Anda di halaman 1dari 16

ASAS LEGALITAS DALAM PENEGAKAN HUKUM

MENUJU TERWUJUDNYA KEADILAN


SUBSTANTIF
Penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan, memunculkan suatu permasalahan
yaitu keadilan yang bagaimana yang hendak diwujudkan. Asas legalitas dalam
penegakan hukum ternyata hanya mengarahkan pada terwujudnya keadilan formal
yaitu keadilan menurut undang-undang. Penegakan hukum idealnya bukan hanya
mewujudkan keadilan formal tetapi juga keadilan substansial, yaitu keadilan yang
benar-benar sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, penegakan
hukum hendaknya bukan hanya mendasarkan pada asas legalitas, melainkan juga
memperhatikan kebiasaan atau tradisi dan sistem nilai yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat.

Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu

sebagai berikut:

1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-

undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan

logis, maka  tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir sehingga

tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan

dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma,

reduksi norma, atau distorsi norma. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah

Sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya”


atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus

dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-

Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu

bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu

maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan

bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya

aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.[4]

Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian; pertama adanya

aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh

atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu

individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara

terhadap individu.[5] Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa

hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan

semata-mata untuk kepastian hukum.[6] Keadilan hukum menurut L.J Van

Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan, keadilan bukan

berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.[7] Maksudnya keadilan

menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang

belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup

secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat

keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang

memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.  Dalam pengertian lain,


menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa menciptakan

keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan

kewajiban.” Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan

oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian

menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang

telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu

substantif. Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata

tertib untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural,

misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan hukum acara perdata

(prosedural).[8] Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu

mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan

memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu

asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum ( equality before the

law).”[9] Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan

kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan,

seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya, dalam

menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah melakukan

pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman kepada

terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi

masyarakat, hukuman mati itulah yang dijatuhkan.[10]  Hukum adalah

sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalulintas perilaku


manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana

lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus

komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya

kemampatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia.

Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum

adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun

jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu

seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum ‘yang dianggap

tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran

terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan pada hukum dan aturan itu

sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan

adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai penegakan

hukum justru menimbulkan keresahan masyarakat. Karena kalau  kita berbicara

tentang  hukum kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan,

yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan

masyarakat.  Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik membaca

pernyataan  Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah

satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti kemanfaatan. Jadi

dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus

proporsional.

Sementara itu, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi,

air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batu

bara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya

alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,

transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar

memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara

berkelanjutan. Menurut Prof.DR. Ibr. Supancana, SH., MH. penguasaan oleh negara

dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi dari

pemilikan secara konsepsi hukum perdata. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam

pendapatnya sebagai berikut: Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah

sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD

1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam

konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi

hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD

1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).

Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan

sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan

doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan

tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.

Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum

negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang

dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-

besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[11]

1. PEMBAHASAN

Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah

diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak

diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembangunan

nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang ma teri

muatannya bersifat sentraiistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi

sekarang dan tantangan di masa depan, Di samping itu, pembangunan pertambangan

harus menyesuaikan diri dengan peruhahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional

maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan

batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokra tisasi, otonomi daerali,

hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan tekriologi dan informasi, hak atas

kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.[12]

Kutipan penjelasan di atas menjelaskan sejarah perkembangan ketentuan perundang-

undangan mengenai pertambangan. Namun perkembangan tata hukum Indonesia tidak

terlepas dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Tiap masa

perkembangan bangsa Indonesia, menciptakan pula tata hukum sesuai dengan

masanya. Perkembangan tata hukum ini sangat terkait dengan perkembangan antara
lain aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat pada saat hukum tersebut di

buat dan diterapkan oleh suatu otoritas yang berwenang. Tata hukum Indonesia,

secara historis dapat di kelompokan ke dalam berbagai dimensi masa, misalnya masa

Indonesia sebelum kolonial, masa Indonesia pada masa kolonial, masa Indonesia pada

orde lama, masa Indonesia pada orde baru dan pada masa Indonesia pada era

reformasi.[13] Tata hukum tersebut sangat terkait dengan politik hukum. Politik hukum

memiliki beragam pengertian dari berbagai literatur ilmiah. Padmo Wahyono

mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk,

maupun isi dari hukum yang di bentuk.[14] Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat

berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakkannya sendiri.

Arah, bentuk, dan isi hukum inilah yang kemudian menjadi kebijakan dasar bagi

penyelenggara negara untuk melaksanakan hukum yang dibentuk.  Sementara itu dalam

kamus bahasa Indonesia pertambangan adalah “urusan tambang menambang” yang

berkata dasar tambang, yang berarti “lombong tempat mengambil hasil dari dalam

bumi”.[15] Tanpa, memiliki arti “tidak dengan”.[16] Sedangkan izin adalah “sikap atau

pernyataan meluluskan/mengabulkan dan tidak melarang”.[17] Secara keseluruhan

dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi yang

dilakukan dengan tidak mendapatkan pernyataan terkait untuk

meluluskan/memperbolehkan hal tersebut dilakukan. Pengertian Pertambangan dalam

Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan

Batu Bara memiliki arti “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan

dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, dan penjualan serta kegiatan pasca

tambang. Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan

sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat

berwenang yaitu Bupati/Gubernur/Menteri sesuai Wilayah Izin Usaha Pertambangan

(WIUP) yang menjadi kewenangannya masing-masing”.  Di dalam Undang-Undang

khusus (lex spesialis) dalam hal ini Undang-Undang No.4 tahun 2009 Tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana diatur pada Bab XXIII Pasal 158

sampai Pasal 165. Ketentuan pidana yang terdapat didalam undang-undang ini banyak

mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan

Rakyat (IPR), dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).[18]

Pertambangan tanpa izin atau yang biasa disebut ilegal mining ini tidak hanya

merugikan negara secara finansial, tapi sering juga menjadi penyebab munculnya

berbagai persoalan seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, kejahatan,

ketimpangan nilai ekonomi atau bahkan mendorong terjadinya kemiskinan baru.

Fenomena ilegal mining di beberapa wilayah bahkan sampai mengganggu dan

mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat.[19] Ilegal mining sebagai bagian

dari kejahatan terhadap kekayaan negara merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Namun, di dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan definisi dari pertambangan tanpa izin

(ilegal mining) ini. Ilegal miningini merupakan terjemahan dari pertambangan yang

tidak memiliki izin. Izin yang dimaksud adalah 3 jenis izin yang diakui dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketiga izin tersebut adalah IUP (Izin Usaha

Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan

Khusus). Hal ini secara tidak langsung disebutkan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana,

yang menyebutkan dengan tegas sanksi administratif maupun sanksi pidana terhadap

pertambangan tanpa izin (ilegal mining).[20] Penindakan terhadap tindak pidana

pertambangan sendiri seharusnya mempertimbangkan sisi efisiensi dari penindakan

tersebut. Namun perlu dikaji mengenai hakikat efisiensi. Efisiensi berkaitan dengan dua

hal yaitu Pertama, apakah perbuatan-perbuatan yang ingin ditanggulangi dengan

hukum pidana tidak banyak memerlukan biaya untuk menanggulanginya sehingga

keuntungan yang hendak diraih darinya lebih besar; dan kedua, apakah sanksi pidana

yang dijatuhkan lebih besar/berat dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku

dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari biaya yang harus

dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk

melakukan kejahatan.[21] Analisis ekonomi berkaitan dengan prinsip efisiensi itu jika

dihubungkan dengan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Yang pertama

kali harus diperhatikan adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang

akan dijatuhkan kepadanya. Kemudian, dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada,

dianalisis mana yang paling efisien dilihat dari prinsip biaya dan keuntungan. Umumnya,

bentuk-bentuk sanksi pidana berupa pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara,

dan pidana denda. Dalam konteks analisis ekonomi bentuk sanksi pidana yang paling

efisien dan cocok digunakan dalam kaitannya dengan prinsip biaya dan keuntungan
adalah pidana mati dan pidana denda. Hal ini sebagaimana analisis yang  dikemukakan

oleh Mahrus Ali, yaitu:

1. Pidana penjara dilihat dari analisis ekonomi atas hukum pidana kurang sesuai.
Penggunaan sanksi pidana penjara dalam konteks ini pada kenyatannya
memerlukan biaya sosial yang sangat tinggi ( high social cost of imprisonement ),
dan itu semua harus ditanggung oleh negara. Biaya ini meliputi biaya langsung
dari membangun suatu gedung penjara, pemeliharaannya, menggaji pegawai-
pegawai yang bertugas di penjara, dan biaya kesempatan yang hilang dari
produktivitas bagi mereka yang dipenjara.
2. Pidana denda, yang merupakan bentuk sanksi keuangan ( monetary sanction),
adalah pidana yang efisien karena penjatuhannya tidak memerlukan biaya
apapun; ia hanya berkaitan dengan kewajiban pelaku untuk membayar sejumlah
uang kepada Negara. Negara sendiri tidak mengeluarkan biaya apapun ketika
menjatuhkan sanksi pidana denda. Oleh karena itu, efisiensi pidana denda tidak
diragukan dalam analisis ekonomi atas hukum pidana. [22]

Khusus tentang pidana denda tersebut, kemudian Machrus Ali, dengan mengutip

pendapat dari Steven Shavell, berpendapat:  “Untuk menentukan bahwa sanksi pidana

denda dikatakan efisien dan dapat mencegah pelaku untuk melakukan kejahatan,

bergantung pada lima faktor; pertama, asset yang dimiliki pelaku. Semakin kecil

kekayaan (asset) yang ada, semakin kecil pula eksistensi pidana denda di dalam

mencegah pelaku melakukan kejahatan. Dikatakan tidak mungkin pelaku dijatuhi

pidana denda sementara dia sendiri tidak memiliki banyak kekayaan untuk membayar

denda itu; kedua, kemungkinan pelaku untuk tidak dijatuhi sanksi pidana. Semakin

besar kemungkinan ini, semakin tinggi sanksi pidana dijatuhkan untuk mencegah

kejahatan. Jika kemungkinan untuk tidak dijatuhi sanksi pidana ini setengah persen

(1/2 %), beratnya pidana denda harus dinaikkan dua kali lipat. Jika kemungkinannya

sepertiga persen (1/3 %), beratnya pidana denda dinaikkan tiga kali lipat, dan
seterusnya; ketiga, tingkat keuntungan yang diperoleh dari melakukan kejahatan.

Semakin besar keuntungan itu, semakin tinggi sanksi pidana dibutuhkan untuk

mencegah kejahatan, dan juga semakin besar kesempatan dari jumlah denda yang

dijatuhkan dari kekayaan yang dimiliki pelaku; keempat, kemungkinan bahwa tindak

pidana akan mengakibatkan kerugian, dan kelima, besarnya kerugian yang

ditimbulkan”.[23]

Masalah efisiensi dari sanksi pidana sebagaimana dinyatakan pada pendapat Machrus

Ali di atas, dikemukakan juga oleh Romli Atmasasmita, yang berpendapat bahwa “biaya

risiko sosial dari hukuman  penjara lebih besar dari biaya risiko sosial hukuman denda”.

[24]
 Kembali kepada permasalahan mengenai tindak pidana pertambangan. Pembahasan

mengenai efisiensi tersebut menunjukkan adanya suatu corak khusus terhadap tindak

pidana a quo. Seseorang yang melakukan tindak pidana pertambangan merupakan

seorang pelaku yang rasional. Hal tersebut terbukti dengan adanya celah untuk

memperoleh keuntungan yang mendorong seseorang melakukan tindak pidana

dimaksud. Perilaku rasional tersebut dikemukakan Posner dalam bukunya The Economic

of Justice yang menyatakan:  “Is it plausible to suppose that people are rational only or

mainly when they are transacting in markets, and not when they are engaged in other

activitities of life such as marriage and litigation and crime and discrimination and

concealment of personal information? Or that only the inhabitants of modern western

(or westernized) societies are retional?  If rationality is not confirmed to explicit market

transactions but in general and dominant characteristic of social behavior, then the
conceptual apparatus constructed by generations of economist to explain market

behavior can be used to explain nonmarket behavior as well ”[25] (Terjemahan bebas

dari penulis: “Adalah masuk akal untuk menganggap bahwa orang rasional hanya atau

terutama ketika mereka bertransaksi di pasar, dan tidak ketika mereka terlibat dalam

kegiatan kehidupan lainnya seperti perkawinan dan litigasi dan kejahatan serta

diskriminasi dan penyembunyian informasi pribadi? Atau bahwa hanya penghuni

masyarakat barat modern (barat) yang retional? Jika rasionalitas tidak terbatas pada

eksplisitas transaksi-transaksi pasar  tetapi dalam karakteristik perilaku sosial yang

dominan dan berlaku umum, maka instrumen  konseptual yang dibangun oleh para

ekonom untuk menjelaskan perilaku pasar dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku

non-pasar juga).

Corak rasional yang ditunjukkan oleh pelaku tindak pidana pertambangan menunjukkan

bahwa seorang pelaku yang rasional selalu mempertimbangkan untung rugi dari setiap

keputusan yang diambilnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena tindak pidana

pertambangan berpotensi menghasilkan suatu pemasukan dalam bentuk materi yang

bermotif ekonomi. Bila terdapat kemungkinan untuk memperoleh keuntungan, seorang

pelaku tindak pidana akan tetap melaksanakan tindak pidana tersebut sehingga perlu

dijalankan sebuah konsep untuk meniadakan keuntungan dari pelaku kejahatan. Hal ini

sesuai dengan konsep meniadakan keuntungan dari teori absolut.  Berdasarkan hal

tersebut, maka teori analisis ekonomi terhadap hukum memiliki fokus terhadap cara

bekerja sistem ekonomi  berdasarkan perspektif  hukum dan perilaku yang didasarkan
kepada  pilihan rasional karena adanya sumber daya yang terbatas  dengan  kebutuhan

manusia yang tidak terbatas.[26] Pertimbangan tersebut membawa kita kepada

konsep mengenai adanya suatu peraturan perundangan yang dapat mengantisipasi

tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana. Hal ini dikarenakan sifat dasar suatu

hukum yang mana akan selalu tertinggal dari perkembangan zaman sebagai sebuah

kemusykilan. Berbicara konsep peraturan yang mengatur mengenai pertambangan,

dewasa ini keberadaan peraturan tersebut sudah cukup banyak. Izin berupa IUP dan

IUPR dapat diberikan oleh stakeholder yang berwenang. Keberadaan izin tersebut

merupakan wujud alat kontrol pemerintah dalam bentuk menarik retribusi kepada pihak

yang berkepentingan. Hal ini jelas menyiratkan adanya suatu realisasi dari asas

kemanfaatan hukum yang dijalankan. Namun hal ini berlaku pula sebaliknya, apabila

ketentuan berupa “retribusi” tersebut diingkari oleh pelaku tindak pidana

pertambangan. Gambaran di atas menunjukkan dalam suatu tindak pidana

pertambangan akan muncul opportunity  lost yaitu negara kehilangan

kesempatan untuk memanfaatkan nilai-nilai pemasukan yang seharusnya

diterimanya untuk menyejahterakan warganya dan juga social cost yaitu

biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat akibat terjadinya tindak

pidana tersebut. Secara sederhana dalam menghitung opportunity lost tersebut

dilakukan dengan tindakan pemulihan aset   terhadap jumlah kerugian negara akibat

tindak pidana a quo. Jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan sebelum proses

peradilan pidana, maka dalam menghitung kerugian negara digunakan konsep nilai

waktu dari uang dengan formula present value di mana bunga bank ditetapkan sebagai
determinan untuk menghitung nilai  keuntungan bagi negara. Sebaliknya jika dilakukan

setelah proses pidana terjadi atau kemudian sampai putusan pengadilan dijatuhkan

oleh hakim, dan pelaku tindak pidana korupsinya belum mengembalikan kerugian

keuangan negara maka digunakan konsep nilai waktu dari uang dengan formula future 

value.  Karena pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi

tersebut umumnya dilakukan setelah proses peradilan dimulai, maka perhitungan yang

digunakan adalah perhitungan dengan formula future value.[27] Sehingga dalam hal

ini penegakan hukum kejahatan yang bermotif ekonomi maka yang harus

diselesaikan adalah masalah hukum dan masalah ekonomi sebagai suatu

bentuk yang harus bersifat mutually exclusive, oleh karena itu penggunaan

denda dengan nilai present velue ditambahkan bunga ganti rugi adalah

maksimalisasi bentuk pemidanaan yang mempertakutkan.  Berdasarkan

gambaran tersebut maka dapat diambil benang merah bahwa seorang pelaku tindak

pidana pertambangan melakukan tindak pidana dimaksud dikarenakan rasio atau

pertimbangan yang dimilikinya. Sehingga berdasarkan rasio keuntungan tersebut, maka

pidana berupa denda dapat digunakan guna menjalankan suatu efisiensi terhadap

penindakan tindak pidana. Hal ini dikarenakan denda tersebut dapat meminimalkan

keuntungan yang diperoleh oleh pelaku, sebaliknya hal ini berfungsi sebagai sebuah

bentuk maksimalisasi keuntungan oleh negara dalam usahanya menyejahterakan

warganya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa negara harus

memaksimalisasi keuntungan yang diperoleh dari suatu pemidanaan?  Pada suatu

negara hukum, seorang warga negara “terikat” kepada konsep pajak yang harus
dibayarkannya kepada negara guna membangun negara bersama-sama. Konsep

musyawarah mufakat dan gotong royong yang dieluh-eluhkan sebagai budaya asli

negara Indonesia merefleksikan konsep pemungutan pajak tersebut. Sehingga seorang

warga negara memiliki andil dalam melaksanakan pembangunan suatu negara dalam

hal ini Indonesia. Berdasarkan gambaran tersebut, pertanyaan pada paragraf di atas

justru dapat dijawab dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Richard A. Posner

yaitu mengapa sebuah negara berniat untuk meresikokan uang pajak yang dibayarkan

oleh warganya demi membiayai warga negara lain yang jelas-jelas telah mencederai

hukum terlebih bilamana perbuatan menciderai hukum tersebut telah dipertimbangkan

menggunakan rasio?

Jawaban tersebut sesungguhnya merupakan bentuk nyata kemanfaatan hukum, namun

hal ini tentunya tidak serta merta melupakan asas keadilan dan kepastian hukum.

Dengan adanya kepastian mengenai pembayaran denda dan minimalisasi keuntungan

yang didapat oleh pelaku tindak pidana maka unsur kepastian akan dapat diperoleh. Di

sisi lain keadilan bagi masyarakat yang mendiami suatu wilayah yang dijadikan sebagai

tempat ilegal mining  akan memperoleh keadilan. Karena yang perlu disadari bahwa

suatu tindak pidana pertambangan juga memiliki sendi yang bersinggungan dengan

alam, sehingga apapun yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan tersebut akan

berdampak pada alam. Dampak tersebut dipungkiri maupun tidak akan berdampak

kepada generasi mendatang. Hal ini menunjukkan urgensi penindakan tindak pidana

pertambangan.
 

PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas maka pembahasan mengenai tindak pidana pertambangan

dapat ditarik ke dalam beberapa kesimpulan, sebagai berikut:

1. Proses penegakan hukum terhadap tindak pidana pertambangan harus


mempertimbangkan asas kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum secara
konsisten;
2. Pemberian denda sebagai sebuah pidana yang efisien sebagai sebuah bentuk
pelaksanaan a freaking theorie dari von Feuerbach karena penegakan hukum
harus mempertimbangkan poin efisiensi terhadapnya;
3. Harus dibentuk suatu kesadaran hukum sehingga terbentuk partisipasi aktif
masyarakat untuk menjaga pertambangan sebagai sebuah legacy terhadap
generasi mendatang sehingga dapat dimanfaatkan secara maksimal.

Anda mungkin juga menyukai