasi.
Proposisi-proposisi yang menyangkut tentang konflik menurut Weber
antara lain:

1. Semakin besar derajat kemerosotan legitimasi politik penguasa, maka


semakin besar kecenderungan timbulnya konflik antar kelas atas dan
bawah.
2. Semakin kharismatik pimpinan kelompok bawah, semakin besar
kemampuan kelompok ini memobilisasi kekuatan dalam suatu sistem,
maka semakin besar tekanan kepada penguasa lewat penciptaan suatu
sistem undang-undang dan sistem administrasi pemerintahan.
Semakin besar sistem perundang-undangan dan administrasi pemerintahan
mendorong dan menciptakan kondisi terjadinya hubungan antara kelompok-
kelompok sosial, kesenjangan hierarki sosial, rendahnya mobilitas vertikal,
semakin cepat proses kemerosotan legitimasi politik penguasa, dan semakin
16

besar kecenderungan terjadinya konflik antara kelas atas dan kelas bawah
(Zamroni, 1992: 31).

3. TEORI KONFLIK PERSPEKTIF GEORGE SIMMEL


Simmel melihat dalam kehidupan sosial, bahwa individu tidak hanya
mau melibatkan diri dalam konflik, tetapi bersemangat untuk berkonflik. Kalau
isu-isu yang penting tidak ada, orang mau berkonflik karena isu yang kecil atau
sepele. Simmel membedakan antara konflik orang per orang secara langsung
dan persaingan. Persaingan tidak perlu kontak antar pribadi secara langsung,
sebaliknya mereka yang bersaing berjuang sendiri sendiri untuk tujuan bersama
dengan antagonisme yang muncul dari kenyataan bahwa keuntungan seseorang
merupakan kerugian bagi pihak lain. Simmel mengatakan, kalau hubungan
intim mungkin cukup kuat untuk memungkinkan percekcokan atau malah untuk
hidup bersama, maka tidak mengherankan bahwa intensitas konflik sering
berbanding langsung dengan tingkat solidaritas atau persamaan dalam
hubungan itu.
Perspektif Simmel mengenai konflik dan persatuan sebagai alternatif,
kecuali sama pentingnya merupakan suatu alternatif yang menjembatani Marx
yang memusatkan pada konflik sosial dengan Durkheim yang memberikan
tekanan pada integrasi dan solidaritas sosial.
Simmel mengatakan bahwa ungkapan permusuhan di dalam konflik
membantu fungsi-fungsi positif, sepanjang konflik itu dapat mempertahankan
perpecahan kelompok dengan cara menarik orang- orang yang sedang konflik.
Jadi, konflik itu dipahami sebagai suatu alat yang berfungsi untuk menjaga
kelompok sepanjang dapat mengatur sistem-sistem hubungan.

4. TEORI KONFLIK PERSPEKTIF LEWIS A COSER


Konflik tidak hanya berwajah negatif, konflik memiliki fungsi positif
terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya.
Sehingga Coser bersikukuh pada fungsi konflik sosial dalam sistem sosial,
yakni dalam hubungan kelembahan yang kaku, perkembangan teknis, dan
produktivitas, lalu memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan
sosial. Sejatinya, Coser menolak adanya paham bahwa hanya konsensus dan
kerjasama yang memiliki fungsi terhadap integrasi sosial. Lewis A. Coser
membagi konflik menjadi dua tipe, yakni konflik realistik dan non realistik.
Konflik realistik mempunyai sifat materi, contohnya perebutan sumber
ekonomi atau wilayah. Bila diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik segera
17

diatasi dengan mudah. Sedangkan konflik non realistik dipicu oleh keinginan
yang tidak rasional atau bersifat ideologis, seperti konflik antar agama, antar-
etnis, antar-kepercayaan, dan lain sebagainya. Konflik non realistik merupakan
suatu cara menurunkan ketegangan atau mempertegas identitas suatu
kelompok, dengan cara tersebut dapat mewujudkan bentuk kekejaman yang
turun dari sumber lain. Konflik non realistik cenderung lebih sulit untuk
menemukan perdamaian dan tidak akan mudah untuk mendapatkannya.
Melalui buku The Function of Social Conflict tahun 1957, Lewis A.
Coser memberikan perhatian kepada konflik eksternal dan internal. Konflik
eksternal menimbulkan manifest identitas kelompok. “Menurutnya, konflik
membuat batasan antar kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat
kesadaran, dan kesadaran kembali atas keterpisahan sehingga menciptakan
kesadaran identitas dalam sistem” . Sedangkan kelompok eksternal menjadi
sebuah proses refleksi kelompok identitas mengenai kelompok di luar mereka,
maka akan meningkatkan partisipasi setiap anggota terhadap pengorganisasian
kelompok. Kelompok identitas di luar mereka ini disebut “negative reference
group”.

5. TEORI KONFLIK PERSPEKTIF RALF DAHRENDORF


Ralf Dahrendorf, teori yang dia bangun merupakan hasil teori dengan
dasar untuk menentang secara objektif terhadap teori fungsional struktural yang
dimana teori tersebut kurang memperhatikan fenomena konflik dalam suatu
masyarakat. Ralf Dahrendorf adalah seorang sosiolog berkebangsaan Jerman
lahir pada tanggal 1 Mei 1929, ia adalah pengembang teori konflik
kontemporer.
Walaupun demikian, teori konflik Dahrendorlf melibatkan suatu
pandangan kritis terhadap pemikiran marxisme, ia membangun teori ini dengan
separuh penolakan dan separuh penerimaan dengan memodifikasi teori sosial
menurut Marx. Berbicara mengenai masyarakat yang kompleks, Dahrendorf
menganalisis tentang konflik antar kelompok yang terkoordinasi (imperaticelu,
coordinate, assosiation), dan tidak menganalisis tentang perjuangan kelas lalu
elit dominan seperti yang dilakukan oleh Marx.
Bagi Dahrendorf konflik muncul melalui relasi – relasi sosial dalam suatu
sistem. Setiap individu maupun kelompok yang tak terhubung dalam suatu
sistem tak akan mungkin terlibat dalam konflik. Dahrendorf menyimpulkan
sebagai “integrated into a common frame of reference”. Ia menyebutkan bahwa
18

unit analisis dalam sosiologi konflik adalah keterpaksaan yang menciptakan


kelompok – kelompok sosial bisa bersama sebagai suatu sistem sosial.
Seperti yang dikatakan oleh Dahrendorf, dengan kekuasaan inilah tercipta
kelompok penguasa dan kelompok yang dikuasai yang dimana hubungan ini
menimbulkan asosiasi yang berkontradiksi satu sama lain sehingga timbul
konflik. Timbulnya konflik ini dikarenakan oleh konsensus antar kelompok.
Konsensus ini berpotensi menimbulkan konflik karena kedua kelompok ini
mempunyai kepentingan yang berbeda. Kemudian Dahrendorf membedakan
kelompok menjadi 3 tipe:
Kelompok Semu
Kelompok Kepentingan
Kelompok Konflik
Kelompok semu adalah sejumlah pengisi kepentingan yang serupa, tetapi
kelompok ini belum menyadari keberadaannya. Kelompok ini termasuk
kelompok kedua, yaitu kelompok kepentingan. Dengan kepentingan
tersebutlah melahirkan kelompok ketiga yakni kelompok konflik. Dan
selanjutnya, di dalam kelompok tersebut memiliki dua perkumpulan, yaitu
kelompok yang berkuasa (atasan) dan kelompok yang dikuasai (bawahan).
Dalam hakikatnya kedua kelompok ini memiliki tujuan yang berbeda, sehingga
kelompok yang diatas ingin mempertahankan status Quo demi kepentingan
kelompoknya. Namun pada akhirnya menurut Dahrendorf, mereka ada juga
yang akan dipersatukan oleh kepentingan yang sama.
Dahrendorf menyebut teori konflik dirinya sebagai sosiologi konflik
dialektis yang menjelaskan proses terus-menerus distribusi kekuasaan dan
wewenang dalam kelompok-kelompok terkoordinasi. Sehingga dalam realitas
sosial, dahrendorf menuturkan bahwa siklus tak berakhir dari adanya konflik
wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem
sosial.
Teori sosial Dahrendorf berfokus pada kelompok kepentingan konflik
yang berkaitan dengan kepemimpinan, ideologi, dan komunikasi di samping
tentu saja berusaha melakukan berbagai usaha untuk menstrukturkan konflik
itu sendiri, mulai dari proses terjadinya hingga intensitasnya dan kaitannya
dengan kekerasan. Jadi bedanya dengan fungsionalisme jelas, bahwa ia tidak
memandang masyarakat sebagai sebuah hal yang tetap (statis), namun
senantiasa berubah oleh terjadinya konflik dalam masyarakat. Dalam menelaah
konflik antara kelas bawah dan kelas atas misalnya, Dahrendorf menunjukkan
19

bahwa kepentingan kelas bawah menantang legitimasi struktur otoritas yang


ada.
Kepentingan antara dua kelas yang berlawanan ditentukan oleh sifat
struktur otoritas dan bukan oleh orientasi individu pribadi yang terlibat
didalamnya. Individu tidak harus sadar akan kelasnya untuk kemudian
menantang kelas sosial lainnya. Ralf Dahrendorf membicarakan tentang
konflik antara kelompok-kelompok terkoordinasi dan bukan analisis
perjuangan kelas. Sehingga tatanan sosial menurut Dahrendorf, dipelihara oleh
proses penciptaan hubungan-hubungan wewenang dalam bermacam-macam
tipe kelompok terkoordinasi yang ada hingga seluruh lapisan sistem
sosial. Kekuasaan dan wewenang adalah sumber langka yang membuat
kelompok-kelompok saling bersaing. Resolusi dalam konflik antara kelompok-
kelompok itu adalah redistribusi kekuasaan, atau wewenang, kemudian
menjadikan konflik itu sebagai sumber dari perubahan dalam sistem sosial.
Selanjutnya sekelompok peran baru memegang kunci kekuasaaan dan
wewenang dan yang lainnya dalam posisi di bawahnya yang
diatur. Redistribusi kekuasaan dan wewenang merupakan pelembagaan dari
kelompok peranan baru yang mengatur (ruling roles) versus peranan yang
diatur (ruled roles),dimana dalam kondisi khusus kontes perebutan
wewenang akan kembali muncul dengan inisiatif kelompok kepentingan yang
ada, dan dengan situasi kondisi yang bisa berbeda. Sehingga kenyataan sosial
merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial. Konflik
sosial dalam teori ini berasal dari upaya merebut dan
mempertahankan wewenang dan kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial
yang ada di dalamnya. Hanya dalam bentuk wewenang dan kekuasaan yang
bagaimanakah konflik tersebut dapat digambarkan. Jadi asumsi teori
Dahrendorf adalah teori pemaksaan yang berasumsi bahwa dimanapun bisa
terjadi perubahan sosial, konflik sosial, pemaksaan dan kontribusi tiap-tiap
elemen itu terhadap perubahan dan disintegrasi masyarakat. Asumsi itu
merupakan dasar paradigma konflik masyarakat. Dengan menerima model
realitas sosial ini, Dahrendorf berasumsi bahwa kelompok dalam masyarakat
perlu dikoordinasikan (seperti hubungan antar anggota masyarakat).
20

2. 3 PERSAMAAN DAN PERBEDAAN STRUKTURAL FUNGSIONAL DAN


TEORI KONFLIK
Teori konflik memiliki perbedaan yang sangat tajam dengan teori fungsional.
Strukturalisme dalam tradisi fungsionalisme berbeda sama sekali dengan analisis yang
dikembangkan oleh strukturalisme dalam tradisi konflik. Pada teori fungsionalisme
struktural yang ditekankan adalah integrasi, persamaan nilai, dan stabilitas
sosial.sedangkan pada struktural konflik yang ditekankan justru pertentangan,
hubungan superordinasi dan subordinasi, perbedaan kekuasaan dan perubahan sosial.
Perbedaan antara keduanya terletak dalam asumsi mereka yang berbeda-beda
tentang elemen-elemen pembentuk masyarakat itu. Menurut teori fungsionalisme
struktural, elemen- elemen itu fungsional sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa
berjalan secara normal. Sedangkan bagi teori konflik, elemen-elemen itu mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda sehingga mereka berjuang untuk saling mengalahkan
satu sama lain guna memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Perbedaan Asumsi dan metode analisis menjadikan Perbedaan yang sangat
tajam antara Teori Fungsional dan teori konflik juga dapat dilihat dalam pandangan
mereka tentang masyarakat. Teori fungsional melihat masyarakat dan lembaga-
lembaga sosial yang ada sebagai suatu sistem di mana bagian satu dan yang lain saling
berhubungan dan bekerjasama menciptakan keseimbangan. Teori fungsional
beranggapan masyarakat itu sendiri akan menciptakan cara-cara yang bisa mengontrol
konflik tersebut.
Berbeda dengan pandangan teori fungsional, teori konflik melihat masyarakat
sebagai suatu arena di mana kelompok satu dengan yang lain saling bertarung
memperebutkan “power” dan “control”, yang bagi teori konflik berarti satu kelompok
mampu menjinakkan kelompok yang lain. Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok
seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan
kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan
memelihara dominasinya. Perjuangan merebut, mengembangkan dan mempertahankan
kekuasaan terus menerus berlangsung. Stabilitas hanya terjadi sesaat yaitu tatkala
dominasi suatu kelompok harus memelihara keseimbangan kekuasaan dengan
kelompok lain. Sesudah itu konflik sosial mewarnai kehidupan lagi.
Kedua teori sosial yang berada dalam lingkup paradigma fakta sosial ini (teori
struktural fungsional dan teori struktural konflik), sebenarnya memiliki sejumlah
persamaan sekaligus pula perbedaan. Menurut Hotman Siahaan (2001), persamaan
kedua teori ini terletak pada objek atau sasaran studinya. Dalam hal ini, baik teori
struktural fungsional maupun teori struktural konflik sama-sama mengkaji struktur
sosial dan pranata sosial dalam masyarakat. Perbedaan kedua teori ini terletak pada
21

asumsi teoritis yang digunakan oleh masing-masing teori, sebagaimana telah dijelaskan
di muka.
1. Asumsi teoritis struktural fungsional:
a. Masyarakat terbentuk atas dasar konsensus warga masyarakat.
b. Anggota masyarakat memiliki komitmen bersama tentang value, norms,
dan kebudayaan yang harus ditaati dan dipelihara bersama.
c. Hubungan antar-anggota masyarakat bersifat kohesif.
d. Lebih mengutamakan solidaritas antar warga masyarakat.
e. Memelihara hubungan resiprositas antar warga masyarakat.
f. Otoritas pemimpin didasarkan pada legitimasi warga masyarakat.
g. Masyarakat menjaga ketertiban sosial (social order) dalam hidup
bersama.
2. Asumsi teoritis struktural konflik:
a. Masyarakat terbentuk atas dasar konflik kepentingan.
b. Dorongan anggota-anggota masyarakat menghasilkan perubahan.
c. Hubungan antar warga masyarakat bersifat divisive.
d. Ciri oposisi lebih menonjol dalam hubungan sosial.
e. Konflik struktural menjadi bagian dari perubahan sosial dalam
masyarakat.
f. Masyarakat juga ditandai oleh diferensiasi sosial yang semakin
berkembang.
g. Social disorder menyebabkan masyarakat menjadi dinamis.
Teori Struktural Fungsional dan Teori Konflik tentu mempunyai beberapa
persamaan,yaitu sebagai berikut:
1.Fokus pada Struktur Sosial Kedua teori ini fokus pada struktur sosial
dan bagaimana struktur ini mempengaruhi masyarakat. Teori struktural
fungsional memandang struktur sosial sebagai sesuatu yang memfasilitasi
keseimbangan dan kestabilan dalam masyarakat. Disisi lain, teori konflik
melihat struktur sosial sebagai sumber ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang
mendorong konflik antara kelompok-kelompok sosial.
2.Peran dalam Masyarakat Keduanya mengakui peran dan fungsi yang
berbeda dalam masyarakat. Teori struktural fungsional mengatakan bahwa
setiap bagian dari masyarakat memiliki peran tertentu dan bahwa masyarakat
hanya dapat berfungsi secara efektif jika semua bagian berfungsi dengan baik.
Di sisi lain, teori konflik menyatakan bahwa kelompok-kelompok tertentu
dalam masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda dan bertentangan, dan
ini menyebabkan konflik dan ketidakseimbangan dalam masyarakat.
22

3.Pengaruh pada Perubahan Sosial Keduanya juga memperhatikan


pengaruh pada perubahan sosial. Teori struktural fungsional mengatakan bahwa
perubahan sosial terjadi ketika masyarakat tidak lagi berfungsi dengan baik dan
memerlukan perubahan untuk memulihkan keseimbangan. Di sisi lain, teori
konflik mengatakan bahwa perubahan sosial terjadi ketika kelompok-kelompok
sosial yang tertindas memperjuangkan hak mereka dan mencoba meraih
kekuasaan dari kelompok yang mendominasi.
4.Keterkaitan Antara Struktur dan Individu Keduanya mengaku
keterkaitan antara struktur sosial dan individu. Teori struktural fungsional
menyatakan bahwa individu terbentuk dan dipengaruhi oleh struktur sosial di
sekitarnya. Disisi lain, teori konflik mengatakan bahwa individu terlibat dalam
konflik karena perbedaan kepentingan dan perjuangan untuk mengambil alih
kontrol atas struktur sosial. Dalam rangka mengatasi kompleksitas sosial, baik
teori struktural fungsional maupun teori konflik memiliki pendekatan yang unik
dan saling melengkapi satu sama lain. Meskipun Memiliki perbedaan dalam
pandangan mereka tentang struktur sosial, peran dalam masyarakat, pengaruh
pada perubahan sosial, dan keterkaitan antara struktur dan individu, keduanya
menyediakan pandangan yang komprehensif tentang bagaimana masyarakat
berfungsi dan berkembang.
Antitesis terbaiknya ditunjukkan oleh karya Dahrendorf (1958,1959), dalam
karya Dahrendorf tersebut, pendirian teori konflik dan teori fungsional disejajarkan:

Teori Fungsional Teori Konflik

Masyarakat adalah statis atau Setiap masyarakat selalu tunduk pada


masyarakat berada dalam keadaan proses perubahan
berubah secara seimbang

Menekankan keteraturan masyarakat Melihat pertikaian dan konflik dalam


sistem sosial

Setiap elemen masyarakat berperan Berbagai elemen kemasyarakatan


dalam menjaga stabilitas menyumbang terhadap disintegrasi dan
perubahan

Cenderung melihat masyarakat secara Melihat apapun keteraturan yang


informal diikat oleh norma, nilai, dan terdapat dalam masyarakat berasal dari
moral pemaksaan terhadap anggotanya oleh
mereka yang berada diatas
23

Memusatkan perhatian pada kohesi yang Menekankan pada peran kekuasaan


diciptakan oleh nilai bersama dalam mempertahankan ketertiban
masyarakat dalam masyarakat

2. 4 ANALISIS STUDI KASUS JURNAL


Judul : Konflik Petani vs Pengepul Tembakau Desa Prancak Kecamatan
Pasongsongan Kabupaten Sumenep.
Isi Studi Kasus:
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan tentang konflik petani vs
pengepul tembakau desa prancak kecamatan pasongsongan Kabupaten sumenep
(struktural konflik), Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Dimana metode
penelitian ini mengeksplorasi atau memahami definisi yang berasal dari permasalahan
sosial, berfokus pada suatu definisi individual, dan berupaya menerjemahkan
kerumitan dalam persoalan.
Hasil penelitian ini adalah ada banyak sekali mengenai konflik yang dirasakan
para petani Tembakau, terutama mengenai kualitas Tembakau yang dikenal banyak
orang dengan kualitas yang baik di Desa Prancak Kecamatan Pasongsongan Kabupaten
Sumenep. Hasil panen dengan kualitas tinggi ini karena didukung oleh faktor geografis
desa yang terletak di perbukitan dan jauh dari sumber mata air. Tanaman Tembakau
akan menjadi bagus apabila ditanam di daerah gunung (perbukitan) dan daerah tegal
dan juga tidak terkena hujan. Jika terkena hujan, maka daun Tembakau ini akan rusak
dan kehilangan aromanya saat diolah menjadi rokok. Penelitian mengenai konflik
antara petani dengan pengepul Tembakau ini terjadi karena alasan perekonomian
dalam suatu produksi. Dalam produksi tembakau tentu ada alur transaksi sehingga hasil
panen Tembakau ini menjadi laku dan bisa diolah menjadi rokok. Hasil panen
Tembakau Desa Prancak ini salah satu yang diminati oleh produsen rokok. Kualitasnya
yang bagus akan membantu produsen rokok untuk memperoleh bahan dasar produksi
rokok yang ada di Indonesia.
24

BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Setelah memahami uraian di atas, secara singkat dapat disimpulkan sebagai
berikut, Pertama, konflik, sebagaimana konsensus merupakan realitas sosial yang
terdapat di dalam masyarakat. Konflik merupakan unsur dasar kehidupan manusia.
Oleh karena itu, pertentangan tidak dapat dilenyapkan dari kehidupan manusia. Konflik
merupakan perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan berkenaan dengan
status, kekuasaan, dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya terbatas. Teori
konflik merupakan alternatif utama dari fungsionalisme untuk menganalisis struktur
sosial. Konflik dapat bersifat individu, kelompok, ataupun kombinasi dari keduanya.
Tetapi yang pasti, baik yang bersifat intra maupun antarkelompok senantiasa ada di
tempat orang hidup bersama.
Kedua, pihak-pihak yang berselisih sering tidak hanya bermaksud untuk
memperoleh "sesuatu yang diinginkan, melainkan juga memojokkan, merugikan, atau
bahkan saling menghancurkan. Teori konflik memiliki tiga asumsi utama yang satu
dengan yang lainnya saling berkaitan, yaitu: (a) manusia memiliki sejumlah
kepentingan-kepentingan asasi, dan mereka senantiasa berusaha untuk
mewujudkannya; (b) power (kekuasaan) di samping merupakan barang langka, juga
terbagi secara tidak merata sehingga merupakan sumber konflik dan memiliki sifat
memaksa; (c) ideologi dan nilai-nilai merupakan senjata yang digunakan oleh berbagai
kelompok yang berbeda untuk meraih tujuan dan kepentingan mereka masing-masing
Ketiga, jika kalangan fungsionalis beranggapan bahwa setiap elemen sistem
sosial itu memiliki fungsi, dan fungsinya itu merupakan kontribusi positif dalam
menciptakan ekuilibrium, maka tidak demikian bagi kalangan konflik. Kalangan
teoritisi konflik beranggapan bahwa setiap elemen sistem sosial itu mempunyai
kontribusi dalam menciptakan konflik di dalam masyarakat. Jika kalangan fungsionalis
menganggap bahwa perubahan-perubahan yang terjadi di dalam suatu sistem itu
berasal dari luar (extra systemic change), maka kalangan konflik da pat membuktikan
bahwa faktor-faktor internal pun dapat berfungsi sebagai pencipta konflik dan pada
gilirannya menimbulkan perubahan perubahan sosial. Jika kalangan fungsionalis
menganggap norma dan nilai sebagai elemen-elemen dasar dalam kehidupan sosial,
maka bagi kalangan konflik, elemen kehidupan sosial adalah kepentingan. Jika
kalangan fungsionalis menganggap masyarakat senantiasa terintegrasi atas dasar
konsensus pada anggotanya tanpa paksaan, maka sebaliknya bagi kalangan konflik,
paksaan merupakan elemen penting dalam menciptakan ketertiban masyarakat oleh
kelompok atau kelas dominan.
25

Keempat, teori konflik memperhatikan dimensi substratum yang dapat


menyebabkan perbedaan life chance maupun interest yang tidak normatif sifatnya.
Itulah sebabnya kalangan teori konflik tidak berprasangka bahwa gejala instabilitas,
disorder, maupun konflik sebagai suatu fenomena yang bersifat patologis.
Kelima, bagi penganut teori konflik, masyarakat merupakan "arena" dari
berbagai kalangan atau kelompok untuk bertarung memperebutkan "kekuasaan" yang
pada gilirannya dapat digunakan untuk mengontrol bahkan untuk melakukan
penekanan terhadap rival-rival mereka. Latent conflict akan dapat berubah menjadi
manifest conflict apabila kondisi teknis, kondisi politis, dan kondisi sosial memenuhi
syarat.
Keenam, teori konflik menganggap bahwa kehidupan sosial itu menghasilkan
konflik terstruktur, yaitu konflik kepentingan antara lapisan atas dengan lapisan bawah.
Teori konflik beranggapan, bahwa apabila segmen yang lebih lemah (subordinate
segments) semakin menyadari kepentingan kolektif mereka, maka besar
kemungkinannya mereka mempertanyakan keabsahan distribusi sumber-sumber yang
tidak merata. Ada juga yang beranggapan bahwa apabila para anggota subordinate
segments dapat saling menyampaikan keluhan- keluhannya, maka besar kemungkinan
mereka akan menyadari kepentingan kepentingan kolektif mereka. Bahkan ada juga
yang beranggapan apabila subordinate segment dapat mengembangkan kesatuan
sistem-sistem keyakinan, semakin besar kemungkinannya mereka menyadari
kepentingan kolektif mereka. Anggapan lain yang berkembang dalam tataran teori
konflik adalah semakin kecil kemampuan kelompok-kelompok dominan untuk
mengatur proses- proses sosialisasi dan jaringan komunikasi di dalam suatu sistem,
semakin besar kemungkinan terjadinya penyatuan ideologis di kalangan subordinate
groups. Teori konflik juga percaya, bahwa semakin besar derajat kemerosotan
legitimasi politik penguasa, maka semakin besar kecenderungan timbulnya konflik
antara kelas atas dan kelas bawah. Di antara teori konflik ada yang beranggapan bahwa
apabila antara segmen dominan dan subordinate segments semakin terpolarisasi, maka
konflik yang mungkin terjadi akan keras sekali. Apabila demikian halnya, akan
semakin besar perubahan struktural suatu sistem dan redistribusi sumber-sumber.
Terakhir, teori konflik berpendapat, bahwa konflik yang terjadi di dalam
masyarakat tidak semata-mata menunjukkan fungsi negatifnya saja, tetapi dapat pula
menimbulkan dampak positif, misalnya meningkatkan solidaritas dan integrasi suatu
kelompok atau sistem. Kalangan konflik teori mengakui bahwa kesatuan masyarakat
merupakan faktor penting dalam upaya meredam konflik. Katup peredam ini dapat
bersifat kelembagaan maupun berwujud tindakan-tindakan/kebiasan-kebiasaan
(lihat:Sutaryo, 1992;47-51).
26

DAFTAR PUSTAKA

Agung, D. A. G. (2015). Pemahaman awal terhadap anatomi teori sosial dalam


perspektif struktural fungsional dan struktural konflik. Jurnal Sejarah dan Budaya,
9(2), 162-170.

Bernard raho, SVD, (2007) Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prawestasi Pustaka

Coser, Lewis, 1964. The Function of Social Conflict. New York: The Press, A Division
of McMillan Publishing, Co.Inc.
Coser A. Lewis and Bernard Rosenberg. 1975. Sociological Theory. Fourth Edition
Collier-McMillan: International Editions.
Craib, lan. 1986. Teori-teori Sosial Modern dan Parsons Sampai Habermas, Jakarta:
Rajawali Press.
Dahrendorf, Ralf. 1958. “Out of Utopia: Toward a Reorientation of Sociological
Analysis.” American Journal of Sociology 64:115-127. 1959. Op. cit.
Damsar, 2011. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Kencana

David Jary dan Julia jary, 1991, Sosiology Dictionary, Harper Collins, New York.
George Ritzer, (1996) Sociological Theory, New York: The McGraw- Hill Companies.
Horton B. Paul, and Chester L. Hunt. 1987. (Edisi Indonesia); terjemahan Amunuddin
Ram, dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Johnson, P. Doyle, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Edisi Indonesia);
terjemahan Robert M.Z. Lawang Jakarta: PT Gramedia.
Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit FE-
Universitas Indonesia.
Sutaryo. 1992. Dinamika Masyarakat dalam Perspektif Konflik. Yogya karta:
FISIPOL- Universitas Gadjah Mada.
Turner, Jonathan, H. 1974. The Structure of Sociological Theory. Homewod Illionis,
Limited Georgetown, Octario: The Darsey Press.
Turner, H. Jonathan. 1978. The Structure of Sociological Theory, Revised Edition.
Homewood, Illinois Irwin-Dorsey Limited, Georgetown. Ontario: The Dorsey
Press.
Wallace, A. Ruth and Alison Wolf. 1986. Contemporary Sociological Theory, The
Continuing Classical Tradition. Second Edition. New Jersey, Prentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs.
Weber, Max. 2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Suraba ya. Pustaka
Promethea
27

Widyanta, AB. 2002. Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan


George Sommel, (Kata pengantar: St.Sunardi) Kerja sama Yayasan Adikarya
Ikapi dan Ford Foundation, Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Zamroni. 1988. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Jakarta: Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan. Zamroni 1992.
Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Zeitlin,
Irving, M. 1995. Memahami Kembali Sosiologi. (TerjemahaN Ashori dan
Juhanda). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Siahaan, M. Hotman. 2001. Kumpulan Bahan Mata Kuliah Realitas Sosial. (Tidak
diterbitkan). Surabaya: Program Studi Doktor Ilmu Sosial, Program
Pascasarjana-Universitas Airlangga. Sparringa, Daniel T. 2000. "Metode
Penelitan Kualitatif Kumpulan Bahan Kuliah. Buku l-Ver: 1.02. Surabaya:
Fisip Unair.
Kapital. George Ritzer, Sociological Theory, (New York: The McGraw-Hill
Companies,1996), hlm.63-90

Anda mungkin juga menyukai