Anda di halaman 1dari 3

Aksi pertama berlangsung pada 10 Januari 1966.

Dipimpin Kesatuan Aksi Mahasiswa


Indonesia (KAMI), mereka menyampaikan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Adapun
poin-poin yang diminta: 1) membubarkan PKI beserta ormasnya, 2) merombak
kabinet Dwikora, dan 3) Turunkan harga (perekonomian)

Dua hari berselang, Front Pancasila mendatangi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat
Gotong Royong, yang dibentuk Soekarno untuk menggantikan DPR hasil pemilu
1955). Aksi lanjutan digelar. Presiden Soekarno mencoba menyetujui perubahan
kabinet Dwikora. Meski begitu, kabinet baru ini masih dianggap tidak efisien di mata
rakyat.

Kekecewaan masyarakat Indonesia semakin memuncak karena dalam unjuk rasa


tersebut, ada salah seorang demonstran yang gugur tertembak.

Riak-riak protes semakin bergejolak. Soekarno dan kabinetnya mulai kalang kabut.

Puncaknya pada 11 maret 1965.

Dari Misteri Supersemar (2006:17), pagi itu Soekarno berangkat ke Jakarta dari Bogor
menggunakan helikopter. Saat itu sedang ada rapat kabinet 100 menteri di Istana.
Namun, melihat suasana Jakarta yang sedang tidak kondusif, Soekarno memutuskan
kembali ke Istana Bogor.

Tidak ada yang tahu persis apa yang terjadi di dalam ruangan Soekarno. Ada yang
bilang kalau ia ditodong senjata untuk memberikan surat, ada juga yang bilang kalau
Soekarno dengan sukarela ngasih surat perintah ke Letnan Jenderal, Panglima
Komando Keamanan dan Ketertiban, Panglima Angkatan Darat kita tercinta,
Soeharto.

Baca juga: Kehidupan Indonesia di Masa Demokrasi Terpimpin

Ketika Letnan Kolonel Ali Ebram, salah satu pasukan cakrabirawa, masuk ke ruangan
Istana Presiden, ia mendapati di dalamya ada tiga Jenderal. Mereka adalah Amir
Machmud, M. Yusuf, dan Basuki Rachmat. Ketiganya berbicara kepada Soekarno.

Dalam Ali Ebram dan Siapa Sebenarnya yang Mengetik Naskah Supersemar?  yang
ditulis Petrik Matanasi di Tirto, salah satu Jenderal tersebut berkata, “Pak, berikan
perintah kepada Soeharto biar aman.” Amir Machmud ngotot. “Sudah, Bapak bikin
saja.”

Di samping itu, wakil Perdana Menteri Dr. Soebandrio, melalui Kesaksianku Tentang


G-30S (2002) menulis, “Saya masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca
surat. Lantas saya disodori surat tersebut, sementara Chaerul Saleh duduk di sebelah
saya.”
Soekarno menanyakan pendapat tentang surat tersebut kepada Soebandrio, tapi ia
tidak menjawab. Amir Machmud menyela: “Bapak Presiden tanda tangan saja.
Bismillah saja, Pak.”

Setelah itu, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret untuk diberikan kepada Soeharto.

Saat itu, sih, tujuan Soekarno memberikan Supersemar “katanya” pengin “menjaga
pertahanan dan keamanan negara, serta menjaga kewibawaan Soekarno sebagai
presiden.” aja.

Namun, yang terjadi selanjutnya justru kayak cerita dalam serial Game of Throne.
Siasat politik sebagai pergerakan mendapatkan kursi kekuasaan.

Sehari setelah menerima Supersemar, Soeharto memanfaatkan kalimat “mengambil


tindakan yang dianggap perlu dalam pengamanan negara” dalam Supersemar untuk
membubarkan PKI dan segala ormas turunannya.

Melihat tindakan yang diambil Soeharto, Soekarno panik bukan main. Itu adalah
pendukung politik terkuatnya. Lagipula, maksud dia ngasih surat itu, kan, buat
“ngejagain” gejolak demonstrasi dan perlawanan rakyat. Biar semuanya berjalan
aman dan damai dan tenteram dan syahdu gitu loch.

Pergerakan Soeharto tidak berhenti sampai di sana. Dengan alasan yang sama,
tanggal 18 Maret, dia menangkap 15 menteri yang setia kepada Soekarno, dan pada
28 Maret, membubarkan cakrabirawa, pasukan yang selama ini khusus mengawal
presiden.

Jadi lah sebagai presiden, kekuatan politik Soekarno pelan-pelan dilucuti.

Pada 27 Maret, Soekarno dengan sangat terpaksa mengumumkan kabinet baru


bentukan Soeharto. Kabinet Ampera. Bulan-bulan berikutnya bisa ditebak:
kedigdayaan Soekarno mengendur. Nama “Soeharto” mencuat di kalangan MPRS
(MPRS Sementara, cikal bakal MPR).

Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2008:


568) menulis, “dengan kekuasaan Supersemar yang diperolehnya, Soeharto dan para
pendukungnya kini menghancurkan sisa-sisa demokrasi terpimpin di hadapan
Soekarno yang marah tapi tak mampu berbuat apa-apa.”

Gelar “presiden seumur hidup” yang dikeluarkan MPRS pada 1963 kepada Soekarno
dicopot. Soekarno dilarang mengeluarkan keputusan presiden. Dia menolak, tapi
semua mata bisa melihat, era Soekarno sudah di pinggir tebing.

Saat itu, Indonesia kayak punya dua Presiden. Soekarno sebagai pucuk tertinggi,
tetapi nggak punya kekuatan, dan Soeharto, Pejabat Presiden, yang punya kuasa dan
bisa ngelakuin apa aja. Soeharto menjalankan kebijakan-kebijakan, sementara
Soekarno “disetir” sebagai tukang tandatangan dokumen.
Selanjutnya, Soeharto ditunjuk sebagai ketua presidium kabinet.

Setahun setelah perintah pertama Soeharto membubarkan PKI, pada 12 Maret 1967,
MPRS mengangkat Soeharto menjadi Presiden.

Dan lahirlah era orde baru.

Anda mungkin juga menyukai