Anda di halaman 1dari 7

 Kondisi Awal Pemerintahan Orde Baru

LATAR BELAKANG TRITURA


 Kondisi Indonesia di tahun 1960-an sangat bergejolak. Presiden Soekarno memposisikan
Indonesia berlawanan dengan negara-negara barat. Sikap anti neokolonialisme dan
neoimperialisme menyebabkan Indonesia kehilangan dukungan dari luar negeri di bidang
politik maupun ekonomi. Puncaknya pada 1965, ketika Gerakan 30 September (G30S)
meletus. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dekat dengan Soekarno dituduh bertanggung
jawab atas pembunuhan tujuh jenderal TNI.
Tri Tuntutan Rakyat (atau biasa disingkat Tritura) adalah tiga tuntutan kepada pemerintah
yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
(KAMI). Selanjutnya diikuti oleh kesatuan-kesatuan aksi yang lainnya seperti Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi
Buruh Indonesia (KABI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), Kesatuan Aksi Wanita
Indonesia (KAWI), dan Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI).
 ISI TRITURA
Pada 10 Januari 1966, ribuan mahasiswa bergerak ke Gedung Sekretariat Negara memprotes
ketidakstabilan negara dan menyuarakan tiga tuntutan Tritura.
Tiga Tuntutan Rakyat tersebut mewakili masalah dan sebagai pernyataan sikap tegas atas
kinerja pemerintah kala itu, antara lain:
1. Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI)
 Hal ini bermula dari lambannya pemerintah menindak tragedi berdarah G30S 1965 yang
dituduhkan terhadap partai pimpinan D.N. Aidit tersebut. Empat bulan sejak penculikan dan
pembunuhan beberapa petinggi Angkatan Darat, Soekarno masih juga bimbang mengambil
keputusan tegas. Padahal, gelombang kegeraman masyarakat telah meluas.
Oleh sebab itu, para pemuda dan mahasiswa di Indonesia, terutama di Jakarta yang
sebelumnya sudah memiliki organisasi kemahasiswaan yaitu Perserikatan Perhimpunan
Mahasiswa Indonesia (PPMI), akhirnya terbelah dua. Perbedaan pendapat ini melahirkan
wadah baru di tubuh PPMI, yaitu KAMI atau Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. KAMI
meyakini bahwa orang-orang PKI adalah dalang di balik peristiwa berdarah tersebut. Mereka
menuntut tegas pemerintah untuk segera membubarkan PKI.
 
2. Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S
 Tuntutan terhadap perombakan Kabinet Dwikora muncul lantaran pemerintahan Soekarno
dianggap tidak becus mengendalikan kestabilan sosial-ekonomi yang sedang mengalami
penurunan drastis. Perombakan Kabinet Dwikora juga dituntut karena di tubuh kabinet
tersebut terdapat orang-orang PKI. Padahal, sebagian masyarakat saat itu menghendaki agar
orang-orang PKI segera dibersihkan dari pemerintahan.
 
3. Penurunan Harga
 Tuntutan turunkan harga disebabkan karena kesalahan fatal kebijakan ekonomi pemerintahan
Soekarno. Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 27 untuk mengatur
kembali mata uang rupiah yang diumumkan pada 13 Desember 1965.
Peraturan Presiden ini merupakan inisiatif dari pejabat di Kabinet Dwikora yang
mendevaluasi rupiah dari kurs RP1000 menjadi Rp1. Tindakan ini terpaksa diambil karena di
kebijakan fiskal, mata uang sudah meningkat lima kali antara tahun 1964 dan 1965 yang
sebanyak Rp2.982,4 miliar.
 
 
TOKOH TRITURA
Berikut merupakan beberapa tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI antara lain:
 
Chaerul Saleh
 
 
 
 
 
 

Chaerul Saleh merupakan pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai
menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu
pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (meninggal
1967 sebagai tahanan).
 
D.N. Aidit
 
 
 
 
 
 
 

D.N. Aidit merupakan ketua PKI (meninggal akibat dibunuh pada 1965).
 
 
DAMPAK TRITURA
Demonstrasi terus terjadi sepanjang tanggal 10-13 Januari 1966 hingga desakan Tritura
sampai ke presiden. Puncaknya pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-
besaran kembali terjadi di depan Istana Negara. Lambannya respons pemerintah menjadikan
tuntutan demonstrasi melebar hingga terdengar desas-desus untuk menurunkan Soekarno dari
jabatan kepresidennya.
Demonstrasi ini mendapat dukungan dari tentara. Mahasiswa mengepung Istana
Kepresidenan dan menuntut Tritura yang salah satunya meminta pembubaran PKI. Tidak
hanya mahasiswa yang mengepung Istana, sejumlah tentara tidak dikenal juga disebut
mengelilingi Istana Kepresidenan. Akibat desakan tersebut, pada 21 Februari 1966 Soekarno
akhirnya mengumumkan reshuffle kabinet barunya. Namun, hal ini malah kian memanaskan
suasana karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri di dalam tubuh kabinet tersebut.
Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk
mengatasi konflik. Keluarlah titah sakti melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
yang menunjuk Soeharto, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) saat itu, untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara. Supersemar
justru dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan hingga akhirnya berkuasa
sebagai Presiden RI ke-2 hingga 32 tahun lamanya. Oleh rezim Orde Baru pimpinan
Soeharto, Soekarno dijadikan sebagai tahanan rumah hingga wafat pada 1970. Secarik surat
perintah itulah yang mengubah peta politik di Indonesia secara drastis. Atas wewenang yang
diberikan, Soeharto langsung mengambil alih komando. Dia membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat gerakan 30 September.
Termasuk para menteri yang loyal pada Presiden Soeharto.

Surat Pertintah Sebelas Maret ( SUPER SEMAR )


Latar Belakang Keluarnya Supersemar

Dilansir Wikipedia Indonesia, dikeluarkan supersemar berawal saat Soekarno menggelar


sidang pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan atau dikenal dengan Kabinet 100
Menteri pada 11 Maret 1966.

Ketika sidang dimulai, Brigjen Sabur yang saat itu menjabat sebagai panglima pasukan
pengawal presiden Tjakrabirawa melaporkan bahwa adanya pasukan dengan jumlah yang
banyak menahan menteri-menteri kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan G 30 S PKI.

Belakangan diketahui pasukan Tak Dikenal itu merupakan pasukan Kostrad yang dipimpin


oleh Mayjend Kemal Idris. Usai mendengar laporan itu, Presiden Soekarno langsung
bergegas menuju Istana Bogor bersama Wakil Perdana Menteri I, Dr. Soebandrio dan Wakil
Perdana Menteri III, Chaerul Saleh menggunakan helikopter.
Sidang Kabinet akhirnya diserahkan pimpinannya oleh Wakil Perdana Mentero II,
Dr.J.Leimena yang bertugas menutup sidang. Ia juga segera menyusul ke Istana Bogor
setelah acara sidang Kabinet 100 Menteri selesai.

Kondisi itu kemudian dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat
Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat
peristiwa G-30-S/PKI itu. Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai
sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan.

Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Bogor pada
malam hari yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir
Jendral Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor di Istana Bogor.

Dalam pertemuan itu terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi, dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa
Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan
surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil
tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga
pukul 20.30 malam.

Atas permintaan itu.Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan
Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Setelah dikeluarkan surat tersebut, lalu surat itu dibawa ke Jakarta pada tanggal 12 Maret
1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Berdasarkan penuturan Sudharmono saat itu ia menerima telpon dari Mayjend
Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar
konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu
atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono
sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar
itu tiba.

Surat itu dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI Angkatan Darat Brigadir Jendral
Budiono. Lalu Surat susulan dari Presiden Soekarno yang memprotes pembubaran parpol tak
digubris Soeharto. Dia terus bergerak, termasuk membubarkan Resimen Tjakrabirawa.
Satuan elite pengawal Presiden Soekarno. Setelah Supersemar diteken, kekuasaan Soekarno
meredup dan sebaliknya Soeharto menjadi orang paling berkuasa di Indonesia.
Ini Supersemar versi AD

Ini Supersemar Versi Lain


Kontroversi Supersemar

1. Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya
menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan
kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya
berkomentar “Lho ini kan perpindahan kekuasaan”. Tidak jelas kemudian naskah
asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan
hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku
sejarah peristiwa “lahirnya Supersemar” ini sudah meninggal dunia. Belakangan,
keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen
pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
2. Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu
(lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa
setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan
pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir
ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari
waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya
Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar
Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah
jambu serta Brigjen M. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo
Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M.
Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
3. Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya “A.M Hanafi Menggugat Kudeta
Soeharto”, seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak
konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo
Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke
Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki
Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap
Presiden Soekarno. Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang
mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku
mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai
staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
4. Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang
tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan
bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan
Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi
alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

Dualisme Kepemimpinan
Di masa akhir orde lama, situasi  politik  Indonesia  antara tahun  1957-1966  yang 
memberikan  gambaran  mengenai dominasi  Angkatan Darat  dalam  pemerintahan.
Dominasi  tersebut  berpengaruh pada  konflik  dengan PKI  karena  AD  merasa  bahwa 
PKI  dapat  mengancam politiknya.  Presiden Soekarno  juga  merasa  bahwa  dominasi  AD 
dapat  mengancam 
kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD.Pada
akhirnya, munculnya  Soeharto  sebagai  kekuatan  baru  dalam  AD  menjadi tokoh  yang
mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung Soekarno. 
Dualisme  Kepemimpinan  Soekarno-Soeharto  diawali  dengan  perbedaan penafsiran
mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto menganggap  bahwa 
SP  11 Maret merupakan  penyerahan  kekuasaan,  sedangkan Soekarno  merasa  bahwa  SP 
11  Maret  hanyalah  perintah  pengamanan  belaka. Tindakan  Soeharto sebagai  Pengemban 
SP  11  Maret  seperti  pembubaran  PKI secara  de  facto merupakan suatu  dualisme 
kepemimpinan. Hal  ini  dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7  tahun 1959
bahwa sebenarnya Presiden yang berwenang membubarkan partai,sedangkan isi dari SP 11
Maret  sebenarnya hanyalah  merupakan  perintah  Presiden dan    tidak  menunjukkan 
peningkatan wewenang  Soeharto.  Wewenang  Soeharto sebagai  Pengemban  SP  11  Maret
selanjutnya  meningkat  setelah  MPRS  yang didominasi  AD  bersidang  dan menghasilkan
Ketetapan  yang menimbulkan  dualism kepemimpinan  secara  de jure. Ketetapan MPRS
diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden  bersama-sama 
Pengemban  SP  11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet.  Kenyataannya,  Soeharto 
yang  merupakan  ketua presidium  kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai
jalannya pemerintahan. Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu
berhasil mempersatukan politik  AD  dalam  Doktrin  Tri  Ubaya  Cakti  dan  konsep  Orde
Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung terdekat
Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam pengadilan tersebut,
Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G 30  S/PKI  yang  menyebabkan 
semakin berkurangnya  pendukung  dirinya. Soekarno kemudian merasa  terdesak dan
menyerah pada keadaan yang  terjadi,  ia menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto.
Akhirnya MPRS mengeluarkan Ketetapan  MPRS  No. XXXIII/MPRS/1966  dalam  Sidang
Istimewa  yang mencabut  kekuasaan  eksekutif  dari  Presiden  Soekarno.  Berakhirlah 
Dualisme Kepemimpinan  yang  terjadi  dengan  diangkatnya Soeharto  menjadi  Pejabat
Presiden.

Anda mungkin juga menyukai