Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu
sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).
undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan
logis, maka tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir sehingga
tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan
reduksi norma, atau distorsi norma. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-
Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu
bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya
aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh
atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara
Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan, keadilan bukan
menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang
belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat
keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan
oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian
telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu
substantif. Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata
memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu
asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum ( equality before the
kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan,
terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi
lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus
kemampatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia.
Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum
adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun
jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu
seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum ‘yang dianggap
tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran
terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan pada hukum dan aturan itu
yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan
masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik membaca
pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah
satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti kemanfaatan. Jadi
proporsional.
Sementara itu, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi,
air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batu
bara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya
alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien,
dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi dari
pemilikan secara konsepsi hukum perdata. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam
sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD
1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam
hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD
1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi).
Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan
doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan
tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.
Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum
negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang
besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
1. PEMBAHASAN
Guna memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah
harus menyesuaikan diri dengan peruhahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional
maupun internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan
batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokra tisasi, otonomi daerali,
hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan tekriologi dan informasi, hak atas
terlepas dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia dari masa ke masa. Tiap masa
masanya. Perkembangan tata hukum ini sangat terkait dengan perkembangan antara
lain aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi masyarakat pada saat hukum tersebut di
buat dan diterapkan oleh suatu otoritas yang berwenang. Tata hukum Indonesia,
secara historis dapat di kelompokan ke dalam berbagai dimensi masa, misalnya masa
Indonesia sebelum kolonial, masa Indonesia pada masa kolonial, masa Indonesia pada
orde lama, masa Indonesia pada orde baru dan pada masa Indonesia pada era
reformasi.[13] Tata hukum tersebut sangat terkait dengan politik hukum. Politik hukum
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk,
maupun isi dari hukum yang di bentuk.[14] Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat
Arah, bentuk, dan isi hukum inilah yang kemudian menjadi kebijakan dasar bagi
penyelenggara negara untuk melaksanakan hukum yang dibentuk. Sementara itu dalam
berkata dasar tambang, yang berarti “lombong tempat mengambil hasil dari dalam
dapat diartikan urusan terkait kegiatan pengambilan hasil dari dalam bumi yang
Undang-Undang No. 4 tahun 2009 Pasal 1 Ayat 1 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara memiliki arti “Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan
dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batu bara yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
tambang. Pengertian izin disini adalah izin untuk melakukan usaha pertambangan
sebagaimana diatur dalam UU No. 4 tahun 2009, yang dikeluarkan oleh pejabat
khusus (lex spesialis) dalam hal ini Undang-Undang No.4 tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara ketentuan pidana diatur pada Bab XXIII Pasal 158
sampai Pasal 165. Ketentuan pidana yang terdapat didalam undang-undang ini banyak
mengatur persoalan izin yaitu Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan
Pertambangan tanpa izin atau yang biasa disebut ilegal mining ini tidak hanya
merugikan negara secara finansial, tapi sering juga menjadi penyebab munculnya
dari kejahatan terhadap kekayaan negara merupakan bagian yang tidak dapat
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tidak ditemukan definisi dari pertambangan tanpa izin
(ilegal mining) ini. Ilegal miningini merupakan terjemahan dari pertambangan yang
tidak memiliki izin. Izin yang dimaksud adalah 3 jenis izin yang diakui dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketiga izin tersebut adalah IUP (Izin Usaha
Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan
Khusus). Hal ini secara tidak langsung disebutkan dalam Bab XIII Ketentuan Pidana,
yang menyebutkan dengan tegas sanksi administratif maupun sanksi pidana terhadap
tersebut. Namun perlu dikaji mengenai hakikat efisiensi. Efisiensi berkaitan dengan dua
keuntungan yang hendak diraih darinya lebih besar; dan kedua, apakah sanksi pidana
yang dijatuhkan lebih besar/berat dibandingkan dengan keuntungan yang diraih pelaku
dari melakukan perbuatan pidana. Jika sanksi pidana lebih berat dari biaya yang harus
dikeluarkan oleh pelaku, dapat dipastikan bahwa pelaku akan menghindar untuk
dihubungkan dengan penjatuhan sanksi pidana bagi pelaku kejahatan. Yang pertama
kali harus diperhatikan adalah bentuk-bentuk sanksi pidana apa saja yang tersedia yang
akan dijatuhkan kepadanya. Kemudian, dari bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada,
dianalisis mana yang paling efisien dilihat dari prinsip biaya dan keuntungan. Umumnya,
bentuk-bentuk sanksi pidana berupa pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara,
dan pidana denda. Dalam konteks analisis ekonomi bentuk sanksi pidana yang paling
efisien dan cocok digunakan dalam kaitannya dengan prinsip biaya dan keuntungan
adalah pidana mati dan pidana denda. Hal ini sebagaimana analisis yang dikemukakan
1. Pidana penjara dilihat dari analisis ekonomi atas hukum pidana kurang sesuai.
Penggunaan sanksi pidana penjara dalam konteks ini pada kenyatannya
memerlukan biaya sosial yang sangat tinggi ( high social cost of imprisonement ),
dan itu semua harus ditanggung oleh negara. Biaya ini meliputi biaya langsung
dari membangun suatu gedung penjara, pemeliharaannya, menggaji pegawai-
pegawai yang bertugas di penjara, dan biaya kesempatan yang hilang dari
produktivitas bagi mereka yang dipenjara.
2. Pidana denda, yang merupakan bentuk sanksi keuangan ( monetary sanction),
adalah pidana yang efisien karena penjatuhannya tidak memerlukan biaya
apapun; ia hanya berkaitan dengan kewajiban pelaku untuk membayar sejumlah
uang kepada Negara. Negara sendiri tidak mengeluarkan biaya apapun ketika
menjatuhkan sanksi pidana denda. Oleh karena itu, efisiensi pidana denda tidak
diragukan dalam analisis ekonomi atas hukum pidana. [22]
Khusus tentang pidana denda tersebut, kemudian Machrus Ali, dengan mengutip
denda dikatakan efisien dan dapat mencegah pelaku untuk melakukan kejahatan,
bergantung pada lima faktor; pertama, asset yang dimiliki pelaku. Semakin kecil
kekayaan (asset) yang ada, semakin kecil pula eksistensi pidana denda di dalam
pidana denda sementara dia sendiri tidak memiliki banyak kekayaan untuk membayar
denda itu; kedua, kemungkinan pelaku untuk tidak dijatuhi sanksi pidana. Semakin
besar kemungkinan ini, semakin tinggi sanksi pidana dijatuhkan untuk mencegah
kejahatan. Jika kemungkinan untuk tidak dijatuhi sanksi pidana ini setengah persen
(1/2 %), beratnya pidana denda harus dinaikkan dua kali lipat. Jika kemungkinannya
sepertiga persen (1/3 %), beratnya pidana denda dinaikkan tiga kali lipat, dan
seterusnya; ketiga, tingkat keuntungan yang diperoleh dari melakukan kejahatan.
Semakin besar keuntungan itu, semakin tinggi sanksi pidana dibutuhkan untuk
mencegah kejahatan, dan juga semakin besar kesempatan dari jumlah denda yang
dijatuhkan dari kekayaan yang dimiliki pelaku; keempat, kemungkinan bahwa tindak
ditimbulkan”.[23]
Masalah efisiensi dari sanksi pidana sebagaimana dinyatakan pada pendapat Machrus
Ali di atas, dikemukakan juga oleh Romli Atmasasmita, yang berpendapat bahwa “biaya
risiko sosial dari hukuman penjara lebih besar dari biaya risiko sosial hukuman denda”.
[24]
Kembali kepada permasalahan mengenai tindak pidana pertambangan. Pembahasan
mengenai efisiensi tersebut menunjukkan adanya suatu corak khusus terhadap tindak
seorang pelaku yang rasional. Hal tersebut terbukti dengan adanya celah untuk
dimaksud. Perilaku rasional tersebut dikemukakan Posner dalam bukunya The Economic
of Justice yang menyatakan: “Is it plausible to suppose that people are rational only or
mainly when they are transacting in markets, and not when they are engaged in other
activitities of life such as marriage and litigation and crime and discrimination and
(or westernized) societies are retional? If rationality is not confirmed to explicit market
transactions but in general and dominant characteristic of social behavior, then the
conceptual apparatus constructed by generations of economist to explain market
dari penulis: “Adalah masuk akal untuk menganggap bahwa orang rasional hanya atau
terutama ketika mereka bertransaksi di pasar, dan tidak ketika mereka terlibat dalam
kegiatan kehidupan lainnya seperti perkawinan dan litigasi dan kejahatan serta
masyarakat barat modern (barat) yang retional? Jika rasionalitas tidak terbatas pada
dominan dan berlaku umum, maka instrumen konseptual yang dibangun oleh para
ekonom untuk menjelaskan perilaku pasar dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku
non-pasar juga).
Corak rasional yang ditunjukkan oleh pelaku tindak pidana pertambangan menunjukkan
bahwa seorang pelaku yang rasional selalu mempertimbangkan untung rugi dari setiap
keputusan yang diambilnya. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena tindak pidana
pelaku tindak pidana akan tetap melaksanakan tindak pidana tersebut sehingga perlu
dijalankan sebuah konsep untuk meniadakan keuntungan dari pelaku kejahatan. Hal ini
sesuai dengan konsep meniadakan keuntungan dari teori absolut. Berdasarkan hal
tersebut, maka teori analisis ekonomi terhadap hukum memiliki fokus terhadap cara
bekerja sistem ekonomi berdasarkan perspektif hukum dan perilaku yang didasarkan
kepada pilihan rasional karena adanya sumber daya yang terbatas dengan kebutuhan
tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku pidana. Hal ini dikarenakan sifat dasar suatu
hukum yang mana akan selalu tertinggal dari perkembangan zaman sebagai sebuah
dewasa ini keberadaan peraturan tersebut sudah cukup banyak. Izin berupa IUP dan
merupakan wujud alat kontrol pemerintah dalam bentuk menarik retribusi kepada pihak
yang berkepentingan. Hal ini jelas menyiratkan adanya suatu realisasi dari asas
kemanfaatan hukum yang dijalankan. Namun hal ini berlaku pula sebaliknya, apabila
dilakukan dengan tindakan pemulihan aset terhadap jumlah kerugian negara akibat
tindak pidana a quo. Jika tindak pidana korupsi tersebut dilakukan sebelum proses
peradilan pidana, maka dalam menghitung kerugian negara digunakan konsep nilai
waktu dari uang dengan formula present value di mana bunga bank ditetapkan sebagai
determinan untuk menghitung nilai keuntungan bagi negara. Sebaliknya jika dilakukan
setelah proses pidana terjadi atau kemudian sampai putusan pengadilan dijatuhkan
oleh hakim, dan pelaku tindak pidana korupsinya belum mengembalikan kerugian
keuangan negara maka digunakan konsep nilai waktu dari uang dengan formula future
value. Karena pengembalian kerugian keuangan negara dari tindak pidana korupsi
tersebut umumnya dilakukan setelah proses peradilan dimulai, maka perhitungan yang
ini penegakan hukum kejahatan yang bermotif ekonomi maka yang harus
gambaran tersebut maka dapat diambil benang merah bahwa seorang pelaku tindak
pidana berupa denda dapat digunakan guna menjalankan suatu efisiensi terhadap
penindakan tindak pidana. Hal ini dikarenakan denda tersebut dapat meminimalkan
keuntungan yang diperoleh oleh pelaku, sebaliknya hal ini berfungsi sebagai sebuah
negara hukum, seorang warga negara “terikat” kepada konsep pajak yang harus
dibayarkannya kepada negara guna membangun negara bersama-sama. Konsep
musyawarah mufakat dan gotong royong yang dieluh-eluhkan sebagai budaya asli
warga negara memiliki andil dalam melaksanakan pembangunan suatu negara dalam
hal ini Indonesia. Berdasarkan gambaran tersebut, pertanyaan pada paragraf di atas
justru dapat dijawab dengan sebuah pertanyaan yang diajukan oleh Richard A. Posner
yaitu mengapa sebuah negara berniat untuk meresikokan uang pajak yang dibayarkan
oleh warganya demi membiayai warga negara lain yang jelas-jelas telah mencederai
menggunakan rasio?
hal ini tentunya tidak serta merta melupakan asas keadilan dan kepastian hukum.
yang didapat oleh pelaku tindak pidana maka unsur kepastian akan dapat diperoleh. Di
sisi lain keadilan bagi masyarakat yang mendiami suatu wilayah yang dijadikan sebagai
tempat ilegal mining akan memperoleh keadilan. Karena yang perlu disadari bahwa
suatu tindak pidana pertambangan juga memiliki sendi yang bersinggungan dengan
alam, sehingga apapun yang dilakukan dalam kegiatan pertambangan tersebut akan
berdampak pada alam. Dampak tersebut dipungkiri maupun tidak akan berdampak
kepada generasi mendatang. Hal ini menunjukkan urgensi penindakan tindak pidana
pertambangan.
PENUTUP