1
2
yang terdiri atas 102 menteri. Kabinet ini disebut ‘Kabinet Dwikora yang
Disempurnakan.’ Akan tetapi, para mahasiswa menyebutnya sebagai ‘Kabinet 100
Menteri.’ Tak ayal lagi, hal ini memicu kekecewaan di kalangan mahasiswa.
Akibatnya, setelah pelantikan kabinet pada 24 Februari 1966, terjadi kembali
demonstrasi dan aksi serentak pengempisan ban-ban mobil. Aksi ini mengakibatkan
bentrok yang menewaskan Arif Rahman Hakim. Di tubuhnya bersarang timah panas
yang dimuntahkan oleh Resimen Cakrabirawa. Ini pulalah yang mengakibatkan
pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).
Serangkaian peristiwa pada akhir tahun 1965 sampai awal tahun 1966
bermuara pada dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Supersemar lahir dari kegentingan situasi yang telah mencapai klimaks. Pada 10
Maret 1966, Sukarno bertemu dengan Front Pancasila dan perwakilan dari partai-
partai politik membahas situasi terkini. Dalam pertemuan tersebut Front Pancasila
mengusulkan agar segera dilakukan pembubaran terhadap PKI. Akan tetapi,
keinginan tersebut tidak terwujud (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).
Keesokan harinya dilangsungkan sidang paripurna Kabinet Dwikora yang
Disempurnakan di Istana Merdeka. Sementara itu, di luar terdapat demonstrasi
mahasiswa yang menyampaikan tuntutan-tuntutan mereka. Ketika Bung Karno
sedang menyampaikan sambutan pembukaan, Brigadir Jendral M. Sabur
(Komandan Resimen Cakrabirawa) masuk ke ruang sidang. Dengan ekspresi agak
panik ia bermaksud memberitahu Brigjen Amirmachmud yang juga hadir dalam
sidang itu, bahwa di sekitar Monas sedang bergerak pasukan tak dikenal yang tidak
mengenakan atribut kesatuan mereka. Berhubung Amirmachmud menolak untuk
keluar, Sabur langsung memberitahu Sukarno. Akibatnya, Sukarno menjadi panik
sehingga menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam II Leimena.
Selanjutnya, Ia bergegas keluar dan bersama Waperdam Soebandrio menuju ke
Bogor dengan menaiki helikopter (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).
Belakangan diketahui bahwa “pasukan liar” tersebut adalah pasukan pimpinan
dari Kolonal Sarwo Edhi Wibowo sejumlah dua kompi yang ditugaskan oleh Kemal
Idris untuk mengamankan para menteri yang diduga terlibat peristiwa 1 Oktober
1965. Kemal Idris mendapat instruksi mengenai pengarahan pasukan tanpa atribut
itu dari Letjen Soeharto.
3
Tak lama setelah kepergian Sukarno ke Bogor, tiga orang Brigadir Jendral yakni
Basuki Rachmat, M. Yusuf, dan Amirmachmud menuju kediaman Soeharto. Di sana
mereka akhirnya ditugaskan untuk menemui Sukarno di Bogor. Dari sinilah kemudian
lahir Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Dokumen ini sampai saat ini masih menyisakan misteri. Hal itu disebabkan
dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde Baru telah hilang secara misterius.
Supersemar berisi pemberian wewenang dari Presiden Sukarno kepada Soeharto
untuk
(1) mengambil segala tindakan jang dianggap perlu, untuk terdjaminnja
keamanan dan ketenangan serta kestabilan djalannja Pemerintahan dan
djalannya Revolusi, serta mendjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan
Pimpinan Presiden/ Panglima Tertinggi/ Pemimpin Besar Revolusi/
mandataris M.P.R.S, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik
Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala adjaran Pemimpin Besar
Revolusi, (2) mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan
Panglima-Panglima angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknja, (3)
supaja melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan
tanggung djawab seperti tersebut di atas.
Ir. Setiadi Reksoprodjo, Sumardjo, Oei Tju Tat, S.H., Ir. Surachman, Jusuf Muda
Dalam, Armunanto, Sutomo Martopradoto, A. Astrawinata, S.H., Mayjen Achmadi,
Drs. Moh Achadi, Letkol Sjafei, J.K. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarno.
Kedudukan Supersemar semakin menguat ketika dikukuhkan menjadi
Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti
ABRI/PBR/Mandataris MPRS. Ketatapan ini dikeluarkan bersama 23 ketetapan lain
dalam sidang umum MPRS IV pada 20 Juni 1966 sampai 5 Juli 1966. Pada sidang
umum itu pula Sukarno membacakan pidato berjudul Nawaksara (nawa = sembilan,
aksara = pasal). Pidato yang sering dianggap sebagai pertanggungjawaban presiden
ini ternyata dianggap tidak memenuhi harapan karena tidak memuat secara jelas
kebihaksanaan presiden tentang peristiwa Gerakan 30 September.
Di dalam ketetapan MPRS tersebut diputuskan pula untuk “Mempercayakan
kepada Letnan Jenderal TNI. Soeharto Menteri Panglima Angkatan Darat, pemegang
Ketetapan tersebut, untuk memikul tanggung jawab wewenang yang terkandung
didalamnya dengan penuhkebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai
tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuanBangsa dalam mengemban Amanat
Penderitaan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.”
Posisi Supersemar dikuatkan lagi dengan Ketetapan MPRS No
XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perudangan Republik Indonesia. Di
dalam memorandum tersebut dijelaskan bahwa Supersemar merupakan “kunci
pembuka babak baru dalam sejarah Revolusi Indonesia, merupakan titik balik
kepada dasar Revolusi yang sebernarnya ... surat perintah tersebut merupakan
momentum bersejarah, merupakan suatu detik yang menentukan jalan sejarah
selanjutnya bagi Revolusi Pancasila Indonesia.” Dalam ketetapan tersebut dijelaskan
bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Kemudian perwujudan
dari sumber dari segala sumber hukum itu adalah (1) Proklamasi Kemerdekaan 17
Agustus 1945; (2) Dekrit 5 Juli 1959; (3) Undang-Undang Dasar Proklamasi; (4)
Surat Perintah 11 Maret 1966. Dengan demikian, posisi Supersemar menjadi sangat
kuat, termasuk Soeharto sebagai pemegangnya.
Telah dikukuhkannya Supersemar sering ditandai sebagai pembuka babakan
baru dalam kehidupan bernegara. Babakan sejarah ini sering disebut sebagai Orde
6
Setelah itu, posisi Sukarno semakin terdesak dan melemah. Pada 10 Januari 1967,
Sukarno melalui sebuah surat menyampaikan Pelengkap Nawaksara kepada mimpinan
MPRS. Akan tetapi, hasil rapat pimpinan MPRS pada 21 Januari 1967 menyatakan
bahwa presiden telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusioinal.
Sementara itu DPRGR melalui resolusi dan memorandum tanggal 9 Februari 1967 telah
menolak Nawaksara dan pelengkapnya sebagai suatu pertanggungjawaban dan
menganggap kepemimpinan Sukarno justru membahayakan bangsa. Hal ini kemudian
ditindaklanjuti dengan keluarnya keputusan pimpinan
7
Dalam kabinet yang pertama ini, Soeharto menerapkan sistem reformasi birokrasi.
Reformasi dilakukan dengan menyederhanakan dan penggabungan departemen.
Pada masa itu, hanya terdapat 5 menteri negara dan 18 manteri/pimpinan
departemen yang duduk di dalam kabinet.
Sebagai tindak lanjut Pancakrida, pada 3 Maret 1969 dibentuk Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini bertugas (1)
memulihkan keamanan dan ketertiban dalam hubungan dengan sebab akibat
pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan-kegiatan eksterm dan subversi lainnya; dan
(2) mengamankan kewibawaan pemerintah dan alat-alatnya dari pusat sampai
dengan daerah, untuk menjamin kelangsungan hidup Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Dari sini benih-benih kekuasaan militer semakin mengemuka dan
menjadi pendukung utama Orde Baru (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).
Pemungutan suara dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Pada pemilu ini, partai-partai
politik mendapat 124 kursi di DPR dan Golongan Karya mendapat 261 kursi.
Sementara itu, ABRI mendapat 75 kursi.
14
Pada pemilu kali ini untuk pertama kalinya Golongan Karya berpartisipasi dan
secara luar biasa berhasil keluar sebagai pemenang. Keluarnya Golongan Karya
sebagai pemenang Pemilu disebabkan larangan bagi pegawai negeri untuk
bergabung dalam partai politik sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 12 tahun 1969. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan
keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1970 dan Kepres Nomor 82 tahun
1971 yang melarang seluruh pegawai negeri termasuk ABRI terlibat dalam kegiatan
partai, dan menuntut loyalitas tunggal terhadap pemerintah (Santoso, 1993). Dengan
demikian, suara pegawai negeri tertampung di dalam Golongan Karya (Golkar)
sebagai organisasi non-partai politik. Kondisi ini terus terjadi hingga pemilu 1997.
Pada pemilihan umum selanjutnya, hanya terdapat dua partai politik dan satu
golongan karya. Hal ini merupakan hasil dari penyederhanaan partai politik yang telah
digagas sejak pertemuan antara predisen dengan partai politik pada 27 Februari 1970.
Gagasan penyederhanaan ditindaklanjuti dengan terbentuknya kelompok nasionalis
pada 4 Maret 1970 dan kelompok spirituil pada 14 Maret 1970. Kelompok Nasionalis
terdiri atas PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik. Kelompok ini kemudian
dinamakan kelompok demokrasi pembangunan. Sementara itu kelompok spirituil terdiri
atas NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang menamakan diri kelompok persatuan.
Pada 1973 ke dua kelompok bermetamorfosis menjadi partai politik. Pada 10
Januari 1973 kelompok demokrasi pembangunan menjadi Partai Demokrasi
15
Di tahun 1965, inflasi mencapai 284%, sementara itu nilai tukar rupiah terhadap dolar
meningkat tajam. Pada tahun 1960 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS adalah 45.
Sementara itu, di tahun 1965 melonjak menjadi 10.000. Cadangan emas sebagai
persentase uang beredar menurun drastis. Di tahun 1960 sejumlah 34,6%. Sementara itu
pada 1965 menjadi hanya 0,02%. Hal yang paling parah adalah neraca pembayaran
mengalami defisit sebesar -157 juta dolar. Di masa demokrasi terpimpin, Indonesia
mengalami defisit anggaran yang membengkak dari Rp 6,9 milyar tahun 1960 menjadi
sekitar Rp 1,6 trilyun pada 1965. Jumlah uang beredar melonjak drastis dari Rp 47,8
milyar tahun 1960 menjadi sekitar Rp 3 trilyun di tahun 1965. (Muhaimin, 1991;
Soesastro, dkk. [ed], 2005; van Zanden dan Marks, 2012).
Di awal pemerintahan Soeharto, kondisi perekonomian semakin memburuk. Ia
mendapatkan warisan utang luar negeri sejumlah 2,4 milyar dolar dan laju inflasi
mencapai 20-30% sebulan. Kondisi ekonomi yang parah ini telah mendorong
pemikir ekonomi dari Universitas Indonesia menyelenggarakan simposium pada 6-9
Mei 1966. Hasil simposium merekomendasikan beberapa prinsip sebagai berikut.
(1) Azas keseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan, ekspor dan impor,
arus barang dan arus uang, kesempatan bekerja dan penambahan penduduk;
(2) azas efisiensi dalam penggunaan sumber-sumber ekonomi; (3) azas
keadilan dalam pembagian beban dan pembbagian rezeki; dan (4) azas
perlunya investasi bagi penumbuhan ekonomi. (Soesastro, dkk. [ed], 2005)
Kebijakan awal yang diterapkan oleh Orde Baru mulai menampakan hasilnya.
Laju inflasi yang meroket hingga sekitar 650% dalam tahun-tahun 1965-1966 berhasil
ditekan menjadi 112% pada 1967. Secara berangsur inflasi menurun pada 1968 menjadi
85% dan di tahun 1969 menjadi 10%. Selain itu defisit anggaran dapat dikendalikan,
jika di tahun 1966 defisit terhadap total mencapai 124%, pada tahun berikutnya hanya
3%. Sementara itu pada 1968-1969 mencapai 0%. Selain itu, dalam perundingan Tokyo
(19-20 September 1966) yang kemudian dilanjutkan di Paris (24 April 1970), utang
Indonesia yang seharusnya dibayar tahun 1968 ditunda pembayarannya hingga tahun
1972-1978. Selain itu disepakati pula bahwa utang yang harus dibayar dalam tahun
1969 dan 1970 dipertimbangkan untuk ditunda pemabyarannya dengan syarat yang
sama lunaknya dengan utang yang seharusnya dibayarkan dalam tahun 1968. Dalam
pertemuan Paris bahkan menyepakati bahwa pembayaran pokok dilaksanakan selama
30 tahun, dari tahun 1970-1999. Kemudian pembayaran bunga pinjaman dilakukan
dalam 15 angsuran tahunan mulai tahun 1985. (Muhaimin, 1991; Soesastro, dkk. [ed],
2005; van Zanden dan Marks, 2012).
Setelah perundingan Tokyo, dilakukan kembali perundingan di antara beberapa
negara maju pada 23-24 Februari 1967 di Amsterdam. Tertemuan ini diikuti oleh
negara-negara kreditor seperti Jepang, Perancis, Inggris, Italia, Jeman Barat, Belanda,
dan Amerika Serikat. Petermuan ini kemudian memunculkan konsorsium bernama
Inter-Governmental Group for Indonesia (IGGI) yang memungkinkan Indonesia
memperoleh kredit dengan syarat yang lunak. Dari sini, Indonesia berhasil memperoleh
pinjaman $210 juta (1967), $325 juta (1968), dan $500 juta (1969). Selain itu,
pemerintah juga menjadi anggota badan-badan ekomomi internasional seperti World
Bank, International Monetery Funds (IMF), International Development Agency (IDA),
dan Asian Development Bank (ADB). Dari lembaga ini Indonesia mendapat bantuan
kredit, tenaga ahli, dan rekomendasi untuk menghadapi negara kreditor. (Muhaimin,
1991; Soesastro, dkk. [ed], 2005; van Zanden dan Marks, 2012).
Bantuan luar negeri yang diberikan pada awal Orde Baru memiliki arti penting
terhadap pemulihan ekonomi negara. Pertama, sebagian besar bantuan diberikan dalam
bentuk bantuan program, sehingga dapat digunakan relatif bebas untuk membiayai
impor yang dibutuhkan dan pembentukan dana lokal dari devisa pinjaman
19
itu. Kedua, antuan dalam bentuk komoditi pangan sangat berarti dalam stabilisasi
harga melalui injeksi bahan pangan impor ke pasar.
Keberhasilan yang telah diterapkan di awal Orde Baru telah mendorong
diterapkannya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama. Terhitung sejak
1 April 1969 program dilaksanakan. Repelita I bertujuan untuk menaikkan taraf hidup
rakyat dan sekaligus melatakkan dasar-dasar yang kuat bagi pembangunan nasional
pada tahap selanjutnya. Sasaran dalam Repelita I mencakup aspek (1) pangan, (2)
sandang, (3) perbaikan prasarana, (4) perumahan rakyat, (5) kepuasan tenaga kerja, dan
(6) kesejahteraan rohani. Pada Repelita I, sektor pertanian dijadikan titik pusat
pembangunan melaluji usaha peningkatan produksi pangan, terutama beras dan semua
keiatan lainnya yang menunjang. Pada Repelita I, pertumbuhan ekonomi sangat pesat
mencapai 9,4% per tahun. Jumlah ini jauh di atas target yang hanya mematok angka
5%. Pertumbuhan ini terutama terjadi pada sektor pertanian karena meningkatnya
kegiatan di bidang kehutanan (21,4% per tahun) dan ekspor kayu gelondongan. Selain
itu tingkat produksi barang dan pertambangan juga meningkat. Pesatnya pertumbuhan
ekonomi didorong oleh cepatnya arus masuk modal asing dan peningkatan partisipasi
modal swasta dalam negeri. (Muhaimin, 1991)
Capaian pada Repelita I yang dianggap sebagai keajaiban ekonomi makin
menguatkan dilaksanakannya Repelita II mulai 1 April 1974-31 Maret 1979. Titik fokus
pada Repelita II tidak terlalu berbeda dengan sebelumnya. Hanya saja muncul
perdebatan tentang ketimpangan antara sektor pertanian dan sektor non pertanian,
pembangunan Jawa dan luar Jawa, serta antara penguasa pribumi dan Cina. Hal ini
kemudian memuncak dengan peristiwa 15 Januari 1974 yang memicu ketengangan
politik dalam negeri. Dari sini kemudian muncul konsep tentang pemerataan
pembangunan. Oleh karena itu, dalam Repelita II terdapat program-program yang
ditujukan utnuk memperluas kesempatan kerja, mecapai distribusi penghasilan yang
lebih merata, memperbaiki struktur pasar, menignkatkan pembangunan daerah,
menignkatkan tranmigrasi, memungkinkan partisipasi massa yang lebih besar dalam
pembangunan, dan memberikan perhatian yang lebih besar kepada pendidikan dan
berbagai segi non-ekonomis lainnya. Dalam Repelita II, hasil yang dicapai masih cukup
mengesankan. Sejak 1974-1978, rerata pertumbuhan ekonomi mencapai 7,2% per
tahun. Beberapa faktor yang memungkinkan keberhasilan ekonomi pada Repelita
20
II adalah (1) “boom” minyak bumi dan ekspor kayu gelondongan; (2) terus
mengalirnya bantuan dan modal swasta dalam negeri; dan (3) semakin stabilnya
perekonomian dan sistem politik yang makin terpusat. Dalam pelita II, 74%
peneluaran dapat dibiayai dari pendapatan dalam negeri, sehingga tidak lagi hanya
mengandalkan pinjaman asing. (Muhaimin, 1991; Soesastro, dkk. [ed], 2005; van
Zanden dan Marks, 2012).
Terjadinya boom atau meningkatnya harga minyak dunia pada tahun 1970-dan
awal tahun 1980-an sangat menguntungkan Indonesia. Ini karena 74% nilai ekspor
Indonesia berasal dari minyak. Peningkatan harga minyak pertama-tama terjadi pada
1973/1974 karena embargo negara-negara Arab terhadap negara-negara Barat akibat
mendukung Israel. Kemudian terjadinya revolusi Iran di akhir 1978 turut menaikkan
harga minyak. Harga minyak Indonesia meningkat dari US$ 1,67 per barrel pada
tahun 1970 sampai US$ 35 per barrel pada tahun 1981. Akibat boom minyak yang
pertama, pembangunan sarana fisik menjadi dimungkinkan. Pada fase boom minyak
kedua, dimungkinkan pembangunan sekolah secara massif di berbagai penjuru.
Akibat fenomena ini lebih dari 100 ribu sekolah dibangun, terutama di daerah
pedalaman dan lebih dari 500 ribu guru dipekerjakan. Penghasilan akibat boom
minyak juga membuka peluang untuk membiayai sistem subsidi untuk beberapa
kegiatan di sektor pertanian dan industri yang selama ini kurang efisien. (Wie, 2012)
Pembangunan yang pesat sepanjang periode Repelita I dan II ternyata masih
memunculkan masalah. Masalah tersebut adalah ketimpangan pembangunan. Oleh
karena itu pada Repelita III (1 April 1979-31 Maret 1984), mulai dikembangkan
prinsip Trilogi Pembangunan. Urutan dalam trilogi pembangunan dalam Repelita III
adalah (1) Pemerataan hasil-hasil pembangunan; (2) pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. Dalam Repelita III
dikeluarkan pula konsep tentang “delapan jalur pemerataan” meliputi:
a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak, khususnya pangan,
sandang, dan perumahan;
b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;
c. Pemerataan pembagian pendapatan;
d. Pemerataan kesempatan kerja;
e. Pemerataan kesempatan berusaha;
21
Namun demikian, tampaknya capaian yang diraih pada periode ini tidak setinggi
pada periode sebelumnya. Perkembangan perekonomian Indonesia pada periode
1982-1987 ditandai dengan melemahnya harga minyak dunia pada 1982 dan 1986
yang berakibat pada memburuknya kinerja perekonomian Indonesia. Penurunan
harga minyak disebabkan melemahnya pasar minyak akibat resesi di negara-negara
industri maju. Hal ini terlihat pada pertumuhan ekonomi yang menurun 2,3% pada
1982. Hal ini kemudian disiasati dengan sejumlah kebijakan dari sisi makroekonomi
antara lain penundaan sejumlah proyek besar, reformasi perpajakan, devaluasi
rupiah, deregulasi perbankan, dan deregulasi perdangangan. Oleh karena itu, fokus
dari Repelita IV terutama adalah peningkatan ekonomi dengan pengurangan
ketergantungan atas sektor migas. Di satu sisi, Indonesia masih mendapatkan kredit
dari beberapa negara, terutama Jepang yang akhirnya mampu menaikkan
perttumbuhan ekonomi menjadi rata-rata 5% pada 1988. Secara rata-rata laju
pertumbuhan ekonomi Indoneia pada pelita IV adalah 5,2%. Sementara itu,
pertumuhan ekonomi pada Pelita V (1989-1993) mengalami peningkatan sejumlah
6,7% dengan tingkat inflasi 8,3% (Soesastro, dkk [ed], 2005).
Di awal tahun 1980-an sektor pendidikan mendapatkan perhatian yang baik. Pada
1984 97% dari anak berusia 7-12 tahun tengah mengenyam bangku pendidikan. hal ini
meningkat tajam dari tahun 1973 yang hanya 57%. Selain itu, angka melek huruf
senantiasa meningkat. Sensus penduduk 1980 melaporkan terdapat peningkatan jumlah
penduduk yang melek huruf. 80,4% laki-laki dan 63,6% perempuan di atas 10 tahun
telah melek huruf. Kondisi ini meningkat pada tahun 1990, di mana untuk laki-laki
adalah 89,6% dan perempuan 78,7% (Soesastro, dkk [ed], 2005).
Di akhir tahun 1980-an kondisi perekonomian Indonesia mulai bermasalah,
ketika pada 1985 terjadi perubahan dalam kurs berbagai mata uang asing. Saat itu
terjadi devaluasi tajam dari dollar AS terhadap yen Jepang dan mark Jerman.
Akibatnya, Indonesia harus banyak mengeluarkan dollar AS untuk melunasi utang
22
luar negeri yang sebagian besar (40%) dinyatakan dalam yen. Selain itu, jatuh
tempo pembayaran bunga pinjaman yang disepakati pada 1970 makin memberatkan
kondisi keuangan Indonesia. Selain itu, anak-anak dan kerabat dari Soeharto
menjalankan perusahaan pengumpul uang berskala besar. Perusahaan milik Tommy
Soeharto pada 1992 mengumpulkan pendapatan lebih dari 500 juta dollar AS.
Sementara itu, 70% kegiatan ekonomi swasta berada di tangan keturunan Tionghoa
pada tahun 1990-an. (Ricklefs, 2008)
Berbagai kebijakan deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang dilaksanakan
sejak 1983 sampai dengan pertenganan tahun 1990 telah menyebabkan “boom”
ekonomi, yang kemudian menimbulkan banyak permasalahan baru seperti
meningkatnya utang luar negeri, lemahnya pengawasan perbankan, korupsi kolusi
dan mepotisme (Soesastro, dkk [ed], 2005). Inilah yang kemudian membawa
Indonesia memasuki gerbang krisis di tahun 1997/1998.
Pada Repelita VI, pemerintah terfokus pada pengembangan industri. Selain itu,
program yang juga dipriritaskan adalah peningkatan diversifikasi usaha dan hasil
pertanian serta peningkatan ekstensifikasi dan intesifikasi pertanian yang didukung oleh
industri pertanian. Sejak 1994-1996, laju pertumbuhan ekonomi mengalami
peningkatan. Rata-rata laju pertumbuhan ekonomi di atas 7%. Akan tetapi, pada periode
ini, ternyata Indonesia menjadi negara pengutang terbesar ketiga di dunia. Jumlah
pinjaman swasta telah menjadi substansial. Kemudian kapitalisasi BEJ (Bursa Efek
Jakarta) melebihi aset sektor perbankan. Sementara itu, modal asing mengalir masuk
dalam volume terbesar sepanjang sejarah. (Bhakti, dkk, 1999)
pembelian kurs dollar AS. Akibatnya rupiah terus merosot dan tidak stabil sampai
akhir 1997. (Zon, 2004)
Rupiah yang selama ini berada dalam kisaran Rp 2.500/ US$, kemudian merosot
tajam pada bulan Juli 1997. Pada bulan Agustus, nilai mata uang rupiah sudah menurun
9%. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah yang terus
merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US$. Dari sini rupiah
semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp
17.000/US$, atau kehilangan 85% nilainya. Menguatnya nilai dollar AS berdampak
buruk terhadap neraca pembayaran karena utang luar negeri semakin membengkak
karena dalam dalam bentuk dollar AS. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua
perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan
pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka. Dalam mengatasi masalah itu, Soeharto
mengambil langkah dengan menandatangani perjanjian pemberian utang dengan IMF
(International Monetary Fund). (Zon, 2004)
Ada beberapa faktor yang turut memperparah krisis yang terjadi di Indonesia.
Permasalahan tersebut meliputi (1) besar dan meningkatnya modal swasta, yang
kebanyakan bersifat jangka pendek dan tidak dilindungi; (2) pertambahan yang
cepat dan volalitas (kerentanan) arus masuk modal swasta; (3) kelemahan
manajemen makroekonomi dengan dijalankannya kebijakan nilai tukar mata uang
yang tetap atau semi tetap, sementara terjadi arus modal bergerak yang besar. Di
satu sisi krisis di Thailand telah menyebabkan kepanikan akibat perubahan besar
dalam sentimen. Pelepasan rupiah besar-besaran telah menyebabkan kepanikan
berlipat dalam arus modal (Van Zanden dan Marks, 2012).
Di satu sisi, hasil Pemilihan Umum 1997 menetapkan Golkar sebagai
pemenang dengan 74,5% suara. Hal ini mendorong dicalonkannya kembali Soeharto
yang telah berusia 76 tahun menjadi presiden. Pada 11 Maret 1998 secara aklamasi
Soeharto kembali terpilih didampingi oleh B.J. Habibie. Tak lama berselang pada 14
Maret 1998, dibentuklah kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa kerabat dekat
Soeharto. Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden ditambah dengan kondisi
ekonomi yang kian parah telah mendorong munculnya kekuatan oposisi yang telah
sekian lama dibatasi gerakannya. (Ricklefs, 2008).
24
E. Rangkuman
Selamat, Anda telah berhasil menyelesaikan modul tentang sejarah Indonesia masa
Orde Baru. Dengan demikian, Anda sebagai guru sejarah telah mampu menganalisis
perkembangan sejarah Orde Baru untuk diajarkan kepada peserta didik. Hal-hal
penting yang telah Anda pelajari dalam modul ini adalah sebagai berikut.
27
1. Orde Baru muncul dengan diawali berbagai kekacauan politik, ekonomi, dan
sosial yang terjadi akibat penculikan jenderal pada 1 Oktober 1965. Kondisi ini
telah mendorong munculnya Soeharto untuk mengatasi kondisi dan kemudian
menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Sebagai pengemban
Supersemar, Soeharto menjadi sosok yang kemudian menerima mandat
kekuasaan dan menggantikan kepemimpinan Sukarno.
2. Dalam masa pemerintahannya, Soeharto senantiasa mengutamakan stabilitas
politik. Hal ini menjadi prasyarat terjadinya pembangunan secara lebih tertata.
Akan tetapi stabilitas tersebut dilakukan secara berlebihan, sehingga lebih
mengarah kepada represi dan mengakibatkan partisipasi semu di kalangan
masyarakat di bidang politik.
3. Pembangunan menjadi ciri khas dari pemerintahan Soeharto. Dalam
pemerintahannya, ia telah berhasil memulihkan kondisi yang parah di masa
akhir Demokrasi Terpimpin. Pertumbuhan ekonomi sangat stabil hingga
pertengahan tahun 1990-an. Akan tetapi, terjadinya krisis dan permasalahan
KKN telah menjadi awal kehancuran perekonomian Indonesia.
4. Respon pemerintah yang tidak menghiraukan aspirasi masyarakat telah memicu
munculnya protes secara besar-besaran pada Mei 1998. Protes ini juga yang telah
menyulut terjadinya kerusuhan di berbagai kota. Peristiwa-peristiwa ini pada
akhirnya telah memaksa Soeharto untuk meletakkan jabatan sebagai Presiden
Republik Indonesia.
Secara keseluruhan, perkembangan Orde baru dapat dilihat pada tabel di bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Bhakti, Ikrar Nusa dkk. 1999. Tentara yang Gelisah Hasil Penelitian Yipika tentang
Posisi ABRI dalam Gerakan Reformasi. Jakarta: Peerbit Mizan.
Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakjat tahun 1971. 1971. Jakarta:
Lembaga Pemilihan Umum.
Kartasasmita, Ginandjar dkk. 1995. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat
Negara.
Mackie, Jamie and Andrew MacIntyre. 1994. “Politics”. in Hal Hill (ed). Indonesia’s
New Order, The Dynamics of Socio-Economic Transformation. .NSW, Australia:
Allen & Unwin.
Muhaimin, Yahya A. 1991. Bisnis dan Politik Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-
1980. Jakarta: LP3ES.
Notosusanto, Nugroho (ed). 1985. Pejuang dan Prajurit Konsepsi dan Impelementasi
Dwifungsi ABRI. Jakarta: Penerbit PT Pustaka Sinar harapan.
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (ed). 2010. Sejarah Nasional
Indonesia VI. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Terjemahan. Jakarta:
Serambi.
Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru perspektif Kultural dan
Struktural. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak, P.N.H. 2003. Kabinet-Kabinet Republik Indonesia dari Awal
Kemerdekaan sampai Reformasi. Jakarta: Djambatan.
Soesastro, Hadi dkk. (ed). 2005. Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia
dalam Setengah Abad Terakhir. Jilid II-IV. Yogyakarta: Kanisius dan Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia.
Van Zanden, Jan Luiten dan Daan Marks. 2012. Ekonomi Indonesia 1800-2010 Antara
Drama dan Keajaiban Pertumbuhan. Jakarta: Kompas dan KITLV.
Widiarto, Aan Eko, M. Ali Syafaat, Herman Suryokumoro. 2007. Dinamika Militer
dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Malang: In-Trans Publishing.
Wie, Thee Kian. 2012. “Pembangunan Ekonomi: Pertumbuhan dan Pemerataan. Dalam
Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed). Indonesia dalam Arus Sejarah. Jilid VIII:
Orde Baru dan Reformasi.
Zon, Fadli. 2004. Politik Huru-Hara Mei 1998. Jakarta: Institute for Policy Studies.