Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL

Disusun Oleh :

1. Anisa Ayu Nabila Nur Rahmah


2. Olivia Agustina Manaruri
3. Maria Homer
4. Pradita Putra Utama
5. Steven L. Miokbun

Kelompok 1

SMA NEGERI 2 MANOKWARI


Jalan Pertanian Wosi - Manokwari, Papua Barat
Kode Pos : 98312
Telp. (0986) 212418

1
Daftar Isi

BAB I.............................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................3
A. Latar Belakang....................................................................................................3
B. Rumusan Masalah..............................................................................................3

BAB II............................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN..............................................................................................................4
A. Pembentukan Kopkamtib, Penyingkiran Kelompok Pro Soekarno...................4
dan Lahirnya Supersemar.........................................................................................4
B. Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS.........................................6
C. Sidang MPRS.....................................................................................................10
D. Penyelesaian Krisis Politik dan Kebijakan Awal...............................................13

BAB III......................................................................................................................... 19
PENUTUP....................................................................................................................19
A. Kesimpulan.......................................................................................................19

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kurun waktu 1966-1967 terjadi dualisme dalam kepemimpinan nasional. Di
satu pihak Presiden Soekarno yang masih aktif, dan di pihak lain adanya tokoh Jenderal
Soeharto yang memimpin pemerintahan. Hal ini dikarenakan munculnya suatu dokumen
yang hingga saat ini masih kontroversial keberadaannya juga keasliannya. Dengan
mengambil kata kiasan semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang jawa,
dokumen ini disebut Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Kelanjutan dari munculnya dokumen in, maka dunia perpolitikan Indonesia


memasuki era baru yang mana kita sebut sekarang sebagai Orde Baru (Orba). Suatu
pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto. Mantan Pangkokostrad yang dapat berkuasa
hingga 32 tahun.
Sehubungan kondisi dualisme kepemimpinan ini sangat penting, karena merupakan
suatu transisi kekuasaan, maka makalah ini akan menjelaskan mengenai awal terjadinya
dualisme ini. Berawal dari pembentukan kopkamtib sebagai langkah awal Soeharto menuju
ke panggung keeksistensiannya dan diakhiri dengan kebijakan-kebijakan awal ketika
Soeharto disahkan sebagai Presiden.

B. Rumusan Masalah

 Apa latar belakang terbentuknya kopkamtib ?


 Apa latar belakang lahirnya Supersemar ?
 Bagaimana restrukturisasi kabinet dan anggota DPRGR/MPRS ?
 Apa saja isi sidang umum MPRS yang berkenaan pada masa dualisme ?
 Bagaimana penyelesaian krisis politik dan kebijakan yang dikeluarkan masa
dualisme?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Kopkamtib, Penyingkiran Kelompok Pro Soekarno


dan Lahirnya Supersemar
Akibat dari peristiwa suatu gerakan yang menamai diri sebagai G-30-S/PKI. Maka
ketika Presiden Soekarno masih berada di Halim Perdanakusuma tanggal 1 Oktober 1965 ia
mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh Angkatan bersenjata untuk
mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masing-masing dan hanya bergerak atas
perintah. Diumumkan pula bahwa pimpinan Angkatan Darat untuk sementara waktu berada
langsung dalam tangan Presiden / Panglima Tertinggi ABRI, dan untuk melaksanakan tugas
sehari-hari ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamodra. Perintah ini
tidak segera diketahui oleh anggota-anggota ABRI yang berada di luar daerah Halim karena
pada hari itu juga, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto
menyatakan bahwa untuk sementara ia memegang pimpinan Angkatan Darat.

Untuk menyelesaikan kebingungan dua komando ini, maka Presiden Soekarno pada
tanggal 2 Oktober 1965 memanggil semua panglima angkatan ke Istana Bogor. Dalam
pertemuan itu, ia memutuskan bahwa pimpinan AD langsung berada dibawahnya, aspek
militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto. Dan kepada Mayor
Jenderal Soeharto diberi tugas untuk melaksanakan pemulihan keamanan dan ketertiban
yang bersangkutan dengan peristiwa 30 September.
Keputusan ini diumumkan melalui RRI Pusat pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Ini
adalah awal eksistensi Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib).
Setelahnya pada sidang paripurna tanggal 6 oktober presiden soekarno
mengeluarkan pernyataan yang berisi mengutuk G 30 S dan semakin tersingkap fakta bahwa
PKI mendalangi kudeta G 30 S. Bantahan PKI atas keterlibatannya dalam pembunuhan itu
sama semakin tak dihiraukan. Para pemuda antikomunis kini menguasai jalan-jalan,
membakar markas besar PKI di Jakarta pada 8 Oktober.
Menjelang akhir tahun 1965 operasi penumpasan terhadap pemberontakan G 30 S
dapat dikatakan berakhir. Namun penyelesaian maslah politik terhadap peristiwa
tersebut belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno
sesuai dengan janjinya. Akibatnya terjadi erosi kepercayaan rakyat kepada Presiden
Soekarno.
Soekarno tetap berusaha memegang panggung pusat, tetapi magis lamanya tidak
mampu berfungsi lagi. Pada bulan Januari 1966, dia berpidato di radio, menyerukan
semua rakyat untuk mengikutinya, sementara Subandrio menyerukan pembentukan
Barisan Sukarno. Soeharto mengimbangi seruan Subandrio dengan berikrar bahwa dia
tetap setia kepada Soekarno dan meminta kepada semua pendukung setia Presiden untuk

4
mendukung tentara. Walaupun Soeharto mungkin lebih suka melihat Soekarno berfungsi
sebagai tokoh yang memberi legitimasi bagi dominasi tentara, jelas sudah bahwa presiden
tua itu harus disingkirkan.
Memasuki tahun 1966 mulai terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang
mengarah pada dualisme kepemimpinan nasional. Disatu sisi Presiden Soekarno masih
menjabat presiden, namun pamornya semakin jatuh. Rakyat menganggap Soekarno tidak
aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Ditambah lagi
dengan ditolaknya pidato pertanggung jawaban Presiden Soekarno hingga dua kali oleh
MPRS.

Sementara itu Letjen Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar)
dari Presiden Soekarno dan sehari sesudah membubarkan PKI, namanya semakin terangkat.
Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk
kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Presiden Soekarno masih memimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan
tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti inilah yang kemudian berakibat pada
munculnya “DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL”, yaitu Presiden Soekarno
sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Letjen Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan pemerintahan, sedangkan


sebaliknya Letjen. Soeharto lebih banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya Dualisme kepemimpinan nasional ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik
dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya para pendukung Soekarno dan
pendukung Soeharto. Perpecahan inilah yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa.

Pada bulan Februari 1966, Soekarno melakukan usaha terakhirnya untuk


menyelamatkan demokrasi terpimpin. Pada 21 Februari, dia merombak kabinetnya. Dia
memberhentikan Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan menghapus jabatan kepala staf
angkatan bersenjata; Nasution tentu menolak pemecatannya. Omar Dhani dan Subandrio-
dua orang yang diincar tentaradipertahankan sebagai menteri. Sukarno menunjuk Letkol
Imam Sjafei sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan, bos para preman Jakarta. Preman-
preman anti-KAMI pun segera diorganisir.
Kebijakan Soeharto konon menyulut kekerasan di Jakarta, yang pada akhirnya
mendesak Sukarno menyerahkan kekuasaannya pada Soeharto untuk memulihkan
ketertiban. Para pemuda pro-Soekarno dan anti-Soekarno berkelahi di jalan-jalan ibukota.
Kedutaan Amerika diserang oleh pendukung Sukarno pada 23 Februari. Sukarno lalu
melarang KAMI, tetapi para mahasiswa dan penasihat mereka dari kalangan tentara tidak
menghiraukannnya. Sukarno memerintahkan Universitas Indonesia ditutup pada 3 Maret,
tetapi mahasiswa anti-sukarno menduduki kampus, sementara tentara sekutu mereka
menjaga garis luarnya.
Tentara mendorong mahasiswa untuk berdemonstrasi menuntut pelarangan PKI,
membentuk kabinet baru dan reformasi ekonomi. Ekonomi masih berjalan tak menentu,

5
indeks biaya hidup pada bulan Desember 1965-Januari 1966 meningkat 50%. Pada 5 Maret,
Soeharto mengajukan kepada Sukarno daftar menteri yang harus diberhentikan, yang
kemudian ditolak Soekarno.
Pada 11 Maret 1966, permainan manuver halus antara Sukarno dan Soeharto- yang
menghasilkan kekerasan berdarah di ibukota berakhir dengan meyakinkan kemenangan
Soeharto. Soekarno mengadakan pertemuan kabinet di Jakarta, sementara para mahasiswa-
demonstran memadati jalan-jalan. Sukarno mendapat informasi bahwa pasukan tak dikenal
tengah mengepung istana. Maka, dia segera naik helikopter menuju Bogor, ditemani
Subandrio dan Chaerul Saleh. Malam itu, tiga jenderal yang bertindak sebagai utusan
Soeharto pergi ke Bogor dan membujuk Sukarno untuk menandatangani sebuah dokumen
yang memberi Soeharto kekuasaan penuh untuk memulihkan ketertiban, menjalankan
pemerintahan, dan melindungi Presiden atas nama Revolusi. Dengan mengambil kata kiasan
Semar, dewa badut yang paling tangguh dalam wayang Jawa, dokumen ini disebut
Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para
pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan Sukarno yang
marah tapi tak mampu berbuat apa-apa. Pada 12 Maret, PKI dan semua organisasi masanya
dilarang. Pada 18 Maret, Subandrio, Chaerul Saleh, Imam Syafei, dan sebelas menteri
kabinet lainnya ditahan; salah satu anggota kabinet yang menjadi sasaran tentara,
Surachman, lolos tetapi akhirnya terbunuh di Blitar Selatan pada tahun 1968. Chaerul Saleh
mati di penjara pada tahun 1967. Orang-orang yang beraliran Sukarno moderat tidak
ditahan; orang-orang seperti Idham Chalid, Leimena, dan Roeslan Abdulgani tetap berada di
kabinet baru yang dilantik pada 27 Maret. Kabinet ini dipimpin oleh tiga serangkai, yaitu
Soeharto, Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Sultan Hamengkubuwono IX dan
Adam Malik muncul sebagai kalangan sipil paling terkemuka yang mendukung Orde Baru.
Pembersihan tentara dan birokrasi kini dimulai. Sekitar 2.600 pasukan Divisi
Diponegoro dibebastugaskan, diskors, dipecat, atau ditertibkan, dan banyak yang lainnya
ditahan. Sebagian perwira tentara anti-PKI tetapi pro-Soekarno dipindahkan dari komando
strategis pada bulan Mei.

B. Restrukturisasi Kabinet dan Anggota DPRGR/MPRS


Pada akhir Maret 1966 kabinet baru terbentuk yang dipimpin oleh tiga serangkai
Soeharto, Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memegang bidang ekonomi, dan Adam
Malik sebagai Menteri Luar Negeri , terdapat masalah yang harus diawasi dengan hati-hati,
yaitu dalam hal memperoleh persetujuan dari presiden Soekarno, yang masih diperlukan
karena ia sebagai presiden, sedangkan Soeharto ingin menghindari sengketa. Maka tiga
serangkai itu menyerahkan daftar nama anggota kabinet kepada Dewi (Istri ketiga Soekarno)
dan mendesaknya agar Soekarno menandatangani.

6
Pasca berakhirnya tahun 1965 operasi militer penumpasan terhadap G-30-S dapat
dikatakan sudah berakhir. akan tetapi, penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut
belum terlihat adanya tanda-tanda akan dilaksanakan oleh Presiden Soekarno sesuai
dengan janjinya. dengan demikian krisis politik semakin mendalam. Bukan hanya itu,
Pemerintah tidak terbukti mampu memulihkan turunnya ekspor komoditas pertanian
dengan semacam kapitalisme industry nasional. Sebab utama ialah kegagalan dalam
membangun modal yang diperlukan bagi investasi dalam produksi industry serta
penyediaan infrastruktur. Bersamaan dengan pengeluaran pemerintah untuk mendanai
BUMN, terbatasnya kapasitas pemungutan pajak, pemerintah dipaksa menghadapinya
dengan kebijakan inflasi guna membiayai proyek-proyek pengemmbangan serta kebutuhan
di bidang militer.
Pada tanggal 21 Februari, Presiden melakukan reshuffle cabinet yang disebut
sebagai Dwikora yang disempurnakan, ternyata sangat mengecewakan harapan rakyat.
Hal ini dikarenakan disingkirkannya tokoh-tokoh yang menentang G-30-S, seperti A. H.
Nasution, sedangkan Soekarno mengangkat sejumlah orang yang diindikasikan terlibat
dalam G-30-S, seperti Surachman dan Oei Tjoe Tat yang mengakibatkan saat pelantikan
cabinet baru 24 Februari 1966 para demonstran melakukan aksi serentak yang
mengakibatkan salah satu demonstran yang terlibat bentrokan didepan Istana tertembak.
insiden berdarah itu menyebabkan krisis kepemimpinan nasional.
Setelah penandatangan Surat perintah sebelas Maret 1966 yang ditandatangani oleh
presiden Soekarno melahirkan langkah-langkah yang diambil setelah adanya supersemar;
1. Membubarkan PKI dan ormasnya pada 12 Maret 1966
2. Mengamankan menteri-menteri dalam Kabinet Dwikora yang terlibat dalam G-30-
S yaitu, (1) Soebandrio, (2) Dr. Chaerul Shaleh, (3) Ir. Setiadi Reksoprojo, (4) Sumarjo, (5) Oei
Tju Tat,SH, (6) Ir.Surachman, (7) Yusuf Muda Dalam, (8) Armunanto, (9) Sutomo Marto
Pradata, (10) A.Sastra Winata, SH., (11) Mayjen Achmadi, (12) Drs. Mochammad Achadi, (13)
Letkol. Syafei, (14) J.K. Tumakaka, (15) Mayjen Dr. Soemarno.
3. Pengemban Supersemar, pada 18 Maret 1966 menunjuk beberapa menteri
interim guna mengisi pos-pos menteri yang kosong.
Langkah yang dilakukan Soeharto adalah mengadakan pembersihan ditubuh Kabinet
Dwikora yang disempurnakan, yaitu dengan mengadakan sidang DPR-GR yang dihadiri oleh
ratusan mahasiswa yang membacakan nota politiknya. Pada 17 Mei 1966 DPR-GR berhasil
menyusun kepengurusan DPR-GR dan berhasil membersihkan anggotanya dengan memecat
65 anggota yang mewakili Partai Komunis Indonesia.
Sejak tanggal 22 Oktober 1965 sebenamya status keanggotaan DPR-GR yang
mendukung G-30-S dibekukan. Kabinet Dwikora mengalami beberapa kali perombakan
untuk menghilangkan pengaruh menteri yang diduga terlibat G-30-S. Namun tuntutan
terhadap pemerintah untuk melakukan perubahan politik terus berlangsung, seperti aksi
mahasiswa di gedung DPR-GR tanggal 2 Mei 1966. Sebagai reaksi tekanan berbagai pihak,
Presiden Soekamo secara sukarela menyampaikan pidato pertanggungjawaban pada 22 Juni

7
1966, pada saat pelantikan pimpinan MPRS. Namun pidato pertanggungjawaban yang
berjudul "Nawaksara" itu tidak diterima MPRS.

Pidato Pertanggung Jawaban Nawaksara


Dalam sidang umum MPRS pada bulan juni 1966, Presiden Soekarno menyampaikan pidato
pertanggung jawabannya sebagai presiden yang kemudian dikenal dengan nama pidato
Nawaksara. Dalam pidato tersebut hanya sedikit menyinggung tentang peristiwa G 30 S/PKI.
Oleh karena itu, dalam sidang umum pada tanggal 20 Juni hingga 5 Juli 1966, melalui
Ketetapan Nomor V/MPRS/1966, MPRSs meminta Presiden Soekarno agar melengkapi isi
pidato Nawaskara. Permohonan tersebut disampaikan oleh MPRS melalui nota pimpinan
2/Pimp.MPRS/1966. Melalui surat tersebut, pimpinan MPRS meminta Presiden Soekarno
menyampaikan pertanggungjawaban terkait peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi, dan
kemrosotan moral bangsa.

Pidato Pertanggungjawaban Pelnawaksara

Presiden soekarno menyampaikan kembali pidato pertanggungjawaban pada tanggal 10


Januari 1967 di hadapan anggota MPRS dan DPR-GR. Pidato tersebut diungkapkan dalam
surat Presiden RI Nomor 1/Pres/1967  yang kemudian diberi nama Pelengkap Nawaksara
(Pelnawaksara).

Dalam pidato pelnawaksara, Presiden Soekarno menyatakan bahwa MPRS Mandataris MPRS
hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan garis-garis besar haluan negara atau GBHN.
Presiden Soekarno juga berpendapat bahwa pidato nawaksara merupakan laporan
perkembangan pemerintahan yang disampaikan secara sukarela.

Melalui pidato Pelnawaksara Presiden Soekarno juga menolak mempertanggungjawabkan


peristiwa G 30 S/PKI, kemunduran ekonomi dan kemerosotan moral bangsa secara sendirian.
Pidato Pelnawaksara yang disampaikan Presiden Soekarno ini pun ditolak oleh MPRS
melalui keputusan pimpinan MPRS Nomor 13/B/1967.

Sejak pertengahan tahun 1966, perkembangan politik nasional semakin kompleks.


Makalah ini diciptakan oleh Jhon Miduk Sitorus. Melalui Tap MPRS No. XIII/MPRS/1966,
Letjen Soeharto ditugasi untuk membentuk Kabinet Ampera. Akibatnya dualisme
kepemimpianan nasional mulai terjadi. Kabinet Ampera dibentuk melalui Keppres No. 163
tanggal 25 Juli 1966 yang ditandatangani Presiden Soekamo.

8
Selanjutnya MPRS mengadakan sidang. Pada 25 Juli 1966 Presiden Soekarno
melaksanakan Ketetapan MPRS No. XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera dan
membubarkan Kabinet Dwikora. Kabinet Dwikora dibangun dalam tiga unsur yaitu :
(1) Pimpinan kabinet: Presiden Soekarno;
(2) Lima orang Menteri Utama yang merupakan suatu presedium;
(3) Anggota kabinet terdiri dari 24 menteri. Tugas pokok kabinet Ampera disebut
"Dwi Dharma" yaitu :
(1) mewujudkan stabilitas politik
(2) menciptakan stabilitas ekonomi.

Kabinet Ampera dirombak pada tanggal 11 Oktober 1966, jabatan presiden tetap
Soekarno. Namun, Letnan Jenderal Soeharto diangkat sebagai perdana menteri yang
memiliki kekuasaan eksekutif dalam Kabinet Ampera yang disempumakan.
Melalui Sidang Istimewa pada 7-12 Maret 1967 , Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara berhasil merumuskan ketetapan Nomor : XXXIII/MPRS/1967 yang berisi hal-hal
sebagai berikut:
(1) Mencabut kekuasaan pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno; (2) Menarik
kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno dengan segala kekuasaannya sesuai UUD
1945; (3) Mengangkat pengemban Tap Nomor IX/MPRS/1966 tentang supersemar itu
sebagai pejabat presiden hingga terpilihnya presiden menurut hasil pemilihan umum. Pada
akhir Sidang Istimewa MPRS, 12 Maret 1967, Jenderal Soeharto dilantik dan diambil sumpah
oleh Ketua MPRS Jenderal TNI Abdul Haris Nasution.
(2) Masyarakat luas yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan partai politik,
organisasi massa, perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara kompak
membentuk kesatuan aksi dalam bentuk Front Pancasila untuk menghancurkan para
pendukung G30-S yang diduga melakukan pemberontakan terhadap negara dengan
menuntut agar ada penyelesaian politik terhadap mereka yang terlibat dalam gerakan
pemberontakan tersebut. Kesatuan aksi ini kemudian terkenal dengan sebutan angkatan 66
antara lain Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita Indonesia
(KAWI), dan lain-lain.

C. Sidang MPRS
Selama masa dualisme kepemimpinan muncul sidang-sidang MPRS yang berkaitan
dengan perubahan-perubahan kebijakan yang berkenaan mengenai presiden. selain itu juga

9
muncul suatu sidang istimewa yang membahas mengenai pertanggungjawaban Presiden
Soekarno. lebih detailnya inilah beberapa sidang umum tersebut:

Sidang umum MPRS III / 1965


Sidang Umum Ketiga MPRS dilaksanakan di Bandung pada tanggal 11 - 16 April 1965.
Sidang Umum Ketiga MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor V/MPRS/1965 tentang Amanat Politik
Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS yang berjudul Berdiri di atas Kaki
Sendiri yang lebih dikenal dengan "Berdikari" sebagai Penugasan Revolusi Indonesia
dalamBidang Politik, Pedoman Pelaksanaan Manipol dan Landasan Program Perjuangan
Rakyat Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor VI/MPRS/1965 tentang Banting Stir untuk Berdiri di atas
Kaki Sendiri di Bidang Ekonomi dan Pembangunan;
3. Ketetapan MPRS Nomor VII/MPRS/1965 tentang "Gesuri", "TAVIP" (Tahun Vivere
Pericoloso), "The Fifth Freedom is Our Weapon" dan "The Era of Confrontation" sebagai
Pedoman-pedoman pelaksanakan Manifesto Politik Republik Indonesia;
4. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsp-prinsip Musyawarah
untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga
Permusyawaratan/Perwakilan.

Sidang umum MPRS IV / 1966


Sidang umum Keempat MPRS berlangsung di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 21
Juni sampai dengan 5 Juli 1966 . Pada Sidang Umum Keempat ini, MPRS menghasilkan 24
ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Panglima
Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi /Mandataris
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia;
2. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang kedudukan Semua Lembaga-
lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi Yang di Atur dalam
Undang-undang Dasar 1945;
3. Ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966 tentang Pemilihan Umum;
4. Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Penegasan Kembali Landasan
Kebijaksanaan Politik Luar Negeri Republik Indonesia;
5. Ketetapan MPR Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera;
6. Ketetapan MPRS Nomor XIV/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia-panitia Ad
Hoc MPRS yang bertugas melakukan penelitian Lembaga-lembaga Negara, Penyusunan

10
Bagan Pembagian Kekuasaan diantara Lembaga-lembaga Negara menurut Sistem Undang-
Undang Dasar 1945 dan Penyusunan Perincian Hak-hak Asasi Manusia;
7. Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/ Penunjukan Wakil
Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden;
8. Ketetapan MPRS Nomor XVI/MPRS/1966 tentang pengertian Mandataris MPRS;
9. Ketetapan MPRS Nomor XVII/MPRS/1966 tentang Pemimpin Besar Revolusi;
10. Ketetapan MPRS Nomor XVIII/MPRS/1966 tetang Peninjauan Kembali Ketetapan
MPRS Nomor III/
11. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Produk
produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang tidak sesuai dengan Undang-Undang
Dasar 1945;
12. Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR
mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peratutan
Perundangan Republik Indonesia;
13. Ketetapan MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas
luasnya Kepala Daerah;
14. Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan dan
Kekaryaan.
15. Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan
Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan;
16. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Kebijakan dalam Bidang
Pertahanan Keamanan;
17. Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis
Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik
Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan
atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme;
18. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1966 tentang Pembentukan Panitia Peneliti
Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno;
19. Ketetapan MPRS Nomor XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan dan
Kebudayaan;
20. Ketetapan MPRS Nomor XXVIII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Peningkatan
Kesejahteraan Rakyat;
21. Ketetapan MPRS Nomor XXIX/MPRS/1966 tentang Pengangkatan Pahlawan
Ampera;
22. Ketetapan MPRS Nomor XXX/MPRS/1966 tentang Pencabutan Bintang "Maha
Putera" Kelas III dari D.N. Aidit;

11
23. Ketetapan MPRS Nomor XXXI/MPRS/1966 tentang Penggantian Sebutan "Paduka
Yang Mulia" (P.Y.M) dengan sebutan "Bapak/Ibu" atau "Saudara/Saudari";
24. Ketetapan MPRS Nomor XXXII/MPRS/1966 tentang Pembinaan Pers.

Sidang istimewa MPRS / 1968.


Pada saat Presiden RI/Mandataris MPRS Soekarno menyampaikan pidato
pertangungjawaban di depan Sidang Umum keempat MPRS Tahun 1966, rakyat yang
merasa telah dikhianati oleh peristiwa pemberontakan G30-S/PKI mengharapkan kejelasan
pertangungjawaban Presiden Soekarno mengenai pemberontakan G-30-S/PKI berikut
epilognya serta kemunduran ekonomi dan akhlak. Namun pidato pertanggungjawaban
Presiden Soekarno yang diberi judul " Nawaksara " ternyata tidak memuaskan MPRS sebagai
pemberi mandat. Ketidakpuasan MPRS diwujudkan dalam Keputusan MPRS Nomor 5 Tahun
1966 yang meminta Presiden Soekarno melengkapi pidato pertanggungjawabannya.
Walaupun kemudian Presiden Soekarno memenuhi permintaan MPRS dalam
suratnya tertangal 10 Januari 1967 yang diberi nama "Pelengkap Nawaksara", tetapi
ternyata tidak juga memenuhi harapan rakyat. Setalah membahas surat Presiden tersebut,
Pimpinan MPRS berkesimpulan bahwa Presiden Soekarno telah lalai dalam memenuhi
kewajiban Konstitusional.Sementara itu DPR-GR dalam resolusi dan memorandumnya
tertanggal 9 Februari 1967 dalam menilai "Nawaksara" beserta pelengkapnya berpendapat
bahwa "Kepemimpinan Presiden Soekarno secara konstitusional, politis/ideologis
membahayakan keselamatan bangsa, negara, dan Pancasila".
Dalam kaitan itu, DPR-GR meminta kepada MPRS mengadakan Sidang Istimewa
untuk memberhentikan Presiden Soekarno dari jabatan Presiden/Mandataris MPRS dan
memilih/mengangkat Letnan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden/Mandataris sesuai
Pasal 3 Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966, serta memerintahkan Badan Kehakiman
yang berwenang untuk mengadakan pengamatan, pemeriksaan, dan penuntutan secara
hukum. Berdasarkan permintaan dari DPR-GR, MPRS menyelenggarakan Sidang Istimewa
MPRS di Istora Senayan Jakarta pada tanggal 7 hingga 12 Maret 1967.
Pada Sidang Istimewa ini MPRS menghasilkan empat ketetapan, yaitu:
1. Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan
Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno;
2. Ketetapan MPRS Nomor XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali
Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai
Garis-garis Besar Haluan Negara;
3. Ketetapan MPRS Nomor XXXV/MPRS/1967 tentang Pancabutan Ketetapan MPRS
Nomor XVII/1966;
4. Ketetapan MPRS Nomor XXVI/MPRS/1967 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS
Nomor XXVI/MPRS/1966.

12
D. Penyelesaian Krisis Politik dan Kebijakan Awal
Kecaman dan sindiran Soekarno jelas mempersulit tiga serangkai Soekarno jelas
mempersulit tiga serangkai Soeharto, Sultan Yogyakarta, dan Adam Malik, yang hampir saja
dalam suatu kesempatan berniat mundur. Namun cara Soeharto memperlakukan Soekarno
memang jitu, tidak berniat membawanya ke pengadilan atau tidak membuatnya menjadi
martir dengan cara mencelanya. Sebaliknya ia membiarkan Soekarno mencela dirinya
sendiri dengan sikap dan banyaknya petunjuk mengenai apa yang diketahuinya sebelum PKI
melancarkan kup serta keterlibatan di dalamnya.

Dengan surat perintah 11 Maret 1966 Soeharto mengatasi keadaan yang serba tidak
menentu dan sulit terkendali sebagai dampak peristiwa G-30-S negara dilanda instabilitas
politik akibat tidak tegasnya kepemimpinan Presiden Soekarno dalam mengambil keputusan
atas peristiwa tersebut. Sementara partaipartai politik terpecah belah dalam kelompok-
kelompok yang saling bertentangan, antara penentang dan pendukung kebijakan Presiden
Soekarno. Akan tetapi, setidaknya dengan bekal Supersemar, Soeharto membubarkan PKI
untuk mengisolasi Presiden Soekarno.
Soekarno tidak dapat menahan arus perkembangan yang terus menerus meningkat.
PKI sudah lumpuh dan tentara bertekad menjalankan caranya sendiri. Soekarno menyadari
bahwa ucapan-ucapannya tentang PKI dan lain-lain sudah tidak dipedulikan. Ia masih dapat
mempertahankan kepemimpinannya dalam penampilan, tetapi kekuasaan telah lolos dari
tangannya. Ia tidak dapat lagi menekankan pengaruh pribadinya kepada orang lain. Jalan
Soeharto ke kursi presiden terbentang lebar ketika MPRS melalui Sidang Umum MPRS 20
Juni5 Juli 1966, dalam sidang yang dipimpin oleh ketua MPRS A. H. Nasution, serta wakil
ketua MPRS Osa Maliki, HM Subchan ZE, dan Mashudi, MPRS menyetujui dan memperkuat
Surat Perintah Sebelas Maret 1966 menjadi ketetapan MPRS nomor IX/MPRS/1966.
Saran-saran untuk perbaikan politik dalam negeri juga diajukan oleh UI dalam
kerjasama dengan KAMI dan KASI pada symposium kebangkitan semangat’ 66 Menjelajah
Trace Baru yang diselenggarakan pada tanggal 6 – 9 Mei 1966. Khusus mengenai bidang
politik dalam negeri dengan tema “Indonesia Negara Hukum”, antara lain diingatkan bahwa
pada waktu yang lampau banyak sekali terjadi penyimpangan dari asas-asas serta norma-
norma yang berlaku dalam suatu negara hokum. Peraturan hokum dan pelaksanaannya
tidak mencerminkan jiwa Pancasila.
Kondisi politik negara sudah mulai kondusif namun demikian kristalisasi Orde Baru
belum selesai maka diperlukan penataan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
kerangka Orde Baru. Dengan demikian langkah awal diperlukan stabilitas nasional yang
dinamis untuk mendukung kehidupan politik yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
Kemudian dibuatlah suatu pengertian bahwa Orde Baru adalah tatanan seluruh kehidupan
rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan pada kemurnian pelaksanaan Pancasila dan UUD

13
1945 atau sebagai koreksi terhadap penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dimasa
lampau.
Usaha merintis jalan menuju kepada iklim politik yang stabil berlangsung setelah
keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 yang menghasilkan 24 ketetapan MPRS dan satu
keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
Perjuangan rakyat seperti yang dikemukan para pelajar dan mahasiswa dalam
demonstrasi pada 8 Januari 1966 menuju gedung sekretariat negara dan dilajutkan pada 12
Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila berdemonstrasoi
di depan gedung DPR-GR yang menuntut penyelesaian stabilitas negara pasca peristiwa G-
30-S yang dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) yaitu:
(1) pembubaran PKI beserta organisasi massanya
(2) pembersihan Kabinet DwiKora
(3) Penurunan hargaharga barang.
Pada hakekatnya tuntutan rakyat tersebut merupakan keinginan rakyat yang
mendalam untuk melaksanakan kehidupan bernegara sesuai dengan aspirasi kehidupan
dalam situasi yang kongret. Kemudian direspon oleh MPRS dengan membuat keputusan
sebagai berikut:
(1) Pengukuhan tindakan pengemban surat perintah sebelas maret yang
membubarkan PKI berserta ormas-ormasnya, dengan ketetapan nomor IV/MPRS/1966 dan
nomor IX/MPRS/1966
(2) pelarangan faham dan ajaran Komunisme, Marxisme, Leninsme di Indonesia,
dengan ketetapan nomor XXV/MPRS/1966; (3) pelurusan kembali tertib konstitusional
berdasarkan Pancasila dan tertib hukum dengan ketetapan nomor XX/MPRS/1966.

Pada 20 Pebruari 1967 Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan pemerintahan


kepada Soeharto yang kemudian dikukuhkan di dalam Sidang Istimewa MPRS dalam
ketetapan nomor XXXIII/MPRS/1967 mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari
Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat presiden Republik
Indonesia. Adanya ketetapan ini maka situasi konflik yang merupakan sumber instabilitas
politik nasional telah berakhir secara konstitusional.

Pengunduran Diri Presiden Soekarno

Presiden Soekarno mengundurkan diri dari jabatannya secara resmi pada tanggal 22 Februari
1967. Pengunduran diri presiden soekarno ini berkat saran sahabatnya bernama Mr. Hardi.
Presiden soekarno disarankan agar mengakhiri Dualisme Kepemimpinan yang menjadi akar
konflik politik di indonesia. Selain itu, berakhirnya dualisme kepemimpinan dapat

14
mengembalikan kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu,
Presiden Soekarno harus menentukan sikap untuk menyelesaikan konflik.

Setelah menerima saran tersebut, presiden Soekarno menyusun surat penugasan pimpinan
pemerintahan sehari-hari kepada pemegang mandat Supersemar yaitu Jenderal Soeharto.
Presiden Soekarno juga menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto yang dititipkan
melalui Mr Hardi. Mr Hardi menyampaikan pesan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal
Soeharto pada tanggal Februari 1967. Selanjutnya pada tanggal 8 februari 1967 Jenderal
Soeharto membahas surat tersebut bersama 4 Panglima ABRI. Menurut Jenderal Soeharto
dan empat Panglima ABRI, surat penugasan yang dibuat Presiden Soekarno tersebut tidak
bisa menyelesaikan konflik.

Pengangkatan Jenderal Soeharto Menjadi Presiden

Pada tanggal 10 Februari 1967 Jenderal Soeharto mengajukan draft yang berisi pernyataan
bahwa presiden berhalangan atau menyerahkan kekuasaan pada pengembangan mandat
Supersemar. Awalnya draft tersebut ditolak oleh Presiden Soekarno. Akan tetapi, sikap
Presiden Soekarno melunak dan bersedia menandatangani draft tersebut pada tanggal 20
Februari 1967. Pada tanggal 22 februari 1967 pukul 19.30, Presiden Soekarno resmi
mengundurkan diri sebagai presiden Indonesia.

Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7 sampai 12 Maret 1967
menghasilkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967. Melalui ketetapan tersebut, MPRS
menarik mandat Presiden Soekarno atas segala kekuasaannya dalam pemerintahan di
Indonesia. MPRS selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden
menggantikan Presiden Soekarno. Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden
dilakukan oleh ketua MPRS Jendral A.H. Nasution pada tanggal 12 maret 1967.

Setelah setahun menjabat sebagai presiden, Jenderal Soeharto dilantik menjadi Presiden
Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan Nomor XIIV/MPRS/1968. Berdasarkan ketetapan
MPRS tersebut, Presiden Soeharto menjabat sebagai presiden RI hingga terpilih menjadi
presiden oleh MPRS hasil pemilu. Presiden Soeharto resmi dilantik sebagai presiden RI pada
tannggal 27 maret 1968. Pelantikan Presiden Soeharto ini menandai dimulainya periode orde
baru.

Pada awal Maret 1967, sidang istimewa MPRS selama lima hari, yang dipimpin
Jenderal Nasution, menerima laporan resmi dari komite bentukan MPRS mengenai
peranan Soekarno dalam peristiwa Gestapu. Dengan Suara bulat, Sukarno dilepaskan dari
semua kekuasaannya, dan Soeharto diangkat menjadi Pejabat Presiden. Dengan demikian
berakhirlah masa delapan belas bulan dualisme dalam pemerintahan. Kemudian, ketika
keterlibatan Sukarno dalam peristiwa Gestapu kelihatan melalui kesaksian (para terpidana)
di depan Mahmilub (Makhamah Militer Luar Biasa), ia diperbolehkan tinggal di Bogor di
dalam tahanan rumah. Selanjutnya sampai meninggalnya di tahun 1970 pada usia 69 tahun,
hidupnya ditempat penyucian (purgatory) tidak dapat diketahui secara jelas, kecuali bahwa
ia tinggal bersama seorang istri, Hartini, yang dulu berkumpul bersamanya pada akhir
minggu.

15
Politik
Usaha penataan kembali kehidupan politik pada awal 1968 dengan penyegaran
anggota DPR-Gotong Royong yang bertujuan untuk menumbuhkan hak-hak demokrasi dan
mencerminkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Komposisi anggota DPR
terdiri dari wakil-wakil partai politik dan golongan karya. Kemudian dilanjutkan pada tahap
penyederhanaan kehidupan kepartaian, keormasan, dan kekaryaan dengan cara
pengelompokan partai-partai politik dan golongan karya. Usaha ini dimulai tahun 1970
dengan mengadakan serangkaian konsultasi dengan pimpinan partai-partai politik. Hasil
konsultasi itu maka muncullah tiga kelompok di DPR yaitu:
(1) Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari partai politik PNI, Parkindo,
Partai Katolik, IPKI, dan Murba;
(2) Kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari partai politik Partai NU,
Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan Perti;
(3) Kelompok organisasi profesi seperti organisasi buruh, organisasi pemuda,
organisasi petani dan nelayan, organisasi seniman, dan lain-lain yang tergabung dalam
kelompok Golongan Karya.
Ada tiga masalah nasional selama tahun terakhir masa transisi (1 Januari – 26 Maret 1968);
1. memperkuat sistem konstitusional, menegakkan hokum, dan menumbuhkan kehidupan
demokrasi yang sehat sebagai syarat mewujudkan stabilisasi politik
2. melaksanakan pembangunan lima tahun yang pertama sebagai usaha untuk member isi
kepada kemerdekaan
3. tetap waspada dan sekaligus memberantas sisasisas kekuatan laten PKI.
bidang hukum sebagai jaminan objektif untuk normalisasi keadaan mendapat
perhatian. kekuasaan kehakiman serta badan-bdan pengadilan mulai leluasa bergerak
sebagai kekuasaan yang bebas. masih dalam rangka usaha pemurnian dan penertiban
hokum yang berlaku sesuai dengan ketetapan MPRS, telah berhasil dibentuk undang-
undang yang menghapuskan semua produk. demokrasi Terpimpin yang tidak sesuai dengan
Pancsila dan UUD 1945, baik yang berbentuk penetapan presdien maupun perturan
presdien. sebagian dicabut dan sebagian lagi yang materi hukumnya tidak bertentangan
dengan Pancasila dan UUD 1945 diperlukan sebagai UU atau bahan guna membuat UU baru
atau peraturan perundang-undangan yang lain.
Memasuki tahun 1971, suasana politik lebih banyak dicurahkan kepada kegiatan
kampanye menghadapi pemilihan umum yang kedua dalam sejarah RI yang berarti
pemilihan umum pertama pada zaman Orba. pemilihan umum kedua yng dialngsungkan
pada taggal 3 Juli 1971 menghasilkan perhitungan kursi di DPR RI dengan urutan sebagai

16
berikut, Golkar sebagai pemenang pertama memperoleh 227 kursi, NU 56 kursi, dan PNI 20
kursi.

Ekonomi
Stabilisasi berarti pengendalian inflasi, supaya hargaharga tidak melonjak terus
secara cepat, sedangkan rehabilitasi meliputi rehabilitasi secara fisik prasarana, rehabilitasi
ekspor, srta rehabilitasi alat-alat produksi yang banyak mengalami kerusakan. dengan
melaksanakan rehabilitasi bukan berarti pemerintah membuat jalan-jalan baru, melainkan
perbaikan jalan-jalan yang sudah ada dan bukan pula berarti membuat pabrik baru sebelum
pabrik yang ada dimanfaatkan sepenuhnya.
Demikian pula rehabilitasi dib dang ekspor. dalam tahun 1950 ekspor di luar minyak
umi adalah sekitar 500 juta dollar sampai 1 miliar dolar. ekspor tahun 1966 adalah kurang
dari 500 juta dolar tanpa minyak bumi. adanya kemersotan ekspor terus menerus
memerlukan rehabilitasi mengingat bertambahnya penduduk dan kebutuhan impor.
Program di bidang keuangan / moneter adalah menekan inflasi dan peningkatan nilai
rupiah. di bidang produksi ditetapkan prioritas peningkatan produksi sandang pangan
terutama Sembilan bahan kebutuhan pokok dan produksi ekspor serta perbaikan prasarana
produksi. di bidang distribusi ditetapkan program untuk memperlancar distribusi dengan
jalan menertibkan pengawasan dan penguasaan Sembilan bahan kebutuhan pokok,
peningkatan keampuan angkatan darat, laut, dan udara, serta memperlancar komunkasi
baik dalam nehgeri maupun luar negeri.
Guna membulatkan usaha stabilisasi dan rehabilitasi ekonomi serta mempersiap
landasan pembangunan, pemerintah mengesahkan Rencana Undang-Undang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RUU AAPBN 1968) menjadi UU No. 13 Tahun 1967. UU
APBN ini disahkan sebelum tahun anggaran dimulai. hal ini berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. perbedaan lainnya pada tahun-tahun yang lalu digunakan sistem deicit
spending dalam penerimaan dan pengeluaran negara, sedangkan dalam APBN 1967
digunakan prinsip anggaran berimbang atau balanced budget. Prinsip ini berarti bahwa
besarnya belanja negara berimbang dengan besarnya pendapatan negara.

Sosial Budaya
Persoalan lain yang muncul selama fase ini adalah soal pribumi dan nonpribumi.
masalah ini sebenrnya merupakan warisan masa lampau dan pemerintahan mencoba
memecahkannya secara bertahap dengan menjauhkan kemungkinan timbulnya emosi dan
kecenderungan rasial. tantangan lain yang dihadapi pemerintah memasuki tahap
pembangunan ini ialah masalah terbatasnya lapangan pekerjaan. meskipun penanaman
modal asing mulai direalisasi dengan berdirinya pabrik-pabrik yang telah menyerap tenaga
kerja, masalah kesempatan kerja masih merupakan masalah nasional yang dominan.

17
Ideologi
Bidang lain yang mendapat perhatian MPRS ialah masalah pembinaan kesatuan
bangsa. melalui resolusi MPRS No. III/ Res/MPRS/1966 ditetapkan dalam pasal-pasalnya
mengenai penerapan sistem pendidikan pancasila dengan cara-cara:
1. Mengintensifkan pendidikan agama sebagai unsure mutlak untuk nasional dan
character building di semua sekolah dan lembga pendidikan dengan memberikan
kesempatan yang seimbang
2. Melaeang usaha penumbuhan dan pengembangan doktrin-dotrin yang
bertentangan dengan Pancasila, antara lain Marxisme – Leninisme (Komunisme).

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Memasuki tahun 1966 mulai terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang
mengarah pada dualisme kepemimpinan nasional. Disatu sisi Presiden Soekarno masih
menjabat presiden, namun pamornya semakin jatuh. Rakyat menganggap Soekarno tidak
aspiratif terhadap tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Ditambah lagi
dengan ditolaknya pidato pertanggung jawaban Presiden Soekarno hingga dua kali oleh
MPRS.
Sementara itu Letjen Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) dari Presiden Soekarno dan sehari sesudah membubarkan PKI, namanya

18
semakin terangkat. Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS
untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.
Meskipun Presiden Soekarno masih memimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan
dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi seperti inilah yang kemudian berakibat
pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Presiden Soekarno sebagai
pimpinan pemerintahan sedangkan Letjen Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.
Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan pemerintahan, sedangkan
sebaliknya Letjen. Soeharto lebih banyak menjalankan tugas-tugas harian pemerintahan.
Adanya Dualisme kepemimpinan nasional ini akhirnya menimbulkan pertentangan politik
dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya para pendukung Soekarno dan
pendukung Soeharto. Perpecahan inilah yang dapat membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Presiden Soekarno mengundurkan diri dari jabatannya secara resmi pada tanggal 22
Februari 1967. Pengunduran diri presiden soekarno ini berkat saran sahabatnya bernama Mr.
Hardi. Presiden soekarno disarankan agar mengakhiri dualisme kepemimpinan yang menjadi
akar konflik politik di indonesia. Selain itu, berakhirnya dualisme kepemimpinan dapat
mengembalikan kepercayaan dan dukungan rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu,
Presiden Soekarno harus menentukan sikap untuk menyelesaikan konflik.
Dalam sidang istimewa MPRS yang diselenggarakan pada tanggal 7 sampai 12 Maret
1967 menghasilkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967. Melalui ketetapan tersebut,
MPRS menarik mandat Presiden Soekarno atas segala kekuasaannya dalam pemerintahan di
Indonesia. MPRS selanjutnya mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden
menggantikan Presiden Soekarno. Pelantikan Jenderal Soeharto sebagai pejabat Presiden
dilakukan oleh ketua MPRS Jendral A.H. Nasution pada tanggal 12 maret 1967.
Setelah setahun menjabat sebagai presiden, Jenderal Soeharto dilantik menjadi
Presiden Republik Indonesia berdasarkan Ketetapan Nomor XIIV/MPRS/1968. Berdasarkan
ketetapan MPRS tersebut, Presiden Soeharto menjabat sebagai presiden RI hingga terpilih
menjadi presiden oleh MPRS hasil pemilu. Presiden Soeharto resmi dilantik sebagai presiden
RI pada tannggal 27 maret 1968. Pelantikan Presiden Soeharto ini menandai dimulainya
periode orde baru.

19

Anda mungkin juga menyukai