Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

SURAT PERINTAH SEBELAS MARET


(SUPERSEMAR)

Disusun oleh:

NAMA : 1. Ruth Regina Megaputri Pasaribu (29)

2. Sabrina Ameria (30)

3. Rosinta Uli Situmorang (28)

4. Naza Bara Utama Putra (25)

5. Nazwa Alika (26)

6. Putri Nabila (27)

KELAS : XII MIPA 3


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR) ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk


memenuhi tugas Ibu Resti Mulyani pada mata pelajaran Sejarah
Indonesia Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan tentang Surat Perintah Sebelas Maret bagi para pembaca
dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Resti Mulyani 


selaku Guru mata pelajaran Sejarah Indonesia yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan
kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Surat Perintah Sebelas Maret

Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966
Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para
demonstran yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI,
dengan melakukan pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang
menuju ke Istana.

Belum lama Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen.


Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa
tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam
V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman,
Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang.
Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.
Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan Presiden segera menuju Bogor
dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh Waperdam II Dr.J.
Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.

Sementara itu, tiga orang perwira tinggi TNI-AD, yaitu Mayjen. Basuki
Rahmat, Brigjen. M Jusuf, dan Brigjen. Amir Machmud, yang juga mengikuti
sidang paripurna kabinet, sepakat untuk menyusul Presiden Soekarno ke
Bogor. Sebelum berangkat, ketiga perwira tinggi itu minta ijin kepada
atasannya yakni Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto
yang juga merangkap selaku panglima Kopkamtib. Pada waktu itu Letnan
Jenderal Soeharto sedang sakit sehingga diharuskan beristirahat di rumah.
Niat ketiga perwira itu disetujuinya. Mayjen. Basuki Rachmat menanyakan
apakah ada pesan khusus dari Letjen. Soeharto untuk Presiden Soekarno,
Letjen Soeharto menjawab: “sampaikan saja bahwa saya tetap pada
kesanggupan saya. Beliau akan mengerti”

Latar belakang dari ucapan itu ialah bahwa sejak pertemuan mereka di Bogor
pada tanggal 2 Oktober 1965 setelah meletusnya pemberontakan G-30-S/PKI.
Antara Presiden Soekarno dengan Letjen. Soeharto terjadi perbedaan
pendapat mengenai kunci bagi usaha meredakan pergolakan politik saat itu.
Menurut Letjen. Soeharto, pergolakan rakyat tidak akan reda sebelum rasa
keadilan rakyat dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan
membubarkan PKI yang telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya
Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak mungkin membubarkan PKI
karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah dicanangkan
ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham
itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk
membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari presiden. Pesan
Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan
berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut.

Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan


Presiden yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena, dan Dr.
Chaerul Saleh. Sesuai dengan kesimpulan pembicaraan, ketiga perwira tinggi
tersebut bersama dengan komandan Resimen Cakrabirawa, Brigjen. Sabur,
kemudian diperintahkan membuat konsep surat perintah kepada Letjen.
Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Setelah
dibahas bersama, akhirnya Presiden Soekarno menandatangani surat perintah
yang kemudian terkenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11
Maret, atau Supersemar.

Supersemar berisi pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku


Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan
dan kewibawaan pemerintah. Dalam menjalankan tugas, penerima mandat
diharuskan melaporkan segala sesuatu kepada presiden. Mandat itu kemudian
dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Keluarnya
Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.

Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah


menerima Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang beserta
organisasi massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas
dengannya di seluruh Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.
Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan demikian
salah satu di antara Tritura telah dilaksanakan.

Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa
untuk kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar
adalah dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966
tentang penahanan 15 orang menteri yang diduga terkait dengan
pemberontakan G 30 S/PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad tidak
baik dalam penyelesaian masalah itu.

Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang


menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima
orang tersebut ialah Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik. Dr. Roeslan
Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.

Supersemar menjadi sebuah momen yang mengubah wajah Indonesia dalam


sekejap. Tak banyak yang dapat diketahui dari surat sakti ini yang bisa
membuka jalan bagi Soeharto. Bahkan, mantan presiden Republik Indonesia
yang kedua ini memilih untuk membawa rahasianya hingga akhir hayatnya.

Saat ini arsip negara menyimpan tiga versi Surat Perintah Sebelas Maret.
Salah satunya berasal dari Sekretariat Negara, yang lain dari Pusat
Penerangan TNI Angkatan Darat dan terakhir cuma berupa salinan tanpa kop
surat kenegaraan.

Status dari ketiga surat tersebut dinyatakan palsu oleh sejarawan. Dan, hingga
kini belum jelas di mana keberadaan salinan asli dari Supersemar tersebut.
Misteri juga menggelayuti penandatanganan Supersemar. Awalnya Sukarno
dilarikan ke Bogor setelah sidang kabinet 11 Maret 1966 di Jakarta dikepung
oleh "pasukan liar" yang kemudian diketahui adalah pasukan Kostrad.

Di Bogor, Sukarno disantroni tiga jenderal utusan Soeharto. Sejarah lalu


mencatat buram apa yang terjadi di Istana. Yang jelas, pulang ke Jakarta
ketiga jendral telah mengantongi Supersemar.

Supersemar terjadi pada 11 Maret 1966, tiga jenderal utusan Letnan Jenderal
Soeharto menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor. Brigadir Jenderal M
Jusuf, Brigadir Jenderal Amirmachmud dan Brigadir Jenderal Basuki
Rahmat.

Masih belum ada kejelasaan bagaimana Sukarno mau menandatangani surat


yang praktis akan melucuti kekuasaanya itu. Sebuah kesaksian dari pengawal
presiden, Sukardjo Wilardjito, telah menyebutkan bahwa saat itu Sukarno
ditodong pistol oleh seorang jenderal utusan Soeharto.

Catatan lain menyebut Sukarno terpaksa menandatangani karena, Istana


Bogor telah dikepung tank-tank TNI dan ribuan massa yang berunjuk rasa.

Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan


kepada Soeharto seperti yang dipropagandakan oleh TNI. Dalam pidato
Sukarno pada 17 Agustus 1966, dia mengecam pihak yang telah
mengkhianati perintahnya.
"Jangan jegal perintah saya. Jangan saya dikentuti!" pekik Sukarno saat itu.
Sukarno kembali menekankan Supersemar bukan "transfer of authority,
melainkan sekadar surat perintah."

Beberapa kontroversi

 Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi AD yang


akhirnya menerima surat itu, ketika mereka membaca kembali surat itu
dalam perjalanan kembali ke Jakarta, salah seorang perwira tinggi yang
kemudian membacanya berkomentar "Lho ini kan perpindahan
kekuasaan". Tidak jelas kemudian naskah asli Supersemar karena
beberapa tahun kemudian naskah asli surat ini dinyatakan hilang dan tidak
jelas hilangnya surat ini oleh siapa dan di mana karena pelaku sejarah
peristiwa "lahirnya Supersemar" ini sudah meninggal dunia. Belakangan,
keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada pada
dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.

 Menurut kesaksian salah satu pengawal kepresidenan di Istana Bogor,


Letnan Satu (lettu) Sukardjo Wilardjito, ketika pengakuannya ditulis di
berbagai media massa setelah  Reformasi 1998 yang juga menandakan
berakhirnya Orde Baru dan pemerintahan Presiden Soeharto. Dia
menyatakan bahwa perwira tinggi yang hadir ke Istana Bogor pada malam
hari tanggal 11 Maret 1966 pukul 01.00 dinihari waktu setempat bukan
tiga perwira melainkan empat orang perwira yakni ikutnya Brigadir
jendral (Brigjen) M. Panggabean. Bahkan pada saat peristiwa Supersemar
Brigjen M. Jusuf membawa map berlogo Markas Besar AD berwarna
merah jambu serta Brigjen M. Pangabean dan Brigjen Basuki Rahmat
menodongkan pistol kearah Presiden Soekarno dan memaksa agar
Presiden Soekarno menandatangani surat itu yang menurutnya
itulah Surat Perintah Sebelas Maret yang tidak jelas apa isinya. Lettu
Sukardjo yang saat itu bertugas mengawal presiden, juga membalas
menodongkan pistol ke arah para jenderal namun Presiden Soekarno
memerintahkan Soekardjo untuk menurunkan pistolnya dan
menyarungkannya. Menurutnya, Presiden kemudian menandatangani surat
itu, dan setelah menandatangani, Presiden Soekarno berpesan kalau situasi
sudah pulih, mandat itu harus segera dikembalikan. Pertemuan bubar dan
ketika keempat perwira tinggi itu kembali ke Jakarta. Presiden Soekarno
mengatakan kepada Soekardjo bahwa ia harus keluar dari istana. “Saya
harus keluar dari istana, dan kamu harus hati-hati,” ujarnya menirukan
pesan Presiden Soekarno. Tidak lama kemudian (sekitar berselang 30
menit) Istana Bogor sudah diduduki pasukan
dari RPKAD dan KOSTRAD, Lettu Sukardjo dan rekan-rekan
pengawalnya dilucuti kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah
Tahanan Militer dan diberhentikan dari dinas militer. Beberapa kalangan
meragukan kesaksian Soekardjo Wilardjito itu, bahkan salah satu pelaku
sejarah supersemar itu, Jendral (Purn) M. Jusuf, serta Jendral (purn) M
Panggabean membantah peristiwa itu.

 Menurut Kesaksian A.M Hanafi dalam bukunya "A.M Hanafi


Menggugat Kudeta Soeharto", seorang mantan duta besar Indonesia
di Kuba yang dipecat secara tidak konstitusional oleh Soeharto. Dia
membantah kesaksian Letnan Satu Sukardjo Wilardjito yang mengatakan
bahwa adanya kehadiran Jendral M. Panggabean ke Istana Bogor bersama
tiga jendral lainnya (Amirmachmud, M. Jusuf dan Basuki Rahmat) pada
tanggal 11 Maret 1966 dinihari yang menodongkan senjata terhadap
Presiden Soekarno. Menurutnya, pada saat itu, Presiden Soekarno
menginap di Istana Merdeka, Jakarta untuk keperluan sidang kabinet pada
pagi harinya. Demikian pula semua menteri-menteri atau sebagian besar
dari menteri sudah menginap diistana untuk menghindari kalau datang
baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta.
A.M Hanafi Sendiri hadir pada sidang itu bersama Wakil Perdana Menteri
(Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut tulisannya dalam bukunya tersebut,
ketiga jendral itu tadi mereka inilah yang pergi ke Istana Bogor, menemui
Presiden Soekarno yang berangkat kesana terlebih dahulu. Dan
menurutnya mereka bertolak dari istana yang sebelumnya, dari istana
merdeka Amir Machmud menelepon kepada Komisaris Besar Soemirat,
pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor, minta izin untuk datang ke
Bogor. Dan semua itu ada saksinya-saksinya. Ketiga jendral ini rupanya
sudah membawa satu teks, yang disebut sekarang Supersemar. Di sanalah
Bung Karno, tetapi tidak ditodong, sebab mereka datang baik-baik. Tetapi
di luar istana sudah di kelilingi demonstrasi-demonstrasi dan tank-tank
ada di luar jalanan istana. Mengingat situasi yang sedemikian rupa,
rupanya Bung Karno menandatangani surat itu. Jadi A.M Hanafi
menyatakan, sepengetahuan dia, sebab dia tidak hadir di Bogor tetapi
berada di Istana Merdeka bersama dengan menteri-menteri lain. Jadi
yangdatang ke Istana Bogor tidak ada Jendral Panggabean. Bapak
Panggabean, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menhankam, tidak
hadir.

 Tentang pengetik Supersemar. Siapa sebenarnya yang mengetik surat


tersebut, masih tidak jelas. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik
surat itu, antara lain Letkol (Purn) TNI-AD Ali Ebram, saat itu sebagai
staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

 Kesaksian yang disampaikan kepada sejarawan asing, Ben Anderson,


oleh seorang tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor. Tentara
tersebut mengemukakan bahwa Supersemar diketik di atas surat yang
berkop Markas besar Angkatan Darat, bukan di atas kertas berkop
kepresidenan. Inilah yang menurut Ben menjadi alasan mengapa
Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip National Republik Indonesia (ANRI)
untuk mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, ANRI telah
berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M, Jusuf, yang merupakan saksi
terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan
apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat
meminta bantuan Muladi, yang ketika itu menjabat Mensesneg,Jusuf Kalla,
dan M. Saelan, bahkan meminta DPR, untuk memanggil M. Jusuf. Sampai
sekarang, usaha ANRI itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah
mantan presiden Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden
Soeharto pada 27 Januari 2008, membuat sejarah Supersemar semakin sulit
untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum
Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan Supersemar adalah
salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
Penutup

Kesimpulan

Surat Perintah Sebelas Maret atau Surat Perintah 11


Maret yang disingkat menjadi Supersemar adalah surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno pada
tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang
menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi
Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala
tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi keamanan yang
buruk pada saat itu.

Surat Perintah Sebelas Maret ini adalah versi yang dikeluarkan dari
Markas Besar Angkatan Darat (AD) yang juga tercatat dalam buku-buku
sejarah. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia mengatakan bahwa
terdapat berbagai versi Supersemar sehingga masih ditelusuri naskah
supersemar yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Anda mungkin juga menyukai