Chaerul Saleh merupakan pejuang dan tokoh politik Indonesia yang pernah menjabat sebagai
menteri, wakil perdana menteri, dan ketua MPRS antara tahun 1957 sampai 1966. Salah satu
pemuda yang menculik Soekarno dan Hatta dalam Peristiwa Rengasdengklok (meninggal
1967 sebagai tahanan).
D.N. Aidit
D.N. Aidit merupakan ketua PKI (meninggal akibat dibunuh pada 1965).
DAMPAK TRITURA
Demonstrasi terus terjadi sepanjang tanggal 10-13 Januari 1966 hingga desakan Tritura
sampai ke presiden. Puncaknya pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-
besaran kembali terjadi di depan Istana Negara. Lambannya respons pemerintah menjadikan
tuntutan demonstrasi melebar hingga terdengar desas-desus untuk menurunkan Soekarno dari
jabatan kepresidennya.
Demonstrasi ini mendapat dukungan dari tentara. Mahasiswa mengepung Istana
Kepresidenan dan menuntut Tritura yang salah satunya meminta pembubaran PKI. Tidak
hanya mahasiswa yang mengepung Istana, sejumlah tentara tidak dikenal juga disebut
mengelilingi Istana Kepresidenan. Akibat desakan tersebut, pada 21 Februari 1966 Soekarno
akhirnya mengumumkan reshuffle kabinet barunya. Namun, hal ini malah kian memanaskan
suasana karena masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri di dalam tubuh kabinet tersebut.
Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk
mengatasi konflik. Keluarlah titah sakti melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
yang menunjuk Soeharto, Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) saat itu, untuk mengendalikan keamanan dan ketertiban negara. Supersemar
justru dimanfaatkan oleh Soeharto untuk merebut kekuasaan hingga akhirnya berkuasa
sebagai Presiden RI ke-2 hingga 32 tahun lamanya. Oleh rezim Orde Baru pimpinan
Soeharto, Soekarno dijadikan sebagai tahanan rumah hingga wafat pada 1970. Secarik surat
perintah itulah yang mengubah peta politik di Indonesia secara drastis. Atas wewenang yang
diberikan, Soeharto langsung mengambil alih komando. Dia membubarkan Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan menangkap orang-orang yang dicurigai terlibat gerakan 30 September.
Termasuk para menteri yang loyal pada Presiden Soeharto.
Ketika sidang dimulai, Brigjen Sabur yang saat itu menjabat sebagai panglima pasukan
pengawal presiden Tjakrabirawa melaporkan bahwa adanya pasukan dengan jumlah yang
banyak menahan menteri-menteri kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan G 30 S PKI.
Kondisi itu kemudian dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto yang pada saat itu menjabat
Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang gugur akibat
peristiwa G-30-S/PKI itu. Soeharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit.
Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai
sekenario Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan.
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Bogor pada
malam hari yakni Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir
Jendral Basuki Rahmat untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor di Istana Bogor.
Dalam pertemuan itu terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden
Soekarno mengenai situasi yang terjadi, dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa
Mayjend Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan
surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil
tindakan. Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga
pukul 20.30 malam.
Atas permintaan itu.Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat perintah yang
dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima Angkatan
Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Setelah dikeluarkan surat tersebut, lalu surat itu dibawa ke Jakarta pada tanggal 12 Maret
1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar AD Brigjen
Budiono. Berdasarkan penuturan Sudharmono saat itu ia menerima telpon dari Mayjend
Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret 1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar
konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu
atas perintah Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono
sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar
itu tiba.
Surat itu dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI Angkatan Darat Brigadir Jendral
Budiono. Lalu Surat susulan dari Presiden Soekarno yang memprotes pembubaran parpol tak
digubris Soeharto. Dia terus bergerak, termasuk membubarkan Resimen Tjakrabirawa.
Satuan elite pengawal Presiden Soekarno. Setelah Supersemar diteken, kekuasaan Soekarno
meredup dan sebaliknya Soeharto menjadi orang paling berkuasa di Indonesia.
Ini Supersemar versi AD
1. Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang akhirnya
menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu dalam perjalanan
kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang kemudian membacanya
berkomentar “Lho ini kan perpindahan kekuasaan”. Tidak jelas kemudian naskah
asli Supersemar karena beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan
hilang dan tidak jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku
sejarah peristiwa “lahirnya Supersemar” ini sudah meninggal dunia. Belakangan,
keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada dokumen
pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.
2. Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor, Letnan Satu
(lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di berbagai media massa
setelah Reformasi 1998 yang juga menandakan berakhirnya Orde Baru dan
pemerintahan Presiden Soeharto. Dia menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir
ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari
waktu setempat bukan tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya
Brigadir jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar
Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna merah
jambu serta Brigjen M. Beberapa kalangan meragukan kesaksian Soekardjo
Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M.
Jusuf, serta Jendral (purn) M Panggabean membantah peristiwa itu.
3. Menurut Kesaksian A.M. Hanafi dalam bukunya “A.M Hanafi Menggugat Kudeta
Soeharto”, seorang mantan duta besar Indonesia di Kuba yang dipecat secara tidak
konstitusional oleh Soeharto. Dia membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo
Wilardjito yang mengatakan bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke
Istana Bogor bersama tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki
Rahmat) pada tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap
Presiden Soekarno. Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang
mengetik surat tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku
mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai
staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.
4. Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson, oleh seorang
tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara tersebut mengemukakan
bahwa Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas besar Angkatan
Darat, bukan di atas kertas berkop kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi
alasan mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Dualisme Kepemimpinan
Di masa akhir orde lama, situasi politik Indonesia antara tahun 1957-1966 yang
memberikan gambaran mengenai dominasi Angkatan Darat dalam pemerintahan.
Dominasi tersebut berpengaruh pada konflik dengan PKI karena AD merasa bahwa
PKI dapat mengancam politiknya. Presiden Soekarno juga merasa bahwa dominasi AD
dapat mengancam
kekuasaannya, sehingga Presiden mendukung PKI dalam berkonflik dengan AD.Pada
akhirnya, munculnya Soeharto sebagai kekuatan baru dalam AD menjadi tokoh yang
mampu menumpas G 30 S dan menghancurkan PKI yang merupakan pendukung Soekarno.
Dualisme Kepemimpinan Soekarno-Soeharto diawali dengan perbedaan penafsiran
mengenai Surat Perintah 11 Maret 1966 diantara keduanya. Soeharto menganggap bahwa
SP 11 Maret merupakan penyerahan kekuasaan, sedangkan Soekarno merasa bahwa SP
11 Maret hanyalah perintah pengamanan belaka. Tindakan Soeharto sebagai Pengemban
SP 11 Maret seperti pembubaran PKI secara de facto merupakan suatu dualisme
kepemimpinan. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959
bahwa sebenarnya Presiden yang berwenang membubarkan partai,sedangkan isi dari SP 11
Maret sebenarnya hanyalah merupakan perintah Presiden dan tidak menunjukkan
peningkatan wewenang Soeharto. Wewenang Soeharto sebagai Pengemban SP 11 Maret
selanjutnya meningkat setelah MPRS yang didominasi AD bersidang dan menghasilkan
Ketetapan yang menimbulkan dualism kepemimpinan secara de jure. Ketetapan MPRS
diantaranya dalam hal pembentukan Kabinet Ampera yaitu Presiden bersama-sama
Pengemban SP 11 Maret diberi wewenang membentuk kabinet. Kenyataannya, Soeharto
yang merupakan ketua presidium kabinet selanjutnya memimpin kabinet dan menguasai
jalannya pemerintahan. Tindakan Soeharto pada akhir masa dualisme kepemimpinan yaitu
berhasil mempersatukan politik AD dalam Doktrin Tri Ubaya Cakti dan konsep Orde
Barunya. Tindakan Soeharto selanjutnya yaitu dengan mengadili para pendukung terdekat
Soekarno mengenai keterlibatannya dalam peristiwa G 30 S/PKI. Dalam pengadilan tersebut,
Soekarno secara tidak langsung didiskreditkan mendukung G 30 S/PKI yang menyebabkan
semakin berkurangnya pendukung dirinya. Soekarno kemudian merasa terdesak dan
menyerah pada keadaan yang terjadi, ia menyerahkan kekuasaan eksekutif pada Soeharto.
Akhirnya MPRS mengeluarkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1966 dalam Sidang
Istimewa yang mencabut kekuasaan eksekutif dari Presiden Soekarno. Berakhirlah
Dualisme Kepemimpinan yang terjadi dengan diangkatnya Soeharto menjadi Pejabat
Presiden.